Anda di halaman 1dari 3

Dengan diiringi air mata kerinduan yang teramat sangat, aku tuliskan kata yang sederhana ini

untuk mereka yang tersayang; Ayah nomer satu sedunia dan Ibuku tersayang. Aku dibesarkan
dari keluarga yang sederhana, bukan dari orang tak punya atau bukan dari keluarga yang berada,
aku dari keluarga yang sederhana. Sesederhana kami menjalani kehidupan yang dianugerahkan
Tuhan yang begitu istimewa dan berharga. Masih kuingat jelas sorot mata Ayah kala itu, sorot
mata yang selalu meneduhkan. Di pagi buta itu, selepas sholat Tahajud, aku melihat
pengumuman penting yang mungkin akan mengubah hidupku, yaitu Pengumuman Hasil Ujian
Masuk Universitas Diponegoro 2010. Ternyata hasil tak sesuai harapan, aku tidak diterima di
pilihan pertama, melainkan pilihan kedua, Teknologi Hasil Perikanan. Segera kuberitahukan
ayah yang kala itu juga sudah terjaga, kuberitahukan bahwa aku diterima. Jawaban ayah hanya
sederhana, beliau tersenyum penuh arti, bahagia bercampur kecewa, itulah yang aku tangkap dari
senyumnya.Tapi sorot matanya itu, seakan menenangkanku, “Bersyukurlah pada Allah,
Alhamdulillah kamu diberikan kesempatan bersekolah di universitas negeri, Nduk.” Kira-kira
begitulah arti tatapan itu. Dengan nada bahagia,beliau segera membangunkan ibu, kemudian
memberitahukan hasil tersebut kepada ibu. Ibu tak kalah gembira dari ayah. Namun, disudut
hatiku, aku masih merasa gagal, aku merasa belum bisa memberikan yang terbaik untuk mereka
yang tersayang. Kemudian disela doaku, aku menangis dan mengadu kepada Tuhan.

Hari berganti, aku tahu bahwa aku harus lebih berusaha, kujajal segala ujian masuk perguruan
tinggi negeri, belajar keras, berdoa tanpa henti. Tapi apa hendak dikata, manusia berusaha,
Tuhan lah yang menentukan. Jalanku memang di UNDIP. Aku ikhlas, meski awalnya sangat
berat harus meninggalkan orang-orang tersayang, tak akan melihat mereka setiap hari seperti
biasanya, tak akan bermanja dengan ibu sesering biasanya, tak akan digoda oleh adik seperti
biasanya. Aku harus berjuang sendirian di ibukota provinsi, Semarang. Berjihad, merantau,
itulah istilah yang aku gunakan. Semua ini demi aku, masa depanku, keluargaku yang
mendoakan dan mendukungku tiada henti, demi tetes-tetes peluh yang tercucur untuk membiayai
sekolahku, demi lantunan doa yang selalu tercurah untukku. Terima kasih tak terhingga untuk
kedua orang tuaku, dan juga Tuhanku.

Hari itu di Semarang, hari pertama Ospek. Aku diantar oleh Ibu dipagi buta dari tempat
kelahiranku, Klaten. Gerimis mengiringi kami sepanjang perjalanan, seakan bersedih karena
harus melepasku pergi dari kota ini. Kebetulan hari itu masih dalam suasana Ramadhan, kami
berangkat sehabis sahur. Tak terasa waktu cepat berlalu, jarak terbentang pun segera terpangkas,
aku tiba di Semarang sewaktu subuh. Kemudian aku bergegas, ibu mengantar kepergianku
menuju tempat pelaksanaan, dikecupnya keningku penuh rasa sayang, satu kata yang terucap
lewat mulutnya kala itu adalah, “Hati-hati ya, Nduk.” Kata yang singkat bukan, tapi apa lagi
yang bisa dikatakan seorang ibu yang melepas anaknya dengan menahan air mata. Aku
berpamitan, tentu dengan wajah yang juga menahan haru, tak tahan, aku bercucuran air mata
sepanjang perjalanan menuju tempat Ospek. Baru kali ini aku jauh dari keluargaku, baru kali ini
aku harus merantau sedemikian jauh, baru kali ini aku harus berjihad sedemikian keras dan sulit.
Satu kata yang terus kulantunkan dihari itu, “Ya Allah, ya Tuhanku, penggenggam jiwaku,
kuatkanlah aku menghadapi ini semua.” Selesai ospek pagi itu, kutemui kamarku kosong, tanpa
ibu, tanpa ayah, tanpa keluarga terkasih yang biasa menyambutku dikala usai sekolah. Yang ada
hanya dinding-dinding yang dingin dan mentapku iba, kalau dinding itu bisa berbicara, tentu dia
akan menghiburku sedemikian rupa. Dalam hatiku, aku sangat rindu ayah dan ibu.

Semasa Ospek,, 3 hari menjalaninya membuat tubuhku memar, kebiru-biruan disekitar paha.
Capai dan pegal rasanya, duduk seharian tanpa bisa meluruskan kaki, tersiksa tiada tara. Ibu
meneleponku setiap habis magrib dan sebelum aku tidur, beliau tahu, bahwa aku akan merasa
sangat merindukan mereka diwaktu-waktu itu. Ya, kami banyak melewatkan waktu bersama
sehabis magrib dan sebelum tidur. Ibuku memang sangat pengertian, beliau tahu aku
merindukannya, beliau tahu bahwa aku merindukan berkumpul bersama. Tapi dibalik itu semua,
ayahlah yang menyuruh ibu meneleponku, menanyakan keadaanku, kerasan atau tidak disana,
sudah makan atau belum, buka puasa dengan apa, ayah mengkhawatirkanku.

“Alhamduillah, akhirnya Ospek berakhir, akhirnya aku akan segera pulang, akhirnya aku akan
segera bertemu ayah, ibu, dan adikku. Akhirnya, akhirnya, akhirnya…” Itulah yang ada
dibenakku saat itu, pulang kerumah adalah saat yang paling menentramkan, rumah adalah tempat
yang paling nyaman, paling hangat, paling menenangkan, bahagia rasanya. Perjalanan pulangku
dengan bis, pengalaman pertama naik bis Semarang – Boyolali. Ternyata, tidak buruk,
lumayanlah, karena sepanjang perjalanan aku bisa tidur, penumpangpun tak begitu penuh.
Sampai di terminal Boyolali, aku dijemput oleh teman ayah, karena saat itu ayah sedang
kedatangan tamu penting di kantornya, Alhamdulillah selamat juga sampai rumah. Bertemu
dengan ibu yang sedang memasak dan sudah menyambutku dengan sayur Sop khas ibu,
kesukaanku. Segera kusantap dengan lahap dan memendam rasa haru, rasanya seperti sudah
bertahun-tahun meninggalkan rumah dan baru bisa pulang saat itu. Senang rasanya bisa berada
dirumah lagi, kalau bisa, sungguh aku tidak ingin kembali ke Semarang, sayang itu tidak
mungkin, kenyataan harus dihadapi, aku harus kembali ke Semarang karena harus menemui
dosen wali. Dan kuliah perdana akan segera dimulai…

Kembali ke Semarang, kota yang teramat panas untukku, kota yang tak pernah sepi, macet,
“lautan motor”, begitu sebutan ayah. Ternyata aku disini hanya dua hari, kuliah perdana diundur
setelah Hari Raya, Alhamdulillah, aku bisa kembali pulang, berkumpul dengan keluarga lumayan
lama. Kali ini perjalanan pulang aku mengendarai motor, sungguh melelahkan, sungguh panas,
sungguh lautan motor yang panjang. Sampai dirumah, disambut kecupan hangat ayah dan ibu
karena keberanianku naik motor dari Semarang sampai ke rumah, sedikit bangga, karena teman-
temanku yang lain belum berani melakukan hal yang sama. Indahnya puasa-puasa terakhir
dihabiskan bersama keluarga, indahnya Lebaran bersama keluarga, Alhamdulillah…

Itulah aku bersama kerinduna dan perasaan tak terperikan selama berada di Semarang, sampai
saat ini masih kutemukan kerinduan tak terobati kala magrib dan sebelum tidur. Ibu masih sering
meneleponku, mengingatkan ini dan itu, ayah hanya menelepon sekali, “Sudah makan, Nduk?”
Kujawab, “Sudah…” Teleponpun diakhiri, hanya percakapan singkat, tapi sedikit melepas
rinduku mendengar suara ayah diujung telepon tadi. Aku membawa foto ayah dan ibu dari
rumah, jika aku rindu mereka, akan kupandangi, mengingat mereka dalam hati, sampai tertidur
dalam buaian mimpi. Aku rindu Ayah, Ibu, sangat rindu…

Anda mungkin juga menyukai