Anda di halaman 1dari 6

Polri dan Pembangunan 

Kemitraan
January 20, 2010 in Hankam

Tahun 2010 ini merupakan tahun terakhir bagi Polri dalam menjalani Tahap Pertama dalam
strategi besar (Grand Strategi) Polri 2005-2025. Tahap pertama ini merupakan upaya Polri dalam
membangun kepecayaan (Trust Building) masyarakat sebagai upaya untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat dalam menjalani tugas dan fungsinya secara professional. Tahun ini
juga harus dimaknai sebagai evaluasi ke internal Polri bila melihat dinamika opini masyarakat
kepada Polri. Sekedar contoh misalnya tahun 2009 lalu adalah tahun terberat bagi Polri, selain
menuai keberhasilan dalam berbagai bidang, khususnya pemberantasan terorisme dengan
menembak mati gembong teroris paling dicari Noordin M. Top. Polri juga dihadapkan pada
dilemma pemberantasan korupsi dan permainan politik tingkat tinggi; kasus pembunuhan
Nazrudin Zulkarnaen yang melibatkan Ketua KPK non aktif, Antasari Azhar, konflik dengan
KPK serta penyelesaian kasus Bank Century, yang diduga melibatkan lingkaran dekat Istana.
Kondisi tersebut setidaknya menjadi cermin bahwa secara umum pembangunan kepercayaan
masyarakat selama lima tahun berjalan belum berjalan efektif. Hal ini akan mengganggu pada
penahapan berikutnya dalam Strategi Besar, dimana pada tahap kedua; Pembangunan kemitraan
(Partnership Building) menjadi agenda berikutnya.

Namun demikian, patut diapresiasi oleh publik proses yang dijalani oleh Polri untuk bersiap
menjalani tahapan berikut dari strategi besarnya. Meski beberapa program bukan sesuatu yang
baru, yakni: Pertama, mengijinkan anggota Polri menjadi ketua RT/RW di lingkungan rumahnya,
bandingkan misalnya dengan TNI yang membolehkan anggotanya menjabat berbagai posisi dari
mulai tingkat RT hingga tingkat kenegaraan sejak tahun 1966 dengan metode Dwi Fungsi TNI-
nya.

Kedua, pelayanan kepolisian yang makin dekat dengan masyarakat seperti Layanan SIM Corner,
SIM keliling, serta berbagai pendekatan yang memungkinkan pelayanan kepolisian makin
efektif. Di samping itu, keberadaan pos-pos kepolisian juga menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari upaya makin mendekatkan pelayanan kepolisian kepada masyarakat.

Ketiga, memperefektif hukuman dan penghargaan kepada anggota. Sekedar catatan, di wilayah
Jawa Barat saja pada tahun 2009, ada puluhan anggota Polri yang dipecat dengan tidak hormat
karena terlibat berbagai kasus criminal dan asusila, dan ratusan anggota Polri yang mendapatkan
hukuman indisipliner. Langkah tersebut salah satunya bagian dari upaya untuk membangun
sosok anggota Polri yang humanis dan mengayomi.

Keempat, melikuidasi Kepolisian Wilayah (Polwil) yang efektif berjalan pada tahun 2010 ini.
Secara bertahap beban Kesatuan Operasional Dasar (KOD) akan sepenuhnya berada di
Kepolisian Resort (Polres). Penghapusan Polwil ini juga sejalan dengan kebijakan Mabes Polri
untuk memperkuat basis kepolisian yang sejalan dengan administrative pemerintahan. Namun
ada sedikit catatan dari kebijakan ini, selain secara administrative juga mengundang
permasalahan, juga berbagai kemungkinan ekses negative yang mengikutinya. Sekedar ilustrasi
di Polda Jawa Barat ada lima Polwil, bila ada kurang lebih 500 sampai 750 personil Polri, dan
puluhan hingga ratusan PNS di tiap Polwil, maka proses mutasi dan perpindahannya sedikit
banyak akan menginterupsi proses penyebaran dan mutasi anggota di Polda sebagai Satuan
Induk Penuh (SIP), maupun Polres sebagai KOD.

Ekses ini harus menjadi bagian yang harus dipikirkan secara serius oleh Mabes Polri, karena
akan mengganggu berbagai program Polri secara keseluruhan apabila tidak berjalan sesuai
dengan rencana. Sebab bukan tak mungkin penghapusan Polwil ini juga akan menjadi masalah
internal yang menghadang program-program Polri ke depan.

Kemitraan dan Opini yang Belum Berubah

Terlepas masih adanya berbagai masalah terkait dengan kinerja Polri serta masih buruknya
pencitraan Polri, terutama setahun terakhir, namun upaya membangun kemitraan harus tetap
menjadi agenda Polri secara serius. Pengkondisian awal di tahun 2010 setidaknya akan
memberikan landasan yang kokoh bagi pijakan untuk program tahap kedua; Pembangunan
Kemitraan. Setidaknya ada tiga agenda penting yang harus menjadi perhatian Polri terkait
dengan Pembangunan Kemitraan ini. Pertama, Polri harus secara bertahap memperbaiki
kehumasannya, di semua level, dari polsek hingga Mabes Polri. Harus diakui bahwa kegagalan
Polri menjaga agar citranya berada di level baik adalah karena kinerja kehumasannya yang tidak
mampu membangun pencitraan yang bersifat pembuktian. Justru yang terjadi malah membangun
opini balik yang akhirnya memosisikan Polri pada situasi sekarang; pencitraan Polri yang belum
baik di mata masyarakat. salah satu kasus yang membuat Polri jadi sasaran empuk kemarahan
masyarakat adalah dimunculkannya istilah Cicak versus Buaya, dalam kasus Polri dengan KPK
beberapa waktu lalu.

Kedua, mengintensifkan program Perpolisian Masyarakat (Polmas). Terlepas bahwa secara


kebijakan program Polmas berjalan dengan baik, namun implementasi di lapangan berjalan
lamban. Para kepala KOD maupun level ujung tombak di Polsek lebih mendahulukan
penyelesaian kasus-kasus dari pada mengimplementasikan program Polmas, karena lebih terukur
dan jelas,dari pada program Polmas yang mungkin baru dirasakan beberapa tahun kemudian
efeknya. Sehingga tak heran upaya membangun kemitraan lebih menggunakan pendekatan
hukum dari pada pendekatan sosiologis masyarakat.

Ketiga, mengimplementasikan kebijakan Local Boy for Local Job secara massif, tidak terbatas
hanya pada level pertama dan bintara saja, melainkan juga pada jabatan untuk perwira menengah
dan tinggi setingkat Kepala Biro ataupun Kapolres/ta dan Polda. Hal ini untuk segera
mengintensifkan pendekatan kemasyarakat secara massif pula. Sebab dalam banyak kasus
pendekatan yang dibangun selalu dalam mekanisme formal, yang implementasinya tidak berjalan
simultan.

Dengan tiga agenda penting tersebut di atas, upaya Polri membangun landasan yang kokoh bagi
pembangunan kemitraan akan memberikan efek positif. Setidaknya diawali dengan terbangunnya
pencitraan Polri yang baik di mata masyarakat. Tanpa hal tersebut, hampir dipastikan Polri akan
menghadapi permasalah yang sama, dan terjebak dalam kubang pencitraan yang negative,
semoga tidak!!!
olri dan Sloganisme
July 9, 2010 in Hankam

Di usianya yang ke-64 tahun, Polri masih berkutat dengan masalah pencitraan dan penilaian
publik yang kurang baik. Padahal tahun 2010 ini adalah tahun terakhir dari tahap pertama Grand
Strategi Polri, yakni Membangun Kepercayaan. Masih belum baiknya kepercayaan publik
terhadap Polri tidak berdiri sendiri, melainkan ada kontribusi yang besar dari internal Polri.
Situasi ini memang disikapi oleh Polri dengan adanya berbagai program yang berkaitan dengan
upaya membangun pencitraan yang baik di mata masyarakat.

Berbagai program mulai dari Perpolisian Masyarakat (Polmas), pelayanan SIM dan STNK yang
cepat dan nyaman hingga penyelesaian kasus yang lebih singkat dan tanpa pungli dibuat oleh
Polri. Nyatanya pencitraan Polri belum beranjak baik, bahkan di tengah opini negatif publik,
Kapolri mengeluarkan empat program unggulan (Quick Win) Polri. Program Quick Win ini
meramu semua permasalahan yang berkaitan dengan keluhan-keluhan yang berkembang di
masyarakat, mulai dari meminimalisir pungli di jalanan, pembuatan dokumen kendaraan,
penyidikan, dan rekrutmen yang terbuka. Namun harus diakui bahwa program Quick Win secara
institusi belum mampu memberikan efek yang positif bagi Polri. Bahkan cenderung program
yang dikembangkan tersebut hanya bersifat sloganistis, nyatanya praktik pungli dan
penyimpangan berkaitan dengan pelayanan Polri masih berlangsung hingga saat ini. Meski harus
diakui bahwa ada berbagai perbaikan dalam pelayanan, namun tidak terlalu signifikan bagi
perbaikan citra Polri di masyarakat.

Ada asumsi yang salah di pimpinan Polri berkaitan dengan masih belum baiknya pencitraan Polri
di mata publik. Pimpinan Polri berpikir bahwa masalah pencitraan akan selesai dengan
meluncurkan berbagai program yang terkait dengan pelayanan publik tanpa ada pengawasan
yang efektif. Mengharapkan pengawasan yang melekat pada pimpinan di masing-masing tingkat
kepolisian adalah sebagai langkah yang tidak tepat. Setidaknya bila dihubungkan dengan masih
maraknya penyimpangan dan praktik yang melanggar norma-norma hukum dan kepatutatan di
berbagai struktur mulai tingkat Satuan Induk Penuh (SIP) yakni Polda maupun Kesatuan
Operasional Dasar (KOD) yakni Polres, dan ujung tombak operasional Polri, Polsek.

Sloganisme dan Pencitraan

Keberadaan berbagai program yang digulirkan oleh pimpinan Polri untuk mendongkrak citra
baik Polri di masyarakat harus dimaknai sebagai niat baik Polri. Ada keinginan untuk melakukan
perbaikan dan perubahan, meski tak dapat ditampikkan bahwa keberadaan program tersebut
belum mampu memosisikan citra baik Polri di mata publik. Berbagai program tersebut pada
dasarnya baik, hanya saja implementasinya tidak seperti yang diharapkan. Situasi ini pada
akhirnya memosisikan Polri masih bercitra kurang baik di mata publik.

Keberadaan berbagai program tersebut membutuhkan prasyarat-prasyarat yang akan


memuluskan jalan bagi berjalannya program-program tersebut agar tidak hanya sebatas
sloganisme dan tidak menyelesaikan permasalahan. Adapun prasyarat tersebut adalah sebagai
berikut: Pertama, program-program tersebut harus merupakan hasil dari kajian-kajian yang
mendalam di internal Polri. Hal tersebut dimungkinkan agar program tersebut dapat terukur
dalam program, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan yang efektif.
Telah menjadi rahasia umum bahwa program-program yang dikeluarkan oleh pimpinan Polri
hanya berdasarkan pada asumsi-asumsi yang bersifat elitis dan tidak membumi. Sehingga, pada
pelaksanaan dan pengawasannya tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Kedua, program-program yang dikeluarkan oleh pimpinan Polri harus benar-benar


memperhatikan dinamika masyarakat dan tersosialisasi dengan baik kepada pimpinan Polda,
Polres, dan Polsek. Selain masalah pelayanan Polri yang terkait dengan pembuatan dokumen
kendaraan, juga masalah penanganan kasus harus menjadi catatan penting bagi pimpinan Polri.
Anggaran penanganan kasus yang terbatas dari anggaran APBN yang berkisar antara 4 juta
hingga 12 juta perkasus membuka ruang bagi terjadinya jual beli kasus. Hal tersebut
memosisikan pimpinan kepolisian setempat untuk melanggar berbagai aturan guna memenuhi
anggaran operasional penanganan kasus. Situasi ini tentu saja membuat para pimpinan di Polda,
Polres, maupun Polsek pada akhirnya terperangkap pada transaksi haram dan tidak sepatutnya,
baik dengan kepala daerah, masyarakat dengan agenda tersembunyi, maupun pengusaha hitam.

Ketiga, dikeluarkannya program dan kebijakan yang terkait dengan hal tersebut harus benar-
benar ditopang oleh sosialisasi dan pemenuhan fasilitas pendukung. Sebab tanpa hal tersebut,
program-program yang ada hanya akan menjadi lahan baru bagi maraknya penyimpangan yang
akan membenamkan pencitraan Polri di mata masyarakat. Sekedar ilustrasi misalnya, Mabes
Polri telah memiliki Assesment Center di luar Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi
(Wanjakti) Mabes Polri yang akan memberikan penilaian dan rekomendasi kepada Kapolri
berkaitan dengan pengisian posisi di lingkungan Polri. Akan tetapi, keberadaan Assesment
Center tersebut disinyalir hanya akan menambah daftar panjang maraknya pungli dan jual beli
jabatan di internal Polri, karena belum jelasnya mekanisme.

Keempat, terlepas dari perdebatan belum adanya mekanisme pengawasan dan kendali terkait
dengan operasional Polri di tingkat Polda, Polres, dan Polsek, maka dibutuhkan semacam
penegasan yang tidak dapat ditunda lagi. Pilihannya hanya ada dua: merevitalisasi keberadaan
Kompolnas dan mengupayakan pembentukannya hingga tingkat daerah, atau meminta DPRD
setempat menjalankan fungsi pengawasannya. Bagi Polri yang merupakan kepolisian nasional,
akan lebih mudah mengusulkan penguatan peran dan fungsi Kompolnas hingga ke daerah
daripada meminta DPRD setempat melakukan pengawasannya.
Dari empat prasyarat tersebut, akan ada korelasi antara program yang dibuat dengan peningkatan
pencitraan Polri di mata masyarakat. Sebab, ada komprehesifitas antara program yang dibuat,
kesiapan anggota Polri dalam implementasinya, dengan tingkat kepuasan publik. Tanpa
prasyarat-prasyarat tersebut di atas, maka setiap program yang digulirkan oleh Polri akan
direspon negatif oleh masyarakat. Dan ujung-ujungnya program-program tersebut hanya bersifat
sloganisme dan tidak benar-benar memberikan kontribusi terhadap perbaikan pencitraan Polri.
Dirgahayu Polri ke-64!!!
Susno dan Wajah Polri
April 21, 2010 in Hankam

Langkah Mabes Polri menangkap Susno Duadji (SD) di Bandara Soekarno-Hatta yang hendak ke
Singapura dalam rangka berobat makin menegaskan bahwa internal Polri sudah tidak lagi dapat
mentolerir sejumlah pernyataan SD terkait dengan maraknya praktik penyimpangan dan Makelar
Kasus di Polri. Penangkapan tersebut juga dapat diasumsikan sebagai bentuk penolakan Polri
untuk membuka dan memproses berbagai kasus yang diungkap oleh SD tersebut. Dengan kata
lain, pimpinan Polri merasa bahwa dengan menangkap SD maka setidaknya guliran tuntutan agar
Polri lebih responsive terkait dengan sejumlah praktik penyimpangan dan adanya ‘Markus’ di
Polri, sebagaimana pernyataan SD dapat teredam dengan sendirinya.
Namun, logika pimpinan Polri tersebut ternyata salah, guliran dan dukungan, serta simpati
berbagai kalangan kepada SD justru makin kuat. Hal ini mencerminkan kepanikan pimpinan
Polri terhadap kemungkinan efek yang lebih besar dari sekedar memberantas praktik
penyimpangan dan’Markus’ di institusinya. Indikasinya, satu persatu elit pimpinan Polri
diindikasikan terlibat dalam praktik-praktik tersebut, baik yang masih menjabat maupun yang
akan dan atau telah pensiun.

Implikasi negative yang langsung menerpa Polri adalah pencitraan Polri yang makin kurang baik
di mata publik. Setelah ramai oleh kisruh dengan KPK; Cicak Versus Buaya, berlanjut dengan
pemecatan SD dari Kabareskrim, hingga maraknya kasus Makelar Kasus (Markus) yang
memosisikan SD berhadap-hadapan dengan institusinya. Hal yang menarik sesungguhnyaadalah
sikap pimpinan Polri yang ditunjukkan dengan melakukan pendekatan kekuasaan terhadap SD.
Terlepas bahwa SD memiliki motif yang lain, namun apa yang dilakukan SD dengan
membongkar berbagai penyimpangan dan adanya ‘Markus’ di Polri harus tetap diapresiasi oleh
publik. Di sinilah ketidakjelian pimpinan Polri dalam menyikapi berbagai pernyataan SD terkait
dengan penyimpangan dan adanya ‘Markus’ di lingkungan Polri. Sehingga kasus tersebut
menjadi tidak lagi menjadi domain internal Polri; pimpinan Polri versus SD, tapi telah
menggurita dan dimanfaatkan berbagai pihak.

Buruk Muka Cermin Dibelah

Dalam logika publik, sesungguhnya ada harapan kepada Polri saat SD memaparkan tentang
praktik penyimpangan dan adanya ‘Markus’ di penegak hukum tersebut. Akan tetapi, justru
langkah-langkah yang diambil pimpinan Polri berlawanan dengan ekspektasi publik. Berbagai
cara dilakukan guna membungkam dan menyempitkan ruang gerak SD, dari mulai dugaan
adanya pelanggaran administratif, indisipliner, hingga mengkriminalisasikan SD. Kebijakan
tersebut pada akhirnya membuat SD makin didukung publik dan kasus ‘Markus’ menjadi bagian
dari episode konflik di internal Polri.

Namun demikian, agaknya pimpinan Polri tidak belajar dari masa lalu berkaitan dengan adanya
fenomena perwira yang berupaya membongkar berbagai kasus di institusinya. Hal yang
membedakan adalah reaksi dari pimpinan Polri untuk segera menindaklanjuti berbagai dugaan
penyimpangan tersebut. Sebut saja Awaloeddin Djamin, ketika menjadi Kapolri menangkap dan
memenjarakan seorang deputinya, Komjen. Iswadji, karena terbukti melakukan korupsi di Mabes
Polri. Atau misalnya Komjen. Sujitno Landung yang merasakan dinginnnya penjara karena
penyalahgunaan wewenang. Harapan publik sebenarnya kepada Bambang Hendarso Danuri
(BHD) adalah setidaknya menindaklanjuti hal tersebut, kemudian membongkar berbagai dugaan
kasus penyimpangan.

Langkah yang berlawanan dengan harapan publik oleh pimpinan Polri menimbulkan pertanyaan
dan berbagai kemungkinan. Setidaknya ada tiga kemungkinan: Pertama, pimpinan Polri
menyadari bawa jika kasus ‘Markus’ini dibongkar, maka akan banyak perwira tinggi yang
terlibat dan dipidanakan. Sehingga akan lebih baik mengorban SD seorang. Kedua, adanya
konflik antara Kapolri dan sejumlah Pati dengan SD berkaitan dengan suksesi di Polri.
indikasinya, upaya yang dilakukan tidak berdasarkan pada etika kepegawaian, melainkan upaya
mencari-cari kesalahan. Dan ketiga, pimpinan Polri menduga bahwa SD dikendalikan oleh
kelompok yang tidak menginginkan agar Polri mandiri dan professional. Sehingga, dengan
mengorbankan SD seorang, maka upaya untuk menghancurkan citra Polri dengan sendirinya
terhenti

Meski ketiga kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi, namun dengan dalih apapun
seharusnya pimpinan Polri mampu menjaga agar citra Polri tidak lagi babak belur karena
berbagai prilaku menyimpang. Artinya dengan menindaklanjuti berbagai pernyataan SD tersebut,
setidaknya publik akan menilai sejauhmana keseriusan pimpinan Polri untuk menjaga agar wajah
Polri tetap baik di mata publik. Bukan justru mengorbankan anggota terbaiknya demi menjaga
agar soliditas internal Polri dapat lebih baik, namun berhadap-hadapan dengan masyarakat.
Karena cepat atau lambat, apa yang diupayakan untuk disembunyikan oleh pimpinan Polri
sehubungan dengan berbagai penyimpangan dan kasus ’Markus’ akan terkuak juga. Disinilah
citra dan kredibilitas Polri dipertaruhkan.

Karena itu satu-satunya pilihan bagi pimpinan Polri adalah menindaklanjuti semua dugaan
penyimpangan dan maraknya kasus ‘Markus’ tersebut. Serta perlakuan yang layak kepada SD
adalah bentuk penghargaan terhadap ekspektasi publik. Dengan begitu wajah Polri akan tetap
manis dan enak dilihat!

Anda mungkin juga menyukai