Anda di halaman 1dari 48

Pengaruh politik konfrontasi terhadap sikap IMF kepada Indonesia era

Soekarno

\1). Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), hal. 116.
(2). Modelski, New Emerging Forces, hal 74-75.
(3). Sundhaussen, The Road to Power, hal 189

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)


Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 1 TAHUN 1966 (1/1966)
Tanggal: 14 PEBRUARI 1966 (JAKARTA)
Sumber: LN 1966/10; TLN NO. 2798
Tentang: PENARIKAN DIRI REPUBLIK INDONESIA DARI KEANGGOTAAN DANA MONETER
INTERNASIONAL (INTERNATIONAL MONETARY FUND) DAN BANK INTERNASIONAL UNTUK
REKONSTRUKSI DAN PEMBANGUNAN (INTERNATIONAL BANK FOR RECONSTRUCTION AND
DEVELOPMENT)
Indeks: DANA MONETER INTERNASIONAL. (INTERNATIONAL MONETARY FUND) DAN BANK
INTERNASIONAL UNTUK REKONSTRUKSI DAN PEMBANGUNAN (INTERNATIONAL BANK FOR
RECONSTRUCTION AND DEVELOPMENT). PENARIKAN DIRI REPUBLIK INDONESIA.
KEANGGOTAAN.

Presiden Republik Indonesia,


Menimbang:
a. bahwa dengan meningkatnya perjuangan revolusioner dan militant dari bangsa Indonesia perlu segera
diambil tindakan-tindakan, khususnya di bidang hubungan internasional, yang lebih menjamin suksesnya
konfrontasi politik dan ekonomi Indonesia terhadap proyek-proyek neo-kolonialisme dan imperialisme;
b. bahwa dalam melaksanakan politik berdiri di atas kaki sendiri, perlu segera diputuskan segala
hubungan dan ikatan Indonesia dengan semua modal dan badan internasional yang menghambat
perjuangan rakyat Indonesia menuju ke masyarakat adil dan makmur yang bebas dari segala bentuk
penghisapan;
c. bahwa Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development), dimana
Indonesia menjadi anggotanya sejak Tahun 1953, ternyata merupakan konsentrasi kapital dari kaum neo-
kolonialis dan imperialis yang mengutamakan kepentingan golongannya dari pada anggota-anggotanya
yang termasuk negara-negara yang baru merdeka dan belum berkembang ekonominya;
d. bahwa berhubung dengan itu, pula sebagai konsekwensi dari keluarnya Indonesia dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang juga ternyata hanya merupakan badan yang hanya diperalat oleh manipulasi politik
negara-negara imperialis, Indonesia tidak melihat kegunaannya untuk tetap menjadi anggota dari kedua
badan tersebut;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat 1, pasal 20 ayat 1 dan pasal 33 Undang-Undang Dasar;
2. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960, No.
II/MPRS/1960 dan No. VI/MPRS/1965;
3. Undang-Undang REFR DOCNM="54uu005">No. 5 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 16,
Tambahan Lembaran Negara No. 515) tentang Keanggotaan Republik Indonesia pada Dana Moneter
Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan
Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development);
4. Amanat-amanat P.Y.M. Presiden/Pemimpin Besar Revolusi:
a. "Membangun Dunia Kembali" pada 30 September 1960;
b. "The Era of Confrontation" tanggal 6 Oktober 1964;
c. "Indonesia Keluar dari P.B.B." pada tanggal 31 Desember 1964;
d. "Dengan Hijrah dari P.B.B. akhirnya Indonesia akan Menang" pada tanggal 20 Januari 1965;
e. "Berdikari" pada tanggal 11 April 1965;
f. "Takari" pada tanggal 17 Agustus 1965;
5. Deklarasi "Indonesia Keluar dari P.B.B." oleh Dewan Pertimbangan Agung pada tanggal 19 Januari
1965;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENARIKAN DIRI REPUBLIK INDONESIA DARI KEANGGOTAAN
DANA MONETER INTERNASIONAL (INTERNATIONAL MONETARY FUND) DAN BANK
INTERNASIONAL UNTUK REKONSTRUKSI DAN PEMBANGUNAN (INTERNATIONAL BANK FOR
RECONSTRUCTION AND DEVELOPMENT).
Pasal 1.
(1) Republik Indonesia menarik diri dari keanggotaan Dana Moneter International dan Bank Internasional
untuk Rekonstruksi dan Pembangunan mulai 17 Agustus 1965.
(2) Undang-undang No. 5 Tahun 1954 tentang keanggotaan Republik Indonesia pada Dana Moneter
Internasional dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan dengan ini dicabut.
Pasal 2.
Menteri Koordinator Kompartemen Luar Negeri/Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri
diberi kuasa untuk menyatakan tentang penarikan diri Republik Indonesia dari keanggotaan kedua Badan
tersebut dalam pasal 1 ayat (l) diatas.
Pasal 3.
(1) Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan diberi kuasa untuk menyelesaikan masalah-masalah
keuangan yang berhubungan dengan penarikan diri Republik Indonesia dari kedua Badan tersebut di
atas.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya seperti tersebut dalam ayat 1 pasal (3) ini, Menteri Koordinator
Kompartimen Keuangan dibantu oleh Menteri Urusan Bank Sentral.
Pasal 4.
Bank Indonesia bertindak sebagai badan pelaksana dari penyelesaian masalah-masalah keuangan yang
berhubungan dengan penarikan Republik Indonesia dari kedua badan tersebut.
Pasal 5.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan mempunyai daya surut sampai tanggal 17
Agustus 1965.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Pebruari 1966.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Pebruari 1966.
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. I TAHUN 1966
TENTANG
PENARIKAN DIRI REPUBLIK INDONESIA DARI KEANGGOTAAN DANA MONETER INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL MONETARY FUND) DAN BANK INTERNASIONAL UNTUK REKONSTRUKSI DAN
PEMBANGUNAN (INTERNATIONAL BANK FOR RECONSTRUCTION AND DEVELOPMENT).
UMUM.
Sebagai telah diketahui oleh umum dalam Konperensi Moneter dan Keuangan Perserikatan Bangsa-
Bangsa di Bretoon Woods (Amerika Serikat) yang diadakan antara tanggal 1 Juli 1944 sampai 22 Juli
1944 telah dicapai apa yang dinamakan "Persetujuan Bretoon Woods". Persetujuan ini, yang
ditandatangani oleh 44 negara, menetapkan dibentuknya dua badan internasional, ialah Dana Moneter
Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan
Pembangunan (International Bank For Reconstruction and Development).
Tujuan pokok dari Dana ini sebagaimana tercantum dalam statutennya adalah stabilisasi kurs penukaran
mata uang negara anggota, perluasan perdagangan internasional, penurunan tarif bea-bea,
penghapusan pembatasan-pembatasan secara berangsur. Tujuan dari Bank adalah untuk memberi
bantuan-bantuan berjangka panjang kepada para anggota guna mengadakan rekonstruksi produksinya
akibat kerusakan peperangan ataupun mengadakan pembangunan ekonomi untuk menaikkan
kemakmuran rakyatnya.
Indonesia, didorong oleh keinginan yang besar untuk menyatakan kesediaannya mengadakan kerjasama
internasional, pada tanggal 24 Juli 1950 mengajukan permintaan untuk menjadi anggota dari Dana dan
Bank tersebut. Baru tiga tahun kemudian, yakni pada pertengahan 1953 Indonesia diterima sebagai
anggota dari kedua Badan itu, keanggotaan mana kemudian disahkan dengan Undang-undang No. 5
Tahun 1954 tertanggal 13 Januari 1954.
Akan tetapi pengalaman Indonesia sejak masuk menjadi anggota sampai saat ini yang berjalan kurang
lebih sudah 12 tahun lamanya ternyata tidak membawa manfa'at, bahkan merugikan bagi kepentingan
negara dan bangsa kita dalam mewujudkan cita-citanya, yakni membangun masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Hubungan Indonesia dengan Bank Internasional malahan lebih merugikan bagi kita. Jika kita selidiki
organisasi serta praktek-praktek yang dijalankan selama ini, terutama terhadap negara-negara yang
sedang berkembang maka jelaslah bahwa kedua badan ini hanya merupakan suatu alat saja dari kaum
kapitalis untuk menjalankan politik neokolonialisme dan imprialismenya dan dengan demikian tidak
sesuai dengan idee Berdikari. Praktek-praktek yang kita alami jelas menunjukkan bahwa golongan ini
hanya bersedia memberi bantuan mereka jika tindakan ini sejajar dan bermanfa'at bagi kepentingan
mereka. Pengalaman kita menunjukkan, bahwa pada hakekatnya kedua badan ini tidak banyak berbeda
dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni hanya sekedar merupakan alat kaum neokolonialisme dan
imperialisme untuk menjalankan manipulasi politiknya. Bahkan dalam kedua badan ini, dominasi dari
golongan kapitalis ini dapat dikatakan mutlak baik dalam hal politik, modal, personalia pimpinannya
maupun administrasi organisasinya.
Berhubung dengan itu, maka bagi kita Republik Indonesia, tidak ada gunanya untuk tetap
mempertahankan keanggotaan kita dalam kedua badan tersebut. Kita telah membuktikan kepada seluruh
dunia kesediaan Indonesia untuk selalu mengadakan kerjasama internasional atas dasar jiwa Berdikari,
yang berarti sama derajat dan saling menguntungkan. Kita yakin dan percaya, bahwa negara dan bangsa
Indonesia dengan bersenjatakan Panca Sila, Manipol dan Tri Sakti Tavip akan dapat menjalankan politik
Berdikari dengan konsekuen dan dengan itu akan mencapai dunia baru yang penuh dengan keadilan,
kemakmuran dan kesentausaan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
Cukup jelas.
Pasal 2.
Menteri Koordinator Kompartemen Luar Negeri/Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri
diberi kuasa untuk atas nama Pemerintah memberitahukan kepada Dana Moneter Internasional dan
Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan tentang keputusan penarikan diri Indonesia
dari kedua Badan ini.
Pasal 3.
Dalam Articles of Agreement Dana maupun Bank Internasional terhadap pasal-pasal yang mengatur
tentang pengunduran atau penarikan diri dari para anggotanya. Dalam rangka ini Menteri Koordinator
Kompartemen Keuangan dengan bantuan Menteri Urusan Bank Sentral akan menyelesaikan dengan
kedua badan tersebut masalah-masalah keuangan sebagai akibat dari penarikan diri Indonesia.
Pasal 4.
Cukup jelas.
Pasal 5.
Cukup jelas
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1966 YANG TELAH
DICETAK ULANG

Go Back | Tentang Kami | Forum Diskusi | Web Mail | Kontak Kami © Legalitas.Org
nusantaranews.com

legalitas.org

N
usantaraku

Nusantaranews- Informasi, Fakta dan Opini


• Beranda
• Indonesia
• Buku Tamu
• 50 Tulisan
• Ebook

Sejarah BUMN, IMF-World Bank dan


Privatisasi di Indonesia (3)
2009 Juli 12
tags: Soeharto, megawati, sby, indonesia, sby jk, bj habibie, boediono, bumn, sri mulyani,
privatisasi, uud 1945, pasal 33 uud 1945, sistem ekonomi, koperasi, perusahaan negara,
supersemar, telkom, semen gresik, indosat, bri
by nusantaraku
Artikel Sebelumnya (2)
Cikal Bakal Privatisasi
Jika dalam UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing secara tegas menyatakan bahwa hanya
negara yang berhak penuh mengelola sektor-sektor strategis seperti tertera dalam pasal 6, maka
pada UU 6/1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang
dalam Pasal 6 UU 1/1967 dengan membedakan label “modal dalam negeri” dan “modal asing”
dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham). Jadi, sudah terjadi perubahan kepemilikan
perusahaan negara yang strategis (diluar pasal 2 Undang-undang No. 1 tahun 1967) yang
awalnya harus berasal dari modal dalam negeri namun diperbolehkan modal dari luar negeri.
(Catatan : komposisi modal dalam negeri adalah modal negara + modal masyarakat).
Pada prinsipnya orang asing hanya boleh menguasai sektor-sektor swasta non-strategis dan
penting. Sedangkan untuk sektor strategis, pemerintah memperbolehkan modal asing menguasai
49% pada awal 1968 dan dikurangin hingga 25% pada tahun 1974. Hal ini didasari oleh masih
buruknya perekonomian dan masyarakat Indonesia pada tahun 1968 sehingga diperlukan
suntikan dana yang besar bagi perekonomian nasional, dan solusinya adalah mengundang orang-
orang asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan modal tersebut dimanfaatkan
dengan memberikan kepada mereka ketentuan-ketentuan dan kepastian atas dasar mana mereka
dapat bekerja secara produktip dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan alasan itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki perusahaan strategis negara yang
“menguasai hajat hidup orang banyak“. Inilah cikal bakal privatisasi di bumi Indonesia yang
tujuan awalnya “mulia” yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam
negeri. Disisi lain, privatisasi kepemilikan perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada
saing) secara tidak langsung memang merupakan implementasi dari ekonomi kekeluargaan
(koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia adalah ketika diterbitnya UU 6/1968
pada tanggal 3 Juli 1968.
Pada pasal 3 UU 6/1968 disebutkan:
1. Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal
dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional
Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974
menjadi tidak kurang dari 75%.
2. Perusahaan asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 1 pasal
ini.
3. Jika usaha yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini berbentuk perseroan terbatas masa
sekurang-kurangnya persentase tersebut dalam ayat 1 dari jumlah saham harus atas nama.
Namun ada hal yang menarik dalam UU 6/1968 khususnya pasal 3 ayat 1 yakni “Perusahaan
nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri
yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itu
senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari
75%.” Jadi, dalam mengatasi krisis ekonomi pada 1965-1967, pemerintah memperbolehkan
perusahaan Nasional dimiliki oleh modal asing dengan rincian sebagai berikut
1. Dimiliki secara penuh oleh Negara
2. Dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional, atau
3. Gabungan antara Negara dan/atau swasta nasional dengan swasta asing, dengan syarat
sekurang-kurangnya 51% dari modalnya dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional
(pada saat diundangkan) ***
***Persentase modal dalam negeri sebesar 51% ini sudah dianggap cukup mengingat
kesanggupan dari swasta nasional. Dengan perbaikan ekonomi, maka secara bertahap persentase
pemilikan modal asing pada “perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak secara
bertahap akan dikurang” dari 49% pada tahun 1968 menjadi 25% pada tanggal 1 Januari 1974.
Catatan:
Seperti diuraikan dalam bagian pertama dari artikel ini, disebutkan bahwa perusahaan yang
menguasai sektor strategis dikuasai negara dan dikelola secara “demokrasi”. Dalam konteks
ini, maka dapat diinterpretasika bahwa perusahaan nasional (BUMN) dapat dimiliki oleh
masyarakat dengan merata (tanpa dominasi saham mayoritas, misalnya maksimun tiap individu
hanya boleh memiliki 0.001% saham/kepemilikan). Namun, negara tetap menguasai secara
dominan sektor-sektor tersebut.
Nasionalisasi vs Liberalisasi : Kesamaan dan Perbedaan Soekarno dan Soeharto
Pada masa Pemerintah Soekarno (awal masa Demokrasi Terpimpin), Indonesia menasionalisasi
sekitar 600 perusahaan yang mana sekitar 300 adalah perusahaan perkebunan, lebih dari 100
perusahaan dalam bidang pertambangan dan sisanya sektor perdagangan, perbankan, asuransi,
komunikasi dan konstruksi. Setelah dilakukan restrukturisasi pada akhir masa Demokrasi
terpimpin (1966), jumlah perusahaan yang dikuasai oleh negara menjadi 233 perusahaan. Dalam
pengelolaan perusahaan negara ini Presiden Soekarno melibatkan kalangan militer sehingga
muncul istilah entrepreneurial military officer, oleh sebagian pengamat langkah ini dipandang
sebagai salah satu strategi untuk menjaga stabilitas dan loyalitas militer. (Sri Edi Swasono*)
Beban pemerintah yang terlalu besar untuk menjalankan perusahaan negara, krisis pangan pada
tahun 1961 sebagai akibat gagal panen dan tidak tercapainya kuota impor beras, dan pencetakan
uang secara besar-besaran mendorong munculnya hiperinflasi. Pada tahun 1961 inflasi mencapai
angka 95 persen dan pada tahun 1965 inflasi mencapai 605 persen. Untuk mengatasi hiperinflasi
pemerintah melakukan kebijakan pemotongan nilai uang melalui Penetapan Presiden No.
27/1965 tanggal 13 Desember 1965, dimana nilai mata uang Rupiah turun dari Rp 1000,-
menjadi Rp 1,-. Kebijakan ini jelas merugikan masyarakat secara luas (Sukarman, 2003).
Kondisi ini terus memburuk sampai dengan lahirnya pemerintah Orde Baru. (Sri Edi Swasono*)
Pemerintah Orde baru membawa paradigma baru dalam bidang ekonomi yang sebagian besar
merupakan antitesis dari paradigma Orde Lama. Perbedaan yang nyata adalah bahwa Soeharto
menerapkan azas pragmatisme dalam ekonomi yang dijalankan oleh para profesional dengan
memperoleh dukungan dari kelompok militer. Glasburner (1971) menyatakan bahwa:
“In the New Order’s economic policy, this effort has been characterized by pragmatism, reliance
on professional expertise and gradualism”.
Pragmatisme disini didefinisikan sebagai tindakan politik yang menitikberatkan pada azas
manfaat tanpa terpengaruh oleh ideologi tertentu (mendasar). Pragmatisme ekonomi ditunjukkan
dengan penerapan kebijakan makro ekonomi khas barat (neo-liberal) yang menjadi rujukan
strategi pembangunan. Kebijakan ini dipadu dengan keterbukaan pemerintah terhadap arus
modal asing dari negara-negara barat (Sadli, 1997). Kebijakan pemerintah untuk membuka diri
bagi sektor swasta untuk berperan dalam perekonomian nasional dan mengurangi peran
perusahaan negara juga dipandang sebagai wujud pragmatisme (Austin, 2001).
Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, dalam batas tertentu antara Orde Lama dan Orde
Baru memiliki banyak kesamaan, yakni menempatkan perusahaan negara sebagai tulang
punggung perekonomian. Namun, dalam pemerintahan Suharto, dominasi perusahaan negara
secara berangsur-angsur dikurangi dan berpindah tangan ke swasta (termasuk didalamnya orang
asing). Hal ini dapat kita kutip dari pernyatan Rice (1983) sebagai berikut:
“Both the Soekarno and Soeharto’s governments have declared that the roles of the state owned
enterprises and cooperative sectors are important, but the Soeharto’s government has moved to
decrase the role of the state owned enterprises and has greatly increased the role of private
sector (including foreign enterprises) in the economy”.
Siapa Master dibalik Pragmatisme Ekonomi Indonesia?
Pandangan pragmatisme perekonomian Indonesia dipelopori oleh ekonom-ekonom lulusan
Universitas California Berkaley, sehingga mereka didaulat dengan nama Mafia Berkaley yakni
para teknokrat yag menjalankan kebijakan ekonomi liberal (Glasburner, 1971). Agar terlihat
sistem pemerintah era Soekarno berbeda dengan Soeharto, maka pemerintahan Soeharto
mengubah haluan kebijakan pemerintahan Indonesia. Kita tahu bahwa pemerintahan Soekarno
cenderung sosialis, sehingga Soeharto merubah menjadi haluan lebih liberal. Hal ini ditujukan
untuk memperoleh simpati Negara negara Eropa dan Amerika. Perubahan haluan ini juga
merupakan kemenangan besar dari group Barat dalam memenangkan perang ideologi (liberal vs
komunis) atau Perang Dingin di kawasan Asia Tenggara.
Dalam tulisan bagian 2 ini, pasca melemahnya pengaruh dan kekuasan Soekarno di awal 1966,
kekuasaan sepenuhnya sudah beralih kepada Soeharto. Dalam bidang ekonomi, Soeharto
menunjuk Prof Widjoyo Nitisastro untuk menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang
berbeda dengan Soekarno. Ada sejumlah program resmi yang diumumkan oleh Soeharto yakni
1. Penerapan anggaran dan nerara pembayaran yang berimbang [catatan : sebenarnya bukan
berimbang, karena utang dalam APBN disebut sebagai pendapatan, bukan disebut
sebagai pembiayaian defisit APBN)
2. Rehabilitasi prasarana fisik [cat: masuknya perusahaan asing dalam proyek-proyek yang
menelan anggaran besar menguntungkan perusahaan asing]
3. produksi makanan dan pembangunan pertanian [cat: salah satu kesuksesan ekonomi
Orba yang dalam sistem pemerintahanya cukup aman dari gangguan keamanan baik
lokal maupun Amerika cs]
Sudah menjadi rahasia umum (seperti pengungkapan John Perkins) bahwa salah agenda asing
dalam membentuk imperium global adalah dengan memberi utang kepada negara tersebut,
diikuti liberalisasi berbagai sektor dan terpenting adalah menguasai sumber-sumber kekayaaan
alam strategis untuk diolah dan dijual kembali ke berbagai negara termasuk negara sumber
kekayaaan alam tersebut dengan harga tinggi (value added). Agenda-agenda tersebut berjalan
mulus karena selain diback-up oleh kekuatan asing (hidden power), ternyata kelompok teknokrat
Indonesia berhaluan ekonomi liberal mendukung ambisi imperium dari Negara+Lembaga
Keuangan+Korporasi Asing.
Para ekonom liberal tersebut membantu menciptakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di mata internasional, padahal hanya segelintir orang yang merasakan dampak
pertumbuhan ekonomi (cara-cara KKN). Dengan kondisi tabungan masyarakat yang rendah,
maka liberalisasi aset, kekayaan alam Indonesia dan masuknya modal asing secara besar-besaran
terbuka tanpa ada halangan yang berarti. Meskipun sejarah mencatat bahwa pada 15 Januari
1974, para mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran dan diikuti kerusuhan sosial
menentang masuknya modal asing dalam berbagai sektor. Peristiwa ini dikenal sebagai
Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Namun, semangat Malari kandas ditangan
militer Soeharto. Inilah mengapa saya katakan proses pengobralan kekayaan alam dan
liberalisasi modal asing masuk tanpa halangan berarti.
Dalam bidang moneter, pemerintah melalui Bappenas melakukan koordinasi dengan Bank
Indonesia untuk menetapkan sasaran makro ekonomi dalam rangka menjaga stabilitas harga
(pengendalian laju inflasi). Kebijakan fiskal dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan
Departemen Keuangan dengan menutup Defisit Anggaran melalui pinjaman luar negeri melalui
IGGI. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah mendorong peran swasta (nasional
dan asing) untuk terlibat dalam proses pembangunan melalui serangkaian kebijakan penanaman
modal yang menarik bagi swasta. Beberapa paket kemudahan untuk melakukan usaha (bahkan
pemberian hak khusus seperti monopoli dan proteksi) bagi pihak swasta. Kondisi kemudian
menyuburkan beberapa konglomerat yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.
Dalam konteks pengelolaan BUMN, pada awal orde baru, pemerintah menerapkan prinsip-
prinsip pengelolaan BUMN yang terdiri dari: dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Hal
ini ditujukan untuk membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk terlibat dalam proses
pembangunan. Upaya perbaikan kinerja BUMN dilakukan melalui ditetapkannya UU 9 Tahun
1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara, di mana BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan
peran sosial ekonomisnya yakni [baca UU 9/1969 asli]
1. Perusahaan Jawatan, disingkat PERJAN;
2. Perusahaan Umum, disingkat PERUM;
3. Perusahaan Perseroan, disingkat PERSERO.
BUMN sebagai salah satu tulang punggung perekonomian (aset produktif yang dimiliki oleh
pemerintah) diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam bentuk
dividen dan pajak. Pemerintah sangat berkepentingan atas kesehatan BUMN, akan tetapi
kenyataannya banyak BUMN yang mengalami kerugian karena pengelolaan yang tidak
profesional dan tidak transparan (KKN). Sampai saat ini, kelemahan-kelemahan yang menimpa
di sebagian BUMN kita masih belum mendapat terapi yang tepat dari pemerintah, sehingga
solusinya adalah menjual dan menjual.
Privatisasi BUMN
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan stabilitas harga dan laju inflasi
pemerintah memberikan proteksi dan hak monopoli kepada BUMN serta memberikan subsidi
yang cukup besar bagi BUMN yang merugi. Kondisi ini menciptakan ketergantungan BUMN
kepada pemerintah, sehingga sebagian besar justru menjadi beban bagi pemerintah.
Ketergantungan BUMN terhadap pemerintah tidak menciptakan struktur kemandirian BUMN
untuk berkompetisi dengan perusahaan swasta, dan seringkali BUMN memproduksi barang dan
jasa dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja, kualitas, dan produkivitas karyawan BUMN relatif
rendah, jika dibandingkan dengan karyawan perusahaan swasta.
Tingginya biaya produksi mempengaruhi tingkat harga produk yang ditawarkan kepada
konsumen. Dalam kasus tertentu pemerintah memberikan subsidi yang terlalu besar bagi BUMN,
sehingga secara internal upaya untuk menciptakan efisiensi dalam tubuh BUMN menjadi makin
sulit. Ketidakjelasan peran yang diambil oleh pemerintah dalampengelolaan BUMN tidak
mampu mendorong efisiensi dalam BUMN yang bersangkutan. High cost economy dalam
BUMN yang diantaranya ditunjukkan oleh tingginya biaya tenaga kerja, merupakan salah satu
gambaran betapa BUMN belum dapat beroperasi secara efisien.
Nasib buruk BUMN semakin diujung tanduk ketika krisis ekonomi tahun 1997 menerpa
Indonesia. Anggaran dan belanja negara membengkak. Beban hutang luar negeri yang jatuh
tempo, stabilitas ekonomi moneter yang rapuh, instabilitas politik dan beberapa kebijakan
pemrintah yang lebih memberikan perlindungan kepada konglomerat turut memperbesar beban
pemerintah. Ini menjadi alasan privatisasi BUMN yang cukup merugikan negara pasca jatuhnya
kekuasaan Orde Baru.
Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-
masa mendatang hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara,
BUMN diobral kepada investor asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada
pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni Menko Perekonomian Dorodjatun, Menkeu
Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUM secara cepat
(fast-track privatization) hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan
aspek ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui
strategic sale) dalam proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang
merugikan negara.
Privatisasi di Era Globalisasi dan Neoliberalisasi
Pasca krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia tidak langsung pulih. Besarnya utang luar
negeri yang diciptakan 30 tahun pemerintah orde baru sebesar USD 120 miliar (1967-1997)
menyebabkan beban bunga+cicilan utang membengkak. Belum lagi inflasi yang tinggi, industri-
industri bangkruk karena utang besar. Maka kehadiran IMF untuk menangani krismon Indonesia
diikuti pemaksaan agar sektor-sektor strategis negara harus diliberalisasi lebih luas, lebih besar
kepada asing. Setiap LoI dengan IMF, selalu mensyaratkan “jual aset ini, jual aset itu“.
Secara “membudaya”, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada
masa Pemerintahan Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi “umum”
telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan
negara diprivatisasi secara kontinyu. Dan PT Semen Gresik menjadi BUMN pertama yang
terkena program privatisasi. Ini terjadi beberapa waktu setelah pemerintah memberi kartu hijau
pendirian seratusan bank-bank swasta (pengusaha) yang tidak kompenten dan transparan. Bank-
bank inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis moneter Indonesia tahun 1997-1998. Selama
periode 1991-1999, pemerintahan Soeharto dan Habibie baru memprivatisasi 9 BUMN dengan
total nilai privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran
umum di pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi
rekan strategis).
1. PT Perkebunan Nusantara III
2. PT Perkebunan Nusantara IV.
3. PT Pupuk Kaltim.
4. PT Tambang Batubara Bukit Asam.
5. PT Aneka Tambang Tbk.
6. PT Indo Farma.
7. PT Kimia Farma.
8. PT Sucofindo.
9. PT Kerta Niaga.
10. PT Angkasa Pura II.
Jika ada beberapa BUMN yang di privatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya tim
ekonomi yang sangat patuh pada IMF di pemerintahan Megawati berhasil memprivatisasi aset-
aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT Batu Bara Bukit Asam. Penjualan
BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun kemudian)
yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar bagi para
pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di BPPN dengan sangat murah, dimana
hampir di setiap transaksi merugikan negara triliun rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF
untuk mendikte Indonesia melalui tim ekonomi yang berhaluan “Mafia Berkeley“, yang
berpaham neoliberalisme.
Penjualan BUMN-BUMN yang profitable kepada asing di masa pemerintah Megawati menjadi
blunder negatif bagi diri Megawati ketika menjadi capres baik di tahun 2004 maupun 2009.
Semua orang akan mengalamatkan Megawati sebagai penjual BUMN, sementara para dalang
dibalik penjual BUMN dan perbankan BPPN jarang mendapat getahnya yakni Dorodjatun,
Boediono dan Laksama Sukardi.
Berbagai saham BUMN strategis “berhasil” dijual diera Megawati [jangan lupa juga tim
ekonominya dan 50 butir LoI IMF tahun 1997]. Sebut saja penjualan saham Perusahaan Gas
Negara sebesar Rp 7,34 triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun. Privatisasi
Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun, PT Indosat Rp1,16 triliun dan Bank Rakyat Indonesia
Rp 2,5 triliun.
Namun, ada satu rencana terbesar di era Pemerintah Megawati dalam privatisasi BUMN yakni
pada tahun 2004. Wakil pemerintah yakni Laksamana Sukardi dan Boediono pada tahun
Maret/April 2004 mengajukan privatisasi 28 BUMN. BUMN itu terdiri dari 19 BUMN dan 9
non-BUMN atau BUMN minoritas. Privatisasi 28 BUMN tersebut merupakan gabungan dari
program carry over (kelanjutan) privatisasi BUMN tahun 2002 dan tahun 2003 serta program
murni privatisasi BUMN tahun 2004. Dan untungnya,sebagian besar program privatisasi yang
diajukan pemerintah via Laksamana Sukardi dan Boedino ini kandas ditangan DPR karena
alasan politik Pemilu 2004.
Sejumlah BUMN yang masuk dalam daftar privatisasi tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT
Bank Negara Indonesia Tbk, PT Danareksa, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT
Batubara Bukit Asam Tbk, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Perkebunan Nusantara III, PT
Kimia Farma, PT Indofarma, PT Cambrics Primissima, dan BUMN sektor kawasan serta
sembilan non- BUMN lainnya.
Ganti Pemerintah, Ganti Alasan Privatisasi
Jika di era pemerintahan Megawati, privatisasi dilakukan karena tim ekonomi-nya percaya pada
arahan IMF bahwa utang negara besar sehingga untuk menutup defisit APBN, privatisasilah
salah satu jalan keluarnya. Namun, ketika para pengkritik privatisasi aset strategis semakin
mendapat dukunga luas masyarakat, pemerintah SBY-JK selalu menggunakan alasan bahwa
“privatisasi harus dilakukan karena BUMN tidak bisa untung“. Meskipun jika kita amati UU
APBN sejak 2005 hingga 2009, kita akan melihat bahwa privatisasi merupakan sarana untuk
menutup defisit. Hanyalah kedok mengelabui masyarakat jika di berbagai media menyebut
bahwa privatisasi dilakukan karena BUMN tidak bisa untung.
Berdasar data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dirilis belum lama ini (2009), dari 14
BUMN yang tercatat di BEI, pihak asing telah menguasai saham 31%, setara dengan Rp
137 triliun. Asing menguasai sektor-sektor strategis seperti telekomunikasi, perbankan,
pertambangan dan migas, semen, serta farmasi. Pada beberapa BUMN kategori blue chips,
kepemilikan asing bahkan menyundul angka 40 persen. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk,
misalnya, 39,5 persen sahamnya kini dalam genggaman pihak asing. Demikian pula PT Semen
Gresik Tbk sebanyak 39,21% dikuasai asing. Bank Rakyat Indonesia (BRI) – yang selama ini
menjadi andalan para petani dan rakyat kecil – sahamnya telah dikuasi asing sebesar 35,39
persen.
Salah satu langkah luar biasa pemerintah SBY-JK adalah program privatisasi 44 BUMN di
tahun 2008 yang akhirnya juga kandas setelah diprotes dari berbagai kalangan masyarakat dan
tokoh nasional [Inilah, 2008]. Pada 31 Januari 2008, Boediono sebagai ketua Komite Privatisasi
BUMN meneken surat keputusan untuk menjual 44 BUMN milik negara Indonesia. Dari 44
BUMN itu, sebanyak 33 di antaranya adalah nama baru, sedangkan 11 lainnya adalah
perusahaan yang direncanakan dilego tahun lalu, tapi belum kesampaian. Keputusan privatisasi
dilakukan oleh Komite Privatisasi Perusahaan BUMN yang diketuai Menko Perekonomian
Boediono, dengan Wakilnya adalah Meneg BUMN Sofyan Djalil dan anggotanya Menkeu Sri
Mulyani Indrawati serta menteri yang menjadi pembina teknis BUMN yang akan dijual.
Sejumlah BUMN yang akan dilego tersebut adalah Semen Kupang, PT Perkebunan Nusantara
(PTPN) III, IV, dan V, Adhi Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Bank Negara Indonesia
(BNI), Bank Tabungan Negara, Krakatau Steel, serta kawasan industri di Medan dan Makassar.
Pada tahun 2008 tersebut, Boedion mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69
BUMN pada di akhir 2009. Iapun mengakui bahwa target setoran privatisasi BUMN ke APBN
2008 adalah Rp 1,5 trilyun.
Privatisasi Bukan Satu-Satunya Solusi
Jika salah satu penggerak ekonomi China adalah 150 SOE (BUMN) strategis-nya, maka
semestinya Indonesia memanfaatkan sekaligus membesarkanya BUMN strategis sebagai
penopang ekonomi khususnya BUMN yang bergerak disektor hulu ekonomi. Sudah saatnya kita
melihat kedalam, jika saja BUMN tidak sehat dan merugi, maka adalah tugas pemerintah melalui
Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan menopang
perekonomian hulu.
Pada tahun 2009, Kementerian BUMN akan melanjutkan program privatisasi terhadap 30
BUMN yang sebagian besar merupakan pengalihan dari tahun 2008. Angka ini dikurangi dari 44
perusahaan yang akan diprivatisasi pada tahun 2008. Sejumlah perusahaan yang akan
diprivatisasi pemerintah adalah PT Krakatau Steel (Industri strategis bagi PT Pindad yang
menghasilkan Panser, PT DI dan PT PAL), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan VII;
dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing
terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini tentu amat merisaukan,
karena berdasarkan analisis Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-
lah yang akan memegang kendali perekonomian suatu negara. Seperti artikel di bagian 1,
hendaknya industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk
menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD
1945.
Jika akan memprivatisasi BUMN dengan alasan memberdayakan modal masyarakat, maka hal
ini diperbolehkan dengan syarat saham-sahamnya dijual kepada masyarakat Indonesia dengan
menetapkan maksimum kepemilikan saham sebesar 0.0001% per orang. Jadi, jika sebuah
BUMN akan diprivatisasi 25%, maka setidaknya ada 250,000 (1/4 juta) masyarakat Indonesia
yang ikut memiliki BUMN tersebut. Sehingga para pedagang, guru, pegawai swasta dengan
bermodal 1-10 juta dapat memiliki saham BUMN kita secara merata. Tidak boleh ada yang
memiliki saham BUMN lebih dari itu. Inilah setidak-tidaknya mewarnai ekonomi gotong
royong, ekonomi koperasi, alias ekonomi kekeluargaan, bukan dengan melego perusahaan
strategis hanya kepada segelintir konglomerat saja. Itu namanya liberalisasi kapitalis Bung!
Salam Nusantaraku,
ech-wan, 12 Juli 2009
Tulisan Sebelumnya:
Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indonesia (1) – Tentang Perusahaan Negara
Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indoensia (2) – Tentang IMF
Sumber Perundangan dan Referensi:
UU 71/1957 —UU 1/1966 —UU 1 Tahun 1967—-UU 9 Tahun 1969
*) Sri-Edi Swasono – Pasal 33 UUD 1945, Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh
Ditambah Ayat (SES)
Kompas 1 — Kompas 2— Kompas 3—–Kompas 4— Tempo 1—-Tempo 2—Tempo 3 —-
Tempo 4 —Tempo 5—-Inilah—-Warta Ekonomi —
4 Votes

from → Artikel Nusantara


5 Tanggapan leave one →

1.
2009 Juli 13
chicha susan permalink
Setelah membaca ke artikel diatas sebenarnya dapat di tarik kesimpulan:
bahwa telah ada skenario besar yang telah lama dan sedang dijalankan oleh Koorporasi
Amerika Serikat melalui perpanjangan tangan World Bank, IMF, USAID, dan organisasi
atau negara donor (pemberi utang) lainnya. Koorporasi raksasa ini yang mengendalikan
sumber-sumber daya alam planet bumi ini. Pada pelaksanaannya Koorporasi AS
menyarankan agar negara-negara dunia ketiga (khususnya Indonesia) melalui rezim yang
berkuasa atau kaki-tangannya (melalui proses KKN dan tekanan), menerima pinjaman
yang lebih besar daripada yang diperlukan.
Bukankah ini bentuk wajah baru yg tidak baru yakni pelanggaran Hak Azasi Manusia
dalam bentuk kejahatan perekonomian yang akibatnya jelas-jelas menyimpang dari
tujuan awal yaitu penyediaan kebutuhan dasar (fundamental right) yang merupakan hak
asasi manusia dan melanggar ketentuan deklarasi Komite PBB pada November 2002??
Kenapa kita tidak punya Presiden seperti di Bolivia Evo Morales, yang berani
mengumumkan negaranya pada tanggal 1 mei 2007 kembali mengontrol semua bisnis
asing, khususnya migas.??(baca: koran Kompas, 04/05/2007) atau Presiden Venezuella
Hugo Chavez (http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2009/05/09/105566/hah-venezuela-
usir-60-minyak-asing/)?? apasih bedanya presiden kita dengan mereka??
Rekomendasi kepada Negara jika memang punya keberanian:
-Cabut produk hukum dan kebijakan pemerintah yang merupakan produk Amerika
Serikat, IMF, dan World Bank serta WTO.
-Hentikan privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber alam/agraria dan pelayanan
publik dan menasionalisasi usaha-usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak
-Mengadili kejahatan kemanusiaan dan perekonomian yang dilakukan actor state dan non
state (IMF, WB, USAID, TNC).
Akan tetapi saya apatis sekaligus skeptis dengan kepemimpinan sekarang ini apa mau
melakukan hal-hal tersebut, jika mereka adalah bagian dari neolibelarism itu sendiri.
Balas


2009 Juli 13
nusantaraku permalink
Yang pasti, selalu ada kepentingan dibalik semua bantuan.
Diberbagai negara yang memiliki sumber daya alam dan pasar yang besar
(penduduk), selalu menjadi incaran korporatokrasi untuk membangun imperium
global.
Balas

2.
2009 Juli 18
David permalink
Tolak privatisasi BUMN slogan yang saya sangat setuju… Karena lama kelamaan bangsa
kita akan dikuasai asing…. Tapi ada sedikit masalah:
1. Beberapa pengalaman yang saya dapatkan ternyata perusahaan asing lebih menjamin
karyawannya dibandingkan perusahaan-perusahaan swasta yang dikuasai oleh orang kita
sendiri.. Kadangkala orang kita lebih kejam dibandingkan orang asing… (mungkin salah)
2. Negara kita masih korup… Sehingga sangat sulit untuk menolak privatisasi saat ini…..
Dengan pemerintah yang masih korup, rakyat kita akan terus menderita… Nah langkah
yang harus diambil pertama kali sehubungan dengan penolakan privatisasi adalah
pemberantasan Korupsi dengan tegas dan adil
Balas

3.
2009 Agustus 18
zAIDAN jAUHARI,sE permalink
Dengan merujuk Undang-undang Dasar 1945 pasal 33, bahwa kekayaan Strategis yang
vitaL HARUS di kuasai oleh Negara / State, sudah selayaknya pemerintah mengambil
alih asset penting untuk kemakmuran negara ini dan buy back saham asing, dan
menyiapkan manajemen dan tata kelola serta tenaga ahli yang handal, sehingga kita
sebagai bangsa akan mandiri dalam mengelolah Sumber Daya Alam kita yang sangat
besar, seperti pertambangan emas, minyak dan batu bara, gas, dll,
Serta meneruskan program pro rakyat di pedesaan dan mengurangi pegawai negeri sipil
dan memperbanyak Pelaku Usaha / enterperenur serta meneruskan program PNPM
Mandiri seperti P2DTK yang secara konsep sangat brilian dan sangat bagus dimana
program tersebut melakukan sinergi perencanaan bottom up( perencananaan
Masyarakat ) dan Top Down ( Musrembangda ). Sekian
Balas

4.
2009 Agustus 19
nusantaraku permalink
@ David
Terima kasih Mas David atas inputnya.
@zAIDAN jAUHARI,sE
Saya tertarik pada bagian akhir yakni “mengurangi jumlah pns, dan meningkatkan
entreprenuer”.
Memang harus dirancang sedemikian rupa, agar efisiensi pns meningkat.
Disisi lain, mental anak bangsa adalah mental berdikikari (entrepreneur), dan berani
gagal, berani sukses.
Trims.
Balas

Sejarah BUMN, IMF-


Klik di sini untuk membatalkan balasan.

World dan Privatisasi di Indonesia (2)


2009 Juni 29
tags: bumn, indonesia, koperasi, pasal 33 uud 1945, perusahaan negara, privatisasi, sistem
ekonomi, supersemar, uud 1945
by nusantaraku
Lanjutan Serial Sejarah BUMN, IMF-Word Bank dan Privatisasi di Indonesia (1)
Bagian 1 lebih menceritakan perusahaan negara (BUMN), bagian 2 menceritakan IMF dan WB

IMF-WB Pasca Supersemar


Setelah Gerakan 30 September (G-30), konstelasi politik dan kekuasaan berubah cukup drastis.
Unsur kekuatan PKI yang selama ini menjadi salah satu pendukung Bung Karno punah tidak
terkecuali massa PNI. Kondisi semakin memburuk tatkala ekonomi Indonesia mengalami inflasi
hingga 600%. Gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan Tritura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yakni Bubarkan PKI, Perompakan kabinet dan Turunkan harga semakin
mendiskreditkan Soekarno. Terlebih gerakan mahasiswa ini didukung penuh oleh Angkatan
Bersenjata.
Namun, jika kita flash back tahun 1950-an, maka sebenarnya ekonomi, politik dan keamanan
kita terus diusik oleh Amerika. Amerika via CIA (Sejarah CIA dan Pengaruh di Indonesia)
membantu mengobarkan pemberontakan PRRI-Semesta yang berhasil dipadamkan oleh para
prajurit kita. Negara dipaksakan mengeluarkan anggaran untuk berperang melawan
pemberontakkan. Dan pada saat yang sama, Amerika menyusupkan agen senior CIA Guy Pauker
ke Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat) untuk memilih dan menyiapkan para intelektual
ekonom liberal yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley”. Sehingga kehancuran
ekonomi Indonesia di tahun 1965-1966 tidak bisa lepas dari tangan Amerika Cs via CIA.
Pada 11 aret 1966, terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang misterius… Dan
mulai saat itu, Indonesia secara perlahan sudah jatuh ketangan asing dibawah kepemimpinan
militer. Dalam sebuah penelusuran Prof. Peter Dale Scott “The United States and the Overthrow
of Sukarno, 1965-1967” – “Amerika dan Pengulingan Soekarno 1965-1967” secara gamblang
membeberkan keterlibatan CIA dalam pengulingan Presiden Soekarno sejak 1950-an . Begitu
banyak versi kasus Gestapu 1965 yang hingga saat ini belum terpecahkan. Yang pasti, pada saat
itu Amerika sedang gencar menyebarkan paham ideologi liberalis untuk menghadang
komunisme Uni Soviet (Suar Suroso.2008. Bung Karno Korban Perang Dingin). Dan Soekarno
adalah salah sosok yang tidak ingin memihak pada Amerika Serikat yang menganut semangat
neo-imperaliasme dan neokolonialisme. Sehingga wajarlah ia disingkirkan bersama PKI yang
menjadi simbol komunisme di Asia Tenggara.
Yang menarik adalah hilangnya (atau dihilangkan) dokumen asli Supersemar. Banyak versi
terhadap dokumen tersebut yang membuat lahirnya Orde Baru. Sebagian saksi menyatakan
bahwa dokumen Supersemar ditulis diatas korp Angkatan Darat dan ditandatangani secara
terpaksa (bukan diancam, tapi tidak ada pilihan) oleh Presiden Soekarno. Saya tidak tahu seluk-
beluk Supersemar itu sendiri. Namun, bagi saya yang menarik adalah pasca lahirnya Supersemar,
perpolitikan Indonesia berubah drastis, arah kebajikan Indonesia berputar 180 derajat. Dan mulai
saat itu, maka secara resmi Indonesia berubah haluan yakni dari memberi kebebaan tumbuhnya
paham Nasionalisme-Marxisme-Islamisme menjadi paham Liberalisme Diktator. Dan mulai saat
itu pula, Indonesia “AMAN” dari “kemarahan” Amerika, Inggris dan Australia.
Menurut penelusuran Prof Scott ratusan ribu simpatisan (bukan kader partai) PKI diculik dan
dibunuh. Angka-angka yang ada sekitar 500.000 hingga 800.000 dalam periode 1965 hingga
1970. Ratusan dan mungkin ribuan pelajar pro-sosialis yang dikirim Soekarno untuk kuliah di
luar negeri tidak dapat pulang ke Indonesia. Begitu juga kader-kader intelektual dan penulis
seperti A. Umar Said. Salah satu versi video [Shadow Play] pengungkapan dapat Anda lihat di
blog sejarah ini. Khususnya dibidang ekonomi, John Pilgers mengungkap hal serupa. Videonya
dapat dilihat di SINI.
Dalam artikel pertama, disebutkan bahwa dalam kondisi terhimpit, Soekarno masih berani
terhadap Amerika Serikat CS. Tanggal 14 Februari 1966, Indonesia menarik diri dari IMF dan
IBRD ini melalui UU 1/1966. Setelah dukungan bagi Soekarno mulai melemah dengan
dibantainya ratusan ribu orang salah satu pendukung Soekarno, maka secara bertahap munculnya
perundang-undangan yang pro terhadap kepentingan Amerika, Inggris, Australia Cs. Jika di era
Soekarno,hubungan dengan Peking, Moskwa hangat, maka dibawah pemerintah Soeharto via
Supersemar dapat dikatakan bertolak belakang.
Muncullah Tap MPRS RI Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas
dengan Amerika cs. Dan ditambah pada Juli 1966, keluarlah Tap MPRS RI Nomor
XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebidjaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses yang tertentu
dengan kuantitas yang besar. Melalui TAP MPRS tersebut, maka belum satu tahun terbitnya UU
1/1966 tentang keluarnya Indonesia dari lembaga IMF dan WB, pada November 1966 terbit UU
8/1966 yang menganulir UU 1/1966. Dan Soekarno sendiri (terpaksa atau tidak) yang
menandatangani UU 8/1966 yang menyatakan Indonesia kembali bergabung dengan IMF dan
WB.
Melalui Supersemar-lah IMF, WB, Freeport, Exxon, Caltex, Total, Halliburton, Betchell, Toyota
dan korporasi asing lain menguasai sumber-sumber kekayaan alam strategis dari hutan, minyak,
bauksit, tembaga hingga emas. Terlebih setelah konferensi Jenewa pada November 1967.
Cikal Bakal Penanam Modal Asing (PMA)
Sejak kejatuhan era Bung Karno dengan kondisi ekonomi, politik, keamanan yang tidak stabil
dan memburuk, maka haluan ekonomi kita telah berubah arah dari nasionalisme-sosialisme-
islamisme, menjadi liberalis-diktator. Gerakan mahasiswa dan tekanan kuat militer membuat
“Pemerintahan” Soekarno semakin melemah. Isu-isu yang beredar di masyarakat
mendeskreditkakan Soekarno seperti dengan isu bahwa Soekarno terlibat dalam Gestapu 30
September 1965. Pendiskreditkan pengaruh Soekarno dilayangkan dengan pernyataan bahwa
terjadi mis-management, pemborosan, korupsi, serta pemberontakan gerakan Kontra revolusi
G.30.S/PKI dan penjelewengan-penjelewengan terhadap Undang-undang Dasar 1945
menyebabkan ekonomi hancur. Secara singkat, isu ekonomilah membuat Soekarno akhirnya
jatuh. Masyarakatpun secara bertahap mulai takut memuja Soekarno, karena beredar isu bahwa
mereka yang mendukung Soekarno identik dengan PKI, sehingga mereka yang memuja
Soekarno akan berakhir di ujung senapan.
Melemahnya pengaruh dan kekuasan Soekarno di awal 1966, diikuti oleh pengambil kekuasaan
oleh Soeharto. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menunjuk Prof Widjoyo Nitisastro untuk
menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang berbeda dengan Soekarno. Dan untuk
menjalankan sistem ekonomi baru, pemerintah Soeharto sudah siap mengirim berbagai delegasi
ke Eropa untuk membuat kesepakatan “mengolah” hasil kekayaan bumi Indonesia serta ekonomi
Indonesia secara global.
Untuk mendatangkan modal asing, pemerintah mengirim delegasi yang dipimpin oleh
Hamengkubuwono IX untuk menghadiri Konferensi Tokyo yang juga dihadiri oleh beberapa
Negara Barat seperti Jerman, Inggris, Belanda, Australia dan Jepang serta IMF. Pada misi ini
mulai ada kesepahaman dengan negara donor untuk membantu Indonesia. Pada Februari 1967,
World Bank dan IMF dengan senang hati menerima kembali Indonsia sebagai anggotanya dan
hal ini diperkuat dengan terbitnya UU 8/1966 oleh pemerintah Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah harus menyetujui komitmen untuk menerapkan ekonomi liberal.
Sebagai pelaksana dan kordinator negara donor maka pada tanggal 23-24 Februari 1967
berdirilah Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda dengan
anggota 16 Negara dan 5 organisasi internasional. Pada tahun 1967 dan 1968, IGGI telah
menyalurkan dana sebesar US$167,3 juta dan US$ 361,2 juta yang sebagian besar digunakan
untuk menutup defisit anggaran pemerintah (Posthumus, 1968).
Seperti disebut di atas, setelah Presiden Soekarno kehilangan kekuasaan secara de facto
(meskipun masih menjabat sebagai Presiden), Indonesia langsung ditarik kembali menjadi
anggota IMF. Dengan kondisi ekonomi yang berantakan serta pengaruh besar pak Harto
membuat IMF dapat “bertandang” di Indonesia. Presiden Soekarno secara tertulis pun
menyetujui Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan Word Bank (WB) pada 16 Nopember
1966. Dan sebelum kesepakatan pertemuan di Jenewa Swiss pada November 1967, pemerintah
Soeharto telah mengesahkan UU 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia
dengan keringanan pajak. Sektor-sektor pertambangan dikelola oleh perusahaan Amerika CS
(Inggris, Prancis dkk). Sementara itu, pemerintah Soeharto masih mempertahankan sektor-sektor
penting bagi negara. Pada pasal 6, UU 1 tahun 1967 menyatakan bahwa
1. Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan
penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat
banyak sebagai berikut:
a. pelabuhan-pelabuhan;
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
d. pelayaran;
e. penerbangan;
f. air minum;
g. kereta api umum;
h. pembangkitan tenaga atom;
i. mass media.
2. Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, antara lain
produksi senjata, mesiu, alat- alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi
modal asing.
Setelah keluarnya UU 8/1966 dan UU 1/1967 maka secara bertahap kekuatan ekonomi kita
sudah bergantung pada IMF, WB, dan korporasi asing. Namun dapat dipahami tujuannya
setidak-tidaknya adalah untuk membangkitkan ekonomi yang terpuruk. Salah satunya adalah
dengan utang via IMF, WB yang didukung dengan keterbukaan oleh modal asing. Pasca
pertemuan Jenewa November 1967, tanggal 3 Juli 1968, terbit lagi UU 6/1968 tentang PMA
yang direvisi. Tujuang tidak lain tidak bukan untuk membuka kran modal asing yang selama ini
kurang disukai oleh Soekarno karena ada titipan kepentingan yang dibawa oleh korporasi asing
tersebut dibawah bendera Amerika cs.
Tradisi Utang dan Debt Trap
Terbitnya UU 8/1966 (IMF dan WB) dan UU 1/1968 (direvisi UU 6/1968 ), menunjukkan
Indonesia membuka diri terhadap kekuatan asing baik dari sisi modal maupun pelaku.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF pada tahun November 1966 membuat negara-
negara Barat “berbaik hati” (salah satu tujuannya agar Indonesia mengikuti blok AS cs dan
menjauhi blok Uni Soviet CS). Mereka memberi dana hibah USD 174 juta, restrukturisasi USD
534 juta utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Komitmen
utang baru terus dilakukan melalui lembaga multilateral seperti IMF, WB, CGI (IGGI) dan
anggota negara Paris Club.
Namun, agenda utama negara-negara donor tersebut bukan hanya semata untuk menarik
Indonesia keluar dari komunisme, namun ada satu yang paling mendasar berusaha menjajah
kembali secara ekonomi-politik atau sering disebut Bung Karno sebagai usaha “neokolonialisme
dan neo-imperealisme” melalui campur tangan korporasi Amerika.
Pembayaran dari negara-negara Dunia Ketiga (negara miskin dan berkembang) berjumlah
sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya
(dari negara-negara kaya). Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan
negara-negara dunia Selatan memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan
Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari.” — Steven
Hiatt : As Games As Old As Empire
Pengakuan John Perkins dalam “Confession of Economic Hitman” bahwa Amerika menargetkan
negara-negara dunia ketiga yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) untuk
“dirampok” dan dijebak dengan utang yang tidak sanggup negara tersebut bayar. Dengan
“senjata” yang namanya utang, maka Amerika cs dapat membangun imperium global (global
empire). Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka menjadikan negara Indonesia sebagai
negeri jajahan/pelayan korpotokrasi dari perusahaan-perusahaan AS, pemerintah AS, dan bank-
bank AS. Ketika Indonesia terjajah secara ekonomi-politik, maka Indonesia menjadi target yang
empuk kalau Amerika membutuhkan favours (untuk balas budi), termasuk basis-basis militer,
suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.” [ John Perkins]
Jadi, secara garis besar tujuan utang dari lembaga keuangan multilateral untuk Indonesia pada
saat itu untuk menjebak Indonesia dalam lingkaran utang (debt trap) dengan maksud agar:
1. Indonesia bisa lepas dari pengaruh komunisme Moskwa dan Peking (Perang
Ideologi/Dingin)
2. Menjajah kembali Indonesia secara ekonomi/politik.
3. Menguasai sumber-sumber daya alam Indonesia melalui korporasi globalnya.
4. Membangkrutkan ekonomi negara yang kaya sumber daya alam
Lembaga-lembaga keuangan tersebut berpura-pura menjadi pihak baik yang bermurah hati.
Mereka memfasilitasi pinjaman dari lembaga keuangan multilateral untuk membangun
infrastruktur – pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, bandara, atau kawasan industri yang
proyeknya di mark-up tinggi. Selain itu, semua pinjaman proyek tersebut memiliki syarat bahwa
perusahaan rekayasa dan konstruksi untuk mengerjakan semua proyek tersebut harus berasal dari
negara AS cs. Sehingga sebagian besar uang pinjaman tersebut tidak pernah keluar dari Amerika,
sebuah mekanisme sederhana dimana uang tersebut hanya berpindah dari kantor kas Bank di
Washington kantor bidang rekayasa di New York, Houston atau San Fransico. [John Perkins]
Agar terlihat berhasil, mereka memberikan utang yang sangat besar sehingga perusahaan mereka
seperti Bechtel, Halliburton mendapat laba yang tinggi. Terjadinya proyek-proyek lalu
dilaporkan melalui angka-angka pertumbuhan GDP (PDB), meskipun proyek tersebut hanya
memberi manfaaat besar pada segelintir orang (konglomerat).
IMF, WB, CG(IGGI), Paris Club
Pasca keluarnya UU 8/1966 serta dibukanya keran modal asing pada UU 1/1968 yang direvisi
UU 6/1968, maka lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, WB, IGGI, dan negara Paris Club
berbondong datang ke Indonesia dengan membawa titipan korporasinya untuk menguasai sektor-
sektor strategis bagi negaranya yakni “sumber daya alam” dan “hutan”.
IMF dan WB merupakan rekanan lama, karena pertama kali Indonesia masuk kepada dua
lembaga ini pada tahun 1953. Sedangkan IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag. Anggota
IGGI adalah Belanda, Australia, Amerika Serikat, Belgia, Italia, Jerman, Jepang, Inggris,
Perancis, dan Kanada. Namun pada Maret 1992, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda
tidak diakui lagi oleh Indonesia dan diganti dengan Consultative Group for Indonesia (CGI),
yang dipimpin Bank Dunia (WB). IMF dan WB tidak hanya menggaet IGGI, namun beriringnya
waktu mereka membangun lembaga-lembaga keuangan lain dengan tujuan masing-masing
seperti ADB, UNDP, IDA, IFAD dan IFC.
Melalu lembaga dan negara kreditor inilah ekonomi kita membaik dengan stabilitas harga.
Dengan kucuran utang rata-rata USD 4 miliar per tahun, ekonomi Indonesia mulai tumbuh.
Namun sayang, rata-rata 30% utang yang dicairkan bocor sampai ke tangan rakyat. Selain itu,
sumber-sumber kekayaan alam dikeruk dan bahkan Indonesia ditipu oleh Freeport yang
mengaku hanya menambang tembaga, padahal terdapat kandungan Emas. Disisi lain, sosialisme
harus dibasmi dari pemikiran masyarakat.
Selama 31 tahun [1967-1988], total utang yang dicairkan oleh Pemerintah Soeharto sekitar USD
120 miliar atau Rp 1200 triliun (kurs Rp 10.000 per dollar). Namun 30% dari utang tersebut
adalah utang najis (odious debt) karena korup dan itu diketahui oleh World Bank. Jadi, lembaga-
lembaga kreditor ini pada prinsipnya tahu terjadi kebocoran dana, dan mereka secara tidak
langsung mendukung kebocoran dana sehingga rakyat Indonesia akan terjebak dalam utang.
Perkembangan (pertambahan) Utang dari Soeharto hingga SBY *)
• Pres. Soekarno**) : Posisi utang LN pada tahun 1966 : ~ USD 2.1 miliar
• Pres. Soeharto [1967-1998]: ~ USD 120 miliar
• Pres. BJ Habibie [1998-1999] : USD 30 miliar
• Pres. Abdurahaman Wahid [1999-2001]: USD 20.8 miliar
• Pres. Megawati SP [2001-2004]: USD 13.3 miliar
• Pres. Susilo BY [2004-2009]***) : USD 66 miliar
Keterangan
*) : sumber KAU dan Dirjen Pengelolaan Utang RI
**) : tidak ada data lengkap
***) : Proyeksi dalam anggaran DMO Depkeu
Dari data tersebut, kebijakan utang bukanlah hal yang buruk jika kebijakan utang dilakukan
karena urgensi yang tinggi atau menjadi prorgam short term policy atas memburuknya
perekonomian bangsa. Dalam konteks ini, maka seharusnya kebijakan utang tidak menjadi
program tahunan. Jangan setiap tahun anggaran APBN selalu berisi utang dan utang lagi. Jangan
membuat negara ini menjadi negara yang tidak lepas dari utang setiap tahunnya. Dan jangan
menambah besaran utang lagi. Terlebih utang diikuti dengan program liberalisasi sektor-sektor
strategis, pasar bebas, privatisasi, liberaliasi perbankan hingga liberalisasi pendidikan.
Cikal Bakal Privatisasi
Jika dalam UU 1/1967 secara tegas menyatakan bahwa hanya negara yang berhak mengelola
sektor-sektor yang tertulis dalam pasal 6, maka pada UU 6/1968 sudah memperbolehkan modal
asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang dalam Pasal 6 UU 1/1967 dengan membedakan
label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham).
Maka melalui UU 6/1968, maka secara resmi keterbukaan privatisasi sektor strategis bagi
pemodal asing resmi diperbolehkan……. bersambung bagian 3 (privatisasi)
Salam Perubahan, 29 Juni 2009
ech-wan
Referensi : - Confession of EHM
Selanjutnya : Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indoensia (3) – Tentang
Privatisasi
Sebelumnya : Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indonesia (1) – Tentang

Sejarah BUMN, IMF-World dan


Perusahaan Negara

Privatisasi di Indonesia (2)


2009 Juni 29
tags: bumn, indonesia, koperasi, pasal 33 uud 1945, perusahaan negara, privatisasi, sistem
ekonomi, supersemar, uud 1945
by nusantaraku
Lanjutan Serial Sejarah BUMN, IMF-Word Bank dan Privatisasi di Indonesia (1)
Bagian 1 lebih menceritakan perusahaan negara (BUMN), bagian 2 menceritakan IMF dan WB

IMF-WB Pasca Supersemar


Setelah Gerakan 30 September (G-30), konstelasi politik dan kekuasaan berubah cukup drastis.
Unsur kekuatan PKI yang selama ini menjadi salah satu pendukung Bung Karno punah tidak
terkecuali massa PNI. Kondisi semakin memburuk tatkala ekonomi Indonesia mengalami inflasi
hingga 600%. Gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dengan Tritura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yakni Bubarkan PKI, Perompakan kabinet dan Turunkan harga semakin
mendiskreditkan Soekarno. Terlebih gerakan mahasiswa ini didukung penuh oleh Angkatan
Bersenjata.
Namun, jika kita flash back tahun 1950-an, maka sebenarnya ekonomi, politik dan keamanan
kita terus diusik oleh Amerika. Amerika via CIA (Sejarah CIA dan Pengaruh di Indonesia)
membantu mengobarkan pemberontakan PRRI-Semesta yang berhasil dipadamkan oleh para
prajurit kita. Negara dipaksakan mengeluarkan anggaran untuk berperang melawan
pemberontakkan. Dan pada saat yang sama, Amerika menyusupkan agen senior CIA Guy Pauker
ke Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat) untuk memilih dan menyiapkan para intelektual
ekonom liberal yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley”. Sehingga kehancuran
ekonomi Indonesia di tahun 1965-1966 tidak bisa lepas dari tangan Amerika Cs via CIA.
Pada 11 aret 1966, terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang misterius… Dan
mulai saat itu, Indonesia secara perlahan sudah jatuh ketangan asing dibawah kepemimpinan
militer. Dalam sebuah penelusuran Prof. Peter Dale Scott “The United States and the Overthrow
of Sukarno, 1965-1967” – “Amerika dan Pengulingan Soekarno 1965-1967” secara gamblang
membeberkan keterlibatan CIA dalam pengulingan Presiden Soekarno sejak 1950-an . Begitu
banyak versi kasus Gestapu 1965 yang hingga saat ini belum terpecahkan. Yang pasti, pada saat
itu Amerika sedang gencar menyebarkan paham ideologi liberalis untuk menghadang
komunisme Uni Soviet (Suar Suroso.2008. Bung Karno Korban Perang Dingin). Dan Soekarno
adalah salah sosok yang tidak ingin memihak pada Amerika Serikat yang menganut semangat
neo-imperaliasme dan neokolonialisme. Sehingga wajarlah ia disingkirkan bersama PKI yang
menjadi simbol komunisme di Asia Tenggara.
Yang menarik adalah hilangnya (atau dihilangkan) dokumen asli Supersemar. Banyak versi
terhadap dokumen tersebut yang membuat lahirnya Orde Baru. Sebagian saksi menyatakan
bahwa dokumen Supersemar ditulis diatas korp Angkatan Darat dan ditandatangani secara
terpaksa (bukan diancam, tapi tidak ada pilihan) oleh Presiden Soekarno. Saya tidak tahu seluk-
beluk Supersemar itu sendiri. Namun, bagi saya yang menarik adalah pasca lahirnya Supersemar,
perpolitikan Indonesia berubah drastis, arah kebajikan Indonesia berputar 180 derajat. Dan mulai
saat itu, maka secara resmi Indonesia berubah haluan yakni dari memberi kebebaan tumbuhnya
paham Nasionalisme-Marxisme-Islamisme menjadi paham Liberalisme Diktator. Dan mulai saat
itu pula, Indonesia “AMAN” dari “kemarahan” Amerika, Inggris dan Australia.
Menurut penelusuran Prof Scott ratusan ribu simpatisan (bukan kader partai) PKI diculik dan
dibunuh. Angka-angka yang ada sekitar 500.000 hingga 800.000 dalam periode 1965 hingga
1970. Ratusan dan mungkin ribuan pelajar pro-sosialis yang dikirim Soekarno untuk kuliah di
luar negeri tidak dapat pulang ke Indonesia. Begitu juga kader-kader intelektual dan penulis
seperti A. Umar Said. Salah satu versi video [Shadow Play] pengungkapan dapat Anda lihat di
blog sejarah ini. Khususnya dibidang ekonomi, John Pilgers mengungkap hal serupa. Videonya
dapat dilihat di SINI.
Dalam artikel pertama, disebutkan bahwa dalam kondisi terhimpit, Soekarno masih berani
terhadap Amerika Serikat CS. Tanggal 14 Februari 1966, Indonesia menarik diri dari IMF dan
IBRD ini melalui UU 1/1966. Setelah dukungan bagi Soekarno mulai melemah dengan
dibantainya ratusan ribu orang salah satu pendukung Soekarno, maka secara bertahap munculnya
perundang-undangan yang pro terhadap kepentingan Amerika, Inggris, Australia Cs. Jika di era
Soekarno,hubungan dengan Peking, Moskwa hangat, maka dibawah pemerintah Soeharto via
Supersemar dapat dikatakan bertolak belakang.
Muncullah Tap MPRS RI Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas
dengan Amerika cs. Dan ditambah pada Juli 1966, keluarlah Tap MPRS RI Nomor
XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebidjaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses yang tertentu
dengan kuantitas yang besar. Melalui TAP MPRS tersebut, maka belum satu tahun terbitnya UU
1/1966 tentang keluarnya Indonesia dari lembaga IMF dan WB, pada November 1966 terbit UU
8/1966 yang menganulir UU 1/1966. Dan Soekarno sendiri (terpaksa atau tidak) yang
menandatangani UU 8/1966 yang menyatakan Indonesia kembali bergabung dengan IMF dan
WB.
Melalui Supersemar-lah IMF, WB, Freeport, Exxon, Caltex, Total, Halliburton, Betchell, Toyota
dan korporasi asing lain menguasai sumber-sumber kekayaan alam strategis dari hutan, minyak,
bauksit, tembaga hingga emas. Terlebih setelah konferensi Jenewa pada November 1967.
Cikal Bakal Penanam Modal Asing (PMA)
Sejak kejatuhan era Bung Karno dengan kondisi ekonomi, politik, keamanan yang tidak stabil
dan memburuk, maka haluan ekonomi kita telah berubah arah dari nasionalisme-sosialisme-
islamisme, menjadi liberalis-diktator. Gerakan mahasiswa dan tekanan kuat militer membuat
“Pemerintahan” Soekarno semakin melemah. Isu-isu yang beredar di masyarakat
mendeskreditkakan Soekarno seperti dengan isu bahwa Soekarno terlibat dalam Gestapu 30
September 1965. Pendiskreditkan pengaruh Soekarno dilayangkan dengan pernyataan bahwa
terjadi mis-management, pemborosan, korupsi, serta pemberontakan gerakan Kontra revolusi
G.30.S/PKI dan penjelewengan-penjelewengan terhadap Undang-undang Dasar 1945
menyebabkan ekonomi hancur. Secara singkat, isu ekonomilah membuat Soekarno akhirnya
jatuh. Masyarakatpun secara bertahap mulai takut memuja Soekarno, karena beredar isu bahwa
mereka yang mendukung Soekarno identik dengan PKI, sehingga mereka yang memuja
Soekarno akan berakhir di ujung senapan.
Melemahnya pengaruh dan kekuasan Soekarno di awal 1966, diikuti oleh pengambil kekuasaan
oleh Soeharto. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menunjuk Prof Widjoyo Nitisastro untuk
menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang berbeda dengan Soekarno. Dan untuk
menjalankan sistem ekonomi baru, pemerintah Soeharto sudah siap mengirim berbagai delegasi
ke Eropa untuk membuat kesepakatan “mengolah” hasil kekayaan bumi Indonesia serta ekonomi
Indonesia secara global.
Untuk mendatangkan modal asing, pemerintah mengirim delegasi yang dipimpin oleh
Hamengkubuwono IX untuk menghadiri Konferensi Tokyo yang juga dihadiri oleh beberapa
Negara Barat seperti Jerman, Inggris, Belanda, Australia dan Jepang serta IMF. Pada misi ini
mulai ada kesepahaman dengan negara donor untuk membantu Indonesia. Pada Februari 1967,
World Bank dan IMF dengan senang hati menerima kembali Indonsia sebagai anggotanya dan
hal ini diperkuat dengan terbitnya UU 8/1966 oleh pemerintah Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah harus menyetujui komitmen untuk menerapkan ekonomi liberal.
Sebagai pelaksana dan kordinator negara donor maka pada tanggal 23-24 Februari 1967
berdirilah Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda dengan
anggota 16 Negara dan 5 organisasi internasional. Pada tahun 1967 dan 1968, IGGI telah
menyalurkan dana sebesar US$167,3 juta dan US$ 361,2 juta yang sebagian besar digunakan
untuk menutup defisit anggaran pemerintah (Posthumus, 1968).
Seperti disebut di atas, setelah Presiden Soekarno kehilangan kekuasaan secara de facto
(meskipun masih menjabat sebagai Presiden), Indonesia langsung ditarik kembali menjadi
anggota IMF. Dengan kondisi ekonomi yang berantakan serta pengaruh besar pak Harto
membuat IMF dapat “bertandang” di Indonesia. Presiden Soekarno secara tertulis pun
menyetujui Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan Word Bank (WB) pada 16 Nopember
1966. Dan sebelum kesepakatan pertemuan di Jenewa Swiss pada November 1967, pemerintah
Soeharto telah mengesahkan UU 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia
dengan keringanan pajak. Sektor-sektor pertambangan dikelola oleh perusahaan Amerika CS
(Inggris, Prancis dkk). Sementara itu, pemerintah Soeharto masih mempertahankan sektor-sektor
penting bagi negara. Pada pasal 6, UU 1 tahun 1967 menyatakan bahwa
1. Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan
penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat
banyak sebagai berikut:
a. pelabuhan-pelabuhan;
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
d. pelayaran;
e. penerbangan;
f. air minum;
g. kereta api umum;
h. pembangkitan tenaga atom;
i. mass media.
2. Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, antara lain
produksi senjata, mesiu, alat- alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi
modal asing.
Setelah keluarnya UU 8/1966 dan UU 1/1967 maka secara bertahap kekuatan ekonomi kita
sudah bergantung pada IMF, WB, dan korporasi asing. Namun dapat dipahami tujuannya
setidak-tidaknya adalah untuk membangkitkan ekonomi yang terpuruk. Salah satunya adalah
dengan utang via IMF, WB yang didukung dengan keterbukaan oleh modal asing. Pasca
pertemuan Jenewa November 1967, tanggal 3 Juli 1968, terbit lagi UU 6/1968 tentang PMA
yang direvisi. Tujuang tidak lain tidak bukan untuk membuka kran modal asing yang selama ini
kurang disukai oleh Soekarno karena ada titipan kepentingan yang dibawa oleh korporasi asing
tersebut dibawah bendera Amerika cs.
Tradisi Utang dan Debt Trap
Terbitnya UU 8/1966 (IMF dan WB) dan UU 1/1968 (direvisi UU 6/1968 ), menunjukkan
Indonesia membuka diri terhadap kekuatan asing baik dari sisi modal maupun pelaku.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF pada tahun November 1966 membuat negara-
negara Barat “berbaik hati” (salah satu tujuannya agar Indonesia mengikuti blok AS cs dan
menjauhi blok Uni Soviet CS). Mereka memberi dana hibah USD 174 juta, restrukturisasi USD
534 juta utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Komitmen
utang baru terus dilakukan melalui lembaga multilateral seperti IMF, WB, CGI (IGGI) dan
anggota negara Paris Club.
Namun, agenda utama negara-negara donor tersebut bukan hanya semata untuk menarik
Indonesia keluar dari komunisme, namun ada satu yang paling mendasar berusaha menjajah
kembali secara ekonomi-politik atau sering disebut Bung Karno sebagai usaha “neokolonialisme
dan neo-imperealisme” melalui campur tangan korporasi Amerika.
Pembayaran dari negara-negara Dunia Ketiga (negara miskin dan berkembang) berjumlah
sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya
(dari negara-negara kaya). Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan
negara-negara dunia Selatan memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan
Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari.” — Steven
Hiatt : As Games As Old As Empire
Pengakuan John Perkins dalam “Confession of Economic Hitman” bahwa Amerika menargetkan
negara-negara dunia ketiga yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) untuk
“dirampok” dan dijebak dengan utang yang tidak sanggup negara tersebut bayar. Dengan
“senjata” yang namanya utang, maka Amerika cs dapat membangun imperium global (global
empire). Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka menjadikan negara Indonesia sebagai
negeri jajahan/pelayan korpotokrasi dari perusahaan-perusahaan AS, pemerintah AS, dan bank-
bank AS. Ketika Indonesia terjajah secara ekonomi-politik, maka Indonesia menjadi target yang
empuk kalau Amerika membutuhkan favours (untuk balas budi), termasuk basis-basis militer,
suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.” [ John Perkins]
Jadi, secara garis besar tujuan utang dari lembaga keuangan multilateral untuk Indonesia pada
saat itu untuk menjebak Indonesia dalam lingkaran utang (debt trap) dengan maksud agar:
1. Indonesia bisa lepas dari pengaruh komunisme Moskwa dan Peking (Perang
Ideologi/Dingin)
2. Menjajah kembali Indonesia secara ekonomi/politik.
3. Menguasai sumber-sumber daya alam Indonesia melalui korporasi globalnya.
4. Membangkrutkan ekonomi negara yang kaya sumber daya alam
Lembaga-lembaga keuangan tersebut berpura-pura menjadi pihak baik yang bermurah hati.
Mereka memfasilitasi pinjaman dari lembaga keuangan multilateral untuk membangun
infrastruktur – pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, bandara, atau kawasan industri yang
proyeknya di mark-up tinggi. Selain itu, semua pinjaman proyek tersebut memiliki syarat bahwa
perusahaan rekayasa dan konstruksi untuk mengerjakan semua proyek tersebut harus berasal dari
negara AS cs. Sehingga sebagian besar uang pinjaman tersebut tidak pernah keluar dari Amerika,
sebuah mekanisme sederhana dimana uang tersebut hanya berpindah dari kantor kas Bank di
Washington kantor bidang rekayasa di New York, Houston atau San Fransico. [John Perkins]
Agar terlihat berhasil, mereka memberikan utang yang sangat besar sehingga perusahaan mereka
seperti Bechtel, Halliburton mendapat laba yang tinggi. Terjadinya proyek-proyek lalu
dilaporkan melalui angka-angka pertumbuhan GDP (PDB), meskipun proyek tersebut hanya
memberi manfaaat besar pada segelintir orang (konglomerat).
IMF, WB, CG(IGGI), Paris Club
Pasca keluarnya UU 8/1966 serta dibukanya keran modal asing pada UU 1/1968 yang direvisi
UU 6/1968, maka lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, WB, IGGI, dan negara Paris Club
berbondong datang ke Indonesia dengan membawa titipan korporasinya untuk menguasai sektor-
sektor strategis bagi negaranya yakni “sumber daya alam” dan “hutan”.
IMF dan WB merupakan rekanan lama, karena pertama kali Indonesia masuk kepada dua
lembaga ini pada tahun 1953. Sedangkan IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag. Anggota
IGGI adalah Belanda, Australia, Amerika Serikat, Belgia, Italia, Jerman, Jepang, Inggris,
Perancis, dan Kanada. Namun pada Maret 1992, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda
tidak diakui lagi oleh Indonesia dan diganti dengan Consultative Group for Indonesia (CGI),
yang dipimpin Bank Dunia (WB). IMF dan WB tidak hanya menggaet IGGI, namun beriringnya
waktu mereka membangun lembaga-lembaga keuangan lain dengan tujuan masing-masing
seperti ADB, UNDP, IDA, IFAD dan IFC.
Melalu lembaga dan negara kreditor inilah ekonomi kita membaik dengan stabilitas harga.
Dengan kucuran utang rata-rata USD 4 miliar per tahun, ekonomi Indonesia mulai tumbuh.
Namun sayang, rata-rata 30% utang yang dicairkan bocor sampai ke tangan rakyat. Selain itu,
sumber-sumber kekayaan alam dikeruk dan bahkan Indonesia ditipu oleh Freeport yang
mengaku hanya menambang tembaga, padahal terdapat kandungan Emas. Disisi lain, sosialisme
harus dibasmi dari pemikiran masyarakat.
Selama 31 tahun [1967-1988], total utang yang dicairkan oleh Pemerintah Soeharto sekitar USD
120 miliar atau Rp 1200 triliun (kurs Rp 10.000 per dollar). Namun 30% dari utang tersebut
adalah utang najis (odious debt) karena korup dan itu diketahui oleh World Bank. Jadi, lembaga-
lembaga kreditor ini pada prinsipnya tahu terjadi kebocoran dana, dan mereka secara tidak
langsung mendukung kebocoran dana sehingga rakyat Indonesia akan terjebak dalam utang.
Perkembangan (pertambahan) Utang dari Soeharto hingga SBY *)
• Pres. Soekarno**) : Posisi utang LN pada tahun 1966 : ~ USD 2.1 miliar
• Pres. Soeharto [1967-1998]: ~ USD 120 miliar
• Pres. BJ Habibie [1998-1999] : USD 30 miliar
• Pres. Abdurahaman Wahid [1999-2001]: USD 20.8 miliar
• Pres. Megawati SP [2001-2004]: USD 13.3 miliar
• Pres. Susilo BY [2004-2009]***) : USD 66 miliar
Keterangan
*) : sumber KAU dan Dirjen Pengelolaan Utang RI
**) : tidak ada data lengkap
***) : Proyeksi dalam anggaran DMO Depkeu
Dari data tersebut, kebijakan utang bukanlah hal yang buruk jika kebijakan utang dilakukan
karena urgensi yang tinggi atau menjadi prorgam short term policy atas memburuknya
perekonomian bangsa. Dalam konteks ini, maka seharusnya kebijakan utang tidak menjadi
program tahunan. Jangan setiap tahun anggaran APBN selalu berisi utang dan utang lagi. Jangan
membuat negara ini menjadi negara yang tidak lepas dari utang setiap tahunnya. Dan jangan
menambah besaran utang lagi. Terlebih utang diikuti dengan program liberalisasi sektor-sektor
strategis, pasar bebas, privatisasi, liberaliasi perbankan hingga liberalisasi pendidikan.
Cikal Bakal Privatisasi
Jika dalam UU 1/1967 secara tegas menyatakan bahwa hanya negara yang berhak mengelola
sektor-sektor yang tertulis dalam pasal 6, maka pada UU 6/1968 sudah memperbolehkan modal
asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang dalam Pasal 6 UU 1/1967 dengan membedakan
label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham).
Maka melalui UU 6/1968, maka secara resmi keterbukaan privatisasi sektor strategis bagi
pemodal asing resmi diperbolehkan……. bersambung bagian 3 (privatisasi)
Salam Perubahan, 29 Juni 2009
ech-wan
Referensi : - Confession of EHM
Selanjutnya : Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indoensia (3) – Tentang Privatisasi
Sebelumnya : Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indonesia (1) – Tentang Perusahaan
Negara

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)


Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 1 TAHUN 1967 (1/1967)
Tanggal: 10 JANUARI 1967 (JAKARTA)
Sumber: LN 1967/1; TLN NO. 2818
Tentang: PENANAMAN MODAL ASING
Indeks: MODAL ASING. PENANAMAN.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kekuatan ekonomi potensiil yang dengan kurnia Tuhan yang Maha Esa terdapat banyak di
seluruh wilayah tanah air yang belum diolah untuk dijadikan kekuatan ekonomi riil, yang antara lain
disebabkan oleh karena ketiadaan modal, pengalaman dan tekhnologi;
b. bahwa Pancasila adalah landasan idiil dalam membina: sistim ekonomi Indonesia dan yang senantiasa
harus tercermin dalam setiap kebijaksanaan ekonomi;
c. bahwa pembangunan ekonomi berarti pengolahan kekuatan ekonomi potensiil menjadi kekuatan
ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan tekhnologi, penambahan pengetahuan, peningkatan
ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan managemen;
d. bahwa penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut dari potensi ekonomi
harus didasarkan kepada kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri;
e. bahwa dalam pada itu azas untuk mendasarkan kepada kemampuan serta kesanggupan sendiri tidak
boleh menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, tekhnologi dan skiil yang
tersedia dari luar negeri, selama segala sesuatu benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi
rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri;
f. bahwa penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mmpercepat
pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam
waktu dekat belum dan atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri;
g. bahwa perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang jelas untuk memenuhi kebutuhan akan modal guna
pembangunan nasional, disamping menghindarkan keragu-raguan dari pihak modal asing;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-undang Dasar;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXIII/MPRS/1966
tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
3. Nota I MPRS/1966 tentang Politik Luar Negeri berdasarkan Pancasila;
4. Undang-undang REFR DOCNM="60uu005">No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria;
5. Undang-undang REFR DOCNM="60ppu037">No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertimbangan dan
Undang-undang REFR DOCNM="60ppu004">No. 44 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi;
6. Undang-undang REFR DOCNM="64uu032">No.32 tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;


Memutuskan :
Menetapkan:
Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing.
BAB I.
PENGERTIAN PENANAMAN MODAL ASING.
Pasal 1.
Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal
asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal
secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.
Pasal 2.
Pengertian modal asing dalam Undang-undang ini ialah:
a. alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaann devisa Indonesia, yang
dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.
b. alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan,
yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari
kekayaan devisa Indonesia.
c. bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi
dipergunakan untuk memmembiayai perusahaan di Indonesia.
BA B II.
BENTUK HUKUM, KEDUDUKAN DAN DAERAH
BERUSAHA.
Pasal 3.
TGPT NAME="ps3(1)">(1) Perusahaan yang dimaksud dalam pasal 1 yang dijalankan untuk seluruhnya
atau bagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri harus berbentuk Badan
Hukum menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2) Pemerintah menetapkan apakah sesuatu perusahaan dijalankan untuk seluruhnya atau bagian
terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri.
Pasal 4.
Pemerintah menetapkan daerah berusaha perusahaan-perusahaan modal asing di Indonesia dengan
memperhatikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah, macam perusahaan,
besarnya penanaman modal dan keinginan pemilik modal asing sesuai dengan rencana pembangunan
Ekonomi Nasional dan Daerah.
BAB III.
BIDANG USAHA MODAL ASING.
Pasal 5.
(1) Pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut
urutan prioritas, dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanam modal asing dalam
tiap-tiap usaha tersebut.
(2) Perincian menurut urutan prioritas ditetapkan tiap kali pada waktu Pemerintah menyusun rencana-
rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, dengan memperhatikan perkembangan
ekonomi serta tekhnologi.
Pasal 6.
(1) Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh ialah
bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:
a. pelabuhan-pelabuhan;
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
d. pelayaran;
e. penerbangan;
f. air minum;
g. kereta api umum;
h. pembangkitan tenaga atom;
i. mass media.
(2) Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, antara lain produksi
senjata, mesiu, alat- alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Pasal 7.
Selain yang tersebut pada pasal 6 ayat (1) Pemerintah dapat menetapkan bidang-bidang usaha tertentu
dimana tidak boleh lagi ditanam modal asing.
Pasal 8.
(1) Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan
Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.

(2) Sistim kerja sama atas dasar kontrak karya atau dalam bentuk lain dapat dilaksanakan dalam bidang-
bidang usaha lain yang akan ditentukan oleh Pemerintah.
BAB IV.

TENAGA KERJA.
Pasal 9.

Pemilik modal mempunyai wewenang sepenuhnya untuk menentukan direksi perusahaan-perusahaan


dimana modalnya ditanam.
Pasal 10.

Perusahaan-perusahaan modal asing wajib memenuhi kebutuhan akan tenaga kerjanya dengan
warganegara Indonesia kecuali dalam hal-hal tersebut pada pasal 11.
Pasal 11.

Perusahaan-perusahaan modal asing diizinkan mendatangkan atau menggunakan tenaga-tenaga


pimpinan dan tenaga-tenaga ahli warganegara asing bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan
tenaga kerja warganegara Indonesia.
Pasal 12.

Perusahaan-perusahaan modal asing berkewajiban, menyelenggarakan dan/atau menyediakan fasilitas-


fasilitas latihan dan pendidikan di dalam dan/atau di luar negeri secara teratur dan terarah bagi
warganegara Indonesia dengan tujuan agar berangsur-angsur tenaga-tenaga warganegara asing dapat
diganti oleh tenaga-tenaga warganegara Indonesia.
Pasal 13.

Pemerintah mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 9, 10, 11 dan 12.


BAB V.
PEMAKAIAN TANAH.
Pasal 14.
Untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hak guna-
bangunan, hak guna-usaha dan hak pakai menurut peraturan perundangan yang berlaku.
BAB VI.
KELONGGARAN-KELONGGARAN PERPAJAKAN DAN
PUNGUTAN-PUNGUTAN LAIN.
Pasal 15.
Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberikan kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan
pungutan lainnya sebagai berikut:
a. Pembebasan dari:
1. Pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5
(lima) tahun terhitung dari saat usaha tersebut mulai berproduksi;
2. Pajak dividen atas bagian laba yang dibayarkan kepada pemegang saham, sejauh laba tersebut
diperoleh dalam jangka waktu yang tidak melebihi waktu 5 (lima) tahun dari saat usaha tersebut dimulai
berproduksi.;
3. Pajak perseroan atas keuntungan termaksud dalam pasal 19 sub a, yang ditanam kembali dalam
perusahaan bersangkutan di Indonesia, untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5
(lima) tahun terhitung dari saat penanaman kembali;
4. Bea masuk pada waktu pemasukan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam wilayah Indonesia
seperti mesin-mesin, alat-alat kerja atau pesawat-pesawat yang diperlukan untuk menjalankan
perusahaan itu;
5. Bea Meterai Modal atas penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing.
b. Keringanan:
1. Atas pengenaan pajak perseroan dengan suatu tarip yang proporsionil setinggi-tingginya lima puluh
perseratus untuk jangka waktu yang tidak melebihi 5 (lima) tahun sesudah jangka waktu pembebasan
sebagai yang dimaksud dalam ad a, angka 1 tersebut diatas;
2. Dengan cara memperhitungkan kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan yang
dimaksud pada huruf a angka 1, dengan keuntungan yang harus dikenakan pajak setelah jangka waktu
tersebut diatas;
3. Dengan mengizinkan penyusutan yang dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap.
Pasal 16.
(1) Pemberian kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain tersebut dalam pasal
15 dilakukan dengan mengingat prioritas mengenai bidang-bidang usaha sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 5.
TGPT NAME="ps16(2)">(2) Selain kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain
tersebut dalam ayat (1) pasal ini maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diberikan tambahan
kelonggaran- kelonggaran itu kepada sesuatu perusahaan modal asing yang sangat diperlukan bagi
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 17.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam pasal 15 dan 16 ditetapkan oleh Pemerintah.
BA B VII.
JANGKA WAKTU PENANAMAN MODAL ASING,
HAK TRANSFER DAN REPATRIASI.
Pasal 18.
Dalam setiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu berlakunya yang tidak melebihi 30
(tiga puluh) tahun.
Pasal 19,
(1) Kepada perusahaan modal asing diberikan hak transfer dalam valuta asli dari modal atas dasar nilai
tukar yang berlaku untuk:
a. keuntungan yang diperoleh modal sesudah dikurangi pajak- pajak dan kewajiban-kewajiban
pembayaran lain di Indonesia;
b. biaya-biaya yang berhubungan dengan tenaga asing yang dipekerjakan di Indonesia;
c. biaya-biaya lain yang ditentukan lebih lanjut;
d. penyusutan atas alat-alat perlengkapan tetap;
e. kompensasi dalam hal nasionalisasi.
(2) Pelaksanaan transfer ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 20.
Transfer,yang bersifat repatriasi modal tidak dapat diizinkan selama kelonggaran-kelonggaran perpajakan
dan pungutan-pungutan lain yang tersebut pada pasal 15 masih berlaku. Pelaksanaan lebih lanjut diatur
oleh Pemerintah.
BAB VIII.
NASIONALISASI DAN KOMPENSASI.
Pasal 21.
Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak milik secara menyeluruh atas
perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau
mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan
Negara menghendaki tindakan demikian.
Pasal 22.
(1) Jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka Pemerintah wajib memberikan
kompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak
sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku.
(2) Jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam dan cara
pembayaran kompensasi tersebut maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah
pihak.
(3) Badan arbitrase terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh Pemerintah dan pemilik modal masing-masing
satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya yang dipilih bersama-sama oleh Pemerintah dan pemilik
modal.
BAB IX.
KERJA SAMA MODAL ASING DAN MODAL NASIONAL.
Pasal 23.
(1) Dalam bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dapat diadakan kerja sama antara modal
asing dengan modal nasional dengan mengingat ketentuan dalam pasal 3.
(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bidang-bidang usaha, bentuk-bentuk dan cara-cara kerja sama
antara modal asing dan modal nasional dengan memanfaatkan modal dan keahlian asing dalam bidang
ekspor serta produksi barang-barang dan jasa-jasa.
Pasal 24.
Keuntungan yang diperoleh perusahaan modal asing sebagai hasil kerja sama antara modal asing dan
modal nasional tersebut pada pasal 23 setelah dikurangi pajak-pajak serta kewajiban-kewajiban lain yang
harus dibayar di Indonesia, diizinkan untuk ditransfer dalam valuta asli dari modal asing yang
bersangkutan seimbang dengan bagian modal asing yang ditanam.
Pasal 25.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini mengenai kelonggaran perpajakan dan jaminan terhadap
nasionalisasi maupun pemberian kompensasi berlaku pula untuk modal asing tersebut dalam pasal 23.
BAB X.
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN LAIN BAGI
PENANAMAN MODAL ASING.
Pasal 26.

Perusahaan-perusahaan modal asing wajib mengurus dan mengendalikan perusahaannya sesuai


dengan azas-azas ekonomi perusahaan dengan tidak merugikan kepentingan Negara.
Pasal 27.

(1) Perusahaan tersebut pada pasal 3 yang seluruh modalnya adalah modal asing wajib memberi
kesempatan partisipasi bagi modal nasional secara effektif setelah jangka waktu tertentu dan menurut
imbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Jikalau partisipasi termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan penjualan saham-saham yang
telah ada maka hasil penjualan tersebut dapat ditransfer dalam valuta asli dari modal asing yang
bersangkutan.
BAB XI.
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 28.

(1) Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini harus ada koordinasi antara badan-
badan Pemerintah yang bersangkutan untuk menjamin keserasian daripada kebijaksanaan Pemerintah
terhadap modal asing.

(2) Cara-cara penyelenggaraan koordinasi tersebut akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 29.

Ketentuan-ketentuan Undang-undang ini berlaku bagi penanaman modal asing yang dilakukan setelah
berlakunya Undang-undang ini baik dalam perusahaan-perusahaan baru maupun dalam perusahaan-
perusahaan yang telah ada untuk menyelenggarakan pengluasan dan /atau pembaharuan.

BAB XII.
KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 30.

Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah.
BAB XIII.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Januari 1967.
Presiden Republik Indonesia,

SUKARNO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Januari 1967.
Sekretaris Negara,
MOHD. ICHSAN.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1967
tentang
PENANAMAN MODAL ASING.
PENJELASAN UMUM.
Keadaan ekonomi kita sejak beberapa tahun ditandai oleh kemerosotan daya beli Rakyat secara terus
menerus dan perbedaan tingkat hidup yang makin menonjol. Keadaan yang menyedihkan ini tidak dapat
dibiarkan berlangsung terus dan harus segera dihentikan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah menetapkan bahwa kepada masalah perbaikan
ekonomi Rakyat harus diberikan prioritas utama diantara soal-soal Nasional dan bahwa cara menghadapi
masalah-masalah ekonomi harus didasarkan kepada prinsip-prinsip ekonomi yang rasionil dan realistis.
Dengan berpegang teguh kepada Ketetapan M.P.R.S. ini maka segera harus diambil langkah-langkah
untuk memperbaiki nasib ekonomi rakyat.
Masalah ekonomi adalah masalah meningkatkan kemakmuran Rakyat dengan menambah produksi
barang dan jasa, sedang selanjutnya adalah masalah mengusahakan pembagian yang adil dari barang
dan jasa hasil produksi.
Peningkatan produksi dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan
pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan management.
Dalam rangka ini penanaman modal memegang peranan yang sangat penting.
Dalam menghentikan kemerosotan ekonomi dan melaksanakan pembangunan ekonomi maka azas,
penting yang harus dipegang teguh ialah bahwa segala usaha harus didasarkan kepada kemampuan
serta kesanggupan Rakyat Indonesia sendiri. Namun begitu azas ini tidak boleh menimbulkan keseganan
untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia dari luar negeri, selama
segala sesuatu benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi Rakyat tanpa mengakibatkan
ketergantungan terhadap luar negeri.
Berdasarkan pangkal tolak yang rasionil dan realistis sebagaimana diuraikan diatas maka ditetapkan
Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing.
Untuk mencapai maksud tersebut diatas, maka dengan Undang-undang kepada modal asing diberikan
pembebasan/kelonggaran perpajakan dan fasilitas-fasilitas lain.
Dalam pada itu Undang-undang ini tidak membuka seluruh lapangan usaha bagi modal asing.
Dominasi modal asing seperti dikenal dalam zaman penjajahan dengan sendirinya harus dicegah.
Perusahaan-perusahaan vital yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap tertutup bagi modal asing
(pasal 6). Dalam tiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu berlakunya yang tidak lebih
dari 30 tahun. Kecuali itu didalam menentukan bidang-bidang usaha mana modal asing diperbolehkan,
Pemerintah sepenuhnya memperhatikan kekuatan modal nasional yang ada rencana-rencana
pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah (pasal 5.).
Dalam hal ini tidak boleh dilupakan bahwa tanah, kekayaan alam dan iktikat baik negara dan bangsa
Indonesia juga dapat diperhitungkan sebagai modal yang berharga.
Penanaman modal asing menurut Undang-undang ini dapat dilakukan dalam bentuk perusahaan yang
dari semula modalnya seratus persen terdiri dari modal asing ataupun dalam bentuk kerja-sama antara
modal asing dan modal nasional.
Berhubung dengan ketentuan dalam pasal 27 Pemerintah akan menentukan pula bidang-bidang usaha
mana yang hanya dapat diusahakan dalam bentuk kerja-sama dengan modal nasional (pasal 5 ayat 1).
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1.
Berbeda dari pada kredit yang risiko penggunaannya ditanggung oleh peminjam maka didalam
penanaman modal asing risiko penggunaannya menjadi tanggungan penanam. Undang-undang ini hanya
mengatur hal penanaman modal asing dan tidak mengatur hal kredit. Berhubung dengan itu maka perlu
dikemukakan kemungkinan adanya modal asing yang digunakan dalam sesuatu usaha sepenuhnya, dan
adanya modal asing yang dimanfaatkan dalam sesuatu usaha dalam kerja-sama dengan modal nasional.
Pasal 2.
Modal asing dalam Undang-undang ini tidak hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat
perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan-penemuan
milik orang/badan asing yang dipergunakan dalam perusahaan di Indonesia, dan keuntungan yang boleh
ditransfer keluar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia.
Pasal 3.
Penanaman modal asing oleh seorang asing, dalam statusnya sebagai orang-perseorangan, dapat
menimbulkan kesulitan/ketidak tegasan di bidang hukum internasional.
Dengan mewajibkan bentuk badan hukum maka dengan demikian akan mendapat ketegasan mengenai
status hukumnya, yaitu badan hukum Indonesia yang tunduk pada hukum Indonesia. Sebagai badan
hukum terdapat ketegasan tentang modal yang ditanam di Indonesia.
Pasal 4.
Dengan ketentuan ini maka dapat diusahakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia
dengan memperhatikan daerah-daerah minus, sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi nasional
dan daerah.
Pasal 5.
Cukup jelas.
Pasal 6.
Cukup jelas.
Pasal 7.
Cukup jelas.
Pasal 8.
Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi maka Pemerintah menentukan bentuk-bentuk
kerjasama antara modal asing dan modal nasional yang paling menguntungkan untuk tiap bidang usaha.
Mungkin bentuk kerja-sama ini berujud kontrak karya, joint venture atau bentuk lainnya.
Pasal 9.
Kepada pemilik modal asing diperkenankan sepenuhnya menetapkan direksi perusahaannya. Kiranya hal
demikian itu sudah sewajarnyalah karena penanam modal asing ingin menyerahkan pengurusan modal
kepada orang yang dipercayainya. Dalam hal kerja-sama antara modal asing dan modal nasional, direksi
ditetapkan bersama-sama.
Pasal 10 dan 11.
Cukup jelas.
Pasal 12.
Kecuali memberikan pendidikan dalam bidang teknik, maka perusahaan modal asing diwajibkan
menyelenggarakan dan/atau menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan dalam bidang
pemasaran dalam dan luar negeri.
Pasal 13.
Pengawasan oleh Pemerintah dilaksanakan secara aktif dan effektif.
Pasal 14.
1. Ketentuan pasal ini yang memungkinkan diberikannya tanah kepada perusahaan-perusahaan yang
bermodal asing bukan saja dengan hak pakai, tetapi juga dengan hak guna bangunan dan hak guna
usaha, merupakan penegasan dari apa yang ditentukan di dalam pasal 55 ayat 2 Undang-undang Pokok
Agraria, berhubungan dengan pasal 10, 62 dan 64 Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966.
2. Sesuai,dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria pasal 35, pasal 29 dan pasal 41, maka hak
guna bangunan tersebut dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang mengingat
keadaan perusahaan dan bangunannya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Hak guna usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 25 tahun.
Kepada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan macam tanaman yang diusahakannya
memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha dengan jangka waktu hak guna
usaha tersebut dapat diperpanjang paling lama 25 tahun,
Hak pakai diberikan dengan jangka waktu menurut keperluannya, dengan mengingat pembatasan-
pembatasan bagi hak guna bangunan dan hak guna usaha tersebut di atas.
Pasal 15.
a. Pembebasan :
1. Karena usaha sesuatu perusahaan itu beraneka ragam dan dengan demikian juga kemungkinan
berproduksinya maka jangka waktu pembebasan pajak dapat diatur sesuai dengan itu.
Jangka waktu maksimal 5 tahun dianggap cukup untuk memberi kompensasi terhadap pengeluaran yang
dilakukan sebelum usaha bersangkutan berproduksi.
Menurut pengertian internasional saat permulaan berproduksi adalah saat sesuatu usaha baru mulai
berproduksi dalam jumlah yang dapat disalurkan di pasaran.
2. Pembagian laba yang diperoleh selama waktu pembebasan pajak wajar dibebaskan juga dari
pengenaan pajak deviden.
3. Keuntungan yang ditanam kembali, diperlukan sebagai penanaman modal asing baru.
4. Cukup jelas.
5. Dalam rangka pemberian pembebasan pajak kepada modal asing maka tidak diadakan pungutan sub
a No. 5, karena tergolong biaya sebelum sesuatu usaha baru berproduksi.
b. Keringanan:
1. Dengan menyimpang dari tarip pajak perseroan marginal sebesar enam puluh perseratus dari jumlah
laba bersih, sebagaimana ditentukan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 maka untuk jangka waktu
yang tidak melebihi 5 tahun sesudah jangka waktu pembebasan diberikan suatu penurunan tarip pajak
dengan memperhatikan bidang-bidang usaha menurut urutan prioritas yang dimaksud dalam pasal 5 ayat
(1).
Jumlah pajak dalam jangka waktu tersebut akan berupa suatu tarip proporsionil setinggi-tingginya lima
puluh perseratus dari laba tahunan bersih.
2. Pasal 7 Ordonansi Pajak Perseroan 1925 menentukan bahwa kerugian yang diderita dalam sesuatu
tahun hanya dapat diperhitungkan dengan laba dalam 2 tahun berikutnya. Menurut ketentuan dalam
angka 2 sub b ini maka kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan tersebut sub a angka 1,
dapat diperhitungkan dengan laba yang diperoleh setelah jangka waktu sehingga kerugian tersebut dapat
diperhitungkan penuh.
3. Menteri Keuangan akan mengatur sesuatu tabel penyusutan untuk barang perlengkapan tetap
perusahaan baru modal asing dengan memperhatikan bidang-bidang usaha menurut urutan prioritas
yang disebut dalam pasal 5 ayat (1).
Pasal 16.
1. Besarnya kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain tersebut dalam pasal 15
ditentukan sesuai dengan prioritas mengenai bidang-bidang usaha sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal 5 dan sesuai pula dengan berat ringannya usaha.
2. Ada kemungkinan sesuatu perusahaan modal asing yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan
ekonomi Indonesia dapat membuktikan bahwa kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-
pungutan lain seperti tersebut dalam ayat (1) masih belum cukup untuk berusaha secara effisien dan
effektif. Hal yang demikian itu dapat terjadi apabila perusahaan tersebut memerlukan modal yang sangat
besar untuk investasi atau untuk biaya "overhead". Dalam keadaan yang demikian Pemerintah dapat
memberikan kelonggaran-kelonggaran itu kepada setiap perusahaan yang dianggap pantas untuk
diberikannya. Tiap-tiap keputusan Pemerintah itu harus dituangkan dalam, suatu Peraturan Pemerintah.
Apabila Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) maka
Pemerintah akan menghubungkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan-ketentuan mengenai kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain yang
dimaksud dalam Bab VI Undang-undang ini akan dilakukan juga bagi modal nasional dan bagi modal
domestic asing dalam bidang-bidang usaha yang sama.
Pasal 17.
Dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah nanti akan ditentukan lebih lanjut
pelaksanaan administratif perpajakan.
Pasal 18.

Selanjutnya diadakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:


1. Perusahaan modal asing harus.mengadakan pembukuan tersendiri dari modal asingnya.
2. Untuk menetapkan besarnya modal asing maka jumlahnya harus dikurangi dengan jumlah-jumlah yang
dengan jalan repatriasi telah ditransfer.
3. Tiap tahun perusahaan diwajibkan menyampaikan kepada Pemerintah suatu ikhtisar dari modal
asingnya.
Pasal 19 dan 20.
Perusahaan modal asing diberikan izin transfer dalam valuta aslinya setelah bekerja beberapa waktu
menurut penetapan Pemerintah. Hak transfer merupakan suatu perangsang untuk menarik penanaman
modal asing. Realisasi transfer termaksud ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah. Semua transfer selain
yang diperkenankan berdasarkan pasal 19 huruf a, b dan c dipandang sebagai repatriasi modal asing.
Dirasakan adil apabila perusahaan-perusahaan yang menggunakan modal asing tidak diperbolehkan
merepatriasi modalnya/mentransfer penyusutan modalnya selama perusahaan-perusahaan itu masih
memperoleh kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain. Perlu diterangkan bahwa
transfer keuntungan modal asing dapat dilakukan juga selama perusahaan itu memperoleh kelonggaran-
kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain.
Pasal 21 dan 22.
Untuk menjamin ketenangan bekerja modal asing yang ditanam di Indonesia maka dalam pasal ini
ditetapkan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan modal asing,
kecuali jika kepentingan Negara menghendakinya. Tindakan demikian itu hanya dapat dilakukan dengan
Undang-undang serta dengan pemberian kompensasi menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional.
Pasal 23.
Pengertian modal nasional dalam Undang-undang ini meliputi modal Pemerintah Pusat dari Daerah,
Koperasi dan modal swasta nasional.
Pasal 24 dan 25.
Cukup jelas.
Pasal 26.
Maksud ketentuan ini adalah untuk mencegah jangan sampai perusahaan modal asing yang
bersangkutan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan Negara, ataupun tidak
melakukan sepenuhnya tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelenggarakan perusahaan secara
effektif dan effisien sesuai dengan tujuan pemberian kesempatan menanam modal asing di Indonesia.
Pasal 27.
Cukup jelas.
Pasal 28.
Dalam melaksanakan Undang-undang ini tersangkut bidang berbagai Departemen. Karena itu perlu
diadakan badan koordinasi yang sederhana yang dapat berbentuk dewan yang terdiri dari Menteri-
Menteri yang bersangkutan.
Pasal 20, 30 dan 31
Cukup jelas.
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1967 YANG TELAH
DICETAK ULANG

Go Back | Tentang Kami | Forum Diskusi | Web Mail | Kontak Kami © Legalitas.Org

Deno Hervino's Site


• Home
• Blog
• Photos
• Links

Nov 21, '08 7:05 AM


The Debt Trap in Indonesia for everyone

“Indonesia, negara yang memiliki sumber daya alam dan manusia


cukup berlimpah yang mampu menjadikan sebagai salah satu
negara terkaya di dunia namun faktanya saat ini justru menjadi
salah satu negara termiskin di dunia.” Struktur perekonomian
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda dimana
sektor industrinya kurang berkembang sebagai akibat sangat
tergantungnya penerimaan negara terhadap ekspor dari barang
mentah (raw materials) dalam pasar dunia (terkait dengan
eksploitasi sumber daya alam pada masa kolonialisme).

Bagi dunia barat, kegagalan Indonesia dalam membangun secara


umum sangat terkait dengan pemilihan kebijakan ekonomi yang
salah pada periode demokrasi terpimpin Presiden Sukarno. Pada
sepuluh tahun pertama setelah kemerdekaan, Indonesia dibebankan
hutang yang sangat besar pada pemerintah Belanda sebagai harga
dari kemerdekaan tersebut, selain itu perusahaan-perusahaan
terbesar saat itu yang berorientasi ekspor dimiliki Belanda sehingga
pemerintah Indonesia tidak memiliki kontrol atas perusahaan-
perusahaan tersebut.

Pada tahun 1956, hutang terhadap pemerintah Belanda tidak diakui


secara sepihak oleh Indonesia dan pada tahun 1958, perusahaan-
perusahaan milik Belanda di nasionalisasi. Namun, konsisi ini tidak
menjadikan Indonesia lebih baik karena setelah itu pendapatan
mata uang asing dari ekspor karet mentah turun drastis sebesar 30
persen padahal kontribusi ekspor karet terhadap total ekspor
sebesar 60 persen. Inilah yang juga membawa Indonesia kedalam
masa krisis akibat salah mengambil kebijakan ekonomi.
Untuk mengantisipasi kondisi perekonomian yang buruk tersebut
maka pemerintahan Sukarno memutuskan untuk meningkatkan
pengeluaran pemerintahnya tanpa terkendali sehingga
penyebabkan terjadi inflasi pada pertengahan tahun 1960. Untuk
dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut, Sukarno
meminjam uang dari negara-negara komunis dan kapitalis. Hasilnya
hanya digunakan untuk konsumsi barang yang kurang produktif,
seperti proyek prestise, dan perlengkapan perang, sehingga ia
melupakan penerimaan ekspor yang semakin kecil.

Namun pada tahun 1963, Sukarno mendapat tekanan dari kedua


blok tersebut (komunis dan kapitalis) dimana ia harus memilih salah
satu. Meskipun Sukarno anti pada negara-negara barat dan
melakukan nasionalisasi atas perusahan minyak AS yang ada di
Indonesia, ini menyebabkan AS menghentikan bantuan ekonomi dan
militer ke Indonesia, karena segala bantuan AS tersebut
dimaksudkan untuk mempengaruhi segala kebijakan ekonomi
Indonesia agar menguntungkan blok kapitalis terutama AS.

Karena buruknya citra AS di mata Sukarno maka AS menggunakan


tangan IMF untuk menjalankan tujuannya. Di sini IMF sebagai
mediator antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara donor
barat yang tergabung dalam satu konsorsium. Akhirnya pada bulan
November 1962, tim servei dari AS merekomendasikan untuk
memberi program bantuan selama lima tahun sebesar 390 juta
dolar dimana 223 juta dolar merupakan kontribusi AS. Selain
bantuan tersebut pada tahun 1963 IMF menawarkan pinjaman
sebesar 17 juta dolar untuk membiayai impor yang dibutuhkan
untuk program stabilisasi ekonomi selama sepuluh tahun. Karena
pemerintah Indonesia telah menerima bantuan dan pinjaman,
sebagai syaratnya maka pada bulan Mei, pemerintah mendevaluasi
rupiah dan menghapuskan kontrol atas harga dan subsidi. Setelah
itu, negara donor yang tergabung dalam Organization for Economic
Coorporation and Develipment (OECD) menaikkan bantuan sebesar
400 juta dolar untuk menutupi defisit anggaran belanja pemerintah
akibat devaluasi dan mencabutan subsidi.

Pada bulan Agustus, Indonesia memasuki tahap perencanaan


bersama dengan IMF dalam merencanakan untuk menambah
pinjaman sebesar 50 juta dolar pada tahun berikutnya. Pada bulan
September, terjadi konfrontasi dengan Malaysia sehingga terjadi
pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Inggris di Indonesia.
Di saat yang bersamaan, AS menghentikan bantuan yang
direncanakannya pada bulan Agustus tersebut. Akhirnya, Sukarno
menyadari harga yang harus ia bayar (ekonomi masa depan) atas
bantuan tersebut dan ia membuat statement yang sangat terkenal
“to hell with your aid”. Pada pidato hari kemerdekaan (17 Agustus
1964), Sukarno menyatakan kekagumannya atas kebijakan ekonomi
mandiri dari Kim Il Sung (korea utara) yang mampu menyelesaikan
masalah atas sandang dan pangan tanpa tergantung baik secara
politik maupun budaya kepada negara manapun.

Pada tahun terakhir pemerintahannya (1965), Sukarno semakin


tidak ramah terhadap investasi asing dan timbulah masalah dalam
perekonomian. Di awal tahun 1965, seluruh perusahaan asing di
nasionalisasi kecuali perusahaan minyak. Namun serikat buruh dan
Partai Komunis Indonesia (PKI) mendesak untuk menasionalisasi
perusahaan minyak juga dan pemerintah hanya menempatkan
perusahaan minyak tersebut ke dalam supervisi pemerintah. Selain
itu pemerintah berencana untuk menguasi sektor perdagangan luar
negeri. Dan pada pidato hari kemerdekaan tahun 1965, Sukarno
mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan IMF
dan Bank Dunia, dan mendeklarasikan untuk tahun berikutnya
sebagai A Yaer of Self Reliance. Program yang dijalankan
pemerintah adalah menurunkan impor guna menghemat devisa,
meningkatkan investasi domestik, dan industri dalam negeri sebagai
substitusi impor, dan hanya pinjaman luar negeri yang tidak
bersyarat untuk mengendalikan perekonomian nasional yang akan
diterima. Ini dinamakan penderitaan sebagai harga dari sebuah
revolusi yang harus diterima.

Pada bulan Maret 1966 Presiden Sukarno digantikan oleh Presiden


Suharto. Satu bulan setelah setelah peralihan kekuasaan tersebut,
menteri keuangan kabinet baru mengumumkan untuk membuka
pintu bagi perusahaan privat dan investasi asing. Setelah itu, AS
menawarakan pinjaman sebesar 8.2 juta dolar untuk membeli beras,
dan kondisi ini diikuti oleh datangnya bantuan dari Inggris dan
Jepang. Namun AS masih berhati-hati untuk memberi bantuan lebih
sampai mendapatkan kejelasan atas kebijakan ekonomi yang akan
dijalankan oleh Suharto. Dan AS mengirim IMF sebagai adviser dan
refree atas kebijakan yang baru tersebut.

Di akhir tahun 1966, utusan IMF datang untuk menjalankan program


stabilisasi perekonomian, dan segera dampak kehadiran dan saran
IMF menjadi nyata dalam segala kebijakan pemerintahan. Salah satu
yang terpenting adalah penggunaan sistem nilai tukar yang diatur
sepenuhnya berdasarkan mekanisme pasar (free-floating exchange
rate) sejak 3 Oktober 1966. Padahal dengan kondisi perekonomian
yang masih lemah (belum memiliki cadangan devisa yang cukup),
Indonesia tidak akan mampu untuk menstabilkan nilai tukar tanpa
bantuan dari negara lain berupa mata uang asing. Selain itu IMF
juga menyarankan untuk menerapkan anggaran berimbang,
pembatasan pengeluaran pemerintah (tidak lebih dari 10 persen
dari pendapatan nasional), perbaikan sistem pajak, nilai tukar yang
realistik, mencabut subsidi, mengkaji ulang tentang pricing policies
atas perusahaan negara, pengurangan pegawai pemerintahan, dan
pembatasan yang ketat dalam pengucuran kredit.

Pemerintah juga berjanji untuk mempercepat pelaksanaan program


IMF seperti terbuka atas investasi asing, dan investasi asing
memperoleh jaminan tidak akan dinasionalisasi dalam kurun waktu
20 tahun ke depan, kompensasi yang wajar ketika terjadi
nasionalisasi, memastikan kebebasan pengiriman laba ke negara
asal, dan konsensi pelonggaran pajak. Di bulan Desember, sebelum
pertemuan dengan negara-negara kreditor, pemerintah
mengumumkan untuk mengembalikan kepemilikan perusahaan-
perusahaan yang telah di nasionalisasi pada era Sukarno kepada
pemilik lamanya. Dan negara-negara barat langsung merespon
dengan menawarkan pinjaman sebesar 174 juta dolar untuk
menarik Indonesia dari krisis di tahun 1966 dan melakukan
penjadualan ulang hutang yang jatuh tempo. Pada tahun 1967,
dibentuklah The Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI)
untuk menangani permasalahan hutang luar negeri Indonesia.

Kebutuhan penjadualan hutang sebesar 534 juta dolar tersebut


sangat mendesak dan diatur ulang pada tahun 1967 yang hanya
dapat ditutup sebesar 69 persen dari total ekspor pada tahun
tersebut. Namun yang terjadi sungguh mengenaskan, ketika
sebagian hutang ditunda pembayarnnya, akan tetapi Indonesia
masih menerima bantuan hutang dari negara kreditor. Penjadualan
ulang hutang Indonesia disetujui dalam pertemuan negara-negara
kreditor di Paris (Paris Club) hingga tahun 1971 atas pembayaran
hutang pokok dan bunga atas hutang jangka panjang yang
kontraknya sebelum bulan Juni 1966 (era Sukarno).

Padahal formula penjadualan hutang pada tahun 1966 hanya


menunda permasalahan, dan mendekati tahun 1971, ketika hutang
yang ditandatangi oleh Sukarno jatuh tempo, maka komisioner Paris
Club asal Jerman melakukan studi tentang hutang Indonesia.
Rekomendasinya bahwa perjanjian hutang Indonesia sebelum tahun
1966 dapat dibayar selama 30 tahun mulai dari tahun 1970 hingga
1999, rekomendasi ini disetujui oleh para kreditor di bulan April
1970.

Perubahan yang sangat berarti terjadi ketika terjadi perubahan


sistem nilai tukar dan devaluasi mata uang rupiah. Pada saat itu
hutang luar negeri Indonesia yang telah jatuh tempo jika tanpa
penundaan dan adanya penambahan hutang baru maka kondisi ini
sangat menekan neraca pembayaran. Permasalahan ini sangat
terkait dengan saran-saran kebijakan yang harus di ambil oleh
pemerintah oleh IMF dan IGGI. Para pendukung pemerintah saat itu
hanya menyuarakan keajaiban ekonomi yang telah dicapai yang
telah membawa Indonesia keluar dari jaman kegelapan Sukarno,
akan tetapi keajaiban tersebut hanya sebatas pengendalian inflasi,
anggaran yang berimbang, dan nilai tukar yang stabil. Namun, itu
semua terjadi karena IGGI selalu bersedia untuk menyediakan
pinjaman guna ketiga pencapaian tersebut, sehingga ini dapat
dikatakan tidak melakukan reformasi secara substansi. Sebagai
contoh, jutaan dolar yang dipinjamkan oleh IGGI digunakan hanya
untuk kebutuhan impor setiap tahun yang mana Indonesia tidak
akan mampu untuk membayar dari pendapatan mata uang
asingnya, sehingga pembayaran ke luar negeri akan sama dengan
pinjaman luar negeri, dan hutang akan semakin menggunung. Oleh
karena itu, keajaiban tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa
pembangunan riil.

Pemerintahan Suharto membuktikan kemampuan dari kebijakan


ekonominya dengan adanya investasi asing baru dan melakukan
ekspansi sektor ekspor sejak tahun 1967. Pertumbuhan utama
sektor ekspor terdapat pada dua komoditi utama yaitu minyak dan
kayu. Inilah yang menarik perhatian para investor asing sehingga ini
merupakan sumber penerimaan devisa saat itu. Akhirnya dengan
fakta-fakta diatas maka pemerintah di masa akan datang memiliki
harapan yang besar atas penerimaan devisa, sehingga segala
hutang (lama dan baru) akan mampu dibayar.

Minyak merupakan komoditi ekspor Indonesia yang utama. Namun,


manfaat dari penerimaan akan ekspor minyak harus dibagi kepada
tiga pihak, yaitu perusahaan asing, pertamina, dan pemerintah
Indonesia. Sektor eskpor minyak memiliki kontribusi sebesar 30
persen pada pendapatan nasional pada tahun 1971 dan menjadi 40
persen di tahun 1972. Namun pemerintah tidak memiliki kontrol
yang baik atas penerimaan dari ekspor minyak yang diperoleh
perusahaan asing dan pertamina. Lebih dari sepertiga investasi
asing di Indonesia berada pada industri kayu. Ekspor kayu pada
tahun 1966 hanya menghasilkan 10 juta dolar dan di tahun 1971
pendapatan ekspor kayu telah mencapai 160 juta dolar, suatu angka
yang fantastis namun biaya yang harus dikorbankan guna
merestorasi hutan-hutan yang hilang juga sangat besar karena
proses penebangan hutan merusak keseimbangan ekologi.

Selain itu di masa pemerintahan Suharto, tidak terdapat


pembangunan sektor industri yang terencana secara sistematik.
Produsen dalam negeri adalah sektor yang paling menderita karena
dampak dari program stabilisasi yang disyaratkan oleh IMF dimana
selain semakin ketatnya pemberian kredit juga adanya bantuan dari
IMF untuk membiayai impor. Dan dampak yang paling mengenaskan
bahwa lebih dari 9.517 perusahaan Indonesia collapsed antara
tahun 1964 hingga 1970, contohnya industri tekstil lokal yang
bangkrut akibat adanya kredit luar negeri untuk mengimpor barang
jadi tekstil dalam jumlah yang sangat besar, dan peralatan yang
terlait dengan indutri tekstil, sehingga pabrik-pabrik tekstil domestik
menganggur.
Biaya dari program stabilisasi IMF sangatlah besar karena berakibat
pada menurunnya penerimaan pemerintah akibat menurunnya
produksi domestik, dan jika keadaan ini terus berlangsung maka
dalam jangka panjang dapat menuju ke arah krisis ekonomi.
Meskipun IMF senang dengan hasil dari program stabilisasinya
namun harus dibayar mahal dengan meningkatnya pengangguran
(12 – 15 persen dari total angkatan kerja di tahun 1967) sebagai
akibat dari banyaknya industri dalam negeri yang tutup pabrik
karena kalah bersaing dengan barang impor, selain itu industri yang
dimiliki oleh asing juga menerima perlakuan khusus dari pemerintah
Indonesia.

Indonesia juga sangat terbuka bagi hadirnya perbankan asing. Di


bawah sponsor Bank Dunia, fasilitas pembangunan perbankan baru
dan perusahaan keuangan mulai dilakukan. Namun, dampak dari
hadirnya perbankan asing sangatlah ironis karena mereka hanya
ingin memobilisasi tabungan rupiah dari nasabah domestik dan
digunakan oleh investor asing untuk berinvestasi baik di Indonesia
maupun di luar negeri (tidak ada tambahan devisa bagi Indonesia).

Berdasarkan uraian-uraian diatas maka penulis menamakan zaman


pemerintahan Suharto sebagai pemerintahan baru dengan banyak
permasalahan yang tidak terselesaikan. Dapat pula dikatakan
bahwa pemerintahan Suharto lebih buruk setelah Sukarno turun,
yaitu:

• Reformasi perpajakan yang diusulkan tidak pernah dilakukan


restrukturisasi secara mendasar.
• Perbaikan yang dilakukan hanya dalam keuangan
pemerintah yang diperoleh dari ekspansi perusahaan
minyak, bantuan keuangan, dan pajak atas barang impor dan
ekspor yang secara politik dan teknis sangat mudah untuk
diperoleh.
• Indonesia telah menjadi negara industri yang paling kecil di
dunia karena penerimaan negara sangat tergantung hanya
pada ekspor barang mentah yang jumlahnya sangat sedikit
sebagai pendapatan devisanya. Selain karena murahnya
upah tenaga kerja di Indonesia, tidak ada industri manufaktur
di Indonesia yang memiliki prospek baik dalam pasar dunia.
• Sukarno meninggalkan hutang sebesar 2 miliar dolar
sedangkan Suharto hingga yahun 1974 menerima hutang
baru sebesar 4 miliar dolar termasuk pembiayaan proyek
asing. Tingkat pertumbuhan hutang pemerintahan Suharto
mencapai 175 juta dolar di tahun 1966 dan meningkat
menjadi 876 juta dolar pada tahun fiskal 1973-4. Meskipun
IMF berargumentasi bahwa pemberian hutang tersebut
hanya pada sektor yang penting, namun hal ini justru
memperpanjang tingkat ketidakpastian mengenai beban
hutang pada masa yang akan datang.
Dengan semakin banyak hutang luar negeri Indonesia, maka
Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang buruk karena beban
hutangnya, sehingga tidak mungkin untuk melakukan penyangkalan
atas hutang tersebut. Hal yang sangat mungkin dilakukan adalah
penjadualan hutang, namun ini akan terus dilakukan dalam jangka
waktu yang sangat panjang dan tidak mungkin akan lunas karena
pinjaman luar negeri akan selalu dilakukan.

Prev: Evolusi Permasalahan Hutang Dunia


Next: Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative

• KOMPAS.com

• Bola

• Entertainment

• Tekno

• Otomotif

• Forum

• Images

• Mobile

• Cetak

• ePaper

• Pemilu

• PasangIklan

• GramediaShop

Jum'at, 11 Desember 2009


Top of Form
01142829396188 FORID:9

Bottom of Form

• Berita Utama

• Bisnis & Keuangan


• Humaniora

• International

• Opini

• Politik & Hukum

• Sosok

• Nama & Peristiwa

• Nusantara

• Metropolitan

• Olahraga

• Sumatera Bagian Selatan

• Sumatera Bagian Utara

• Yogyakarta

• Jawa Barat

• Jawa Tengah

• Jawa Timur

• Fokus

• Teropong

• Muda

• Otomotif

• Foto Lepas

• Telekomunikasi

• Swara

• Pustakaloka

• Kompas Kita
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Para pembicara diskusi LMI-Kompas. Dari kiri, Butet Manurung, Agung Putri, Asfinawati, Sri Palupi (moderator), Chalid Muhammad, dan
Revrisond Baswir. Diskusi berlangsung di Jakarta, Selasa (12/8).

Kita Rupanya Belum Merdeka


Kamis, 28 Agustus 2008 | 03:00 WIB
Pengantar Redaksi:
Menyambut HUT Ke-63 Republik Indonesia, tanggal 12 Agustus lalu Redaksi Opini Harian
”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) menyelenggarakan diskusi panel
bertajuk ”Republik Kaum Muda: Hak Asasi sebagai Parameter Imperatif Kemerdekaan”. Tampil
enam pembicara: Butet Manurung (guru di sekolah anak rimba), Agung Putri (Elsam), Asfinawati
(LBH Jakarta), Chalid Muhammad (Walhi), Nia Dinata (sutradara film), dan Revrisond Baswir
(ekonom UGM), dipandu oleh Sri Palupi. Berikut dua laporan hasil diskusi, masing-masing dimuat di
halaman ini dan halaman 47.
Ketegangan antara pemerintah dan rakyat dalam perjuangan akan dan pembelaan hak asasi
manusia maupun hak kelompok masyarakat, terutama sejak pertengahan masa Soeharto yang
menamakan diri Orde Baru, barangkali dipandang lebih sebagai bagian yang inheren dari
perjuangan demokratisasi (konstitusional) untuk menggantikan sistem pemerintahan Soeharto yang
otoriter.
Oleh Salomo Simanungkalit
Semakin jelas terlihat, ikhtiar tersebut sepantar dengan perjuangan merebut kemerdekaan pada
tingkap individu dan tingkap komunitas dari fakta bahwa hingga pada masa Reformasi ini pun,
upaya memenuhi hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya di negeri ini masih berlangsung
dengan intensitas yang kurang lebih sama belaka.
Hak individu dan hak komunitas masih terus hendak direbut bahkan hingga Proklamasi
Kemerdekaan berusia 63 tahun, katakanlah melalui gugatan baik terhadap developmentalisme
maupun neoliberalisme pasar. Tafsir waktu manakah yang dipakai untuk memaknai ”dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya” pada teks Proklamasi Kemerdekaan itu untuk membereskan hak
individu dan hak komunitas dari pemerintahan ke pemerintahan: Soekarno ke Soeharto ke Habibie
ke Gus Dur ke Megawati bahkan hingga ke SBY ini?
Merdeka secara formal
Pertanyaan ini menyiratkan bahwa persoalan kemerdekaan kita tersisa hanya dalam level individu
dan level komunitas saja. Dalam aras negara-bangsa (”bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa”), kita sudah merdeka persis per 17 Agustus 1945 ketika atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno dan Hatta mengumandangkan teks Proklamasi itu. Betulkah?
Penelusuran sejarah mengatakan: secara formal, ya; secara substansial, tidak. Kehendak kita
”diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Kenyataannya, dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya kita sebagai negara-bangsa justru mulai menyerah kepada pihak asing hanya
empat tahun setelah Proklamasi dan itu berlanjut sampai sekarang di bawah payung globalisasi.
Inilah indikasi yang telak mempertanyakan kemerdekaan di aras negara-bangsa. Dimulai dengan
Belanda si penjajah, dilanjutkan dengan asing-asing lainnya baik atas nama negara sendiri-sendiri
maupun atas nama persekutuan negara dalam bentuk lembaga-lembaga antarbangsa.
Dari Konferensi Meja Bundar (KMB) kita hanya diberi tahu telah mendapat pengakuan kedaulatan.
Namun, buku rekaman sidang KMB mencatat bahwa kita diminta menerima warisan utang Hindia
Belanda. Dalam Bagian D mengenai penyelesaian utang-piutang, khususnya Pasal 25 dan Pasal
26, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengakui bertanggung jawab membayar bunga
maupun angsuran modal dari utang tersebut yang dimulai dari tahun 1935. Rupanya pemerintah
Hindia Belanda waktu menjajah Indonesia punya utang dalam negeri 3,3 miliar gulden dan utang
luar negeri 3 miliar gulden sejak tahun 1935.
Dalam KMB, Indonesia diminta menanggung seluruh utang itu kalau mau berdaulat. Setelah
negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan, Indonesia hanya bersedia menanggung utang dalam
negeri yang 3,3 miliar gulden plus utang luar negeri 1 miliar gulden. Jadi, Indonesia yang belum
berutang itu harus menerima dikte sudah punya utang 4,3 miliar gulden demi pengakuan akan
kedaulatannya.
Masih ada catatan lain dari KMB. Pada Pasal 14 dan Pasal 15 termaktub bahwa RIS dan Nederland
masing-masing akan mengikhtiarkan tata keuangan dan sistem moneter yang sehat. RIS akan
mengindahkan aturan-aturan Dana Moneter Internasional (IMF) meski belum menjadi anggota
lembaga itu. Maka, kalau mau bicara ihwal ketergantungan Indonesia pada IMF, jangan mulai per
1966 atau 1998, tetapi mulailah sejak 1949!
Pengakuan berutang itu diperkuat dengan ratifikasi Parlemen melalui Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1951 tentang Pengesahan dan Pengakuan Hutang terhadap Kerajaan Belanda. Yang
menarik, UU itu ditandatangani bukan oleh Soekarno selaku presiden, melainkan oleh Hatta yang
wakil presiden. Mengapa? Penelusuran sejarah kemudian memperlihatkan bahwa dalam voting di
kabinet, memang Hatta menang. Satu-satunya yang menolak putusan KMB itu adalah PSI.
Bahwa ada persoalan antarfaksi dalam menerima intervensi asing itu baru terlihat dari dibatalkannya
pengesahan dan pengakuan utang Hindia Belanda itu oleh kabinet di bawah Burhanuddin Harahap
pada tahun 1956. Pembatalan itu kemudian berlanjut dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda dan asing lainnya (Inggris), kecuali perusahaan Amerika Serikat, yang beroperasi di
Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting datang beruntun setelah itu: PRRI-Permesta, Dekrit Presiden,
penggabungan Irian Barat dengan Indonesia, konfrontasi dengan Malaysia, bahkan 30 September
1965. Adakah keterlibatan asing di sana?
Antimodal asing
Penelusuran sejarah tentu akan menjawab pertanyaan itu. Namun, mari melihat beberapa fakta
yang berhasil disisir sampai pada diskusi Lingkar Muda Indonesia kali ini. Pada Agustus 1965,
sebulan sebelum Peristiwa 30 September, terbit UU Nomor 16 Tahun 1965. Isinya mencabut UU
Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Bagian Menimbang UU itu berbunyi antara
lain ”bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik
keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terus-menerus penghisapan
atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap
nasional demokratis untuk menjalankan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila”. Jadi, dalam
UU Nomor 16 Tahun 1965 ini Indonesia jelas sekali mengambil sikap tegas antimodal asing dan itu
disahkan pada 23 Agustus 1965, lima minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965.
Tentu banyak sudut pandang sejarah yang mencoba menjelaskan maupun mengaburkan apa
sebetulnya yang terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa pun model penafsirannya,
satu hal jelas bahwa peristiwa itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali meletakkan
Indonesia di bawah kekuasaan mereka. Mari melihat lagi fakta sejarah. Bulan Februari 1966 keluar
UU Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana
Moneter Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan
(International Bank for Reconstruction and Development). UU ini memang keluar setelah 30
September 1965, tetapi ia sudah telanjur diproses sebelumnya dan baru disahkan pada Februari
1966.
Dari sudut perundang-undangan kita bisa melihat apa yang terjadi sebelum 30 September 1965.
Ada UU yang mengakhiri modal asing yang sedang diproses serta sudah siap dan berhasil
ditandatangani sebelum Peristiwa, tetapi kemudian ada UU lain mengenai keluar dari IMF yang baru
ditandatangani setelah Peristiwa tapi tetap ditandatangani oleh Soekarno. Setelah November 1966,
cerita berbalik. Keluar berturut-turut UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU
Nomor 7 Tahun 1967 mengakui kembali utang Hindia Belanda, UU Nomor 8 Tahun 1967
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota Asian Development Bank, dan UU Nomor 9 Tahun 1967
mendaftarkan Indonesia kembali menjadi anggota IMF dan World Bank.
Tahun 1951 Hatta menandatangani UU pengesahan dan pengakuan utang Hindia Belanda, tahun
1967—sebelum dimakzulkan oleh MPRS—Soekarno yang menandatangani UU sejenis. Demikian
pula UU yang disebut tadi yang keluar pada tahun 1967. Pertanyaannya: apakah Soekarno yang
plin-plan atau Soekarno di bawah tekanan asing? Jawabannya mesti dikaitkan dengan fakta bahwa
setelah itu, Soekarno tersingkir dari pusaran ”kekuasaan”.
Sejarah pun berulang
Mengapa tidak terlebih dulu Soekarno disingkirkan, kemudian keluar beberapa UU bertarikh 1967
tadi dan ditandatangani Soeharto?
Rupanya pola yang sama terjadi pula kepada Soeharto. Sebelum dijatuhkan pada Mei 1998,
Soeharto harus terlebih dulu menandatangani apa yang terkenal dengan nama letter of intents
dalam pengawasan Michel Camdessus, bos IMF.
Setelah itu, pada masa Reformasi ini, sudahkah kita merdeka sebagai negara-bangsa? Dalam situs
www.usaid.gov tersua kalimat ini: USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to
Parliament in October 2000.
Jadi, yang menyusun rancangan UU Migas adalah USAID. Seorang peserta diskusi Lingkar Muda
Indonesia menceletuk, ”Jangan-jangan tanggapan Dewan pun sudah dibuatkan sekalian oleh
lembaga itu.” Untunglah, pasal-pasal dalam UU Migas yang melanggar UUD kita sudah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Top of Form
Share on Facebook

- Beri Rating Artikel - 107651

AA A

Bottom of Form
Ada 0 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Top of Form
107651

Form Komentar
• Nama *

Silahkan isi nama Anda

• Email Address *

Silahkan isi email Anda.

• Komentar *

160

Silahkan isi komentar Anda.

Incorrect please try again

02UWuA8xNpPnF

Isi kode diatas *

Silahkan isi kode ini.

ReLoad Image

manual_challenge

• Do Not Fill This Out


Bottom of Form
Home

Back To Top

INDEX LALU
Top of Form
11 Desember 2009

Tanggal:

Bottom of Form
TERPOPULER

• Kalla Siap Berikan Kesaksian


• Januari 2010, China "Serbu" Indonesia
• Polisi Ubah Forensik
• Napoleon Bonaparte Marah
• Boediono, Sri Mulyani, dan Lothario Karya Multatuli
• UGM Mendapat Bantuan Rp 13,5 Miliar dari Hashim
• Kalla: Ketidakadilan Lahirkan Perlawanan
• "Efek Treadmill" Pemberantasan Korupsi
• Pesan dari Demo Antikorupsi
• Ke Mana Indonesia Hendak Dibawa?
• Utang Pemerintah Mencapai Rekor Baru
• Indonesia Sabet Lima Emas
• Unjuk Rasa di Beberapa Tempat di Indonesia
• Jembrana Terima Bung Hatta Award
• Indonesia Tolak Audit dari Luar

• About KOMPAS.com
• Info Iklan
• Privacy Policy
• Terms of Use
• Karir
• Contact Us
• Kompas Accelerator For IE 8
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved
powered by:

Anda mungkin juga menyukai