Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pasca Tuberkulosis
Nur Aida
Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru
dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP
PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan
sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT).
Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara
16%¬50%.
Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru
yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kom-
pleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi ja-
ringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat
infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan se-
hingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas
karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag
aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan
proses
proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka
lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas me-
nuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan
faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri.
Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom
obstruksi pasca TB.
SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB
Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB
dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1)
menyebutnya emfisma obstruksi kronik. Martin dan Hallet
(2)
menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan
Robin
(3)
menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha
dan Bruckner
(4)
menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi;
Tanuwtharj menyebutnya sirldronrobstruksi difus
(5)
. Di Unit
Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada pen-
derita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom
obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas
TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT).
KEKERAPAN
Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang
pernah diteliti (Tabel 1).
Tabel 1. Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB
Peneliti Tahun
Kekerapan
Ref.
Cuggel
Gaensler
Martin dan Haller
Lancaster dan Tomasshesfki
Malik dan Martin
Snider et al
Tanuwiharja
Tanuwiharja
Sardikin Giriputro
1955
1959
1961
1963
1969
1971
1980
1988
1989
44 %
42,6 %
50,4 %
34
%
32
%
41,8 %
50,4 %
46,9 %
16,7 %
1
5
2
6
7
8
9
10
11
PATOGENESIS
Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa
kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan
yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada ter-
jadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT).
Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan
elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang
menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara
(3)
. Emfisema
kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat
atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak
obstruktif.
Sedangkan Gaensler
(5)
dan Snider et al
(8)
menyatakan bahwa
kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema
kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak
menemukan
perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada
kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata
lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam
perkembangan emfisema.
Gaensler dan Lindgren
(5)
berpendapat bahwa bronkitis kro-
nis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya
emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan
dengan
over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi.
Bell
(11)
berhasil menimbulkan bula emfisematous pada ke-
linci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal
dan
menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan
destruksi
jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner
menyatakan
bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari
kavitas
menimbulkan kelainan obstruksi
(12)
.
Baum
(13)
, Crofton dan Douglas
(14)
menyatakan bahwa reaksi
hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman
TB
yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu
peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi
spesifiknya sendiri.
Hennes et al
(15)
menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak
paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti
terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul
zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan
penting pada patogenesis emfisema.
Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru de-
ngan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin,
merokok,
lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti
(2,6¬11,13)
Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru
lanjut
di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan
obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit,
tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok,
luas
kelainan dan distribusi lesi
(9)
. Pemeriksaan perubahan faal ven-
tilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka
pendek
dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persa-
habatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif
antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan
obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru
bersifat
ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat
proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru
dan
bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced
di
RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi
difus
pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi
ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mem-
punyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan
tidak
mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit
(9)
.
Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sin-
drom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi
kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat
menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena
tertariknya
netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif.
Peradangan
yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan
oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga me-
nimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari
pemeriksaan spirometri.
SISTIM IMUNITAS TUBUH
Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesi-
fik dan nonspesifik
(16,17)
(Gambar 1).
Gambar 1. Sistem Imun
(16)
Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh ter-
depan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap anti-
gen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu
untuk
mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan respon-
nya
(17,18)
.
Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai
daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru,
berupa
sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik
(19¬22)
.
Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang
paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme(
20,22)
.
Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan
memfagosit serta respon imunologiknya
(20)
. Kemampuan untuk
menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mem-
punyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini me-
ngandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupa-
kan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai resep-
tor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini me-
ningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan
benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen
(17,20,21)
.
Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat me-
ngeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan
mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit
dalam
reaksi inflamasi
(20)
.
TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN
Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertama-
tama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha
mengatasi
infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat
menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil
dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat
perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja
ekstraseluler.
Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera
mengalami lisis
(18)
. Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh
makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan meta-
bolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu
memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang ter-
penting adalah hidrogen peroksida (H
2
O
2
).
Chaparas 1984
(23)
menerangkan bahwa mikobakterium
tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin-