Aku beruntung tidak jauh dari tempat mobilku berhenti ada sebuah halte bus. Segera kubuka
pintu mobilku dan menerobos hujan sambil membawa oleh-oleh untuk ayah menuju halte. Orang-
orang di halte mamandangiku yang basah karena hujan. Seorang perempuan bahkan menjauh karena
takut ikut basah. Mungkin sebaiknya aku melanjutkan perjalanan dengan mengendarai taksi dan biar
bengkel yang membawa mobilku. Saat taksi sudah dipanggil, aku baru menyadari bahwa aku hanya
membawa sedikit uang tunai. Kuurungkan niatku menaiki taksi. Dapat kulihat supir taksi tadi
menggerutu. Akhirnya, kuputuskan untuk menaiki bus agar biayanya lebih murah. Aku sudah lama
tidak naik bus. Semenjak aku membeli mobil, aku hampir tidak pernah naik kendaraan umum.
Kalaupun mobilku mogok, aku lebih memilih menaiki taksi. Itupun jarang terjadi. Aku sudah
menunggu bus yang lewat rumah ayahku hampir 15 menit. Aku sudah hampir bosan menunggu.
Bahkan bajuku yang basah karena hujan sudah hampir kering.
Gadis itu mungkin baru berusia dua puluh tahun. Rambutnya panjang, ikal mulai dari bagian
tengahnya dan berwarna hitam. Kulitnya kuning langsat hampir putih. Tapi yang membuatku benar-
benar tertarik padanya adalah warna bola matanya. Matan berwarna biru yang dihiasi dengan
kacamata. Sangat unik dengan wajahnya yang oriental. Dia berdiri di sampingku menunggu bus.
Ditutupnya payung lipat yang tadi dipakainya setelah payung itu dikeringkan. Tak lama kemudian,
bis yang ditunggu pun lewat. Orang-orang berdesak-desakan untuk masuk. Aku sudah berdiri di pintu
saat kulihat gadis itu menjatuhkan buku-nuku yang dibawanya karena tersenggorl orang lain. Aku
menyuruh kondektur untuk menunggu. Kubantu gadis itu membereskan buku-bukunya. Kemudian
kami menaiki bus yang sudah penuh sesak itu.
Kami tidak kebagian tempat duduk. Jadi, kami berdiri berdekatan. Kulihat rambut basahnya
menempel di pipinya. Kacamatanya basah karena kehujanan tadi. Tiba-tiba dia berbalik dan
mendongak ke atas menatap wajaku. Bulu matanya yang panjang bersentuhan dengan lensa
kacamatanya. Karena posisi kami cukup berdekatan, aku bisa memandang wajahnya lebih jelas. Aku
yakin warna bola matanya asli. Jelas itu bukan softlens. “Terima kasih,” katanya sambil tersenyum.
Entah kenapa, mendengar suaranya membuatku tersipu. “Tidak apa-apa,” jawabku. Cukup lama kami
berpandangan sampai kondektur menagih uang penumpang. Setelah kondektur pergi, dia berbalik dan
seolah mencari-cari sesuatu dari tasnya. Saat itu, seorang bapak hendak turun dan membuat gadis tadi
terdorong sampai hampir jatuh. Tapi, tanganku dengan sigap menangkap tubuhnya sebelum dia
terjatuh ke lantai. Dia nampak malu-malu saat bangun. “Saya minta maaf. Sampai merepotkan dua
kali.”. Pipinya memerah saat mengatakan kata-kata tadi. “Tidak apa,” jawabku lagi. “Dari tadi, anda
bilang tidak apa. Apa benar tidak apa? Kita belum saling kenal, tapi anda sudah menolong saya 2
kali,” bibirnya yang tipis kemerahan mengembangkan senyum sampai muncul lesung di pipinya.
“Menolong orang boleh siapa saja, kan?” kataku balik bertanya. “Ya. Tapi saya merasa tidak enak
dengan anda,” dia terdiam sejenak. “Rani,” dia mengenalkan namanya sambil mengulurkan
tangannya. Aku membalas jabat tangannya. “Romi,” kataku. Kami berbincang-bincang sepanjang sisa
perjalanan.
Setelah pertemuan itu, aku selalu memikirkannya. Tutur katanya yang halus, senyumnya yang
hangat, dan yang paling kurindukan adalah sepasang bola mata berwarna biru terang. Aku mencari
tahu semua tentang Rani. Ternyata, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah ayah. Yang membuatku
kaget, usianya ternyata masih sangat muda, 18 tahun. Usianya 12 tahun lebih muda dariku. Dia masih
kuliah di salah satu universitas yang cukup terkenal di kota ini. Dia juga termasuk mahasiswi yang
cerdas. Terbukti dia mampu mendapatkan beasiswa di tiap jenjang pendidikan yang dilaluinya. Dia
hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kutahu dia mewarisi mata ayahnya. Ayahnya seorang pria asing
yang sudah meninggal sejak Rani lahir.
Suatu sore, aku mengendarai mobilku mengelilingi kota. Saat tiba di daerah yang cukup sepi,
aku melihat dari kejauhan seorang perempuan yang dikelilingi beberapa lelaki. Nampaknya
perempuan itu merasa terganggu dengan lelaki-lelaki tadi. Tiba-tiba tangan salah seorang lelaki tadi
menyentuh wajahnya. Spontan perempuan tadi menampar orang yang menyentuhnya tadi. Kemudian
dia langsung berlari. Aku segera berlari menuju orang-orang yang mengejarnya. “Sudahlah. Jangan
kalian ganggu lagi perempuan tadi,” nasihatku. Mereka tidak menjawab kata-kataku tapi malah
langsung kembali mengejar perempuan tadi. Karena kesal, aku langsung menghajar salah seorang di
antara mereka. Melihat temannya dihajar, 5 orang lainnya segera balik menyerangku. Tanpa perlu
bersusah payah, aku berhasil menghajar mereka semua. Kubiarkan mereka lari terbirit-birit. Lalu
perempuan tadi keluar dari persembunyiannya. “Rani!” Seruku kaget setengah berteriak. Kulihat
bekas air mata masih ada di pipinya yang seperti porselen itu. Kentara sekali dia ketakutan. “Kenapa
kamu bisa di sini? Kamu baik-baik saja, kan?” Tanyaku panik. “Aku baru mau pulang dari rumah
temanku. Tiba-tiba... Muncul orang-orang tadi menggangguku. Mereka mengucapkan kata-kata yang
sangat kasar,” jawabnya. Kuantarkan dia pulang. Aku bertemu dengan ibunya. Usianya mungkin
hampir sama dengan ayahku. Wajahnya sama sekali tidak mirip dengan Rani. Kelihatannya aku cukup
diterima oleh ibunya. Kami berbincang-bincang, sementara Rani di kamarnya. Saat ibunya masuk ke
kamarnya, ternyata dia tertidur. Pasti dia kelelahan dengan semua kejadian tadi.
Semenjak kejadian itu, Rani dan aku bertambah dekat. “Ayo pergi ke tempat favoritku,”
ajakku. “Ayo,” jawabnya bersemangat. Setelah 30 menit perjalanan, kami tiba di sebuah dermaga.
“Tempat ini sangat indah saat matahari terbit. Aku ingin suatu saat bisa melihat matahari terbit di sini
bersamamu disampingku,” jelasku. Dia tersenyum mendengarnya. Kami duduk di kursi yang
menghadap ke laut. Hubungan kami sudah berjalan 4 bulan. Dan dalam 4 bulan itu kami sudah
mengenal satu sama lain secara mendalam. Tapi tak pernah sekalipun aku memintanya menjadi
pacarku. Aku tidak begitu suka dengan hubungan yang menurutku rapuh seperti itu. Sebab aku pernah
kecewa dalam hubungan itu. “Ran, apa kamu bersedia menjadi isteriku?” Tanyaku padanya. Matanya
terbelalak kaget. Melihat reaksinya, aku yakin dia akan bilang tidak. “Aku senang sekali, kak. Tentu
saja aku mau,” matanya berbinar-binar seperti anak kecil. Kata-katanya itu membuatku sangat lega.
“Kamu tetap kuliah setelah menikah. Itu... Kalau kamu mau,” kataku menawarkan.
Ibunya, dan ayahku sudah memberi restu. Aku tinggal meminta restu ibuku. “Tentu saja tidak
kuizinkan!” seru ibuku marah. Aku tidak mengerti mengapa dia sangat marah. “Kenapa ibu tidak
setuju? Karena perbedaan usia kami?” Tanyaku dengan penasaran. “Kau tidak kenal siapa dia!
Pokoknya, aku tidak akan merestui pernikahanmu dengan perempuan itu!” Ujar ibuku sambil berlalu.
Aku tidak peduli. Restu dari ayahku dan calon ibu mertuaku sudah cukup bagiku. Kami merancang
pesta pernikahan kami dengan gembira. Dalam hati kami sudah tidak sabar mengikat diri dalam ikatan
suci. Pernikahan.
Pernikahan kami tinggal 3 hari lagi. Tapi Rani justru menghilang. Aku tidak mengerti apa
alasan dia menghilang dariku. Tapi aku tidak mau salah menilai dia. Dia pasti berbeda dari Natali.
Perempuan yang meninggalkanku demi mantan pacarnya saat pernikahan sudah di depan mata.
Kudatangi rumahnya. Dia tidak ada. Hanya ada ibunya. “Di mana Rani, bu?” tanyaku tidak sabar. Ibu
tidak langsung menjawab. “Rani... Pergi,” jawabnya ragu. “Pergi? Ke mana?” tanyaku lagi.
Kemudian, ibu menceritakan semuanya. Kemarin, ibu kandungku datang. Dia memarahi Rani.
Ternyata Rani bukan anak kandung ibunya yang kukenal sekarang. Ibu kandungnya sudah meninggal
saat dia berusia 2,5 tahun. Yang merawatnya sekarang adalah bibinya. Dan Rani baru mengetahui hal
ini dari ibuku. Ibuku kemarin juga menghina ibu kandung Rani habis-habisan. Yang paling
mengejutkanku, ternyata demi mengejar cintanya ibu kandung Rani lah ayahku meninggalkan ibu.
Aku menemui ayahku untuk menanyakan kebenarannya. Dan ternyata itu benar. “Ayah sudah
mencintai ibunya Rani sejak belum bertemu ibumu. Namanya Maryam. Kami saling mencintai.
Sayang, ayah harus memenuhi keinginan keluarga untuk dijodohkan dengan ibumu. Kemudian, ayah
dan Maryam berpisah. Kami melanjutkan hidup masing-masing. Tapi sedetik pun ayah tidak pernah
melupakan Maryam. Terlebih, perangai ibumu membuat ayah tidak betah. Kami memang sudah
hampir bercerai saat kamu berusia 7 tahun. Makanya, saat ayah tahu suami Maryam meninggal, ayah
langsung mencarinya. Karena ayah baru sadar. Cinta ayah hanya pada Maryam.”
“Lantas, mengapa ayah menyembunyikannya? Dari saya? Dari Rani? ” Tanyaku. “Romi,
kadang ada baiknya kita tidak mengetahui sesuatu,” katanya. Aku bergegas mencari Rani. Tapi, baru
beranjak dari rumah ayah, ternyata ibu sudah menunggu. “Jangan cari dia!” Perintah ibuku. “Ibu sama
sekali tidak berhak menghalangi kami menikah hanya karena ibu dendam dengan Maryam. Rani
adalah Rani. Dia tidak punya salah apa-apa pada ibu. Ayah meninggalkan ibu karena perangai ibu
yang buruk. Ibu tidak mau berubah, makanya ayah semakin tidak bisa melupakan Maryam!” ujarku
menahan marah. Ibu terdiam. Wajahnya pucat. Ayahku keluar dan melihat ibuku. Bertambah pucatlah
wajah ibuku. Tiba-tiba, hujan turun. Aku segera bergegas mencari Rani. Aku sudah berkeliling ke
semua tempat. Tidak dapat juga kutemukan. Aku terkulai lemas dalam perasaan kecewaku. Aku
mengendarai mobilku melewati malam. Sudah pukul 05.15 WIB. Aku tidak tahu harus ke mana.
Akhirnya aku tanpa sadar mengarahkan mobilku ke dermaga. Setelah sampai, matahari baru mau
muncul dari timur. Kurasakan angin pagi. Kakiku melangkah gontai menuju kursi di tempat aku dan
Rani pernah duduk bersama. Saat itulah aku melihat dia. Rani sedang duduk di kursi itu.
“Rani! Dari mana saja kamu?” Tanyaku cemas. “Aku kemarin hanya bersembunyi darimu.”
Katanya tanpa ekspresi. Dia memandang mataku. “Apa kakak masih sayang padaku?” Tanyanya.
“Tentu saja. Aku akan selalu sayang padamu,” jawabku. Kami sama-sama terdiam saat menyaksikan
matahari yang terbit. Setelah matahari terbit sepenuhnya aku mulai mengajaknya bicara lagi. “Jangan
pernah lakukan ini lagi,” pintaku. Wajahnya datar tapi dari matanya dia seolah bertanya. “jangan
pernah sembunyi dariku,” kataku padanya. Dia tersenyum. “Siapa pun kamu. Kamu tetap Raninya
Romi,“ kataku. “ Ayo pulang,” ajakku sambil mengulurkan tangan. Diraihnya tanganku. Kubawa dia
pulang ke rumahnya. Hari pernikahan kami pun tiba. Ibuku meminta maaaf kepada Rani. Dan
sepertinya, hubungan ayah dan ibu sudah mulai mencair. “Kamu siap?” Tanyaku. “Tentu!” Jawabnya
mantap. Kugandeng tangannya menuju tempat kami akan dinikahkan. Setelah ini kami akan jadi satu.
Tidak akan terpisahkan. Dan mobilku? Tentu saja tidak jadi ku jual! Selain karena dia tidak pernah
rusak lagi, berkat dia aku bertemu Rani. Pasangan hidupku, si gadis bermata biru.