Anda di halaman 1dari 16

I

SUBAK, TRI HITA KARANA DAN PERMASALAHANNYA

1.1 Pengertian Subak


Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-
agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan
sawah ( peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972).
Sutawan dkk (1986) melakukan kajian lebih lanjut tentang gatra religius dalam
sistem irigasi subak. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul
( untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), disamping
adanya Sanggah Pecatu yang ditempatkan di saluran sadap (intake). Gatra religius pada
sistem irigasi subak mencerminkan konsep THK yang pada hakekatnya terdiri dari
parahyangan, palemahan, dan pawongan.
Gatra parahyangan ditunjukkan dengan adanya pura pada wilayah subak dan pada
setiap komplek/blok kepemilikan sawah, gatra palemahanditunjukkan dengan adanya
kepemilikan wilayah untuk setiap subak, dan gatra pawongan ditunjukkan dengan adanya
organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuhab setempat, adanya anggota subak,
pengurus subak, dan pimpinan subak yang umumnya dipilih dari anggota yang memiliki
kemampuan spiritual.
Pusposutardjo (1997) dan Arif (1999) yang meninjau subak sebagai sitem teknologi
dari suatu sosio kultural masyarakat, menyimpulkan bahwa sistem irigasi (termasuk subak)
merupakan suatu proses transformasi sistem kultural masyarakat yang pada dasarnya
memiliki tiga subsistem yakni :
i. Subsistem budaya (pola pikir, norma dan nilai)
ii. Subsitem sosial (termasuk ekonomi)
iii. Subsistem kebendaan (termasuk teknologi)
1.2 Keberadaan Sistem Irigasi Subak
Keberadaan sistem irigasi subak telah didahului sebelumnya oleh keberadaan sistem
petanian yang berkembang di Bali sejak tahun 678 (Wardha, 1989; dan Arfian. 1989).
Keberadaan sistem irigasi subak di Bali memerlukan waktu 393 tahun sejak perkembangan
sistem pertanian. Peranan raja-raja pada sistem irigasi seperti diuraikan menunjukkan
adanya subsidi berupa pembebasan pajak kepada petani di lahan beririgasi. Pada zamannya,
raja memberikan ijin untuk membuka sawah-sawah baru dengan memanfaatkan lahan hutan
yang ada di sekitar komplek persawahan yang telah ada, dan sekaligus memberikan ijin
untuk mengalirkan air sungai ke lahan sawah yang telah dibuat oleh petani.
Perkembangan sistem subak sebagai sistem irigasi yang beada di bawah pengaruh
raja-raja, tampaknya menyebabkan sistem irigasi subak harus melakukan aktivitas organisasi
yang sepadan sebagai satu lembaga adat. Dengan demikian, dapat juga disebutkan bahwa
sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk
mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, agama
Hindu yang berkembang di Bali yang memiliki konsep THK yang dijadikan sebagai asas
dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi
di lahan sawah.
Adapun perubahan yang terjadi pada sistem irigasi subak adalah sebagai berikut :
a. Cakupan pengelolaan sistem subak
Pada awalnya sistem subak hanya mengelola air irigasi untuk kepentingan anggotanya.
Namun dengan adanya kegiatan bersifat ekonomi, maka dalam perkembangannya sistem
subak juga mengelola keuangan organisasi. Dalam perkembangannya yakni mulai sekitar
tahun 1970-an, unsur dan kegiatan ekonomi cukup banyak muncul dalam sistem subak di
Bali, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Misalnya melakukan
kegiatan simpan pinjam, membentuk koperasi tani, dan melakukan pinjaman ke bank
untuk kegiatan pembangunan jaringan irigasi subak.
Kecendrungan perkembangan sistem subak kini terjadi di Bali adalah adanya kegiatan
subak untuk dapat menggali dana bagi pengelolaan sistem irigasinya dan selanjutnya
perkembangan subak yang diharapkan juga menjadi lembaga ekonomi (Sutawan, 2001).
Apabila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh subak di Bali, maka subak akan
semakin dapat mengelola dirinya sendiri menjadi organisasi mandiri.
b. Kelembagaan sistem subak
Petani sedikit demi sedikit membuka lahan tegalan menjadi lahan sawah yang
kemudian berkembang menadi salah satu tempek. Tempek adalah sub subak atau
merupakan suatu komplek persawahan yang mendapat air irigasi dari satu sumber
/bangunan bagi (tembuku) tertentu dalam suatu areal subak. Petani dalam satu tempek
tidak memiliki pura Bedugul, mereka memiliki otonomi ke dala tetapi tidak memiliki
otonimi keluar. Apabila tempek-tempek tersebut telah semakin luas arealnya dan semakin
sulit dikoordinasi dalam wadah tempek, maka tempek tersebut dapat berkembang menjadi
subak, dan subak-subak yang mendapat air irigasi dari satu sumber akan berkembang
menjadi subak gede, selanjutnya subak gede dapat berkembang enjadi suatu lembaga
yang lebih besar yakni subak agung (Sutawan dkk, 1991).
Dalam perkembangannya hingga saat ini, di Bali telah terbentuk dua buah subak agung
yakni subak agung Yeh Ho di kabupaten Tabanan (mengkoordinasi sistem irigasi yang
ada didsepanjang sungai Yeh Ho) dan subak agung Gangga Luhur yang ada di kabupaten
Buleleng (mengkoordinasi sistem irigasi yang ada di saluran induk sungai Buleleng,
sungai Nangka dan sungai Banyumala). Pengembangan subak gede menjadi subak agung
merupakan tindakan untuk mempertahankan keberadaan sistem subak di Bali.
c. Kewenangan pengelolaan palemahan sistem subak
Pada tahun 1925 Belanda melakukan intervensi pada sistem subak dio Bali dengan
membangun bendung permanen yakni bendung Oongan di sungai Ayung-Denpasar
(Sumarta, 1992). Intervensi itu tidak menimbulkan masalah karena pihak Belanda tidak
mencampuri sistem subak di tingkat jaringan tersier. Namun proyek-proyek jaringan
tersier yang dilakukan Dep. PU sejak akhir tahun 1970-an pada sistem subak di Bali
dengan merubah sistem bangunan bagi (tembuku) dari sistem numbak menjadi ngerirun
telah menimbulkan konflik karena perubahan itu tidak serasi dengan sosio kultural
masyarakat setempat. Namun demikian, sistem subak sebagai lembaga adat yang otonum
tetap dapat mengatur dirinya sendiri tanpa menimbulkan konflik karena tetap diusahakan
adanya harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Harmoni itu terjadi karena adanya
koordinasi antara suatu subak dengan lembaga lain dilingkungannya.
d. Stakeholders sistem subak
Ketika cakupan pengelolaan sistem subak hanya berupa air irigasi maka stakeholders
sistem subak hanya para pengurus, anggota, dan pemuka agama. Namun dengan adanya
perkembangan subak sampai saat ini, maka stakeholders sistem subak menjadi berubah
yakni mencakup para pengembala itik, pengurus koperasi tani dan pemerintah.
1.3 Wujud Tri Hita Karana Dalam Sistem Irigasi di Bali
a.Subsistem budaya, dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang
dilakukan dengan landasan harmoni dan kebersamaan. Subak menyelenggarakan
upacara khusus untuk menghormati keberadaan air, yang disebut dengan upacara
mendak toya (menjemput air). Pura yang dibangun diareal subak merupakan simbol
tempat pemujaan kepada Tuhan YME yang dianggap pula sebagai bagian dari
mekanisme pengawasan terhadap sistem pengelolaan air yang dilakukan oleh subak
sehingga pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dibuat akan dapat ditekan.
b. Subsistem sosial, dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat (petani) setempat dan disesuaikan pula
dengan tujuan-tujuan yang harus dicapai. Subak memiliki awig-awig yang dibuat
berdasarkan konsep parahyangan dan pada umumnya sangat dihormati pelaksanaannya
oleh anggota subak. Disamping itu, ada pula aturan lain yang disebut dengan kerta-
sima (kebiasaan-kebiasaan yang sudah sejak lama dilaksanakan dalam aktivitas subak)
dan ada pula aturan yang tidak tertulis yang disebut perarem.
c.Subsistem artefak/kebendaan, dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan
irigasi yang sepadan dengan kebutuhan organisasi subak, yang memungkinkan air
dapat didistribusikan secara adil dan proses saling pinjam air irigasi dapat
dilaksanakan dengan cepat. Unit ukuran air yang digunakan disebut tektek. Satu tektek
air irigasi di subak pada dasarnya bermanfaat untuk mengairi areal sawah seluas satu
bit tenah (areal sawah yang bibitnya satu tenah/sekitar 10 kg atau dengan luas sawah
sekitar 0,30 - 0,35 ha) dan harus menyumbangkan tenaga kerja sebanyak satu ayahan
pada setiap aktivitas subak yang bersangkutan. Susanto (1999) juga mencatat bahwa
sistem suplesi dan drainase yang terpisah dalam satu komplek kepemilikan sawah yang
terkenal dengan sebutan one inlet & one outlet system memiliki banyak keuntungan.
Teknologi yang ada dalam konsep ini diantaranya adalah bahwa petani dapat
mengadakan diversifikasi tanaman tanpa ada konflik dalam pengelolaan air irigasi.

Kritik :
Subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakter sosio-agraris-
religius yang merupakan perkumpulan petani dan masyarakat yang mengelola air irigasi
dilahan sawah. Dengan perkembangan jaman yang begitu pesat diharapkan petani atau
masyarakat tidak melupakan subak sebagai sistem pengairan tradisional dan merupakan
salah satu kebudayaan yang terdapat di Bali.

Saran :
Pada awalnya sistem subak hanya mengelola air irigasi untuk kepentingan anggotanya.
Namun, sesuai dengan perkembangan jaman dan dengan adanya kegiatan bersifat ekonomi
maka dalam perkembangannya sistem subak juga mengelola keuangan organisasi. Dengan
adanya kegiatan ini, diharapkan petani mampu mengelola dirinya sendiri dan membentuk
organisasi mandiri.
II
SUBAK DAN USAHA – USAHA PELESTARIAN

2.1 Subak dan Tri Hita Karana (THK)


Pertambahan jumlah penduduk, peningatan kesejahteraan masyarakat dan
berkembangnya sektor-sektor lain diluar sektor pertanian menyebabkan kebutuhan air
semakin meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Persaingan terhadap keperluan
sumberdaya air semakin ketat dan sementara itu sektor irigasi sangat penting peranannya
untuk menyediakan bahan makanan bagi penduduk, maka disarankan sistem irigasi harus
respontif terhadap kepentingan petani, penawaran dan permintaan terhadap air harus dapat
dipertemukan sedekat mungkin, kehilangan air harus diminimalkan, dan pola tanam harus
mampu merespon perubahan tingkah laku masyarakat. Untuk mencapai hal-hal tersebut
diperlukan penataan kembali sistem fisik dan sistem manajemen serta adanya modernisasi
sistem irigasi.
Sistem subak di Bali yang diyakini telah berkembang sejak tahun 1071 (Purwita,
1993), tampaknya membuktikan bahwa subak telah mampu mendayagunakan air
berdasarkan asas keselarasan dengan alam, sesuai dengan konsep dasar agama Hindu yang
terkenal dengan sebutan Tri Hita Karana (THK) yang bermakna bahwa dalam dalam proses
berkehidupan menuju hidup yang sejahtera, manusia harus berusaha menjaga keserasian
hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parahyangan), manusia dengan
alam lingkungan (palemahan), dan manusia dengan sesamanya (pawongan) sebabai satu
kesatuan yang utuh. Dengan konsep THK subak di Bali dalam memanfaatkan sumber daya
air berusaha untuk menjaga keserasian dan keharmonisan. Oleh karenanya air irigasi daoat
dimanfaatkan secara harmonis berkelanjutan antar anggota subak yang bersangkutan.
Peluang untuk memecahkan masalah pendayagunaan air secara serasi,
berkesinambungan dan berlanjut atas dasar konsep THK melalui institusi adat subak
sebenarnya sangat terbuka. Hal ini disebabkan karena subak sesungguhnya juga merupakan
sistem sosio-teknis. Subsistem teknis dalam sistem irigasi PP No.77/2001 terdiri atas teknis
hidrolika dan hidrologi serta kesejahteraan petani sebagai suatu tujuan utama irigasi.
Sedangkan subsistem sosial dalam sistem irigasi berkait dengan transformasi kepentingan
individu menjadi kepentingan kelompok dalam mendayagunakan air.
2.2 Usaha-usaha Pelestarian Sistem Irigasi Subak
Usaha pelestarian terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumber daya air di Bali
melalui sistem subak telah lama mendapat perhatian. Pihak Departemen Pekerjaan Umum
sejak akhir Pelita II telah melaksanakan proyek Jaringan Irigasi Tersier pada beberapa subak
di Bali dengan merubah sistem pembagian air milik subak (tembuku) dikawasan subak yang
bersangkutan yang sebelumnya dengan sistem numbak dirubah menjadi sistem ngerirun
(sistem box). Karena perubahan komponen subsistem teknis ini tidak didasari kesesuaian
pada subsistem pola pikir dan kesesuaian pada subsistem sosial yang sepadan, maka muncul
berbagai dampak negatif dalam pelaksanaan proyek yang dicerminkan oleh ketidaksetujuan
kalangan petani di Bali.
Dari kasus yang telah diuraikan terlihat bahwa keharmonisan dalam sistem subak
akan terganggu apabila salah satu dari komponen THK yakni komponen palemahan
mengalami perubahan dan tidak diikuti oleh komponen THK lainnya. Keharmonisan pada
sistem subak akan tetap terjamin apabila perubahan/pengembangan salah satu komponen
THK yakni palemahan diikuti dengan penyesuaian pada komponen THK lainnya.
Kalau dilihat dari dimensi sitem teknologi maka sesungguhnya perubahan-perubahan
pada gatra palemahan pada sistem subak sebagai akibat adanya perkembangan teknologi,
tampaknya akan tetap menjamin adanya harmoni pada sistem subak yang bersangkutan, bila
gatra humanware (dari sisi petani) dapat dengan tepat memahami perbedaan karakteristik
aliran air irigasi yang akan terjadi dan gatra humanware (dari sisi pembawa teknologi dapat
dengan tepat memahami ukuran ukuran, letak dan persyaratan lain dari penerapan teknologi
tersebut. Pemahaman baru dari gatra humanware selanjutnya akan membawa perubahan
pada gatra organoware dan gatra infoware.
Keharmonisan antara parahyangan, palemahan dan pawongan adalah pilar utama
untuk mampu mempertahankan eksistensi dan kelestarian lembaga subak dalam rangka
peelstarian sumber daya air. Kalau terjadi perkembangan teknologi dan perubahan
kehidupan manusia, maka akan terjadi perubahan pada palemahan dan hal ini harus diikuti
perubaan pada pawongan dan parahyangan yang akhirnya dapat dan mampu melestarikan
keharmonisan sesyai dengan konsep THK tersebut.

Kritik :
Terancamnya kelestarian sumber daya air disebabkan karena manusia tidak mau
memahami kemampuan penyediaan air alami yang terbatas sehingga lajunya tidak
seimbang. Alam dianggap sebagai tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi
dan dimanfaatkan. Berdasarkan sistem pola pikir petani dan masyarakat saat ini pada
beberapa subak di Bali, dengan merubah sistem pembagian air milik subak (tembuku) di
kawasan subak yang bersangkutan yang sebelumnya dengan sistem numbak dirubah
menjadi sistem ngerirun (sistem box) yang menurut mereka lebih efisien dan tidak
memerlukan banyak lahan.

Saran :
Permasalahan yang muncul, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan air tidak
mungkin dapat dipecahkan hanya berdasarkan aturan-aturan formal. Mendayagunakan air
berdasarkan asas keselarasan dengan alam sesuai dengan konsep dasar THK yang bermakna
bahwa dalam proses berkehidupan menuju hidup yang sejahtera, manusia harus berusaha
menjaga hubungannya dengan penciptanya yakni Tuhan Yang Maha Esa (parahyangan),
manusia dengan lingkungannya (palemahan) dan manusia dengan sesamanya (pawongan)
sebagai satu kesatuan yang utuh.
III
SUBAK SEBAGAI TEKNOLOGI SEPADAN DALAM PERTANIAN BERIRIGASI

3.1 Pola Pikir


Subak pada umumnya beranggapan bahwa bagaimana sebaiknya irigasi itu dapat
dikelola agar mampu mencukupi kebutuan air berbagai tanaman pada saat tanaman itu
kekurangan air. Karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang
umumnya curam, maka hal itu menyebabkan sumber air untuk satu komplek persawahan
petani umumnya cukup jauh dan kadang-kadang mereka harus membuat terowongan
(aungan). Kondisi ini yang menyebabkan para petani tidak mampu bekerja sendiri dan
mereka harus menghimpun diri dalam bentuk kelompok yang dikenal dengan sebutan
organisasi subak.
Karena sistem subak menganut sistem distribusi air secara proporsional, maka resiko
yang ada harus ditanggung secara bersama-sama. Untuk memperoleh penggunaan air yang
optimal dan merata, maka air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainase yang
tersedia disetiap komplek/blok sawah milik petani. Sedangkan untuk mengatasi masalah
kekurangan air yang tidak terperkirakan, maka mereka melakukannya dengan cara-cara
sebagai berikut :
i. Ada sistem saling pinjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak
atau antar subak yang sistemnya terkait.
ii. Ada sistem penggolongan areal pada kawasan subak yang bersangkutan.
iii. Ada sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air
untuk lahan sawah yang berada lebih hilir.
iv. Ada sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada satu
blok/komplek sawah milik petani tertentu apabila sawah tersebut telah mendapatkan
tirisan air dari suatu kawasan tertentu disekitarnya.
v. Ada peran pekaseh/pengurus dalam mengatur air irigasi pada saat debit air
yang sangat kecil.
Adapun alasan petani untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang disebutkan diatas
pada dasarnya adalah untuk memunculkan rasa kebersamaan, menghindari konflik dan
menjaga harmoni dikalangan mereka, sesuai prinsip dasar dari THK.
3.2 Sistem Sosial
Untuk mencapai tujuan seperti yang dikemukakan dalam bahasan tentang pola pikir,
maka dibentuklah suatu organisasi sosial subak untuk mengelola irigasi yang tersedia agar
tercapai keberhasilan dalam bidang pertanian.
Adapun tugas-tugas yang harus dicapai oleh organisasi subak dibawah pimpinan
ketua/kelian subak (pekaseh) pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a. Merencanakan tujuan dan sasaran kegiatan.
b. Menjelaskan tujuan dan sasaran.
c. Menyusun kesepakatan tindakan pemecahan permasalahan.
d. Memberdayakan anggota untuk dapat berperan serta sesuai dengan tujuan, hak dan
kewajiban yang dimilikinya.
e. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan.
Berkait dengan sistem sosial subak untuk mengatur penyediaan dan mengalokasikan
air (mengelola air irigasi)atas dasar kesesuaian dengan pola pikir diatas, maka subak
membangun organisasi dengan kebutuhan setempat. Selanjutnya dapat disebutkan bahwa
ketua subak (pekaseh) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas ke luar (berhubungan
dengan aparat pemerintah) dan ke dalam, yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara.
Sedangkan Kelian Tempek (subsubak) yang bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas
ke dalam tidak memiliki kewenangan berhubungan ke luar.
3.3 Artefak/Kebendaan
Sesuai dengan prinsip-prinsip THK maka pembangunan dan pemanfaatan artefak
pada sistem subak di Bali diarahkan sedemikian rupa agar dapat memunculkan kebersamaan
dan harmoni di kalangan anggota subak. Adapun artefak yang dimanfaatkan oleh sistem
subak di Bali antara lain :
a. Bendung (empelan)
Lokasi bangunan bendung pada dasarnya ditempatkan pada kawasan tikungan sungai
atau pada kawasan sungai yang lokasinya paling dekat dengan hamparan sawah petani
yang bersangkutan. Pada setiap lokasi bangunan bendung dibangun sebuah pura yang
disebut pura empelan, yang dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan upacara magpag
toya. Sehingga dengan demikian pura inipun akan selalu dipelihara dan dibersihkan
secara rutin dan berkesinambungan oleh subak yang bersangkutan menjelang dan pada
saat pelaksanaan upacara.
b. Saluran irigasi (telabah)
Pada dasarnya merupakan saluran terbuka yang dimanfaatkan oleh subak yang
bersangkutan untuk mengalirkan air irigasi hingga ke petak sawah petani anggota subak.
c. Terowongan (aungan)
Terowongan atau aungan akan diusahakan untuk dibangun oleh petani bila mereka
gagal memanfaatkan secara optimal keberadaan saluran irigasi yang terbuka. dalam
proses pembangunan terowongan, para ahli pembuat terowongan (undagi
pengaung/tukang aungan) akan berusaha memilih lintasan terowongan pada lahan yang
terdiri dari batu padas atau tanah yang diyakini cukup keras dan kuat untuk menyangga
tanah yang ada diatas bangunan terowongan itu.
d. Bangunan bagi (tembuku)
Bangunan bagi (tembuku) pada sistem subak, pada dasarnya dibangun dengan
konsep proporsional, sejak pada bangunan bagi yang ada di hulu hingga pada bangunan
bagi irigasi menuju pada petak sawah petani (tembuku pengalapan). Unit ukuran yang
digunakan adalah tektek. tektek adalah satuan unit air pada suatu subak yang merupakan
sistem bagi habis antara jumlah air yang masuk ke subak yang bersangkutan dengan
jumlah luas areal sawah yang ada di subak yang bersangkutan. bangunan dengan sistem
numbak diterapkan pada sistem subak di Bali karena topografi Pulau Bali yang
umumnya bergelombang.

Kritik :
Manusia merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem subak karena
sangat dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktivitasnya untuk
mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian tersebut. Subak menganut
sistem distribusi air secara proporsional maka resiko yang ada harus ditanggung secara
bersama-sama, misalkan kekurangan air yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Saran :
Untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terperkirakan maka anggota
subak sebaiknya melakukan pencegahan. Pada dasarnya sistem subak adalah untuk
memunculkan rasa kebersamaan, menghindari konflik dan menjaga harmoni dikalangan
mereka, sesuai prinsip dasar THK sistem irigasi subak untuk mengatur penyediaan dan
mengalokasikan air (mengelola air irigasi) atas dasar kesesuaian dengan pola pikir
masyarakat.
IV
SUBAK DAN LANDASAN TEORI TRANSFORMASI

4.1 Aspek Teoritis Konsep Transformasi Sistem Irigasi Subak


Sistem adalah rakitan elemen-elemen yang saling terkait melalui struktur dan
hubungan timbal balik balik dengan tujuan untuk menghasilkan luaran (output) tertentu, dan
keberadaan luaran itu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sistem irigasi adalah satu set lemen-
elemen yang memiliki hubungan timbal balik yang memiliki tujuan untuk menghasilkan
pengelolaan dan pelayanan air irigasi.
Sistem irigasi subak yang berlandaskan THK seperti yang disebutkan sebelumnya
itulah yang akan ditransformasikan. Diisyaratkan bahwa dalam transformasi tersebut, luaran
atau tujuan sistem irigasi subak yang melakukan pengelolaan dan pelayanan irigasi
berdasarkan harmoni dan kebersamaan, tidak mengalami perubahan yang nyata. Hubungan
elemen-elemen dalam sistem irigasi subak yang berlandaskan THK sangat komplek, yang
sebagian diantaranya mengandung nilai-nilai kuantitatif dan sebagian lainnya mengandung
nilai-nilai kualitatif. Hubungan antara elemen-elemen penyusun sistem subak tersebut tidak
dapat dipisahkan antara satu elemen dengan elemen lainnya dan berbentuk fungsi yang tidak
linier.
Agar hubungan fungsional elemen-elemen sistem subak dapat dicirikan prilakunya
maka dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan (simplifikasi) yakni dengan melakukan
diskritisasi. Dalam kisaran nilai batas diskrit tersebut fungsi hubungan antara elemen-elemen
sistem subak dengan luarannya dapat dinyatakan dalam bentuk matrik.
Langkah-langkah pelaksanaan matrik adalah dengan teknik “Gauss-Jordan” (James
dkk, 1977). Dalam melakukan inverse matrik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama kalau matriknya belum merupakan matrik kuadrat maka untuk menjadikannya
matrik kuadrat, persamaan matrik (2) harus dikalikan dulu dengan matrik transpose dari
matrik yang akan diinverse (Jhonston, 1984).
Kedua, kalau determinannya sama dengan nol maka matik itu tidak akan dapat
berproses atau tidak memiliki solusi. Ini berrarti bahwa matrik transformasinya adalah
samadengan nol atau tidak ada matrik transformasinya. Dalam hubungan dengan penelitian
ini, maka subak yang diteliti tidak dapat ditransformasi sehingga perlu dikaji faktor-faktor
yang kemungkinan menyebabkan hal tersebut.
4.2 Kemampuan Sistem Irigasi Subak Menyerap Dinamika Perkembangan
Teknologi
Masyarakat Bali sudah terkenal sebagai masyarakat yang adaftif terhadap masuknya
segala bentuk teknologi dan kebudayaan asing. Setiap ada teknologi baru dan kebudayaan
lain yang masuk ke Bali, masyarakat Bali tidak pernah menolak mentah-mentah. Lembaga
subak sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Bali terbukti pula telah mampu
melaksanakan prinsip-prinsip budaya yang mengacu pada harmoni seperti yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat Bali pada umumnya. Keberadaan lembaga subak di Bali
kiranya dapat menjadi bukti betapa lembaga subak di Bali telah ternyata mampu menyerap
teknologi yang berkembang. Kemampuan sistem subak menyerap perkembangan teknologi
ditentukan oleh nilai peluang transformasinya.
4.3 Kemampuan Teknologi Irigasi Subak Dalam Menyerap Dinamika
Perkembangan Dinamika Petani
Seirama dengan perkembangan global di sekitar petani maka petani akan selalu
berusaha memberikan respon untuk meningkatkan taraf hidup/kesejahteraannya dan
disamping itu dapat tetap memelihara suasana harmoni dalam lembaga subak tersebut.

Kritik :
Sistem irigasi adalah satu set elemen-elemen yang memiliki hubungan timbal balik
yang memiliki tujuan untuk menghasilkan pengelolaan dan pelayanan air irigasi.
Keberadaan subak di Bali sangat berperan penting, subak di Bali ternyata mampu menyerap
teknologi yang berkembang namun kemampuan sistem subak menyerap perkembangan
teknologi ditentukan oleh nilai peluang transformasinya.

Saran :
Tujuan sistem irigasi subak adalah melakukan pengelolaan dan pelayanan irigasi
berdasarkan harmoni dan kebersamaan serta berlandaskan THK. Selain itu, setiap
perkembangan teknologi yang masuk sebaiknya dipilih mana yang lebih baik sehingga tidak
merusak sistem subak di Bali dan tidak terjadi konflik di masyarakat.
V
BEBERAPA KASUS TENTANG KEMAMPUAN TRANSFORMASI SISTEM
IRIGASI SUBAK

5.1 Kemampuan Transformasi Beberapa Sistem Subak di Bali


Dalam perkembangannya, sistem irigasi subak tampaknya mengalami proses
transformasi. Berkait dengan sistem subak yang dapat ditransformasi, Arif (1999) justru
mancatat bahwa meskipun THK adalah merupakan suatu konsep yang didasarkan pada
ajaran agama namun implementasi dari THK yang terkandung dalam sistem subak di Bali
adalah merupakan suatu yang dapat ditransfer dan merupakan nilai yan universal. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa konsep THK adalah konsep yang dapat diterapkan.
Sedangkan THK yang bersifat universal artinya konsep THK pada dasarnya adalah benar
bagi semua anggota masyarakat bahkan untuk masyarakat yang beragama apa saja.
Selanjutnya, dapat disebutkan bahwa agar sistem subak yang berlandaskan THK
dapat ditransformasikan karena wataknya yang universal, maka ia harus dipandang sebagai
suatu teknologi. Selanjutnya Ferkis (1985) menyebutkan bahwa teknologi itu adalah
merupakan suatu keinsafan diri untuk mengorganisasi pola-pola yang mempengaruhi
lingkungan alam maupun sosial.
Sehungan dengan konsep bahwa sistem subak adalah suatu teknologi yang sudah
merupakan kebudayaan masyarakat, maka dibuatlah matrik lembaga subak yang merupakan
matrik hubungan antara sistem teknologi dan sistem kebudayaan yang kemudian dapat
dianalisis melalui metode pendekatan inverse matrik.Kurang baiknya kondisi subak untuk
ditransformasi mungkin karena harapan ideal dari petani di subak tersebut jauh dari
kenyataan yang kini dihadapi oleh petani yang bersangkutan.
Sejak tahun 1984 disepakati bahwa standar perhitungan untuk satu ayahan adalah
seluas 20 are. Jadi, saat ini setiap petani yang memiliki lahan seluas 20 are harus
memberikan kontribusi tenaga kerja sebanyak satu ayahan (satu unit/satu orang) pada setiap
aktivitas subak yang bersangkutan. kalau seandainya petani memiliki lahan kurang dari 20
are maka ia berhak untuk menjadi anggota tidak aktif dalam subak itu, namun harus
membayar kontribusi berupa natura sebanyak 10 kg gabah (kering panen) per 10 are per
panen.
Meskipun sistem subak secara umum adalah cukup baik untuk ditransformasi,
namun hal itu tentunya tidak mudah dilaksanakan. Beberapa hal pokok yang perlu
diperhatikan dalam melakukan proses itu antara lain adalah :
1) Di kawasan itu harus ada air yang dapat dimanfaatkan untuk irigasi.
2) Di kawasan tersebut harus ada lahan yang miring sehingga dapat dibuat sawah yang
bertingkat.
3) Melaksanakan kegiatan RRA (Rapid Rural Appraisal) di kawasan tersebut.
4) Melaksanakan kegiatan PRA (Participatory Rural Appraisal) di kawasan itu.
5) Memperhatikan dengan cermat elemen-elemen matrik.
5.2 Derajat Kepekaan atau Dominansi/Ranking Elemen-elemen Sistem Subak
Sebagai suatu alat maka teknologi tentu memerlukan persyaratan tertentu untuk
dapat dimanfaatkan secara optimal. Sistem subak memerlukan persyaratan tertentu untuk
dapat ditransformasi dan kemudian dapat dimanfaatkan secara optimal. Persyaratan tersebut
berdasarkan pada fenomena eksistensi sistem subak yang dipandang sebagai sistem
teknologi yang telah menjadi kebudayaan masyarakat.

Kritik :
Dalam perembangannya sistem irigasi subak tampaknya mengalami proses
transformasi. Meskipun THK adalah suatu konsep yang didasarkan pada ajaran agama,
namun implementasi dari THK yang terkandung dalam sistem subak di Bali adalah konsep
yang dapat diterapkan dan merupakan nilai yang universal bagi seluruh lapisan masyarakat.

Saran :
Kurang baiknya kondisi subak untuk ditransformasi mungkin karena harapan ideal
dari petani atau masyarakat di subak tersebut jauh dari kenyataan yang kini dihadapi oleh
petani yang bersangkutan. Untuk menimbulkan rasa adil maka dalam pengelolaan irigasi
bagi anggota subak, maka anggota subak mengadakan perubahan dalam standar perhitungan
ayahan.
VI
ESENSI SUBSTANSI TRANSFORMASI SISTEM IRIGASI SUBAK

6.1 Esensi Substansi


1. Subak sebagai suatu sistem irigasi merupakan teknologi yang sepadan bagi anggota
subak yang bersangkutan.
2. Pemahaman terhadap keserasian hidup dalam membuat bangunan fisik an jaringan
fisik irigasi diwujudkan antara lain dalam bentuk :
a. Bendung diletakkan di ujung tikungan sungai dengan pintu sadap di bagian
sisi luar tikungan
b. Bendung dan pintu sadap dibuat permanen dengan memanfaatkan bahan
bangunan setempat
c. Pintu sadap pada bangunan bendung berukuran sebanding dengan luas lahan
yang diairi, namun ukurannya tidak lebih besar dari debit saluran sungai.
d. Trowongan dibuat sebanding dengan rata-rata tinggi badan anggota subak
dengan bentuk bagian atas melengkung.
e. Saluran dibuat dengan ukuran pembagian air secara proporsional, tidak
diplester, dilengkapi dengan saluran drainasi dan dengan percabangan numbak,
dengan tujuan menambah pasok air
f. Bangunan pembagian air dibuat tidak permanen, proporsional dan diletakkan
di hulu dari areal sawah.
g. Saluran drainasi pada setiap blok/komplek persawahan milik petani petani
dibuat terpisah dengan saluran suplesi.
3. Pemeliharaan dengan cara pengoperasian bangunan serta jaringan irigasi yang
berpedoman pada keserasian hidup sesuai THK diwujudkan dalam bentuk :
a. Pemeliharaan jaringan irigasi di awal musim hujan.
b. Pemeliharaan dan pemeriksaan kefungsian bangunan.
c. Pedoman pengoperasian jaringan dibuat tertulis.
4. Masyarakat anggota subak memahami dan menghayati keunggulan dan kelemahan
sistem irigasi yang dimilikinya.
5. Untuk menjaga kelestarian daya dukung lingkungan, suatu subak tertentu bergabung
dengan subak lain disekitarnya yang memiliki kaitan jaringan irigasi untuk membuat
suatu wadah koordinasi dan melakukan kesepakatan-kesepakatan tentang pola tanam,
jadwal tanam, serta saling pinjam air.
6. Karena sistem irigasi subak merupakan suatu teknologi sepadan maka sistem irigasi
subak bersifat memiliki peluang untuk ditransformasikan ke wilayah lain, sejauh nilai-
nilai kesepadanan teknologi yang dimiliki dapat terpenuhi dan lain-lain.
6.2 Beberapa Tindak Lanjut
1. Dalam proses pelaksanaan transformasi sistem subak ke wilayah lain maka
masyarakat diwilayah yang bersangkutan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
2. Guna mengakomodasikan kemungkinan munculnya konflik penggunaan air, konsep
THK yang mengendapkan harmoni dan kebersamaan dalam memecahkan masalah,
kiranya dapat diadopsi sehingga konflik sosial sejauh mungkin dapat diakomodasikan.
3. Terhadap asumsi-asumsi yang dikemukakan, kiranya perlu diadakan kajian dan
penelitian lebih lanjut sehingga dengan demikian proses pelaksanaan transformasi sistem
subak dapat dilaksanakan dengan cermat dan seksama.

Kritik :
Sistem irigasi subak merupakan suatu teknologi sepadan, maka sistem irigasi subak
bersifat memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lainnya sejauh nilai-nilai
kesepadanan teknologi yang dimiliki dapat terpenuhi. Namun nilai peluang transformasi
yang didapat sangat rendah yang disebabkan karena kesepadanan teknologi dalam bentuk
fisik dari subak terganggu dengan tidak diikuti oleh kesepadanan dalam bentuk sistem
sosial dan pola pikir masyarakat.

Saran :
Sebaiknya apabila terjadi perubahan fisik pada sistem irigasi itu, harus dibarengi
oleh kesepadanan dalam bentuk sistem sosial dan pola pikir masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai