Analisis Reaktor Nuklir 2007
Analisis Reaktor Nuklir 2007
SYEILENDRA PRAMUDITYA
http://syeilendrapramuditya.wordpress.com
2007
‘’Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’’
Sebuah persembahan kecil dariku untuk Allah SWT, keluargaku,
dan segenap bangsa dan negara Indonesia yang sangat ku cintai . . .
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................. i
ABSTRACT............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
I.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah........................................1
I.2 Ruang Lingkup Kajian................................................................. 4
I.3 Tujuan Penulisan.......................................................................... 5
I.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data....................................... 5
I.5 Sistematika Penulisan.................................................................. 5
v
II.6.3 Sistem counter flow......................................................... 37
II.6.4 Perpindahan panas pada steam generator (boiler)...........38
II.6.5 Perpindahan panas pada kondensor................................. 40
II.7 Perhitungan Termodinamik Sistem PLTN.................................. 41
vi
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 109
LAMPIRAN A Contoh File Perhitungan SRAC................................................ 111
LAMPIRAN B Tampilan Program PRENPAC................................................. 112
LAMPIRAN C Tabel Data Properti Fisik Material........................................... 113
LAMPIRAN D Tabel Data Properti Termodinamik Material............................ 114
RIWAYAT HIDUP................................................................................................ 115
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
Gambar III.14 Diagram skematik kondensor............................................. 72
Gambar III.15 Diagram alir perhitungan kondensor.................................. 73
Gambar III.16 Enthalpi H2O Pada Tekanan 6 MPa.................................... 75
Gambar III.17 Entropi H2O Pada Tekanan 6 MPa .................................... 76
Gambar IV.1 Geometri teras PWR homogen dan reflektor...................... 79
Gambar IV.2 Profil fluks radial................................................................ 80
Gambar IV.3 Perbedaan fluks radial......................................................... 80
Gambar IV.4 Profil fluks aksial................................................................ 81
Gambar IV.5 Perbedaan fluks aksial.........................................................81
Gambar IV.6 Distribusi fluks neutron (SRAC)........................................ 82
Gambar IV.7 fluks neutron (PRENPAC)..................................................83
Gambar IV.8 Perbedaan perhitungan fluks (3D)...................................... 83
Gambar IV.9 Peta kontur fluks (SRAC)................................................... 84
Gambar IV.10 Peta kontur fluks (PRENPAC)............................................84
Gambar IV.11 Profil kerapatan daya radial................................................ 85
Gambar IV.12 Perbedaan kerapatan daya radial......................................... 85
Gambar IV.13 Profil kerapatan daya aksial................................................ 86
Gambar IV.14 Perbedaan kerapatan daya aksial........................................ 86
Gambar IV.15 Distribusi kerapatan daya (SRAC)......................................87
Gambar IV.16 Distribusi kerapatan daya (PRENPAC).............................. 88
Gambar IV.17 Perbedaan perhitungan kerapatan daya (3D)...................... 88
Gambar IV.18 Peta kontur kerapatan daya (SRAC)................................... 89
Gambar IV.19 kontur kerapatan daya (PRENPAC)................................... 89
Gambar IV.20 Perhitungan faktor k............................................................90
Gambar IV.21 Geometri sel termal hidrolik............................................... 91
Gambar IV.22 Profil kenaikan temperatur coolant primer......................... 93
Gambar IV.23 Profil mass flow radial........................................................ 94
Gambar IV.24 Profil pressure drop radial...................................................94
Gambar IV.25 Distribusi kecepatan alir coolant.........................................95
Gambar IV.26 Distribusi temperatur coolant..............................................95
Gambar IV.27 Distribusi densitas coolant.................................................. 96
Gambar IV.28 Heat transfer rate boiler (8000 pipa)................................... 98
x
Gambar IV.29 Profil temperatur fluida pada boiler (8000 pipa)................ 99
Gambar IV.30 Profil flow quality pada boiler (8000 pipa).........................99
Gambar IV.31 temperatur fluida pada kondensor (massflow 3010,5 kg/s) 104
Gambar IV.32 Profil flow quality pada kondensor(massflow3010,5 kg/s) 104
Gambar IV.33 Heat transfer rate kondensor (massflow 3010,5 kg/s)........ 105
xi
DAFTAR TABEL
xii
Bab I Pendahuluan
Untuk kasus Indonesia[2], 94,5% energi primer berasal dari bahan bakar fosil,
yaitu minyak 54%, gas 26,5%, dan batu bara 14%. Sedangkan untuk produksi
listrik[3], dari sekitar 120.000 GWh pada tahun 2004, sebanyak 86,4% berasal dari
bahan bakar fosil, yaitu batu bara 40%, minyak 30,2%, dan gas 16%. Sampai saat
ini negara kita memang belum memiliki satu pun Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN), jadi kontribusi nuklir adalah 0%.
Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor sekitar 79,26 juta barrel minyak[1], dengan
asumsi harga minyak 50 USD/barrel dan kurs 9000 Rp/USD, maka berarti
pemerintah harus mengeluarkan setidaknya 35 trilyun rupiah setiap tahunnya,
belum lagi untuk biaya transportasi, subsidi BBM untuk penjualan di dalam
negeri, dan juga masalah kebocoran anggaran APBN, mungkin angkanya bisa
membengkak sampai dua kali lipat.
1
Berdasarkan beberapa survey geologi, daerah-daerah seperti selat Malaka,
Kalimantan, pulau-pulau sekitar Nusa Tenggara, dan Papua diperkirakan
menyimpan cadangan mineral bahan bakar nuklir, seperti Uranium dan Thorium,
yang cukup signifikan*, walaupun selama ini belum pernah ada kegiatan
eksplorasi terhadap mineral-mineral tersebut.
Untuk menjadi sebuah negara industri maju, kebutuhan energi Indonesia tentu
akan terus dan terus naik, sedangkan harga minyak terus semakin mahal dari
tahun ke tahun, dan juga sangat sensitif terhadap keadaan geopolitik dunia. Selain
itu, sampai saat ini, bahan bakar fosil masih didefinisikan sebagai sumber daya tak
terbarukan (non-renewable resource), yang artinya akan benar-benar habis pada
saatnya nanti, bahkan para ilmuan energi memperkirakan saat itu akan datang
dalam orde paling lama 50 atau 100 tahun saja[4]. Jadi kita memang harus segera
mengembangkan sumber energi lain yang ekonomis dan ketersediannya dapat
terjamin untuk jangka waktu yang lama.
Pada bulan Desember 1942, ahli fisika Enrico Fermi dari universitas Chicago,
Amerika Serikat, untuk pertama kalinya berhasil mendemonstrasikan reaksi fisi
nuklir berantai, yang merupakan cikal bakal reaktor nuklir. Dua tahun kemudian,
pada tahun 1944, reaktor nuklir skala besar pertama di dunia dibangun di Hanford,
Washington, Amerika Serikat, tetapi pada saat itu hanya digunakan untuk
keperluan militer, yaitu memproduksi material bom atom, sedangkan daya termal
yang dihasilkan tidak digunakan. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1951,
prototipe reaktor nuklir daya pertama di dunia dibangun di fasilitas nuklir
National Reactor Testing Station (NRTS), Idaho, Amerika Serikat, dengan nama
Experimental Breeder Reactor No. 1 (EBR1), yang saat itu berhasil menyalakan
empat buah bola lampu.
Sejak saat itu, selama sekitar 60 tahun teknologi nuklir telah berkembang dengan
sangat pesat, dan hari ini tak kurang dari 442 reaktor nuklir daya beroperasi di 30
negara di seluruh dunia, dan 29 lainnya masih dalam tahap pembangunan di 12
*
Presentasi kepala BATAN pada pembukaan Seminar Nasional Sains dan Teknik Nuklir 2005
2
negara[5]. Selain itu, ratusan unit lainnya beroperasi sebagai sumber energi di
kapal-kapal induk militer, supertanker, dan kapal laut raksasa lainnya, juga kapal-
kapal selam militer (sebagai propulsion reactors).
So, why nuclear? mungkin itulah pertanyaan yang sering dilontarkan orang,
mengapa kita harus menggunakan nuklir? mengapa tidak yang lain?
Beberapa keunggulan nuklir bila dibandingkan dengan sumber energi lain adalah
sebagai berikut :
• reaksi fisi nuklir secara teoritis menghasilkan energi dengan orde 10 juta
kali energi yang dihasilkan reaksi pembakaran kimiawi[6]
• sebuah pellet bahan bakar uranium standar seukuran kuku jari tangan
(sekitar 1 cm3), akan menghasilkan energi setara dengan pembakaran 600
liter minyak, atau 800 kg batu bara, atau 500 m3 gas[5]
• pembakaran 1 kg batu bara menghasilkan energi 1,6 kWh, minyak dan gas
sekitar 3 -5 kWh, dan uranium 50.000 kWh[7,1]
• capacity factor (persentase daya listrik yang benar-benar dihasilkan
pembangkit listrik relatif terhadap potensi daya listrik yang dapat
dihasilkan) pembangkit listrik gas sebesar 15 – 38%, minyak 29,8%, batu
bara 72,6%, dan nuklir 89,3%[5]
• biaya produksi listrik rata-rata per 2005 adalah 8,09 sen USD/kWh untuk
minyak, 7,51 sen USD/kWh untuk gas, 2,21 sen USD/kWh untuk batu
bara, dan 1,72 sen USD/kWh untuk nuklir[5]. Disamping itu, harga bahan
bakar nuklir jauh lebih stabil dibanding bahan bakar fosil
• Bernard Cohen[8], profesor fisika universitas Pittsburgh, telah menghitung
dan menyatakan bahwa dengan teknologi Fast Breeder Reactor (FBR),
ketersedian energi dari nuklir akan terjamin untuk lima milyar tahun
• reaktor nuklir adalah fasilitas yang memiliki standar keamanan yang
sangat tinggi, selama 60 tahun sejarahnya, dan telah beroperasinya ratusan
reaktor daya dan ratusan unit propulsion reactors, sampai saat ini hanya
pernah terjadi dua kecelakaan yang cukup besar, yaitu kasus Chernobyl di
Ukrainia, dan Three Mile Island di Amerika.
3
• dengan penanganan yang benar, nuklir adalah yang paling ramah
lingkungan dibanding sumber energi lain, nuklir nyaris tidak
menghasilkan polutan atau partikulat apapun ke tanah, air, dan udara. Pada
tahun 2005, reaktor-reaktor nuklir di Amerika Serikat saja telah mencegah
emisi 3,32 juta ton SO2, 1,05 juta ton NOx, dan 681,9 juta metrik ton CO2
ke udara[5]. Dengan kata lain, jika Amerika menggunakan bahan bakar
fosil untuk memproduksi listriknya, maka gas-gas berbahaya diatas akan
diemisikan ke atmosfer Bumi
• selain untuk memproduksi listrik, reaktor nuklir juga dikembangkan untuk
beberapa aplikasi lain, salah satu yang cukup penting adalah penggunaan
High Temperature Gas-Cooled Reactor (HTGR) untuk produksi hidrogen.
Hidrogen ini di masa depan akan menjadi sumber energi Fuel Cell, yang
akan menggantikan penggunaan bahan bakar minyak pada kendaraan
bermotor. Sehingga nuklir akan menjadi sumber energi inti bagi dunia di
masa depan.
Dengan demikian tidak ada alasan lagi untuk menolak teknologi nuklir.
Untunglah pemerintah kita telah menyadari betapa pentingnya untuk segera
mengaplikasikan teknologi nuklir untuk produksi energi listrik.
4
hidrolik teras, yang mencakup perhitungan distribusi kerapatan dan temperatur
coolant, dan penurunan tekanan pada teras; kemudian mekanisme perpindahan
panas antar loop pada steam generator dan condenser, yaitu perpindahan panas
dua fase; dan terakhir adalah analisis termodinamik sistem PLTN, dengan
menggunakan konsep siklus uap Rankine (Rankine Steam Cycle).
Disamping itu, penulisan tesis magister ini juga dalam rangka memenuhi salah
satu syarat kelulusan pada Sekolah Pasca Sarjana (S2), Program Studi Fisika,
FMIPA, ITB.
5
yang digunakan, beserta penjelasannya, yang akan digunakan untuk
melakukan perhitungan.
• Bab III Algoritma dan Teknik Pemrograman, memuat berbagai algoritma
untuk memecahkan persamaan-persamaan matematis-fisika yang
digunakan di dalam perhitungan, dan juga berbagai teknik yang
digunakan dalam pembuatan program komputer.
• Bab IV Hasil Perhitungan dan Analisis, memuat hasil-hasil perhitungan
yang diperoleh, berupa angka-angka, tabel, juga grafik, yang disertai
dengan analisisnya.
• Bab V Kesimpulan dan Saran, memuat beberapa kesimpulan dari
penelitian ini, juga saran untuk pengembangan lebih lanjut.
6
Bab II Tinjauan Pustaka
Reaksi fisi nuklir disebut juga reaksi (n, fission) , dan termasuk reaksi eksoterm
yang menghasilkan energi dalam jumlah yang relatif sangat besar. Reaksi fisi
nuklir pada dasarnya adalah reaksi pembelahan inti atom berat menjadi inti-inti
atom yang lebih ringan, akibat tumbukan oleh neutron.
Persamaan umum dari suatu reaksi fisi nuklir adalah sebagai berikut :
1
0 n+ A1
X
Z1 → Y+
A2
Z2
A3
Z3 Z + neutron + energi (II.1)
7
Beberapa contoh reaksi fisi Uranium 235 adalah sebagai berikut :
1
0 n+ 235
92 U → 140
54 Xe + 94
38 Sr + 2 01 n + 200 MeV (II.2)
1
0 n+ 235
92 U → 140
55 Cs + 93
37 Rb + 301 n + 200 MeV (II.3)
1
0 n+ 235
92 U → Ba +
141
56
92
36 Kr + 301 n + 200 MeV (II.4)
Pada reaktor nuklir, partikel neutron yang dihasilkan pada reaksi fisi digunakan
kembali untuk memicu reaksi fisi yang baru, sehingga reaksi fisi dapat
berlangsung secara terus-menerus tetapi terkendali, atau biasa disebut sebagai
reaksi fisi berantai terkendali, gambar berikut ini adalah contohnya :
8
Parameter yang digunakan untuk memantau populasi neutron di dalam teras
reaktor adalah besaran yang disebut faktor multiplikasi neutron :
N (t = t i )
k=
N (t = t i −1 ) (II.5)
k = faktor multiplikasi
N(t = ti) = polulasi neutron pada suatu generasi
N(t = ti-1) = populasi neutron pada generasi sebelumnya
Berdasarkan nilai faktor multiplikasi, terdapat 3 jenis keadaan teras reaktor, yaitu :
a. k>1
disebut keadaan superkritis, dimana polulasi neutron terus bertambah
b. k=1
disebut keadaan kritis, dimana populasi neutron tidak berubah (konstan)
c. k<1
disebut keadaan subkritis, dimana populasi neutron terus berkurang
9
Jadi faktor multiplikasi menggambarkan tingkat kestabilan reaksi fisi berantai di
dalam teras reaktor, dimana keadaan stabil tercapai bila nilai k = 1.
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penelitian dan penulisan thesis ini
terutama hanya akan membahas reaktor nuklir jenis PWR.
Sebuah reaktor nuklir PWR memiliki beberapa modul utama, diantaranya adalah :
• Teras reaktor (Reactor Core)
• Sistem pendingin (Coolant, Cooling Tower)
• Beberapa pompa (Coolant Pumps)
• Penekan (Pressurizer)
• Pembangkit uap (Steam Generator)
• Turbin uap (Steam Turbine)
• Generator listrik (Turbo Generator)
• Kondensor (Condenser)
• Dan komponen pendukung lainnya yang sangat banyak jumlahnya.
10
Sebuah sistem PWR (Gambar II.4) memiliki dua loop (sistem aliran coolant)
utama. Loop pertama/primer terhubung dengan teras reaktor, dan berfungsi
membawa energi termal yang dihasilkan di dalam teras reaktor. Coolant pada loop
primer ini berupa air biasa (H2O) dan diberi tekanan yang sangat tinggi, mencapai
sekitar 150 atm, untuk menjaga agar coolant tidak mendidih, sehingga yang terjadi
adalah aliran coolant fase tunggal, yaitu fase cair (liquid phase). Loop
kedua/sekunder terhubung dengan steam generator, turbin, dan kondensor.
Coolant pada loop ini juga air biasa, tetapi tekanan pada loop ini tidak setinggi
tekanan loop primer, dengan demikian dapat terjadi pendidihan coolant, sehingga
yang terjadi adalah aliran coolant dua fase, yaitu fase cair dan uap (liquid-vapor
phase). Perpindahan panas dari loop primer ke loop sekunder terjadi di modul
steam generator, disinilah coolant pada loop sekunder berubah fase dari cair
menjadi uap. Selanjutnya uap tersebut disalurkan ke turbin yang terhubung
dengan generator listrik, generator inilah yang menghasilkan energi listrik. Setelah
keluar dari turbin, coolant akan berupa campuran fase cair dan uap (vapor-liquid
mixture), akibat penurunan enthalpi coolant karena proses konversi menjadi
energi kinetik oleh turbin, padahal sebelum kembali ke steam generator, coolant
tersebut harus berupa fase cair. Maka terlebih dahulu coolant harus memasuki
modul kondensor, disinilah coolant berubah fase menjadi cair seluruhnya. Loop
pendingin kondensor dapat terhubung ke sungai atau laut (open-pool system),
ataupun ke menara pendingin atau cooling tower (closed system).
11
K
N (r , E , t ) ≡ fungsi kerapatan neutron (II.6)
vΣ ≡ frekuensi interaksi, v = kecepatan neutron (II.7)
K K
F (r , E , t ) = vΣ N (r , E , t ) ≡ kerapatan laju reaksi (II.8)
K K
φ (r , E , t ) = vN (r , E , t ) ≡ fluks neutron (#/cm2.s) (II.9)
K ˆ φ (rK, E , t ) ≡ rapat arus neutron, Ω̂ = arah gerak neutron
J (r , E , t ) = Ω (II.10)
K
n (r , E , Ω
ˆ , t ) ≡ fungsi kerapatan angular neutron (II.11)
K ˆ , t ) = νΣ n (rK , E , Ω
f (r , E , Ω ˆ , t ) ≡ kerapatan laju reaksi angular (II.12)
K K
ϕ (r , E , Ω
ˆ , t ) = v n (r , E , Ω
ˆ , t ) ≡ fluks angular neutron (#/cm2.s) (II.13)
K ˆ ϕ (rK , E , Ω
j (r , E , Ω
ˆ , t) = Ω ˆ , t ) ≡ rapat arus angular neutron (II.14)
∂ ⎡ K ˆ , t ) d 3 r ⎤⎥ dE dΩ
ˆ = ⎡⎢ ∂ n d 3 r ⎤⎥ dE dΩ
⎢ ∫ n (r , E , Ω ∫ ˆ (II.16)
∂t ⎣V ⎦ ⎣V ∂ t ⎦
Laju perubahan jumlah neutron dalam volume V pada dasarnya adalah besarnya
penambahan neutron dikurangi oleh besarnya kehilangan neutron dalam volume
tersebut.
12
c. Neutron di dalam volume V mengalami reaksi hamburan (scattering),
sehingga berpindah keadaan dari ( E ' , Ω
ˆ ' ) ke ( E , Ω̂ )
Maka integral permukaan (II.19) dapat ditulis dalam bentuk integral volume :
⎡ K ˆ K ˆ , t )⎤⎥ dE dΩ
ˆ = ⎡⎢ d 3 r ∇ ⋅ v Ω n (r , E , Ω, t )⎤⎥ dE dΩ
K K K
⎢ ∫ dS ⋅ v Ω n (r , E , Ω ∫ ˆ (II.21)
⎣S ⎦ ⎣V ⎦
⎡ K
ˆ , t )⎤⎥ dE dΩ
ˆ ⋅ ∇ n (rK, E , Ω
d − b = ⎢∫ d 3 r v Ω ˆ (II.22)
⎣V ⎦
13
⎡ ∞
ˆ ' , t )⎤⎥ dE dΩ
ˆ ' → Ω) n (rK, E ' , Ω
c = ⎢∫ d 3 r ∫4π ∫0
dΩˆ ' dE ' v' Σ ( E ' → E , Ω
s
ˆ (II.23)
⎣V ⎦
⎡ K K ˆ , t ) d 3 r ⎤⎥ dE dΩ
e = ⎢ ∫ vΣ t (r , E ) n (r , E , Ω ˆ (II.24)
⎣V ⎦
⎡ ∂n 3 ⎤
⎢∫ d r ⎥ dE dΩ
ˆ = a+b+c–d–e (II.25)
⎣V ∂ t ⎦
3 ⎡∂ n
K
ˆ ⋅ ∇n + vΣ n (rK, E , Ω
∫V ⎢⎣ ∂ t
d r + v Ω t
ˆ , t) (II.26)
ˆ , t )⎤⎥ dE dΩ
∞
− ∫ dE ' ∫ dΩ
ˆ v' Σ ( E ' → E , Ω ˆ ' ) n (rK, E ' , Ω
ˆ' →Ω ˆ ' , t ) − s (rK, E , Ω ˆ =0
s
0 4π ⎦
Volume V dipilih secara sembarang, maka agar persamaan integral volume (II.26)
selalu terpenuhi, integran dalam persamaan tersebut harus bernilai nol, yaitu :
K K
∫d r f (r ) = 0 ⇒ f (r ) = 0
3
(II.27)
any V
∞
= ∫ dΩ ˆ ' ) n (rK , E ' , Ω
ˆ ' , t ) + s (rK, E , Ω
4π
∫
ˆ ' dE ' v' Σ ( E ' → E , Ω
0
s
ˆ' →Ω ˆ , t)
14
1 ∂ϕ ˆ K K K
+ Ω ⋅ ∇ϕ + Σ t ( r , E ) ϕ ( r , E , Ω
ˆ , t) (II.29)
v ∂t
∞
= ∫ dΩ ˆ ' ) ϕ (rK, E ' , Ω
ˆ ' , t ) + s (rK, E , Ω
4π
∫
ˆ ' dE ' Σ ( E ' → E , Ω
0
s
ˆ' →Ω ˆ , t)
K ˆ ,0) = ϕ (rK, E , Ω
Syarat awal : ϕ (r , E , Ω 0
ˆ) (II.30)
K
Syarat batas : ϕ (rs , E , Ω
ˆ , t) = 0 ,
Dari sudut pandang engineering, untuk keperluan perhitungan dan analisis teras
reaktor, rincian lengkap mengenai kebergantungan fungsi keadaan neutron
terhadap sudut Ω̂ sebenarnya tidak terlalu signifikan, karenanya pertama-tama
kita akan menghilangkan kebergantungan terhadap sudut Ω̂ tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengintegralkan setiap suku pada persamaan
transport neutron (II.29) terhadap seluruh sudut Ω̂ , dan hasilnya adalah sebagai
berikut :
1 ∂φ K K K K K
+ ∇ ⋅ J (r , E , t ) + Σ t (r , E ) φ (r , E , t ) (II.32)
v ∂t
∞
K K
= ∫ dE ' Σ s ( E ' → E ) φ (r , E ' , t ) + S (r , E , t )
0
15
K K K
∇ ⋅ J (r , E , t ) = ∫ dΩ
ˆΩˆ ⋅ ∇ϕ (rK, E , Ω
ˆ , t) (II.33)
4π
1 ∂φ K K K K K K
+ ∇ ⋅ J (r , t ) + Σ a (r ) φ (r , t ) = S (r , t ) (II.36)
v ∂t
Agar persamaan (II.36) diatas dapat dipecahkan, maka kita harus mencari
K K K
hubungan antara J (r , t ) dengan φ (r , t ) .
K
1∂J 1 K K K K K K K
+ ∇ ⋅ φ (r , t ) + Σ tr (r ) J (r , t ) = S1 (r , t ) (II.37)
v ∂t 3
K K K
Σ t (r ) − μ Σ s (r ) = Σ tr (r ) ≡ cross sec tion transport makroskopik (II.38)
Suku kedua pada persamaan (II.37) diatas diperoleh dengan metode ekspansi
fungsi fluks angular terhadap variabel Ω̂ , kemudian menggunakan aproksimasi
suku linier.
K 1 K 3 K K
ϕ (r , Ω
ˆ , t) ≅ φ (r , t ) + J (r , t ) ⋅ Ω
ˆ (II.39)
4π 4π
16
K
Kemudian dengan cara “mengurai” J dan Ω̂ ke vector base –nya, dan
menggunakan prinsip simetri, maka akan diperoleh hasil berikut :
K K K ⎤ 1K K
∇ ⋅ ∫ dΩ ˆ ϕ (rK , Ω ˆ ⎡ 1 φ + 3 J ⋅Ω
4π
ˆ Ω
ˆΩ
∫
ˆ , t ) ≅ ∇ ⋅ dΩ
4π
ˆ Ω
ˆΩ
⎢⎣ 4π 4π
ˆ = ∇ φ (r , t )
⎥⎦ 3 (II.40)
Dengan kedua hasil diatas, maka persamaan (II.37) dapat ditulis dalam bentuk
berikut :
1K K K K K
∇ ⋅ φ (r , t ) + Σ tr (r ) J (r , t ) = 0 (II.43)
3
K
K K ⎛ 1 ⎞K K ⎛ λtr (r ) ⎞ K K
J (r , t ) = − ⎜⎜ K ⎟ ⎟ ∇ φ ( r , t ) = − ⎜ ⎟ ∇φ ( r , t ) (II.44)
⎝ 3 Σ tr (r ) ⎠ ⎝ 3 ⎠
K 1
λtr (r ) = K ≡ transport mean free path (II.45)
Σ tr (r )
17
K
Sekarang akan didefinisikan koefisien difusi neutron D (r ) , yaitu :
K
K 1 λtr (r )
D (r ) = K = (II.46)
3 Σ tr (r ) 3
K K K K K
J ( r , t ) = − D ( r ) ∇φ ( r , t ) (II.47)
1 ∂φ K K K K K K K
− ∇ ⋅ D ( r ) ∇φ ( r , t ) + Σ a ( r ) φ ( r , t ) = S ( r , t ) (II.48)
v ∂t
Persamaan (II.48) adalah one equation with one unknown, sehingga solusi untuk
K
fluks neutron φ (r ) tentu dapat dicari.
18
Penurunan persamaan difusi satu grup dilakukan berdasarkan dua asumsi yang
sangat penting :
1. diasumsikan bahwa fluks angular tidak terlalu dipengaruhi variabel
sudut, sehingga efek transport tidak terlalu berperan dan aproksimasi
difusi berlaku valid.
2. diasumsikan bahwa seluruh neutron di dalam teras reaktor memiliki
energi yang sama (satu kecepatan/grup).
Asumsi pertama diatas biasanya memiliki validitas yang baik untuk kasus teras
reaktor yang cukup besar, dengan pengecualian khusus (karena efek transport
yang kuat) di daerah perbatasan, pusat sumber neutron, dan material absorber.
Asumsi yang kedua diatas merupakan kelemahan utama model difusi satu grup,
karena neutron-neutron di dalam teras reaktor sebenarnya terdistribusi pada
spektrum energi yang sangat lebar, yaitu dari sekitar 0.01 eV sampai sekitar 10
MeV, suatu rentang energi dengan lebar 8 orde. Selain itu, nilai cross section
reaksi nuklir juga sangat dipengaruhi oleh energi neutron yang datang. Karena
hal-hal tersebut diatas, maka diperlukan teknik penanganan yang lebih realistis
agar bisa dilakukan analisis neutronik yang lebih akurat.
19
⎡ laju perubahan ⎤ ⎡ kebocoran ⎤ ⎡ absorpsi ⎤ ⎡ neutron muncul ⎤ ⎡ neutron ⎤ ⎡ neutron ⎤
⎢ jumlah ⎥ ⎢ neutron ⎥ ⎢ neutron ⎥ ⎢ dari sumber ⎥ ⎢ terhambur ⎥ ⎢ terhambur ⎥
⎢ ⎥=-⎢ ⎥-⎢ ⎥+⎢ ⎥-⎢ ⎥+⎢ ⎥
⎢ neutron ⎥ ⎢ dari sistem ⎥ ⎢ di grup g ⎥ ⎢ neutron ⎥ ⎢ keluar dari ⎥ ⎢ masuk ke ⎥
⎢ di grup g ⎥ ⎢ (leakage) ⎥ ⎢ ⎥ ⎢di grup g ⎥ ⎢ grup g ⎥ ⎢ grup g ⎥
⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦
Berdasarkan persamaan diatas, maka terdapat dua faktor yang menambah jumlah
neutron dalam suatu grup :
1. neutron muncul dalam grup g dari sumber neutron, sumber neutron ini
terutama adalah reaksi fisi nuklir.
2. neutron dengan sembarang energi mengalami reaksi hamburan nuklir
(scattering), sehingga energinya berubah dan termasuk dalam interval
energi grup g.
Dan terdapat 3 faktor yang mengurangi jumlah neutron dalam suatu grup :
1. kebocoran neutron, yaitu neutron keluar dari teras reaktor.
2. absorpsi, yaitu neutron diserap oleh material di dalam teras reaktor
3. neutron dalam grup g mengalami reaksi hamburan nuklir (scattering),
sehingga energinya berubah dan keluar dari interval energi grup g.
20
Pada persamaan (II.49) diatas, didefinisikan besaran cross section baru, yaitu
group-transfer cross section : Σ sg ' g dan Σ sgg ' . Cross section ini menggambarkan
Bila persamaan (II.49) disusun ulang, maka akan berbentuk seperti berikut :
K
1 ∂φg (r , t ) G K G K K K
− ∇ ⋅ Dg (r )∇φg (r , t ) + Σtg (r )φg (r , t ) =
vg ∂t
(II.52)
G
K K χg G K K
∑g '=1
Σ sg ' g (r )φg ' (r , t ) + ∑ vg 'Σ fg ' (r )φg ' (r , t )
keff g '=1
K K
q' ' ' ( r ) = E f Σ f φ ( r ) (II.53)
K
q' ' ' ( r ) ≡ kerapatan daya volumetrik ( Watt / cm3 )
E f ≡ energi yang dilepaskan pada satu reaksi fisi ( Joule )
21
Dan daya termal total teras reaktor adalah :
MWt = qaverage
'''
Vcore (II.54)
Teras reaktor pada umumnya berbentuk silinder, karena bila ditinjau dari faktor
kebocoran neutron (neutron leakage) dan aliran coolant (coolant flow), maka
geometri silinder adalah yang paling optimal dan reliable[9].
Rcore H
2
H
−
2
22
berbagai sensor, dan lain sebagainya. Fuel rod berbentuk menyerupai tongkat
silinder dengan diameter yang biasanya kurang dari 1 cm, dan berikut ini adalah
salah satu contoh gambar penampang lintangnya :
fuel pellet
gap
clad
coolant
Terlihat pada gambar II.7 diatas, suatu fuel rod terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. fuel pellet, yang merupakan bahan bakar reaktor
2. gap, celah antara fuel pellet dan clad, biasanya diisi dengan gas inert
3. clad, selubung logam, biasanya terbuat dari zirconium alloy
Fuel rods pada fuel assembly di dalam teras reaktor dapat disusun dalam 2 jenis
formasi[9], yaitu formasi segi empat (rectangular lattice geometry) dan formasi
segi tiga (triangular lattice geometry). Formasi segi empat biasanya digunakan
pada reaktor jenis Light Water Reactor (LWR) termal, sedangkan formasi segitiga
digunakan pada reaktor jenis Fast Breeder Reactor (FBR). Untuk perhitungan
homogenisasi sel (dikerjakan menggunakan SRAC), formasi segi empat
menggunakan model square cell, sedangkan formasi segi tiga menggunakan
model hexagonal cell.
23
Coolant di dalam teras reaktor mengalir melalui coolant channel, yaitu celah-
celah diantara susunan fuel rods.
Fuel Rod
Coolant Channel
p ≡ pitch
d F ≡ fuel diameter
Fuel Rod
p ≡ pitch
Coolant Channel
d F ≡ fuel diameter
Terlihat pada gambar II.8 dan II.9 diatas, bahwa area penampang lintang coolant
channel tidak berbentuk lingkaran, sedangkan untuk keperluan analisis termal
24
hidrolik, akan lebih mudah bila coolant channel berbentuk pipa silinder. Hal ini
dapat diatasi dengan mendefinisikan diameter hidrolik ekuivalen D h .
⎡4 ⎛ p ⎞
2
⎤
Dh = d F ⎢ ⎜⎜ ⎟⎟ − 1⎥ (II.56)
⎢⎣ π ⎝ d F ⎠ ⎥⎦
⎡2 3 ⎛ p ⎞
2
⎤
Dh = d F ⎢ ⎜⎜ ⎟⎟ − 1⎥ (II.57)
⎢⎣ π ⎝ d F ⎠ ⎥⎦
Dengan menggunakan konsep diameter hidrolik ekuivalen diatas, maka kita dapat
melakukan perhitungan termal hidrolik, dengan menganggap coolant mengalir
didalam suatu pipa silinder.
Penurunan persamaan konduktivitas termal tidak akan dibahas disini, tetapi kita
akan langsung menuliskan hasilnya, yaitu :
q ' = 2 π rF q FUEL
' ''
(II.58)
q'
ΔTFUEL = (II.59)
4π k F
25
q'
ΔTGAP = (II.60)
2 π rF hG
q' t C
ΔTCLAD = (II.61)
2 π rF k C
q'
ΔTCOOL = (II.62)
hS 2 π (rF + t C )
q' ⎡ rF 1 t rF ⎤
ΔTTOTAL ≡ TCL − TFL = ⎢ + + C + ⎥ (II.63)
2 π rF ⎣ 2 k F hG k C hS (rF + t C ) ⎦
• t C ≡ ketebalan clad
26
H
z=
2 fuel rod
coolant flow
coolant channel
H
z=−
2
Hubungan laju aliran massa coolant dengan diameter hidrolik ekuivalen adalah
sebagai berikut :
K K K K
m = Achannel ρ (r )v(r ) = (π rH2 ) ρ (r )v(r ) (II.66)
27
m = mass flow (gr/sec), konstan sepanjang channel
Achannel = area penampang lintang coolant channel (cm 2 )
v = flow rate (cm/sec)
rH = radius hidrolik ekuivalen (0.5D H )
Pada PWR, dimana terjadi aliran coolant satu fase, kenaikan temperatur coolant di
dalam teras reaktor tidak boleh melebihi temperatur saturasi, agar coolant tidak
mendidih (boiling). Sedangkan pada BWR, dimana terjadi aliran coolant dua fase,
kenaikan temperatur justru harus melebihi temperatur saturasi, agar terjadi fase
uap coolant pada teras reaktor.
ρ (T ) = ρ0 [1 − α (T − T0 )] (II.67)
28
3. friksi pada jalur masuk dan keluar coolant di teras reaktor, yaitu efek
kontraksi dan ekspansi coolant (inlet-exit factor).
4. elevasi atau ketinggian, yaitu pengaruh gravitasi (elevation factor).
Pada umumnya, aliran coolant di dalam teras reaktor (terutama jenis PWR)
bersifat turbulen[9], oleh karena itu faktor friksi fanning diatas biasanya dihitung
dengan persamaan empiris yang dikenal sebagai Blasius Formula[9] :
K K K
ΔP form (r ) = ΔP grids (r ) + ΔP inlet + exit (r )
K K
form K K n ρ ( r )v 2 ( r ) (II.70)
ΔP (r ) = ∑
n 2
K n = form friction factor
29
Nilai Kn didapat dari hasil eksperimen, dan nilainya berbeda-beda untuk masing-
masing disain struktrur geometri.
Dengan demikian, maka penurunan tekanan total adalah jumlah dari penurunan
tekanan karena masing-masing faktor diatas, yaitu :
Energi termal tersebut disalurkan ke turbin melalui beberapa sistem aliran (loop)
fluida, sehingga sangat penting untuk dibahas mengenai mekanisme penukar
panas melalui aliran fluida tersebut.
30
Gambar II.11 Diagram skematik transfer panas pada geometri silinder
Perhatikan gambar (II.11) diatas, tabung dengan panjang L, radius dalam r1 dan
radius luar r2, terbuat dari material homogen dengan konduktivitas termal λ .
Fluida yang lebih panas dengan temperatur tf1 dan koefisien transfer panas α1
mengalir di dalam tabung,, dan fluida yang lebih dingin dengan temperatur tf2 dan
koefisien transfer panas α 2 di luar tabung; temperatur dinding dalam tabung
Pada keadaan tunak (steady state), jumlah panas yang berpindah dari fluida panas
ke dinding dalam tabung, kemudian konduksi pada dinding tabung, dan
selanjutnya perpindahan panas dari dinding luar tabung ke fluida dingin, adalah
bernilai sama[10], yaitu :
2πλ (tw1 − tw 2 )
konduksi pada dinding : qL = (II.74)
ln(d 2 / d1 )
31
Dengan demikian, selisih temperatur dapat dihitung sebagai berikut :
qL 1
t f 1 − t w1 = (II.76)
π α1d1
qL 1 d
tw1 − tw 2 = ln 2 (II.77)
π 2λ d1
qL 1
tw 2 − t f 2 = (II.78)
π α 2d2
Maka, selisih temperatur fluida panas dengan fluida dingin dapat dihitung dengan
menggabungkan ketiga persamaan diatas :
qL ⎛ 1 1 d 1 ⎞
tf1 −tf 2 = ⎜ + ln 2 + ⎟ (II.79)
π ⎝ α1d1 2λ d1 α 2 d 2 ⎠
qL 1
tf1 −tf 2 = (II.80)
π kL
−1
⎛ 1 1 d 1 ⎞
kL = ⎜ + ln 2 + ⎟ (II.81)
⎝ α1d1 2λ d1 α 2 d 2 ⎠
k L = linear over-all heat transfer coefficient (J / s.C.cm)
Dengan menggunakan kL, laju perpindahan panas linier dapat dihitung sebagai
berikut :
qL = k Lπ (t f 1 − t f 2 ) (II.82)
Mekanisme perpindahan panas aliran fluida melalui tabung silinder, seperti telah
dijelaskan diatas, secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis[11] :
1. fluida panas dan fluida dingin mengalir sejajar dalam arah yang sama
(parallel flow)
2. fluida panas dan fluida dingin mengalir sejajar dalam arah yang
berlawanan (counter flow)
32
II.6.2 Sistem parallel flow
T1 '− T1 '' δ T1 W2
= = (II.86)
T2 ''− T2 ' δ T2 W1
33
Nilai water equivalent dari suatu fluida menggambarkan kuantitas air yang
kapasitas panasnya sama dengan fluks panas dari fluida yang ditinjau.
Salah satu hal yang menjadi perhatian pada analisis sistem penukar panas adalah
selisih temperatur rata-rata antara fluida panas dengan fluida dingin.
Tinjau sebuah sistem penukar panas parallel flow (Gambar II.13), laju
perpindahan panas melalui elemen permukaan dF adalah :
dQ = k (T1 − T2 ) x dF (II.87)
dQ
dT1 = − (II.89)
W1
dQ
dT2 = (II.90)
W2
34
Dengan mensubstitusikan persamaan (II.87) ke persamaan (II.92) maka akan
didapat :
d (T1 − T2 ) = −mk (T1 − T2 ) x dF (II.93)
d (T1 − T2 ) d (ΔT )
= = −mk dF (II.94)
(T1 − T2 ) x ΔTx
ΔTx
ln = − mkF ⇔ ΔTx = ΔT ' e − mkF (II.96)
ΔT '
persamaan berikut :
35
Selanjutnya, selisih temperatur inlet dengan outlet dari masing-masing fluida
dihitung sebagai berikut :
Pada ujung permukaan F, persamaan (II.96) akan berbentuk :
⎛ 1 1 ⎞
− mkF T ''− T2 '' −⎜ + ⎟ kF
ΔT '' = ΔT ' e ⇔ 1 =e ⎝ 1 2⎠
W W
(II.100)
T1 '− T2 '
⎛ 1 1 ⎞
T ''− T2 '' −⎜ + ⎟ kF
1− 1 = 1 − e ⎝ W1 W2 ⎠ (II.101)
T1 '− T2 '
⎡ ⎛ 1 1 ⎞
−⎜ + ⎟ kF ⎤
(T1 '− T1 '') + (T2 ''− T2 ') = (T1 '− T2 ') ⎢1 − e ⎝ W1 W2 ⎠ ⎥ (II.102)
⎢ ⎥
⎣ ⎦
⎡ ⎛ W ⎞ kF
−⎜1+ 1 ⎟
⎤
⎢1 − e ⎝ W2 ⎠ W1 ⎥
δ T1 = T1 '− T1 '' = (T1 '− T2 ') ⎢ ⎥ (II.103)
⎢ 1 + W1 ⎥
⎢⎣ W2 ⎥⎦
⎡ ⎛ W ⎞ kF
−⎜1+ 1 ⎟
⎤
⎢1 − e ⎝ W2 ⎠ W1 ⎥
C parallel =⎢ ⎥ (II.104)
⎢ 1 + W1 ⎥
⎢⎣ W2 ⎥⎦
Dengan menggunakan persamaan (II.86), selisih temperatur inlet dan outlet pada
fluida dingin ( δ T2 ) dapat dihitung, dan hasilnya adalah sebagai berikut :
W1 W
δ T2 = δ T1 = 1 ⎡⎣(T1 '− T2 ')C parallel ⎤⎦ (II.106)
W2 W2
36
Persamaan (II.105), (II.106), dan (II.108) juga dapat digunakan untuk menghitung
temperatur masing-masing fluida dan laju perpindahan panas pada titik sembarang
di sepanjang channel aliran, yaitu dengan cara mengganti nilai permukaan F
dengan elemen permukaan dFx.
Persamaan selisih temperatur rata-rata untuk sistem counter flow dapat diturunkan
dengan cara yang sama dengan sistem parallel flow, hanya saja W1 dan W2
memiliki arah yang berlawanan, yaitu :
1 1
m= − (II.109)
W1 W2
⎡ ⎛ W ⎞ kF
⎤
⎢ −⎜1− 1 ⎟ ⎥
⎢ 1− e ⎝ 2 ⎠ 1 ⎥
W W
δ T1 = T1 '− T1 '' = (T1 '− T2 ') ⎢ ⎛ W ⎞ kF ⎥ (II.111)
− 1− 1
⎢1 − W1 e ⎜⎝ W2 ⎟⎠ W1 ⎥
⎢⎣ W2 ⎥⎦
37
⎡ ⎛ W ⎞ kF
⎤
⎢ −⎜1− 1 ⎟ ⎥
⎢ 1− e ⎝ 2 ⎠ 1 ⎥
W W
Ccounter =⎢ ⎛ W ⎞ kF ⎥ (II.112)
− 1− 1
⎢1 − W1 e ⎜⎝ W2 ⎟⎠ W1 ⎥
⎢⎣ W2 ⎥⎦
W1 W
δ T2 = δ T1 = 1 [ (T1 '− T2 ')Ccounter ] (II.114)
W2 W2
Untuk kasus dimana water equivalent dari kedua fluida bernilai sama,
W1 = W2 = W , maka persamaan (II.113), (II.114), dan (II.115) berbentuk :
1
δ T1 = (T1 '− T2 ') (II.115a)
W
1+
kF
1
δ T2 = (T1 '− T2 ') (II.115b)
W
1+
kF
W
Qcounter = (T1 '− T2 ') (II.115c)
W
1+
kF
38
Gambar II.15 Aliran fluida dua fase
Gambar (II.15) diatas adalah ilustrasi mekanisme perubahan fase fluida pada loop
sekunder, ketika melalui flow channel. Secara garis besar, keadaan aliran fluida
pada boiler/steam generator dapat dibagi menjadi tiga jenis :
a. aliran cairan fase tunggal (single phase liquid)
b. aliran campuran dua fase (liquid-vapor mixture)
c. aliran gas/uap fase tunggal (single phase vapor)
Temperatur fluida yang sedang berubah fase (mendidih) bernilai konstan, dengan
demikian water equivalent dari fluida tersebut bernilai sangat besar, sehingga
persamaan-persamaan parallel flow dan counter flow menjadi identik.
Temperatur outlet masing-masing fluida pada keadaan diatas, dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut :
W2 = ∞, T2 '' = T2 ' = T2 (II.116)
kF
−
T1 '' = T2 + (T1 '− T2 )e W1
(II.117)
39
Dan laju perpindahan panas dihitung menggunakan persamaan berikut :
⎡ −
kF
⎤
Qliquid →vapor = W1 (T1 '− T2 ) ⎢1 − e ⎥W1
(II.118)
⎣⎢ ⎦⎥
Nilai flow quality pada sembarang titik di dalam channel aliran dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut :
z
1
χ ( z) =
wh fg ∫ q '( z ')dz '
z0
(II.120)
Dengan demikian, nilai flow quality pada keadaan (a) adalah 0%, pada keadaan
(b) antara 0% sampai 100%, dan pada keadaan (c) bernilai 100%.
40
kF
−
T2 '' = T1 − (T1 − T2 ')e W2
(II.122)
Sedangkan persamaan untuk menghitung flow quality, sama dengan pada kasus
steam generator diatas.
Turbine
Boiler wturb , out
3
2
w pump , in qin 4
q out
Pump
1
Condenser
41
T
3
qin wturb , out
2
q out
w pump , in 1 4
s
Gambar II.17 Diagram T-s Siklus Rankine
Terlihat pada gambar II.16 dan II.17 diatas, terdapat 4 proses pada model siklus
Rankine, yaitu :
1. 1 → 2 , kompresi secara isentropik (entropi konstan) pada pompa
2. 2 → 3 , pemasukan kalor secara isobarik pada boiler
3. 3 → 4 , ekspansi secara isentropik pada turbin
4. 4 → 1 , pembuangan kalor secara isobarik pada kondenser
Keempat komponen dasar pada siklus Rankine (pompa, boiler, turbin, dan
kondenser) adalah jenis peralatan aliran tunak (steady-flow devices), sehingga
untuk melakukan analisis kuantitatif kita akan menggunakan persamaan energi
aliran tunak (steady-flow energy equation) sebagai berikut :
q − w = he − hi (II.124)
Keterangan :
• q = energi termal
• w = kerja
• he = enthalpy exit
• hi = enthalpy inlet
42
Boiler dan kondenser tidak terlibat dengan kerja apapun (w = 0), sedangkan
pompa dan turbin diasumsikan isentropik (q = 0), sehingga :
h1 = h f @ P1 dan v ≅ v1 = v f @ P1 (II.126)
w pump ,in
backwork ratio ≡ rbw = (II.132)
wturb ,out
MWt
mass flow ≡ m = (II.133)
qin
Nilai qout tidak pernah sama dengan nol, karena tidak ada turbin yang mampu
menyerap seluruh energi fluida kerja (uap) yang melaluinya. Maka sisa energi
termal yang tidak terserap oleh turbin akan dibuang ke lingkungan melalui
kondenser. Karena itu efisiensi siklus Rankine selalu dibawah 100%.
43
Bab III Algoritma dan Teknik Pemrograman
III.1 Pendahuluan
Metode atau teknik pemecahan persamaan matematis terbagi menjadi dua
golongan besar, yaitu metode analitik dan numerik. Solusi yang dihasilkan dengan
metode analitik adalah solusi yang sesungguhnya, sebenarnya, dan juga eksak
(exact), sedangkan solusi numerik adalah aproksimasi atau pendekatan dari solusi
sebenarnya, dengan orde error tertentu. Beberapa persamaan matematis pada
persoalan-persoalan fisika pada kenyatannya relatif sangat sulit untuk dipecahkan
secara analitik, karena itulah dikembangkan metode numerik untuk mencari
solusinya.
Metode numerik yang pertama-tama akan dibahas disini adalah teknik pemecahan
persamaan diferensial dengan menggunakan aproksimasi untuk fungsi turunan
pertama dan turunan kedua, karena sebagaimana telah diketahui, sebagian besar
persamaan-persamaan dalam fisika adalah berupa persamaan diferensial.
Bila terdapat suatu fungsi sembarang f (x) yang akan dicari turunannya, yaitu
f ' ( x) dan f ' ' ( x) , maka pertama-tama kita akan menuliskan ekspansi deret
Taylor untuk f ( x + h) dan f ( x − h) sebagai berikut :
h2 h3 h 4 iv
f ( x + h) = f ( x ) + h f ' ( x ) + f ' ' ( x) + f ' ' ' ( x) + f ( x) + … (III.1)
2! 3! 4!
h2 h3 h 4 iv
f ( x − h) = f ( x ) − h f ' ( x ) + f ' ' ( x) − f ' ' ' ( x) + f ( x) + … (III.2)
2! 3! 4!
44
Persamaan (III.3) diatas bukanlah aproksimasi, tetapi ekspresi eksak dalam bentuk
deret Taylor dari turunan pertama. Bila kita mengabaikan semua suku selain suku
pertama, maka kita akan memperoleh persamaan berikut :
d f ( x + h) − f ( x − h)
f ' ( x) ≡ f ( x) ≅ (III.4)
dx 2h
f ( x + h) − 2 f ( x) + f ( x − h) h 2 iv h 4 vi
f ' ' ( x) = − f ( x ) − f ( x) + … (III.5)
h2 12 360
Persamaan (III.5) diatas bukanlah aproksimasi, tetapi ekspresi eksak dalam bentuk
deret Taylor dari turunan kedua. Bila kita mengabaikan semua suku selain suku
pertama, maka kita akan memperoleh persamaan berikut :
d2 f ( x + h) − 2 f ( x ) + f ( x − h)
f ' ' ( x) ≡ 2
f ( x) ≅ (III.6)
dx h2
Persamaan (III.6) diatas adalah aproksimasi numerik untuk fungsi turunan kedua,
dan suku lain yang diabaikan dianggap sebagai suku error. Persamaan (III.4) dan
(III.6) diatas dikenal sebagai aproksimasi beda hingga[12] (finite difference).
45
multigrup. Setelah distribusi fluks neutron diketahui, maka besaran-
besaran lain seperti distribusi kerapatan daya dan suku sumber juga dapat
dihitung. Proses ini dikenal sebagai iterasi dalam (inner iteration).
2. Proses kedua adalah perhitungan kritikalitas teras reaktor, yaitu
perhitungan nilai faktor multiplikasi teras. Perhitungan ini dilakukan
dengan menggunakan beberapa persamaan neutronik. Proses ini dikenal
sebagai iterasi luar (outer iteration).
1 ∂φg (r , t )
− ∇ ⋅ Dg (r )∇φg (r , t ) + Σtg (r )φg (r , t ) =
vg ∂t
(II.52)
G χg G
∑Σ
g '=1
sg ' g (r )φg ' (r , t ) +
keff
∑v
g '=1
g' Σ fg ' (r )φg ' (r , t )
Bila kita meninjau teras pada keadaan tunak (steady state), maka variabel waktu
dapat diabaikan, dan dengan definisi bahwa material pada setiap region teras
adalah homogen, maka persamaan (II.52) akan berbentuk :
G χg
− Dg (r )∇ 2φg (r ) + Σtg (r )φg (r ) = ∑ Σ sg ' g (r )φg ' (r ) + S (r ) (III.7)
g '=1 keff
G
S (r ) = ∑ vg 'Σ fg ' g (r )φg ' (r ) (III.8)
g '=1
Persamaan (III.7) diatas memiliki syarat batas φg (rS ) = S (rS ) = 0 , yaitu fluks dan
Teras reaktor yang ditinjau memiliki geometri silinder dua dimensi R-Z, dimana
geometri ini selanjutnya dibuat menjadi diskrit dengan cara dibagi menjadi
beberapa partisi radial Δr dan aksial Δz . Dengan demikian, nilai fluks yang
46
didapatkan nanti tidaklah kontinyu di setiap bagian teras, melainkan berupa
distribusi diskrit di titik-titik tertentu.
Δz
Δr
Fluks tidaklah bergantung pada sudut azimut, maka dengan menggunakan prinsip
simetri, persamaan (III.10) menjadi lebih sederhana :
∂2 1 ∂ ∂2
∇2 = + + (III.11)
∂ r2 r ∂ r ∂ z2
+ + − =
∂ r2 r ∂r ∂ z2 Dg (r , z )
(III.12)
1 ⎡G χg ⎤
− ⎢ ∑ Σ sg ' g (r , z )φg ' (r , z ) + S (r , z ) ⎥
Dg (r , z ) ⎢⎣ g '=1 keff ⎥⎦
47
Syarat batas untuk persamaan (III.12) diatas adalah :
• Fluks pada permukaan teras bernilai nol : φ (rS , z ) = φ (r , z S ) = 0
d2 f ( x + h) − 2 f ( x) + f ( x − h) f i +1 − 2 f i + f i −1
f ( x) ≅ = (III.14)
dx 2
h2 Δx 2
Dengan menggunakan persamaan (III.13) dan (III.14) diatas, serta definisi vektor
posisi pada persamaan (III.9), maka bentuk diskrit dari persamaan (III.12) adalah
sebagai berikut :
φg , i +1, j + φg , i −1, j
1 φ g , i +1, j − φg , i −1, j φg , i , j +1 + φg , i , j −1
+ + −
Δr 2
i Δr 2 Δr Δz 2
(III.16)
⎛ Σtg , i , j 2 2 ⎞ 1 ⎡G χg ⎤
⎜⎜ + 2 + 2 ⎟ φg , i , j = − ⎢ ∑ Σ ( sg ' g ), i , j φg ', i , j + Si , j ⎥
⎝ Dg , i , j Δr Δz ⎟⎠ Dg , i , j ⎣⎢ g '=1 keff ⎥⎦
⎛ Σtg , i , j 2 2 ⎞ 1 ⎡G χg ⎤
⎜⎜ + 2 + 2 ⎟ φ ng+,1i , j =
Δz ⎟⎠
⎢ ∑ Σ ( sg ' g ), i , jφ ng , i , j + n Sin, j ⎥ +
⎝ Dg , i , j Δr Dg , i , j ⎢⎣ g '=1 keff ⎥⎦
(III.17)
φgn, i +1, j + φgn, i −1, j φgn, i +1, j − φgn, i −1, j φgn, i , j +1 + φgn, i , j −1
+ +
Δr 2 i 2Δr 2 Δz 2
48
⎛ 1 ⎡G χg n ⎤ ⎞
⎜ ⎢ ∑ Σ ( sg ' g ), i , j φg ',i , j + n Si , j ⎥ + ⎟
⎜ Dg , i , j ⎢⎣ g '=1 keff ⎥⎦ ⎟
⎜ n ⎟
⎜ φg , i +1, j + φg , i −1, j φg , i +1, j − φg , i −1, j φg , i , j +1 + φg , i , j −1 ⎟
n n n n n
⎜ + + ⎟
⎝ Δr 2 i 2 Δr 2 Δz 2 ⎠
φ ng+,i1, j = (III.18)
⎛ Σtg , i , j 2 2 ⎞
⎜⎜ + 2 + 2⎟
⎝ Dg , i , j Δr Δz ⎟⎠
Perhatikan bahwa suku kedua pada ruas kiri persamaan (III.12) mengandung
(1/ r ) , maka pada r = 0 atau i = 0 suku ini akan bermasalah karena akan bernilai
tak hingga, sehingga persamaan (III.18) diatas hanya akan berlaku untuk nilai
r ≠ 0 atau i ≠ 0 .
49
Berdasarkan simetri sudut azimut pada geometri silinder yang ditinjau :
2φ g , 1, j φg , 0, j +1 + φg , 0, j −1 ⎛ Σtg , 0, j 4 2 ⎞
2 + −⎜ + 2 + 2 ⎟ φg , 0, j =
Δr 2
Δz 2 ⎜ Dg Δr Δz ⎟⎠
⎝
(III.23)
1 ⎡G χg ⎤
− ⎢ ∑ Σ ( sg ' g ), 0, jφg ',0, j + S0, j ⎥
Dg , 0, j ⎢⎣ g '=1 keff ⎥⎦
⎛ Σtg , 0, j 4 2 ⎞ n +1 1 ⎡G χg n ⎤
⎜⎜ + 2 + ⎟
Δz 2 ⎟⎠
φ = ⎢ ∑ Σ φ + S0, j ⎥ +
⎝ Dg , 0, j Δr
g ,0, j ( sg ' g ), 0, j g ',0, j
Dg , 0, j ⎢⎣ g '=1 keffn ⎥⎦ (III.24)
4φgn, 1, j φgn, 0, j +1 + φgn, 0, j −1
+
Δr 2 Δz 2
Bila dilakukan iterasi terhadap persamaan diskrit (III.18) dan (III.25) diatas, maka
pada akhirnya akan tercapai keadaan konvergen numerik dengan akurasi atau orde
error tertentu, yaitu :
φ ng+,i1, j − φ ng ,i , j
< ε , untuk seluruh g , i, j (III.25a)
φ ng ,i , j
50
Laju konvergensi metode Jacobian sebenarnya tidaklah terlalu tinggi, karena pada
metode ini, nilai fluks yang baru didapat dari hasil perhitungan dengan
menggunakan nilai fluks yang lama seluruhnya, atau disebut layer-by-layer.
φ kn−2 φ kn−1 φ k
n
φ kn+1 φ kn+2
Gambar (III.2) diatas adalah skema iterasi Jacobian, dimana nilai fluks pada tiap
layer dihitung hanya dengan menggunkan nilai fluks pada layer sebelumnya.
φ kn−2 φ kn−1 φ k
n
φ kn+1 φ kn+2
51
Dengan menggunakan skema iterasi Gauss-Siedel, maka persamaan (III.18) dan
(III.25) akan berbentuk :
untuk r ≠ 0 :
⎛ 1 ⎡G χg n ⎤ ⎞
⎜ ⎢ ∑ Σ( sg ' g ), i , jφg ',i , j + n Si , j ⎥ + ⎟
⎜ Dg , i , j ⎣⎢ g '=1 keff ⎦⎥ ⎟
⎜ n ⎟
⎜ φg , i +1, j + φg , i −1, j + φg , i +1, j − φg , i −1, j + φg , i , j +1 + φg , i , j −1 ⎟
n +1 n n +1 n n +1 (III.26)
⎜ ⎟
φ ng+,i1, j =⎝ Δr 2 i 2Δr 2 Δz 2 ⎠
⎛ Σtg , i , j 2 2 ⎞
⎜⎜ + 2+ 2⎟
⎝ Dg , i , j Δr Δz ⎟⎠
untuk r = 0 :
1 ⎡G χ g n ⎤ 4φgn, 1, j φgn, 0, j +1 + φgn,+0,1 j −1
⎢ ∑ Σ( sg ' g ), 0, jφg ',0, j + n S0, j ⎥ + +
Dg , 0, j ⎣⎢ g '=1 keff ⎦⎥ Δr 2 Δz 2 (III.27)
φ ng+,0,1 j =
⎛ Σtg , 0, j 4 2 ⎞
⎜⎜ + 2+ 2⎟
⎝ Dg , 0, j Δr Δz ⎟⎠
Pada persamaan (III.26) dan (III.27) diatas, nilai konstanta grup atau cross section
merupakan fungsi posisi, yang dilambangkan dengan subskrip i dan j. Sebenarnya
nilai konstanta grup atau cross section bergantung pada jenis dan komposisi
material di titik tersebut, maka untuk lebih menyederhanakan bentuk persamaan,
subskrip ganda i dan j tersebut akan diganti dengan subskrip tunggal m, yang
menunjukan jenis material di titik i,j tersebut.
52
untuk r = 0 :
1 ⎡G χ g ,m n ⎤ 4φgn, 1, j φgn, 0, j +1 + φgn,+0,1 j −1
⎢ ∑ Σ( sg ' g ), mφg ',0, j + n S0, j ⎥ + +
Dg , m ⎣⎢ g '=1 keff ⎥
⎦ Δr 2 Δz 2 (III.29)
φ ng+,0,1 j =
⎛ Σtg , m 4 2 ⎞
⎜⎜ + 2+ 2⎟
⎝ Dg , m Δr Δz ⎟⎠
Pada persamaan (III.30) diatas, α adalah konstanta akselerasi SOR, yang nilainya
bersifat unik untuk setiap kasus/persamaan.
Pada persamaan (III.28) dan (III.29), subskrip g menunjukan index grup, dan
subskrip m menunjukan index jenis material, maka sekarang kita telah memiliki
satu set lengkap persamaan difusi yang mampu menangani teras reaktor dengan
spektrum energi neutron diskrit dan komposisi material heterogen, atau disebut
persamaan difusi multigrup-multiregion.
53
Untuk mempermudah penurunan persamaan, pertama-tama akan digunakan
persamaan difusi satu grup (II.48) :
1 ∂φ
− ∇ ⋅ D ( r ) ∇φ ( r , t ) + Σ a ( r ) φ ( r , t ) = S ( r , t ) (II.48)
v ∂t
Solusi dari persamaan (III.36) diatas adalah nilai fluks yang baru, yaitu φin, +j 1 .
Selanjutnya nilai fluks yang baru ini digunakan untuk menghitung nilai source
yang baru :
Setelah nilai source yang baru diketahui, selanjutnya nilai k dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (III.33) :
1
Mφ n +1 (r ) = Fφ n +1 (r ) (III.38)
k n +1
54
Integralkan persamaan (III.38) terhadap volume teras :
1
∫d r Mφ n +1 ( r ) = ∫ d r Fφ (r )
3 3 n +1
(III.39)
Vcore k n +1 Vcore
∫d r Fφ n +1 (r )
3
k n +1 = Vcore
(III.40)
∫d r Mφ n +1 (r )
3
Vcore
∫d r S n +1 (r ) ∫d r S n +1 (r )
3 3
k n +1 = Vcore
= kn Vcore
(III.41)
1
∫ d r S (r )
3 n
∫d
3 n
r S (r )
kn Vcore
Vcore
∫d r S (r ) = S AVE VCORE
3
(III.42)
Vcore
1 nr nz n +1 nr nz
∑∑ S i, j ∑∑ S n +1
i, j
n nr nz i = 0 j = 0 i =0 j =0
k n +1 =k = kn (III.45)
1 nr nz n nr nz
∑∑ S i, j
nr nz i =0 j =0
∑∑ Si =0 j =0
n
i, j
55
Untuk kasus difusi multigrup, pertama-tama persamaan (III.7) dipecahkan dengan
menggunakan persamaan (III.28), (III.29), dan (III.30). Dengan demikian, kita
akan memiliki nilai dan distribusi fluks untuk setiap grup, yaitu φgn,+i 1, j .
k n +1 − k n S ni ,+j1 − S ni , j
< ε1 dan < ε 2 , untuk seluruh i,j (III.47)
kn S ni , j
Dengan demikian, maka kita telah memiliki satu set persamaan lengkap untuk
mengerjakan iterasi luar, yaitu menghitung nilai dan distribusi source dan k.
56
Gambar III.4 Diagram alir program neutronik
57
File input pengendali program neutronik berada di dalam folder ”input”, dengan
nama ”neutronics.txt”, dan berikut ini adalah contohnya :
Keterangan :
• baris 04 : banyaknya grup energi neutron yang digunakan dalam
perhitungan
• baris 05 dan 06 : dimensi teras, yaitu diameter dan tingginya
• baris 07 : tingkat akurasi atau orde error yang akan digunakan dalam
perhitungan
• baris 08 : banyaknya iterasi maksimum pada tiap loop, untuk menghindari
error stack overflow, yaitu bila konvergensi numerik gagal tercapai
• baris 09 : banyaknya partisi pada arah r (radial)
• baris 10 : banyaknya partisi pada arah z (aksial)
• baris 11 : inisialisasi nilai fluks
• baris 12 : inisialisasi nilai source
• baris 13 : inisialisasi nilai k
• baris 14 : parameter akselerasi SOR
• baris 17 – 20 : banyaknya dan definisi jenis material penyusun teras
58
File peta komposisi material teras berada di dalam folder ”input”, dengan nama
”coremap1.txt”.
59
Tabel III.2 diatas adalah contoh perhitungan dengan menggunakan 20 partisi
radial dan 21 partisi aksial, dan 3 jenis material. Angka ”1” pada Tabel III.2
menunjukan bahwa material di titik partisi tersebut adalah material jenis ”1” yang
data cross section-nya berada di dalam file yang namanya ditunjukan pada baris
18 di tabel III.1. Demikian juga arti angka ”2” dan ”3”. Material di dalam teras
biasanya dibedakan berdasarkan level enrichment pada bahan bakarnya.
File output hasil perhitungan disimpan di dalam folder ”output”, terdiri dari
beberapa file, diantaranya adalah file yang menyimpan data nilai fluks dan source
di setiap partisi, dan file output umum yang bernama ”out.neutronics.txt”.
60
Gambar III.6 Contoh grafik distribusi fluks radial 8 grup
Data cross section untuk setiap jenis material disimpan dalam sebuah file tunggal,
yang namanya ditunjukan pada baris 18 – 20 tabel III.1. Pada bagian selanjutnya
akan dijelaskan mengenai data cross section tersebut secara lebih rinci.
group scattering matrix (Σ( sgg '),m dan Σ( sg ' g ),m ) , dan beberapa macam cross section
61
makroskopik (Σ g ,m ) . Data-data tersebut biasanya disebut konstanta multigrup
SRAC adalah singkatan dari Standard Reactor Analysis Code, sebuah program
perhitungan neutronik yang dikembangkan oleh Japan Atomic Energy Research
Institute (JAERI).
62
Gambar III.8 Contoh geometri sel pada SRAC
63
Perhitungan homogenisasi sel dikerjakan oleh modul transport SRAC yang
bernama ”PIJ”, dimana modul ini juga mampu mengerjakan perhitungan burnup
sel. Dengan menggunakan modul PIJ ini, kita dapat menentukan spesifikasi sel
yang akan dihitung, yaitu diantaranya mencakup geometri sel, jenis material,
struktur grup energi, dan beberapa parameter burnup.
Beberapa geometri sel yang sering dipakai pada perhitungan adalah geometri
heksagonal (hexagonal cell), persegi (square cell), dan silinder (cylindrical cell).
Gambar III.10 Geometri sel (a) heksagonal, (b) persegi, (c) silinder
Salah satu definisi penting mengenai sel adalah apa yang disebut fraksi volume
(volume fraction), yaitu :
• fraksi bahan bakar (fuel fraction), adalah volume bahan bakar relatif
terhadap volume sel
• fraksi clading (clading fraction) , adalah volume clading relatif terhadap
volume sel
• fraksi coolant (coolant fraction) , adalah volume coolant relatif terhadap
volume sel
Hasil utama dari perhitungan homogenisasi sel adalah data konstanta multigrup
dari setiap jenis sel yang kita gunakan, pada setiap periode burnup.
64
III.4 Perhitungan Termal Hidrolik
Hal pertama yang dilakukan pada perhitungan termal hidrolik adalah perhitungan
distribusi kerapatan daya di dalam teras reaktor. Kerapatan daya volumetrik
(W/cc) dihitung dengan menggunakan persamaan (II.53) :
q' ' ' ( r ) = E f Σ f φ ( r ) (II.53)
, j = E f Σ f , mφi , j
qivol (W / cc) (III.48)
∫
T0
wcP dT ' = ∫ q '(r , z )dz '
z0
(III.50)
1 ⎛ qilin, j + qilin, j +1 ⎞
Ti , j +1 = Ti , j + ⎜⎜ ⎟⎟ Δz (III.51)
wcP ⎝ 2 ⎠
65
Selanjutnya laju aliran coolant dihitung dengan menggunakan persamaan (II.66) :
m = Achannel ρ (r )v(r ) = (π rH2 ) ρ (r )v(r ) ( gr / s ) (II.66)
m
vi , j = (cm / s ) (III.53)
(π rH2 ) ρi , j
K n ρi , j vi2, j
form factor : ΔPi ,form
j =∑ (III.55)
n 2
Secara fisis, distribusi penurunan tekanan coolant setalah melewati teras haruslah
uniform, yang artinya penurunan tekanan total di puncak teras harus bernilai
sama. Tetapi hasil perhitungan sering menghasilkan distribusi penurunan tekanan
yang tidak rata, jadi harus dilakukan iterasi (dengan akurasi tertentu) dengan cara
menyesuaikan distribusi laju aliran massa coolant, sampai dicapai distribusi
penurunan tekanan yang rata.
Secara garis besar, program termal hidrolik memiliki alur kerja sebagai berikut :
• baca file input pengendali program
• baca file data form factor dan fanning factor
• baca file data φi , j , Σ f ,i , j , dan vΣ f ,i , j
66
Gambar III.11 Diagram alir program termal hidrolik
67
File input pengendali program termal hidrolik berada di dalam folder ”input”,
dengan nama ”thermohidro.txt”, dan berikut ini adalah contohnya :
Keterangan :
• baris 04 dan 05 : dimensi teras, diameter dan tingginya
• baris 06 dan 07 : jumlah partisi radial dan aksial
• baris 08 : formasi batang bahan bakar (gambar II.8 dan II.9)
• baris 09 – 12 : geometri sel bahan bakar
• baris 13 : usable energy per fission event
• baris 16 : temperatur coolant ketika memasuki teras
• baris 17 : tekanan coolant
• baris 18 : densitas coolant ketika memasuki teras
• baris 19 : koefisien ekspansi coolant
• baris 20 : kapasitas panas coolant
• baris 21 dan 22 : partisi yang akan ditampilkan pada grafik
• baris 23 : laju aliran massa coolant per channel
68
• baris 24 : fanning factor
• baris 25 : konstanta gravitasi
• baris 26 : asumsi efisiensi, untuk menghitung MWe
• baris 27 dan 28 : iterasi maksimum dan akurasi, untuk mengendalikan
jalannya iterasi program
• baris 29 : jumlah fuel asssembly dalam teras
• baris 30 : jumlah batang bahan bakar dalam satu fuel asssembly
File data form factor dan fanning factor memiliki format yang sama dengan file
pemetaan teras pada tabel III.2, file ini berfungsi memberikan informasi faktor
friksi di setiap partisi.
Contoh file output umum perhitungan termal hidrolik adalah sebagai berikut :
69
III.5 Perhitungan Perpindahan Panas
III.5.1 Perpindahan panas pada boiler
Perpindahan panas dari loop primer ke loop sekunder dilakukan di boiler. Transfer
panas pada fluida loop primer terjadi tanpa perubahan fase, yaitu cair, sedangkan
fluida loop sekunder mengalami perubahan fase, dari cair menjadi gas.
Karena tidak ada perubahan fase pada fluida loop primer, maka perhitungan
distribusi temperaturnya cukup dikerjakan dengan menggunakan persamaan
(II.105), (II.106), (II.113), dan (II.114), dan perhitungan laju perpindahan panas
dikerjakan dengan menggunakan persamaan (II.108) dan (II.115).
Sedangkan untuk fluida loop sekunder, karena terjadi perubahan fase, maka
terdapat tiga keadaan fluida (lihat sub-bab II.6.4). Untuk keadaan aliran cairan
fase tunggal dan uap fase tunggal, digunakan persamaan yang sama dengan fluida
loop primer. Sedangkan untuk keadaan campuran dua fase (boiling liquid),
perhitungan distribusi temperatur dikerjakan dengan menggunakan persamaan
(II.116) dan (II.117), dan laju perpindahan panas dihitung dengan menggunakan
persamaan (II.118). Fraksi uap yang terbentuk di channel aliran dihitung dengan
menggunakan persamaan (II.120).
70
START Boiler Flow Chart
NO
NO YES
T2 >= T2sat? end of tube?
YES
fluid1 liquid
fluid2 boiling
liquid-vapor mixture
NO
NO
χ fluid 2 = 100%? end of tube?
YES YES
fluid1 liquid
fluid2 vapor
FINISH
71
22 cp2 vapor (J/gr.C) | 0.238
23 h boiling (J/gr) | 20
24 T2 in (C) | 100
25 T2 sat (C) | 130
72
Persamaan-persamaan yang digunakan pada perhitungan kondensor sama dengan
pada kasus boiler, hanya diagram alirnya saja yang berbeda. Berikut ini adalah
diagram alir perhitungan kondensor :
START
Condenser Flow Chart
NO
NO YES
T1 <= T1sat? end of tube?
YES
fluid1 condensing
liquid-vapor mixture
fluid2 liquid
NO
NO
χ fluid 1 = 0% ? end of tube?
YES YES
fluid1 liquid
fluid2 liquid
FINISH
73
12 massflow1 (gr/s) | 100
13 cp1 liquid (J/gr.C) | 0.238
14 cp1 vapor (J/gr.C) | 0.238
15 h condensing (J/gr) | 20
16 T1 in (C) | 200
17 T1 sat (C) | 100
18 init vapor fraction(%) | 100
19 |
20 FLUID2 COOL LIQUID |
21 massflow2 (gr/s) | 50
22 cp2 liquid (J/gr.C) | 0.238
23 cp2 vapor (J/gr.C) | 5
24 h boiling (J/gr) | 20
25 T2 in (C) | 100
26 T2 sat (C) | 1300
Sama seperti pada boiler, hasil perhitungan secara otomatis akan langsung
ditampilkan pada beberapa grafik dan datanya disimpan di folder ”io_files”
dengan nama file ”out.condenser.txt”.
74
keadaan 4 (saturated mixture)
• tekanan operasi kondensor
• entropi vapor-liquid mixture
Pada keadaan 3 diatas, kita membutuhkan nilai entropi dan enthalpi uap pada
tekanan dan temperatur uap tersebut. Data entropi dan enthalpi tersebut sudah ada
tabelnya (lihat lampiran tabel termodinamik di bagian akhir), tetapi data yang
tersedia hanya untuk nilai tekanan dan temperatur tertentu saja, tidak kontinyu
untuk setiap nilai tekanan dan temperatur. Karena itu, kita akan menggunakan
persamaan empiris yang menghubungkan nilai entropi dan enthalpi dengan nilai
tekanan dan temperatur. Persamaan empiris tersebut didapat dengan cara
melakukan interpolasi polinomial dengan menggunakan data-data yang ada pada
tabel termodinamik. Interpolasi polinomial dikerjakan dengan menggunakan
fasilitas built in yang ada pada Microsoft Excel.
Contoh hasil interpolasi polinom orde 6 untuk tekanan 6 MPa adalah sebagai
berikut :
6000
5000
4000
h (kJ/kg)
3000
2000
1000
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
T (Celcius)
75
Persamaan interpolasi polinom orde 6 untuk enthalpi :
h = (-7,91432323E-15)T 6 + (4,05556973E-11)T 5 – (8,44481473E-8)T 4
+ (9,14626392E-5)T 3 – (5,41907680E-2)T 2 + (1,89690005E+1)T (III.)
+ (1 ,87661758E+2)
10
9
8
7
s (kJ/kg.K)
6
5
4
3
2
1
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
T (Celcius)
Teknik interpolasi seperti ditunjukan diatas juga dilakukan untuk nilai tekanan
lainnya, seperti 4 MPa, 12.5 MPa, dan lainnya. Setelah semua data pada masing-
76
masing keadaan didapat, maka selanjutnya efisiensi sistem dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (II.30).
77
Bab IV Hasil Perhitungan dan Analisis
IV.1 Neutronik
Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya, sistem program komputer yang
penulis kembangkan dinamakan Preliminary Nuclear Plant Analysis Code, atau
disingkat PRENPAC. Bab ini akan membahas mengenai hasil-hasil perhitungan
yang dilakukan menggunakan PRENPAC tersebut, dan hasilnya dibandingkan
dengan hasil perhitungan menggunakan SRAC.
Aspek pertama yang akan dibahas adalah aspek neutronik. Data-data yang
diperlukan untuk mengerjakan perhitungan neutronik didapat berdasarkan Tesis
Magister M. Nurul Subkhi[14].
78
Average power density 28,25 Watt/cc
Grup energi 4 (1 fast + 3 termal)
Partisi radial 32 titik
Partisi aksial 33 titik
Teras reaktor terdiri dari dua daerah, daerah pertama adalah teras aktif homogen,
dan daerah kedua adalah reflektor.
79
IV.1.1 Distribusi fluks
Perhitungan neutronik terutama dilakukan untuk menghitung distribusi fluks
neutron, distribusi kerapatan daya, dan faktor multiplikasi efektif (faktor k), dan
berikut ini adalah hasilnya :
6.0E+13
4.0E+13
2.0E+13
0.0E+00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
r (cm)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
r (cm)
80
Gambar IV.2 memperlihatkan nilai dan distribusi fluks radial yang dihitung
dengan menggunakan SRAC dan PRENPAC. Gambar IV.3 memperlihatkan
persentase perbedaan relatif dari kedua hasil perhitungan pada gambar IV.2,
terlihat bahwa perbedaan terbesar terjadi di daerah dekat perbatasan material
(active core dengan reflector), di titik partisi ke-28 perbedaannya bahkan
mencapai 68%. Perbedaan rata-rata pada gambar IV.3 adalah sebesar 18.2%.
6.0E+13
4.0E+13
2.0E+13
0.0E+00
-200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200
z (cm)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
-200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200
z (cm)
81
Terlihat pada gambar IV.4 dan IV.5, perbedaan terbesar juga terjadi di daerah
perbatasan material, yaitu mencapai 46%. Perbedaan rata-rata pada gambar IV.5
adalah sebesar 12%.
Berikut ini adalah tampilan distribusi fluks neutron secara 3 dimensi (3D) :
82
Gambar IV.7 Distribusi fluks neutron (PRENPAC)
83
Berikut ini adalah peta kontur distribusi fluks :
84
Terlihat pada gambar IV.6 sampai IV.10, bahwa pada dasarnya distribusi fluks
yang dihitung menggunakan SRAC dan PRENPAC adalah hampir sama.
Perbedaan terutama tampak pada daerah perbatasan material (gambar IV.8).
40
30
20
10
0
-10 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
r (cm)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
-5 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
r (cm)
85
Karena kerapatan daya adalah produk fluks, maka seperti pada perhitungan fluks,
perbedaan kerapatan daya juga terutama terjadi di daerah perbatasan material.
Perbedaan terbesar adalah di titik partisi ke-25, yaitu sebesar 36%, dan perbedaan
rata-rata pada gambar IV.12 adalah 9,24%.
40
30
20
10
0
-200 -150 -100 -50 -10 0 50 100 150 200
z (cm)
16
14
12
10
8
6
4
2
0
-200 -150 -100 -50 -2 0 50 100 150 200
z (cm)
86
Pada gambar IV.14, perbedaan terbesar adalah pada titik partisi ke-14, yaitu
sebesar 14,3%, dan perbedaan rata-ratanya adalah 7,37%.
Berikut ini adalah tampilan distribusi kerapatan daya secara 3 dimensi (3D) :
87
Gambar IV.16 Distribusi kerapatan daya (PRENPAC)
88
Berikut ini adalah peta kontur kerapatan daya :
89
Terlihat pada gambar IV.15 sampai IV.19, bahwa pada dasarnya distribusi
kerapatan daya yang dihitung menggunakan SRAC dan PRENPAC adalah hampir
sama. Perbedaan nilai kerapatan daya terutama tampak pada daerah perbatasan
material (gambar IV.17).
Perhitungan Faktor k
1.015
1.014 SRAC
1.013 PRENPAC
1.012
1.011
1.01
1.009
1.008
1.007
1.006
1.005
0 5 10 15 20 25 30 35
tahun
90
Pada gambar IV.20 terlihat jelas bahwa baik SRAC maupun PRENPAC
memberikan pola (shape) perubahan faktor k yang benar-benar sangat mirip,
hanya saja nilainya sedikit berbeda.
Tabel IV.5 menampilkan perbedaan relatif perhitungan faktor k oleh SRAC dan
PRENPAC, didapat bahwa perbedaan rata-rata hanya sebesar 0,387%, sebuah
nilai yang terlihat kecil, tetapi dari sudut pandang neutronik, perbedaan ini
sebenarnya cukup besar.
Data untuk perhitungan termal hidrolik ditampilkan pada tabel berikut ini :
91
Energi efektif 190 MeV/fisi (U233)
Temperatur inlet 280 C
Temperatur outlet 305 – 310 C
Tekanan teras 155 bar (T saturasi = 342,24 C)
1 atm = 101325 Pa
1 atm = 1,01325 bar
1 bar = 100000 Pa
Coolant H 2O
Densitas coolant, @inlet 0,72 gr/cc
Koefisien ekspansi termal 1,50485E-3 C-1
Kapasitas panas 2,93 J/gr.C
Teras reaktor diberi tekanan sebesar 155 bar, dimana temperatur saturasi air pada
tekanan tersebut adalah 342,24 C. Pada sistem PWR, coolant di dalam teras tidak
diperkenankan untuk mendidih, jadi temperatur maksimum di dalam teras harus
dijaga agar tidak melebihi temperatur saturasinya. Distribusi temperatur teras
bergantung pada kecepatan alir massa (mass flow) coolant.
92
Profil Kenaikan Temperatur
350
180 gr/s 340
160 gr/s
140 gr/s
330
120 gr/s 320
310
300
290
280
-200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200
z (cm)
Tabel IV.7 dan gambar IV.22 diatas memperlihatkan profil kenaikan temperatur
coolant untuk empat nilai channel mass flow yang berbeda, terlihat bahwa
pressure drop berbanding lurus dengan mass flow, demikian juga dengan pumping
power. Sedangkan kenaikan temperatur dan peaking factor berbanding terbalik
dengan mass flow. Pada channel mass flow 120 gr/s, didapat bahwa temperatur
maksimum ternyata sebesar 345,941 C, yang berarti telah melebihi temperatur
saturasi coolant (342,24 C). Maka harus dicari nilai channel mass flow yang
paling optimal, yaitu antara 140 gr/s dan 120 gr/s.
Setelah dilakukan beberapa perhitungan, didapat bahwa ternyata nilai channel
mass flow yang optimal adalah 135 gr/s.
Tabel IV.8 Hasil perhitungan termal hidrolik pada massflow 135 gr/s
Pressure drop 1,949 bar
Core mass flow 19,943E+6 kg/jam
Flow rate rata-rata 368,389 cm/s
Pumping power 1,536 MW (0,366% MWt)
T out rata-rata 304,016 C
T out max 338,578 C
T peaking factor 1,114
93
Daya pompa yang diperlukan untuk mengalirkan coolant dengan channel mass
flow 135 gr/s adalah sekitar 1,5 juta watt, sebuah angka yang kelihatan sangat
besar, tetapi sebenarnya itu hanya sekitar 0,37% dari daya termal yang dihasilkan
teras reaktor. Temperatur outlet rata-rata adalah 304,016 C, dengan demikian
kenaikan temperatur rata-rata adalah sekitar 24 C. Temperatur maksimum coolant
terjadi di sumbu teras (0,z), yaitu 338,578 C, nilai ini memiliki selisih sekitar 4 C
dibawah temperatur saturasi.
94
Gambar IV.25 Distribusi kecepatan alir coolant
95
Gambar IV.27 Distribusi densitas coolant
Pada gambar IV.23 terlihat bahwa nilai massflow bervariasi terhadap arah radial,
hal ini terjadi karena massflow merupakan fungsi dari densitas dan kecepatan alir
coolant, dan massflow juga harus menyesuaikan diri sedemikian sehingga
pressure drop teras bernilai uniform (gambar IV.24).
Pada gambar IV.27 terlihat bahwa semakin mendekati sumbu teras (daerah tengah
teras), maka densitas coolant semakin menurun, hal ini terjadi karena densitas
berbanding terbalik dengan temperatur, dimana temperatur tertinggi memang
berada di daerah tengah teras.
96
sedangkan coolant sekunder harus sudah berubah fase menjadi uap seluruhnya.
Data-data coolant primer didapat dari perhitungan termal hidrolik, yang telah
dikerjakan pada bagian sebelumnya, sedangkan data coolant sekunder dicari nilai
yang paling optimal.
97
Setelah perhitungan dikerjakan, hasilnya adalah sebagai berikut :
98
Gambar IV.29 Profil temperatur fluida pada boiler (8000 pipa)
Jadi, ada dua tujuan yang ingin dicapai pada perhitungan boiler, yaitu :
1) coolant primer kembali ke temperatur awalnya, yaitu 280 C
2) coolant sekunder berubah seluruhnya menjadi fase uap, yaitu flow quality
mencapai 100%
Kedua tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara melakukan survey terhadap salah
satu nilai variabel pada tabel IV.9, sementara nilai variabel lainnya dibuat
tetap/konstan.
99
Pada perhitungan ini, variabel yang akan disurvey adalah jumlah pipa, dimana
efective heat transfer area adalah luas permukaan sebuah pipa dikalikan dengan
jumlah pipa; sementara tinggi pipa dan massflow total pada sistem coolant
sekunder dibuat tetap.
Berdasarkan data pada tabel IV.10, terlihat bahwa desain optimal boiler didapat
pada jumlah pipa 8000, dengan effective heat transfer area 11011 m2. Pipa yang
digunakan bebentuk silinder dengan diameter efektif 0,75 inch (1,905 cm) dan
tinggi masing-masing pipa 23 meter. Kemudian coolant primer mengalir di dalam
pipa, sedangkan coolant sekunder mengalir di luar pipa dengan mass flow total
152,2 kg/s. Coolant sekunder mulai mendidih pada posisi 26,78 cm, maka mulai
terjadilah boiling heat transfer, yang merupakan mekanisme transfer panas yang
paling efektif, karena tingginya nilai heat of vaporization air, dan selama proses
ini temperatur coolant sekunder bernilai konstan (gambar IV.29).
Profil perubahan fase coolant sekunder ditampilkan pada gambar IV.30, dimana
flow quality menyatakan fraksi massa uap di dalam aliran coolant, terlihat bahwa
profil flow quality sangat mirip fungsi linier. Ketika seluruh massa coolant
sekunder telah berubah fase menjadi uap, maka terjadilah dryout, yaitu aliran uap
fase tunggal, hal ini terjadi pada posisi 1839,08 cm. Setelah melewati titik dryout,
maka temperatur uap akan naik dan menjadi superheated steam, yaitu uap dengan
temperatur melebihi temperatur saturasinya, uap jenis inilah yang memang sering
digunakan sebagai fluida kerja (working fluid) pada sistem pembangkit daya.
Profil heat transfer rate diperlihatkan pada gambar IV.28, dimana mencapai
keadaan jenuh/tunak pada nilai 389 MW. Hal ini berarti dari 420 MW daya termal
teras yang dibawa oleh sistem coolant primer, boiler hanya mampu memindahkan
389 MW ke sistem coolant sekunder, yang berarti sebesar 92,62%.
100
IV.4 Termodinamik
Data untuk perhitungan termodinamik didapat dari perhitungan transfer panas
pada boiler, yang telah dikerjakan pada bagian sebelumnya, dan juga dari tabel
data termodinamik (lihat lampiran).
Rankine State 1 :
Saturated liquid
P1 = 10 kPa
T_sat = 45.81 C
h1 = 191.83 kJ/kg
v1 = 0.00101 m3/kg
Rankine State 2 :
Isentropic compression in pump
s2 = s1
P2 = 4000 kPa
Rankine State 3 :
P3 = 4000 kPa
T3 = 279.984 C
h3 = 2899.13803 kJ/kg
s3 = 6.25112 kJ/kg.K
Rankine State 4 :
Isentropic expansion in turbine (saturated mixture)
P4 = 10 kPa
s4 = s3
101
Setelah perhitungan dikerjakan, hasilnya adalah sebagai berikut :
Hasil perhitungan menunjukan nilai steam quality sebesar 74,682 %, hal ini
berarti setelah uap memasuki dan memutar turbin, maka sebesar 25,318 % massa-
nya berubah menjadi fase cair, hal ini terjadi karena penurunan enthalpi uap akibat
energi termal yang diubah menjadi energi kinetik turbin.
Daya pompa yang diperlukan untuk menggerakan sistem ini adalah sekitar 580
ribu watt, yang berarti hanya sekitar 0,44 % dari daya yang dihasilkan turbin.
Siklus ini memiliki efisiensi sekitar 33,9 %, yang berarti sekitar 257 MW energi
termal akan terbuang sia-sia ke lingkungan melalui kondensor.
102
jumlah tabung variabel
Coolant sekunder (fluid1)
tekanan operasi 10 kPa
temperatur saturasi 45,81 C
sifat aliran aliran dua fase
total mass flow 144,16 kg/s
Cp (liquid) 4,1905 J/gr.C
heat of condensation 2392,42 J/gr
T inlet 45,81 C (saturated mixture)
T outlet (liquid) ~ 45,81 C (liquid)
Coolant kondensor (fluid2)
tekanan operasi 100 kPa (~ 1 atm)
temperatur saturasi 99,63 C
sifat aliran aliran fase tunggal
total mass flow variabel
Cp (liquid) 4,183 J/gr.C
T inlet 20
T outlet (liquid) hasil perhitungan
Tujuan yang ingin dicapai pada perhitungan kondensor adalah coolant sekunder
berubah seluruhnya menjadi fase cair, yaitu flow quality bernilai 0%. Pada
perhitungan ini, variabel yang akan disurvey adalah flow quality total coolant
kondensor, sedangkan jumlah dan tinggi pipa dibuat tetap.
103
massflow 2500 kg/s 2750 kg/s 3000 kg/s 3010,5 kg/s
heat trans rate (MW) 229 243 257 257
T1 out (C) 45,81 45,81 45,81 45,81
T2 out (C) 41,931 41,202 40,491 40,461
steam quality (%) 8,211 3,993 0,153 2,57E-6
Gambar IV.31 Profil temperatur fluida pada kondensor (massflow 3010,5 kg/s)
Gambar IV.32 Profil flow quality pada kondensor (massflow 3010,5 kg/s)
104
Gambar IV.33 Heat transfer rate kondensor (massflow 3010,5 kg/s)
Pada tabel IV.13 terlihat bahwa hasil optimal didapat pada nilai mass flow coolant
kondensor 3010,5 kg/s. Coolant kondensor mengalami kenaikan temperatur
sekitar 20 C, sedangkan coolant sekunder tidak mengalami perubahan temperatur,
karena hanya mengalami kondensasi menjadi cair atau disebut saturated liquid
(gambar IV.31). Terlihat pada gambar IV.32, coolant sekunder terkondensasi
sempurna tepat pada ujung kondensor, hal ini memang disengaja untuk mencegah
penurunan temperatur coolant sekunder. Heat transfer rate pada massflow 3010,5
kg/s adalah 257 MW (gambar IV.33), angka ini sama dengan energi termal yang
tidak berhasil dikonversi oleh turbin. Selanjutnya energi termal yang tidak
terpakai ini dilepaskan ke lingkungan melalui menara pendingin (cooling tower)
yang terhubung dengan sistem aliran coolant kondensor.
105
Bab V Kesimpulan dan Saran
V.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan perhitungan dan analisis, berikut ini adalah beberapa
kesimpulan dari penelitian dan penulisan tesis ini :
1. Desain neutronik diambil berdasarkan tesis magister M. Nurul Subkhi[14].
Jenis PLTN adalah Pressurized Water Reactor dengan teras jenis small
long-life core homogen. Teras berbentuk silinder, memiliki diameter aktif
260 cm dan tinggi aktif 280 cm, dilengkapi reflektor, dan dirancang
memiliki refueling period lebih dari 25 tahun. Bahan bakar yang
digunakan adalah (U,Th)O2 dengan enrichment 8% U233 dan penambahan
burnable poisson Pa231 sebanyak 7,6%. Material cladding adalah
Zirconium, dan air (H2O) digunakan sebagai coolant. Sel yang digunakan
adalah square cell dengan fraksi bahan bakar 60%, cladding 10%, dan
coolant 30%. Teras menghasilkan daya termal 420 MWt dengan kerapatan
daya rata-rata sekitar 28 W/cc.
2. Perhitungan dan analisis neutronik teras reaktor telah berhasil dilakukan.
Perhitungan distribusi kerapatan daya di dalam teras dikerjakan
menggunakan PRENPAC, yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan
SRAC. PRENPAC menghasilkan nilai kerapatan daya maksimum sebesar
58,53 W/cc, kerapatan daya rata-rata 28,25 W/cc, dan peaking ratio 2,072.
SRAC menghasilkan nilai kerapatan daya maksimum 65,52 W/cc,
kerapatan daya rata-rata 28,25 W/cc, dan peaking ratio 2,319. Kerapatan
daya maksimum terjadi di pusat teras (r = 0,z = 0). Besar rata-rata
perbedaan perhitungan antara PRENPAC dan SRAC adalah 11,83%,
dimana perbedaan perhitungan terutama terjadi di daerah perbatasan
material antara teras aktif dengan reflektor. Perbedaan hasil perhitungan
ini mungkin terjadi akibat perbedaan penanganan syarat batas di daerah
perbatasan material.
3. Perhitungan faktor multiplikasi efektif (faktor k) dikerjakan oleh
PRENPAC di tujuh titik pengamatan (setiap 5 tahun) dari keadaan initial
loading sampai tahun ke 30, kemudian hasilnya dibandingkan dengan
106
SRAC. Ternyata PRENPAC dan SRAC menghasilkan pola (shape)
perubahan faktor k yang sangat mirip, tetapi nilainya memang berbeda.
Perbedaan rata-rata perhitungan faktor k dengan menggunakan SRAC dan
PRENPAC adalah 0,387%.
4. Perhitungan dan analisis termal hidrolik teras reaktor telah berhasil
dilakukan. Coolant yang digunakan adalah air yang diberi tekanan 15,5
MPa dengan temperatur saturasi 342,24 C, coolant ini memasuki teras
pada temperatur 280 C. Hasil optimal didapat pada kecepatan alir massa
coolant primer (primary coolant mass flow) 19943 ton/jam. Pada nilai
massflow tersebut, akan diperoleh temperatur rata-rata sebesar 304,016 C
dan temperatur maksimum 338,578 C, yang berarti terpaut sekitar 4 C
dibawah temperatur saturasi. Distribusi temperatur yang didapat
mempunyai peaking ratio 1,114. Untuk mengalirkan coolant pada level
massflow tersebut, diperlukan pompa sirkulasi dengan daya 1,536 MW,
yang setara dengan 0,366% daya termal teras.
5. Perhitungan dan analisis perpindahan panas pada boiler telah berhasil
dilakukan. Geometri boiler yang digunakan adalah pipa silinder dengan
tinggi 23 meter dan diameter efektif 0,75 inch. Coolant primer mengalir di
dalam pipa dengan tekanan 15,5 MPa dan massflow 5539,64 kg/s (19943
ton/jam), dan coolant sekunder mengalir di luar pipa dengan tekanan 4
MPa dan massflow 152,2 kg/s. Hasil optimal didapat dengan
menggunakan 8000 pipa. Desain boiler berhasil menurunkan temperatur
coolant primer dari 304,016 C menjadi 280,006 C, dan mengubah fase
coolant sekunder dari cair menjadi superheated steam dengan temperatur
279,984 C. Heat transfer rate dengan menggunakan 8000 pipa adalah 389
MW, karena energi termal teras adalah 420 MW, berarti boiler berhasil
memindahkan 92,62% energi termal dari sistem coolant primer ke sistem
coolant sekunder.
6. Perhitungan dan analisis termodinamik sistem PLTN telah berhasil
dilakukan. Temperatur uap yang dihasilkan boiler/steam generator adalah
279,984 C, dengan tekanan 4 MPa, uap ini kemudian memasuki turbin.
Kondensor dirancang dengan tekanan 10 kPa, dengan temperatur saturasi
107
45,81 C. Hasil perhitungan menunjukan nilai efisiensi siklus adalah
33,9%, yang berarti turbin berhasil mengkonversi energi termal menjadi
energi kinetik sebesar 132 MW. Nilai steam quality didapat sebesar
74,682%, hal ini berarti setelah uap memasuki dan memutar turbin, maka
sebesar 25,318% massanya berubah menjadi fase cair, hal ini terjadi
karena penurunan enthalpi uap akibat energi termal yang diubah menjadi
energi kinetik turbin.
7. Perhitungan dan analisis perpindahan panas pada kondensor telah berhasil
dilakukan. Desain kondensor serupa dengan boiler, hanya saja kondensor
menggunakan jumlah pipa dua kali lebih banyak dari boiler, yaitu 16000
pipa. Hasil optimal dicapai pada massflow coolant kondensor 3010,5 kg/s,
dimana kondensor berhasil mengubah fase coolant sekunder menjadi cair
seluruhnya, dengan perubahan temperatur coolant kondensor sekitar 20 C.
Heat transfer rate kondensor pada massflow tersebut adalah 257 MW,
yang merupakan energi termal yang tidak berhasil diserap turbin, yang
kemudian dilepaskan ke lingkungan.
V.2 Saran
Program PRENPAC yang penulis kembangkan tentu masih jauh dari sempurna,
berikut ini adalah beberapa saran untuk pengembangan selanjutnya :
108
DAFTAR PUSTAKA
[2] Dwi Irwanto. (2006), Studi Desain PWR (Pressurized Water Reactor)
Dengan Sistem Annular Fuel Berbahan Bakar Thorium dan
Menggunakan Protactinium Sebagai Burnable Poisson, Thesis Magister,
Departemen Fisika ITB.
[3] http://www.iea.org/Textbase/stats/electricitydata.asp?COUNTRY_CODE=ID
[4] http://www-formal.stanford.edu/jmc/progress/energy.html
[5] http://www.nei.org/index.asp?catnum=2&catid=106
[6] http://www-formal.stanford.edu/jmc/progress/nuclear-faq.html
[7] Rida Siti Nuraini M. (2006), Studi Desain Reaktor Cepat Berpendingin
Pb-Bi yang Hanya Menggunakan Input Uranium Alam Dalam Siklus
Operasinya, Tugas Akhir Sarjana, Departemen Fisika ITB.
[8] http://www-formal.stanford.edu/jmc/progress/cohen.html
109
[12] DeVries, Paul L. (1994), A First Course in Computational Physics, John
Wiley & Sons, Inc, New York.
[14] M. Nurul Subkhi. (2005), Studi Desain Reaktor Air Bertekanan (PWR)
Berukuran Kecil Berumur Panjang Bernahan Bakar Thorium-
Protactinium Oksida, Tesis Magister, Departemen Fisika ITB.
110
LAMPIRAN A
111
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
XZRN0008 2 0 4.2507E-2 /1
MOD5X03X 0 2 581. 1.0 0.0 / 3 : MODERATOR
XH01H008 0 0 4.5869E-2 /1
XO060008 0 0 2.2934E-2 /2
END_DATA
#
#======== Remove scratch PS files ===========================================
#
cd $HOME
rm -r $WKDR
#
#======== Remove PDS files if you don't keep them ===========================
#
# rm -r $PDS_DIR
#
rm -r $PDS_DIR/UFAST
rm -r $PDS_DIR/UTHERMAL
rm -r $PDS_DIR/UMCROSS
rm -r $PDS_DIR/MACROWRK
# rm -r $PDS_DIR/MACRO
rm -r $PDS_DIR/FLUX
rm -r $PDS_DIR/MICREF
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
# CASE : case name which is refered as names of output files and PDS
# WKDR : directory name in which scratch PS files will be made and deleted
# PDSD : directory name in which PDS files will be made
#
set NOW = $HOME/SRAC/aworks/PWR3411MWt
set LMN = SRACsc.30m
set BRN = ucm66fp
set ODR = $NOW/out
set CASE = core
set PDSD = $NOW
#
#============= mkdir for PDS ================================
#
# PDS_DIR : directory name of PDS files
# PDS file names must be identical with those in input data
#
set PDS_DIR = $PDSD/$CASE
mkdir $PDS_DIR
mkdir $PDS_DIR/UFAST
mkdir $PDS_DIR/UTHERMAL
mkdir $PDS_DIR/UMCROSS
mkdir $PDS_DIR/MACROWRK
mkdir $PDS_DIR/MACRO
# set MACRO = $NOW/macs/f123
set MACRO = $NOW/macs/FPWR
mkdir $PDS_DIR/FLUX
mkdir $PDS_DIR/MICREF
#
#============= Change if you like ============================
#
set SRAC_DIR = $HOME/SRAC
set LM = $SRAC_DIR/bin/$LMN
set DATE = `date +%b%d.%H.%M.%S`
set WKDR = $HOME/SRACtmp.$CASE.$DATE
mkdir $WKDR
#
setenv fu50 $SRAC_DIR/lib/burnlibT/$BRN
setenv fu85 $SRAC_DIR/lib/kintab.dat
# setenv fu89 $ODR/$CASE.SFT89.$DATE
# setenv fu98 $ODR/$CASE.SFT98.$DATE
setenv fu99 $ODR/$CASE.SFT99.$DATE.srac
set OUTLST = $ODR/$CASE.SFT06.$DATE.srac
#
#============= Exec SRAC code with the following input data =============
#
cd $WKDR
cat - << END_DATA | $LM >& $OUTLST
core
Citation PWR with R-Z Geometry
0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 5 0 0 2 0 1 0 0 0 / SRAC CONTROL
1.466E-03 / BUCKLING
$HOME/SRACLIB-JDL32/pds/pfast Old File
$HOME/SRACLIB-JDL32/pds/pthml O F
$HOME/SRACLIB-JDL32/pds/pmcrs O F
$PDS_DIR/UFAST Scratch Core
$PDS_DIR/UTHERMAL S C
$PDS_DIR/UMCROSS S C
$PDS_DIR/MACROWRK S C
$MACRO old C
$PDS_DIR/FLUX S C
$PDS_DIR/MICREF S C
& Caution : Directory for PDS will not be made or deleted in program.
& If you set Scratch, members will be deleted.
61 46 1 3 / 107 group => 4 group
61(1) /
46(1) /
61 /
13 16 17 /
4 0 -1 / NM NXR ID
1 1 / IXKI IDELAY (CALCULATE KINETICS PARAMETERS)
CORE 4 REGION BAHAN BAKAR (block3-8 are skipped)
EPS(FLUX) < 1.0E-4, EPS(KEFF) < 1.0E-5, ZONE 11:BLACKNESS
001
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
900
0.
003
0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.0001 0.00001
Lampiran A
Lampiran A
END_DATA
#
#======== Remove scratch PS files ===========================================
#
cd $HOME
rm -r $WKDR
#
#======== Remove PDS files if you don't keep them ===========================
#
rm -r $PDS_DIR
#
# rm -r $PDS_DIR/UFAST
# rm -r $PDS_DIR/UTHERMAL
# rm -r $PDS_DIR/UMCROSS
# rm -r $PDS_DIR/MACROWRK
# rm -r $PDS_DIR/MACRO
# rm -r $PDS_DIR/FLUX
# rm -r $PDS_DIR/MICREF
Lampiran A
Lampiran A
Lampiran A
LAMPIRAN B
112
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
Lampiran B
LAMPIRAN C
113
Lampiran C
1. URANIUM
Atomic Number: 92 Atomic Radius: 138.5 pm
Atomic Symbol: U Melting Point: 1135 ?C
Atomic Weight: 238.029 Boiling Point: 4131 ?C
Electron Configuration: [Rn]7s25f36d1 Oxidation State: 6, 5, 4
General
Name, Symbol, Number uranium, U, 92
Chemical series actinides
Group, Period, Block n/a, 7, f
silvery gray metallic;
Appearance corrodes to a spalling
black oxide coat in air
Atomic mass 238.02891(3) g/mol
Electron configuration [Rn] 5f3 6d1 7s2
Electrons per shell 2, 8, 18, 32, 21, 9, 2
Physical properties
Phase solid
Density (near r.t.) 19.1 g·cm−3
Liquid density at m.p. 17.3 g·cm−3
1405.3 K
Melting point
(1132.2 °C, 2070 °F)
4404 K
Boiling point
(4131 °C, 7468 °F)
Heat of fusion 9.14 kJ·mol−1
Heat of vaporization 417.1 kJ·mol−1
Heat capacity (25 °C) 27.665 J·mol−1·K−1
Vapor pressure
P/Pa 1 10 100 1k 10 k 100 k
at T/K 2325 2564 2859 3234 3727 4402
Atomic properties
Crystal structure orthorhombic
3+,4+,5+,6+ [1]
Oxidation states
(weakly basic oxide)
Electronegativity 1.38 (Pauling scale)
Ionization energies 1st: 597.6 kJ/mol
Lampiran C
Lampiran C
Miscellaneous
Magnetic ordering paramagnetic
Electrical resistivity (0 °C) 0.280 µΩ·m
Thermal conductivity (300 K) 27.5 W·m−1·K−1
Thermal expansion (25 °C) 13.9 µm·m−1·K−1
Speed of sound (thin rod) (20 °C) 3155 m/s
Young's modulus 208 GPa
Shear modulus 111 GPa
Bulk modulus 100 GPa
Poisson ratio 0.23
CAS registry number 7440-61-1
Selected isotopes
Main article: Isotopes of uranium
iso NA half-life DM DE (MeV) DP
232 228
U syn 68.9 y α & SF 5.414 Th
233 229
U syn 159,200 y SF & α 4.909 Th
234 230
U 0.0058% 245,500 y SF & α 4.859 Th
235 8 231
U 0.72% 7.038×10 y SF & α 4.679 Th
236 7 232
U syn 2.342×10 y SF & α 4.572 Th
238 9 234
U 99.275% 4.468×10 y SF & α 4.270 Th
References
Lampiran C
Lampiran C
Uranium dioxide
Systematic name
Uranium(IV) oxide
Other names
Molecular formula UO2
Molar mass xxx g/mol
CAS number [1344-57-6]
Density xx g/cm3
Solubility (water) Insoluble
Melting point 3120 K, 2846.85°C, 5156.33°F
Disclaimer and references
The thermal conductivity of zirconium metal and uranium dioxide as a function of temperature
This is a 20 mm diameter fuel pellet, note that the central temperature is very different for the
different fuel solids, also for the different pellets it has the lowest centre line temperature, power
density is 250 W per cubic meter and rim temperature of 200°C
Lampiran C
Lampiran C
3. WATER (H2O)
Water (H2O)
General
Systematic name Water
Aqua
Hydrogen oxide
Dihydrogen monoxide
Other names
Hydrogen hydroxide
Oxidane
Hydric Acid
Molecular formula H2 O
Molar mass 18.0153 g/mol
transparent, almost
Appearance colorless liquid with
a slight hint of blue[1]
CAS number [7732-18-5]
see also Water (data page)
Lampiran C
Lampiran C
Properties
1000 kg/m3, liquid
Density and phase
917 kg/m3, solid
Melting point 0 °C, 32 °F (273.15 K)
Boiling point 100 °C, 212 °F (373.15 K)
Triple point 273.16 K, 611.73 Pa
Specific heat cp= 1850 J/(kg·K)
capacity (gas) cv= 3724 J/(kg.K)
Specific heat
4186 J/(kg·K)
capacity (liquid)
Specific heat
2060 J/(kg·K)
capacity (solid)
Acidity (pKa) 15.74
Basicity (pKb) 15.74
Viscosity 0.001 Pa·s at 20 °C
Surface Tension at 20 °C 7.28 N/m
Structure
Molecular shape non-linear bent
Hexagonal
Crystal structure
See ice
Dipole moment 1.85 D
Hazards
MSDS External MSDS
Main hazards No known hazard
NFPA 704
0
0
0
RTECS number ZC0110000
Supplementary data page
Structure and
n, εr, etc.
properties
Thermodynamic Phase behaviour
data Solid, liquid, gas
Spectral data UV, IR, NMR, MS
Lampiran C
Lampiran C
Related compounds
acetone
Related solvents
methanol
water vapor
Related compounds ice
heavy water
Except where noted otherwise, data are given for
materials in their standard state (at 25 °C, 100 kPa)
Infobox disclaimer and references
Thermodynamic properties
Phase behavior
Lampiran C
Lampiran C
Lampiran C
Lampiran C
Lampiran C
Lampiran C
log10(P) = A − B/(T – C)
Steam Table[5]
Temp. Pressure H of liquid ΔvapH ΔvapW ρ of vapor
0 °C 0.612 kPa 0.00 J/g 2496.5 J/g 126.0 J/g 0.004845 kg/m3
10 °C 1.227 kPa 42.0 J/g 2473.5 J/g 130.5 J/g 0.009398 kg/m3
20 °C 2.536 kPa 83.8 J/g 2450.9 J/g 135.1 J/g 0.01728 kg/m3
30 °C 4.242 kPa 125.6 J/g 2427.9 J/g 139.7 J/g 0.03036 kg/m3
40 °C 7.370 kPa 167.2 J/g 2404.9 J/g 144.2 J/g 0.05107 kg/m3
50 °C 12.33 kPa 209.0 J/g 2381.4 J/g 148.7 J/g 0.08285 kg/m3
60 °C 19.90 kPa 250.8 J/g 2357.6 J/g 153.0 J/g 0.1300 kg/m3
70 °C 31.15 kPa 292.7 J/g 2332.9 J/g 157.3 J/g 0.1979 kg/m3
80 °C 46.12 kPa 334.6 J/g 2307.7 J/g 161.5 J/g 0.2931 kg/m3
90 °C 70.10 kPa 376.6 J/g 2282.6 J/g 165.5 J/g 0.4232 kg/m3
100 °C 101.32 kPa 419.0 J/g 2256.3 J/g 169.4 J/g 0.5974 kg/m3
110 °C 143.27 kPa 460.8 J/g 2229.5 J/g 173.1 J/g 0.8264 kg/m3
120 °C 198.50 kPa 503.2 J/g 2201.4 J/g 176.7 J/g 1.121 kg/m3
130 °C 270.13 kPa 545.8 J/g 2172.5 J/g 180.2 J/g 1.497 kg/m3
140 °C 361.4 kPa 588.5 J/g 2142.8 J/g 183.2 J/g 1.967 kg/m3
150 °C 476.0 kPa 631.5 J/g 2111.8 J/g 186.1 J/g 2.548 kg/m3
160 °C 618.1 kPa 674.7 J/g 2080.0 J/g 188.7 J/g 3.263 kg/m3
Lampiran C
Lampiran C
170 °C 792.0 kPa 718.5 J/g 2047.0 J/g 190.6 J/g 4.023 kg/m3
180 °C 1002.7 kPa 762.5 J/g 2012.2 J/g 192.8 J/g 5.165 kg/m3
190 °C 1254.9 kPa 807.0 J/g 1975.8 J/g 194.5 J/g 6.402 kg/m3
200 °C 1554.3 kPa 851.9 J/g 1937.3 J/g 195.6 J/g 7.868 kg/m3
210 °C 1907.9 kPa 897.5 J/g 1897.5 J/g 196.3 J/g 9.606 kg/m3
221.1 °C 2369.8 kPa 948.5 J/g 1850.2 J/g 196.6 J/g 11.88 kg/m3
229.4 °C 2769.6 kPa 987.9 J/g 1812.5 J/g 196.2 J/g 13.87 kg/m3
240.6 °C 3381.1 kPa 1040.6 J/g 1759.4 J/g 195.1 J/g 16.96 kg/m3
248.9 °C 3904.1 kPa 1040.6 J/g 1715.8 J/g 193.7 J/g 19.66 kg/m3
260.0 °C 4695.9 kPa 1134.8 J/g 1653.9 J/g 190.8 J/g 23.84 kg/m3
271.1 °C 5603.4 kPa 1195.9 J/g 1586.5 J/g 186.9 J/g 28.83 kg/m3
279.4 °C 6366.5 kPa 1240.7 J/g 1532.5 J/g 183.3 J/g 33.18 kg/m3
290.6 °C 7506.2 kPa 1302.3 J/g 1456.3 J/g 177.4 J/g 39.95 kg/m3
298.9 °C 8463.9 kPa 1350.0 J/g 1394.8 J/g 172.2 J/g 45.93 kg/m3
310.0 °C 9878.0 kPa 1415.7 J/g 1307.7 J/g 164.2 J/g 55.25 kg/m3
321.1 °C 11461 kPa 1483.9 J/g 1212.7 J/g 154.5 J/g 66.58 kg/m3
329.4 °C 12785 kPa 1537.9 J/g 1133.2 J/g 145.6 J/g 76.92 kg/m3
340.6 °C 14727 kPa 1617.9 J/g 1007.6 J/g 130.9 J/g 94.25 kg/m3
348.9 °C 16331 kPa 1687.0 J/g 892.0 J/g 117.0 J/g 111.5 kg/m3
360.0 °C 18682 kPa 1797.0 J/g 694.0 J/g 91.0 J/g 145.3 kg/m3
371.1 °C 21349 kPa 1968.3 J/g 365.0 J/g 47.0 J/g 214.5 kg/m3
374.4 °C 22242 kPa 2151.2 J/g 0 J/g 0 J/g 306.8 kg/m3
Temp. Pressure H of liquid ΔvapH ΔvapW ρ of vapor
Data in the table above is given for water-steam equilibria at various temperatures over the entire
temperature range at which liquid water can exist. Pressure of the equilibrium is given in the second
column in kPa. The third column is the heat content of each gram of the liquid phase relative to
water at 0 °C. The fourth column is the heat of vaporization of each gram of liquid that changes to
vapor. The fifth column is the PV work done by each gram of liquid that changes to vapor. The
sixth column is the density of the vapor.
Lampiran C
LAMPIRAN D
114