BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Pada subbab ini akan dibahas mengenai beberapa pengertian mengenai hypospadia
menurut beberapa ahli. Hypospadia adalah kelainan bawaan berupa lubang urethra
yang terletak di bagian bawah dekat pangkal penis (Ngastiyah, 2005). Menurut
Muscari (2005), hypospadia adalah suatu kondisi letak lubang uretra berada di bawah
glans penis atau di bagian mana saja sepanjang permukaan ventral batang penis. Dan
menurut Suriadi dan Rita Yuliani (2010), Hypospadia adalah kongenital anomali
yang mana uretra bermuara pada sisi bawah penis/ perineum. Dari ketiga pengertian
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hypospadia adalah letak lubang uretra tidak
berada pada ujung penis, tetapi berada pada bagian bawah penis mulai dari glans,
hingga mendekati scrotum.
B. Patofisiologi
Hypospadia dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor genetik, hormonal, ras,
geografis, dan pencemaran lingkungan oleh limbah industri. Hypospadia dapat
terjadi karena perkembangan uretra di utero tidak lengkap. Perkembangan uretra di
utero terjadi sekitar usia 8 sampai 15 minggu. Hypospadia terjadi bila penyatuan di
garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi
ventral penis. Hal paling umum pada hypospadia adalah bermuaranya lubang uretra
pada tempat frenum, sedangkan frenumnya tidak terbentuk. Hypospadia dapat
6
ditandai dengan tempat normalnya meatus urinarius pada glans penis tidak terbentuk
atau saluran buntu.
Pada embrio berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu ektoderm dan
entoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan ditengah – tengah yaitu mesoderm yang
kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ektoderm dan entoderm. Di bagian
kaudal ektoderm dan entoderm tetap bersatu membentuk membrana kloaka. Pada
permulaan minggu ke 6, terbentuk tonjolan antara umbilical cord dan tail yang
disebut genital tubercle. Dibawahnya pada garis tengah terbentuk lekukan dimana
dibagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold. Selama
minggu ke 7, genital tubercle akan memanjang dan membentuk glans. Ini adalah
bentuk primordial dari penis bila embrio adalah laki-laki . Bila wanita akan menjadi
klitoris.
Bila terjadi agenesis dari mesoderm, maka genital tubercle tak terbentuk, sehingga
penis juga tak terbentuk. Bagisan anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana
urogenitalia akan ruptur dan membentuk sinus. Sementara itu sepasang lipatan yang
disebut genital fold akan membentuk sisi dari sinus urogenitalia. Bila genital fold
gagal bersatu diatas sinus urogenitalia maka akan timbul hipospadia.
Hypospadia terjadi dimana letak lubang uretra pada perbatasan penis dan skrotum,
ini dapat berkaitan dengan kelainan chordee kongenital. Tidak ditemukan masalah
fisik yang berhubungan dengan hypospadia pada bayi baru lahir atau anak-
anak/remaja. Masalah baru akan ditemukan jika anak tersebut dewasa, karena
chordee akan menghalangi hubungan seksual dan dapat menimbulkan infertilitas,
stenosis meatus, kesulitan mengatur urin, dan kriptokidisme. Chordee adalah pita
jaringan fibrosa yang terletak pada sisi ventral dan dapat menyebabkan lengkungan
ventral dari penis.
Menurut Paulozzi (1997), ada beberapa tipe derajat kelainan letak pada hypospadia
seperti : derajat I tipe glandular (letak meatus pada salah satu glans) dan korona
(pada sulkus korona), derajat II tipe penis (pada sepanjang batang penis), dan derajat
III tipe penoskrotal (pada pertemuan ventral penis dan skrotum), dan perineal (pada
7
perineum). Biasanya derajat II dan III diikuti oleh melengkungnya penis ke ventral
yang disebut dengan chordee.
C. Penatalaksanaan
Penanganan hypospadia secara medis adalah dengan melakukan tindakan pelepasan
chordee (chordee excisi) dan restrukturisasi lubang meatus melalui tindakan
pembedahan. Pembedahan pembedahan dilakukan sebaiknya pada usia anak belum
mulai belajar menahan berkemih, yaitu biasanya sekitar usia 2 tahun. Untuk
merekonstruksi meatus digunakan prepusium, maka dari itu bayi dengan hypospadia
tidak boleh dilakukan sirkumsisi. Pemasangan kateter pada penanganan hypospadia
dengan tujuan mempertahankan fungsi perkemihan, dan memiliki fungsi kosmetik
pada penis. Selain memiliki dua fungsi diatas, kateter juga memiliki fungsi
mempertahankan agar saluran yang telah dibuat tidak mengalami kegagalan seperti
bocor.
Menurut Wong (2003), pertumbuhan, perkembangan dan bermain pada anak usia 6
tahun terjadi pada :
8
a. Fisik dan motorik, penambahan berat badan dan pertumbuhan berlanjut dengan
lambat (BB 16 - 23,6 kg, TB 106,6 – 123,6 cm). Pemunculan gigi incisor
mandibular tengah, kehilangan gigi pertama, peningkatan bertahap dalam
ketangkasan, penglihatan mencapai maturitas, dan lebih senang menggambar.
b. Mental, anak mampu mengembangkan konsep angka, mengetahui pagi atau
siang, mendefinisikan objek umum dalam istilah penggunaannya, mampu
mematuhi tiga macam perintah sekaligus, mengetahui tangan kanan dan kiri,
mengetahui yang cantik dan jelek dari gambar wajah, menggambarkan objek
dalam gambar daripada menyebutkan satu persatu, dan anak mulai masuk kelas
satu SD.
c. Adaptif, anak dapat menggunakan pisau untuk mengoleskan mentega atau selai
di atas roti, bermain permainan memotong dan melipat kertas, menjahit dengan
kasar bila diberi jarum dan benang, mampu mandi tanpa pengawasan, membaca
dari ingatan (menikmati permainan mengeja), menyukai permainan kartu
sederhana, kadang-kadang mencuri uang atau barang-barang menarik,
mengalami kesulitan mengakui kelakuannya yang buruk, dan anak berani
mencoba kemampuan diri sendiri.
d. Personal dan sosial, anak dapat berbagi dan bekerja sama dengan lebih baik,
mempunyai kebutuhan yang lebih besar untuk anak-anak seusianya, akan curang
untuk menang, akan sering masuk dalam permainan kasar, sering cemburu
dengan adik, melakukan apa yang orang dewasa lakukan, kadang-kadang akan
mengalami temper tantrum, anak akan bermulut besar (suka membual), lebih
mandiri karena pengaruh sekolah, mempunyai cara sendiri untuk melakukan
sesuatu, dan anak lebih meningkatkan sosialisasi.
2. Dampak hospitalisasi
Dampak Hospitalisasi pada anak usia sekolah 6 sampai 12 tahun pada perawatan
anak di RS yaitu anak merasa khawatir berpisah dengan teman sebaya sekolah, takut
kehilangan keterampilan, kesepian, sendiri. Reaksi terhadap nyeri adalah anak
berusaha mengontrol dengan tingkat laku yaitu menggigit bibir ; mengenggam
tangan erat, mengamati yang dikatakan perawat, ingin tahu alasan tindakan terhadap
dirinya, anak takut pada waktu tidur.
9
E. Pengkajian
Pengkajian menurut Suriadi dan Rita Yuliani (2010), adalah sebagai berikut :
1. Fisik :
a. Lihat lokasi meatus
b. Bentuk penis (adanya lekukan pada ujung penis, melengkungnya, penis kebawah
dengan /tanpa ereksi).
c. Terbukanya uretral pada ventral
d. Palpasi abdomen untuk melihat distensi bladder /pembesaran pada ginjal
e. Kaji fungsi perkemihan
f. Pengkajian setelah pembedahan, pembengkakan penis, perdarahan, disuria
drainage.
g. Kaji ringkat kecemasan dan tingkat pengetahuan keluarga.
h. Pengkajian setelah pembedahan diantaranya dilihat adanya pembekakan penis,
perdarahan, dysuria, dan drainage.
2. Mental
a. Sikap pasien waktu diperiksa
b. Sikap pasien rencana pembedahan.
3. Keluarga
a. Tingkat kecemasan
b. Tingkat pengetahuan.
F. Diagnosa Keperawatan
Menurut Suriadi dan Rita Yuliani (2010), dan Fitri Purwanto (2001), diagnosa pada
anak yang menjalani pembedahan hypospadia diantaranya adalah :
G. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan perencanaan dan
evaluasi setiap diagnosa keperawatan menurut Fitri Purwanto ( 2001 ), Suriadi dan
Rita Yuliani (2001), adalah sebagai berikut :
Kriteria evaluasi : a. Urine output 1-2 /kg BB/jam, tidak pekat, b. Kapiler refil
kurang dari 3 detik, c. Membran mukosa dalam batas normal, d. TTV dalam batas
normal, e. Selaput membran normal, f. Turgor kulit baik, g. Tidak ada muntah, h.
Balance cairan intake dan out put.
Perencanaan : 1) Monitor intake dan output setiap 1 jam (hitung balance dalam 24
jam), 2)Evaluasi adanya tanda-tanda dehidrasi (catat turgor kulit, pengisian kapiler,
membran mukosa, kekentalan urine), 3) Observasi jumlah dan karakteristik muntah,
4)Pasang IV line sesuai dengan intruksi, 5) Pertahankan ketat dan akurat intake dan
output, 6) Kaji perfusi jaringan, 7) Kaji TTV tiap 1-2 jam, 8) Timbang BB setiap
hari, 9) Kolaborasi dalam memonitor hasil laboratorium seperti HB, HT, LED, 10)
berikan kalium (kcl 10 mEg dalam 500 cc cairan N4)
Kriteria evaluasi : a) Klien tampak rileks, b) Skala nyeri 0, c) TTV dalam bentuk
normal.
Kriteria evaluasi : a) Tidak ada tanda-tanda infeksi, b) Luka insisi bersih dan
kering, c) Tanda-tanda vital stabil
5 Risiko injury berhubungan dengan terlepasnya kateter atau kateter berubah posisi
Tujuan : maka akan bebas dari injury
Kriteria hasil : a) Pemasangan kateter tetap bertahan hingga dilepas oleh dokter
atau perawat, b) Pastikan kateter pada anak dengan posisi yang benar dan tidak lepas,
c) Gunakan restrain atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah, d)
Gunakan ayunan tempat tidur untuk mencegah linen dari kontak kateter dan penis
Kriteria hasil : Orang tua dapat memahami bagaimana cara perawatan dirumah dan
mendemontrasikan prosedur perawatan dirumah
H. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal
dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang di antisipasi berhubungan
dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah di tetapkan (Bulechek and Mc.
Closkey 1985). Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang di lakukan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun
tindakan kolaborasi. Dalam melaksanakan tindakan langkah-langkah yang di lakukan
adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan menentukan
dan bantuan yang di berikan serta menetapkan strategis tindakan dilakukan. Selain
itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang di lakukan pada klien dan
respon klien pada setiap tindakan keperawatan di dokumentasikan dalam catatan
keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu di
dokomentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien seta di
beri tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang di lakukan.
13
I. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur seberapa
jauh tujuan yang telah di tetapkan dapat tercapai berdasarkan standard dan kriteria
yang telah di tetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses
keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah perencanaan keperawatan di
akhiri atau di tinjau kembali atau di modifikasi. Dalam evaluasi prinsip obyektifitas,
reliabilitas dan validitas dapat di pertahankan agar keputusan yang di ambil tepat.
Evaluasi proses keperawatan ada dua yaitu evaluasi proses dan evaluasi akhir.
Evaluasi proses adalah evaluasi yang di lakukan segera setelah tindakan di lakukan
dan di dokumentasikan pada catatan-catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil
adalah evaluasi yang di lakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan
yang di tetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan.