Oleh :
Anita Fatkhu R G0004005
Ilma Rizkia Rahma G0004017
Hariesti Yuliani G0004108
B. Zanuar Ichsan G0005068
Ermawati Sudarsono G0005089
Pembimbing:
Dr. Glondong Sp.OG
2
FETAL DISTRESS KALA I DENGAN KETUBAN PECAH DINI 24 JAM
PADA SECUNDIGRAVIDA HAMIL POSTERM
ABSTRAK
Sebuah kasus Fetal Distress, Kala I, KPD 24 jam pada secundigravida hamil
posterm pada seorang pasien G2P1A0 27 tahun hamil 42 minggu, riwayat
fertilitas baik riwayat obstetri baik, janin tunggal, intra uterine, kepala
masuk panggul di H II, denyut jantung janin regular menurun, ketuban pecah
dini. Sectio caesarea dilakukan atas indikasi janin yaitu fetal distress.
____________________________________________________________________
Kata kunci : fetal distress, KPD, Sectio caesarea
3
BAB I
PENDAHULUAN
Fetal distres adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan
oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut
(kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi).
KPD diduga terjadi karena adanya pengurangan kekuatan selaput ketuban,
peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya. Sebagian besar penelitian
menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya kekuatan selaput ketuban.
Selaput ketuban dapat kehilangan elastisitasnya karena bakteri maupun his.
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini
sebab terjadinya Kehamilan Lewat Bulan (KLB) belum jelas. Beberapa teori
diajukan, yang pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya KLB sebagai akibat
gangguan terhadap timbulnya persalinan.
Dalam kasus ini dibahas mengenai fetal distres, kala I, KPD 24 jam pada
secundigravida hamil posterm.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Penyebab dari fetal distress diantaranya :1
a. Ibu : hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun,
penyakit kardiovaskuler, anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi, asidosis
dan dehidrasi.
b. Uterus : kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu
lama, degenerasi vaskuler.
c. Plasenta : degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta.
d. Tali pusat : kompresi tali pusat.
e. Fetus : infeksi, malformasi dan lain-lain.
5
prematur atau lahir mati dapat memberikan kesan suatu peningkatan resiko
gawat janin.1,4
1). Faktor predisposisi
Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, dan
lain-lain.
2). Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin
sepanjang (a) denyut jantung dalam batas normal (b) akselerasi sesuai
dengan gerakan janin (c) tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya
kontraksi uterus.
Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat
mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan
intrauterin. Gerakan pernafasan janin, aktifitas janin dan
volume cairan ketuban memberikan penilaian tambahan
kesekatan janin. Oligihidramnion memberi kesan anomali
janin atau retardasi pertumbuhan.
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu
pengukuran fungsi janin dan plasenta, karena pembwentukan
estriol memerluakn aktifitas dari enzim-enzim dalam hati dan
kelenjar adrenal janin seperti dalam plasenta.
HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu : kadar 4
mcg/ml atau kurang setelah kehamilan 3 minggu member
kesan fungsi plasenta yang abnormal.
Amniosintesis : adanya mekonium di dalam cairan amnion masih
menimbulkan kontroversi. Banyak yang percaya bahwa
mekonium dalam cairan amnion menunjukkan stress
patologis atau fisiologis, sementara yang lain percaya bahwa
fasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan stimulasi
vagal temporer tanpa bahaya yang mengancam. Penetapan
6
rasio lesitin sfingomielin (rasio L/S) memberikan suatu
perkiraan maturitas janin.
3). Penatalaksanaan5,6,7
Keputusan harus didasarkan pada evaluasi kesehatan janin
inutero dan maturitas janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan
janin yang menurun pemantauan denyut jantung janin atau
dimiringkan atau oksitosin challenge test sering memberika
ketenangan akan kesehatan janin. Jika janin imatur dan keadaan
insufisiensi plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan
observasi tambahan. Sekali janin matur, kejadian insufisiensi plasenta
biasanya berarti bahwa kelahiran dianjurkan. Persalinan dapat
diinduksi jika servik dan presentasi janin menguntungkan. Selama
induksi denyut jantung janin harus dipantau secara teliti. Dilakukan
sectio secaria jika terjadi gawat janin, sectio sesaria juga dipilih untuk
kelahiran presentasi bokong atau jika pasien pernah mengalami
operasi uterus sebelumnya.
7
Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau
kontraksi uterus yang hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan
dapat menyebabkan asfiksia janin.1,7
2). Faktor-faktor etiologi 4,5,10
a. Insufisiensi uteroplasental akut
• aktivitas uterus berlebihan.
• hipotensi ibu.
• solutio plasenta.
• plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasental kronik
• penyakit hipertensi.
• diabetes mellitus.
• isoimunisasi Rh.
• postmaturitas atau dismaturitas
c. Kompresi tali pusat
d. Anestesi blok paraservikal
3). Data diagnostik tambahan 4,5,10
Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung janin
yang segera dan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi uterus
memberika suatu penilaian kesehatan janin yang sangat membantu
dalam persalinan.
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:
1. bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali
permenit.
2. takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang
(> 160) dapat dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder
terhadap terhadap infeksi intrauterin. Prematuritas dan atropin
juga dihubungkan dengan denyut jantung dasar yang
meningkat.
8
3. variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang
berarti depresi sistem saraf otonom janin oleh mediksi ibui
(atropin, skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium dan
analgesik narkotik).
4. pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia
janin yang disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental.
Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi
uterus adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan
kompresi sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus.
Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi
lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang
menetap dan pola gelombang sinus.
Contoh darah janin memberikan informasi objektif tentang status
asam basa janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi
begitu sensitif terhadapt perubahan-perubahan dalam denyut
jantung janin dimana gawat janin dapat diduga bahkan bila janin
dalam keadaan sehat dan hanya menber reaksi terhadap stess dari
kontraksi uterus selama persalianan. Contoh darah janin
diindikasikan bila mana pola denyut jantung janin abnormal atau
kacau memerlukan penjelasan.
Mekonium dalam cairan ketuban : arti dari mekoneum dalam
cairan ketuban adalah tidak pasti dan kontroversial sementara
beberapa ahli berpendapat bahwa pasase mekoneum intrauterun
adalah suatu tanda gawat janin dan kemungkinan kegawatan, yang
lainya merasakan bahwa adanya mekoneum tanpa kejadian asfiksia
janin lainnya tidak menunjukan bahaya janin. Tetapi, kombinasi
asfiksia janin dan mekoneum timbul untuk mempertinggi potensi
asfirasi mekoneum dan hasil neonatus yang buruk.
9
a. bebaskan setiap kompresi tali pusat.
b. perbaiki aliran darah uteroplasental.
c. menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau
terminasi kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran
didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat
obstetri pasien, dan jalannya persalinan.
Langkah-langkah khusus :
a. posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring,
sebagai usaha untuk memperbaiki aliran darah balik, curah
jantung, dan aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posis
juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.
b. oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha
meningkatkan penggantian oksigen fetomaternal.
c. oksitosi dihentikan karena kontraksi uterus akan
mengganggu sirkulasi darah keruang intervilli.
d. hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL.
Transfusi darah dapat diindikasikan pada syok hemorragik.
e. pemeriksaan pervaginan menyingkirkan prolaps tali pusat
dan menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin
secara lembut dapat merupakan suatu prosedur yang
bermanfaat.
f. pengisapan mekoneum dari jalan nafasi bayi baru lahir
mengurangi resiko asfirasi mekoneum. Segera setelah kepala
bayi lahir, hidung dan mulut dibersikan dari mekoneum dengan
kateter penghisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus
dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk
menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.
10
B. KETUBAN PECAH DINI
Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) masih merupakan suatu teka-teki di bidang
obstetrik, hal ini dapat dilihat dari etiologi yang belum jelas, kesulitan dalam
mendiagnosis, berhubungan dengan resiko pada ibu dan janin dan juga karena
panatalaksanaannya yang bermacam-macam dan masih merupakan kontroversi.
KPD dapat diartikan sebagai pecahnya ketuban pada saat fase laten sebelum
adanya his. Pada persalinan yang normal, ketuban pecah pada fase aktif. Pada
KPD kantung ketuban pecah sebelum fase aktif. 4,11,12
KPD terjadi pada 10 % kehamilan, dimana sebagian besar terjadi pada usia
kehamilan lebih dari 37 minggu dan juga terjadi spontan tanpa sebeb yang jelas.4
11
kompakta amnion, fibroblast, jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis
maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi
interleukin-1 (IL-1) danprostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion yang
menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.4
Faktor predisposisi KPD menurut Moegni, 1999 : 4
a. Kehamilan multiple
b. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
c. Koitus, namun hal ini tidak merupakan predisposisi kecuali bila hygiene
buruk
d. Perdarahan pervaginam
e. Bakteriuria
f. pH vagina diatas 4,5
g. Servix yang tipis/kurang dari 39 mm
h. Flora vagina abnormal
i. Fibronectin > 50 ng/ml
j. Kadar CRH (Corticotropin Releasing Hormone) maternal tinggi
Diagnosis
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan beberapa cara :2,4,13,15
a. Air ketuban yang keluar dari vagina
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan mudah ketika ada cairan ketuban
yang keluar dari vagina. Jika air ketuban tidak ada, tekanan ringan pada
uterus dan gerakan janin dapat mengakibatkan keluarnya air ketuban.
b. Nitrazine test
pH vagina normal adalah 4,5 – 5,5 sedangkan air ketuban mempunyai pH
7,0 – 7,5, sehingga kertas nitrasin akan cepat berubah warna menjadi biru
bila terkena air ketuban. Namun cairan antiseptik, urin, darah dan infeksi
vagina dapat meningkatkan pH vagina dan hal ini menyebabkan hasil
nitrazine test positif palsu.
12
c. Fern test
Test ini positif bila didapatkan gambaran pakis yang didapatkan pada air
ketuban pada pemeriksaan secara mikroskopis.
d. Evaporation test
e. Intraamniotic fluorescein
f. Amnioscopy
g. Diamine oxidase test
h. Fetal fibronectin
i. Alfa-fetoprotein test
Komplikasi
KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada
janin, diantaranya :2,3,15
a. Infeksi
Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD. Diagnosis
korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara lain demam
(37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi baik pada ibu
maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban yang berbau
busuk, maupun leukositosis.
b. Hyaline membrane disease
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease
sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat
hubungan antara umur kehamilan denganhyaline membrane disease dan
chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia
kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran disease
lebih banyak dibandingkan risiko infeksi.
c. Hipoplasi pulmoner
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu dan
fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya distress
respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan membutuhkan
bantuan ventilator.
13
d. Abruptio placenta
Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang
mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah
perdarahan pervaginam.
e. Fetal distress
Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan
kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga
untuk mengatasinya maka dilakukan sectio cesaria, yang mengakibatkan
tingginya angka section cesaria pada pasien dengan KPD.
f. Cacat pada janin
g. Kelainan kongenital
Terapi
Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung dari
keadaan pasien. 2,16,17
a. Pasien yang sedang dalam persalinan
Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan proses
persalinan dan memperlama kehamilan jika sudah ada his yang teratur dan
pada pemeriksaan dalam didapatkan pendataran servix 100 % dan dilatasi
servix lebih dari 4 cm. Penggunaan tokolitik tidak efektif dan akan
mengakibatkan oedem pulmo.
b. Pasien dengan paru-paru janin yang matur
Maturitas paru janin dapat diketahui dari rasio lesitin-spingomielin,
phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan. Maturitas paru janin
diperlukan untuk amniosintesis pada evaluasi awal pasien dengan ketuban
pecah dini.
c. Pasien dengan cacat janin
Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu dilakukan
bila janin mempunyai kalainan yang membahayakan. Namun pada janin
14
dengan kelainan yang tidak membahayakan harus diperlakukan sebagai
janin normal, namun input yang tepat merupakan terapi yang sangat
penting.
d. Pasien dengan fetal distress
Kompresi tali pusat dan prolps tali pusat merupakan komplikasi tersering
ketuban pecah dini, terutama padapresentasi bokong yang tidak maju
(engaged), letak lintang dan oligohidramnion berat. Jika DJJ menunjukkan
pola deselerasi sedang atau berat maka pasien harus cepat diterminasi. Jika
janin dalam presentasi belakang kepala, maka dapat dilakukan
amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan persalinan pervaginam.
Namun bila janin tidak dalam presentasi kepala maka terapi yang dapat
dilakukan adalh section cesaria.
e. Pasien dengan infeksi
Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada
kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum
dalam persalinan. Bila ada kontraindikasi untuk persalinan pervaginam,
maka dilakukan section cesaria setelah pemberian antibiotic yang
dimaksudkan untuk menurunkan komplikasi pada ibu dan janin. Beberapa
penelitian menyebutkan section cesaria sebaiknya dilakukan bila
persalinan pervaginam tidak dapat terjadi setelah 12 jam diagnosis
chorioamnionitis ditegakkan.
15
d. Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan konservatif
yaitu tirah baring dan berikan sedative, antibiotic selama 5 hari,
glukokortikosteroid dan tokolisis, namun bila terjadi infeksi maka akhiri
kehamilan
e. Pada kehamilan 33-35 minggu, lakukan terapi konservatif selama 24 jam
lalu induksi persalinan. Bila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan
f. Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin persalinan dan
lakukan akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan
induksi persalinan bila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan bishop score
kuran dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam dan bishop score lebih
dari 5, section cesaria bila ketuban pecah kurang dari 5 jam dan bishop
score kurang dari 5.
16
- pada keadaan DKP, letak lintang terminasi kehamilan dengan
section cesaria
- bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan
terminasi persalinan
a. Bila bishop score kurang dari 5, akhiri persalinan dengan
section cesaria
b. Bila bishop score lebih dari 5, induksi persalinan dan partus
pervaginam
c. Bila ada infeksi berat maka lakukan section cesaria
C. HAMIL POSTERM
Definisi
Postterm pregnancy atau postmaturitas adalah :
Kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu ( 294 hari ) atau
lebih , dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele
dengan siklus haid rata-rata 28 hari.4,6,8
Seringkali istilah postmaturitas dipakai sebagai sinonim
dismaturitas, yang sebenarnya hal ini tidak tepat. Postmaturitas
merupakan diagnosis waktu yang dihitung menurut rumus Naegele,
sebaliknya dismaturitas hanya menyatakan kurang sempurnanya
pertumbuhan janin dalam kandungan akibat plasenta yang tidak
berfungsi dengan baik, sehingga janin tidak tumbuh seperti biasa,
keadaan ini dapat terjadi pada beberapa keadaan seperti hipertensi,
preeklampsia, gangguan gizi maupun pada KLB sendiri. Jadi janin
dengan dismaturitas dapat dilahirkan kurang bulan, genap bulan
maupun lewat bulan.9,11
Istilah postmaturitas lebih banyak dipakai oleh dokter ahli
Kesehatan Anak, sedang istilah post term banyak digunakan oleh
dokter ahli Kebidanan. Dari dua istilah ini sering menimbulkan kesan
bahwa bayi yang dilahirkan dari KLB disebut sebagai postmaturitas.4
17
Sebab terjadinya kehamilan lewat bulan
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai
saat ini sebab terjadinya KLB belum jelas. Beberapa teori diajukan,
yang pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya KLB sebagai akibat
gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukan antara
lain :1,2,19
a. Pengaruh progesterone : Penurunan hormon progesterone dalam
kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang
penting dalam memacu proses biomolekuler pada persalinan dan
meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga
beberapa penulis menduga bahwa terjadinya KLB adalah karena
masih berlangsungnya pengaruh progesterone.
b. Teori oksitosin : Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan
pada KLB memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara
fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan
persalian dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu
fakor penyebab KLB.
c. Teori Kortisol/ACTH janin : Dalam teori ini diajukan bahwa
sebagai “pemberi tanda” untuk dimulainya persalinan adalah janin,
diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin.
Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta, sehingga produksi
progesterone berkurang dan memperbesar sekresi estrogen,
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti anensefalus,
hipoplasia adrenal janin dan tak adanya kelenjar hipofisis pada
janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan
baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
d. Syaraf uterus : Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus
Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada
18
keadaan dimana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada
kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih tinggi
kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya KLB.
e. Heriditer. Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang
mengalami KLB, mempunyai kecenderungan untuk melahirkan
lewat bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti
dikutip Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorang ibu
mengalami KLB saat melahirkan anak perempuan maka besar
kemungkinan anak perempuannya akan mengalami KLB.
Diagnosis
Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam
menentukan diagnosis KLB. Karena diagnosis ini ditegakkan
berdasarkan umur kehamilan bukan terhadap kondisi dari kehamilan.
Beberapa kasus yang dinyatakan sebagai KLB merupakan kesalahan
dalam menentukan umur kehamilan. Lipshutz menyatakan bahwa kasus
KLB yang tidak dapat ditegakkan secara pasti sebesar 22 %.1,14
Dalam menentukan diagnosis KLB disamping dari riwayat haid,
sebaiknya dilihat pula dari hasil pemeriksaan antenatal.
a. Riwayat haid 1,4,9
Diagnosis KLB tidak sulit untuk ditegakkan bilamana hari
pertama haid terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk
riwayat haid yang dapat dipercaya, diperlukan beberapa kriteria
antara lain :
- Penderita harus yakin betul dengan HPHT-nya
- Siklus 28 hari dan teratur
- Tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir
Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut
rumus Naegele.
Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan
sebagai KLB kemungkinan adalah :
19
- Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal haid terakhir atau
akibat menstruasi abnormal
- Tanggal haid terakhir diketahui jelas namun terjadi kelambatan
ovulasi
- Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan
memang berlangsung lewat bulan ( keadaan ini sekitar 20 – 30
% dari seluruh penderita yang diduga KLB ).10,12
20
- Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali
dengan stetoskop Laennec.8
e. Pemeriksaan radiologi
Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat
penulangan. Gambaran epifisis femur bagian distal paling dini
dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu, epifisis tibia proksimal
terlihat setelah umur kehamilan 36 minggu, epifisis kuboid pada
21
kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai selain
karena dalam pengenalan pusat penulangan sering kali sulit juga
pengaruh tidak baik terhadap janin.13
22
Disfungsi plasenta merupakan factor penyebab terjadinya
komplikasi pada KLB dan meningkatnya resiko pada janin.
Perubahan yang terjadi pada plasenta adalah :4,5,6
- Penimbunan kalsium: Pada KLB terjadi peningkatan
penimbunan kalsium, hal ini dapat menyebabkan gawat janin
dan bahkan kematian janin intra uterine yang dapat meningkat
sampai 2–4 kali lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat
sesuai dengan progresivitas degenerasi plasenta, namun
beberapa vili mungkin mengalami degenerasi tanpa mengalami
kalsifikasi.
- Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya
berkurang, keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transport
dari plasenta.
- Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema,
timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili dan infark vili.
- Perubahan biokimia : adanya insufisiensi plasenta
menyebabkan protein plasenta dan kadar DNA di bawah
normal sedangkan konsentrasi RNA meningkat. Transport
kalsium tak terganggu, aliran natriun, kalium dan glukosa
menurun. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi
seperti asam amino, lemak dan gama globulin biasanya
mengalami gangguan sehingga dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan janin intra uterin.
23
- Berat janin: Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada
plasenta maka terjadi penurunan berat janin. Dari penelitian
Vorherr tampak bahwa sesudah umur kehamilan 36 minggu
grafik rata-rata pertumbuhan janin mendatar dan tampak adanya
penurunan sesudah 42 minggu . Namun seringkali pula plasenta
masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin
bertambah terus sesuai dengan bertambahan umur kehamilan.
Zwerdling menyatakan bahwa rata-rata berat janin lebih dari
3600 gram sebesar 44,5% pada KLB sedangkan pada
kehamilan genap bulan (KGB) sebesar 30,6 %. Vorherr
menyatakan risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000
gram pada KLB meningkat 2 – 4 kali lebih besar dari KGB.
- Sindroma postmaturitas: dapat dikenali pada neonatus dengan
ditemukan beberapa tanda seperti : gangguan pertumbuhan,
dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas ( hilangnya lemak
subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tulang tengkorak
lebih keras, hilangnya verniks kaseosa dan lanugo, maserasi
kulit terutama daerah lipat paha dan genital luar, warna coklat
kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali pusat, muka
tampak menderita dan rambut kepala banyak atau tebal. Tidak
seluruh neonatus KLB menunjukkan tanda postmaturitas
tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12 – 20
% neonatus dengan tanda postmaturitas pada KLB. Tergantung
derajat insufisiensi plasenta yang terjadi tanda postmaturitas ini
dapat dibagi dalam 3 stadium, yaitu :
- Stadium I : Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa
dan maserasi berupa kulit kering, rapuh dan mudah
mengelupas
- Stadium II : ditambah pewarnaan mekoneum pada kulit
- Stadium III : disertai pewarnaan kekuningan pada kuku,
kulit dan tali pusat
24
Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan angka
meningkat setelah kehamilan 42 minggu atau lebih, sebagian besar
terjadi intrapartum. Umumnya disebabkan karena : 1,7,8
- Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada
persalinan
- Insufisiensi plasenta yang berakibat :
- Pertumbuhan janin terhambat
- Oligohidramnion : terjadi kompresi tali pusat, keluar
mekoneum yang kental
- Hipoksia janin
- Aspirasi mekoneum oleh janin
- Cacat bawaan : terutama akibat hipoplasia adrenal dan
anensefalus
25
KLB merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai saat
ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat.8,9
Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa setiap KLB dengan
komplikasi spesifik seperti Diabetes mellitus, kelainan factor Rhesus
atau isoimunisasi, preeklampsia/ eklampsia, hipertensi kronis dan lain
sebagainya yang meningkatkan risiko terhadap janin, kehamilan jangan
dibiarkan berlangsung lewat bulan. Demikian pula pada kehamilan
dengan faktor risiko lain seperti primitua, infertilitas, riwayat obstetrik
yang jelek.9
Tidak ada ketentuan atau hukum yang pasti dan perlu
dipertimbangkan masing-masing kasus dalam pengelolaan KLB.
Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan KLB
antara lain :9
− Pada beberapa penderita, umur kehamilan tidak selalu dapat
ditentukan dengan tepat, sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan
− Sukar menentukan apakah janin akan mati, berlangsung terus atau
megalami morbiditas serius bila tetap dalam rahim
− Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan tumbuh terus
sesuai dengan tambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin
besar
− Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita
didapatkan sekitar 70 % serviks belum matang / unfavourable /
dengan nilai Bishop rendah sehingga induksi tidak selalu berhasil
− Persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi
postmatur
− Pada KLB sering terjadi disproporsi kepala panggul dan distosia
bahu ( 8% pada kehamilan genap bulan, 14% pada KLB)
− Janin KLB lebih peka terhadap obat penenang dan narkose
26
− Bedah sesar akan menimbulkan cacad pada ibu sekarang maupun
untuk kehamilan berikut ( risiko Bedah sesar 0,7% pada genap
bulan & 1,3 % pada KLB)
Pemecahan kulit ketuban harus dengan pertimbangan matang.
Pada oligohidramnion pemecahan kulit ketuban akan meningkatkan
risiko kompresi talipusat tetapi sebaliknya dengan pemecahan kulit
ketuban akan dapat diketahui adanya mekoneum dalam cairan
amnion.12
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat dalam
pengelolaan KLB. Beberapa kontroversi ini antara lain adalah :4,5
− Apakah kehamilan sebaiknya diakhiri pada usia kehamilan 41 atau
42 minggu
− Apakah dilakukan pengelolaan secara aktif yaitu dilakukan induksi
setelah ditegakkan diagnosis KLB ataukah sebaiknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif yaitu menunggu dengan pemantauan
terhadap kesejahteraan janin.
Pengelolaan aktif: yaitu dengan melakukan persalinan anjuran
pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil risiko
terhadap janin.7
Pengelolaan pasif / menunggu / ekspektatif : didasarkan
pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas
dasar KLB mempunyai risiko / komplikasi cukup besar terutama risiko
persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan
pengawasan terus menerus terhadap kesejahteraan janin, baik secara
biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan
sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.2
Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan KLB adalah :
− Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat
bulan (KLB) atau bukan. Dengan demikian penatalaksanaan
ditujukan kepada dua variasi dari KLB ini.
27
− Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin .
Pemeriksaan Kardiotokografi seperti nonstres test (NST) &
contraction stress test dapat mengetahui kesejahteraan janin sebagai
reaksi terhadap kontraksi uterus. Pemeriksaan ultrasonografi untuk
menentukan besar janin, denyut jantung janin, gangguan
pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan plasenta,
jumlah dan kualitas air ketuban. Beberapa pemeriksaan laborat
dapat dilakukan seperti pemeriksaan kadar Estriol
− Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop. Kematangan
serviks ini memegang peranan penting dalam pengelolaan KLB.
Sebagian besar kepustakaan sepakat bahwa induksi persalinan dapat
segera dilaksanakan baik pada usia 41 maupun 42 minggu
bilamana serviks telah matang.
− Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur
kehamilan mencapai 41 minggu dengan melihat kematangan
serviks, mengingat dengan bertambahnya umur kehamilan maka
janin tumbuh besar, terjadi kemunduran fungsi plasenta dan
oligohidramnion. Kematian janin neonatus meningkat 5 – 7 % pada
persalinan 42 mg atau lebih.
− Bila serviks telah matang ( dengan nilai Bishop > 5 ) dilakukan
induksi persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap
jalannya persalinan dan keadaan janin
− Bila serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut
apabila kehamilan tidak diakhiri :
− NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal,
kehamilan dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan
seminggu dua kali.
− Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang
vertical atau indeks cairan amnion < 5 ) atau dijumpai deselerasi
variable pada NST maka dilakukan induksi persalinan.
28
− Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes
dengan kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif,
janin perlu dilahirkan sedangkan bila CST negatif kehamilan
dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari
kemudian.
− Keadaan serviks ( Skor Bishop ) harus dinilai ulang setiap
kunjungan pasien dan kehamilan harus diakhir bila serviks matang.
− Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri
Pengelolaan selama persalinan adalah :
− Pemantauan yang baik terhadap ibu ( aktivitas uterus ) dan
kesejahteraan janin. Pemakaian continous electronic fetal
monitoring sangat bermanfaat
− Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama
persalinan.
− Awasi jalannya persalinan
Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi
kegawatan janin. Cegah terjadinya aspirasi mekoneum dengan
segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada
tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur
pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekoneum.
Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda
postmaturitas. Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling
berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan KLB
harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di
Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal yang
memadai.1,5,10
D. SECTIO CAESAREA
Bedah sesar (caesarean section ), disebut juga dengan seksio
sesarea (disingkat dengan sc) adalah proses persalinan
29
melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi)
dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi.
Bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal
melalui vagina tidak memungkinkan karena berisiko kepada komplikasi medis
lainnya. Sebuah prosedur persalinan dengan pembedahan umumnya dilakukan
oleh tim yang melibatkan spesialis kandungan, anak, anestesi serta bidan.
Ada beberapa jenis bedah sesar:
Jenis klasik yaitu dengan melakukan sayatan vertikal sehingga
memungkinkan ruangan yang lebih besar untuk jalan keluar bayi. Akan
tetapi jenis ini sudah sangat jarang dilakukan hari ini karena sangat
berisiko terhadap terjadinya komplikasi.
Sayatan mendatar di bagian atas dari kandung kemih sangat umum
dilakukan pada masa sekarang ini. Metode ini meminimalkan risiko
terjadinya pendarahan dan cepat penyembuhannya.
Histerektomi caesar yaitu bedah caesar diikuti dengan
pengangkatan rahim. Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus dimana
pendarahan yang sulit tertangani atau ketika plasenta tidak dapat
dipisahkan dari rahim.
Bentuk lain dari bedah caesar seperti bedah sesar
ekstraperitoneal atau bedah sesar Porro.
Bedah sesar berulang dilakukan ketika pasien sebelumnya telah pernah
menjalan bedah sesar. Umumnya sayatan dilakukan pada bekas luka
operasi sebelumnya.
30
Disproporsi kepala-panggul
Ruptur uteri iminens
Kepala bayi lebih besar dari normal (hidrocephalus)
Memiliki penyakit tertentu ( misal : herpes genital, hipertensi, HIV-
AIDS)
Tali pusar bayi terputus/melilit bayi
Letak lintang
Punya riwayat SC sebelumnya, sesuai indikasi medis.
putusnya tali pusar
risiko luka parah pada rahim
persalinan kembar (masih dalam kontroversi)
sang bayi dalam posisi sungsang atau letak lintang
kegagalan persalinan dengan induksi
kegagalan persalinan dengan alat bantu (forceps atau vakum)
bayi besar (makrosomia - berat badan lahir lebih dari 4,2 kg)
masalah plasenta seperti plasenta previa (ari-ari menutupi jalan
lahir), placental abruption atau placenta accreta)
kontraksi pada pinggul
sebelumnya pernah mengalami masalah pada
penyembuhan perineum (oleh proses persalinan sebelumnya
atau penyakit Crohn)
angka d-dimer tinggi bagi ibu hamil yang menderita sindrom
antibodi antifosfolipid
31
BAB III
STATUS PENDERITA
A. ANAMNESIS
Tanggal 20 Juli 2010
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. M
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Godangan, Karangbangun, Matesih
Status Perkawinan : Kawin
HPMT : 20 September 2009
HPL : 5 Juli 2010
UK : 42 minggu
Tanggal Masuk : 20 Juli 2010
No.CM : 01019443
Berat badan : 70 Kg
Tinggi Badan : 150 Cm
2. Keluhan Utama
Ingin melahirkan, perut terasa kencang-kencang
32
merasa hamil 9 bulan lebih, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan
sejak 4 jam yang lalu, gerak janin masih dirasakan, air ketuban sudah
dirasakan keluar sejak 24 hari yang lalu. Keruh dan tidak berbau.
6. Riwayat Fertilitas
Riwayat infertililitas (-)
7. Riwayat Obstetri
Baik
33
Teratur, pertama kali periksa ke puskesmas pada usia kehamilan 1 bulan.
Selanjutnya melakukan ANC di puskesmas.
9. Riwayat Haid
- Menarche : 15 tahun
- Lama menstruasi : 7 hari
- Siklus menstruasi : 30 hari
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Interna
Keadaan Umum : Baik, CM, Gizi kesan lebih
Tanda Vital :
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 37,0 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-)
Leher : Gld. Thyroid tidak membesar, limfonodi tidak
membesar, JVP tidak tmeningkat
Thorax : Gld. Mammae dalam batas normal, areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor :
Inspeksi : IC tidak tampak
34
Palpasi : IC tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada ka = ki
Palpasi : Fremitus raba dada ka = ki
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar (-/-)
Abdomen:
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada
Stria gravidarum (+)
Palpasi : Supel, NT (-), hepar lien tidak membesar
Perkusi : Tympani pada bawah processus xipoideus,redup pada
daerah uterus
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Genital : Lendir darah (+) ,air ketuban (+)
Ekstremitas : Oedema
- -
- -
Akral dingin
- -
- -
2. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Wajah : Kloasma gravidarum (-)
Leher : Pembesaran kelenjar tyroid (-)
Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae
hiperpigmentasi (+)
35
Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, stria gravidarum (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), terapa janin tunggal, intra
uterin, memanjang, puki, preskep, kepala masuk
panggul < 1/3 bagian, TFU 31 cm ~ TBJ 3000
gram, HIS (+) 2-3 x/10’/20-30”/kuat.
Pemeriksaan Leopold
I : Teraba bagian lunak kesan bokong
II : Di sebelah kiri teraba bagian keras, rata,
memanjang
III : teraba bagian keras dan bulat, kesan kepala
IV : kepala masuk panggul < 1/3 bagian
Perkusi : Tympani pada bawah processus xiphoideus,redup
pada daerah uterus
Auskultasi : DJJ (+) 7-9-10/ 6-8-9/ 6-7-10 irreguler
Genital eksterna : Vulva/uretra tidak ada kelainan, lendir darah (+),
peradangan (-), tumor (-)
Ekstremitas : Oedema
- -
- -
akral dingin
- -
- -
Pemeriksaan Dalam :
VT : vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio lunak, mendatar, Ø 4cm, preskep, kepala sudah
36
masuk panggul di H II, AK (+), keruh hijau, STLD (+),
penunjuk belum dapat dinilai.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah tanggal 19 Juli 2010
Hemoglobin : 10,8 gr/dl
Eritrosit : 3,46 x 106/ uL
Hematokrit : 31,3 %
Antal Leukosit : 12,4 x 103/uL
Antal Trombosit : 321 x 103/uL
Golongan Darah :B
Bleeding Time : 16,9 detik
Clotting Time : 31,4 detik
GDS :89 mg/dL
Ureum : 11 mg/dL
Creatinin : 0,4 mg/dL
Albumin : 3,7 g/dL
SGOT : 12 u/L
SGPT : 10 u/L
Na : 137 mmol/L
K : 4,2 mmol/L
Klorida : 106 mmol/L
HbS Ag : negatif
Ewitz :-
2. USG
Tampak janin tunggal, intrauterine, preskep, puki, DJJ (+) irreguler
dengan FB
BPD = 90, FL = 70, AC = 321, EFBW = 3010 g, air kawah kesan
cukup, tak tampak kelainan kongenital mayor, plasenta insersi di korpus
kanan, grade II.
Kesan : saat ini janin dalam keadaan fetal distress.
37
D. KESIMPULAN
Seorang G2P1A0 , 27 tahun, umur kehamilan 42 minggu, riwayat fertilitas
baik, riwayat obstetri baik, teraba janin tunggal, intra uterin, preskep, puki,
kepala masuk panggul <1/3 bagian, TBJ 3000 gram, HIS (+) kuat, DJJ (+)
irreguler, pembukaan Ø= 4 cm, kulit ketuban (-), air ketuban (+) hijau keruh,
lendir darah (+), kepala turun di Hodge II, penunjuk belum dapat dinilai,
bishop score 4, nitrasin test (+) .
E. DIAGNOSA
Fetal Distress, KPD 24 jam pada secundigravida hamil postterm dalam
persalinan kala I fase aktif, persalinan berlangsung 4 jam.
F. PROGNOSA
Bayi : Malam
Ibu : Dubia
Persalinan: Malam
G. TERAPI
Usul sectio caesaria transperitoneal emergency
Siapkan resusitasi bayi
Konsultasi bagian perinatologi
00.05 WIB
Lahir bayi laki-laki, BB 3600 gram, 50 cm, LK/LD 35/35 cm AS 7-8-9
Anus (+) Kelainan Kongenital (-)
00.10 WIB
Lahir plasenta lengkap bentuk cakram, ukuran 20x20x1,5 cm, PTP 50 cm,
kalsifikasi > 50%, oksitosin II amp, meth II amp
38
02.00 WIB / 2 jam post partum
Keadaan umum : Baik, cm, gizi kesan cukup
Tanda vital : T = 120/80 mmHg Respiratory Rate = 20x/menit
N = 80x/menit Suhu = 36,5 0C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU teraba 1 jari dibawah pusat,
kontraksi (+) kuat
Genital : Perdarahan (-)
Lochia (+)
Diagnosa : Fetal Distress, Kala I, KPD 24 jam pada
sekundigravida hamil postterm dalam persalinan kala I fase aktif.
39
H. FOLLOW UP
Tanggal 20 Juli 2010
Keadaan umum : Baik, cm, gizi kesan cukup
Tanda vital : T = 120/80 mmHg Respiratory Rate = 18x/menit
N = 80x/menit Suhu = 36,9 0C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU teraba 2 jari dibawah pusat,
kontraksi (+) kuat
Genital : Perdarahan (-)
Lochia (+)
Diagnosa :Fetal Distress, Kala I, KPD 24 jam pada secundigravida
hamil postterm
40
Tanggal 21 Juli 2010
Keadaan umum : Baik, cm, gizi kesan cukup
Tanda vital : T = 120/80 mmHg Respiratory Rate = 18x/menit
N = 80x/menit Suhu = 36,9 0C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU teraba 1 jari dibawah pusat,
kontraksi (+) kuat
Genital : Perdarahan (-)
Lochia (+)
41
BAB IV
ANALISA KASUS
A. Analisa Status
Pada pembuatan status ini dijumpai beberapa kekurangan diantaranya
perlunya pemeriksaan penunjang lebih lanjut (misalnya Cardiotocography),
sehingga diagnosa dapat lebih tegas ditegakkan.
B. Analisa Kasus
Diagnosa : Fetal Distress, Kala I, Ketuban Pecah Dini 24 jam pada
secundigravida Hamil Posterm
Fetal Distress
Fetal distress dapat terjadi karena adanya gangguan sirkulasi
uteroplasenter yang mengakibatkan hipoksia pada janin. Pada kasus ini,
hipoksia pada janin kemungkinan bisa disebabkan oleh kehamilan
postterm. Pada kehamilan postterm, plasenta sudah tidak bagus lagi
sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah dari ibu ke janin. Di samping
itu fetal distress juga dapat diakibatkan oleh adanya ketuban pecah dini
yang mengakibatkan air ketuban berkurang, kemudian tali pusat tertekan
oleh janin sehingga janin mengalami hipoksia dan berakibat terjadi
hipoksia.
Fetal distress atau yang sering disebut gawat janin ditegakkan
ketika ditemukan DJJ (+) 7-9-10/ 6-8-9/ 6-7-10 irreguler menurun,
denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit. Hal ini menunjukkan
hipoksia janin yang sudah tidak bisa dikompensasi lagi (distress).
Diagnosa ini dapat lebih tegas lagi ditegakkan jika dilakukan
pemeriksaan cardiotocography untuk pemantauan denyut jantung janin
yang kontinyu dalam hubungannya dengan kontraksi uterus.
Pada kasus ini diagnosa ditegakkan dari:
42
a. Anamnesa : tidak didapatkan keterangan kuat
b. Pemeriksaan obstetri : Didapatkan DJJ (+) 7-9-10/ 6-8-9/ 6-7-10
irreguler
Kami berpendapat bahwa fetal distress lebih disebabkan karena
kehamilan postterm dibandingkan akibat dari ketuban pecah dini.
Insufisiensi fungsi plasenta pada kehamilan postterm menyebabkan aliran
nutrisi untuk janin menjadi terganggu, terutama oksigen. Hal tersebut
mengakibatkan fetal distress.
Hamil Postterm
Disebut hamil posterm apabila setelah melewati waktu hari
perkiraan lahir tetap belum terjadi persalinan.
Pada kasus ini diagnosa ditegakkan dari :
43
a. Anamnesa
Didapatkan keterangan
HPMT : 20 September 2009
HPL : 5 Juli 2010
UK : 42 minggu
b. Pemeriksaan
Palpasi : terapa janin tunggal, intra uterin, memanjang, puki,
preskep, kepala masuk panggul <1/3 bagian, TFU 31 cm
~ TBJ 3000 gram, Dengan menggunakan rumus
McDonald, didapatkan umur kehamilan 42 minggu.
HIS (+) 2-3 x/10’/20-30”/kuat.
44
BAB V
SARAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46
11. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI. 2005.
Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia. Edisi
Kedua. Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI. Pp : 1-9
12. Sumapraja, S; Rachimhadhi, T. 1999. Infertilitas.
Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Keenam.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Pp : 365-76
13. M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi
dalam Kehamilan (EPH Gestosis). Lab UPF Obstetri dan Ginekologi FK
UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo, Surrabaya. Pp : 19-41
14. RSUD dr Moewardi. 2004. Protap Pelayanan
Profesi Kelompok Staf Medis Fungsional Obstetri & Ginekologi. RSUD dr
Moewardi, Surakarta. Pp : 15-7
15. Husodo, L. 1999. Pembedahan dengan Laparotomi.
Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Keenam.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Hal : 863-870
16. Abdul Bari, S. 2003. Standar Pelayanan Medik
Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI, Jakarta. Pp : 35-45
17. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 9th Ed:
James R., Md. Scott, Ronald S., Md. Gibbs, Beth Y., Md. Karlan, Arthur F.,
Md. Haney, David N. Danforth By Lippincott Williams & Wilkins
Publishers; 9th edition.
18. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics 2nd edition (May 2002): By Brandon J., Md. Bankowski (Editor),
Amy E., MD Hearne (Editor), Nicholas C., MD Lambrou (Editor), Harold E.,
MD Fox (Editor), Edward E., MD Wallach (Editor), The Johns Hopkins
University Department (Producer) By Lippincott Williams & Wilkins
Publishers
47