Anda di halaman 1dari 57

DESORPSI ION LOGAM TEMBAGA (II)

dari BIOMASSA Chlorella sp yang TERIMOBILISASI


dalam SILIKA GEL

Tugas Akhir II

Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1


untuk Menempuh Gelar Sarjana

Disusun oleh:
Nama : Lies Triani

NIM : 4350401020

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2006

1
2

SARI

Lies Triani, 2006. Desorpsi Tembaga (II) dari Ckorella sp yang Terimobilisasi pada
Silika Gel, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Semarang.
Kata kunci :desorspi, tembaga (II), Chlorella sp, dan silika gel.
Imobilisasi sel untuk menyerap logam toksik telah banyak dikembangkan,
diantaranya adalah penggunaan Chlorella sp yang diimobilisasi pada silika gel untuk
menyerap tembaga (II). Metode ini pada dasrnya belum menyelesaikan masalah karena
dapat menimbulkan permasalhan baru bagi lingkungan jika adsorben yang telah mengikat
logam toksik tidak diolah kembali. Salah satu cara untuk mengolah kembali adsorben
yang telah mengikat logam adalah dengan desorpsi. Desorpsi merupakan proses
pelepasan kembali ion/molekul yang telah berikatan dengan gugus aktif pada adsorben.
Berbagai larutan dapat digunakan untuk mendesorpsi logam dari adsorben, diantaranya
adalah HCl.
Berdasarkan uraian singkat di atas maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana kondisi optimum desorpsi yang meliputi waktu kontak dan pH awal
desorben (HCl). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari parameter waktu
kontak dan pH awal desorben terhadap desorpsi tembaga (II) dari Chlorella sp yang
terimobilisasi pada silika gel sebagai material pendukung.
Pemelitian ini diawali dengan melakukan adsorpsi terlebih dahulu dengan cara
menginteraksikan tembaga (II) dalam larutan dengan polisorben. Konsentrasi tembaga
(II) dalam larutan ditentukan dengan teknik spektofotometri Serapan Atom (AAS).
Jumlah tembaga (II) yang diserap oleh polisorben ditentukan dengan menghitung selisih
antara konsentrasi yang terdapat dalam larutan sebelum dan sesudah interaksi. Penentuan
waktu optimum desorpsi dilakukan dengan cara menginteraksikan polisorben yang telah
mengikat logam dengan HCl selama waktu kontak yang bervariasi. Sedangkan optimasi
pH dilakukan dengan cara memvariasi pH HCl yang digunakan sebagai agen pendesorpsi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan waktu desorpsi dan keasaman
(penurunan pH) desorben meningkatkan jumlah Cu (II) yang terdesorpsi. Desorpsi Cu (II)
optimum terjadi pada menit ke 60 dan pH desorben 1,6 dengan jumlah Cu (II) yang
terdesorpsi mencapai 97,45%.
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan merupakan faktor eksternal yang secara langsung

maupun tidak langsung sangat mempengaruhi pertumbuhan mahluk hidup

yang ada di dalamnya. Kehidupan dan pertumbuhan mahluk hidup akan

terganggu apabila lingkungan tercemar. Pencemaran lingkungan antara lain

disebabkan oleh limbah yang dihasilkan oleh industri-industri maupun produk

yang dihasilkannya. Salah satu pencemaran yang berbahaya adalah

pencemaran logam tembaga (Cu).

Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam berat yang banyak

dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam industri elektroplating dan

industri logam (alloy). Keberadaan tembaga dalam jumlah kecil sangat

berguna bagi mahluk hidup karena merupakan logam berat essensial, tapi

dalam jumlah besar dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan karena

sifatnya yang toksik. Ion logam tembaga dapat terakumulasi di otak, jaringan

kulit, hati, pankreas dan miokardium. Dengan demikian penanganan limbah

logam Cu harus dilakukan.

Gadd dalam Nurdin (2000) menyatakan bahwa mikroorganisme

seperti khamir, jamur, dan alga dapat menyerap logam-logam berat dan

radionuklida secara efisien dari lingkungan eksternalnya. Pemanfaaan


4

mikroalga sebagai agen pengadsorpsi mempunyai kendala, hal ini disebabkan

ukuran partikelnya yang sangat kecil dengan densitas rendah dan dapat

membentuk koloid dalam air. Kelemahan ini dapat diatasi dengan

mengimobilisasi biomassa sehingga memiliki kekuatan partikel, porositas dan

ketahanan kimia yang tinggi (Sri Lestari, 2002).

Imobilisasi biomassa alga adalah suatu proses pelekatan biomassa

pada suatu matrik pendukung dimana biomassa tersebut tetap aktif sehingga

dapat bergerak terhadap subtrat yang berada pada suatu larutan. Pengikatan

biomassa pada pendukung bergantung pada sifat dan diameter pendukung.

Gugus fungsi biomassa yang telah diimobilisasi akan terselubungi oleh

pendukung, meskipun demikian biomassa terimobilisasi ini masih dapat

mengikat logam dengan baik hanya saja memerlukan waktu adsorpsinya lebih

lama karena untuk dapat berinteraksi harus menembus dinding pendukung

terlebih dahulu.

Sejumlah matrik pendukung telah digunakan untuk mengimobilisasi

biomassa, diantaranya adalah imibilisasi Chlorella vulgaris dan Scenedesmus

quadricauda (Darnall dkk, 1986) menggunakan kopolimer etil akrilat untuk

menyerap logam Ag, Cu, Cd, dan Zn. Imobilisasi Biomassa Chlorella sp pada

polimer etil akrilat – etilen glikol dimetakrilat untuk mengadasorpsi logam

Cu, Zn, dan Pb (Latifah, 1998).

Penggunaan silika gel sebagai pendukung untuk mengimobilisasi

Chlorella sp juga telah banyak dikembangkan. Keuntungan dari silika gel ini

ialah untuk menambah kekuatan mekanik dan luas permukaan dari biomassa.
5

Selain itu produk biomassa yang terimobilisasi pada silika gel sangat mudah

dibuat menjadi ukuran-ukuran mesh tertentu, berfungsi sebagai adsorben yang

baik untuk metode kolom dan dapat disimpan dalam keadaan kering selama

beberapa bulan serta dapat digunakan kembali. Kubiak, dkk (1989) memilih

silika gel sebagai matrik pendukung untuk imobilisasi biomassa, karena

komposisi silika-alga memiliki kapasitas pengikatan yang tinggi, daya tahan

yang baik tehadap perubahan-perubahan pelarut kimia. Silika gel memiliki

kelarutan yang kecil pada pH<9 dan hanya pada pH>9 silika gel akan

melarut. Mahan dan Helcombe (1992) mengemukakan silika gel merupakan

zat yang baik untuk imobilisasi karena relatif inert, serta berbagai ukuran

dapat dibuat menurut kebutuhan (Sri Lestari,dkk,2002).

Penelitian menggunakan biomassa Chlorella sp yang terimobilisasi

pada silika gel untuk mengadsorpsi logam tembaga (II) juga telah dilakukan

sebelumnya oleh Triyatno (2004) di Laboratoium Kimia UNNES, dan

dilaporkan bahwa adsorpsi tembaga optimum terjadi pada pH 5 dengan waktu

kontak optimum 20 menit.

Berbagai metode pemisahan logam berat dari air buangannya secara

biologis di atas pada dasarnya belum dapat menyelesaikan masalah

lingkungan yang ada, bahkan dapat menimbulkan masalah baru khususnya

bagi lingkungan perairan jika adsorben yang telah mengikat logam toksik

tidak diolah lebih lanjut. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara-cara/metode

yang efektif untuk mengolah kembali mikroorganisme yang telah menyerap

logam-logam berat tersebut agar benar-benar aman bagi lingkungan. Salah


6

satu cara adalah dengan melepaskan kembali logam berat yang telah diserap

mkroorganisme (desorpsi).

Desorpsi merupakan proses pelepasan kembali spesi-spesi yang telah

berikatan dengan sisi aktif dari permukaan mikroorganisme sebagai

biosorben. Selain untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat proses

adsorpsi, desorpsi juga dapat digunakan untuk meregenerasi biosorben

sehingga dapat digunakan kembali serta dapat mengekstrak logam yang telah

terikat pada biosorben. Untuk tujuan ini diperlukan agen pendesorpsi yang

mampu meregenerasi biomassa tapi tidak menyebabkan kerusakan pada

adsorben. Berbagai larutan dapat digunakan untuk mendesorpsi logam berat

dari biosorben. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukan

bahwa asam mineral encer dapat digunakan untuk mendesorpsi logam berat

dari biosorben. Beberapa asam mineral encer seperti HCl dapat digunakan

untuk mendesorpsi ion logam dari biomassa. Pelepasan ion logam yang telah

teradsorpsi dapat dilakukan dengan cara menurunkan harga pH

(http//www.biosorption mc_gill.co/publication/Bvspain htm, 2005).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, timbul permasalahan, yaitu :

1. Berapa waktu kontak optimum desorpsi ion logam tembaga (II) dari

polisorben?

2. Berapa pH optimum desorben untuk mendesorpsi ion logam tembaga (II)

dari polisorben?
7

1.3. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui waktu optimum desorpsi ion logam tembaga (II) dari

polisorben

2. Mengetahui pH optimum desorben untuk mendesorpsi ion logam tembaga

(II) dari polisorben


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Biomassa Chlorella sp

Chlorella sp adalah fitoplankton dari golongan chlorophyta yang

banyak mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral

(Suchlan, 1974). Sel kering (biomassa) Chlorella mengandung protein,

karbohidrat, dan lemak berturut-turut 58,2% ; 23,2% ; 9,3% ; selebihnya

vitamin dan mineral.

Beberapa alga laut dapat digunakan untuk mengikat ion logam dari

larutan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan ada beberapa jenis

mikroalga seperti Dunaliela tertiolecta, Scandemusa culus, Chlorella

vulgaris, Nostoc sp, Phormodium sp dan Euglena gracilis memiliki

toleransi yang sangat tinggi terhadap ion logam berat. Bahkan laju

pertumbuhan mikroalga tersebut akan menurun tanpa hadirnya ion logam

berat pada media kulturasi (Suhendrayatna,2001). Beberapa peneliti telah

melakukan penyelidikan terhadap beberapa alga. Diantara hasil

penelitiannya disebutkan bahwa biomassa Chlorella vulgaris mampu

mengikat 0,5 mmol ion Au per gram berat kering (Darnall dkk, 1986).

Kemampuan biomassa Chorella sp mengadsorpsi ion logam berat

disebabkan oleh adanya gugus fungsi pada dinding sel. Akumulasi ion-ion

logam oleh biomassa alga dapat terjadi melalui proses adsorpsi meliputi :

8
9

pertukaran ion, pembentukan kelat maupun ikatan kovalen koordinasi

(www.1.44.16.93.203/energy). Adsorpsi logam oleh Chlorella sp

melibatkan gugus fungsi yang terdapat dalam sel, adapun gugus fungsi

yang berhasil di sintesis dan diidentifikasi oleh Latifah (1998) antara lain:

-OH, -C=O, -CH, -CN, -NH dan –C-O.

Proses masuknya ion logam ke dalam sel merupakan proses bifasik

yang berarti terjadi dua proses yaitu proses adsorpsi pada permukaan sel

yang berlangsung cepat dan proses difusi melewati membran sel yang

berlangsung relatif lambat.

Mikroalga dapat menunjukkan kemampuan mengadsorpsi spesies

bermuatan dan spesies netral. Spesies bermuatan teradsorpsi secara kimia

sedangkan spesies netral cenderung teradsorpsi secara fisik. Adsorpsi

kimia terjadi karena interaksi antara ion logam dengan situs aktif (gugus

fungsi ligan), sehingga logam dapat terakumulasi pada permukaan

mikroalga, sedangkan adsorpsi fisik dapat terjadi karena pemerangkapan

atau penyekapan molekul netral dalam mikropori alga (Latifah, 1998).

2.2. Silika Gel

Silika gel adalah bentuk hidrat dari silikon dioksida, SiO2 xH2O

yang banyak digunakan sebagai agen pengering terhadap kelembaban

udara, baik dalam laboratorium maupun dalam penyimpanan obat-obatan

dan alat-alat elektronik. Silika gel. merupakan bahan yang bersifat seperti
10

gelas, keras berpenampilan serupa dengan pasir kuarsa. Sifat kimia dari

silica itu sendiri adalah:

1. Silika bersifat inert terhadap halogen kecuali Fluorida dan juga inert

terhadap semua asam kecuali HF. Reaksi dengan HF akan membentuk

asam silicon tertra fluoride menurut persamaan reaksi berikut:

SiO2 (S) + 6 HF [SiF6]2- (aq) + 2H3O+

2. Mudah bereaksi dengan alkali kuat (hidroksida alkali) menghasilkan

silikat yang larut dalam air.

SiO2 (s) + 2 NaOH (aq) Na2SiO3 (aq) + H2O (aq)

3. Pada suhu tinggi, silica dapat direduksi oleh logam dan karbon

menghasilkan silicon karbida (SiC).

SiO2 (s) + 2 C (s) SiC (s) + 2 CO (g)

Silika gel merupakan polimer dengan komposisi (SiO2)x. SiO2

merupakan susunan unit ulang polimer dan x adalah jumlah unit ulang DP

(Derajat Polimerisasi), sedangkan Si(OH)4 atau asam silikat adalah

monomer dari silika gel. Jumlah unit ulang dari silika gel dapat mencapai

200 unit. Silika gel merupakan polimer yang terbentuk karena reaksi

kondensasi antara monomernya atau disebut polikondensasi. Berdasarkan

bentuk butirannya silika gel digolongkan kedalam bentuk amorf. Silika gel

juga bisa merupakan bahan yang bersifat seperti gelas, keras

berpenampilan serupa dengan pasir kuarsa dan mempunyai komposisi

SiO2 x H2O.
11

Luas permukaan silika gel yang besar (lebih dari 800 m2), akibat

dari banyaknya pori yang dimiliki. Sifat yang paling penting dari silika gel

adalah sebagai adsorben yang dapat diregenerasi. Silika gel memiliki

kemampuan menyerap yang sangat besar terhadap molekul-molekul air

dan menjadi berwarna merah muda, untuk menghilangkan molekul air

silika gel dipanaskan, warnanya akan menjadi biru dan dapat dipakai

kembali.

Gambar 1. Struktur silika gel (Iller, 1979).

Untuk mendapatkan silika gel, silika direaksikan dengan alkali

hidroksida atau alkali karbonat menghasilkan alkali silikat (reaksi 1),

kemudian larutan alkali silikat diasamkan dengan asam biasanya HCl

sehingga membentuk asam silikat (reaksi 2). Asam silikat ini kemudian

mengalami reaksi polimerisasi kondensasi membentuk gel yang disebut

silika gel. Pada reaksi polimerisasi asam silikat, molekul air dilepaskan di

antara asam silikat yang bersebelahan. Setelah itu silika gel disaring dan

dicuci untuk menghilangkan sisa asam dan garamnya kemudian

dikeringkan untuk menghilangkan airnya.


12

Na2CO3(aq) + SiO2(s) Na2SiO3(aq) + CO2(g) ………(1)

Na2SiO3(aq) + 2HCl(aq) H2SiO3(aq) + 2NaCl(aq) ………(2)

(Vogel, 1990)

Silika gel mempunyai beberapa kegunaan, yaitu diantaranya adalah:

1. Desicantion atau pengeringan adalah kegunaan utama dari silika gel

selain sebagai adsorben. Silika gel digunakan untuk sistem udara dan

gas-gas kering lain ,juga digunakan untuk mengeringkan campuran-

campuran organik dalam fase liquid, sehingga disebut drying agent.

Penggunaan silika gel sebagai pengering (Drying agent) banyak

terdapat dalam praktek penyimpanan logam-logam yang mudah

berkarat bila kelembaban relatif tinggi, penyimpanan kapsul-kapsul

yang akan lengket bila kelembaban relatif tinggi, penyimpanan obat-

obatan (tablet), penyimpanan alat-alat presisi, spektrometer, pH-meter,

alat-alat timbangan dan sebagainya.

2. Flashing, Silika gel dioleskan pada permukaan yang akan dilapisi

supaya permukaan lebih kuat. Penggunaan silika gel sebagai flashing

ini memberikan nilai komersial dalam produksi(mebel). Karena

sebagian besar kayu-kayu mebel memerlukan pernis pada akhir proses,

dalam hal ini silika gel berfungsi sebagai pelapis.

3. Protective Packaging, yang bertujuan melindungi bahan-bahan dari

korosi dan jamur.

4. Sebagai bahan adsorben dalam kromatografi coulom packing.

(Iller, 1979).
13

2.3. Imobilisasi Chlorella sp Dalam Silika Gel.

Penggunaan polimer sintetik sebagai pendukung imobilisasi

biomassa didasarkan pada sifat fisik dan sifat kimia polimer serta

kemudahan dalam preparasi. Keuntungan lain dari polimer sintetik adalah

tidak mudah rusak oleh mikroba (Suhendrayatna, 2001). Chlorella yang

terimobilisasi bersifat lebih stabil terhadap suhu dan pH selama

penyimpanan.

Silika gel dapat digunakan sebagai matriks pendukung dalam

mengimobilisai biomassa Chlorella sp. Produk biomassa yang

terimobilisasi pada silika gel memiliki kekuatan mekanik dan juga

kapasitas pengikatan yang lebih tingi. Sri Lestari (2002) melaporkan

bahwa Saccharomyces cereviseae yang terimobilisasi pada silika gel

mampu mengadsorpsi ion logam tembaga (II) dari larutan hingga 8 ppm

sedang silika gel sendiri hanya mampu mengikat ion logam Cu(II) sebesar

4 ppm

Gambar 2. Struktur Chlorella sp Yang Terimobilisasi Dalam Silika


Gel (Triyatno, 2004)
14

Ada dua metode yang digunakan untuk mengimobilisasi biomassa,

yaitu adsorpsi dan penjerapan atau penyekapan. Adsorpsi biomassa ke

dalam matrik pembawa merupakan teknik imobilisasi biomassa yang

paling sederhana. Pada teknik ini, biomassa dilekatkan pada permukaan

materi berpori atas dasar mekanisme bahwa bahan pembawa tersebut dapat

berinteraksi dengan biomassa secara fisik atau melalui ikatan polar.

Teknik penyekapan biomassa pada matrik pendukung yang berpori

juga cukup sederhana. Teknik ini dapat dibedakan atas penyekapan ke

dalam suatu gel, serat dan mikrokapsul. Biomassa yang disekap atau

dijerap di dalam suatu mikrokapsul dari bahan polimer organik akan

mempunyai permukaan luas sehingga memperbesar kontak dengan

substrat (ion logam). Prinsip imobilisasi dengan cara penyekapan ke

dalam suatu mikrokapsul dapat menggunakan metode pengeringan cairan,

sebagai pendukung adalah polimer yang dapat larut dalam pelarut organik

dan tidak larut dalam air (Ruswati, 2003).

Pendukung imobilisasi sel biomassa dapat digunakan sebagai

tempat pengikatan sel biomassa, pendukung yang sesuai tergantung dari

sifat biomassa yang akan diimobilisasi. Untuk metode pemerangkapan sel

biasanya menggunakan bahan yang berupa gel Pendukung makromolekul

berpegangan bersama-sama oleh gaya intermolekul lemah seperti ikatan

hidrogen, ikatan van der waals. Sedangkan jenis interaksi yang lain

berikatan secara ionik atau kovalen (Traven, 1998).


15

2.4. Adsorpsi Logam oleh Polisorben

Adsorpsi secara umum adalah proses pengumpulan benda-benda

terlarut yang terdapat dalam larutan antara dua fase, yaitu fase padat

(adsorben) dan fase cair (pelarut, biasanya air) yang mengandung spesies

terlarut yang akan diserap (adsorbat, ion logam). Dalam hal ini

adsorbatnya adalah ion logam tembaga (II) dan polisorben sebagai

adsorbennya.

Oscik dalam Diawati (2002) menyatakan bahwa adsorpsi

merupakan akumulasi sejumlah senyawa, ion maupun atom yang terjadi

pada batas antara dua fasa. Adsorpsi terjadi jika gaya tarik antara zat

terlarut dengan permukaan penyerap dapat mengatasi gaya tarik antara

pelarut dengan permukaan penyerap. Jenis interaksi yang terjadi antara

logam dengan permukaan sel adalah interaksi ionik, interaksi

pengomplekan, interaksi pertukaran ion dan pengendapan.

Kemampuan ion logam membentuk kompleks dengan ligan pada

permukaan sel tergantung pada daya mempolarisasi, yang merupakan

perbandingan antara muatan dengan jari-jari dari ion logam. Suatu kation

dengan daya mempolarisasi tinggi menghasilkan interaksi yang kuat

(Sukardjo, 1985).

Secara umum ada dua jenis adsorpsi logam berat oleh

mikroorganisme yaitu yang tidak bergantung pada mikroorganisme

(metabolism-independent) yang terjadi pada permukaan sel dan adsorpsi

yang bergantung pada metabolisme (metabolism-dependent) yang


16

menyebabkan logam terakumulasi di dalam sel (Gadd dalam Sri Lestari,

dkk, 2002). Proses ini terjadi pada dinding sel dan permukaan eksternal

lainnya melalui mekanisme kimia dan fisika misalnya pertukaran ion,

pembentukan kompleks dan adsorpsi itu sendiri.

Gugus fungsi biomassa yang telah terimobilisasi pada pendukung

berpori dengan metode entrapment sel akan terselubungi oleh pendukung.

Walaupun demikian biomassa Chlorella sp terimobilisasi masih dapat

mengikat logam dengan baik tetapi proses interaksinya memerlukan waktu

yang lebih lama karena untuk dapat berinteraksi harus menembus dinding

polimer terlebih dahulu.

Proses adsorpsi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. pH

pH mempunyai pengaruh besar dalam proses adsorpsi karena pH

mampu mempengaruhi terjadinya interaksi ion logam dengan gugus

aktif adsorben. Dari eksperimen sebelumnya didapat bahwa pH

optimum untuk adsorpsi tembaga oleh Chlorella sp yang diimobilisasi

pada silika gel dicapai pada pH 5 (Triyatno, 2004).

b. Konsentrasi logam

Konsentrasi logam sangat berpengaruh terhadap penyerapan logam

oleh adsoben. Pada permukaan penyerap, dalam hal ini biomassa

terimobilisasi terdapat sejumlah sisi aktif yang proporsional dengan

luas permukaan penyerap. Jadi dengan memperbesar konsentrasi

larutan serapan logam akan meningkat secara linier hingga konsentrasi


17

tertentu. Silika gel, stirena, divinilbenzena, dan polisulfon akan

bekerja baik dengan konsentrasi logam sebesar 5 ppm.(C. Tong dkk;

1993)

c. Waktu Kontak

Waktu kontak antara adsorbat dengan adsorben selama proses adsorpsi

berlangsung dipertahankan konstan. Triyatno (2004) melaporkan

bahwa adsorpsi maksimium Cu2+ dalam Chlorella sp yang

teimobilisasi silika gel dicapai setelah 20 menit.

d. Tumbukan Antar Partikel

Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi

antara partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan antar

partikel ini dapat dipercepat dengan adanya kenaikan suhu.

e. Karakteristik dari adsorben

Ukuran partikel dan luas permukaan adsorben akan mempengaruhi

proses adsorpsi. Semakin kecil ukuran partikel akan semakin cepat

proses adsorpsi yang terjadi dan semakin besar luas permukaan

adsorben maka penyerapan yang terjadi semakin merata.

2.5. Tembaga (Cu)

Tembaga (Cu) dalam sistem periode unsur termasuk logam

golongan IB dengan nomor atom 29. Logam ini mudah ditempa sehingga

mudah dibentuk, tidak reaktif secara kimiawi. Densitas pada 20 0C adalah

8,92 g cm-3, meleleh pada suhu 10830C dan mendidih pada suhu 25700C.

Tembaga dalam bentuk ion memiliki bilangan oksidasi +1 dan +2, tapi
18

secara temodinamika stabil sebagai tembaga (II) Tembaga (II) dengan

struktur d9 memiliki stereokimia berbeda-beda, biasanya planar segi empat

atau oktahedral yang mengalami distorsi. Kompleks Cu yang planar segi

empat terdapat pada senyawa seperti [Cu (acac)2] dan CuSO4.5H2O.

Kompleks distorsi oktahedral terdapat pada senyawa [Cu (NH3)4 (OH)2]2+.

Senyawanya di alam sering terdapat dalam bentuk kristal oktahedron.

Tembaga banyak terdapat sebagai sulfida, oksida atau karbonat, seperti

bijih tembaga pirit, kalkopirit (CuFeS2), tembaga glance kalkosit (Cu2S),

kuprit (Cu2O) dan malasit (Cu2CO3 (OH)2).

Tembaga merupakan konduktor panas dan listrik yang sangat baik

(setelah perak) karena itu logam tembaga banyak digunakan dalam bidang

elektronika. Kehadiran sejumlah kecil pengotor, seperti arsen dapat

mempengaruhi konduktivitasnya. Tembaga dapat diekstrak dari bijih

sulfidanya melalui proses termal yaitu pirometalurgi atau dengan proses

pelarutan air yaitu hidrometalurgi.

Tembaga merupakan salah satu logam berat yang banyak

pemanfaatannya, hal ini berkaitan dengan sifat tembaga yang siap pakai,

tahan karat, konduktor listrik yang bagus dan tidak magnetik. Oksida

tembaga (CuO) banyak digunakan sebagai katalis, baterai, dan elektroda.

Turunan senyawa tembaga karbonat banyak dipakai sebagai pigmen,

insektisida, fungisida, dan pewarna kuningan. Senyawa kloridanya

digunakan dalam bidang metalurgi, fotografi, pemurnian air dan aditif

bahan makanan.
19

Tembaga digolongkan ke dalam logam berat essensial, artinya

meskipun tembaga merupakan logam berat beracun, unsur logam ini

dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit. Tembaga (Cu) dalam jumlah kecil

sangat diperlukan oleh mahluk hidup. Toksisitas yang dimiliki tembaga

(Cu) baru akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini

telah masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi

nilai toleransi organisme terkait.

Pada manusia Cu dikelompokan ke dalam metaloenzim di dalam

sistem metabolismenya. Logam Cu dibutuhkan untuk sistem enzim

oksidatif. Logam Cu juga dibutuhkan sebagai kompleks Cu-protein yang

mempunyai fungsi tertentu pada pembentukan haemoglobin, pembuluh

darah, kolagen dan myelin otak. Konsumsi Cu yang baik bagi manusia

adalah 2.5 mg/kg berat tubuh orang dewasa dan 0.05 mg/kg berat tubuh

untuk anak-anak dan bayi (Heryando Palar, 2004).

NH2 CH-R
C=O
H2N Cu O
R-HC
O=C O

Gambar 3. Kompleks Cu-protein (Sukardjo, 1985)

Sesuai sifatnya sebagai logam berat yang berbahaya, Cu dapat

mengakibatkan keracunan baik secara akut maupun kronis. Keracunan

akut dan kronis ini terjadinya ditentukan oleh besarnya dosis yang masuk
20

dan kemampuan mikroorganisme untuk menetralisir dosis tersebut.

Keracunan Kronis ditandai dengan gejala:

1. Adanya rasa logam pada pernafasan.

2. Adanya rasa terbakar pada epigastrum dan muntah yang terjadi secara

berulang-ulang.

3. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan pendarahan saluran

gastrointestinal.

Keracunan Cu secara kronis dapat terlihat dengan timbulnya

penyakit Wilson dan Kinsky. Gejala penyakit Wilson ini adalah terjadinya

hepaticchorrosis, kerusakan pada otak dan demyelinasi, terjadinya

penurunan kerja ginjal dan pengendapan Cu pada kornea mata. Penyakit

Kinsky dapat ditandai dengan terbentuknya rambut yang kaku dan

berwarna kemerahan. Sementara pada hewan seperti kerang, bila dalam

tubuhnya telah terakumulasi Cu dalam jumlah yang tinggi maka bagian

otot tubuhnya akan berwarna kehijauan. Hal ini dapat menjadi petunjuk

apakah kerang tersebut layak dikonsumsi (Dew. W. Connel, 1995).

2.6. Desorpsi Ion Logam Dari Biosorben

Pemanfaatan teknologi adsorpsi untuk menghilangkan logam

bergantung pada kemampuan regenerasi adsorben setelah logam

didesorpsi. Desorpsi merupakan kebalikan dari proses adsorpsi. Desorpsi

adalah proses pelepasan kembali adsorbat (spesi-spesi logam yang telah


21

berikatan dengan sisi akif permukaan mikroorganisme) dari adsorben ke

dalam suatu larutan.

Untuk kepentingan dunia industri, beberapa parameter yang

menentukan efektif atau tidaknya suatu proses biosorpsi sebagai salah satu

alternatif pengolahan limbah logam berat antara lain adalah kapasitas

serapan maksimum dari biosorben, efisiensi dan selektifitas serta tingkat

kemudahan pengambilan kembali logam (recovery) dari biosorben.

Teknik recovery logam berdasarkan rusak dan tidaknya suatu

biosorben dibedakan menjadi dua:

1. Teknik recovery yang non dekstruktif yaitu teknik recovery yang tidak

menimbulkan kerusakan pada sel biosorben dengan harapan biomassa

yang telah lepas dari logam serapannya dapat digunakan kembali

untuk mengikat logam.

2. Teknik recovery yang dekstruktif, merupakan teknik recovery yang

merusak sel-sel biosorben yang didesorpsi. Jadi biomassa yang telah

bebas dari ion logam serapannya tidak dapat digunakan untuk

menyerap ion logam yang baru. Misalnya desorpsi dengan cara

pembakaran, pelarutan dengan asam atau basa kuat yang pekat.

Proses biosorpsi yang tidak tergantung pada metabolisme

umumnya bersifat reversibel dan dapat didesorpsi dengan metode non

dekstruktif menggunakan prinsip yang mirip dengan proses pertukaran

ion. Metode ini lebih menguntungkan karena lebih efektif dan ekonomis.
22

Untuk tujuan ini diperlukan agen pendesorpsi yang mampu menyerap

logam dan meregenerasi material biosorben. Agen pendesorpsi ini harus;

a) Dapat mengambil logam dari biosorben.

b) Dapat memulihkan biosorben hingga mendekati kondisi awalnya.

c) Tidak menyebabkan kerusakan atau perubahan fisik pada biosorben.

Regenerasi biosorben dapat dilakukan dengan mencuci biosorben

dengan larutan yang sesuai, jenis dan kekuatan larutan bergantung pada

pengikatan atau pengendapan logam. Larutan asam mineral encer dapat

digunakan untuk mendesorpsi logam dari biosorben. Sedangkan proses

biosorpsi yang tergantung pada metabolisme umumnya bersifat

irreversibel dan dapat didesorpsi dengan metode dekstruktif. Misalnya

saja penggunaan EDTA, KCN, NH4OH, dan KHCO3 dapat merusak

material biosorben yang ditunjukkan dengan adanya perubahan warna

pada biosorben (Ilana Aldor, 2000).

Desorpsi logam dari biosorben umumnya dilakukan dengan teknik

yang mirip dengan proses pemisahan ion secara kromatografi kolom,

dalam hal ini menggunakan metode penukar ion. Kolom dipak dengan

mikroorganisme yang telah menyerap logam (sebagai fasa diam). Suatu

desorben (sebagai fasa gerak/eluen) dilewatkan ke dalam kolom untuk

mengelusi (membawa ion-ion logam yang dimaksud). Ukuran partikel

fasa diam diperbesar dengan menambahkan suatu resin (berupa butiran-

butiran sel) yang dapat ditembus dan dapat menggantikan banyak ion-ion

logam, seperti: silika gel, ceramic-bead, alumina atau aquacel. Resin-resin


23
21

ini mengandung gugus-gugus fungsional yang dapat terionisasi. Dengan

demikian terdapat fasa tidak larut dengan sisi ionik tetap dari satu muatan,

sementara spesies yang muatannya berlawanan bebas bergerak dalam

pelarut serta dapat digantikan oleh ion-ion lainnya dengan muatan sejenis,

asal kenetralan listriknya dipertahankan. Jumlah ekivalen total ion yang

dapat digantikan per satuan volume resin menentukan kapasitas penukar

resin dan merupakan fungsi pH (Pecsok, et al, 1976).

Ion logam yang lepas dari kolom dapat diproses lebih lanjut,

sedangkan mikroorganisme yang telah bebas dari logam yang diserap

pada biosorpsi namun tidak mengalami kerusakan sel (teregenerasi) dapat

digunakan untuk proses biosorpsi selanjutnya. Dalam dunia industri,

reaktor yang digunakan untuk desorpsi dihubungkan dengan reaktor untuk

proses biosorpsi menggunakan mikroorganisme teregenerasi. Dengan

demikian proses penyerapan dan pelepasan logam membentuk suatu siklus

yang berkelanjutan.

Gambar 4. Siklus adsorpsi-desorpsi


(www.BV.co/biosorption_slide.htm, 2005).
24

Pada dasarnya adsorpsi dan desorpsi merupakan proses

kesetimbangan. Desorpsi ion logam oleh asam mineral melibatkan reaksi

pertukaran ion antara ion H+ dari asam mineral dengan ion logam yang

terikat pada gugus fungsi adsorben menurut reaksi;

[ B − H n ][ M ]
B-M + nH+ ↔ B-Hn + Mn= K=
[ B − M ][ H + ] n

dan secara teoritis,

[B − M ]
log − log D = npH + pK + log[ B − M ]
[M ]

Keterangan:

D = koefisien distribusi

B-M = kompleks logam-biosorben

M = logam dalam larutan

B-H = gugus pengikat logam terprotonasi

Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa pH berpengaruh pada

pengikatan logam oleh sel mikroba. Koefisien distribusi logam antara

biosorben dengan larutan bergantung pada pH, demikian pula jumlah

proton yang terprotonasi pada biosorben. Pelarutan kembali ion logam

dapat dicapai dengan menurunkan harga pH. Meningkatnya keasaman

umumnya akan meningkatkan efektifitas pelepasan logam dari biomassa.

2.6. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

Metode analisis spektrofotometri serapan atom adalah salah satu

metode analisis kimia yang dilakukan berdasarkan pada pengukuran


25

besaran sifat-sifat fisik yang timbul atau berubah akibat adanya interaksi

materi dengan berbagai bentuk energi panas, energi radiasi, energi kimia

dan energi listrik (Eko Sugiharto,1990).

SSA digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam

jumlah renik karena mempunyai kepekaan tinggi. Cara analisis dengan alat

ini akan didapatkan kadar total unsur dalam cuplikan. Untuk analisis suatu

logam tentu dapat dilakukan dengan campuran unsur-unsur lain tanpa

dilakukan pemisahan terlebih dahulu (Underwood, 1999).

1. Prinsip Dasar SSA.

Prinsip kerja metode ini mirip dengan metode fotometri nyala

api tetapi sumber energi berupa lampu katoda berongga (Hollow

Chathode Lamp). Sedang nyala pembakar berguna untuk mengaktifkan

atom-atom logam sebelum menyerap energi. Metode ini dapat

digunakan untuk menentukan konsentrasi hampir semua logam yang

ada dalam Sistem Periodik Unsur (SPU) (Sumar Hendayana, 1994).

2. Prinsip Pelaksanaan SSA.

Larutan cuplikan diambil melalui kapiler dan disempurnakan

sebagai kabut halus dalam nyala api yang berbentuk memanjang.

Setelah cuplikan dalam kabut halus mengalami berbagai proses dalam

nyala api, maka akhirnya unsur logam yang dianalisis timbul sebagai

atom-atom netral yang masih berada dalam keadaan dasarnya. Atom-

atom tersebut kemudian disinari dengan sinar yang karekteristik

untuknya sehingga terjadi adsorpsi sinar oleh atom-atom logam.


26

Adsorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi unsur logam yang di

analisis. Absorpsi sinar oleh atom-atom logam terjadi didalam nyala

api (Christian & Oreally, 1986).

SSA merupakan alat yang tersusun atas sumber energi, lensa

nyata, gas bahan bakar, O2, detektor seperti gambar dibawah :

Gambar 4. Skema alat atomic adsorption spectroscopy(AAS)

(Sumar Hendayana, 1994 : 234)

Keterangan Gambar:

1. Sumber Energi (Hollow Chathode) 5. Lensa

2. Meter 6. Gas Bahan Bakar.

3. Nyala 7. Oksigen

4. Detektor 8. Larutan Cuplikan

Spektrofotometer serapan atom terdiri dari lima komponen dasar,

yaitu sumber sinar, sinar pengatoman, monokromator, detektor dan sistem

pembacaan. Adapun pengertian dari komponen dasar diatas seperti

berikut:
27

1. Sumber sinar

Sumber sinar yang digunakan untuk pengukuran secara

spektrofotometri serapan atom adalah hollow cathode dan setiap

pengukuran logam harus menggunakan hollow cathode khusus.

Hollow cathode akan memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan

energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom. Hollow cathode

terdiri dari tungsten (bermuatan positif) dan katoda silindris

(bermuatan negatif). Kedua elektroda tersebut berada di dalam sebuah

tabung gelas yang berisi gas neon (Ne) atau gas argon (Ar) dengan

tekanan 1-5 Torr.

2. Sistem Pengatoman.

Pada sistem pengatoman unsur yang akan dianalisis diubah

bentuknya dari bentuk ion menjadi atom bebas.

3. Monokromator.

Monokromator berfungsi untuk meneruskan panjang gelombang

emisi dari lampu katoda berongga yang diabsorpsi paling kuat oleh

atom-atom di dalam nyala api (panjang gelombang maksimum) dan

menahan garis-garis emisi lain dari lampu katoda berongga yang tidak

di gunakan untuk analisis.

4. Detektor.

Detektor berfungsi mengubah energi sinar menjadi energi listrik.

Emergi yang dihasilkan dapat menggerakkan jarum (bila sistem

pembacaannya merupakan sistem jarum), akan mengeluarkan angka


28

digital, atau menggerakkan pen pada recorder maupun menampilkan

angka pada layar monitor.

5. Sistem Pembacaan.

Sistem pembacaan pada SSA sangat bervariasi dan tergantung

pada keperluan. Untuk analisis raksa maupun pengatoman dengan

tungku grafik, yang diperlukan adalah terutama sistem pembacaan

recorder atau monitor komputer. Tetapi untuk unsur lain, terutama

pengatoman dengan nyala data sistem pembacaan digital atau printer

sudah sangat berguna.

Cuplikan yang di ukur biasanya berupa larutan dengan pelarut air.

SSA ini mampu mengukur lebih kurang 60 logam, termasuk logam

alkali dan alkali tanah (Sumar Hendayana, 1994:235).

Hubungan antara adsorben dengan konsentrasi unsur logam yang

dianalisis dinyatakan dengan hukum Lambert Beer sebagai berikut :

Po
A = - Log = a.b.C
Pt

Dimana :

A = Adsorbansi

Po = Intensitas sinar mula-mula.

Pt = Intensitas sinar akhir.

a = Absortivitas

b = Panjang sel yang digunakan(jalannya sinar dalam nyala).

C = Konsentrasi atom logam.

(Sumar Hendayana,1994:139)
29

2.7. Spektrofotometer Infra Merah

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi

radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut

“spektrofotometer” atau spektrometer. Komponen-komponen pokok dari

spektrofotometer meliputi:

1. Sumber tenaga radiasi yang stabil

2. Sistem yang terdiri atas lensa-lensa, cermin, celah-celah, dan lain-lain.

3. Monokromator untuk mengubah radiasi menjadi komponen-

komponen panjang gelombang tunggal.

4. Tempat cuplikan yang transparan

5. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat.

Diagram sederhana dari spektrofotometer adalah sebagai berikut:

Sumber Monokromator Sel Penyerap Detektor

Meter

Sumber tenaga radiasi yang ideal untuk pengukuran serapan harus

menghasilkan spektrum kontinu dengan intensitas yang seragam pada

keseluruhan kisaran panjang gelombang yang sedang dipelajari.

Sumber radiasi terlihat dan radiasi infra merah dekat yang biasa

digunakan adalah lampu filamen tungsten. Filamen dipanaskan oleh

sumber arus searah (DC), atau oleh baterai. Filamen tungsten

menghasilkan radiasi kontinu dalam daerah antara 350 dan 2500 nm.
30

1. Monokromator.

Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang

menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif/

panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan memisahkan panjang

gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat

sempit.

2. Tempat cuplikan.

Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah terlihat digunakan

gelas biasa atau quartz. Sel yang digunakan untuk cuplikan yang

berupa gas mempunyai panjang lintasan dari 0,1 hingga 100 nm,

sedang sel untuk larutan mempunyai panjang lintasan dari 1 hinga 10

cm. Sebelum sel dipakai harus dibersihkan dengan air, atau jika

dikehendaki dapat dicuci dengan larutan detergen atau asam nitrat

panas.

3. Detektor

Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan

mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti

sebagai arus listrik atau perubahan-perubahan panas. Kebanyakan

detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat mengaktifkan meter

atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal yang secara

kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah polisorben (biomassa

Chlorella sp yang terimobilisasi dalam silika gel) sedangkan sampel yang

digunakan diambil dari populasi polisorben, larutan Cu (NO3)2 dan larutan

HCl.

3.2. Variabel Penelitian

3.2.1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah waktu desorpsi dan pH

larutan HCl sebagai agen pendesorpsi.

3.2.2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah % Cu yang terdesorpsi

dari polisorben.

3.2.3. Variabel kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah suhu dan kondisi

adsorpsi (konsentrasi logam awal dan pH larutan Cu(NO3)2).

3.3. Alat dan Bahan.

3.3.1. Alat

1. Spektrometer Serapan atom (SSA) merk Shimadzu.

2. IR Shimadzhu FTIR – 8210 PC.

3. Penggerus.

31
32

4. Ayakan Tatonas (50 mesh).

5. Neraca Analitik Ohaus.

6. Shaker (SHA- C, Canstant Temperature Oscillator).

7. Oven (Memmert).

8. Labu Erlenmeyer (Pyrex)

9. Corong (Pyrex)

10. Gelas ukur (Pyrex)

11. Labu takar (Pyrex).

12. Pipet tetes dan pipet volume.

13. Indikator pH.

14. pH meter

3.3.2. Bahan.

1. Alga Chlorella sp dari BPAP Jepara

2. Silika gel buatan E-Merck

3. Aquadesh

4. Cu(NO3)2.3H2O buatan E-Merck

5. C6H8O7.H2O buatan E-Merck

6. Na2HPO4.12H2O buatan E-Merck

7. HCl (p.a) buatan E-Merck

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Pembuatan Polisorben dari Imobilisasi biomassa Chlorella sp pada

silika gel.
33

a) Menyiapkan 100 gr silika gel dikeringkan dalam oven pada

suhu 105 oC selama 20 menit dan didinginkan.

b) Kemudian ke dalam silika gel tersebut ditambah 10 gr

biomassa alga Chlorella sp, dibasahi dengan sedikit aquades

dan diaduk sampai rata.

c) Campuran yang dihasilkan berwujud pasta dikeringkan dalam

oven dengan suhu 80 0 selama 20 menit lalu didinginkan.

d) Ulangi tahap pembasahan dan pengeringan sebanyak dua kali.

e) Polisorben Chlorella sp yang terimobilisasi digerus dan diayak

dengan ayakan 50 mesh.

3.4.2. Polisorben yang terbentuk kemudian di identifikasi gugus fungsinya

dengan menggunakan alat IR Shimadzhu FTIR-8210 PC.

3.4.3. Membuat larutan induk Cu (II) 1000 ppm

Sebanyak 0.1900 gram Cu(NO3)2.3H2O dimasukkan dalam labu

ukur 50 ml ditambah dengan 1 ml larutan KNO3 1M dan

ditambahkan aquabidesh kedalam labu ukur sampai tanda.

3.4.4. Adsorpsi Ion Logam Cu (II) oleh Polisorben.

a) Memasukkan masing-masing 0.5 gr polisorben kedalam

erlenmeyer yang berisi 25 mL larutan Cu(NO3)2 100 ppm

dengan pH 5.

b) Larutan digojog dalam waterbatch sheaker selama 1 jam..

c) Larutan yang diadsorpsi oleh polisorben disaring dengan

kertas saring dan filtratnya diukur absorbansinya dengan AAS


34

untuk menentukan konsentrasi Cu sisa yang ada dalam larutan.

Banyaknya Cu yang terserap dihitung dari selisih antara

konsentrasi Cu awal dengan konsentrasi akhir larutan.

d) Residu (polisorben yang mengandung Cu (II) dikeringkan dan

dianalisis dengan IR.

3.4.5. Menentukan Waktu Optimum Desorpsi.

a) Memasukkan polisorben yang telah mengandung Cu kedalam

erlenmeyer yang berisi larutan HCl 10-4 M.

b) Menggojok larutan dalam water batch sheaker dengan variasi

waktu kontak masing-masing 20, 40, 60,90, dan 120 menit.

c) Setelah diaduk larutan yang diadsorpsi oleh polisorben

disaring dengan kertas saring dan filtratnya diukur

absorbansinya dengan AAS untuk menentukan konsentrasi Cu

yang terdesorpsi.

3.4.6. Menentukan Waktu Optimum Desorpsi.

a) Menyiapkan 8 buah erlemeyer yang diisi dengan 25 mL

larutan HCl dengan pH berbeda, masing-masing 0.3; 0,6; 1, 2,

3, 4, dan 5.

b) Menggojok larutan dalam water batch sheaker dengan waktu

kontak optimum.

c) Setelah diaduk larutan yang diadsorpsi oleh polisorben

disaring dengan kertas saring dan filtratnya diukur


35

absorbansinya dengan AAS untuk menentukan konsentrasi Cu

yang terdesorpsi.

d) Residu (polisorben yang telah teregenerasi) dianalisis dengan

IR
36

Skema Cara Kerja

100 gram silika gel

Dipanaskan dalam oven


105o C selama 20 menit

Silika gel 10 gram


berwujud pasta Chlorella sp

Dibasahi dengan sedikit


aquadesh dan diaduk

Pasta campuran silika gel


dan Chlorella sp

Dipanaskan dalam oven 80o


C selama 20 menit

Briket biomassasilika

Didinginkan dan digerus kemudian


diayak dengan ayakan 50 mesh

Serbuk polisorben
± 50 mesh

Gambar 6. Diagram alir pembuatan polisorben dari Biomassa


Chlorella sp dalam silika gel.
37

Skema Cara Kerja

0.5 gram polisorben

25 ml Larutan Cu(NO3)2
50 ppm, pH 5

gojog

Campuran Suspensi

Filtrat Residu dikeringkan

Dianalisis dengan Dianalisis dengan IR


AAS

Gambar 7. Diagram alir cara kerja adsorpsi tembaga (II) oleh polisorben
Chlorella sp.
38

Skema Cara Kerja

Polisorben yang 25 mL HCl


mengikat logam pH=4
Gojog dengan variasi waktu 20,
40, 60, 90 dan 120 menit

Campuran
suspensi

Analisis dengan Filtrat Residu


AAS

Gambar 8. Diagram alir cara kerja desorpsi tembaga (II) dari polisorben
Chlorella sp untuk optimasi waktu desorpsi.

Polisorben yang 25 mL HCl dengan pH 5; 4;


mengikat logam 3; 2; 1,3; 1; 0.6; dan 0.3

Gojog dengan waktu optimum

Campuran
suspensi

Analisis dengan Filtrat Residu


AAS

Gambar 9. Diagram alir cara kerja desorpsi tembaga (II) dari polisorben
Chlorella sp untuk optimasi pH desorben/
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai data-data hasil penelitian yang

meliputi kajian tentang identifikasi perubahan gugus fungsional polisorben

(biomassa Chlorella sp yang telah diimobilisasi dalam silika gel), kurva kalibrasi

larutan standar Cu (II), waktu optimum desorpsi, dan pH optimum desorben.

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Anorganik jurusan Kimia

FMIPA Universitas negeri Semarang pada bulan Desember meliputi kegiatan

pembuatan polisorben, penggerusan, pengayakan, pembuatan larutan, interaksi

polisorben dengan larutan sampel dan kegiatan terakhir adalah analisis dengan

menggunakan AAS.

Cuplikan yang digunakan diperoleh dengan menginteraksikan larutan Cu

dengan polisorben pada kondisi tertentu (pH 5). Setelah diinteraksikan,

kenampakan fisik menunjukkan bahwa polisorben yang semula berwarna hijau

keabua-abuan berubah menjadi kebiruan. Timbulnya warna ini dimungkinkan

akibat adanya interaksi antara ion Cu dengan ion dari gugus-gugus fungsional dari

polisorben. Untuk percobaan selanjutnya digunakan cuplikan kering (Chlorella sp

yang terimobilisasi pada silika gel) yang relatif homogen. Kemudian ditentukan

kadar Cu awal yang terkandung dalam cuplikan dengan metode AAS. Kurva

kalibrasi penentuan Cu yang teradsorpsi disajikan dalam gambar 10, dari kurva ini

didapat persamaan Y=0.0597x+0.0166 dengan R2=0.9951 sedangkan data

konsentrasi Cu yang teradsorpsi dapat dilihat pada lampiran 1.

39
40

0.7
0.6

Absorbansi
0.5
0.4 y = 0.0597x + 0.0166
0.3 R 2 = 0.9951
0.2
0.1
0
0 5 10 15
konsentrasi Cu (ppm)

Gambar 10. Kurva kalibrasi larutan standar ion Cu untuk penentuan Cu


awal (Cu teradsorpsi)

4.1. Optimasi Waktu Desorpsi Ion Cu (II) dari Polisorben.

Penelitian penentuan optimasi waktu desorpsi ini bertujuan untuk

memperoleh informasi berapa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

desorpsi (pelepasam Cu dari polisorben) yang optimum. Penelitian ini

menggunakan larutan HCl sebagai agen pendesorpsi (desorben). Larutan ini

diharapkan dapat melepas kembali ion Cu yang telah terserap oleh

polisorben. HCl dipilih sebagai larutan pendesorpsi karena sifatnya yang

relatif aman bagi lingkungan disamping juga merupakan elektrolit yang cukup

kuat.

Sebelum mengukur absorbansi larutan sampel terlebih dahulu

dilakukan pengukuran absorbansi dari larutan standar ion Cu (II) dengan

tujuan untuk memperoleh kurva kalibrasi. Pembuatan kurva kalibrasi ini

dimaksudkan untuk mencari hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi

larutan ion Cu (II) yang mengikuti hukum Lambert Beer. Kurva kalibrasi

untuk optimasi waktu desorpsi disajikan dalam gambar 11.


41

Pada pengukuran terhadap larutan standar ion Cu(II) yang dibuat

dengan berbagai konsentrasi, yaitu 0; 2,5; 5; 7,5; dan 10 ppm, diperoleh data

absorbansi pada lampiran 2. Data yang diperoleh dari absorbansi pada

lampiran 2 kemudian dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi dengan

absorbansi, dan dapat persamaan y = 0,0597x + 0.016 dengan R2=0,9977,

sehingga kurva tersebut dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi ion

Cu (II) dalam larutan.

0.6
0.5 y = 0.0597x + 0.016
R2 = 0.9977
Absorbansi

0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15
Konsentrasi Cu (II)

Gambar 11. Kurva kalibrasi larutan standar ion Cu untuk optimasi


waktu kontak

14
% Cu terdesorpsi

12
10
8
6
4
2
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 12. Kurva hubungan antara waktu kontak dengan % Cu


terdesorpsi dari polisorben.
42

Hasil penelitian pada gambar 7 untuk menentukan waktu optimum

desorpsi ion Cu (II) dari polisorben. Pada kenaikan waktu kontak memberi

kenaikan jumlah ion Cu yang terlepas. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa lamanya waktu kontak termasuk faktor yang mempengaruhi desorpsi

ion Cu dari polisorben.

Pada menit ke 20 ion Cu yang terlepas sebesar 5,93 % dan pada 40

menit sebesar 8.77 %. Adsorpsi pada waktu 60 menit mengalami kenaikan

hingga 12,37 %. Untuk waktu interaksi 90 dan 120 menit Cu yang terlepas

mengalami penurunan yang tidak signifikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

pada waktu kontak 90 dan 120 menit interaksi yang terjadi antara sisi aktif

yang telah mengikat ion Cu (pada polisorben) dengan ion H+ dari larutan

pendesorpsi telah cukup efektif, sehingga penambahan waktu kontak

cenderung tidak meningkatkan jumlah ion Cu yang terlepas. Rendahnya

jumlah Cu yang terdesorpsi disebabkan karena sedikitnya jumlah ion H+ yang

dimiliki desorben untuk mampu melepas ikatan antara gugus aktif polisorben

dengan logam. Dari gambar terlihat titik optimum terjadi pada waktu kontak 1

jam (60 menit).

4.2. Optimasi pH Desorpsi Ion Logam Cu (II) dari Polisorben.

Hasil penelitian tentang pengaruh pH larutan HCl terhadap desorpsi

ion logam tembaga dari polisorben disajikan dalam gambar 9, sedangkan

kurva kalibrasi Cu untuk optimasi pH disajikan dalam gambar 8.


43

0.8
y = 0.0597x + 0.0166

Absorbansi
0.6
2
R = 0.9951
0.4

0.2

0
0 5 10 15
Konsentrasi Cu(II)
Gambar 13. Kurva kalibrasi larutan standar ion Cu (II) untuk optimasi
pH

120
% Cu terdesorpsi

100
80
60
40
20
0
0 1 2 3 4 5 6
pH
Gambar 14. Kurva hubungan antara pH dengan jumlah atom Cu yang
terlepas (dalam %) dari polisorben.

Dari gambar tampak bahwa desorpsi ion logam tembaga (II) dari

polisorben dipengaruhi oleh harga pH desorben (dalam hal ini HCl). Asam

yang berbeda pH memiliki perbedaan kinerja yang cukup berarti. Gambar

diatas memperlihatkan bahwa pada pH relatif tinggi (pH 4 dan 5) jumlah

logam Cu yang terlepas cukup sedikit dan pada pH=3 jumlah Cu yang terlepas

meningkat cukup tajam hingga 48.92 % desorpsi terus mengalami kenaikan

sampai pH=1, dengan Cu telepas sebesar 96,59 ppm dari 97,673 ppm Cu yang

teradsorpsi atau dengan kata lain jumlah Cu yang terdesorpsi sebesar 96.89 %.
44

Pada pH di bawah 1,6 desorpsi atau pelepasan logam Cu

mengalami kenaikan yang tidak begitu berarti. Hal ini dimungkinkan pada pH

yang di bawah 1,6 interaksi yang terjadi antara gugus aktif yang mengikat ion

Cu (pada polisorben) dengan ion H+ dari larutan pendesorpsi telah cukup

efektif sehingga protonasi terhadap gugus fungsional yang terlibat adalah

hampir maksimal dan kesetimbangan dalam reaksi biosorpsi telah tercapai,

sehingga jumlah antara ion yang terserap dan terlepas relatif sama. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa desorpsi ion Cu (II) dari polisorben

mencapai optimum pada pH= 1,6.

Kecenderungan ini disebabkan karena semakin asam suatu

desorben berarti semakin banyak jumlah ion H+ yang digunakan untuk

memprotonasi gugus fungsional yang terdapat pada polisorben dengan ion

logam semakin besar, sehingga ion logam yang terlepas atau tedesorpsi juga

semakin banyak. Mekanisme yang terjadi pada proses desorpsi Cu dari

polisorben menggunakan desorben asam ini mirip dengan peristiwa ion

exchange (pertukaran ion). Dalam hal ini antara proton (ion H+ dari desorben)

dan ion logam Cu.

Data ini sesuai dengan penelitian Ilana Aldor (2000) yang

menyatakan bahwa desorpsi dapat dilakukan dengan cara menurunkan harga

pH, ia juga melaporkan bahwa desorpsi ion logam Cd (II) dari biomassa

Sargasum fluitan yang terimobilisasi efektif pada pH 1,6.


45

4.3. Identifikasi Gugus Fungsi pada Polisorben

Identifikasi gugus fungsional terhadap biomassa Chlorella sp maupun

hasil dari biomassa yang terimobilisasi dalam silika gel dilakukan dengan

spektrofotometer infra merah. Dari hasil analisis didapatkan spektra IR untuk

Chlorella sp yang dapat dilihat pada gambar 15.

Gambar 15. Spektra Infra Merah biomassa Chlorella sp.

Dari gambar di atas dapat ditefsirkan bahwa serapan melebar pada

3423,4 cm-1 merupakan serapan vibrasi ulur dari gugus –OH. Dua serapan

yang muncul pada bilangan gelombang 2920,0 dan 1850,6 cm-1 dapat

ditafsirkan sebagai serapan vibrasi ulur asimetri –CH(-CH2-) dan serapan

vibrasi ulur simetri dari –CH(-CH3). Serapam karakteristik pada bilangan

gelombang 1637,5 cm-1 adalah akibat serapan vibrasi ulur gugus karbonil

(C=O), sedangkan serapan pada bilangan gelombang 1452,3 cm-1 dapat

ditefsirksn sebagai serapan vibrasi rentangan C-N untuk amina primer.

Serapan yang muncul pada bilang gelombang 1110,9 cm-1 merupakan serapan
46

vibrasi ulur gugus karboksil (C-O).. Dari identifikasi gugus fungsi biomassa

Chlorella sp dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa gugus fungsi yang dapat

diidentifikasi adalah –OH, -C-H, C=O, C-N, C-O, dan N-H.

Gambar 16. Spektra Infra Merah polisorben (biomassa Chlorella sp


yang diimobilisasi dalam silika gel).

Gambar 16 merupakan gambar spektra IR untuk Chlorella sp yang

terimobilisasi. Dari spektra tersebut dapat ditafsirkan bahwa pita khas pada

474,5 cm-1 adalah serapan vibrasi tekuk Si-O-Si. Serapan yang muncul pada

3406,1 cm-1 merupakan serapan vibrasi regang dari gugus -NH (amina primer)

dan diperkuat dengan adanya serapan pada 798,5 cm-1 yang merupakan vibrasi

ulur –NH ke luar bidang. Puncak doublet yang muncul pada 3406,1 cm-1 juga

dapat disebabka adanya gugus –OH dan –NH yang berjumlah lebih dari satu

pada suatu molekul. Serapan pada 2854,5 cm-1 dan pada 2927,7 cm-1

merupakan serapan vibrasi ulur simetri –CH(-CH3) dan serapan vibrasi ulur

asimetri –CH(-CH2-). Serapan yang muncul pada 1620,1 cm-1 merupakan


47

serapan vibrasi ulur dari gugus karbonil (C=O). Serapan kuat pada bilangan

gelombang 1091,6 cm-1 merupakan serapan vibrasi ulur dari gugus karboksil

(C-O). Jadi dapat disimpulkan spektra pada gambar 9 gugus fungsional yang

dapat diidentifikasi adalah Si-O-Si, -OH, N-H, C=O, C-O dan C-H.

Dari kedua spektra IR dapat dilihat secara jelas perubahan gugus

fungsional pada biomassa Chlorella sp dengan produk biomassa Chlorella sp

yang terimobilisasi pada silika gel. Pada spektra IR biomassa Chlorella sp

yang terimobilisasi terdapat gugus fungsi Si-O dan Si-OH dari silika gel.

Sehingga dapat diketahui bahwa gugus fungsional biomassa Chlorella sp

masih ada pada produk biomassa terimobilisasi.

Gambar 17. Spektra Infra Merah Polisorben setelah Proses Adsorpsi

Setelah polisorben mengadsorpsi logam terjadi pergeseran pada

spektranya yang disebabkan interaksi antara gugus-gugus aktif pada

polisorben dengan ion logam Cu. Dari gambar 11 tampak bahwa pergeseran

yang paling mencolok terjadi pada bilangan gelombang 3448,5 cm-1 yang

merupakan serapan vibrasi ulur gugus –NH untuk amina sekunder. Selain itu
48

juga terjadi pergeseran pada bilangan gelombang 1635,5 yang merupakan

serapan vibrasi ulur gugus karbonil (C=O). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa adsorpsi ion logam Cu oleh polisorben (biomassa Chlorella sp yang

terimobilisasi pada silika gel) melibatkan gugus amina, karboksil dan karbonil

dari protein, sebagaimana dilaporkan Harris & Ramelow (1990) bahwa

pembentukan ikatan koordinasi antara biosorben dengan ion logam seperti

Pb2+, Cu2+, dan Cr4+ melibatkan gugus amina dan karboksil dari protein.

Gambar 18. Spektra Infra Merah Polisorben setelah Proses Desorpsi


menggunakan larutan HCl pH 0.3

Spektra IR pada gambar 13 merupakan spektra dari polisorben yang

telah diregenerasi menggunakan HCl (pH=0.3). Dari gambar tersebut terlihat

bahwa spektranya hampir mirip dengan spektra IR pada gambar 17. Hal ini

disebabkan tidak semua ion Cu terdesorpsi, sehingga masih ada ion Cu yang

tertinggal pada polisorben. Selain itu muncul serapan baru pada panjang

gelombang 960.5 cm-1 yang diduga merupakan serapan vibrasi ulur dari guguc

C-Cl, serapan ini dimungkinkan timbul karena adanya interaksi antara gugus
49

aktif pada permukaan polisorben dengan ion Cl- dari desorben. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan HCl yang terlalu pekat sebagai

agen pendesorpsi tidaklah efektif karena menimbulkan perubahan struktur

pada gugus fungsional biosorben.

Perubahan struktur pada polisorben ini dapat disebabkan oleh

beberapa hal, diantaranya penggunaan waktu kontak yang terlalu lama. Ada

kemungkinan proses desorpsi ini telah mengalami kesetimbangan jauh

sebelum waktu kontak 60 menit. Sebagaimana dilaporkan bahwa biosorpsi

merupakan proses yang berlangsung cepat, waktu kontak yang sedikit lebih

lama dari waktu kontak optimum untuk terjadinya adsorpsi dapat

mengakibatkan lepasnya kembali ion logam yang telah terserap, dengan kata

lain terjadi desorpsi. (Sri Lestari, 2002). Selain itu Kuyucak and Volesky

(http//www.biosorption mc_gill.co/publication/Bvspain.htm) melaporkan

bahwa asam mineral dengan pH yang sangat rendah dapat melarutkan

beberapa jenis polisakarida yang mungkin mengandung gugus pengikat ion

dan mineral yang terkandung dalam polisorben.


BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan


maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Waktu kontak sangat berpengaruh pada proses desorpsi. Waktu optimum

desorpsi ion Cu (II) dari polisorben adalah 60 menit dengan ion Cu (II)

yang terlepas sebanyak 12,37 %.

2. Proses desorpsi ion Cu (II) dari polisorben optimum pada pH = 1,6

dengan Cu (II) yang terlepas sebesar 97,43 %.

5.2. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan dengan hasil
penelitian ini adalah:
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan asam mineral

maupun berbagai desorben lain untuk mendesorpsi ion logam dari

polisorben (biomassa Chlorella sp yang terimobilisasi pada silika gel).

2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang pengambilan logam dari

larutan hasil agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut.

50
51

DAFTAR PUSTAKA

Castelan, G.W, 1983, Physical Chemistry, London : Addison Wesley Publising


Company.

Cowd , M.A, 1991, Kimia Polimer, ITB.Bandung.

Darnall, D.W, dkk, 1991, Studies on Accumulation of Heavy Metal Element in


Biological System, VXII, Selective Accumulation of Heavy Metal Ions
by Chlorella Regulan’s, Eur. J. Microbid Biotechnol, (2 : 76-83).

Dew. W. Connel, 1995, Bioakumulasi Senyawa Xenobiotik, Jakarta: UI Press.

Diawati, 1997, Biosorpsi Seng oleh Biomassa Sacharomyces cereviseae, Tesis,


Magister Sains,UGM.

Eko Sugiharto, 1990, Spektrometri Sinar Tampak dan Ultra Ungu, Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada.

Harris, P.O., and Ramelow, G.J.,1990, Binding Of Metal Ions by Particulate


Biomass Derived from Chlorella Vulgaris and Scenedesmus
Quadricauda, Enveron. Sci. Technol, 24:220-228.

Ilana Aldor, 2000, Desorpstin of Cadmium from Algal Biosorbent.

Iller, R.K., 1979, The Chemistry of Silica. New York.: Jhon Wiley and Sons.

Heryando Palar, 2004, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Jakarta: PT.
Asdi Mahasatya.

Latifah, 1998, Pengaruh Imobilisasi Biomassa Chlorella sp pada Polimer Etil


Akrilat – Etilen Glikol Dimetakrilat Terhadap Pola Adsorpsi Tembaga
(II), Seng (II), Timbal (II), Tesis, Program Pasca Sarjana, UGM.

Mark M Benjamin. 2002. Water Chemistry. New York: Mc Grow Hill

Martin Alexander, 1999, Biodegradation and Bioremediation, New York:

Nurdin, 2000, Pengaruh Konsentrasi Awal dan Waktu Kontak Terhadap Biosorpsi
Tembaga (II) dari Larutammyaoleh Biomassa Aspergilus Niger,
Yogyakarta: Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, UGM.

Ramelow, dkk, 1996, A Kinetics Study Of Metal Ion Binding By Biomass


Immobilized In Polymers, J. of Hazard Materials.
52

Sri Lestari, dkk, 2002, Pengaruh pH dan KonsentrasiAwal Terhadap Adsorpsi


Tembaga oleh Saccaromyces cerevisiae yang terimobilisasi pada
silika gel, Yogyakarta : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, UGM.

Suharsimi Arikunto, 1998, Prosedur Penelitian Edisi Revisi IV, Jakarta : PT.
Rineka Cipta.

Suhendrayatna, 2001, Bioremoval Logam Berat Dengan Menggunakan


Mikroorganisme : Suatu Kajian Kepustakaan, Kagosami: Sinergi
Forum PPI Tokyo.

Sukardjo, 1985, Kimia Koordinasi, Jakarta: Bumi Aksara.

Sumar Hendayana, dkk, 1994, Kimia Analitik Instrumen, IKIP Semarang Press.

Tebo, B.M., 1995, Metal Precipitation by Marme Bacteri, potensial For


Biotechnological Application in Settow, Genetic Engeenering.

Triyatno, 2004, Kapasitas Adsorpsi Alga Chlorella sp Yang Diimobilisasi Dalam


Silika Gel Terhadap Ion Logam Cu Dalam Limbah
Kuningan,Semarang: Jurusan Kimia F MIPA UNNES..

Vogel, 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Mikro,
Bagian I, Edisi ke-5, Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka.

http//www.biosorption mc_gill.co/publication/Bvspain htm, Biosorption, diakses


10 Agustus 2005

http:/ejbiotechnology.info.conten/vol 5/isue2/full/4/index.html, Biosorption of Cu


(II) by Sargassum sp, diakses 10 Agustus 2005.

http://1.44.16.93.203/energy/water/paper/biosorption.htm, Biosorption, diakses 10


Agustus 2005.
Lampiran 1

Data Absorbansi Larutan Standar Ion Cu (II) untuk proses adsorpsi.

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


0 0.000
2.5 0.146
5.0 0.282
7.5 0.325
10.0 0.504

Data adsorpsi ion Cu (II) pada 0,5 gr biomassa terimobilisasi dengan waktu

kontak = 60 menit dan pH =5

No [Cu]awal Absorbansi [Cu] akhir [Cu] terserap


(ppm) (ppm) (ppm)
1 99.471 0.1037 1.796 97.675
2 99.471 0.119 1.885 97.586
3 99.471 0.107 1.815 97.656
4 99.471 0.112 1.847 97.624
5 99.471 0.114 1.857 97.614
6 99.471 0.105 1.805 97.666
7 99.471 0.124 1.917 97.554
8 99.471 0.106 1.808 97.663
9 99.471 0.106 1.809 97.662
10 99.471 0.089 1.708 97.715
11 99.471 0.118 1.879 97.529
12 99.471 0.114 1.851 97.620
13 99.471 0.111 1.833 97.638
14 99.471 0.106 1.806 97.665

53
54

Lampiran 2

Data Absorbansi Larutan standar Ion Cu (II) untuk optimasi waktu kontak

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


0 0.000
2.5 0.175
5.0 0.325
7.5 0.481
10.0 0.594

Data Variasi Waktu Kontak Terhadap Dssorpsi Ion Cu (II) dari polisorben

menggunakan 25 ml larutan HCl dengan pH=4

Waktu pH [Cu] A [Cu] % Cu


(menit) teradsorpsi terdesorpsi terdesorpsi
(ppm) (ppm)
20 4 97.666 0.165 5.890 5.93
40 4 97.638 0.243 8.656 8.77
60 4 97.715 0.343 12.343 12.37
90 4 97.529 0.319 11.213 11.23
120 4 97.620 0.322 11.381 11.33
55

Lampiran 3

Data Absorbansi Larutan standar Ion Cu (II) untuk optimasi pH

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


0 0.000
2.5 0.176
5.0 0.325
7.5 0.480
10.0 0.594

Data Variasi pH Desorben (Larutan HCl) Terhadap Dssorpsi Ion Cu (II) dari

polisorben

pH Waktu [Cu] A [Cu] % Cu


(menit) teradsorpsi terdesorpsi terdesorpsi
(ppm) (ppm)
5 60 97.675 0.073 12.305 12.59
4 60 97.586 0.080 13.530 13.86
3 60 97.655 0.136 48.659 49.52
2 60 97.624 0.218 80.661 82.84
1.3 60 97.614 0.243 90.422 92.63
1 60 97.665 0.253 94.335 96.59
0.6 60 97.654 0.255 95.228 97.45
0.3 60 97.662 0.256 95.312 97.51
56

Lampiran 4

Contoh perhitungan :

1. Lampiran 1

[Cu] awal = 97.471 ppm

[Cu] akhir = 1.796 ppm

[Cu] terserap = [Cu] awal – [Cu] akhir

[Cu] terserap = 97.471- 1.796 = 97.586 ppm

2. Lampiran 2

[Cu] terserap = 97.666 ppm

[Cu] akhir = 5.89 ppm

[Cu ]terdesorpsi
%Cuterdesorpsi = x100%
[Cu ]terserap

5.89
% Cu terdesorpsi = x100% = 1.0123
97.715
57

Anda mungkin juga menyukai