Anda di halaman 1dari 2

Kita seringkali menemui perilaku masyarakat Indonesia, khususnya yg muslim, seringkali salah

menyikapi sabar dan syukur. Bukan, saya tidak bermaksud menyalahkan sikap sabar dan syukur,
namun sikap yg salah terhadap kedua hal ini justru akan merugikan diri kita sendiri.

Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin mengingatkan lagi mengenai sikap sabar dan syukur.

Sabar adalah sikap seorang hamba ALLAH SWT pada satu waktu. Seringkali sabar diartikan
sebagai sikap kita untuk menahan diri (dari kesedihan/kedukaan/putus asa) pada saat tertimpa
musibah. Padahal sebenarnya sabar itu bisa dibagi menjadi 3:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada ALLAH SWT. “Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (Al Muddatstsir(74):7)
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan ALLAH SWT
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir ALLAH SWT yang dialaminya (duka
cita/kesedihan,dll). “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri,” (Ath Thuur(52):48)

Rasululloh SAW sendiri bersabda, “Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu ada
kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada
Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah diri (dan
menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan pula.” (HR Muslim)

Sedangkan syukur kerap diartikan sebagai perbuatan dan ungkapan ‘berterima kasih’ kepada
ALLAH SWT atas nikmat yg telah diberikan-Nya dan telah kita terima.

Adalah sikap yg ’salah’ jika kita bersabar terhadap kedzaliman dan penderitaan yg kita alami,
dengan berdiam saja. Kedzaliman dan penderitaan tersebut mesti kita atasi, tidak boleh dibiarkan
begitu saja karena akan merugikan kita. Sayangnya, banyak orang yg menganggap kita sudah
‘layak’ mendapat penderitaan karena itu sudah takdir ALLAH SWT. Walhasil, orang-orang
banyak yg cenderung diam saja (yang menurut mereka, mereka sedang bersabar). Dan mereka
menganggap orang-orang yangg berjuang untuk bebas dari kedzaliman sebagai orang yg tidak
sabar, ngoyo, merepotkan diri sendiri.

Kita jangan menganggap sabar ~ diam (sabar sama dengan diam). Ini adalah hal yg salah.
Terlebih jika anda dirugikan. Misalkan bonus gaji yang semestinya mendapat Rp 10.000.000,
ternyata hanya mendapat Rp 8.000.000 karena boss anda berdalih ini itu. Anda mesti
pertanyakan hingga detail mengapa anda tidak mendapat bonus gaji dengan penuh, sedangkan
rekan kerja yg lain bisa mendapat bonus gaji penuh. Atau jika ada pemotongan bersama-sama
mestinya bisa dilihat secara transparan pemanfaatan dana itu berapa kemana dan yang lainnya
kepada siapa.

Untuk kasus di atas, diam Anda bukanlah sabar namanya, dan anda TIDAK BOLEH DIAM!
Mendiamkan berarti anda telah ’setuju’ membuat boss anda berbuat dzalim dan sewenang-
wenang. Artinya jika boss Anda berdosa dengan kedzalimannya dan kesewenang-wenangnya
maka dosa itu akan Anda pikul juga! Sudah kehilangan materi masih kena dosa lagi, karena
mendiamkan berarti menyetujui dan menyetujui kedzaliman sama dengan yang berbuat dzalim.
JIka Anda berbicara tidak akan ada kedzaliman itu, sedang jika diam kedzaliman akan
berkelanjutan, dan Anda menyetujuinya dengan diam itu.

Atau jika ada pasangan suami istri yg belum dikaruniai anak, orang2 banyak menyuruh bersabar
tanpa memberikan solusi. Malah, pada saat pasangan tersebut berikhtiar untuk mendapatkan
anak, dianggap sebagai sikap yg terlalu ngebet (kepingin) dan terburu-buru. Jelas ini adalah
kesalahan paradigma sabar.

Sementara untuk syukur, kita akan melihat sikap yg salah akan membuat kaum muslim tidak
produktif dan malas.

Misalnya, anda ingin mencari pekerjaan yg lebih baik dari yg sekarang, anda bisa dicap tidak
bersyukur. Padahal mestinya dilihat dulu motivasi pindah kerjanya. Jika hanya orientasi materi
dan melihat orang lain lebih enak, maka sikap seperti ini bisa dikatakan tidak bersyukur.

Tapi jika motivasinya adalah agar anak-istri bisa lebih tercukupi (dan terjamin) kebutuhannya
(dengan catatan: tidak boros dalam pengeluaran/tetap wajar), maka adalah hal yg lumrah. Justru
sebagai orang tua (apalagi sebagai suami), kita mesti berusaha untuk kehidupan yg lebih baik.
sehingga berusaha untuk mendapat penghasilan yang lebih baik adalah sikap untuk bersyukur
atas karunia prestasi kerja dengan kinerja yang baik.

Anda mungkin juga menyukai