Suara yang mirip lengkingan teromper itu terus mengalun sepanjang hari. Orang-orang di
seluruh negeri, semua dapat mendengarnya dengan jelas. Mereka saling berkomentar satu sama
lainnya. Berbagai macam pendapat bermunculan di seluruh pelosok kota dan desa, orang-orang
“Waspadalah, berjaga-jagalah, jangan terlena !” Teriak seorang rahib yang berkepala botak
di jalan-jalan utama negeri. Jubah hitamnya yang usang dan kumal berdebu terlihat melambai di
“Lebih baik kita dengarkan apa kata suara terompet yang tengah memanggil-manggil itu.”
Hanya orang-orang tuli di kota yang mau mendengarkan rahib tua kumal itu berbicara. Gadis-
“Jangan terlena oleh buaian terompet sang penyihir !” Teriak rahib kumal itu sambil
mengangkat tangan kanannya ke arah langit. Saat itu justru aku melihat sosoknya sebagai sosok
seorang penyihir seperti yang terlukis dalam kitab-kitab tua kakekku yang sudah meninggal tahun
Suara yang mengalun di langit negeri seperti bunyi terompet itu muncul tepat ketika
matahari pagi hari pertama bulan ini mulai terbit. Orang-orang tidak bisa memastikan dari
manakah sebenarnya asal suara itu. Burung-burung berhenti berkicau, mereka takut pada suara
“Suara itu datang dari seberang lautan, dari dunia beru !” Kata pamanku.
“Tidak. Ia muncul dari arah matahari !” Bantah ayahku sambil mengelus-elus cambangnya
yang lebat. Aku sendiri lebih yakin bahwa suara itu berasal dari dalam perut bumi.
1
Teka-teki tentang darimana datangnya suara itu tak bisa terpecahkan. Namun orang-orang
mulai berhasil mengartikan suara itu menurut pendapat mereka masing-masing. Mereka saling
“Itu sebuah panggilan dari dunia baru !” Kata seseorang yang memakai baju zirah tebal,
ketopong besinya berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Ditangan kanannya tergenggam erat
sebuah tombak tajam. Ia berhasil mengumpulkan orang-orang yang sependapat dengan dirinya.
Beberapa orang dari mereka mempunyai mata yang keemasan warnanya, beberapa lagi
mempunyai lidah dan telinga berwarna keemasan. Masing-masing orang menggenggam sebilah
pedang tajam.
“Kibarkan bendera hitam. Kita akan berlayar !” Teriak seseorang diantara mereka.
Rambutnya yang panjang berkibar-kibar diterpa ngin. Aku melihat mereka dengan perasaan
Ayahku membeli seragam prajurit yang berwarna kuning dan biru. Ia telah memutuskan
untuk bergabung dengan para penjelajah yang bermata keemasan. Ibuku terlihat sangat bahagia,
walau dalam bola matanya tampak olehku adanya kekhawatiran yang terpendam. Suara lonceng
“Apa kau akan pulang lagi padaku ?” Keluh ibuku sambil memegangi lengan Ayah erat-
erat.
“Tentu saja. Aku pergi untuk mencari matahari. Lihatlah gubuk kita ini, bukankah sudah
saatnya diterangi ? Dan suara itu telah menunjukkan padaku apa yang harus kulakukan. Lihatlah
Ibu melepas kepergian Ayah dengan air mata yang tertahan. Aku justru merasa bangga
melihat Ayah memakai topi berkilat dan baju yang penuh rumbai-rumbai. Suasana kota masih
dicekam suara aneh yang menurut Ayah datang dari arah matahari terbit. Dan satu-satunya tempat
2
yang paling ribut menurutku adalah pelabuhan. Kapal-kapal dihiasi dengan berbagai macam
warna yang mencolok, sementara suara aneh itu terus terdengar sepanjang hari.
“Saudara-saudara sekalian, hari ini kita akan memulai pelayaran kita menuju selatan.”
Teriak seseorang yang mengenakan baju kebesaran kerajaan. Terdengar suara gumaman-
“Bukankah ke utara tujuan kita ?” Teriak seseorang yang mengenakan jubah hitam. Suara
“Tidak. Kita akan berlayar ke barat !” Teriak seorang yang lain lagi.
“Kawan-kawan, ke matahari terbitlah kita menuju !”Tiba-tiba terdengar suara Ayah diantara
“Suara itu mengatakan padaku sebagai utusan raja dan pemimpin kalian disini bahwa kita
“Apa maksud kalian dengan kami ? Aku tidak akan ke utara. Aku akan pergi ke barat.”
“Kawan-kawan, tenanglah. Suara itu telah mengatakan agar aku pergi ke tempet matahari
terbit. Namun walau begitu, bila diantara kita saling berbeda pendapat, apakah tidak lebih baik
“Betul. Usul yang bagus sekali ! Ayo, siapa ikut aku ke utara ?”
“Siapa ke barat ?”
“Empat buah kapal mulai mengembangkan layar utama mereka. Aku berdiri di dermaga
memandang kapal-kapal mereka perlahan-lahan menjadi semakin kecil dan akhirnya lenyap
ditelan cakrawala. Angin bertiup kencang. Aku memegangi topiku agar tidak terbang tertiup
angin. Suara aneh yang mirip terompet itu masih terdengar. Kini aku mendengarnya seolah-oleh
3
datang dari arah timur. Tiba-tiba aku melihat sesosok bayangan berlari tergopoh-gopoh datang ke
dermaga sambil terengah-engah.aku menyembunyikan tubuhku dibalik sebuah tong besar yang
berwarna hitam dan mengawasi orang itu dengan perasaan heran. Orang itu bertubuh kurus dan
rambutnya kusut acak-acakan tertiup angin laut. Ia mengeluh sendirian, mencari-cari sesuatu,
sementara tangannya menggenggam sebuah benda bulat yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Terlambat. Benar-benar terlambat !” Keluh orang itu sambil jatuh terduduk di dermaga
yang kotor. Benda bulat digenggamannya terlepas dan menggelinding ke arah tong tempat aku
bersembunyi. Secara reflek kutangkap benda itu sebelum ia masuk ke selokan kotor disebelahku.
“Hai, siapa itu disana ?” Suara orang berambut kusut itu mengagetkan aku. Aku ingin lari,
namun benda aneh di tanganku seolah menjadi beban yang amat berat yang mampu mencegahku
untuk melarikan diri. Orang itu melangkah kearahku. Tatapan matanya kosong seperti mata orang
mati. Ia menatap benda miliknya yang tengah tergenggam di tanganku yang gemetar. Suara aneh
“Saya anak seorang penjelajah yang menuju ke timur.”Jawabku dengan suara yang masih
gemetar.
“Kasihan ? Kenapa ?”
“Karena para penjelajah hanya bisa pulang bila mereka dibimbing oleh alat yang tengah
Seolah-olah aku merasa bahwa benda dalam genggamanku ini mengeluarkan sebuah suara.
Suara yang sama bunyinya dengan suara aneh yang terus terdengar dilangit negeri ini sepanjang
4
hari. Aku mengamati benda bulat itu dan melihat ada sebuah jarum berwarna merah dan hitam
yang selalu bergoyang dan terlindungi oleh bingkai kaca yang keras.
“Itu adalah sebuah petunjuk arah, yang menunjukkan arah timur, barat, utara dan selatan.
Tanpa alat itu para penjelajah akan kehilangan arah, dan mereka tak akan pernah bisa pulang ke
rumah.
“Tapi disetiap perahu berdiri seorang rahib yang akan selalu menunjukkan arah bagi para
penjelajah.”
“Arah yang ditunjukkan oleh seorang rahib adalah arah yang ditunjukkan oleh kitab-
kitab Tuhan. Apakah Tuhan memberi tahu para rahib itu, yang manakah timur, barat, utara
atau selatan ?”
“Itulah Nak, Tuhan tidak pernah menunjukkan arah tertentu bagi para rahib. Satu-satunya
arah yang Ia tunjukkan adalah arah menuju kebenaran sejati. Kitalah yang mencari arah tujuan
“Jadi, alat ini menunjukkan arah yang berlawanan dengan arah yang dimaksudkan oleh
Tuhan ?”
“Demikianlah nak, namun bagaimana pun juga alat ini sangat diperlukan dalam suatu
pelayaran duniawi, walau tidak berati banyak jika dipergunakan dalam suatu pelayaran ruhani.”
“Aku membuatnya. Aku mencoba menterjemahkan suara terompet itu lewat tangan dan
Kuserahkan kembali alat aneh itu pada orang yang berambut kusut acak-acakan itu sambil
bertanya-tanya dalam hati, apakah aku bisa menjadi sepandai orang itu dalam mengartikan suara
5
yang terus terdengar itu. Senja mulai menjelang, dan orang itu mengajakku untuk pulang ke
rumahnya. Ia ingin mengajari aku banyak hal tentang sesuatu yang tak pernah aku ketahui
sebelumnya. Ia melihat dalam sorot mataku ada tatapan seorang murid disana.
“Tapi saya merasa bodoh, dan Ibu pasti akan menangis menunggu saya pulang.”
“Kamu akan menjadi pintar, dan soal Ibumu, biar aku yang mengurusnya.”
Akhirnya aku pun tanpa banyak bertanya ikut kerumah orang yang berambut kusut dan
acak-acakan itu.
Tahun demi tahun berlalu, aku sudah semakin lupa pada Ibuku, teman-temanku dan
semuanya. Yang selalu teringat oleh diriku justru kenangan saat kapal yang ditumpangi oleh Ayah
hilang ditelan cakrawala. Suara yang aneh itu masih tetap terdengar di langit tanpa sekejap pun
berhenti. Guruku si orang berambut kusut itu telah meninggal tahun yang lalu, saat terdengar
kabar bahwa dua kapal yang berangkat dari negeri ini saling bertabrakan dan tenggelam di tengah
lauta. Dua kapal itu adalah kapal yang bertolak menuju ke arah utara dan selatan. Yang tersisa
hanya secarik pesan yang dimasukkan ke dalam sebuah botol anggur yang tertutup rapat. Pesan
itu berbunyi, ‘Para rahib telah menipu arah dan tujuan kami.’ Ketika membaca pesan itu, guruku
yang sehari-harinya selalu bermata sendu tiba-tiba terbelalak dan berteriak, “Aku gagal ! Aku
telah gagal !”, dan kemudian tergeletak kejang dan kaku di lantai kayu. Segera kusuruh orang-
orang menguburkan jasadnya yang cepat sekali membeku. Kulihat Ibuku juga hadir pada upacara
pemakaman guruku itu. Suara aneh itu tetap terdengar mengiringi hilangnya jasad guru ditelan
bumi. Kemudian aku diminta oleh orang-orang untuk menjelaskan apa yang telah terjadi, dan aku
“Saudara-saudara sekalian telah terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan bagi negeri
kita. Dua kapal kita yang bertabrakan dan tenggelam ke dasar lautan telah membawa korban juga
ditempat ini. Saudara-saudara, orang yang kita kuburkan dalam peti mati berlapis perak ini adalah
6
penemu penunjuk arah duniawi yang diperuntukkan bagi kapal-kapal kita. Ia bukanlah rahib yang
tidak tahu arah utara dan selatan sehingga dua kapal kita saling bertabrakan.” Aku melanjutkan
“Orang ini meninggal secara mendadak karena ia merasa bersalah. Ia merasa bersalah
karena kedua kakinya tak mampu berlari lebih cepat dari pikirannya sebelum kapal-kapal itu
“Persetan !” Sebuah suara tiba-tiba terdengar keras dari arah kerumunan orang-orang.
Mataku mencari-cari siapa yang telah berteriak sedemikian kerasnya sehingga suara langit yang
“Kau utusan setan !” Teriakan itu terdengar lagi. Mataku segera dapat mengenalinya !
Rahib kumal itu ternyata. Orang-orang menyingkir, memberi ia jalan. Ia masih botak dan juga
menembus dua bola mataku. Jari-jariku berpegang erat pada meja mimbar.
“Turunlah kamu dari mimbar itu, hai orang mati !” Teriaknya padaku. Orang-orang
“Kalian adalah murid-murid si tukang sihir, kalian membahasakan suara terompet sang
penyihir !”
“Tapi tanpa pengartian kami pada suara terompet itu, akan ada lebih banyak kapal-kapal
yang bertabrakan ditengah lautan, dan bukankah rahib seperti andalah yang membuat dua kapal
“Aku tidak sama dengan mereka. Mereka adalah rahib-rahib dunia. Sedangkan aku turun
dari langit ! Aku tak akan pernah ikut berlayar dengan kalian. Karena kapalku ada dalam batinku
sendiri !”
7
“Bagaimana saya bisa membedakan anda dengan mereka ? Jubah anda sama bentuknya
dengan mereka, dan saya lihat jubah anda justru lebih kotor dari milik mereka.”
“Singkirkan dia yang mengganggu upacara suci ini !” Teriak seseorang dikerumunan.
Orang-orang pun mulai saling bergumam satu dengan yang lainnya dan semua pandangan benci
tertuju pada rahib kumal itu. Aku memandangnya dengan rasa kasihan.
Suara aneh yang mirip terompet itu terdengar semakin keras. Orang-orang menyeret jubah
“Diam kamu pengemis ! Mintalah Tuhan untuk menolong dirimu !” Teriak orang-orang
sambil terus menyeret rahib kumal itu ke arah dermaga. Dari atas mimbar pemakaman dapat
kulihat dengan jelas orang-orang tengah menenggelamkan rahib kumal itu ke laut yang gelap. Ia
tak muncul-muncul lagi dipermukaan, kupikir mungkin karena jubahnya terlalu berat. Sementara
orang-orang kembali berkumpul di depan mimbarku yang terbuat dari peti mati berwarna hitam.
“Aku akan menhgajarkan pada kalian cara berlayar yang baru. Pelayaran yang mempunyai
arah tujuan. Aku akan mengajari kalian bagaimana cara membuat gedung yang tinggi, lebih
tinggi dari awan diatas sana. Aku juga akan mengajarkan pada kalian cara menanam tulang-
tulang orang mati sehingga dapat tumbuh kemabali menjadi sebuah pohon yang berbuah emas
berlian. Aku akan mengajarkan pada kalian bagaimana cara menyirami tanah kita dengan darah,
agar semua yang ditanam dapat tumbuh dengan subur. Tapi yang terpenting dari semua itu
8
adalah, aku akan mengajarkan kalian bagaimana cara mengartikan suara terompet sang
penyihir !”
Orang-orang bersorak puas, langit dipenuhi suara sorak sorai yang tak henti-hentinya. Aku
tersentum sedih karena membayangkan guruku terbaring dibawah tanah sambil digerogoti
cacing-cacing. Siang itu mendung bergayut rendah diatas negeri, namun aku justru merasa
terlindungi dari terik matahari. Suara terompet itu masih terdengar, bahkan kini aku merasakan
adanya suatu kenikmatan tersendiri saat mendengarkannya, walaupun nadanya tak pernah
Tahun demi tahun berlalu lagi. Orang-orang sudah menyiapkan kapal baru untuk
penjelajahan baru. Rahib-rahib yang akan ikut dilarang keras menunjukkan arah pada awak
kapal. Gedung-gedung tinggi mulai bermunculan dinegeri ini sampai-sampai matahari seperti tak
terlihat lagi. Orang-orang merekam suara terompet sang penyihir dalam buku-buku dan syair-
syair mereka. Mereka khawatir bila suatu saat nanti suara yang telah mendarah daging dengan
mereka selama ini tiba-tiba lenyap. Aku rajin mengunjungi makam guruku yang kini telah dibuat
menjadi semacam kuil oleh masyarakat negeri ini. Orang-orang terlihat semakin berbahagia
walau sorot mata mereka tampak semakin dingin bagiku. Aku menghibur diriku dengan mencoba
melamar putri raja. Walau lamaranku ditolak, aku tak berputus asa, telah menjadi tekadku untuk
mengarungi samudra sebagai seorang penjelajah sejati seperti Ayahku dulu. Berbekal semua ilmu
dari guruku, aku pun mulai menyiapkan sebuah kapal besar yang kuisi dengan meriam yang
berjumlah seribu buah dan layar berukuran seribu meter persegi. Segera kutetapkan tujuanku ;
arah timur, tempat matahari terbit. Akan kucari Ayahku yang telah hilang entah kemana. Negeri
ini sudah habis, pepohonan hanya bisa menghasilkan emas dan berlian saja, dan orang-orang pun
mulai membutuhkan buah-buahkan untuk dimakan. Karena mereka tak bisa memakan emas dan
berlian.
9
Masyarakat negeri ini sangat takjub melihat kehebatan kapalku. Pengikutku yang berjumlah
seribu orang telah terlatih untuk mengenali arah mata nagin. Dada mereka yang bidang
terlindungi oleh pakaian besi baja yang tak tembus oleh gigitan singa sekalipun. Aku merasa
bangga. Suara terompet itu masih terdengar dilangit. Kulihat sekilas Ibuku diantara para
pengantar yang datang. Wajahnya pucat dan matanya semakin cekung. Segera kulambaikan topi
“Ahoi, siap berangkat !” Teriakku. Aku sekarang adalah nahkoda kapal penjelajah dunia
“Angkat jangkar !”
“Tembakkan meriam !”
Suara dentuman seribu meriam menggelegar memecah keheningan pagi. Asap mesiu
bergumpal-gumpal naik ke langit. Seragam para prajuritku berkilat-kilat terkena percikan api
“Hidup setan !”
Bendera hitam dikibarkan dan layar mulai dibentangkan. Ketika asap mesiu telah menipis dan
hilang, saat itulah aku melihatnya, sosok yang tak asing lagi bagiku. Ia berdiri tegak di ujung
haluan kapal mengenakan jubah kumal yang tertiup angin laut, putih tulang tanpa tanda-tanda
kehidupan. Tangan kanannya yang dulu selalu menunjuk kearah langit kini memegang sebuah
10
sabit besar bertangkai panjang. Orang-orang terkejut. Aku pun terkejut, namun degan nafas
Mereka bergegas menyeret tubuh itu ke dalam laut, namun kedua kakinya bagaikan besi
baja yang telah menancap kuat digeladak kapal. Tak ada seorang pun yang bisa memindahkan
dia.
“Rahib busuk, kenapa kau hidup kembali !” Umpatku. Orang-orang hanya memandangi
aku dengan ketakutan. Sementara suara terompet itu terus terdengar. Rongga matanya yang hitam
“Sudah, jangan pedulikan dia, kita berangkat sekarang juga, putuskan tali !”
orang-orang bersorak melepas kami pergi, mereka pun sepertinya sudah lupa pada
tengkorak yang ikut bersama kami di haluan kapal ini. Angin bertiup cukup kencang. Jubah
tengkorak rahib kumal itu berkibar-kibar tertipu angin. Anak buahku mulai tak peduli padanya.
Matahari semakin meninggi. Lautan tenang tak bergelombang. Kami berlayar menuju ke arah
timur dunia ini mencari asal suara terompet sang penyihir. Pedang tajamku berkilat-kilat teracung
11