Anda di halaman 1dari 3

TIGA PONDASI UMMAT

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran” (An-Nahl: 90).

Ayat ini merupakan diantara sekian ayat yang terbilang paling akrab di telinga kaum muslimin karena biasa
dijadikan ayat penutup yang dibaca oleh khatib sebelum mengakhiri khutbah jum’at atau khutbah hari raya.
Secara cermat ditemukan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum, karena perintah Allah dalam ayat ini tidak
ditujukan kepada sasaran tertentu, misalnya “Ya’murukum” (memerintah kalian) seperti dalam ayat-ayat yang
lain, tetapi cukup dengan kata “Ya’muru” (memerintah). Sehingga ayat ini harus dipahami sebagai ayat
universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada beban fanatisme golongan, ideologi, suku bangsa dan
sebagainya. Karena secara fithrah memang manusia dilahirkan membawa prinsip-prinsip kebaikan yang
diperintahkan dalam ayat ini dan membenci perilaku keburukan yang dicegah dalam ayat ini. Bahkan dengan
tegas -karena melihat kandungan yang terangkum di dalam ayat ini- Abdullah bin Mas’ud ra sampai
menyimpulkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling komprehensif (yang paling luas cakupannya) di dalam
Al-Qur’an tentang kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan keburukan-keburukan yang harus dicegah.

Bagi Utsman bin Madh’un, ayat ini memiliki keistimewaan dan kesan tersendiri. Pada mulanya, ia memeluk
Islam hanya karena malu dengan Rasulullah saw. Namun ketika ia berada di sisi Rasulullah saw dan ikut
menyaksikan peristiwa saat ayat ini turun, ia merasakan satu kekuatan iman yang menembus ke dalam
hatinya. Ia mulai yakin akan keagungan prinsip-prinsip hidup dan kehidupan yang akan ditegakkan oleh Islam
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai sebab turun ayat ini, bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan,
“Ketika Rasulullah saw sedang duduk di halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas di depan.
Maka Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang berlangsung
pembicaraan diantara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan pandangannya ke langit beberapa saat,
kemudian menundukkan kepalanya dan bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau
menganggukkan kepala seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat,
beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali pertama, lantas beliau
kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin Madh’un. Maka melihat kejadian yang tidak biasa
tersebut, Utsman bertanya kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi
mengangkat pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan sesuatu
dan engkau bergeser menjauh dariku?”. Rasulullah balik bertanya, “Apakah engkau tadi memperhatikan apa
yang terjadi?”. Utsman menjawab singkat, “Ya”. Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang
Rasul Allah”. Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang Rasul Allah?”. Rasulullah menjawab, “Benar”.
Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?”. Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa
wahyu kepadaku” Lantas Rasulullah membacakan surah An-Nahl ayat 90″.

Dalam riwayat Al-Qurthubi, setelah kejadian ini, dengan modal keyakinan yang mendalam Utsman bin Madh’un
lantas membacakan ayat ini kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat dikenal piawai dalam
dalam bidang sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Demi mendengar ayat tersebut dibacakan
kepadanya, spontan keluar dari lisannya pernyataan yang memeranjatkan semua orang, termasuk para
pemuka Quraisy yang memang menaruh dendam kepada Rasulullah, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini
memiliki kelezatan dan keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah kata-kata
manusia”. Bahkan diriwayatkan bahwa Al-Walid meminta Utsman untuk mengulangi bacaan ayat ini.

Berdasarkan komprehensifitas kandungan ayat ini, terdapat tiga prinsip yang terangkum di dalamnya yang
ditawarkan oleh Al-Qur’an agar dijadikan landasan dalam upaya membangun umat dan menata sebuah
masyarakat, yaitu prinsip keadilan, prinsip ihsan dan prinsip takaful yang dicontohkan dalam skala mikro
dengan memberi bantuan kepada kaum kerabat. Ketiga sendi ini merupakan landasan aplikatif untuk
membendung dan mengantisipasi gerak Al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan
hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu perbuatan buruk
yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu,
yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan
sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong
keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, sebuah masyarakat tidak mungkin bisa tegak di atas dasar
kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Demikian juga, sebuah masyarakat yang telah tersebar di tengah-
tengahnya perbuatan keji dengan segala warna dan kemasannya, kemungkaran dengan segala daya tariknya
dan permusuhan dengan segala bentuknya tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan senantiasa
berada dalam kesengsaraan.

Ibnu Katsir mengomentari bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan semua hamba-hambaNya agar
menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan dalam semua urusan dan selanjutnya menganjurkan
bersikap ihsan dalam setiap perbuatan. Maka ayat ini merupakan dalil akan perintah berlaku adil dan anjuran
untuk bersikap ihsan. Sedangkan hubungan yang ketara antara adil dan ihsan adalah bahwa keadilan
merupakan sebuah kewajiban syariat, sedangkan ihsan merupakan sikap yang lebih di atas sikap adil.
Karenanya berusaha mencapai derajat ihsan dalam semua perbuatan merupakan satu hal yang sangat
dianjurkan.

Berbeda dengan Syekh Abu Hamid Al-Ghozali. Ia menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan
sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini,
Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya
akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan
modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan
yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup
berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah
menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya. Bahkan, Allah justru banyak memuji sikap ihsan di dalam
ayat-ayatNya. Diantaranya, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak
akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan
berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)
Dalam konteks ini, Sayid Qutb memaparkan pemahaman tafsirnya dengan pendekatan ijtima’i yang menjadi
ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat inilah Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan
menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat yang akan menjadi penenang bagi setiap
individu, umat dan bangsa. Allah mengawalinya dengan prinsip Al-Adl yang harus dijadikan penopang sebagai
kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip Al-Adl di dalam ayat ini digandengkan
dengan Al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata Ihsan lebih luas
penunjukannya. Maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan dari hubungan seorang hamba dengan
Rabbnya, hubungan dengan keluarganya, masyarakatnya dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.

Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan “Ita’idzil Qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah
Al-Adl dan Al-Ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Penyebutan
khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dzim (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat
dan sebagai ta’kid (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut yang bisa dilakukan secara bertahap, dari
wilayah yang paling dekat sampai ke wilayah yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.

Betapa paksi keadilan, ihsan dan takaful dalam struktur bangunan masyarakat ini terasa semakin lenyap dan
hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih
sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur yang tampil dalam kemasan
kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat
yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk
dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan izzatul Islam
wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” Allahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai