Abstract
Purpose: A review of the update on treatment of avian influenza A/H5N1 virus is presented.
Summary: The next human influenza pandemic, if caused by the avian influenza A/H5N1 virus,
is estimated to have a potential mortality rate of more than a hundred million. Outbreaks in
poultry have been associated with human transmission. WHO has documented 385 confirmed
human infections with a mortality rate greater than 60%. Indonesia has announced its 135 human
cases and a greater mortality rate than (80%). Surveillance of the sick or dead animal caused by
the highly pathogenic H5N1 and surveillance in human populations with fever and ILI in the
infected area to detect and treat the human cases as early as possible with antiviral oseltamivir
may help to reduce the number of victims and its mortality rate. The researchs of newer antiviral
and its combination and other treatment options are ongoing to prevent the next pandemic.
Key Words: avian (H5N1) virus – high mortality rate – antiviral – other treatment options
Pendahuluan
Penyakit avian influenza (AI) H5N1 pada unggas telah meluas ke beberapa benua yang
meningkatkan risiko pajanan pada manusia dan telah menelan banyak korban meninggal dunia.
Kasus pertama di Indonesia diketahui pada bulan Juli 2005 yang kemudian terus bertambah
(Kandun, 2006). Laporan WHO pada tanggal 19 Juni 2008 secara global terdapat 385 kasus
konfirm AI (H5N1) dengan 243 (63,1%) kasus meninggal. Indonesia merupakan negara pertama
terbanyak dengan jumlah kasusnya 135 dengan kematian sebanyak 110 (81,5%) penderita, yang
kedua adalah Vietnam dengan 106 kasus dan 52 meninggal. Negara terbaru yang penduduknya
menderita AI (H5N1) adalah Bangladesh dengan 1 penderita anak lelaki usia 16 bulan tetapi
sembuh. Empat penderita AI (H5N1) yang dirawat di RSU Dr Soetomo, kesemuanya dewasa, 2
kasus konfirm AI (H5N1) yang dirawat pada tahun 2006 keduanya sembuh, dan sebanyak 2
kasus di tahun 2007 yang keduanya meninggal.
Penularan
Penularan virus AI (H5N1) langsung dari avian-manusia merupakan cara utama
terjadinya infeksi pada manusia, sedangkan bagaimana cara dan lokasi yang tepat virus AI
(H5N1) berada di saluran nafas masih belum jelas. Menangani unggas sakit atau mati untuk saat
ini merupakan faktor risiko utama. Virus AI (H5N1) dapat juga menginfeksi berbagai inang
mamalia termasuk kucing dan anjing piaraan. Sampai saat ini masih belum ada hewan yang
terlibat penularan virus AI (H5N1) ke manusia, tetapi setiap hewan yang terinfeksi virus secara
teoritis merupakan suatu faktor risiko penularan dan menjadi inang untuk adaptasi virus ke
mamalia (Peiris, 2007).
Gambaran Klinik
Setelah paparan dengan unggas yang terinfeksi virus AI (H5N1), masa inkubasi
umumnya 2-5 hari, maksimal 17 hari dan rata-rata keluhan sudah berlangsung 4,5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pada kasus klaster, dengan kemungkinan penularan antar manusia yang
terbatas, masa inkubasi sekitar 3-5 hari, walaupun pada satu klaster diperkirakan 8-9 hari (Wong,
2006; Peiris, 2007). Di Indonesia dari permulaan sakit sampai masuk rumah sakit berkisar dari 1-
16 hari dengan rata-rata 5 hari, sedangkan lama dirawat di rumah sakit sampai penderita
meninggal berkisar antara 0-19 hari dengan rata-rata 4 hari (Sedyaningsih, 2008).
Penyakit AI (H5N1) pada manusia umumnya diawali dengan demam tinggi 380C dan
batuk, sesak nafas sedangkan pada anak sering dengan diare. Tiga klaster dari Indonesia yang
dilaporkan, termasuk klaster pertama di Indonesia di Tangerang pada bulan Juli 2005, berupa 2
kasus anak yang awalnya diare dan satu dewasa. Klaster kedua di Bintaro bulan Agustus 2005,
seorang anak dan seorang dewasa, sedangkan klaster ketiga di Lampung bulan September 2005,
2 anak dan satu kasus dewasa. Saat ini sudah terdapat 11 klaster di Indonesia (Giriputro, 2008).
Tiga gejala pada penderita di Indonesia yang terbanyak adalah panas badan (99%), sesak nafas
National Symposium: Emerging and Re-emerging Infectious Diseases Update I
Surabaya, July 19-20, 2008 - Convention Hall 7th floor, Husada Utama Specialist Hospital
JF Palilingan
Update on Treatment of Avian Influenza
(94%) dan batuk (90%). Gejala lainnya adalah mual 25%, mual dan nyeri kepala masing-masing
19%, diare 15% dan mialgia 13% (Sedyaningsih, 2008). Laporan dari Vietnam, juga dengan
diare dan gejala neurologis seperti stupor, kejang atau koma. Pada laporan 10 kasus, terdapat 4
kasus dewasa dan 8 kasus anak dengan kematian 80%. Terdapat juga gangguan fungsi ginjal,
fungsi hati dan gula darah pada 6 kasus. Hasil laboratorium menunjukkan kelainan berupa
leukopenia, limfopenia, trombositopenia dan dan rasio CD4:CD8 terbalik. Di Indonesia
didapatkan leukopenia sebanyak (81,1%), limfopenia (32,4%) dan trombositopenia (69,3%)
(Sedyaningsih, 2008). Di Indonesia pneumonia didapatkan sebanyak Sebagian besar kasus
dengan pneumonia (98,4%) yang progresif menjadi acute respiratory distress syndrome
(ARDS), rata-rata setelah 6 hari terjadinya penyakit yang berlanjut menjadi gagal multi-organ
(multi organ failure MOF) dan berakhir dengan kematian (Ungchusak, 2005; de Jong, 2005;
Kandun, 2006; WHO, 2008; Sedyaningsih, 2008).
TRIASE IRD
1. Seleksi penderita Flu Burung dengan Semua Petugas kesehatannya menerapkan
kewaspadaan universal
2. Seleksi oleh Perawat terlatih dengan pedoman Gejala2 dan Faktor Risiko AI (H5N1)
3. Seleksi oleh Dokter Triase untuk anamnesis dan pemeriksaan Fisik
4. Pemeriksaan Penunjang Dx: Darah lengkap, serologi anti-tifoid, anti-HIV, anti-DHF,
Foto toraks
5. Menentukan Dipulangkan atau Dirawat Inap di Ruangan Biasa atau Isolasi Khusus AI
(H5N1)
6. Diagnosis Banding AI (H5N1) mencakup Demam berdarah (DHF), Pneumonia oleh
penyebab lainnya (virus, kuman atau jamur), Demam Tifoid, HIV, TB Paru
Diagnosis
Diagnosis infeksi virus AI (H5N1) harus dimasukkan dalam diagnosis banding semua
orang dengan penyakit saluran nafas akut di setiap negara atau wilayah yang telah diketahui
bahwa virus AI (H5N1) sebagai penyebab infeksi pada hewan terutama unggas. Diagnosis H5N1
ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisis lengkap dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis harus sedini mungkin, karena penderita harus diisolasi dan segera diberi obat antiviral.
Uji diagnostik cepat belum ada yang direkomerndasi karena menghasilkan sensitiviti yang
rendah pada kasus infeksi virus AI (H5N1). Hasil tes yang negatif tidak menyingkirkan adanya
infeksi virus AI (H5N1) dan hasil tes yang positif tidak spesifik karena tidak membedakan
dengan infeksi oleh virus influenza yang lain (WHO, 2007).
Anamnesis harus mencakup ada atau tidaknya kontak langsung atau erat dengan unggas
mati atau sakit satu minggu sebelumnya. Ada tidaknya unggas sakit atau mati di rumah atau
sekitar rumah. Adanya anggota keluarga yang menderita penyakit dengan gejala yang sama.
Awitan gejala klinisnya dan kronologis sejak kontak dengan unggas sampai munculnya gejala
penyakit. Pemeriksan fisik lengkap, meliputi tanda vital, pemeriksaan fisik lainnya yang lazim
dilakukan dengan perhatian khusus pada organ mata (adanya konjungtivitis), THT, paru, jantung
dan lainnya (WHO, 2007; WHO, 2008).
Uji diagnostik untuk H5N1 meliputi uji untuk skrining dan uji diagnostik / konfirmasi.
Uji Skrining (penapisan) menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dengan eritrosit kuda dan
Enzyme Immune Assay (EIA) untuk deteksi virus influenza A (H5N1). Uji konfirmasi (bahan
darah dan hapusan tenggorok) berupa biakan dan identifikasi virus influenza A subtipe (H5N1).
Digunakan uji real time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) untuk antigen H5 dan uji
serologi dengan immuno fluorescence assay (IFA) menggunakan antibodi monoclonal influenza
A subtipe (H5N1) dan uji neutralisasi, yang dikatakan positif apabila didapatkan kenaikan titer
antibodi spesifik influenza A H5N1 sebanyak 4 kali lipat dalam jangka waktu dua minggu
(MOPH Thailand, 2005; DepKes RI, 2006; WHO, 2007).
Pemeriksaan penunjang, berupa laboratorium klinik (darah lengkap dan hitung limfosit,
albumin, globulin, SGOT/SGPT, kreatinin, ureum, keratin kinase, analisis gas darah),
mikrobiologi, radiologi dan ECG.
Menejemen H5N1
Penderita Konfirm H5N1 dapat dibagi dalam 4 kategori sesuai beratnya penyakit (MOPH
Thailand, 2005)
Derajat I : Penderita tanpa Pneumonia
Derajat II : Penderita dengan Pneumonia Derajat Sedang dan tanpa Gagal Nafas
Derajat III : Penderita dengan Pneumonia Berat dan dengan Gagal Nafas
Derajat IV : Pasien dengan Pneumonia Berat dan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) atau dengan Multiple Organ Failure (MOF)
Semua penderita suspek H5N1 harus dirawat di ruang isolasi dengan tekanan negatif.
Pengunjung dibatasi ketat. Penderita anak diperkenankan didampingi ibunya atau seorang
keluarga dengan penderita menggunakan masker bedah, sedangkan ibu atau keluarganya
menggunakan APP. Prinsip kewaspadaan universal harus dilaksanakan seperti cuci tangan dan
penggunaan APP (DepKes RI, 2006).
Pada kasus derajat I, pengawasan meliputi monitor keadaan umum, kesadaran, tanda vital,
SO2 (dengan oksimetri). Pada kasus derajat II, pengawasan lebih ketat karena memburuknya
pneumonia dapat berlangsung cepat (beberapa kasus ±8 jam). Kriteria pneumonia berat sebagai
berikut: frekuensi nafas cepat, foto toraks pneumonia dengan keterlibatan 2 lobus, infiltrat
bertambah 50%, membutuhkan ventilator mekanik, PaO2/FiO2 300, tekanan darah sistolik
90 mmHg, diastolik 60 mmHg, membutuhkan vasopresor 4 jam, kreatinin serum =2mg/dl.
Penderita yang memburuk segera dirawat di ICU karena membutuhkan ventilasi mekanik
(MOPH Thailand, 2005; DepKes RI, 2006).
ruangan minimal sekali sehari sesuai ketentuan higiene rumah sakit (MOPH Thailand, 2005;
DepKes RI, 2006).
Hal lain yang perlu diperhatikan:
A. Airway. Bebaskan jalan nafas. Bila dengan intubasi periksa posisinya apabila penderita
bergerak. Pasang nasogastrik tube (NGT) untuk dekompresi.
B. Breathing. Beri O2 100%. Beri nafas buatan dengan masker dan ambu-bag bila tidak
dapat bernafas spontan dan tidak diintubasi. Beri O2 minimal 5L/mnt pada frekuensi
nafas normal (SO2 90% menggunakan oksimetri).
C. Circulation. Pasang infus dengan larutan infus yang tepat untuk menjamin fungsi jantung
yang optimal. Monitor klinis, akral hangat/dingin, tekanan darah, ECG, keluaran urin,
analisis gas darah.
D. Disability. Lakukan penilaian cepat dan penilaian neurologis. Monitor dan pertahankan
gula darah. Bila kejang beri anti-kejang. Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit,
hematokrit dan foto toraks.
E. Exposure dan Environment. Monitor ketat suhu tubuh, cegah dan obati hipertermia
(≥390C) atau hipotermia (360C).
G. Gastrointestinal. Dekompresi dengan NGT, perhatikan diare
R. Renal dan Restraint. Monitor keluaran urin, jaga produksi urin 1ml/kg/jam.
Pengobatan Antiviral
Ada dua kelompok obat antiviral untuk influenza yaitu M2 inhibitor dan Neuraminidase
Inhibitor. Obat kelompok M2 Inhibitor yaitu Amantadin dan Rimantadin; dan kelompok
Neuraminidase Inhibitor antara lain Oseltamivir (kapsul dan suspensi) dan Zanamivir (inhalasi).
Obat lain yang baru Peramivir (injeksi) masih dalam penelitian (Moscona, 2005; DepKes RI,
2006; WHO, 2007). Isolat virus A (H5N1) klade 1 (Cambodia, Thailand, Vietnam) dan
mayoritas klade 2.1 (Indonesia) resisten terhadap adamantan (WHO, 2007).
R224, dan proses ini dapat dicegah apabila terjadi mutasi pada R292K, N294S, dan H274Y yang
mengakibatkan resistensi terhadap oseltamivir. Beberapa mutasi ini tidak mempengaruhi ikatan
dengan zanamivir (Moscona, 2005; Moscona, 2008).
Di Indonesia Oseltamivir merupakan obat pilihan satu-satunya untuk penyakit AI
(H5N1), pemberiannya secara oral. Sediaan dalam bentuk kapsul berisi 75mg atau suspensi
berisi 12mg/ml harus segera diberikan sedini mungkin pada saat penderita masuk rumah sakit
(Salomon, 2007).
Dosis Oseltamivir adalah sebagai berikut:
Berdasarkan mg/kgBerat Badan: 2 mg/kgBB (maksimal 75 mg) 2 x sehari selama 5 hari
Dewasa atau Anak ≥13 tahun: 75 mg, 2 x sehari selama 5 hari
Anak (≥ 1 tahun): 2 mg/kgBB 2 x sehari selama 5 hari
Antiviral Profilaksis.
Terdapat tiga kelompok risiko terpajan virus AI H5N1 yang terkait dengan pemberian profilaksis
antiviral, dengan dosis Oseltamivir 1 x 75mg (Schunemann, 2007) :
Kelompok Risiko Tinggi: (termasuk wanita hamil diberikan sebagai profilaksis selama 7-10
hari setelah pajanan terakhir)
Kontak erat serumah atau anggota keluarga dengan penderita suspek atau konfirm AI
(H5N1), karena pajanan potensial pada lingkungan yang sama, sumber unggas atau
penderita
Kelompok Risiko Moderat: (termasuk wanita hamil diberikan sebagai profilaksis selama 7-
10 hari setelah pajanan terakhir)
Orang yang terpajan langsung pada hewan mati atau sakit karena infeksi virus A
H5N1
National Symposium: Emerging and Re-emerging Infectious Diseases Update I
Surabaya, July 19-20, 2008 - Convention Hall 7th floor, Husada Utama Specialist Hospital
JF Palilingan
Update on Treatment of Avian Influenza
Orang yang menangani hewan sakit atau melakukan dekontaminasi lingkungan tanpa
menggunakan APP atau penggunaannya tidak benar
Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita suspek atau konfirm AI
(H5N1) tanpa atau penggunaan yang kurang benar APP yaitu pada saat intubasi atau
penghisapan sekret, menangani spesimen cairan tubuh
Kelompok Risiko Ringan: (Kelompok ini tidak memerlukan profilaksis)
Petugas kesehatan yang menggunakan APP
Petugas kesehatan yang tidak kontak erat (1 meter) dengan spesimen atau penderita
suspek / konfirm AI (H5N1)
Penyembelih hewan yang tidak terinfeksi AI (H5N1)
Orang yang menangani hewan sakit atau mati dengan menggunakan APP secara
benar
Efek samping oseltamivir berupa pusing, muntah, mual, diare, konfusi, sakit perut, batuk,
vertigo, insomnia dan rasa lelah. Oseltamivir tidak dianjurkan untuk anak kurang dari 1 tahun.
Beberapa obat atau kombinasi obat lainnya sedang dalam penelitian. Pemberian
Neuraminidase Inhibitor secara parenteral (zanamivir atau peramivir) untuk menghasilkan kadar
obat yang tinggi dan dapat dipercaya sedang dalam penelitian (WHO, 2008). Kombinasi
adamantan dengan NA inhibitor, memberi efek sinergis pada mencit yang diinfeksi dengan
H5N1. Galur clade 1 H5N1 umumnya sudah resisten terhadap adamantan, tetapi hanya beberapa
virus dari clade 2 yang resisten, sehingga pilihan ini diharapkan dapat bermanfaat. Sialidase
fusion protein (Fludase TM DAS181 secara inhalasi diharapkan dapat menghilangkan reseptor
yang mengandung sialic acid dari epitel saluran nafas. Protein lainnya yang bersifat sebagai HA
Inhibitor yaitu cyanovirin-N diharapkan dapat memblok masuknya virus. Short interfering RNAs
(siRNAs) secara intravena pada mencit yang diinfeksi dengan high pathogen AI (H5 dan H7)
dapat menurunkan replikasi virus dalam organ paru. Influenza Replication Inhibitors lainnya
yaitu T-705 dan ribavirin secara in vitro dan in vivo bekerja aktif terhadap virus NA inhibitor-
resistant dan virus amantadine-resistant (Moscona, 2008).
Imunoterapi.
Administrasi antibodi spesifik anti-H5N1 dalam bentuk neutralizing monoclonal
antibodies atau polyclonal sera (plasma konvalesen) menunjukkan keberhasilan pada hewan
coba dengan infeksi virus A (H5N1). Pemberian dini produk darah konvalesen mungkin
mempunyai nilai terapeutik pada pneumonia pandemi di tahun 1918. Seorang penderita
A(H5N1) yang diobati dengan oseltamivir dosis 2 x 150mg dan serum konvalesen dari penderita
AI (H5N1) yang sembuh, berhasil disembuhkan (Zhou, 2007). Jika digunakan, intervensi
tersebut sebaiknya dilaksanakan dalam bentuk penelitian dengan kontrol dan monitoring ketat
secara klinis dan virologi (Luke, 2006; WHO, 2007). Dari sumsum tulang beberapa penderita AI
(H5N1) yang sembuh di Turki, telah berhasil dibuat combination antibody libraries yang selain
dapat digunakan sebagai imunoterapi pasif juga untuk pembuatan vaksin (Kashyap, 2008).
Antibiotik
Umumnya penderita AI (H5N1) masuk rumah sakit dengan pneumonia yang etiologinya
belum jelas. Antibiotik diberikan secara empiris mengacu pada guideline pneumonia komuniti
nasional atau internasional. Diagnostik kerja pneumonia komuniti biasanya meliputi dahak untuk
pewarnaan Gram dan kultur serta kultur darah.
National Symposium: Emerging and Re-emerging Infectious Diseases Update I
Surabaya, July 19-20, 2008 - Convention Hall 7th floor, Husada Utama Specialist Hospital
JF Palilingan
Update on Treatment of Avian Influenza
Jika uji diagnostik sudah konfirm AI (H5N1) dan pemeriksaan laboratorium untuk
pneumonia komuniti tidak dapat menemukan kuman penyebab apapun, terapi antibiotik empirik
harus dihentikan. Penggunaan antibiotik profilaksis untuk penderita AI (H5N1) tidak dibenarkan,
karena tidak terbukti manfaatnya dan dapat terpilih antibiotik untuk kuman yang resisten serta
menyebabkan efek samping (WHO, 2008).
Steroid.
Berbeda denbgan penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), pada penderita
AI (H5N1) nampaknya pemberian steroid tidak memberi manfaat klinis yang jelas, dan
umumnya penderita AI (H5N1) yang menerima steroid meninggal. Pemberian kortikosteroid
dosis tinggi pada AI (H5N1) atau ARDS tidak memberi manfaat yang jelas, sedangkan
kerugiannya adalah imunosupresi yang mendorong replikasi virus AI (H5N1) atau terjadinya
infeksi sekunder, serta efek samping pada otot. Steroid dosis tinggi tidak direkomendasi pada AI
(H5N1) (WHO, 2008).
Reaksi Hemofagositosis
Reaksi Hemofagositosis dapat terjadi pada infeksi AI (H5N1) yang fatal, walaupun
frekuensi dan kepentingan prognostiknya masih belum jelas karena jumlah kasus meninggal
yang diotopsi masih sedikit. Hemofagositik limfohistositosis merupakan komplikasi yang serius
pada infeksi Epstein–Barr virus, memberi respons klinik yang baik dengan pemberian bahan
sitotoksik etoposide. Etoposide diharapkan merupakan terapi untuk penyakit AI (H5N1) yang
mengalami komplikasi hemofagositik limfohistositosis, tetapi masih memerlukan data penelitian
pada hewan lebih banyak sebelum dapat dipergunakan. Pemberian intravena imunoglobulin
(IVIG) dapat dipertimbangkan sebagai opsi untuk pengobatan hemofagositik limfohistositosis
karena mempunyai efek imunomodulasi. IVIG digunakan di Singapura untuk pengobatan SARS,
tetapi menyebabkan masalah trombo-embolik seperti emboli paru dan stroke iskemik walaupun
dengan profilaksis heparin. Saat ini bahan imunomodulator yang belum terbukti manfaatnya
belum dapat dipergunakan pada penyakit AI (H5N1) (Hui, 2008).
Antipiretika
Anti-piretika atau anti-nyeri sering digunakan untuk menurunkan demam, mialgia dan
arthralgia pada AI (H5N1). Aspirin (asam salisilat) atau produknya jangan diberikan pada
penderita Influensa atau AI (H5N1) di bawah usia 18 tahun oleh karena risiko terjadinya
sindroma Reye (Wong, 2006).
Kriteria Alih Rawat dari Ruang Isolasi ke Ruang Rawat Biasa (DepKes RI 2006)
1. Terbukti bukan kasus AI H5N1
2. Kasus yang PCR positif dipindahkan setelah hasil PCR negatif 3 kali
3. Setelah bebas panas 7 hari
4. Pertimbangan lain dari dokter
Ringkasan:
Untuk penanganan pneumonia virus Avian Influenza yang baik diperlukan diagnosis sedini
mungkin dengan cara survailans aktif H5N1 yang harus dilaksanakan secara bersama antar Dinas
Kehewanan, Kesehatan dan Pemerintah di daerah. Apabila diketahui ada unggas yang mati atau
sakit akibat infeksi H5N1, segera Puskesmas setempat dengan petugas Kecamatan dan Desa
melakukan survailans aktif mencari anggota masyarakat dengan gejala influenza dengan panas
badan ≥380C dan segera diberi Oseltamivir profilaksis serta diobservasi. Apabila kemudian
pemeriksaan mengarah pada gejala suspek AI, segera dirujuk ke RS Rujukan. Pemberian
Oseltamivir sedini mungkin merupakan salah satu cara mengurangi atau menghentikan
multiplikasi virus AI yang sampai saat ini masih berjangkit di Indonesia dengan mortalitas yang
tinggi. Meningkatkan dosis Oseltamivir dan pemberian plasma konvalesen merupakan sedikit
celah pilihan pengobatan menuju kesembuhan yang diharapkan dapat menurunkan angka
kematian pneumonia Avian Influenza. Beberapa obat antiviral baru maupun kombinasinya
sedang dalam penelitian terhadap infeksi AI (H5N1).
Daftar Pustaka:
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik 2006. Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung
di Rumah Sakit.
De Jong MD, Cam BV, Qui PT et al., 2005. Fatal avian influenza A (H5N1) in a child presenting with diarrhea
followed by coma. New Engl J Med. 352:686-91
Hui DSC, 2008. Influenza A/H5N1 infection: Other treatment options and issues. Respirology 13 (Supplement 1):
S22-S26
Giriputro S, 2008. Presentasi: Current situation and clinical features of Influenza A (H5N1) infection in human. 13 th
ICID Kuala Lumpur 2008.
Kandun IN, Wibisono H, Sedyaningsih ER. 2006. Three Indonesian Clusters of H5N1 virus infection. New Engl J
Med 355:2186-94
Kashyap AK, Steel J, Oner AF, et al. 2008. Combinatorial antibody libraries from survivors of the Turkish H5N1
Avian Influenza outbreak reveal virus neutralization strategies. Proc Nat Acad Sciences 105:5986
Luke TC, Kilbane EM, Jackson JL and Hoffman SL. 2006. Meta-analysis: Convalescent blood products for Spanish
Influenza pneumonia: A future H5N1 treatment ? Ann Intern Med 145:599-609
MOPH Thailand. Clinical Management Working Group. 2005. Clinical practice guideline for human avian influenza
(H5N1).
Moscona A. 2005. Neuraminidase Inhibitors for Influenza. New Engl J Med 353:1363-73
Moscona A. 2008. Medical management of Influenza Infection. Annu Rev Med 59:397-413
Peiris JSM, de Jong MD and Guan Y. 2007. Avian influenza virus (H5N1): a threat to human health. Clin Microb
Rev 20:243-267
Salomon R, Hoffmann E and Webster RG. 2007. Inhibition of the cytokine response does not protect against lethal
H5N1 influenza infection. Proc Natl Acad Sci USA 104: 12479-12481
Schunemann HJ, Hill SR, Kakad M, et al. 2007. WHO Rapid Advice Guidelines for pharmacological management
of sporadic human infection with avian influenza A (H5N1) virus. Lancet Infect Dis 7:21-31
Sedyaningsih, ER, 2008. Presentasi: Studies on human Avian Influenza in Indonesia. 3rd SEAICRN Bali, 20-23 Mei
2008.
Sessler CN and Gray ND. 2008. Intensive care management of life-threatening avian influenza A (H5N1).
Respirology 13 (Supplement 1): S27-S32
Shu YL, Yu HJ, Li DX. 2006. Lethal avian influenza A (H5N1) infection in a pregnant woman in Anhui province,
China. New Engl J Med 354:1421-22
Ungchusak K, Auewarakul P, Dowell SF, et al., 2005. Probable person-to-person transmission of avian influenza A
(H5N1). New Engl J Med 352: 333-40
World Health Organization. WHO reference laboratories for diagnosis of influenza A/H5 infection. May 2006.
(http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/guidelines/referencelabs/en/)
World Health Organization. Avian Influenza, Including Influenza A(H5N1), in Humans: WHO Interim Infection
Control Guideline for Health Care Facilities. May 2007.
(http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/guidelines/infectioncontrol1/en/index.html)
World Health Organization. Infection prevention and control of epidemic- and pandemicprone acute respiratory
diseases in health care. WHO Interim Guidelines, June 2007.
(http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CD_EPR_2007_6/en/index.html)
World Health Organization. Writing Committee of the second WHO Consultation on clinical aspects of human
infection with avian influenza A (H5N1) 2008. Update on avian influenza A (H5N1) virus infection in
humans. New Engl J Med 358: 261-73
World Health Organization. Recommendations and laboratory procedures for detection of avian influenza A (H5N1)
virus in specimens from suspected human cases. Revised August 2007
Wong SSY and Yuen KY. 2006. Avian influenza virus infections in humans. Chest 129: 156-168
Zhou BP, Zhong NS and Guan Y. 2007. Treatment with Convalescent Plasma for Influenza A (H5N1) Infection.
New Engl J Med 357; 14; 1450-01