Anda di halaman 1dari 8

Biografi HAMKA

Oleh: Wikepedia

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah.
Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara.
Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya
ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah
(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA
mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di
surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid,
Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan
dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di
Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga
tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor
Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai
Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno
menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,
beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau
meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-
tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto,
Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian
Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di
Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada
tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian
beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis
Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan
Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah
ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977,
Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama
Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat
Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia
melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante
Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya
diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka
dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau
mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara,
Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis
Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan
penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor
majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-
Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat
dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah
terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan
menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti
anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa
sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh
ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk
Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Benyamin Sueb
Oleh: ensiklopedi tokoh Indonesia

Ia menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan
budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan ‘muke lu jauh’ atau ‘kingkong lu lawan’
pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa yang sudah
menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini.

Sejak kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan bersaudara pasangan
Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak
menentu, si kocak Ben sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya buat biaya
sekolah kakak-kakaknya.

Benyamin sering mengamen ke tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang
badan. Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5 sen dan sepotong
kue sebagai ‘imbalan'.

Penampilan Benyamin kecil memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat
Benyamin disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939 ini sudah terlihat
bakatnya sejak anak-anak.

Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet
dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat - menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung)
yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya,
Benyamin sempat membuat orkes kaleng.

Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak
obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan ‘alat musik’
itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.

Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal
kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer
(kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi
(ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.

Benyamin memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago sejak umur 7 tahun.
Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak
teman, menjadikan Ben sering ditraktir teman-teman sekolahnya.

SD kelas 5-6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu
sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak
gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia mengancam, “Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!” Lulus
SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di Akademi Bank Jakarta,
tapi tidak tamat.

Benyamin mengaku tidak punya cita-cita yang pasti. “Tergantung kondisi,” kata penyanyi dan pemain
film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar untuk jadi pilot, tetapi urung gara-
gara dilarang ibunya.

Ia akhirnya menjadi pedagang roti dorong. Pada 1959, ia ditawari bekerja di perusahaan bis PPD,
langsung diterima . “Tidak ada pilihan lain,” katanya. Pangkatnya cuma kenek, dengan trayek Lapangan
Banteng - Pasar Rumput. Itu pun tidak lama. “Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir ngajarin
korupsi melulu,” tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos penumpang ditarik, tetapi karcis tidak
diberikan.

Ia sendiri mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap basah ketika ada
razia. Benyamin tidak berani lagi muncul ke pool bis PPD. Kabur, daripada diusut.

Baru setelah menikah dengan Noni pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada
tahun itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman sekampung di Kemayoran,
mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini
pula, dua lagu Benyamin terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop.

Sebenarnya selain menekuni dunia seni, Benyamin juga sempat menimba ilmu dan bekerja di lahan yang
‘serius’ diantaranya mengikuti Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan dan Pembinaan Ketatalaksanaan
(1960), Latihan Dasar Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964), bekerja di
Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian
Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969).

Dari berkesenian, hidup Benyamin (dan keluarganya) berbalik tak lagi getir. Debutnya Si Jampang,
mengalir setelah itu Kompor Mleduk belakangan dinyanyikan ulang oleh Harapan Jaya, Begini Begitu
(duet Ida Royani), Nonton Bioskop (dibawakan Bing Slamet) dan puluhan lagu karya Benyamin yang lain.

Tidak puas dengan hanya menyanyi, Benyamin lalu main film. Diawali Honey Money and Jakarta Fair
(1970) lalu mengucur deras puluhan film lainnya. Seniman yang suka ‘mengomel’ bila melawak ini
menjadi salah satu pemain yang namanya sering digunakan menjadi judul film. Selain Benyamin tercatat
diantaranya Bing Slamet,Ateng, dan Bagio.

Judulnya, antara lain Benyamin Biang Kerok (Nawi Ismail, 1972), Benyamin Brengsek (Nawi Ismail, 1973),
Benyamin Jatuh Cinta (Syamsul Fuad, 1976), Benyamin Raja Lenong (Syamsul Fuad, 1975), Benyamin Si
Abunawas (Fritz Schadt, 1974), Benyamin Spion 025 (Tjut Jalil, 1974), Traktor Benyamin (Lilik Sudjio,
1975), Jimat Benyamin (Bay Isbahi, 1973), dan Benyamin Tukang Ngibul (Nawi Ismail,1975).
Dia juga main di film seperti Ratu Amplop (Nawi Ismail, 1974), Cukong Blo'on (Hardy, Chaidir Djafar,
1973),Tarsan Kota (Lilik Sudjio, 1974), Samson Betawi (Nawi Ismail, 1975), Tiga Janggo (Nawi Ismail,
1976), Tarsan Pensiunan (Lilik Sudjio, 1976), Zorro Kemayoran (Lilik Sudjoi, 1976). Sementara Intan
Berduri (Turino Djunaidi, 1972) membuat dirinya, dan Rima Melati, meraih Piala Citra 1973.

Benyamin juga membuat perusahaan sendiri bernama Jiung Film - diantara produksinya Benyamin Koboi
Ngungsi (Nawi Ismail, 1975) - bahkan menyutradarai Musuh Bebuyutan (1974) dan Hippies Lokal (1976).
Sayang, usahanya mengalami kemunduran, dan PT Jiung Film dibekukan tahun 1979.

Benyamin tidak selalu menjadi bintang utama di setiap filmnya. Seperti layaknya semua orang, ada
proses dimana Benyamin "hanya" menjadi figuran atau paling mentok menjadi aktor pembantu. Dalam
hal ini, paling tidak ada dua nama yang patut disebut, yaitu Bing Slamet dan Sjuman Djaya. Walau sudah
merintis karir sebagai "bintang film" lewat film perdananya, Banteng Betawi (Nawi Ismail,1971) yang
merupakan lanjutan dari Si Pitung (Nawi Ismail, 1970), tetapi kedua nama besar itulah yang
mempertajam kemampuan akting Benyamin.

Dalam "berguru" dengan Bing Slamet, Benyamin tidak saja bekerja sama dalam hal musik - seperti dalam
lagu Nonton Bioskop dan Brang Breng Brong. Tapi dalam hal film pun dilakoninya. Terlihat dengan jelas,
di film Ambisi (Nya Abbas Acup, 1973) -sebuah "komidi musikal" yang diotaki oleh Bing Slamet -
Benyamin menjadi teman sang aktor utama, Bing Slamet menjadi penyiar Undur-Undur Broadcasting.

Di film ini, sudah terlihat gaya "asal goblek" Benyamin yang penuh improvisasi dan memancing tawa. Di
sini, dia berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Tukang Sayur. Tetapi, sebenarnya, setahun sebelumnya,
Benyamin juga diajak ikutan main Bing Slamet Setan Djalanan (Hasmanan, 1972). Karena itulah, saat
sahabatnya itu wafat pada 17 Desember 1974, Benyamin tak dapat menahan tangisnya.

Dengan Sjuman Djaya, Benyamin diajak main Si Doel Anak Betawi (Sjuman Djaya, 1973). Dirinya menjadi
ayah si Doel, yang diperankan oleh Rano Karno kecil. Perannya serius tapi, seperti stereotipe orang
Betawi, kocak dan tetap "asal goblek".

Adegan terdasyat film ini adalah saat pertemuan antara abang-adik yang diperankan oleh Benyamin dan
Sjuman Djaya sendiri, terlihat ketegangan dan kepiawaian akting keduanya yang mampu mengaduk-
aduk emosi penonton. Talenta itu direkam oleh ayah dari Djenar Maesa Ayu dan Aksan Syuman, dan dua
tahun kemudian Benyamin pun main film sekuelnya, Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975). Kali ini
Benyamin menjadi bintang utamanya, dan meraih Piala Citra.

Yang menarik, lebih dari dua puluh tahun kemudian Rano Karno membuat versi sinetronnya. Castingnya
nyaris sama: Rano sebagai Si Doel, Benyamin sebagai ayahnya - selain theme song-nya dan settingnya
yang hanya diubah sedikit saja. Lagi-lagi Benyamin menjadi aktor pendukung, tapi kehadirannya
sungguh bermakna.

Sebenarnya ada satu lagi film yang dirinya bukan aktor utama, tetapi sangat dominan bahkan namanya
dijadikan subjudul atawa tagline: Benyamin vs Drakula. Film itu adalah Drakula Mantu, karya si Raja
Komedi Nyak Abbas Akub tahun 1974. Film bergenre komedi horor itu "memaksa" Benyamin beradu
akting dengan Tan Tjeng Bok, si aktor tiga zaman. Begitulah, meski beberapa kali pernah tidak
"menjabat" sebagai aktor utama, tetapi kehadirannya mencuri perhatian penonton saat itu.

Penyanyi Beneran
Tahun 1992, saat sibuk main sinetron dan film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan)
Benyamin mengutarakan keinginannya pada Harry Sabar, "Gue mau dong rekaman kayak penyanyi
beneran."

Maka, bersama Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya, jadilah band Gambang
Kromong Al-Haj dengan album Biang Kerok. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi
andalan album tersebut. Inilah band dan album terakhir Benyamin.

"Di lagu itu, entah kenapa, Ben menyanyi seperti berdoa, khusuk. Coba saja dengar Ampunan," jelas
Harry, sang music director. "Mungkin sudah tahu kalau hidupnya tinggal sebentar," imbuhnya. Memang
betul, setelah album itu keluar, Benyamin sakit keras, dan rencana promosi ditunda dan tak pernah lagi
terwujud kecuali beberapa pentas.

Di album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Tetapi, lagi-lagi, seserius apa pun, tetap saja orang-
orang yang terlibat tertawa terpingkal-pingkal saat Benyamin rekaman lagu I’m a Teacher dan Kisah
Kucing Tua dengan penuh improvisasi. Sementara lagu Dingin Dingin Dimandiin dan Biang Kerok
bernuansa cadas. Dan Ampunanmu kental dengan progressive rock, diantaranya nuansa Watcher of the
Sky dari Genesis era Peter Gabriel.

Yang menarik, masih menurut Harry, saat Benyamin menonton Earth, Wind, and Fire di Amerika - saat
menjenguk anaknya yang kuliah di sana - dia langsung komentar, "Nyanyi yang kayak gitu, asyik kali
ye?", dan nuansa itu pun hadir di beberapa lagu di album itu, salah satunya dengan sedikit sentuhan
Lady Madonna dari The Beatles.

Benyamin yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia seusai main sepakbola pada
tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung. Ia bukan lagi sekadar sebagai tokoh masyarakat
Betawi, melainkan legenda seniman terbesar yang pernah ada. Karena itu banyak orang merasa
kehilangan saat dirinya dipanggil Yang Maha Kuasa.

Dari pelawak yang pernah tampil dalam variety show Benjamin Show sambil tour dari kota ke kota
sampai Malaysia dan Singapura ini muncul banyak idiom atau celetukan yang sampai kini masih melekat
di telinga masyarakat, khususnya warga Jakarta. Sebut saja, aje gile, ma'di kepe, atau ma'di rodok, yang
semuanya lahir dari lidah Benyamin.
Chairil Anwar
Oleh: ensiklopedi tokoh Indonesia

Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan
bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-
karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada
Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi
penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu
diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih
kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini,
antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young
Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung
Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak
perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat
Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor
Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas,
solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar
meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet
Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya
digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku
( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke
dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema
Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur
Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang
(1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono
(1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini
Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur
(1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah:
"Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro
poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil
Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only
Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket
Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel
(Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan
diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press,
1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus
Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel
(Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:


1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan
Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S.
Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul
Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S.
Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);

6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B.
Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung
Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984);
9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers,
1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi
kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996). ►e-ti/tsl, dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai