Anda di halaman 1dari 3

Wahid Institute

The Wahid Institute strives for a just and peaceful world by espousing a moderate and
tolerant view of islam and working towards welfare for all.
Rabu, 1 November 2006 12:00

Pandangan Islam Terhadap Umat Agama


Lain
Tidak Ada Kata Islam dan Ayat Quran
Dalam Piagam Madinah
 
Ketua PBNU KH. Sa’id Agil Siradj menegaskan, selama 13 tahun berdakwah di Makkah,
Nabi Muhammad Saw hanya membangun komunitas berdasarkan ikatan primordial atau
sektarian melalui konsep ukhuwwah Islamiyyah (solidaritas atas nama Islam).

“Jika Anda Islam, Anda saudaraku. Anda bukan Islam (paganis, red.), Anda bukan
saudaraku. Itu dakwah nabi pada fase Makkah yang masyarakatnya masih diselimuti
kejahiliyahan dan kebiadaban.”

Demikian disampaikan Ketua PBNU itu saat menjadi narasumber pada Kelas Islam dan
Pluralisme II dengan tema Pandangan Islam terhadap Umat Agama Lain II, di Kantor
the WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at
(08/09/2006). Kursus yang diikuti 25 pendeta Kristen ini digelar the WAHID Institute
bersama Crisis Center Gereja Kristen Indonesia (CC-GKI).

Dikatakannya, ukhuwwah Islamiyyah yang dibangun Nabi Muhammad Saw di Makkah


itu adalah batu loncatan untuk membangun ukhuwwah yang lebih universal, yaitu
ukhuwwah madaniyyah (solidaritas antar sesama penduduk kota) di Yatsrib (nama asli
Madinah sebelum diubah oleh Nabi Saw).

“Platform-nya adalah tamaddun atau peradaban. Maka, nama kota Yatsrib diubah
menjadi Madinah, setelah masyarakatnya benar-benar beradab, sadar hukum, berbudaya,
dan sebagainya,” terang profesor kelahiran Cirebon ini.
Pada diskusi yang dimoderatori Peneliti the WAHID Institute Rumadi ini, Kang Said,
sapaan akrabnya, juga menyatakan, di Yatsrib Nabi Muhammad Saw menemui
masyarakat yang beragam latar belakang, baik etnis maupun agamanya.

“Selain muslim, Nabi Saw juga menjumpai etnis nonmuslim yang berbeda dengan yang
ada di Makkah. Nonmuslim di Makkah itu jahiliyah, tak bergama, sedang di Yatsrib itu
beragama Yahudi. Dan banyak suku lain di sana,” katanya.

Melihat kemajemukan masyarakat Yastrib itu, Nabi Muhammad Saw segera bertemu
para elit suku-suku di sana. Pertemuan itu menghasilkan point-point dalam Shahifah
Madinah (Piagam Madinah) yang berjumlah 47 point.

“Tidak satupun ada kata Islam dan tidak ada satupun ada kutipan ayat al-Quran,”
imbuhnya.

Apa isi point-point itu? Menurut Kang Said, isinya nilai-nilai universal kemanusiaan,
seperti persaudaran, perolehan hak dan kewajiban yang sama, supremasi hukum
ditegakkan pada siapa pun tanpa pandang agama dan etnis, jaminan kebebasan
menjalankan ajaran agama, kesejahteraan sandang, pangan dan papan, dan pendidikan.

“Suatu ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan orang Islam. Nabi Saw marah besar
dan mengeluarkan statemen: man qatala dzimmiyyan faana khasmuhu! Jika ada yang
membunuh nonmuslim, akan berhadapan dengan saya!” ujarnya.

Itulah pembelaan dan penghargaan Nabi Muhammad Saw pada kelompok di luar Islam.
Penghargaan itu juga ditunjukkannya, ketika suatu saat ada jenazah lewat beliau langsung
berdiri hormat. Melihat itu, seorang sahabat memberi tahu, bahwa itu jenazah orang
Yahudi.

“Nabi Saw menjawab, dirinya tahu ia Yahudi. Nabi hormat karena ia akan kembali
menghadap Tuhan,” terangnya.

Suatu saat, kata Kang Said, Nabi Muhammad Saw kedatangan tamu Kristen dari Najran.
Beliau memperlakukan mereka dengan segala hormat. Bahkan rida’ (surban) beliau
dibentangkan dan mereka dipersilakan duduk di atasnya, sambil berbincang-bincang.

“Satu kata yang Nabi Saw lontarkan kepada mereka: ya ahl al-kitab, ta’alau ila kalimatin
sawa. Saudaraku ahli kitab, mari kita kembali pada satu titik temu, yaitu bahwa Tuhan itu
satu. Beliau begitu terbuka mengajak mereka kembali pada titik paling sentral dan
prinsip, yaitu beriman kepada Tuhan yang satu,” imbuhnya.

Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, tepatnya ketika Umar bin al-Khattab menjabat
khalifah, Islam telah menguasai Palestina. Penguasa Palestina, kata Kang Said, tidak akan
memberikan kunci kota itu kepada siapapun, kecuali jika Umar sendiri yang datang.
Suatu ketika, Umar berkeliling kota dan berkesempatan masuk gereja. Ketika datang
waktu Asar, Umar memilih salat di teras gereja.
“Selesai salat, Umar ditanya pendeta gereja itu perihal keengganannya shalat di dalam
gereja. Jawabnya, jika ia shalat di dalam gereja, dia khawatir, kelak akan ada generasinya
yang merebut gereja dengan alasan Umar pernah shalat di dalamnya. Sampai segitunya
kearifan Umar. Makanya, Kristen Syiria, Lebanon, Mesir, Palestina, dan lainnya, merasa
nyaman dan terlindungi berada di bawah kepemimpinan Madinah,” jelasnya.

Itulah kisah Kristen-Islam dalam rentang panjang sejarahnya. Bahkan dikatakan Kang
Said, tidak sedikit orang Islam yang berguru melalui buku-buku (orang-orang) Kristen.
“Terutama ketika Khalifah Ma’mun menerjemahkan buku-buku Yunani tentang filsafat,
kedokteran, dan sebagainya. Para penerjemahnya adalah nonmuslim, seperti Khunain bin
Ishaq (Kristen) dan Tsabit bin Qarh (Majusi),” katanya.

Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan dari peserta, mengapa pesan damai dan
rukun yang dibawa Nabi Muhammad Saw kini seakan tak terlihat lagi?

Menanggapi pertanyaan ini, Kang Said menyatakan, kelompok radikal atau eksklusif, itu
selalu ada di mana saja, baik di Islam, Kristen atau agama lain.

“Orang Islam yang menganggap orang Kristen kafir banyak. Orang Kristen yang
menganggap orang Islam sesat juga tidak kurang. Jadi, kembali kepada manusianya. Tapi
kalau kita mau bicara serius tentang agama, maka semuanya harus diperlakukan sama,
tidak ada diskriminasi,” jawabnya.

Anda mungkin juga menyukai