Anda di halaman 1dari 3

Seyakin ini menjemputnya

Oleh: Roni Basa


Senja Utama, 6 Syawal 1431

Saya menjemputnya. Setelah panjang lawatan waktu melintasi hari-hari bersamanya, tidak
luput suka, tidak terlewati duka, mencicipi setiap kepedihan dan keindahan bersama lika-
liku persoalan yang tentu saja tidak diharapkan kehadirannya. Dia menyatakan diri berkali-
kali untuk menempuh waktu di depan sana bersama-sama. Dia bersikeras tidak akan
meregangkan temali hati yang telah terikat penuh, betapapun sukarnya menjalari
kesulitan-kesulitan yang memungkinkan meradang waktunya. Saya tidak sedang
mengalami permasalahan, seperti halnya telah diketahui struktur, perilaku dan hubungan
memengaruhi keduanya. Yang tengah saya hadapi adalah gelombang jeda panjang dalam
rentang waktu tanpa melakukan apapun. Di dalamnya saya bernafas lapang, detak jantung
saya nyaman berdegup, indera saya menfungsikan diri sebagai sebagai rujukan atas apa
yang tersentuh, terdengar, terlihat, terjilati dan terhirup di sekitaran. Saya luluh dengan
waktu yang ia punya.

Sejak dua hari lalu saya persiapkan menjemputnya. Saya tidak mungkin mengetahui sejak
kapan Tuhan mempersiapkan rencana besar ini. perjalanan kali ini sama halnya dengan
perjalanan-perjalanan berkesan lainnya bagi pengalaman kehidupan saya. Saya tidak men-
istimewakannya, saya memuliakannya. Dan bergembiralah saya saat petang menjelang,
semakin dekat untuk bersama ia dan waktunya. Esok, kelak, ketika terbit matahari di
kotanya, ijinkan saya hentikan sejenak perjalanan waktu agar menikmati keberkahan
bersamanya. Mohon persilahkan saya menggenapi apa-apa yang diperlukan untuk
menjaganya dalam pelukan.
Biarkan saya memerankan mataharinya, embunnya, cakrawala dari langit-langit yang ia
candra, yang mengimammi kiblatnya, menjadikan ia paras terakhir setiap nafas akhir
diujung lelap dan jelita pertama yang ditemui setelah tergugah. Mampukan saya
mejadikannya sosok ushwah bagi cikal muda; sosok tawa-tawa kecil di pagi hari saya kelak.

Pada perjalanan saya menjemputnya, saya menuliskan ini semua. Pada perjalanan
hidupnya kelak, saya akan ditorehkannya seumur hidup. Hanya cukup beberapa waktu
saja perjalanan ini ditempuh untuk mejemputnya, perlu waktu sepanjang usianya
menjemput saya yang gemar bertukar tempat menyinggahi relung dan sudut semesta
sekedar menjejaki segala kemungkinan untuk menetap teduh. Saya menetapkan diri
menghirupnya wanginya, setelah ia menebarkan wewangian milik bidadari. Saya
meneguhkan janji, menjadikan ia pemilik hak untuk bertanya apakah saya, bagaimanakah
saya, dimanakah saya dan segala sesuatu yang saya miliki dalam hidup. Saya bangga
melakukan untuknya. Saya tidak meragukan hak-haknya. Ia santunkan kata, ia berikan
suka, ia sampaikan segala, ia sematkan berjuta berkah, ia lewatkan cercahan duka, ia
padamkan bara, ia rengkahkan niscaya, ia benamkan kecewa, ia nyalakan segala.

Mimpi tentang menjemputnya sederhana, sesederhana mimpi tentang seduhan kopi


buatannya di pagi menjelang. Untuk kali ini saja, biarkan saya menikmati terangnya arahan
Tuhan tentang adanya makhluk bidadari yang disematkan pada rupa dan laku milikmu.
Perjalanan kali ini tidak akan saya sia-siakan tiap detiknya untuk melampaui kemampuan
menjelajahi ribuan tahun cahaya guna mendapati semesta baru, sebabnya, semesta ada
selalu untuk saya bersamanya. Ia yang berdiri disana, tidak beranjak dari mimpinya,
mendulang harapan-harapan, mencurahkan bahagia, selalu mengamati tanpa tabir, tidak
segan sesekali menusuk fikiran dengan bijaknya, lihatlah ia membara dengan bara tidak
pernah meredup, sesederhana itu ia mengunggah angkasa bagi hari-hari baru bahagia
saya. Terima kasih kepadanya untuk tidak lekang menghuni dasar hati, terima kasih
untuknya atas keteguhan menepati mimpi, terima kasih atas kesabaran tanpa batas yang
ia buktikan tanpa tertatih, terima kasih baginya karena kata-katanya yang selalu putih
tanpa sugesti, terima kasih untuknya sebab jemarinya tidak lepas dari hati murni.

Diluar jendela kelam sana, hujan merintik bersahutan dengan deru lokomotif yang
membawa saya ke kotanya. Malam hitam mendekati pagi ini, saya menyelimuti diri
dengan kehangatan yang ia sampaikan melalui pendar layar, seakan nyata ia menemani
pada setiap waktu melintasi jalur besi. Disana ia tidak tertidur menanti hari-hari indah
bersama saya, untuk saya, lebih dari bahagia memiliki waktu bersama kehidupannya.
Terbayang memagut hidup tiap hari bersama indah yang ia mahkotakan di atas megahnya.
Tidak perlu untuk saya meragu, tidak mendesak untuk saya khawatir tentang apapun,
karena ia tidak perlu hadir dalam keraguan dan kekhawatiran. Bermaksud penjemputan
ini agar lingkaran jiwanya terpenuhi bahagia, setiap goresan pada relung-relung kalbunya
berwarna biru bersih langit, sehingga megahnya hanya akan pudar berganti pelangi.
Ia yang menjemput saya sejatinya, ia yang menemukan saya sebenarnya, ia yang
mendapati saya dalam keadaan letih tentunya, ia membangkitkan energi usang yang
terbenam melumuti hati, ia pemilik ribuan canda, ia pun yang menabur tebar suka ke
seantero waktu. Saya hanya debu tidak terhinggapi, ia yang menangkupi.

Menunggunya saat menjemputnya, tepat pada pagi hujan merintik, menghela nafas di
udara pagi dimana matahari tidak sempurna terbit sebab dilingkupi mendung jernih. Jalan-
jalan basah terlihat dari sela jeruji ruang tunggu, secangkir kopi hitam panas menemani
saya. Koran hari ini dikuak lembar demi lembar, menjelajahi kata-kata yang dituliskan
didalamnya, berita tentang ribuan kendaraan yang melintasi jalanan dari dan ke tempat
tujuan menemui sanak saudara. Dalam benak saya, kata-kata berubah menjadi bait-bait
syair baru untuknya. Dalam khayal saya, jejalan kendaraan di jalanan pada berita menguap
berganti sesaknya gambaran wajahnya bergantian mengisi pagi dingin rintik hujan di
kotanya. Kabar tentangnya disampaikan oleh pendar layar, ia telah tiba menjemput saya
yang datang untuk menjemputnya. Huhft…berakhir sudah penantian untuk
menjemputnya, telah datang surya abadi hari ini bersamanya, telah menghampiri
kesejukan bersama sapanya, telah menjelang bahagia murni dengannya.

Pagi hujan rintik menjemputnya, ia tampak semakin ayu, ia sapakan kata selamat datang,
ia tidak segan menawarkan ceria, ia sejatinya bidadari yang dijanjikan Tuhan jauh hari
sebelum saya datang menjemputnya.

Seyakin ini menjemputnya, bersama doa-doa kepada Tuhan agar bahagia memenuhi
kehidupannya; saya.

Anda mungkin juga menyukai