Anda di halaman 1dari 13

SKENARIO 2

Ny. Sinta 28 thn, P0A0, dating ke klinik denga keluhan belum mendapat haid tidak
teratur, kadang-kadang 2-3 bulan baru mendapat haid. Ny.Sinta telah menikah selama
2 tahun.

KEYWORDS KATA KUNCI

1. 25 tahun, wanita
2. P0A0
3. haid tidak teratur, kadang-kadang 2-3 bulan baru mendapat haid 
oligomerrhoe
4. telah menikah selama 2 tahun

PERTANYAAN

1. Organ dan hormon apa sajakah yang terlibat dalam sistem reproduksi
perempuan?
2. Bagaimana fisiologi menstruasi?
3. Apa kondisi yang menyebabkan seorang wanita mengalami gangguan haid?
4. Apa diagnosis diferensial?
a. Bagaimana angka kejadiannya?
b. Bagaimana patogenesisnya?
c. Bagaimana gambaran klinisnya?
d. Bagaimana pemeriksaan penunjangnya?
e. Bagaimana penatalakasanannya?

JAWABAN

1. Organ-organ yang terlibat yaitu: Hipotalamus, Hipofisis anterior, Ovarium,


Endometrium (End target organ)

Hormon-hormon yang terlibat yaitu:

• FSH : Follicle Stimulating Hormon


• GH : Growth Hormon
• GnRH : GonadoTropin Releasing Hormon
• PRL : Prolaktin
• LH : Lutenizing Hormon

2. Fisiologi haid

Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
pelepasan (deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam
proses ovulasi, yang memegang peranan penting adalah hubungan
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium axis).
Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang, hipotalamus mengawasi
sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi
neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal
1
yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan
disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang
pelepasan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH)
dari hipofisis.

Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus


terdapat dua pusat, yaitu pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah
nukleus arkuatus, dan
pusat siklik di bagian
depan hipotalamus di
daerah
suprakiasmatik. Pusat
siklik mengawasi
lonjakan LH (LH-
surge) pada
pertengahan siklus
haid yang
menyebabkan
terjadinya ovulasi.
Mekanisme kerjanya
juga belum jelas
benar. Siklus haid
normal dapat
dipahami dengan baik
dengan membaginya
atas dua fase dan satu
saat, yaitu fase
folikuler, saat ovulasi,
dan fase luteal.
Perubahan-perubahan
kadar hormon
sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback)
antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan
umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen
menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik
positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon
gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.Tidak lama setelah haid mulai,
pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang
meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum,
sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi
estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan
berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-
folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun
peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam

2
folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH
mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah
peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen
dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara
berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini
memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan
LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi.
LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal.
Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa jam setelah
LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH
itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan
morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh
umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH
yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada
tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya
folikel terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya
satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh
karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan
degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin
juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.

Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar,


membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi
korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga bertambah dan
mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah ovulasi.
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat
progesteron banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang
banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai
10–12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur
disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya
sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada manusia
tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi
sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya
korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada
ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika
tidak terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi,
terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam
panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya
rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh
sinsisiotrofoblas. Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus
luteum (8 hari pasca ovulasi), waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya
regresi luteal. HCG memelihara steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9–
10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu diambil alih oleh plasenta.

3
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari
perubahan-perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid
meningkatnya FSH disebabkan oleh menurunnya estrogen pada fase luteal
sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel tanpa terjadinya atresia
tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang berkembang.
Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus
yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula
pada kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel
dan hipotalamus bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-
pesan berupa umpan balik positif atau negatif. Segala keadaan yang
menghambat produksi estrogen dengan sendirinya akan mempengaruhi siklus
reproduksi yang normal.

3. Kondisi yang menyebabkan seorang wanita mengalami gangguan haid

• Gangguan kompartemen I (Uterus)


• Gangguan kompartemen II (Ovarium)

A. Sindroma ovarium resisten

Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang


menimbulkan gangguan haid ialah sindroma ovarium resisten
gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium
insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang
pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak
diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-
reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun.
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten
gonadotropin ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris
dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma
yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai
amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai hipergonadotropin
dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai
struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang
masih utuh.
Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar
gonadotropin walaupun terdapat folikel-folikel ovarium normal dan
tidak ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi diperlukan untuk
sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi
histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat
memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi
limfositik dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan

4
kesempatannya sangat kecil untuk dapat hamil bahkan dengan
pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat
bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi
ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan
normal kariotipe.
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui,
maka pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti
menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron.
B. Premature ovarian failure
Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel
ovarium yang terjadi lebih awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita
akan mengalami kegagalan ovarium sebelum usia 40 tahun, dan pada
wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara 10%-28%.
Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan
merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya
folikel. Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik dapat
diidentifikasi. Kelainan yang paling sering adalah 45-X dan 47-XXY
diikuti oleh mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks yang
spesifik. Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma
Turner). POF dapat disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin
destruksi folikel oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau irradiasi
maupun kemoterapi.
Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia
tergantung pada jumlah folikel yang tersisa. Jika hilangnya folikel
berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer dan terhambatnya
perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau
setelah pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan
fenotipe dan onset terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.
Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan
dimana terjadi mulai laginya fungsi yang normal, tidak dapat
dipastikan bahwa penderita-penderita ini akan steril selamanya. Di sisi
lain, laparotomi dan biopsi ovarium “full thickness” tidak diperlukan
pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang
minimal, dengan “survey” untuk penyakit autoimun (meskipun diakui
bahwa tidak ada metode klinik yang dapat mendiagnosis secara akurat
autoimmune ovarium failure) dan penilaian aktivitas ovarium-pituitary
sudah mencukupi.

• Gangguan kompartemen III (Hipofisis anterior)


5
A. Gangguan hipofisis anterior

Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama


kali fokus kita harus tertuju pada adanya masalah tumor hipofisis.
Dengan munculnya amenorea, penderita dengan perkembangan tumor
hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum tumor
menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor
maligna tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun 1989
tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literatur internasional.
Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat
berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun jaringan lain,
tumor akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici yang
menyebabkan hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang
kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.
Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma,
tuberkuloma, dan deposit lemak telah dilaporkan dan menyebabkan
penekanan dan menyebabkan amenorea hipogonadotropin. Lesi pada
daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis, obstruksi
aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.
B. Amenorea galaktorea
Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan
galaktorea dan berbagai keadaan gangguan menstruasi mulai dari
menstruasi yang normal sampai amenorea yang diikuti dengan
infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan
hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus
optikus, traktus nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus
kranialis yang lain. Pada pengamatan secara radiografi terhadap
kelenjar hipofisis pada wanita dengan hiperprolaktinemia mungkin
didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak didapatkan
adenoma. Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi,
ukuran dari adenoma tidak berhubungan secara linier dengan kadar
prolaktin.
Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam
dengan berat molekul antara 19.000 – 22.000 Dalton. Prolaktin
dihasilkan oleh sel-sel laktotrof yang terletak di dalam bagian distal
lobus anterior kelenjar hipofisis. Hiperprolaktinemia adalah suatu
gejala yang merupakan hasil dari suatu spektrum yang luas dari
kelebihan produksi laktotrof dari prolaktin dengan keadaan mulai dari
ukuran hipofisis yang normal sampai perubahan adenomatosa dengan
pembesaran hipofisis. Follow up jangka panjang pada wanita
hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita
dengan adenoma atau tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak
menunjukkan perkembangan dari penyakit sebagai hasil yang nyata
dari adanya pengamatan secara radiologis.

6
Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh
perubahan fungsional dari hipotalamus mungkin masuk pada
kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis) atau grup II (disfungsi
hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang dikeluarkan oleh
WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan
hipotalamus-hipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma
yang normal. Biasanya, beberapa wanita dengan bermacam gangguan
diberikan klomifen sitrat untuk merangsang ovulasi, termasuk pada
penderita dengan kadar prolaktin yang normal. Bagaimanapun juga,
beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.
Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan
siklus ovulasi dan fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi
hipotalamus, termasuk bila mereka memiliki prolaktin darah yang
normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat dapat secara
sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat
kerja yang berlainan.
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian
depan terdapat hormon pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan
tidak hanya tirotropin, melainkan juga hormon pertumbuhan (GH) dan
prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan fungsional antara kedua
sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa tripeptida
TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang
mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan
prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting
factor, PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan
sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya steroid seks dalam
serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan. Peristiwa
ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi prolaktin. Peningkatan
kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin,
respon dari stress, makanan (khususnya makanan yang banyak
mengandung asam amino), hipotiroid primer, tumor-tumor
hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi prolaktin
umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin
(sering > 100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma
dapat menekan batang hipofisis, menghambat transport dari dopamin
dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil
hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat hipopituitarism. Penderita
dengan hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan eksplorasi tentang
riwayat dan dilakukan pemeriksaan untuk menentukan keadaan
hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari penekanan massa. Suatu
program istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang tetap
pada peningkatan yang ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan

7
pembesaran hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada
sella tursika.
Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan
investigasi untuk menentukan apakah benar keadaan tersebut
merupakan hipersekresi hormon hipofisis, atau bukan sekresi hormon-
hormon hipofisis. Pada keadaan makroadenoma, harus dipikirkan
tentang kemungkinan adanya hipopituitarisme sekunder parsial atau
komplit yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau batang
hipofisis. Adenoma nonsekresi mencakup 25%-30% dari adenoma
hipofisis. Dari hasil pengukuran gonadotropin terlihat bahwa 80%-90%
adenoma hipofisis nonsekresi adalah adenoma gonadotrofin.
Adenoma-adenoma ini sering sulit untuk mendiagnosisnya sebab
kekurangan tanda fenotip dari keadaan klinik, yang biasa digunakan
untuk membedakan adenoma-adenoma hipofisis sekretoris. Adenoma
hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan manifestasi klinis yang
berhubungan dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan
visus, dan hipopituitarisma.
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika
termasuk diantaranya adalah makroadenoma hipofisis,
kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi seperti sarkoid,
kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH,
α subunit, subunit β LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu
adenoma gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH, subunit α, dan β
LH telah terdeteksi pada lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi,
adenoma hipofisis yang memproduksi gonadotropin.Pada wanita dan
laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan
menghasilkan FSH, LH, subunit α, atau subunit β LH dalam respon
pada test terhadap thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan
bahwa sel-sel pada adenoma gonadotropin memiliki sejumlah reseptor
TRH, meskipun pada sel gonadotropin normal tidak dijumpai adanya
reseptor tersebut.
Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin utamanya adalah
pembedahan, secara primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan
secara radiasi mungkin merupakan suatu hal penting pada penderita
dengan residu penyakit yang signifikan atau pertumbuhan tumor yang
rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan bromokriptin saat
ini merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme
kerjanya masih belum terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di
masa yang akan datang lebih bisa dijelaskan.
Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar
prolaktin yang tinggi adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan
kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang bersifat dopaminergik.
Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat mempengaruhi
susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan

8
saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang
berlebihan yang terjadi pada tumor hipofisis. Dosis obat sangat
tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan pada saat itu. Kadar
prolaktin 25–40 ng/ml, cukup ½ tablet bromokriptin/hari. Kadar
prolaktin mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari.
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah gangguan
gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing).
Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan
yang baik. Perlu dicegah pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-
tanda terjadinya penekanan sekresi prolaktin yang berlebihan adalah:
kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek akibat insufisiensi
korpus luteum, diameter folikel kecil.
Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui
apakah peningkatan tersebut akibat tumor hipofisis atau karena
penyebab lain. Untuk membedakan dapat digunakan uji provokasi.
Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat diketahui secara
radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah
diketahui.

Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan


dosis 100–500 μg. setelah pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin
yang mencapai maksimum antara 15–25 menit. Pada wanita yang tidak
menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 4–14 kali dari harga
normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak
menunjukkan perubahan kadar PRL.

• Gangguan kompartemen IV (Hipotalamus)

A. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia


Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea
pada penderita dengan obesitas biasanya berhubungan dengan
anovulasi, dan keadaan hipogonadotropin tidak dapat diketahui
meskipun penderita juga didapatkan gangguan emosional yang berat.
Sebaliknya pengurangan berat badan secara mendadak, dengan
berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan
hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini
juga merupakan hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.
Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda
terutama wanita dari kelas menengah ke atas di bawah umur 25 tahun,
tetapi sekarang terjadi juga pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis anoreksia nervosa
adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat badan 25%
atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan
(bulimia), overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan

9
medis, tidak ditemukan gangguan psikiatri. Karakteristik lain
diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang rendah, hiperkarotenemia,
diabetes insipidus.
Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara
amenorea dengan berat badan yang rendah kadang merupakan
rangsangan terhadap penderita untuk kembali ke berat badan normal
dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila perlu
untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian
program diet tinggi kalori (minimal 2600 kalori) dengan memberikan
kebiasaan makan yang benar. Bila perbaikannya berlangsung sangat
lambat, terapi hormon perlu dipikirkan. Beberapa penderita
memerlukan intervensi dari ahli jiwa.
B. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)
Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit
wanita, dan wanita yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari
balet, tari modern, didapatkan insidens yang signifikan adanya
gangguan menstruasi sampai adanya amenorea, keadaan ini disebut
supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal, yang
pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai
sebelum menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang
3 tahun, dan kejadian menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih
tinggi.
Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu
kadar kritis dari lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit
wanita yang senantiasa ikut kompetisi/perlombaan memiliki 50%
kadar lemak lebih sedikit dibanding dengan atlit yang bukan
kompetitor. Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat
badan, sebab lemak dikonversi menjadi massa otot. Pengamatan secara
kritis didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari lemak
tubuh dan gangguan menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.
Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat
reversibilitasnya tidak diketahui dengan pasti, meskipun beberapa
penelitian menunjukkan mengindikasikan bahwa sebagian besar atlit
wanita akan mengalami ovulasi kembali bila stress dan latihan mulai
bisa dibatasi. Namun demikian sebagian atlit tidak menginginkan
untuk menghentikan untuk menghentikan latihan kerasnya. Pemberian
terapi hormonal bisa dipertimbangkan pada wanita dengan
hipoestrogen guna menjaga agar tidak terjadi perubahan pada tulang
dan kardiovaskuler.

4. Diagnosis diferensial

• Sindrom Ovarium Polikistik

10
Secara alamiah setiap wanita normal akan mengalami siklus haid yang
berovulasi dan teratur sejak menarche hingga perimenopause, 15-20% wanita
pada rentang usia tersebut akan mengalami siklus yang tidak berovulasi. 75% dari
siklus yang tidak berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi dalam bentuk
ovarium polikistik (OPK). 80% dari kelainan ovarium polikistik ini secara klinis
tampil sebagai penyakit ovarium polikistik (POPK). Pada 5-10% wanita usia
reproduksi, penyakit ovarium polikistik ini akan mempunyai gejala lengkap
sebagai sindrom ovarium polikistik (SOPK).
SOPK merupakan kelainan endokrin yang paling sering terjadi pada
wanita usia premenopause, yang ditandai dengan hiperandrogenemia dan
anovulasi kronik. SOPK dikenal sebagai sindrom heterogen, dimana wanita yang
menderita sindrom ini akan memperlihatkan tanda dan gejala peningkatan kadar
androgen, menstruasi tidak teratur sampai amenorea.
1. Angka Kejadian

Kejadian SOPK dengan gejala klinis beragam dan memberikan gambaran


angka yang bervariasi. Adam dkk, 1986 melaporkan bahwa pada penderita
ovarium polikistik yang didiagnosa secara sonografi, didapati 30% menderita
amenorrhea, 75% dengan oligomenorrhea, dan 90% didapati adanya peningkatan
konsentrasi kadar LH dan androgen

2. Pathogenesis

Pathogenesis SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa defek primer
kemungkinan karena adanya resistensi insulin yang menyebabkan
hiperinsulinemia. Konsentrasi insulin dalam LH di dalam sirkulasi secara umum
akan meningkat. Sel teka yang membungkus androgen yang nantinya akan
dikonversi menjadi estrogen di dalam ovarium menjadi sangat aktif dan
responsive terhadap stimulasi LH. Sel teka kan menjadi lebih besar dan akan
menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel teka yang hiperaktif ini akan
terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulose tidak aktif
dan aktifitas aomatisasinya menjadi minimal. Akibat ketidakmampuan folikel-
flikel tersebut maka terjadi pembentukan kista0kista dengan diameter antara 2-6
mm dan masa aktif folikel akan memanjang sehingga akan tebentuk folikel-folikel
baru sebelum folikel yang laian mati. Folikel-folikel tsb akan berbentuk seperti
kista yang dilapisi oleh sel-sel tekayangg hiperplastik yang mengalami luteinisasi
sebagai respon peningkatan kadar LH.

3. Gambaran klinis

Keadaan hiperandrogen memiliki tanda seperti hirsutisme , timbulnya


jerawat bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-laki. Hirsutisme
didefinisikan sebagai suatu keadaan munculnya rambut kasar pada wanita seperti
pola pertumbuhan pada laku-laki seperti diatas bibir, dagu, dada, abdomen bagian
atas maupun punggung. Keadaan anovulasi kronis ditandai adanya gangguan haid
seperti amenorrhea, oligomenorrhea, perdarahn uterus disfungsional dan akan
menimbulkan infertilitas.

11
4. Diagnosis

Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi criteria klinis, sonografi dan


biokimia. Pada wanita yang menderita amenorrhea kemungkinan timbulnya
SOPK bila didapati satu atau lebih gambaran berikut:

• Adanya ovarium polikistik pada pemeriksaan sonografi

• Hirsutisme

• Hiperandrogenisme

5. Pemeriksaan penunjang

• Pemeriksaan sonografi

Adanya kista folikel ≥ 10 buah dengan diameter 2-8 mm dengan stroma


yang tebal (criteria Adam dkk)

• Pemeriksaan hormonal

Kadar 17-hydroxyprogesteron ≥ 2

Testosterone ≤ 150 mg/dl

DHEAS normal atau sedikit meningkat

Kadar GDP/rasio insulin < 7 (dewasa dgn resitensi insulin)

<4,5 (pasien obes)

6. Penatalaksanaan

• Non farmakologi

Penurunan BB akan memberikan pengaruh terhadap kadar hormone


dalam sirkulasi

• Farmakologi

Medroxyprogesteron asetat dosis 150mg IM setiap 6 minggu selama 3


bulan atau 20-40 mg perhari untuk menghilangkan gejala hisrsutisme

Anti androgen : Cyproteron asetat, flutamide, finasteride

GnRH analog

Metformin

Clomiphene sitrat

12
• Operatif

Reseksi biji ovarium

Pengeboran ovarium dengan laser secara laparoskopi

DAFTAR PUSTAKA

1. Standar pelayanan medik Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia


Jakarta, 2006
2. Budi R. Hadibroto, Sindrom ovarium polikistik, Majalah Kedokteran
Nusantara Vol. 38 No. 4 Desember 2005
3. Buku ilmu kandungan, PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,
2009

13

Anda mungkin juga menyukai