Anda di halaman 1dari 66

Kumpulan Artikel dari TEMPO Online

S.M Kartosuwiryo, Tokoh Darul Islam / Tentara Islam Indonesia


Imam Pemberontak dari Malangbong

DI Teluk Jakarta, sang "Imam" mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang
peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang
ingin menegakkan sebuah "Negara Islam"-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari
1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu "islami". Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah
seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang "inlander" di masa
kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.

Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang
taat. "Keluarga kami cenderung abangan," kata salah seorang anggota keluarga di Cepu.
Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama.
Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai
"Sekolah Ongko Loro", Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School
di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche
Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.

Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah
itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-
biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.

Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab
dengan pemikiran kebangsaan-bahkan "kiri". Dia diketahui banyak membaca buku
sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh
bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian
Jong Islamieten Bond.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa
Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah
Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di
Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia
selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.

Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi
adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda "Raja Jawa tanpa
Mahkota". Terpesona oleh pidato "singa podium" itu, Karto melamar menjadi murid dan
mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik
Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris
pribadi mertua pertama Soekarno itu.

Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran
komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan
Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan
perbedaan.

lll

KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari


sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa
Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan
menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi
Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam
terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita
Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari
di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa
juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo
disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija
Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang
menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa
Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa
menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua
pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.

Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy,
menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan
Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada
kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan
kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari �pemerintahan kafir" Soekarno.

Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan
Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik
yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat
mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam.
Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.

Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi
atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan,
berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan.
Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap
mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.

lll

UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami


mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di
kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang
peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka
juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul
Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.

Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang


dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran
dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil
menjadi tokoh baru Darul Islam.

Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan
ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh
keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak
yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat
terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.

Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma'had Al-Zaytun, yang dikenal
sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan
Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar "secara baik-baik" dari
Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu
diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.

Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono
menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya
pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya,
Jawa Barat.
Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah
makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi
sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar
Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.

Santri Abangan dari Hutan Jati

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa


Tengah-kota dengan romansa Bengawan Solo dan belukar hutan jati. Sang ayah,
Kartosoewirjo, mantri candu pemerintah Belanda, memberinya nama Sekarmadji
Maridjan. Kelak nama ayahnya disematkan di belakang nama sang bayi. Kakek si orok
adalah Kartodikromo, Lurah Cepu. Rumah sang kakek tempat Sekarmadji lahir, di
belakang pasar lama, kini telah musnah.

Yang tersisa adalah rumah di Jalan Raya Cepu 15, milik Kartodimedjo, paman
Sekarmadji, yang sempat menjadi pamong praja pemerintah Belanda. Rumah kayu jati
berkapur putih yang dibangun pada 1890 itulah tempat berkumpul keluarga besar
Kartodikromo. "Ini rumah induk, tempat jujugan keluarga besar kami," kata Nuk
Mudarti, 75 tahun, keponakan Sekarmadji.

Pada usia enam tahun, Sekarmadji masuk Inlandsche School der Tweede Klasse Cepu,
sekolah yang biasa disebut sekolah ongko loro (angka dua).

Sebagai anak pegawai pemerintah, Sekarmadji hidup berpindah-pindah mengikuti tugas


ayahnya. Selain di Cepu, ayahnya pernah berdinas di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah.
Di kota ini, Sekarmadji melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School. Ketika
pindah ke Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1919, ia meneruskan pendidikan ke
Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus anak Belanda. Hanya pribumi cerdas
yang boleh masuk. Di kala libur, Sekarmadji kerap bermalam di rumah Jalan Raya Cepu
15.

Pada 1923, Sekarmadji meneruskan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School,


sekolah kedokteran Belanda di Surabaya. Saat itu Sekarmadji sudah hafal Al-Quran
berikut tafsirnya. Kemampuan ini dikembangkan ketika dia kuliah di Surabaya dan
mempertemukannya dengan tokoh Islam, Ha-ji Oemar Said Tjokroaminoto.

Masa kecil Sekarmadji dihabiskan di lingkungan abdi dalem pemerintah Belanda. "Kami
keturunan birokrat," kata Nuk. Ronodikromo, kakek buyut Sekarmadji, adalah Lurah
Merak, Panolan, Cepu. Soal keyakinan beragama, "Keluarga Kartodikromo cenderung
abangan," kata Nuk. "Kami priayi feodal."
Meski priayi feodal, keluarga Kartodikromo demokratis. Perbedaan prinsip, pandangan
politik, dan ideologi dihargai. Anak-anak diajari berpendirian teguh. "Itulah mengapa
Mas Marco dan Sekarmadji teguh mempertahankan prinsip."

Mas Marco, satu dari tujuh anak Kartodikromo, meninggal di pengasingan Digul karena
menentang pemerintah Belanda. Marco dikenal sebagai aktivis kiri di era kolonial.
Sekarmadji memimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Keislaman Sekarmadji banyak dipengaruhi ajaran Notodihardjo, pemuka Partai Sarekat


Islam Indonesia (PSII) di Padangan, Bojonegoro. Pikiran kritis Sekarmadji terus
bertumbuh ketika dia kuliah di Surabaya.

Suatu malam pada 1948, Sekarmadji datang ke rumah nomor 15. Nuk Mudarti masih
mengingatnya. Kehadiran pamannya ini mencemaskan orang serumah. Jika Sekarmadji
datang, polisi dan intelijen mengitari rumah. "Menakutkan," kata Nuk. "Saya masih kecil,
tak tahu mengapa intel menguntitnya." Sejak 1940-an, Sekarmadji tak pernah lagi
singgah di rumah induk. "Hingga kami mendengar dia merantau ke Malangbong," kata
Nuk. Hubungannya dengan Cepu putus.

Soemarti alias Dora, saudara kandung Sekarmadji, turut hijrah ke Malangbong, Garut,
Jawa Barat. Dia pernah mengajak keluarga Cepu berkunjung ke Malangbong. Oleh-oleh
hasil bumi sudah disiapkan. Tapi kunjungan itu tak pernah terwujud.

Saat meletus peristiwa pemberontakan DI/TII, keluarga Cepu menutup diri. Ketertutupan
berlanjut sampai zaman Orde Baru. Keluarga besar Cepu, yang rata-rata pegawai
pemerintahan, khawatir disangkutpautkan dengan gerakan Sekarmadji.

"Kami jadi kepaten obor, kehilangan jejak," kata Kusparyono, 55 tahun, keponakan
Sekarmadji di Cepu. Sardjono, putra bungsu Sekarmadji, membenarkan soal putusnya
hubungan keluarga ini. "Sejak Ayah hijrah ke Malangbong, tak pernah lagi ke Cepu,"
katanya.

Zaman berganti. Kini perjalanan hidup Sekarmadji justru membuat keluarga Cepu
bangga. "Kami rindu bertemu anak-cucu Sekarmadji," kata Nuk. Sardjono merasakan hal
yang sama. "Kami tak punya bayangan bagaimana Cepu itu," ujarnya.

lll

RUMAH tua di Jalan Dr Soetomo, Pengkok, Padangan, Bojonegoro, itu kosong, tak
terurus. Bangunan besar berwarna merah dengan lis abu-abu itu milik Mashudi
(almarhum), pengusaha transportasi, anggota PSII pada 1940-an. "Ini rumah bersejarah,"
kata Yunani, 58 tahun, putra Mashudi.

Sebelum masa pendudukan Jepang, rumah ini ditempati Notodihardjo alias


Abdurrahman, aktivis PSII yang bergabung dengan Muhammadiyah. Saban bulan, Noto
mengadakan pengajian sambil mengumpulkan bantuan untuk kaum fakir. Warga
Bojonegoro, Ngawi, Blora, dan Cepu datang menghadiri pengajian. "Mbah Noto ini guru
ngaji Sekarmadji," kata Yunani. "Beliau punya mesin tik."

Murid Noto lainnya adalah Suroatmodjo, juga anggota PSII. Putranya, Slamet, 67 tahun,
berkisah tentang sang guru ngaji berdasarkan penuturan ayahnya. Noto berasal dari
Surakarta. Istrinya dari Montong, Tuban. Tutur katanya halus, dia selalu mengenakan
blangkon, beskap, dan selop. "Katanya, Noto keturunan Keraton Mangkunegaran," ujar
Slamet.

Rumah ayah Slamet, Suroatmodjo, di Dusun Sale, Sumembramum, Ngraho, sekitar 45


kilometer di barat Bojonegoro. Rumah ini kerap digunakan sebagai tempat rapat tokoh
PSII. "Kami menyebutnya pertemuan rahasia, sering dihadiri orang tak dikenal," kata
Slamet.

Pada 1950-an, sebulan penuh Noto diperiksa polisi Ngawi. Polisi tidak menemukan bukti
keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII. Hubungan Noto dan Sekarmadji dianggap
hanya bersifat keagamaan. Pensiunan sinder kehutanan itu pun bebas dari tuduhan.

Tak jelas benar kapan persisnya Sekarmadji berguru pada Noto. Mungkin ketika
Sekarmadji masih tinggal bersama ayahnya, atau ketika dia kuliah di Surabaya. "Kami
tak tahu," kata Nuk Mudarti.

Haji Damamini, 81 tahun, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah di Ngraho, bercerita


tentang sosok Noto. Menurut dia, Noto tersohor di seantero Cepu dan kota-kota di
sekitarnya. "Dia punya indra keenam," kata Damamini. Kemampuan itulah yang
menerbitkan simpati dan hormat banyak orang kepada Noto.

Hubungan Noto-Sekarmadji banyak diwarnai kisah yang susah ditelusuri kebenarannya.


Ahmad, 60 tahun, salah satu santri Noto, pernah mendengar kisah pertemuan Noto-
Sekarmadji di tepi Bengawan Solo pada 1948. Ketika itu, sang murid hendak mengambil
keputusan penting: hijrah ke Malangbong.

Dalam perenungan guru-murid, menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok.
Noto menaiki macan putih, yang diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji
muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana. Noto meminta muridnya
memperdalam agama dulu. Namun Sekarmadji nekat dan memilih pergi ke Malangbong.
"Mereka lalu berpisah," kata Ahmad.

Noto terus mengajar ngaji hingga wafat, pada 1971. Dia dimakamkan di Padangan. Jejak
Sekarmadji pun semakin kabur sepeninggal sang guru. Ahmad mengenang, "Hanya
Mbah Noto yang tahu hati Sekarmadji."
Murid Tjokroaminoto di Peneleh

RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian
depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna
hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said
Tjokroaminoto ini. "Lantainya saja masih dari semen," kata Mariyun, ketua rukun
tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat
indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di
antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah
tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik
pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang
pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar
Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian
bagi pribumi berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga
pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau
sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan anaknya yang
saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.

Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische


Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah
tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas
persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia
bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal
memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran
Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam.
Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo
itu memang sudah "bawaan". "Kartosoewirjo itu kan orang Cepu," ujarnya. "Kalau kita
bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian." Kartosoewirjo yang dikenal gila
membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan
dia peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi
wartawan dan menulis di berbagai media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan
penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan
bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.
Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik
secara terbuka, bahkan tak ragu menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.

Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama


Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki
bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat "menganggur", Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang


mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto. "Saya tertarik pada pidato-
pidatonya," kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng Jaelani.

Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari
kiai-kiai yang ditemuinya. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya,
Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga Kartosoewirjo.
Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin
menjadi murid. Ia diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos


pemondokan, Karto "diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia," kata putra bungsu
Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi
Tjokroaminoto. "Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto," kata Bahtiar
Effendy.

Tjokroaminoto menggem-bleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema


antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat
menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.

Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman
pemerintah kolonial. Ia juga membahas soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam
artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia berkorban
demi membela agama Islam.

Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi
yang dibentuk Tjokroaminoto. Di partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi
nonkooperatif.

Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco
komunis, Kartosoewirjo mengikuti langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai
dasar perjuangan.

Pada 1929, "kursus" ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung.
Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia
hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis
Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.
Mampir di Masyumi

MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang
Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang
merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam
perang. Padahal para pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir,
Kartosoewirjo, dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat
Islam dalam perang kemerdekaan.

Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris
Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam 'Alaa
Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya,
atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima
kabupaten di Priangan.

Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran
Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia baru bersama "keluarga
Asia Timur Raya."

Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia menjelaskan


strategi kerja sama ini terbukti efektif. "Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang,
dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi. Namun
akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan
Indonesia)," tulisnya.

Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota lainnya, pada 7
November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik.
Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama. Programnya menciptakan negara
hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan
pusat Masyumi di daerah Priangan.

Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan
konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji
Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Nama tokoh politik Islam
setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toda, dan Kamran, masuk
kepengurusan. Dalam pidatonya, Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran
Islam yang hanif, menjaga persatuan, dan menghentikan konflik karena perbedaan
ideologi.

"Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda," katanya.
Ia mematangkan partai yang diharapkan menjadi wahana organisasi bagi semua
kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya sendiri, laskar Hizbullah dan
Sabilillah di Priangan.
Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras hati. Sikap
kerasnya pada persetujuan Renville mendorong Perdana Menteri Amir Sjarifuddin
meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri Pertahanan. Tapi dia menolak, karena masih
merasa terikat dengan Masyumi dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke
kiri.

Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang, Jawa Timur,
Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo yang mewakili Masyumi menegaskan menolak
persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu menguntungkan Belanda, yang nyata-
nyata ingin kembali menjajah Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik,
Kartosoewirjo diancam gerilyawan sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta
Kartosoewirjo mencegah pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.

Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer Belanda, Kartosoewirjo


memfokuskan perjuangan bersenjatanya dengan basis Islam. Dalam pertemuan di
Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan Masyumi dan semua cabangnya di Jawa
Barat. Kartosoewirjo membentuk Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung,
walaupun tidak ikut menghantam.

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang mengajaknya


turun gunung, kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun
Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit, "Barangkali saudara belum menerima
proklamasi (Darul Islam) kami."

Akar yang Terserak

AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga tamu tak dikenal.
Mereka berbicara dengan aksen Sunda. Setelah disilakan duduk di kursi tua di ruang
tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang kurus dan berkumis-memperkenalkan diri
sebagai Herman. Ia menantu Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. "Setelah itu, saya senang sekali," kata Soerjadi. "Seperti sudah kenal
lama."

Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat, untuk


mengumpulkan kembali keluarga besar "Imam"-panggilan Kartosoewirjo-yang terserak.
"Selama ini silaturahmi terputus," kata Herman, yang dihubungi terpisah. Ia mengemban
tugas wakil keluarga Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi
Nomor 20, Rembang, Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional.

Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. "Bahkan fotonya saja saya
ndak punya," katanya. Tapi dia adalah cucu dari kakak Kartosoewirjo, yang bernama
Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja sebagai mantri candu, Soemarti kecil
mendapat nama panggilan Belanda: Dora. "Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang
Dora," kata Soerjadi. Belakangan ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo.
"Ibu saya selalu menutupi."

Soemarti dan Sekarmadji Maridjan merupakan sepasang anak Kartosoewirjo, pegawai


perusahaan kehutanan milik Belanda. Mereka tumbuh dan mengecap pendidikan di
sekolah Belanda di Kota Rembang. Selama ini, nama ibu mereka tidak pernah diketahui.
"Saya juga tidak tahu," kata Sardjono, anak bungsu Sekarmadji.

Sejak muda, Sekarmadji gemar merantau, dan terakhir mengikuti H.O.S. Tjokroaminoto
di Surabaya. Soemarti terus menetap di Rembang. Soemarti menikah dengan Soero Dipo
Menggolo, yang bekerja sebagai mantri guru-semacam kepala sekolah. Mereka memiliki
seorang anak perempuan bernama Sri Suryowati. Sedangkan Sekarmadji, sejak menikahi
Dewi Siti Kalsum, tinggal di Malangbong, Garut. Keturunan Soemarti berbahasa Jawa,
sedangkan keturunan Sekarmadji sehari-hari bercakap dalam bahasa Sunda.

Sri Suryowati menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Soedarmo, pemuda asal
Blora, dikaruniai dua anak, yakni Sri Rahayu Siti Jumilah dan R. Handoyo. Setelah
bercerai, Sri menikah dengan Roesman, asal Rembang. Ia melahirkan dua anak, yakni
Bambang Soerjadi dan Bambang Soerjono. Setelah bercerai lagi, Sri menikah dengan
Soeryanto, asal Kebumen, dan membuahkan dua anak, yaitu Bambang Irawan dan
Endang Irowati.

Dari enam anak Sri, hanya Soerjadi dan Bambang Irawan yang masih hidup. "Dia kena
stroke dan sulit berkomunikasi," kata Soerjadi tentang saudara tirinya itu. Soerjadi juga
tidak mengetahui keberadaan keturunan saudara-saudaranya yang lain.

Dari enam bersaudara itu, Bambang Soerjono merupakan yang paling unik. Dia memeluk
agama Kristen, mengikuti agama istrinya, Iswati, asal Semarang. Dari pernikahan itu,
lahir tiga anak yang kini menetap di Semarang, yakni Rony, Arianto, dan Fifi. "Saya
tidak pernah bertemu mereka dan kehilangan kontak," Soerjadi menerawang.

Belakangan, Soerjono bercerai dan balik ke Rembang. Ia menikah lagi dengan Sasanti,
yang juga beragama Kristen. Dari pernikahan itu, lahir dua anak: Emi dan Bagus. Dengan
keluarga satu kota ini pun Soerjadi tidak punya kontak. Bahkan, pada saat Lebaran,
keponakannya tidak ada yang datang menjenguknya. "Paling cuma papasan bertemu di
jalan," ujar Soerjadi. Sepeninggal Soerjono, Sasanti lebih banyak menetap di Jakarta
dengan keluarga lainnya.

Soerjadi, yang memiliki lima anak dan sebelas cucu, tinggal bersama anak perempuan
dan dua cucunya. Ia pernah datang ke Malangbong, pada 1980-an, untuk menemui Eyang
Dora, yang di Malangbong lebih dikenal sebagai Wak Mantri. "Ternyata (waktu itu)
sudah meninggal," katanya. Soemarti alias Eyang Dora menetap di Malangbong sejak
1960-an setelah bercerai dari Dipo Menggolo. Soemarti wafat pada 1975 dan dikubur di
pemakaman keluarga di Malangbong. "Nisannya tak bernama," kata Herman.
Kekasih Orang Pergerakan

BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan pohon-pohon
menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang Masjid Jamik di Kampung
Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa Barat. Suasana hening
dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum,
istri Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.

Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan
makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal
Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan.
"Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong," kata Sardjono, anak
bungsu Kartosoewirjo, kepada Tempo.

Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas keberadaan
jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada September 1962 di sebuah tempat di
Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga
akhir hayat: meminta dirinya dikuburkan di Malangbong-kendati tak kesampaian.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi sangat dekat
dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan tahun, ibunya mengajak dia
berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan
Belanda. Pengalaman ini amat membekas di hati dia.

Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori


pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi hanya
kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji Sanusi,
tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran
terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran Muhammadiyah Garut.
HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914, seiring dengan berlakunya politik
etis atau balas budi penjajah Belanda kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat
sekolah dasar ini menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan
Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS
anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda di
rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang juga mulai aktif di
dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah
Ardiwisastra untuk mengumpulkan sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi
Haji Agoes Salim ke Belanda. Agoes Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat Islam
Indonesia di Garut.

Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam Indonesia. Dialah
sekretaris pribadi singa podium Haji Oemar Said Tjokroaminoto-yang ikut
melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah gerakan perlawanan terhadap Belanda.
Pada Desember 1927 Karto terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam
Indonesia. Sejak itu, ia banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.

Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui Ajengan
Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Sekarmadji menikahi
Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang ulama seusia Ardiwisastra
mengatakan Sekarmadji diambil menantu semata-mata karena motif kepartaian. "Apakah
calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting," kata ulama tadi kepada
Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.

Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia, sama-sama
keturunan Arya Penangsang. Dalam sejarah Kerajaan Demak abad ke-15, Arya
Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh dalam perebutan kekuasaan
setelah pamor Demak merosot.

Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah bakal menjadi
menantu Haji Agoes Salim. Tapi, karena Agoes Salim kalah berdebat dengan Sekarmadji,
akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam pecah. Kartosoewirjo tak sehaluan dengan
Agoes Salim yang mau berunding dengan Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan
Kartosoewirjo memilih jalan politik nonkooperatif terhadap Belanda.

Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya haluan politik
serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji memperdalam keislaman dan kepartaiannya.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak mampu
menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-masuk hutan bersama
suaminya. "Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu," kata Dewi kepada Tempo edisi 5
Maret 1983. Kalau disebut karena cinta, "Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan
jelek," kata Dewi.

Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang dan cenderung
dingin. Riwayat hidup yang lebih banyak dilumuri cerita duka bergerilya dengan
Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27 tahun lalu itu tanpa emosi.

Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami. Ia mondar-
mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah kenalan atau rumah
kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan dengan rumah tahanan. Biasanya,
kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke Malangbong. "Saya juga pulang kampung kalau
mau melahirkan," kata Dewi.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika,
Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan
meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat
(meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi,
Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.

Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi saat itu Dewi
menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan
anak-anaknya dan sering tercenung sedih. Tapi Kartosoewirjo yang ia kagumi selalu
menghibur. "Kok, sedih amat sih!" Itu kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika
Dewi sedang bermuram durja. Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi langsung
merasa tenteram.

Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan
anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu
Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu
tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya
meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.

Kenang-kenangan Institut Suffah

JAGUNG, kelapa, ilalang, dan perdu-perduan liar. Kalau Anda datang ke Desa Bojong,
Malangbong, Jawa Barat, tak terlihat bahwa di kebun itu pernah ada sebuah pesantren.
Padahal di situlah, dulu, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah, pesantren yang
mengajarkan agama, politik, dan kemiliteran.

Di Malangbonglah awal Kartosoewirjo mempelajari Islam. Ia berguru kepada mertuanya,


Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, juga Kiai Yusuf Tauziri
dari Wanaraja, yang boleh dibilang sangat berpengaruh terhadap sikap religius
Kartosoewirjo.

Keakraban Kartosoewirjo dengan Kiai Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat
sang Kiai duduk dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf
kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo. Kadang Yusuf, yang
berkecenderungan berat ke tasawuf, dianggap bertanggung jawab atas kegemaran
Kartosoewirjo pada mistik. Bahkan beberapa peneliti mengatakan Kiai Yusuf sebenarnya
pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan Darul Islam pada tahap permulaan.
Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer.

Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua
partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi momentum penting dalam karier politik
Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan didirikan
suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama Suffah PSII. Rencananya,
lembaga yang bertujuan menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan
dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai Wakil
Ketua PSII.

Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII.
Puncaknya, dalam kongres partai ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang
berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui keputusan Dewan
Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.

Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran


(KPK) PSII, yang menurut dia merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.

Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda.
Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti "menyucikan diri". Menempati
area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga pendidikan ini berada
di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari
keramaian kota, di tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan
raya.

Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran
ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik.
Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi), dan ilmu tauhid
kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong


dibubarkan Jepang. Meski begitu, Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah.
Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol memberi
pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi laskar Islam,
Hizbullah dan Sabilillah, yang menurut sejumlah sejarawan kelak menjadi inti Tentara
Islam Indonesia di Jawa Barat.

Dalam perjalanannya, Institut Suffah berujung tragis. Pada 1948, bangunan lembaga itu
dihancurkan tentara Belanda, dan hanya menyisakan puing-puing batu bata. Belakangan
batu bata reruntuhan itu pun dijual istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, untuk
membiayai pendidikan putra bungsunya, Sardjono. "Meski memiliki kenang-kenangan
yang sangat berarti, apa boleh buat saya butuh uang untuk menyekolahkan Sardjono,"
kata Dewi, seperti dikutip majalah ini edisi 5 Maret 1983.

Kini bekas Institut Suffah yang berada di belakang rumah Sardjono di Desa Bojong,
Malangbong, itu tak sedikit pun menyisakan jejak kejayaan pesantren yang didirikan
Kartosoewirjo.
Ratu Adil Bermodal Keris

KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, "Imam Negara Islam Indonesia", diringkus tentara
di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa
Barat.

Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu
menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara
Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap
para komandannya.

"Komandan Batalion" dan "Komandan Resor Militer" Tentara Islam Indonesia di Brebes
justru menganjurkan prajuritnya menyerah. "Saya tegaskan: komandan yang menyerah
akan saya tembak," tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem, Brebes, akhir Juli
lalu.

Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat melanjutkan
perlawanan setelah Kartosoewirjo tertangkap, ia melunak. "Saya perintahkan anak buah
saya, silakan turun kalau mau menyerah," ia mengenang, dengan nada pahit. "Tapi, saya
ingatkan, jangan tinggalkan salat."

Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada 1953. Ia terpikat
janji negara berbasis syariah. Diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di
Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara Islam Indonesia memikat
ribuan orang pada mulanya.

Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi anggota ketika
Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya, Karto selalu mengobarkan semangat jihad
dan memerangi "pemerintahan kafir" Soekarno.

Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara Nasional


Indonesia. Sejak itu, mereka masuk hutan. Kastolani menjelajahi hutan di kawasan
Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin, dan Jati Rokek. Desa-desa itu
merupakan wilayah pegunungan di Brebes yang hutannya masih tersisa hingga kini.

Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada Sekutu,


Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan itu ketika menjadi Sekretaris Partai Masyumi
Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak partai, gagasan ini didukung banyak ulama
di Jawa Barat.

Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan Hizbullah-sayap


ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat pimpinan Oni. Dua laskar itu merupakan cikal bakal
Tentara Islam Indonesia yang dibentuk pada Februari 1948. Merasa mendapat dukungan
kuat dari pengikutnya dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan
Partai Masyumi Jawa Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.
Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan keberhasilan
memperoleh dukungan tak lepas dari strategi Karto menggunakan ajaran tasawuf.
"Modelnya tasawuf bercampur unsur kebatinan," katanya.

Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di Gunung Kidul,
Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto mengasingkan diri dari keramaian, membersihkan
diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab, aktivitas ini disebut riyadhoh. Kepada
pengikutnya, menurut Solahudin, Karto meyakinkan bahwa bertapa juga dilakukan
Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama kali di Gua Hira.

Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat "wahyu cakraningrat"-sinar terang yang


disebutkan berbentuk kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Sinar itu disebutkan
melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan, mantan Panglima Tentara Islam
Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962, mengatakan bahwa dengan "wahyu
cakraningrat" Karto mengklaim dirinya sebagai "khalifatullah". Kartosoewirjo
mengangkat dirinya sebagai imam seluruh umat Islam di dunia.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo
disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija
Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan ramalan Joyoboyo, pujangga Jawa, tentang orang
yang akan memimpin umat manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika ia
ditangkap pada 3 Juni 1962, keris Ki Dongkol ada di tangannya.

Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini dan Kelak,
Kartosoewirjo menulis, "Heru Tjokro" merupakan "makhluk Allah yang suci, menguasai
dan memutar roda dunia menuju mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam Indonesia." Heru
Tjokro juga diartikan sebagai: "penyapu masyarakat jahiliah". Pemerintah Soekarno
dianggap kafir karena tidak menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan harus
diperangi.

Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa penyebaran Islam oleh
Nabi Muhammad di Mekah. Sementara Muhammad menghadapi perlawanan kaum
Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi Tentara Nasional Indonesia. Menurut
Solahudin, alih-alih mengikuti cara tasawuf yang tidak agresif, Kartosoewirjo meminta
anak buahnya memerangi pemerintah.

Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada malam-malam


tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di daerah "D-Satu"-daerah yang sepenuhnya
dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka berdoa, berzikir, dan bersalat tahajud bersama.
Semua dilakukan, menurut Solahudin, demi "menggapai wangsit dari langit".

Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas Malikussaleh, Nanggroe


Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo menggunakan pengaruh tasawuf, apalagi yang
berbau mistik. "Informasi itu bias, hanya cerita dari mulut ke mulut," katanya.
Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada imam-diberlakukan
bagi pengikut. Sebelum berbaiat dengan Kartosoewirjo, seseorang belum dianggap
menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara Islam Indonesia dituntut tunduk dan
patuh kepada pemimpin. Dengan kesetiaan ini, sebagian besar pengikut menjadi puritan.
Tak aneh, Tentara Nasional Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan
Tentara Islam Indonesia.

Kecewa, Lalu Gerilya

Menumpang Momentum Renville


Kecewa terhadap perjanjian dengan Belanda, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara
Islam. Merasa penguasa de facto di Jawa Barat.

KEDUA tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kuciwa pada
awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi
alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Institut
Suffah-yang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.

Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan


tentara dan laskar bersenjata mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong
wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer
terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke
Yogyakarta.

Pengalaman Perjanjian Linggarjati yang tak dipatuhi Belanda mengingatkan mereka


untuk tak mudah percaya kepada taktik penjajah. Cornelis van Dijk, dalam bukunya,
Darul Islam, menulis bahwa para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu.
Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan
sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak
terlindungi.

Mudah ditebak hasil pertemuan kedua tokoh itu: Sabilillah-laskar yang awalnya dibentuk
oleh Partai Masyumi-dan Hizbullah menolak perintah pengosongan. Anggota Hizbullah
dan Sabilillah yang hijrah akan dilucuti senjatanya. Beberapa literatur menulis, tentara
resmi yang tidak hengkang juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok
Hizbullah dan Sabilillah ini memicu ketegangan. Kelompok bersenjata yang menolak
dilucuti kerap melawan.

Oni dan Karto juga sepakat segera menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa
Barat. Menurut Pinardi, dalam bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, konferensi
itu digelar di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, pada Februari 1948.
Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Karto hadir sebagai wakil pengurus
besar Masyumi Jawa Barat. Salah satu keputusan konferensi itu adalah semua organisasi
Islam-termasuk Masyumi-melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan menunjuk
Kartosoewirjo sebagai imam.

Pada Konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Salah satu
pengusulnya, Komandan Teritorial Sabilillah, Kasman, merujuk pada dua kekuatan besar
dunia saat itu. "Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula
sebaliknya," kata Kasman. "Karena itu, kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara
Islam, untuk menyelamatkan negeri ini."

Namun konferensi belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya
menyepakati perlunya gerakan perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara
Islam Indonesia, dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin. Pasukan Tentara Islam ini
memilih bermarkas di lereng Gunung Cupu, di daerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat.

Mengenai pembentukan TII ini, Al-Chaidar dalam bukunya, Pemikiran Politik


Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, mencatat beberapa hari setelah
konferensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk konkret TII. Akhirnya, para
pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tapi juga sejumlah korps khusus, seperti
Barisan Rakyat Islam, Pahlawan Darul Islam (Padi), dan Pasukan Gestapu. Ada pula
pembentukan korps polisi dan polisi rahasia Mahdiyin.

Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan
konferensi lanjutan. Dua bulan setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi
Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia
membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI
diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru.

Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi


negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu meliputi pembuatan aturan-aturan ala
Islam. Setelah di Cipeundeuy, konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang
membahas secara mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini
terbentuk Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan
Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang Dasar.

Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang
Belanda. Para pemimpin nasional yang berkantor di sana ditawan, termasuk Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini dimanfaatkan
Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan pada
17 Agustus 1945.

Maka, pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci,


perang total melawan penjajah. Dalam kondisi perang itu, Dewan Imamah dan Dewan
Fatwa menjadi kekuasaan tertinggi.
Akhirnya, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara
RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de
facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain-termasuk tentara resmi-yang
melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan
TII atau dilucuti. Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.

Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa
Barat dengan melakukan long march. Masuknya kembali tentara Siliwangi ke daerah
yang dikuasai pasukan TII menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga
TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen.

Toh, perjanjian ini tak lebih bagus daripada perjanjian sebelumnya. Kartosoewirjo
mengecam hasil perjanjian itu, seperti tertuang dalam Pedoman Dharma Bhakti Jilid II. Ia
menuding Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah
menjual negara.

Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Dalam


kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung
jawab. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949.

Belakangan diketahui, rencana memproklamasikan Negara Islam Indonesia itu bukan


yang pertama kali bagi Kartosoewirjo. Ulama Garut masa itu, Kiai Haji Yusuf Tauziri,
memberikan pernyataan pernah dua kali diminta Karto memproklamasikan Negara Islam
Indonesia. "Namun permintaan itu ditolak Yusuf," Pinardi menulis.

Melihat proses pembentukan Negara Islam Indonesia itu, tak aneh bila ahli politik Islam,
Bahtiar Effendy, menilai Kartosoewirjo tak memiliki landasan ideologi yang kuat.
Apalagi mengingat latar belakangnya sebagai anak mantri candu yang berpendidikan
Belanda, dan hanya belajar Islam secara otodidak. "Soekarno jauh lebih kuat pengetahuan
keislamannya," kata Bahtiar.

Bahtiar menunjuk kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville dan


perjanjian-perjanjian berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia
sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya. Tatkala pemerintah Soekarno-
Hatta terdesak karena agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memanfaatkan momen itu
untuk memproklamasikan NII.

Pendapat ini disanggah putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Menurut dia, perjuangan
ayahnya berlandaskan ideologi Islam yang diperjuangkan sejak ia mulai bergabung
dengan Sarekat Islam dengan tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto. "Perjanjian Renville
hanya momentumnya," katanya.
Upaya Hampa Natsir

PERLAWANAN Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan


Belanda. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal
perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Salah satu butir
kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia
dengan Belanda. Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah
Jawa Barat yang dikuasai Belanda.

Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo


menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap
bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.

Melihat ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Mohammad Natsir sebagai
penghubung pemerintah-yang saat itu berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo.
Hatta menganggap Natsir cukup kenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama orang Masyumi,
Natsir dan Kartosoewirjo beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A. Hassan, tokoh
Persatuan Islam, di Bandung.

Natsir, dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan


Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali
Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya.
"Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-
orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik," kata Natsir.

Namun baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia tak
terhindarkan. Kontak senjata pertama terjadi 25 Januari 1949 di Kampung Antralina,
Ciawi, Tasikmalaya. Pertempuran pecah akibat masing-masing pihak mengklaim
diserang lawan. Sejak itu, bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional
Indonesia terus menyala.

Bagi Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat berarti peluang mendirikan


Negara Islam. Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan
Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara
Islam Indonesia. Tanggal itu persis dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag, Belanda,
untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo


mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, atau Darul Islam. Sebelum berangkat, Hatta
berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo. Ketika itu, 4 Agustus,
Natsir menginap di Hotel Homann, Bandung. Dia menulis pesan di selembar kertas hotel,
kemudian meminta tolong A. Hassan menyampaikan ke Kartosoewirjo. Apa daya, surat
itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi Darul Islam. "Ya,
terlambat. Itu namanya takdir Tuhan," kata Natsir, 21 tahun lalu.
Menurut Natsir, Kartosoewirjo dijaga ketat pengawal. Tak sembarang orang bisa
bertemu. A. Hassan pun diminta menunggu beberapa hari. Kalaupun tiba tepat waktu, tak
mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. "Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah sendiri,"
kata Natsir.

Kartosoewirjo terus bergerilya. Tapi hubungan Kartosoewirjo-Natsir tetap tersambung.


Selama bergerilya, paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada
Presiden Soekarno, yang ditembuskan kepada Natsir.

Surat pertama dikirim 22 Oktober 1950, berisi pujian atas keputusan pemerintah menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap
pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik antikomunis. Di surat
berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan kepada
pemerintah melawan komunisme. "Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup
semati," katanya. Namun Kartosoewirjo memberikan syarat: pemerintah harus mengakui
Darul Islam.

Usaha Natsir melunakkan hati sang Imam tak berhenti. Pada Juni 1950, Natsir mengutus
Wali Al-Fatah menemuinya. Ia teman lama Kartosoewirjo. Namun Kartosoewirjo
menolak bertemu. Sang Imam menyatakan hanya bersedia menerima pejabat tinggi
Indonesia, bukan utusan. Memang bukan Natsir yang menaklukkan sang Imam. Ia peluru
yang menembus dada Kartosoewirjo pada September 1962 di Teluk Jakarta.

Kartosoewirjo Vs Alex Kawilarang

AWAL 1950. Satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung rapat sebuah rumah
di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasukan bersiaga di segenap penjuru. Semua senapan
teracung ke arah rumah itu. Di situlah diduga tinggal salah satu perwira Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia, Haji Syarif alias Ghozin.

Tak menunggu lama, perintah tembak berkumandang. Peluru pun berhamburan. Sang
target utama, Ghozin, malah luput dan berhasil melarikan diri. Hanya istri dan pembantu
Ghozin yang bisa dibekuk.

Aneh. Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III/Siliwangi, yang
dua hari kemudian datang memeriksa, menaruh syak. "Harusnya seekor ayam pun tidak
akan bisa kabur," kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu "Imam" Darul Islam,
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Alex meminta semua anggota pasukan yang terlibat pertempuran itu diperiksa. Dari hasil
pemeriksaan, ditemukan beberapa anggota pasukan Siliwangi punya hubungan kerabat
dengan tokoh Darul Islam. Hubungan kerabat itulah yang membuat prajurit Siliwangi
terkesan ragu melawan tentara Kartosoewirjo.

"Cerita itu tidak benar," kata Kolonel (Purnawirawan) Suhanda, 82 tahun, mantan
Komandan Kompi C Batalion 328 Kujang. Anak buah Suhanda, yakni Sersan Mayor
(Purnawirawan) Dana, 68 tahun, juga ragu akan kesaksian Sardjono. Dua belas tahun
setelah peristiwa pengepungan itu, Juni 1962, Kompi C berhasil menangkap
Kartosoewirjo.

Tentara Islam ini memang liat dan ulet. Persenjataannya ala kadarnya dan pasokan
logistik pun ekstraseret. Mereka bertahan bergerilya, dari gunung ke gunung, selama
belasan tahun.

Dana mengakui keuletan Tentara Islam. Tapi ada juga faktor lain. "Fokus TNI terpecah
karena banyak pemberontakan lain di luar Jawa," ujar Dana.

Pada awal pemberontakan Tentara Islam, semula pasukan Siliwangi belum menemukan
taktik yang jitu. Kolonel Alex menilai pasukan yang dipakai untuk menumpas tentara
Kartosoewirjo terlalu besar. "Mobilitasnya jadi kurang. Lamban sekali," kata Alex dalam
biografinya. Alex mengakui kesulitannya menundukkan Kartosoewirjo kendati di awal
pemeberontakan dia sempat berjanji akan menumpas Darul Islam dalam waktu enam
bulan saja. Dia kemudian meminta pasukannya membentuk tim patroli dalam jumlah
lebih kecil, tapi lebih gesit. "Cukup satu peleton saja, tapi harus terus bergerak, baik siang
maupun malam."

Patroli dalam tim-tim kecil ini pun kurang memadai menghadang pasukan Kartosoewirjo.
Sebagian warga Priangan yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat
persembunyian bagi Tentara Islam. Alex menganalisis situasi pihak lawan menguasai
medan dan didukung sebagian rakyat. Strategi yang dibutuhkan, menurut Alex, adalah
strategi antigerilya.

Alex sudah kenyang pengalaman dalam perang gerilya dari penumpasan pemberontakan
Republik Maluku Selatan. Dia melatih anak buahnya berbagai jurus antigerilya, terutama
hinderlaag (penghadangan), juga menentukan gevechtstelling atau posisi tempur. Strategi
inilah yang akhirnya mematahkan perlawanan Tentara Islam.

Dua peneliti, Cornelis van Dijk dan Karl D. Jackson, punya sejumlah teori kenapa
perlawanan Tentara Islam Indonesia bisa bertahan lama, bahkan jauh lebih lama
dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta, yang
digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.

Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat ketimbang respons
masyarakat terhadap PRRI, yang elitis. Pada akhir 1960-an, Jackson meneliti 19 desa di
Jawa Barat. Kesimpulannya, enam desa memihak Darul Islam, tujuh desa condong ke
Pemerintah Republik, dan sisanya hanya mengikuti "arah angin".
Harus diakui pula bahwa Kartosoewirjo lihai merengkuh simpati masyarakat dengan
simbol Islam yang digunakannya.

Jejak Gerilya di Belantara Priangan

SARDJONO Kartosoewirjo-putra mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo-


menegakkan posisi duduknya dan mengencangkan volume pemutar musik di mobil itu.
Suara penyanyi balada Amerika, John Denver, terdengar melantunkan Take Me Home,
Country Roads.

Almost heaven, West Virginia


Blue Ridge Mountains
Shenandoah River...

Mobil yang ditumpanginya memasuki gugus pegunungan di pinggiran Kota Bandung.


"Saya anak hutan, lahir dan tumbuh di hutan," kata pria 48 tahun itu. Sardjono dilahirkan
ketika ayahnya bergerilya setelah memproklamasikan Negara Islam Indonesia dan baru
keluar dari hutan pada usia lima tahun.

Pertengahan Juli lalu, Sardjono bersama Tempo melakukan napak tilas menyusuri daerah
gerilya Kartosoewirjo. Rombongan berangkat dari Jakarta siang hari, senja sampai
Bandung, dan masuk pegunungan Jawa Barat saat rembang petang.

Mendekati daerah Malangbong, Garut, sekitar satu jam perjalanan dari Bandung,
Sardjono membaca selarik sajak dengan suara bergetar.

"Di jalan ini kami pernah menerobos pagar betis tentara, mau ketemu Bapak di gunung
seberang," katanya. Ayahnya dieksekusi regu tembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu,
Jakarta.

lll

MOBIL tumpangan itu terseok-seok melintasi daerah pegunungan. Hujan deras


mengganggu penglihatan dan pendengaran. Sardjono, yang duduk di kursi depan, terus
bercerita tentang masa kecilnya. Jalanan naik-turun berkelok tajam, kanan-kiri berselang-
seling area permukiman dan hutan.

Di rerimbunan hutan, 60 tahun lalu Kartosoewirjo bersama para pengikutnya menggalang


kekuatan. Hutan tempat gerilya terbentang luas di gugus pegunungan Priangan-Ciamis,
Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya.
Pemberontakan Kartosoewirjo dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah pusat, juga
oleh hasil perundingan pemerintah pusat dan Belanda yang dinilai merugikan. Perjanjian
Renville pada 1949, misalnya, yang berisi kesepakatan membagi daerah kekuasaan
Indonesia dengan Belanda, mendorong pasukan Siliwangi di Jawa Barat melakukan long
march ke Jawa Tengah, di daerah kekuasaan Republik. Kartosoewirjo dan pengikutnya
menolak ikut serta.

Batas daerah kekuasaan Republik dengan Belanda dipisahkan garis Van Mook-yang
memanjang di daerah Tasikmalaya sepanjang Sungai Citanduy. Daerah kekuasaan
Indonesia berada di sebelah timur sungai, termasuk Ciamis. Daerah di sebelah barat,
termasuk Tasikmalaya, menjadi wilayah Belanda. Di Jalan Dr M. Hatta terdapat jembatan
yang melintasi sungai itu. Papan reklame komersial bertebaran di sekitarnya. Di daerah
aliran sungai, pepohonan masih rimbun.

Jejak garis Van Mook kini juga direpresentasikan Jembatan Cirahong, 15 menit
perjalanan dari pusat Kota Tasikmalaya. Jembatan sepanjang 200 meter itu dibagi dua.
"Separuh masuk Ciamis, separuhnya masuk Tasik," kata warga pengatur arus kendaraan
di mulut jembatan.

Karena perlintasan hanya searah, kendaraan yang lewat harus meluncur bergantian.
Bagian bawah jembatan merupakan jalan kendaraan umum, dan bagian atasnya untuk
lintasan kereta api. Air sungai terletak 30 meter di bawah.

lll

JOHN Denver telah mengganti lagunya menjadi Forest Lawn. Mobil tumpangan itu kini
melintasi jalan tanah berbatu 10 kilometer di sekitar Gunung Galunggung. Di sekeliling
terlihat gerombolan kera berkerumun.

Dari jalanan terlihat tebing yang menyangga punggung gunung. "Atas gunung itu dulu
dijadikan tempat pemantau," Sardjono mengisahkan. Dari sana, petugas mengamati
gerakan pasukan musuh. Komunikasi antarpetugas menggunakan siulan atau suara
burung.

Daerah bawah punggung gunung dijadikan markas karena tersembunyi dan dekat dengan
aliran sungai. Kebutuhan sehari-hari cukup tersedia. Itu adalah markas terbesar-
menampung sang Imam, julukan Kartosoewirjo, dan 500 orang pengikutnya, termasuk
pengawal dan keluarga.

Durasi menetap rombongan Kartosoewirjo di satu tempat bergantung pada potensi


ancaman. Di daerah yang tak aman, mereka tinggal hanya dua malam. Di tempat
sebaliknya, mereka bertahan hingga setahun. Kawasan hutan itu kini masih lebat oleh
pohon. Ketika bergerilya dulu, rombongan Kartosoewirjo masuk jauh ke dalam hutan.
"Di atas sana," kata petugas wisata Cipanas Galunggung menunjuk ke arah pedalaman.
Banyak kegiatan membunuh sunyi. Salah satunya olahraga. "Favoritnya senam lantai,"
kata Sardjono. Dalam masa berpindah-pindah itu, peralatan senam berupa ring besar
selalu dibawa. Nantinya ring digantungkan di tangkai pohon yang besar. Saat senggang,
Kartosoewirjo senam bergelantungan. "Tangannya kekar, lebih kuat dari kakinya."

Kartosoewirjo dan timnya juga mendekati penduduk desa, merekrut anggota, sekaligus
mencari tambahan logistik. Pernah ada cerita tentang suami-istri dari desa pinggir hutan
yang menitipkan bayinya ke rombongan Kartosoewirjo. Mereka khawatir si bayi bakal
dimangsa harimau karena sang ayah mendalami ilmu pamacan-kesaktian yang bisa
meningkatkan kemampuan diri hingga mirip macan. Setiap malam, pasukan
Kartosoewirjo bergantian menjaga si bayi dengan tombak yang ujungnya dibebat kain
yang dibakar. Naas, di malam ke-40, semua penjaga ketiduran. "Esoknya, tinggal ibu jari
bayi yang tersisa," Sardjono mengisahkan.

Kegiatan rutin lain adalah bergerilya menghindari kepungan tentara, terutama ketika
Operasi Pagar Betis digelar. Ada saatnya rombongan harus menyeberangi pagar betis
tentara. Barikade tentara Republik sangat ketat. Setiap 10 meter ada posko pasukan. Tali
penghubung antarpos digantungi kaleng-kaleng sehingga berisik bila terlanggar.

Kisah lucu menerobos pagar betis pernah terjadi saat rombongan Kartosoewirjo akan
menyeberang ke daerah Garut. Sekitar 200 orang mengendap-endap di malam hari.
Memasuki area perkebunan, kendaraan patroli tentara mondar-mandir. Pemimpin
rombongan di depan memberikan pesan dengan berbisik secara beruntun. Awalnya,
pesan berbunyi: "Hati-hati ada patroli." Tapi, sampai tengah, pesan mulai menyimpang,
dan sampai ke belakang menjadi: "Aya huwi, aya huwi"-bahasa Sunda yang berarti "ada
ubi". Sebagian anggota rombongan berhamburan mengejar fatamorgana. "Untung tidak
tertangkap," kata Sardjono geli.

lll

KEMAL masih fasih melafalkan cukilan ayat Al-Quran-"Dan tidaklah engkau melempar
ketika melemparkan, Allah yang melempar." Dulu, ayat itu selalu dibacanya setiap kali
akan meletupkan senjata mesin otomatis sesuai dengan petunjuk komandannya. "Saya
pemegang bren," katanya. Waktu muda perkasa, Kemal adalah tentara Darul Islam.
Sekarang dia sudah renta, ringkih. Ia hanya bisa berbahasa Sunda.

Rumahnya di Ciakar, Cibeureum, Tasikmalaya. Kampungnya berbatasan dengan hutan,


tepat di kaki Gunung Galunggung. Saat disambangi, dia sedang menunggu magrib:
bersarung, dengan peci hitam dan sorban merah lusuh. Kemal tak tahu tahun kapan
dilahirkan. Dia hanya ingat usianya 17 tahun ketika bergabung dengan Kartosoewirjo.

Awalnya, Kemal masuk Institut Suffah, lembaga pendidikan Islam yang didirikan
Kartosoewirjo pada 1940-an, yang berlokasi di jalan Malangbong-Blubur Limbangan.
Orang tua Kemal terpesona oleh ajaran Kartosoewirjo sehingga menyekolahkan anaknya
di sana.
Selama menjadi tentara, Kemal sering bertugas menyusup ke desa-desa pinggir hutan.
Karena itu, dia jarang bertemu dengan Kartosoewirjo. Yang jelas, "Setiap perintah Imam
harus kami laksanakan," katanya.

Di matanya, Kartosoewirjo adalah pribadi yang keras dan bijaksana. Dalam banyak
kesempatan di markas, dia selalu memberikan pengajian dan tuntunan kepada anak
buahnya. "Rujukannya Al-Quran. Kartosoewirjo dasarnya Islam. Kalau Soekarno kan
Pancasila," ujar Kemal.

Selain mengajarkan agama, Kartosoewirjo menggelar latihan kemiliteran bagi laki-laki


dan keterampilan khusus untuk perempuan. "Seperti jahit-menjahit," kata Dudung, 85
tahun, bekas tentara Darul Islam yang kini tinggal di Kampung Padakarya, Sariwangi,
Tasikmalaya.

Mendapat ajaran agama, para anggota menggebu. "Kami berjuang menegakkan Islam,"
kata Kemal. Tapi Operasi Pagar Betis pelan-pelan melemahkan mereka. Pasokan logistik
terhenti, ruang gerak menyempit. Satu per satu anggota menyerah. Kartosoewirjo
akhirnya menginstruksikan turun gunung. "Kembalilah bertani di kampung," kata Kemal
menirukan sang Imam.

Misteri Ki Dongkol dan Ki Rompang

KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
pergi. Jika tak terselip di pinggang pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907
tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ
ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka
itu baru terpisah dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 3 Juni 1962.

Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan pedang itu
kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara turun-temurun. Kedua
pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar 1936 dari seorang tokoh Garut bernama
Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas.
"Kedua pusaka itu diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah
leluhur Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji," kata Sardjono Kartosoewirjo, salah satu putra
Kartosoewirjo.

Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan Kartosoewirjo


memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo dikenal sebagai orang
yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur Jawa tradisional. Sebagaimana
orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur,
dan tidak minum) selama 40 hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.
Syahdan, kedua pusaka itu menjadi salah satu senjata andalan Kartosoewirjo
menanamkan pengaruhnya di daerah pegunungan Jawa Barat. Banyak anggota
masyarakat yang percaya bahwa orang yang memiliki kedua pusaka itu adalah seorang
Ratu Adil Kawedal atau Ratu Adil yang "baru muncul".

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo karangan Pinardi H.Z.A., salah satu
bekas panglima kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam
masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka itu akan
memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua pusaka itu tak pernah
terlepas dari badan Kartosoewirjo. "Hanya kadang-kadang saja dititipkan kepada orang
kepercayaannya yang bernama Raspati," katanya.

Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua pusaka tersebut
di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada
pekan industri di Bandung, Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang
datang ke pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.

Namun keampuhan kedua pusaka itu dibantah oleh Sardjono. Menurut dia, pada kedua
pusaka itu sama sekali tak ada unsur gaib. "Senjata biasa saja, bahkan yang satunya
rompang, makanya jadi sebutan," katanya. Ia juga menampik jika disebutkan kedua
pusaka tersebut selalu terselip di pinggang Kartosoewirjo. "Masak Imam ke mana-mana
selalu bawa-bawa barang, yang bawa pembantunya, namanya Bajuri. Kadang-kadang
saja diselipkan di pinggang," katanya.

Sardjono mengakui banyak orang yang selalu bertanya-tanya akan keampuhan kedua
pusaka itu. Bahkan pernah sekali waktu salah satu pengawal Kartosoewirjo, Kadar
Sulihat, menanyakan kepada Kartosoewirjo soal kedua pusaka yang selalu dibawanya itu.
Dengan lugas Kartosoewirjo menjawab, "Pusaka ini menjadi pengingat. Dulu orang
berjuang hanya dengan pisau, sekarang dengan senjata modern. Harus lebih berani."

Tiga Berpayung Kecewa

DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama
yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan
"daftar hitam" itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke
penjara.

Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan
Kartosoewirjo-pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang
mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan
Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani
Kartosoewirjo.

Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh.
Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. "Seru juga
saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh," kata Hasan dalam
bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. "Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik
daripada agama."

Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada
21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan
pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta
Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama
erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang
benar, menjauhi yang salah.

Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya
sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi
bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu
tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi
wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari
Provinsi Sumatera Utara.

Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh,


Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia
Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu
"menyihir" orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid.

Abu-demikian Daud Beureueh biasa dipanggil-mendirikan Persatuan Ulama-ulama


Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan,
menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga
bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama
menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda.

Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. "Kami
mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam,"
kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi
Liberal.

Pascapembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan


pusat dan daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di
sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar
mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah
pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel.
Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima
menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak.
Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari,
Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar
menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan
gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin
Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer
Sulawesi Selatan.

Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi


tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam
pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang
menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh.

Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian
kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak
semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa
Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem
militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk
Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para
ulama.

Katosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah
ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar.
Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi
militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen
Tertinggi.

Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua
lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan.
Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur
dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur
militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak
dapat dihilangkan dalam suasana apa pun.

Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur
pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud
Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan
Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau
negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan
Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia
menyatakan perubahan itu belum saatnya.

Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti
Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin
wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah.
"Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah," kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal
Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah "Darul Islam"
untuk menggantikan sebutan Negara Islam.

Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut
Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. "Mungkin karena pemahaman agama
Kartosoewirjo yang berbeda," katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik
S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang
menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional.
Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan
raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.

Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat
dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal
seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan
dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. "Darul Islam ingin
menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan," kata Hasan.

Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang
mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai
dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak mati. Ulama terkemuka itu
turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian
Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo,
Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan
ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena
itu, ujar Hasan, "Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum."

Jalur Komando Praktis di Era Revolusi

NEGARA Islam Indonesia, menurut Kanun Azazi, berbentuk djumhuriah, yakni republik
Islam yang dipimpin oleh seorang imam. Tapi kenyataannya, struktur negara semacam
ini bersifat teokrasi dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin tunggal.
Karto mengangkat dirinya sebagai imam bagi umat Islam di seluruh Indonesia.

Karto menggagas sendiri sistem "pemerintahan"-nya. Ia mengatur administrasi


pemerintah, negara, dan militer. Semula, melalui Maklumat Nomor 1, dia memisahkan
urusan politik dan militer. Pemimpin pemerintahan sipil sekaligus bertugas sebagai
komandan pertahanan di daerah masing-masing. Sementara itu, pemimpin militer
memimpin pertempuran.

Setahun kemudian, atau dua bulan setelah Negara Islam diproklamasikan, pada 3 Oktober
1949, maklumat itu direvisi menjadi Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 1, yang
menyatukan urusan politik dan militer. Tujuannya mencegah dualisme kepemimpinan
dan pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan superior antargolongan.
Misalnya golongan militer yang merasa lebih tinggi ketimbang sipil atau sebaliknya.

Menurut Kartosoewirjo, organisasi mesti praktis dan sesuai dengan tuntutan pergolakan
revolusi. Dengan demikian, kewajiban dapat dilaksanakan dengan cepat dan tegas.
Intinya, ahli politik harus "dimiliterkan", dan ahli militer "dipolitikkan". Seorang kepala
daerah yang telah "dimiliterkan" bisa menginstruksikan pasukan bersenjata menghadapi
keadaan yang muncul tiba-tiba. Demikian pula sebaliknya.

STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM INDONESIA


BERDASARKAN MAKLUMAT KOMANDEMEN TERTINGGI NOMOR 1

KOMANDEMEN TERTINGGI
Imam merupakan pemimpin umum secara politik dan militer, sebagai panglima tertinggi.
Adapun pemimpin harian dipegang oleh kepala staf umum atau generale staff.

KW 1:
Priangan Timur (berpusat di Tasikmalaya, meliputi Jakarta, Purwakarta, dan Cirebon)

KW 2:
Jawa Tengah

KW 3:
Jawa Timur

KW 4:
Sulawesi Selatan dan sekitarnya

KW 5:
Sumatera

KW 6:
Kalimantan

KW 7:
Serang-Banten, Bogor, Garut, Sumedang, Bandung

KOMANDEMEN WILAYAH (KW)


Terdapat tujuh Komandemen Wilayah. Panglima Komandemen Wilayah memimpin
secara politik dan militer di tingkat wilayah atau setara dengan provinsi. Dia memiliki
dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Panglima Komandemen Wilayah yang bisa
menggantikan panglima jika panglima berhalangan. Adapun kepengurusan harian
dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Wilayah.
KOMANDEMEN DAERAH
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Daerah. Ia memiliki dua wakil, yakni
Wakil I dan Wakil II Komandan Komandemen Daerah, yang bisa menggantikan
pemimpin mereka jika pemimpin berhalangan. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala
Staf Komandemen Daerah.

KOMANDEMEN KABUPATEN
Dipimpin oleh Komandan Komandemen Kabupaten. Jika berhalangan, perannya bisa
digantikan Wakil I atau Wakil II. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala Staf
Komandemen Kabupaten.

KOMANDEMEN KECAMATAN
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Kecamatan, dan dibantu oleh seorang
wakil. Pengurus harian dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Kecamatan.

Sistem pemerintahan Negara Islam Indonesia juga mengenal kepala desa atau lurah di
posisi paling bawah, yakni pemegang kekuasaan di tingkat desa. Malah di level terendah
ini gerakan memperluas pengaruh dan meningkatkan dukungan masyarakat lebih efektif.
Di sebuah area yang baru dikuasai, misalnya, langsung dibentuk pemimpin pemerintahan
dengan "ketua"-nya lurah. Karena area kekuasaannya sempit-terbatas pada daerah yang
baru direbut-lurah tentu punya semangat berekspansi memperluas wilayahnya menjadi
kecamatan.

SUMBER: PINARDI, DALAM SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO,


1964

Lubang Peluru di Menara Masjid

KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan menyerbu.
Malam sehabis isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat,
senyap. Sebagian penduduk kampung itu meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di
kompleks Pesantren Darussalam milik KH Yusuf Tauziri.

Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia belum
mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya.
Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan dan suara tembakan. Dari
gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat merah di langit. "Serangannya mendadak,"
katanya kepada Tempo.

Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok Darul


Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan
pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung desa. Pesantren Darussalam jadi
sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari
jendela, lari menuju pesantren.

Di dalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman Sholeh, mengatur komando


menahan serangan. Ia berdiri di puncak menara masjid, lalu melempar granat. Para santri
di bawah bersiaga dengan senapan dan batu. Bentrok berlangsung sampai pukul tiga
dinihari. Masjid 30 x 70 meter itu menjadi benteng terakhir Kiai Yusuf dan para
santrinya. "Desingan pelurunya masih terdengar sampai sekarang," tutur Sholeh.

Tak mudah bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut Sholeh, jumlah penyerbu lima
kali lipat dari penyokong pesantren. Konsentrasi para pengawal juga pecah karena harus
menjaga pengungsi perempuan dan anak-anak. Senjata mereka pun tak cukup. Kiai Yusuf
dan pengawalnya hanya memiliki tujuh pucuk senapan dan dua peti granat. Karena
kurang peluru, Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya hanya menembak sasaran yang
mendekat.

Suara salawat dan takbir bergema di dalam masjid. Tangisan dan teriakan anak-anak
terdengar. Kepanikan memuncak ketika penyerbu berusaha membobol tembok barat
masjid dengan granat. Usaha itu gagal karena tembok terlalu tebal, sekitar 40 sentimeter
dengan fondasi batu satu setengah meter.

Serangan mulai surut lewat tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam tak
bisa ditembus. Tentara Siliwangi pun datang membantu Kiai Yusuf. Namun pasukan
bantuan tak dapat masuk lingkungan pesantren. Tank mereka tertahan di tikungan jalan,
sekitar 1,5 kilometer dari masjid.

Menjelang subuh penyerang mundur. Penduduk yang bertahan di masjid dan madrasah
baru berani keluar setelah matahari meninggi. Semua jendela madrasah pecah kena
peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari rumah yang dibakar masih terlihat.
Dari 50 rumah semipermanen di sekitar masjid, hanya tiga yang utuh.

Dalam pertempuran itu, empat pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas.
Kiai Bustomi, kakak ipar Yusuf, juga menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak
berlindung di masjid. Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari. Mereka
menemukan lusinan mayat di sawah dan empang ikan. Bahkan air kolam di sekitar
pesantren pun berwarna kemerahan.

Peristiwa itu menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka


ketakutan setiap kali mendengar langkah kaki orang di luar rumah pada malam hari.
Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka pun tak
mau makan ikan. "Selama dua tahun ikan kami tak laku dijual," ujar Sholeh.

Kiai Yusuf mulai membenahi pesantren dan desa. Cipari kembali pulih. Peristiwa malam
itu dianggap mukjizat. Aksi Yusuf di puncak menara dianggap heroik. Kini, jalan Garut-
Wanaraja sepanjang enam kilometer menuju pesantren diberi nama Jalan KH Yusuf
Tauziri.
Yusuf, pemimpin pesantren, sasaran penyerbuan malam itu, bekas sahabat Kartosoewirjo.

lll

Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun. Kiai Yusuf mengenal Kartosoewirjo
ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-
1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari Cornell University, Amerika Serikat,
menyebutkan hubungan mereka akrab. Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat
Kartosoewirjo.

Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa


Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan
Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.

Kepada Hiroko, Kiai Yusuf bercerita tentang perbedaan pendapatnya dengan


Kartosoewirjo. Pada awal 1940, Kartosoewirjo mengusulkan lembaga Suffah dalam
kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang memilih
jalan nonkooperatif dengan Belanda.

Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya


dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota
menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.

Berbeda dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total.
Alasannya, persiapan belum matang. Ia mengusulkan uang ditanamkan di bidang
pertanian. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan
pemimpin. Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.

Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal
pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan
keponakannya sebagai pelajar.

Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di


Cisayong, Tasikmalaya. Pertemuan itu membentuk struktur organisasi gerakan
perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Cirebon.
Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan negara Islam yang terpisah dari republik ini.

Kiai Yusuf dan pengikutnya menganggap gagasan mendirikan negara Islam dengan
meninggalkan Republik terlalu jauh. Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam
Kartosoewirjo. Apalagi tempat ini selalu menjadi tempat berlindung penduduk yang tak
mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam.

Pesantren pun menjadi target. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa
Cipari lebih dari 46 kali. Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga serta
pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April 1952. Kepungan di Desa Cipari
tak membuyarkan Pesantren Darussalam.
Menara masjid itu masih berdiri hingga kini, menjadi saksi keteguhan Kiai Yusuf. Bekas
tembakan dibiarkan di dinding menara bergaris tengah sekitar satu meter dan tinggi 20
meter ini. Banyak penduduk memanjat menara. "Mereka hanya ingin tahu, sekalian
berdoa," ujar Sholeh.

Dodol Garut dan Susu dalam Gubuk

GUBUK kecil di tengah hutan itu dibuat dari dedaunan hingga setinggi orang dewasa.
Tapi di dalamnya ada makanan yang jarang ditemui Sersan Ara Suhara di rumah orang
biasa saat itu: dodol garut, jeruk garut, dan susu.

Ketika melihat ada seorang kakek bersarung dan berbaju di samping makanan mewah itu,
Ara, prajurit Batalion Infanteri 328/Kujang Siliwangi, langsung berpikir kakek itu pasti
orang penting. Mungkinkah ia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang ia buru selama
ini? Ara pun bertanya, memastikan: "Pak Karto?"

Si kakek merangkul Ara. "Iya, Nak," katanya mengakui.

Jawaban Kartosoewirjo itu tak hanya mengakhiri perburuan Ara selama berhari-hari
untuk menemukan Kartosoewirjo sekaligus menunjukkan keberhasilan strategi perang
wilayah tentara Indonesia.

Dengan taktik itu, tentara Indonesia menyekat-nyekat daerah perlawanan, sehingga


Kartosoewirjo sulit bergerak. Operasi ini bernama Brata Yuda, tapi lebih dikenal sebagai
Operasi Pagar Betis. Digelar mulai April 1962, operasi ditargetkan kelar setengah tahun,
tapi baru tiga bulan dilangsungkan Ara sudah menangkap Kartosoewirjo.

Salah satu kunci sukses operasi ini adalah keterlibatan rakyat sipil sehingga kepungan
terhadap DI/TII sangat rapat dan bisa dikatakan tak tertembus. Keterlibatan rakyat ini
yang membuat operasi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis.

Dalam operasi, militer meminta para pemuda dan pamong desa di sekitar wilayah operasi
bersiaga. "Mereka yang berangkat diinstruksikan untuk membawa bekal logistik sendiri
secukupnya," kata Abdul Mahmud Latif, warga Desa Cilampung Hilir, Leuwisari,
Tasikmalaya, yang saat operasi digelar berusia 25 tahun.

Sebagai pemuda, ia ikut menjadi pagar betis. "Tiga hari saya di sana," katanya. Di lokasi
yang ditentukan, Mahmud, para tetangganya, dan tentara membuat sejumlah tenda
mengelilingi hutan di sekitar Galunggung.

Toto Toriah, nenek yang saat masih muda menemani suaminya yang menjadi pengikut
Kartosoewirjo, Adang, saat ini 82 tahun, mengungkapkan masalah pagar betis ini bagi
pasukan Kartosoewirjo. "Sulit sekali makanan masuk," kata Toto, yang sekarang tinggal
di Desa Linggarsari, Sariwangi, Tasikmalaya. Sebelumnya, warga yang bersimpati
kepada mereka terkadang mengirim beras, jagung, gula, atau garam.

Di luar makanan itu, pasukan Kartosoewirjo juga belajar hidup dengan memanfaatkan
apa saja yang ada di hutan. Pasukan Kartosoewirjo mengandalkan makanan bongborosan,
seperti pisang, honje, kapulaga, jahe, atau lengkuas sebagai bahan makanan setiap hari.
"Singkong rebus tambah gula merah ataupun garam mungkin menjadi menu favoritnya,"
kata suami Toto, Adang.

Mereka juga berburu burung, kancil, atau ikan untuk lauk. Sayuran kegemaran lain
adalah daun reundeu. "Daun ini bisa langsung dimakan bila keadaan perut prajurit sudah
tidak kuat menahan lapar," kata Adang.

Para tentara DI/TII juga gemar merokok. Favorit mereka adalah Escort, merek rokok
nonkretek populer di Indonesia sejak zaman Belanda hingga 1970-an. Jika sudah
kehabisan rokok, tutur Dudung, 85 tahun, rekan Adah Djaelani, ia tidak segan-segan
meminta kepada Raden Oni Syahroni, kepala Resimen I DI/TII yang terkenal. "Beliau
terkadang hanya memberi kami Rp 5," kata Adah. "Itu sudah cukup bagi kami untuk
membeli rokok."

Tapi Operasi Pagar Betis menghentikan hubungan mereka dengan dunia luar. Pemerintah
Jakarta pun menawarkan amnesti bagi pasukan DI/TII yang menyerah pada 1961.
Dengan posisi tertekan kuat sekaligus diberi jalan keluar yang bagus, yakni amnesti,
kekuatan DI/TII mulai berkurang.

Para pejabat kelompok pemberontak ini mulai satu per satu menyerahkan diri. Yang
terakhir, Mei 1962, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang komandan wilayah, juga
menyerahkan diri di pos pagar betis Gunung Cibitung. Praktis sejak saat itu
Kartosoewirjo tinggal ditemani segelintir pengikut setianya.

Operasi ini juga memaksa istri dan anak kelompok Kartosoewirjo terpisah dari induknya.
Salah satunya Sardjono, anak Kartosoewirjo yang saat itu baru lima tahun dan diasuh
Musti'ah.

Sardjono menuturkan ia beserta rombongan perempuan dan anak-anak itu hanya makan
daun-daunan seadanya di hutan. "Kami sudah tidak makan seminggu, di gunung buahnya
pahit semua," katanya mengenang.

Selain itu, pasukan pengawal mereka merasa bahwa mereka malah menjadi beban.
Akhirnya diputuskan para perempuan itu turun gunung alias menyerah. Si komandan dan
pasukannya akan mencoba membuat kontak dengan induk pasukan.

Selain pagar betis yang dijaga warga sebagai benteng pasif, tentara juga aktif memburu
pasukan Kartosoewirjo seperti yang dilakukan Ara dan Kompi C yang dipimpin Letnan
Dua Anda Suhanda-tempat Ara bertugas. Kompi ini berpatroli dari desa ke desa dan
hutan ke hutan. Saat beristirahat dan menginap di Joglo, Majalaya, setelah tiga hari
berpatroli dengan berjalan kaki, mereka mendengar ada penggarongan. Aksi itu terjadi di
Desa Pangauban, beberapa kilometer sebelah barat Joglo.

Mereka mengikuti jejak penggarong yang ternyata memutari Gunung Rakutak. Saat
pertama mengejar, mereka memulai dari Pangauban di barat Rakutak. Tapi hari
berikutnya mereka sampai Sungai Ciharus, tempat mereka kehilangan jejak.

Ara meminta izin atasannya, Suhanda, untuk menyeberang sungai dan mencari sendiri
jejaknya. Setelah berapa lama, ia menemukan jejak itu. Ia segera menjadi pelacak hingga
sampai ke lembah Geber di sekitar Gunung Rakutak, tempat ia menemukan sepasukan
anak buah Kartosoewirjo.

Setelah menunggu sejumlah rekan datang, Ara merangsek maju. Ia sempat menembak
salah satu penjaga pos pengintai. Ia sempat berhadapan dengan Aceng Kurnia, dan salah
satu tangan kanan Kartosoewirjo itu kemudian angkat tangan. Tidak terjadi banyak
perlawanan karena kelompok Kartosoewirjo sudah kehabisan amunisi.

Agak jauh, sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri, tampak gubuk tanpa dinding. Di
depan gubuk itu ada pemuda yang ternyata, tiada lain, adalah Dodo Muhammad Darda,
salah satu putra Kartosoewirjo. Di dalam gubuk Ara menemukan makanan mewah dan
Kartosoewirjo yang tergeletak sakit.

Ara-meninggal pada Juni silam tapi sudah menuliskan ceritanya dalam satu buku yang
disimpan keluarganya-menuturkan bahwa Kartosoewirjo mengaku sudah tahu Ara bakal
datang. Kartosoewirjo bahkan mengatakan tahu istri Ara sedang mengandung dan akan
punya anak laki-laki.

Ara tidak pernah melupakan kejadian pada 4 Juni itu. Anak yang tengah dikandung
istrinya itu kemudian lahir dan, seperti "ramalan" Kartosoewirjo, laki-laki. Ara memberi
nama anak itu Asep Sekar Ibrahim. Ibrahim dari nama Panglima Kodam Siliwangi saat
itu, yakni Ibrahim Adjie. Sekar? Ara mengambil dari nama Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo.

Asimilasi Setelah Eksekusi

PAGI masih terang-terang tanah. Di tengah hawa dingin perbukitan Tambakbaya,


Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono berjalan
terseok-seok menuruni lereng. Ditemani Musti'ah, sang pengasuh, tiga anak Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo itu berusaha mencapai pos tentara yang sudah di depan mata.
Masih terngiang ucapan pengawal yang sebelumnya mengiringi mereka. "Kalian turun,
serahkan diri ke pagar betis."
Kedatangan anak-anak itu mengagetkan tentara dan warga yang tengah berjaga di sebuah
lahan terbuka. Keempatnya ditangkap dan dibawa ke markas Batalion 328 Siliwangi di
Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah diberi pertolongan, mereka menjalani
serangkaian interogasi. Awalnya Musti'ah mengaku sebagai orang tua ketiga anak itu.
Menjelang malam baru penyamarannya terbongkar. Sorak-sorai pun membahana.
"Tentara gembira setelah mengetahui siapa kami ini," kata Sardjono Kartosoewirjo, yang
saat itu baru berusia lima tahun.

Penyerahan diri Sardjono, kini 53 tahun, dan dua saudarinya berjarak sebulan dari
Maklumat Kartosoewirjo pada 6 Juni 1962. Dalam pengumuman yang dikeluarkan dua
hari setelah Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung itu, sang
Imam memerintahkan pengikutnya menghentikan tembak-menembak dan kembali ke
pangkuan Republik Indonesia. "Kami turun selain menaati maklumat juga lantaran
logistik menipis," ujar Sardjono, bungsu dari 12 bersaudara buah pernikahan
Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kalsum.

Peristiwa itu pula yang mengawali babak baru kehidupan keluarga Kartosoewirjo setelah
bertahun-tahun hidup di tengah rimba. Sardjono ingat, selepas masa penyidikan, mereka
mulai merasakan hidup di kawasan urban: Bandung.

Ketiga anak Karto dan Musti'ah ditempatkan di Wisma Siliwangi, Jalan Ciumbuleuit 134.
Di tempat itu mereka mendapat perlakuan baik, makanan layak, dan pelayanan medis.
Mereka juga dibekali sejumlah uang. Namun mereka tak bebas penuh. "Kami jadi
semacam tahanan rumah. Penginapan dijaga ketat dan pergaulan dibatasi," kata Sardjono.

Di tempat itu pula Sardjono dan kedua kakaknya bertemu kembali dengan kedua orang
tua mereka setelah terpencar sekian lama. Belakangan diketahui, "penahanan" di Wisma
Siliwangi terkait dengan pengadilan Kartosoewirjo di Mahkamah Angkatan Darat dalam
Keadaan Perang. Pada akhir persidangan, Kartosoewirjo divonis melakukan makar dan
berencana membunuh Presiden. Ia dihukum mati, 5 September 1962.

Sepeninggal Kartosoewirjo, pemerintah bersikap lunak kepada Dewi Siti Kalsum dan
anak-anaknya. Setelah beberapa bulan tinggal di Ciumbuleuit, mereka pun dipindahkan
ke sebuah rumah di Jalan Banda 21, tak jauh dari Gedung Sate. Di sinilah keluarga
gerilya ini mulai membaur dengan masyarakat. Sardjono menuturkan, ketika itu tempat
tinggal mereka tak lagi dijaga ketat. Fasilitas yang diberikan lumayan banyak, di
antaranya mobil dan sopir. Anak-anak bebas ke luar rumah untuk bergaul dengan warga
sekitar. "Saya sering bermain bola dengan anak-anak sekitar situ," ujar Sardjono.

Para tetangga bersikap baik. Sekalipun mengetahui Sardjono dan kedua kakaknya anak
pemimpin gerakan yang dicap gerombolan pemberontak, warga tak pernah
mempersoalkannya. Rupanya, penempatan keluarga Kartosoewirjo di tengah kota ialah
cara Kodam Siliwangi mengetahui sejauh mana reaksi masyarakat. "Belakangan saya
tahu dari tentara, ini persiapan kami untuk bebas," ujar Sardjono.
Namun segala kenyamanan ini tak menghilangkan keresahan Dewi Siti Kalsum dan
anak-anaknya. Proses asimilasi terasa tak sempurna. Silaturahmi dengan sanak famili
terdekat malah tak terjalin. Sewaktu Dewi memilih pulang ke kampung halamannya di
Malangbong, Garut, tak satu pun kerabat mau menjemput lantaran takut. Sialnya lagi,
tanah warisan ayahnya, Kiai Ardiwisastra, tersisa kurang dari separuhnya. Sebagian
dikuasai saudara, selebihnya diserobot tentara.

Setelah lama menunggu, datanglah Titi Aisyah, sepupu Dewi. "Bibi saya itu berani
datang lantaran suaminya perwira TNI," ujar Sardjono. Titi, menurut Sardjono, tak lain
dari ibunda penyanyi Raden Terry Tantri Wulansari alias Mulan Jameela. Di
Malangbong, perlahan-lahan mereka menata kehidupan.

Jejak Kartosoewirjo dan keluarganya di Bandung kini lenyap tak berbekas. Wisma
Siliwangi di Ciumbuleuit yang sempat mereka tempati telah dihancurkan sejak 1999. Di
lahan 500 meter persegi yang ditutupi pagar seng itu tak lagi ada sisa bangunan.
Sedangkan rumah di Jalan Banda kini dijadikan tempat kursus bahasa Inggris.

Kisah itu makin pudar lantaran juga tak ada catatan di Kodam Siliwangi. Kepada Tempo,
Mayor Paiman, Kepala Badan Pelaksana Sejarah Dinas Pembinaan Mental, mengatakan
catatan yang ada hanya seputar penumpasan pemberontakan DI/TII. "Hanya ada sejarah
yang umum," katanya.

Sidang Kilat Kawan Soekarno

MARKAS Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir, Jakarta Pusat,
14 Agustus 1962. Hari itu, sidang pertama Imam Besar Negara Islam Indonesia
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah pengadilan khusus dibentuk.
Namanya Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura.
Wartawan dilarang masuk.

Seperti laiknya persidangan militer, TNI Angkatan Darat memilih tiga perwira sebagai
majelis hakim: Letnan Kolonel Ckh Sukana, BcHk, sebagai ketuanya, didampingi dua
anggota, Mayor Inf Rauf Effendy dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga menentukan
jaksa penuntut umum sendiri: Mayor Chk Sutarjono, BcHk. Bahkan anggota tim pembela
Kartosoewirjo juga diangkat oleh tentara: empat orang pengacara dipimpin Wibowo, SH.

Tentara hanya butuh dua bulan untuk mempersiapkan sidang besar ini. Kartosoewirjo
ditangkap pada awal Juni 1962 dan langsung dibawa ke Jakarta untuk persiapan
persidangan. Sardjono, putra bungsunya, mengaku keluarganya sama sekali tidak diberi
tahu. "Kami ditahan di Bandung, tidak bisa ke mana-mana," katanya, dua pekan lalu.
"Kami baru tahu vonis Bapak setelah sidang selesai."
Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang disusun Pinardi pada 1964,
disebutkan bahwa bahan-bahan persidangan disiapkan oleh Komando Daerah Militer
Siliwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Buku ini bisa dibilang sumber sahih
informasi dari tentara soal persidangan Kartosoewirjo. Kepala Staf Angkatan Bersenjata
ketika itu, Jenderal Abdul Haris Nasution, menulis sambutan dalam buku tersebut.

Karena sidang dinyatakan tertutup, sulit memperoleh gambaran mengenai jalannya


sidang dari media massa ataupun sumber tak berpihak lain. Sumber resmi tentara-yang
banyak dikutip koran-koran-menyebutkan bahwa pada sidang perdana, Kartosoewirjo
ditanyai soal kejelasan identitas dan perkara yang dia hadapi. "Jangan sampai yang
dihadirkan di sidang ini adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo
pemimpin gerombolan," kata salah satu pengacara, pembela terdakwa.

Jaksa menuntut Kartosoewirjo-yang saat disidangkan berusia 55 tahun-dengan pasal


berlapis. Dia dituduh hendak menggulingkan pemerintah yang sah, memberontak
melawan Negara Republik Indonesia, dan merencanakan pembunuhan atas Presiden
Soekarno. Untuk menguatkan dakwaannya, jaksa Sutarjono menghadirkan enam saksi-
semuanya anak buah Kartosoewirjo di Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Mereka adalah Djaja Sudjadi alias Widjaja (Menteri Keuangan Negara Islam Indonesia),
Mardjuki (Bupati Tasikmalaya NII), Asbar (Komandan Resimen Tentara Islam
Indonesia), Agus Abdullah (perwira berpangkat brigadir jenderal di TII), Sanusi Fikrap,
dan Kamil Ali. Dua yang disebut terakhir adalah tersangka yang tersangkut insiden
percobaan pembunuhan Presiden Soekarno saat salat Idul Adha di Istana Merdeka pada
14 Mei 1962.

Keenam saksi memberikan keterangan yang memberatkan Kartosoewirjo. Mereka


mengakui peran sang Imam dalam mengatur dan mengendalikan operasi perlawanan NII
di hutan-hutan Jawa Barat. Sejumlah peristiwa diangkat khusus, misalnya penyerangan di
Garut pada Juli 1961 dan bentrok di Sumedang pada November 1961. Pada dua insiden
penyerangan tentara Kartosoewirjo ke desa-desa di sekitar wilayah gerilya mereka itu,
TNI mengklaim ada ratusan warga yang menjadi korban.

Jaksa juga menyoroti peran Kartosoewirjo dalam rencana pembunuhan Soekarno. Salah
satu saksi, Asbar, mengaku mendapat perintah langsung dari Kartosoewirjo, yang
dikuatkan dengan sebuah gigi junjungannya itu. "Gigi itu dianggap sebagai jimat dan
tanda kepercayaan Kartosoewirjo untuk melaksanakan perintah itu," kata jaksa,
sebagaimana terungkap dalam risalah sidang yang dimuat media. Asbar kemudian
meneruskan perintah itu kepada Mardjuki, Bupati Tasikmalaya dalam struktur NII.
Dalam sidang, Mardjuki membenarkan adanya perintah itu.

Selain oleh tiga peristiwa itu, dakwaan atas Kartosoewirjo diperkuat dengan laporan
kerugian dan korban jiwa selama pemberontakan DI/TII. Jaksa menyebutkan, pada
periode 1953-1960 saja, ada 22.895 orang yang tewas serta 115.822 rumah yang musnah,
dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta.
Tak begitu dijelaskan bagaimana angka-angka itu diperoleh. Namun, dalam risalah
persidangan, dinyatakan bahwa pemberontakan Kartosoewirjo mengganggu upaya
pemerintah Orde Lama mencapai Tri-Program: pemenuhan sandang-pangan, penjagaan
keamanan, dan operasi perebutan Irian Barat. "Biaya yang seharusnya digunakan untuk
operasi Irian Barat jadi digunakan untuk memulihkan keamanan akibat pemberontakan
gerombolan ini," kata hakim dalam putusannya.

Tak tercatat ada saksi meringankan dalam persidangan ini. Namun, ketika diminta
membela diri, Kartosoewirjo dilaporkan menyangkal tuduhan bahwa ia melawan Negara
Republik Indonesia dan merencanakan pembunuhan Soekarno. Dia hanya menerima
tuduhan pertama: menyerang pemerintah yang sah. "Dari Ibu, saya diberi tahu bahwa
jaksa memang mengejar tuntutan ketiga: terlibat pembunuhan presiden, karena ancaman
hukumannya mati," kata Sardjono mengenang.

Pembelaan dan penyangkalan Kartosoewirjo diabaikan majelis hakim. Dalam sidang


tertutup, didampingi tim pembela yang tidak dia pilih sendiri, Kartosoewirjo memang
terpojok. "Alat bukti dan keterangan saksi cukup untuk mengabaikan penyangkalan
terdakwa," kata ketua majelis hakim Letnan Kolonel Sukana.

Saking tertutupnya, berita mengenai persidangan Kartosoewirjo sama sekali tak ada di
halaman-halaman koran. Baru pada Sabtu, 19 Agustus 1962, dua hari setelah vonis
dibacakan, Harian Pikiran Rakjat menulis kabar soal vonis hukuman mati untuk
Kartosoewirjo.

Diletakkan di bagian bawah halaman pertama, koran yang terbit di Bandung, Jawa Barat,
itu juga memasang foto kecil Kartosoewirjo dengan rambut awut-awutan. Keterangan
foto yang bertulisan "Pendam VI" alias Penerangan Kodam VI Siliwangi menandakan
sumber informasi utama berita itu hanya berasal dari tentara.

Dalam berita itu, Kartosoewirjo dilaporkan menghadapi sidang pembacaan vonis dengan
tenang. Dengan kemeja putih lengan panjang, celana biru, dan sepatu hitam, dia tampak
klimis. "Rambutnya, yang panjang saat ditangkap, sudah dipotong," tulis koran itu.
Sejumlah pejabat tinggi hadir dalam sidang tersebut. Ada Menteri Kehakiman Sahardjo,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution, Ketua Mahkamah Agung
Wirjono Prodjodikoro, dan Jaksa Agung Kadarusman.

Setelah palu hakim diketuk, barulah Kartosoewirjo bereaksi. Wajahnya pucat pasi dan
tangannya gemetar. "Dua polisi militer sampai harus memapahnya ke luar sidang," tulis
Pikiran Rakjat. Pengacaranya, Wibowo, sempat berujar akan meminta grasi sebelum
sidang kilat itu ditutup.

Tapi Sardjono punya cerita lain soal akhir sidang ayahnya. Menurut dia, Kartosoewirjo
sempat ditanya apa wasiat atau permintaannya yang terakhir. "Dia minta bertemu perwira
terdekatnya, namun ditolak hakim," katanya. Lalu Kartosoewirjo mencoba meminta
jenazahnya nanti dikuburkan di makam keluarganya di Malangbong, Garut. Ini juga
ditampik. "Akhirnya, terakhir, Bapak cuma minta bertemu keluarga," ujar Sardjono. Ini
pun tak dikabulkan.

Setelah eksekusi, keluarga Kartosoewirjo hanya mendapat kiriman barang-barang


pribadinya. Ada piyama bermotif kotak-kotak cokelat, jam tangan Rolex, pulpen Parker,
tempat rokok cap Kuda, dan gigi palsu.

Dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno berujar tentang hukuman
mati Kartosoewirjo, "Menandatangani hukuman mati tidaklah memberikan kesenangan
kepadaku. Ambillah, misalnya, Kartosoewirjo. Di tahun 1918, dia kawanku yang baik. Di
tahun 20-an, di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-
sama," katanya. Namun putusan harus diambil. "Seorang pemimpin harus bertindak,
tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang ditempuh," ujar Soekarno.

Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dieksekusi di depan regu tembak, setelah


permohonan ampunnya ditolak. Dia ditembak bersama lima anak buahnya, yang dituduh
terlibat percobaan pembunuhan presiden. Sebagian dari mereka yang dieksekusi hari itu
bersaksi memberatkan Kartosoewirjo dalam persidangan sebulan sebelumnya.

Masih Misteri Setelah 45 Tahun

PERAHU kayu bercat biru dengan tudung terpal di bagian tengah itu melaju membelah
laut menuju Pulau Onrust, meninggalkan tepian Muara Kamal di Jakarta Utara. Dua buah
mesin tua berkekuatan masing-masing 40 tenaga kuda meraung di bokong kapal pada
Selasa siang akhir Juli lalu.

Di bawah tudung itu, Sardjono Kartosoewirjo, 53 tahun, duduk bersila di bagian lantai
kapal yang sedikit lebih tinggi. Tak ada kursi di perahu yang kini melaju ke utara itu. "Ini
pertama kalinya saya ke sana." Sardjono mengenakan baju hangat lengan panjang
berwarna cokelat bergaris kuning serta celana hitam dan sepatu karet sewarna. Ia
membawa tas berisi baju koko dan kopiah putih.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai Pulau Onrust, sekitar 14 kilometer dari
tepi utara daratan Kota Jakarta. Selain di Muara Kamal, dermaga yang bisa digunakan
ada di Marina Ancol dan Muara Angke.

Onrust dalam bahasa Belanda berarti tanpa istirahat (sibuk). Pada pertengahan abad ke-
16, di pulau ini terdapat galangan kapal yang lumayan besar. Ia melayani ratusan kapal,
terutama milik kongsi dagang Belanda (VOC) Saat itu, Onrust dikuasai Pangeran
Jayakarta, kemudian dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu kepada VOC.
Pulau ini dilengkapi gudang-gudang untuk menyimpan muatan kapal yang sedang
diperbaiki. Belakangan, pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membangun
tak kurang dari 35 barak haji bagi penduduk yang hendak berangkat ke Mekah. Pulau ini
lantas menjadi tempat karantina jemaah yang kembali sebelum pulang ke rumah.

Ketika itu, Onrust masih seluas sekitar 12 hektare dan penuh dengan pepohonan besar.
Kayunya banyak digunakan untuk pembuatan kapal. Sebuah benteng segi lima sempat
dibangun Belanda di sini sebagai pertahanan menghadapi Inggris. Juga sebuah penjara.
Westerling, perwira Belanda yang dikenal karena pembunuhan puluhan ribu warga
Sulawesi, sempat ngendon di sini sebelum melarikan diri.

Beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia juga sempat dipenjarakan di sini. Nama
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tertoreh di salah satu sudut gedung museum yang
belakangan dibangun pemerintah Indonesia. Gedung itu tadinya rumah dokter dan
perawat yang bertugas mengurusi kesehatan jemaah haji. "Namanya tertulis di dalam
semacam pigura," kata Muhammad Giri, cucu Kartosoewirjo, yang pernah datang sekitar
tahun 2000.

lll

PERAHU melamban mendekati dermaga kecil Pulau Onrust. Dadang, pemilik kapal yang
merangkap nakhoda, meminta dua adiknya yang menjadi anak buah kapal menstabilkan
perahu dengan berpegangan pada perahu lain yang sedang ditambat.

Tak ada petugas yang berjaga di pulau yang hampir tidak berpenghuni ini. Hanya ada dua
warung mi instan dan sebuah bangunan semipermanen dari kayu di sisi timur, yang
ditempati para nelayan yang sedang beristirahat. Sebuah tugu hitam berbentuk batu besar
menyambut setiap orang yang datang. Di permukaannya tertulis ringkasan sejarah pulau.

Sardjono berjalan perlahan menapaki konblok. Seseorang yang baru saja kelar
memancing memberitahukan arah menuju makam. "Di depan bangunan itu, lalu belok
kiri," katanya. "Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai makam."

Melewati pemakaman Belanda, Sardjono sempat berhenti sebentar. Di bawah pohon


besar di tengah makam, ia lalu mengeluarkan baju koko dan melepaskan baju hangatnya.
Setelah bersalin, ia kembali berjalan mengikuti petunjuk arah tadi.

Di sisi barat pemakaman ini terdapat pemakaman pribumi, yang melintang dari utara ke
selatan. Ini berbeda dengan pemakaman Belanda, yang memanjang dari timur ke barat.
Di sisi paling barat kompleks pemakaman pribumi ini, ada bangunan dari bambu beratap
asbes. Bangunan tua itu miring dan bambunya sudah menghitam.

Di sisi kiri pintu masuk terdapat plang berwarna biru bertuliskan informasi bahwa ada
tokoh Darul Islam yang dimakamkan di dalam. Pada sisi kanan bangunan, botol-botol
kosong air bunga mawar tergeletak. Pohon-pohon pinus tumbuh menaungi makam ini. Di
bagian dalam pondok bambu ini terdapat dua makam, yang permukaannya telah dilapisi
porselen biru.

Sardjono lalu melangkah masuk ke tengah makam dan menghadap ke makam sebelah
kanan. Makam ini tidak memiliki batu nisan. Hanya ada batu apung yang dibungkus kain
putih. Sedangkan pada kuburan di sebelahnya terdapat papan nisan bertulisan "H"-Hasan.
Ia lalu berjongkok memegang batu nisan dengan tangan kiri dan mulai berdoa.

Sekitar 15 menit kemudian, ia usai berdoa. "Setelah 45 tahun terpisah," katanya tenang.
"Ini anugerah yang tidak ternilai bagi saya." Sardjono terpisah dengan ayahnya saat ia
masih berusia sekitar lima tahun. Ketika itu, Kartosoewirjo tertangkap pasukan Siliwangi
saat bergerilya di hutan perbukitan.

lll

PADA suatu hari 1-2 tahun setelah kabar eksekusi Kartosoewirjo diterima keluarga,
datang seorang lelaki membawa sepucuk surat. Surat berkops tentara itu merupakan
laporan tentara kepada Presiden Soekarno mengenai lokasi eksekusi Kartosoewirjo, yaitu
di Pulau Ubi. "Saat itu Umar Wirahadikusumah menjadi Pangdam Jaya," kata Sardjono
meyakini surat itu.

Keluarga kemudian berembuk untuk mendatangi pulau yang terletak dua-tiga kilometer
di sebelah utara Pulau Onrust itu. Meski mereka meyakininya, niat ini akhirnya
diurungkan. Alasan utamanya adalah keluarga masih khawatir bahwa surat itu merupakan
jebakan aparat untuk mengetahui seberapa besar sebenarnya kekuatan para pengikut sang
Imam.

Ini adalah satu informasi dari sekian banyak informasi yang diterima keluarga mengenai
keberadaan Kartosoewirjo setelah ditangkap militer. Ada orang yang mengaku melihat
sang Imam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. "Ada yang mengaku bertemu beliau di
Banten." Namun informasi tentang makam di Pulau Ubi dan belakangan berubah menjadi
Pulau Onrustlah yang diyakini keluarga.

Menurut Muhammad Giri, sang cucu, informasi mengenai keberadaan makam tidak
pernah dibicarakan secara terbuka di dalam keluarga. "Saya juga hanya mendengar kalau
orang tua bicara," katanya. Ia pun mencari informasi di Internet. "Saya baca adanya di
Pulau Onrust," kata Giri, yang sempat datang bersama 20-an temannya sambil
bertamasya.

Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pulau Onrust Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Provinsi DKI Jakarta Husnison Nizar, informasi mengenai makam ini memang
disampaikan di dalam museum di pulau itu. Namun ia juga mengakui bahwa hingga saat
ini belum ada penelitian ataupun dokumen resmi yang mendukung hal itu. "Baru sebatas
keyakinan masyarakat," katanya.
Menurut wartawan senior Alwi Shahab, makam Kartosoewirjo memang terletak di Pulau
Onrust. Informasi ini ia peroleh dari Solichin Salam, penulis buku Bung Karno Putra
Fajar, yang terbit pada 1966. Menurut Alwi, Solichin sempat menanyakan hal ini
langsung kepada Bung Karno.

Makam itu, menurut Alwi, adalah salah satu dari dua makam yang dinaungi pondok
bambu tersebut. "Belum tahu yang kiri atau yang kanan," katanya. Makam itu ada dua
untuk menghindari penyembahan atau sesajen yang terkadang dibawa masyarakat.
Sesajen merupakan hal terlarang dalam ajaran Islam. "Jadi makamnya disamarkan,"
ujarnya.

Sardjono berharap pemerintah memperhatikan kejelasan makam ini karena menyangkut


rangkaian sejarah bangsa. "Lebih baik jika ada tes genetik," katanya. Jika hasil tes
menunjukkan positif bahwa itu makam sang ayah, Sardjono ingin melakukan satu bakti
terakhir. "Pesan beliau agar dimakamkan di makam keluarga."

Di salah satu sisi pulau, sehabis berziarah, Sardjono membaca puisi yang
dipersembahkan untuk sang ayah, Kematian Adalah Sebuah Misteri. Di bawah rintik
hujan, ia berteriak:

Kuburmu dicari
Jejakmu diselusuri
Ajaranmu dikaji
Mujahid tidak pernah mati.

Jihad Sebatang Korek


Komando Jihad menjadi awal kebangkitan sekaligus perpecahan pentolan DI/TII. Intelijen
menggembosinya dari dalam.

PANGGILAN dari kantor Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan


dan Ketertiban Jawa Barat membuat Sardjono Kartosoewirjo bergetar. Waktu itu, pada
1975, anak bungsu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini baru kelas tiga sekolah
menengah atas. Dipanggil tentara pada zaman ketika Orde Baru menancapkan
pengaruhnya sungguh membuat kecut remaja 18 tahun ini.

Bersama ibu, dua kakak, dan pentolan Darul Islam seperti Danu Muhammad Hasan,
Ateng Jaelani, Adah Djaelani, dan Aceng Kurnia, Sardjono diterima Letnan Kolonel Pitut
Soeharto. Dengan gaya kalemnya, Direktur III Badan Koordinasi Intelijen Negara
(Bakin) tersebut menyodorkan kertas yang harus diteken 11 orang itu. Isinya ikrar
kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasas Pancasila.
"Meski masih anak-anak, saya diminta ikut tanda tangan karena saya bisa dianggap
simbol DI/TII," katanya tiga pekan lalu.
Sardjono tak mengerti, ikrar itu adalah upaya pemerintah meredam aksi teror yang
dilancarkan pentolan eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di pelbagai daerah. Gaos
Taufik, misalnya, mengebom sejumlah hotel dan rumah sakit Kristen, merampok bank,
dan membunuh sejumlah orang. Gaos adalah Komandan Perang Wilayah Besar Darul
Islam Sumatera Utara.

Pitut mengaku diutus lang-sung oleh Presiden Soeharto untuk secara rahasia mendekati
pentolan-pentolan Darul Islam. "Pak Harto menawarkan amnesti penuh kepada mereka
asal tak ada lagi aksi teror," kata Pitut, kini 81 tahun. Bentuk pengampunan itu antara lain
tawaran menjadi anggota DPRD dari Fraksi Golkar jika partai ini menang dalam
Pemilihan Umum 1971.

Darul Islam memang sudah memaklumatkan diri menjadi pendukung Golkar setelah
Bakin mengumpulkan pemimpin dan anggota DI di rumah Danu Muhammad Hasan di
Jalan Situ Aksan 120, Bandung, pada 1971. Pertemuan tiga hari tiga malam ini dihadiri
3.000 orang dengan deklarasi dukungan terhadap partai pemerintah itu. Meski Golkar
menang dalam pemilu, mereka tak pernah menjadi legislator di parlemen pusat ataupun
daerah.

Tanpa setahu Pitut, tokoh-tokoh ini diam-diam mendiskusikan kemungkinan kembali ke


cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7
Agustus 1949. Tak semua setuju, memang. Beberapa orang kecewa karena ada isu reuni
dibiayai Bakin yang ditandai kehadiran Pitut sebagai pejabat telik sandi itu.

Kepada Tempo, Pitut membantah membiayai reuni lintas generasi Darul Islam itu. "Duit
dari mana? Kami tak punya uang," katanya. Ia mengaku datang hanya untuk
menyaksikan acara karena ini pertemuan terbesar pertama setelah Kartosoewirjo
meninggal pada 1962.

Diskusi tersembunyi itu berlangsung alot. Djaja Sudjadi, bekas menteri Negara Islam
Indonesia, menolak ide kembali ke jalan jihad. Ia menyatakan keluar dan mendirikan DI
Fillah, kelompok yang menentang perjuangan bersenjata. Sebaliknya, Aceng dan Danu
setuju menghidupkan semangat Kartosoewirjo dan membentuk DI Fisabilillah.

Rencana pun dimatangkan. Pada 1974, dibentuk Komando Perang Wilayah Besar yang
dibagi tiga: Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Sulawesi dipegang oleh Ali A.T., Sumatera
oleh Gaos, dan Jawa oleh Danu Hasan. Aksi pertama adalah merekrut anggota Darul
Islam baru dari kalangan muda, sebelum jihad benar-benar dikobarkan. Gaoslah yang
pertama akan beraksi. Dia kemudian meledakkan acara Musabaqah Tilawatil Quran di
Medan, disusul pengeboman rumah sakit Kristen di Bukit Tinggi.

Namun aksi itu tak direspons sama sekali oleh Jawa Barat. Danu dan Aceng, yang
merestui gerakan Gaos, hanya bungkam. "Padahal Jawa Barat sudah berjanji, 'walaupun
dengan sebatang korek api, jihad akan disambut oleh Jawa'," kata Solahudin, peneliti
DI/TII. "Kenapa Jawa Barat tak merespons, masih misterius."
Ada dugaan, Jawa Barat memang sudah gembos sebelum jihad terjadi secara masif.
Pernyataan ikrar di hadapan Pitut itu salah satunya. Belakangan diketahui bahwa Danu
ternyata bisa dibina Bakin. "Ada tiga yang ikut saya: Danu, Ateng, dan Dodo Muhammad
Darda," kata Pitut. Dodo adalah kakak Sardjono Kartosoewirjo.

Kepada Danu dan Aceng, Pitut memberikan modal untuk berdagang. Tapi Danu, yang
lama bergerilya di hutan, tak paham cara ambil untung. Usahanya bangkrut. Pitut lalu
menawarkan kerja di Bakin dengan ruang kantor dan gaji rutin. Sedangkan Ateng dan
Adah Djaelani sukses sebagai penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat di bawah
perusahaan PT Taman Sebelas.

Gampangnya Danu dibujuk juga tak lepas dari peran Ali Moertopo, Deputi Kepala Bakin
waktu itu. Ali dan Danu sama-sama pejuang di zaman revolusi kemerdekaan. Juga ada
nama lain yang bisa "dibina", yakni Haji Ismail Pranoto, yang populer dipanggil Hispran.
Dia memimpin Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam, organisasi di bawah
Golkar, dan menjadi kontraktor yang kerap bekerja sama dengan Ahmad Rivai, tokoh DI
Lampung.

Tapi Hilmi Aminuddin menyangkal pernyataan bahwa ayahnya bisa dibina dengan
mendapat gaji dari Bakin. Menurut Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera ini,
Danu Hasan mendapat tunjangan dan beras dari Komando Daerah Militer Jawa Barat
sebagai eks pejuang 1945. "Saya yang ambil amplop dan berasnya," kata Hilmi kepada
Tempo.

Menjelang Pemilihan Umum 1977 memang terjadi penangkapan besar-besaran eks Darul
Islam. Menurut Pitut, itu terjadi karena tenggat menyerah bagi anggota Darul Islam telah
habis. Sebab, pentolan yang tak bisa dibujuk Pitut masih menjalankan gerilya di hutan-
hutan Tasikmalaya dan Garut, seperti Ules Sudja'i. Ia menyangkal penangkapan itu
berkaitan dengan Pemilu 1977 untuk menggembosi suara umat Islam ke Partai Persatuan
Pembangunan. "Mereka ditangkap untuk dibina, bukan dibui atau isu pemilu," katanya.

Entah siapa yang pertama memunculkannya, penangkapan oleh Kodam Siliwangi di


bawah komando Mayor Jenderal Himawan Soetanto itu dituding sebagai penumpasan
gerakan "Komando Jihad" atau "Neo-DI". Sebab, yang ditangkap bukan hanya mereka
yang belum bisa dijinakkan, melainkan juga Danu, Hispran, Aceng, dan Ateng.
Belakangan Jaksa Agung Ali Said mengklarifikasi sebutan "Komando Jihad" untuk
segala jenis teror yang merongrong Pancasila.

Kalangan Darul Islam sendiri tak mengenal istilah ini. "Itu istilah pemerintah," kata
Sardjono. Namun penangkapan ini menandai babak baru Darul Islam. Di pengadilan,
para terdakwa saling tuding telah menjadi pengkhianat sehingga tentara menangkapi
mereka. "Ada tokoh DI yang dibina Bakin," kata Ateng Jaelani saat bersaksi di
pengadilan Hispran. Yang dia maksud tentu Danu Muhammad Hasan.
Sebaliknya, Hispran menuding Ateng juga binaan intelijen dengan menikmati hidup
sebagai penyalur minyak tanah. Ia meminta maaf telah memprovokasi jemaahnya untuk
kembali kepada cita-cita Negara Islam Indonesia.

Rupanya, reuni 1971 di rumah Danu Hasan memang benar-benar dijadikan pijakan untuk
menghidupkan Negara Islam Indonesia. Namun gerakan sporadis di Jawa Tengah dan
Timur ini berantakan sebelum mencapai target. "Komando Jihad" menjadi pertanda
kebangkitan sekaligus keterpurukan pengikut Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Negara Setengah Hati

DIKEPUNG hamparan lahan persawahan yang sejuk sepi, Babakan Cipari menyimpan
bara. Di kampung berjarak 20 kilometer dari Kota Garut, Jawa Barat, itu hidup
sekelompok orang yang tak mengakui Republik Indonesia.

Sensen Komara, 46 tahun, pemimpinnya. Dia imam atau panglima tertinggi bagi
kelompok-tak lebih dari 20 orang-yang mengklaim menghidupkan kembali Negara Islam
Indonesia (NII), yang pernah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada
7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368 Hijriah. "Saya hanya meneruskan perjuangan
Bapak," kata Sensen.

Keberadaan NII di kampung itu memang tak lepas dari peran ayah Sensen, Bakar
Misbah. Dialah Bupati NII Garut di masa NII pertama diproklamasikan.

Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, adalah basis


pergerakan Darul Islam. Sekitar 500 meter dari sana, terdapat pesantren Darussalam yang
didirikan KH Yusuf Tauziri, saudara Bakar Misbah. Pendiri pesantren itu pernah menjadi
teman seperjuangan Kartosoewirjo, lalu pecah kongsi dan melawan Darul Islam.

Setelah Kartosoewirjo menyerah pada Batalion Kujang, Juni 1962, pengikut Darul Islam
kocar-kacir. Mereka bersembunyi karena diburu tentara Indonesia. Setelah situasi aman,
mereka yang selamat keluar dari persembunyian, termasuk Bakar Misbah. Ia menjalani
sisa hidup di Kampung Babakan bersama kelima anaknya. Bakar meninggal pada 1993.

Sepeninggal sang ayah, Sen-sen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang
lain. Mereka menghidupkan kembali NII di kampung para petani itu.

Sensen, anak kedua Bakar, mendeklarasikan diri sebagai imam ke-15. Rumahnya
dijadikan pusat komando. Berukuran 11 x 11 meter, berdinding bambu, dan berlantai
papan, rumah itu menjadi pusat pemerintahan atau istana negara NII.
Saat Tempo mengunjungi rumah itu dua pekan lalu, tidak tampak simbol kenegaraan di
sana. Tak ada simbol NII, apalagi simbol RI seperti gambar presiden dan burung Garuda.
Di ruangan tamu, hanya ada foto Kartosoewirjo berukuran kuarto. "Semua simbol negara
kami dirampas pemerintah Indonesia," kata Sensen.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sensen dibantu para menteri. Ada menteri luar negeri,
menteri keuangan, menteri pertahanan, dan menteri pendidikan. Bersama para
pembantunya, lulusan Institut Agama Islam Negeri Bandung, Jawa Barat, ini menggelar
rapat kabinet di rumahnya. "Sama seperti istana presiden di Indonesia," katanya.

NII, Sensen mengaku, memiliki alat pertahanan yang kuat. "Kami punya pesawat tempur
tipe F-16 dan Sukhoi," katanya. Namun ia tak mau memberitahukan keberadaan pesawat
eksklusif itu-rahasia negara.

Sensen dan warganya memiliki usaha ternak ayam potong. Ini usaha bersama yang
keuntungannya digunakan untuk operasional dan buat menopang ekonomi negara.
"Rakyat NII," Sensen berujar, "tak dibebani pajak seperti di negara lain."

Akses transportasi dan jaringan telepon yang dimiliki NII, menurut Sensen, digunakan
untuk meluaskan jangkauan. Sensen menghimpun keturunan pengikut Darul Islam di 42
kecamatan di seantero Garut untuk menjadi warga NII. Saat ini jumlahnya 3.000-an
orang. "Mereka mau bergabung karena wasiat orang tua untuk meneruskan perjuangan
Darul Islam," kata Sensen.

Darsun Sudrajat, 48 tahun, warga NII dari Kampung Papandak, Desa Sukamenak,
Kecamatan Wanarja, berkomentar tentang hidup sebagai warga NII. "Hidup di sini lebih
damai karena saling mendidik, berbeda dengan di Indonesia," katanya.

Awalnya, aktivitas NII di Babakan tertutup. Barulah pada 17 Januari 2008, masyarakat
tahu apa yang terjadi. Saat itu, Sensen dan dua menterinya mengibarkan bendera NII,
merah-putih bergambar bulan-bintang, di depan rumahnya.

Akibat insiden pengibaran bendera itu, ketiganya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen
dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis
Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008.

Kendati ada yang masuk penjara, gerakan mereka tak kendur. Mei lalu, pemimpin NII di
Desa Purbayani, Wowo Wahyudin, berkirim surat ke pejabat desa setempat. Mereka
meminta warga NII tidak dimasukkan ke daftar pemilu presiden. "Kami sudah punya
imam," kata Wowo. Mereka pun menolak sensus penduduk beberapa bulan lalu.

Gesekan pun terjadi. Masyarakat setempat bereaksi. Puncaknya terjadi pada 4 September
2009. Kepolisian Resor Garut mengamankan 16 warga NII dari amuk massa saat
menggelar musyawarah di Kantor Desa Tegal Gede, Kecamatan Pakenjeng.
Amuk massa itu buah kejengkelan warga melihat aktivitas ibadah NII. Di Kampung Situ
Bodol pada 4 September 2009, misalnya, warga NII melakukan salat Jumat dengan
membelakangi arah kiblat. Mereka juga mengubah kata "Muhammad" dengan "Sensen
Komara" dalam kalimat syahadat dan azan.

Akibatnya, tiga pentolan NII di Purbayani, termasuk Wowo, divonis tiga tahun penjara
oleh Pengadilan Negeri Garut.

Setelah rentetan kejadian itu, warga NII mulai tiarap karena diawasi ketat kepolisian.
Arah kiblat pun kembali seperti sedia kala. "Supaya tidak rame lagi," kata Sensen. Tapi
syahadat dan lafal azan masih tetap versi NII.

Kendati dianggap menyimpang dari ajaran yang lazim, masyarakat sekitar tak terlalu
hirau. Salaf Sholeh, sesepuh pesantren Darussalam, menilai ajaran NII tak perlu
dihiraukan. "Karena imamnya gila," katanya.

Paham kenegaraan Sensen juga unik, lebih tepatnya pragmatis. Kendati menolak
eksistensi Negara Indonesia, warga NII tetap mengurus kartu tanda penduduk serta
menerima bantuan langsung tunai, pembagian beras untuk orang miskin, bahkan
pembagian jatah kompor gas gratis.

Mereka juga tak malu menagih kepada pamong setempat jika tak kebagian jatah gratisan.
"Masak, pemberian ditolak," ujar Sensen.

Pasang-Surut Pesantren Darul Islam

RENCANANYA, menara Masjid Rahmatan Lil Alamin di kompleks Pesantren Al-


Zaytun akan tegak 145 meter. Tapi hingga kini tingginya baru setengahnya. Marmer Cina
dan Spanyol untuk pelapis tembok menara sampai saat ini belum tersedia.

Pembangunan pondok pesantren di Desa Mekarjaya, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu,


Jawa Barat, ini sebenarnya sudah dimulai pada 1996 oleh pendirinya, Syekh Abdussalam
Panji Gumilang. Tiga tahun kemudian, pesantren ini diresmikan Presiden B.J. Habibie.
Tapi proyek di atas lahan 1.200 hektare itu belum berhenti. Cuma, prosesnya tersendat-
sendat lantaran biaya mulai menipis. "Uangnya sudah seret karena pengikutnya tak
sebanyak dulu," tutur Sofwan, bekas juru warta di media milik Ma'had Al-Zaytun.

Al-Zaytun didirikan dengan obsesi menjadi pesantren terbesar di Asia Tenggara.


Muridnya pernah tercatat 5.300 orang, dari dalam dan luar negeri. Pesantren ini
menggelar pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga universitas. Untuk masuk ke
sana, calon murid harus lulus serangkaian tes: hafalan Juz Amma, tes kesehatan, tes
psikologi, dan wawancara. Para siswa tak cuma belajar bahasa Inggris dan Arab, tapi juga
bahasa Rusia, Cina, dan Prancis. Ratusan unit komputer dan notebook melengkapi
fasilitas belajar.

Untuk ongkos belajar selama enam tahun, Al-Zaytun menarik US$ 3.500 atau sekitar Rp
31,5 juta. Orang tua santri juga diminta menyumbangkan bibit pohon jati. Dalam waktu
enam tahun, International Accreditation and Recognition Council, yang berkedudukan di
Australia, memberi Al-Zaytun sertifikat bintang empat, sebuah penghargaan internasional
di bidang pendidikan.

Al-Zaytun adalah pesantren modern yang lengkap. Semua ruangannya berpenyejuk


udara, dapur komplet dengan peralatan masak listrik, serta ada binatu, supermarket, dan
saluran telepon internasional.

Seribu hektare lahan dikhususkan untuk pengembangan pertanian, peternakan, perikanan,


dan perkebunan, juga pabrik garmen. Kebutuhan sandang-pangan sekitar 10 ribu
penghuninya terpenuhi secara swasembada.

Untuk urusan kesehatan, tersedia tenaga dokter dan paramedis, psikiater, serta tim
konseling. Pesantren juga dilengkapi dengan aneka sarana olahraga: lapangan sepak bola,
atletik, hoki, voli, basket, dan tenis, juga kolam renang, plus stadion berkualitas
Olimpiade internasional.

Sukses Al-Zaytun tak lepas dari tangan dingin Syekh Abdussalam Panji Gumilang, 64
tahun. Lelaki kelahiran Gresik, Jawa Timur, ini adalah tokoh Negara Islam Indonesia.
Dia aktivis Gerakan Pemuda Islam, juga pengikut Lembaga Kerasulan pimpinan Karim
Hasan-lembaga yang berafiliasi kepada NII.

Sebelum Al-Zaytun berdiri, Panji Gumilang dikenal dengan nama Abdussalam Toto atau
Abu Toto. Pada 1996, ia menerima mandat dari Adah Djaelani, sesepuh NII, untuk
memimpin NII Komandemen Wilayah 9 (NII KW-9).

Penunjukan Abu Toto ditentang keras kalangan internal NII, yang berujung pada
pembatalan Adah sebagai Imam NII. Tapi Abu Toto maju terus dan mengembangkan
Harakat Qurban-program penggalangan besar-besaran dana umat untuk gerakan. Wilayah
KW-9 meluas dengan pola rekrutmen yang "seperti multi-level marketing," kata Sofwan,
yang ikut gerakan itu ketika baru kuliah semester pertama di Institut Teknologi
Indonesia. Syarat masuk NII KW-9 adalah ikut pengajian, mengakui gagasan negara
Islam, mengingkari Negara Republik Indonesia, dan bersedia dibaiat.

Menurut Sofwan, NII KW-9 Abu Toto bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka,
misalnya, menggelar pengajian tertutup serta tidak mewajibkan jemaahnya melakukan
salat lima waktu dan menutup aurat. Jemaah juga diwajibkan menyetor uang kepada
kelompok sebagai biaya hijrah dari situasi kafir menjadi Islam.

Kebijakan Abu Toto itu ditentang bekas aktivis NII lainnya. "Itu Darul Islam gadungan
yang mencemarkan NII," ujar Kastolani, bekas komandan kompi Tentara Islam Indonesia
di Brebes, Jawa Tengah. Kartosoewirjo pun tak mengajarkan bahwa orang di luar
kelompoknya adalah orang kafir. "Kalau pemerintahannya kafir, iya, tapi bukan
orangnya," ucap Kastolani.

Ketika perekrutan dan penggalangan dana mulai menggelisahkan di awal dekade 2000,
gelombang anti-Zaytun pun bermunculan. Ratusan orang mengadu sebagai korban ke
Forum Ulama Umat yang dibentuk ulama Jawa Barat. Forum mengeluarkan fatwa sesat
terhadap gerakan NII KW-9 Panji Gumilang.

Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) dan Solidaritas Umat Islam untuk Korban NII KW-
9, Al-Zaytun, dan Abu Toto (SIKAT) dibentuk masyarakat. Tak ada yang tahu persis
berapa total anggota jemaah NII KW-9. SIKAT pernah memperkirakan jumlahnya sekitar
100 ribu. Tak jelas pula berapa nilai duit yang sudah dikumpulkan kelompok ini.

Investigasi majalah Tempo pada 2002 menemukan bahwa ada setoran Rp 7 miliar per
bulan hanya dari satu wilayah. Di seluruh Indonesia ada 28 wilayah kerja NII. Jurnal Van
Zorge menyebutkan pendapatan tahunan Al-Zaytun adalah Rp 162 miliar. Perhitungan
tim investigasi Tempo menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi: sekitar Rp 770 miliar.

"Berapa persisnya, ya, cuma Syekh dan Tuhan yang tahu," ucap Sofwan. Uang umat
yang dia duga hingga triliunan itu, menurut Sofwan, disimpan di sembilan rekening Bank
CIC-kini menjadi Bank Century.

Panji Gumilang menolak permintaan wawancara Tempo. Pengurus Al-Zaytun juga


melarang Tempo mengunjungi pesantren besar itu. "Kami tidak memperbolehkan siapa
pun masuk tanpa izin pimpinan," kata seorang anggota staf humas Al-Zaytun. Tapi pada
2002, kepada Tempo, Panji Gumilang mengatakan sumber dana Al-Zaytun adalah
"sedekah" umat Islam di Indonesia dan luar negeri.

Surat Perpisahan dari Johor Bahru

TIBA-TIBA ia balik badan. Ajengan Masduki di depannya ia tinggalkan. Hadi Surya lari,
menghidupkan motor bebek, lalu memacunya ke luar desa. Surat dalam amplop putih
yang sedianya hendak disampaikan kepada Imam Darul Islam itu masih ia bawa.
"Enggak tega saya setelah melihat dia," ujar Hadi, kini 47 tahun, saat ditemui di
rumahnya di Bandung tiga pekan lalu.

Hadi masih ingat, pada Februari 1995, ia diutus Abdurohim Toyib, pemimpin Darul
Islam Jawa Tengah, menyampaikan surat untuk Ajengan Masduki. Ketika itu, Hadi
komandan Darul Islam Wilayah Semarang. Mengendarai sepeda motor dari Solo, ia
menuju Desa Beji, Purwokerto, Jawa Tengah, tempat tinggal Ajengan setelah lari dari
asalnya di Cianjur, Jawa Barat.
Ia bertemu dengan sang Imam di rerimbunan tanaman singkong dan ubi jalar. Di
sekelilingnya empang lele seluas 600 meter persegi. Ajengan Masduki alias Damhuri,
ketika itu 63 tahun, sedang santai di empangnya. Menyambut Hadi, Damhuri melepas
caping, mengangguk, tersenyum, dan menghampiri.

Hadi Surya bukan orang asing bagi Ajengan. Sejak 1980-an, Hadi sering datang mengaji
ke tempatnya. Pada saat yang sama, Hadi juga mengaji ke Abdullah Sungkar di Solo.
Sang guru yang lari dari kejaran rezim Orde Baru ke Malaysia itu telah banyak bergaul
dengan aktivis dari Afganistan, Yaman, dan Arab Saudi. Dia menekuni ajaran salafi
jihadi dan kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Kepada murid-muridnya, Sungkar
menyatakan sejumlah ajaran Ajengan Masduki menyimpang dari Islam.

Kepada Tempo, Hadi mencontohkan, Ajengan mengajarkan kisah Raja Zulkarnaen yang
bertanduk. Juga cerita lembah di Pandeglang, Rangkas Bitung, yang menjadi tempat
bertemunya roh Sembilan Wali. "Kalau berdoa di sana, niscaya dikabulkan," kata Hadi.

Surat yang dikirim Abdurohim Toyib berisi pernyataan pemisahan diri Abdullah Sungkar
dari Darul Islam. Tapi hati "sang kurir" menjadi luluh demi melihat Ajengan.

Di ujung jalan, Hadi tertegun: "Ke mana surat itu mesti saya kasih?" Dia pun menuju
rumah orang kepercayaan Ajengan, Kholid Sarbini. Surat diterima Abdul Gofar anaknya.
"Saya wanti-wanti agar surat itu disampaikan ke Ajengan," kata Hadi.

Surat perpisahan itu diketik dan ditandatangani Abdul Halim alias Abdullah Sungkar dan
Abu Somad alias Abu Bakar Ba'asyir. Sekitar 20 tahun bergabung di Darul Islam,
keduanya keluar dan membentuk Jamaah Islamiyah pada Januari 1995. Abdul Halim
menjadi amir dan Abu Somad menjadi wakilnya.

Menurut Solahudin, peneliti Darul Islam, Sungkar dan Ba'asyir masuk Darul Islam pada
1975-1976, setelah direkrut Haji Ismail Pranoto. Setahun sebelumnya, Darul Islam
melakukan konsolidasi dan merekrut banyak aktivis muda Islam. Sungkar dan Ba'asyir
lari ke Malaysia pada 1985. Di Johor Bahru, mereka mendirikan Pesantren Lukmanul
Hakiem. Pengikutnya kebanyakan anggota Darul Jawa Tengah dan Indonesia Timur,
tempat Sungkar menjadi komandan.

Hubungan Sungkar dan Ba'asyir di Malaysia semakin luas. Akses ke Timur Tengah pun
terbuka. Sejak 1987, Sungkar aktif dalam pengiriman anggota Darul Islam untuk
berperang melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan. Kegiatan ini melancarkan akses ke
aktivis Islam internasional. Sejak 1990, Sungkar menjadi komandan tertinggi Darul Islam
dan orang kedua di bawah Ajengan Masduki.

Meski beberapa literatur menyebutkan Jamaah Islamiyah dibentuk pada 1993, menurut
Hadi, ketika itu masih berupa gagasan Sungkar dan Ba'asyir. Setahun kemudian, Sungkar
mengubah organisasinya menjadi Ring Darul Islam. "Masih dalam keluarga Darul Islam
atau Negara Islam Indonesia, tapi sudah berbeda ajaran," katanya.
Ba'asyir berulang kali menyangkal keterlibatannya dengan Jamaah Islamiyah. Dia hanya
mengakui berbeda pandangan dengan Ajengan Masduki. "Kami berpendapat Negara
Islam itu sudah tak ada, namanya tak perlu disebut-sebut lagi," ujarnya dua pekan lalu
usai berceramah di Masjid Iqwanul Qorib, Bandung.

Kendati begitu, Ba'asyir mengakui memiliki hubungan dengan orang-orang Darul Islam
dan Negara Islam Indonesia karena kesatuan paham. "Kami kadang-kadang ziarah ke
sana. Mereka orang-orang yang perjuangannya lurus," ujarnya.

Pengikut Darul Islam yang bergabung ke Jamaah Islamiyah dibaiat lagi. Sungkar
memformalkan struktur organisasi seperti markaziah, mantiqiah, wakalah, dan katibah.
Organisasi baru ini dibagi menjadi dua mantiqiah: satu untuk urusan luar negeri,
dipimpin Hambali, dan lainnya urusan dalam negeri, dipimpin Anshori alias Ibnu Thoyib
atau Abu Fatih.

Mukhlas atau Ali Ghufron, kader yang cemerlang dan baru pulang dari Afganistan,
bergabung dengan Hambali. Begitu juga Amrozi, adik Mukhlas. Ketika itu, 2.000 lebih
kader telah dikirim ke Afganistan. Sebagian besar dari Jawa Tengah.

Hambali pun jadi orang penting. Ia berhubungan dan mendapatkan dana dari Al-Qaidah
pimpinan Usamah bin Ladin.

lll

Sebelum Jamaah Islamiyah terbentuk, Darul Islam sudah pecah menjadi tiga. Satu faksi
dipimpin Ajengan, satu dipimpin Abdul Fatah Wiranagapati, dan lainnya KW-9 yang
dipimpin Abi Karim. Layaknya partai politik, perpecahan dipantik masalah jabatan.

Awalnya pada 1974, ketika Darul Islam memutuskan kembali ke gerakan bersenjata.
Daud Beureueh diangkat menjadi imam pertama. Tapi, tahun berikutnya, ia ditangkap
dan dibui. Adah Djaelani tampil menggantikan Daud Beureueh.

Pada 1980, Adah juga dijebloskan ke penjara. Ia dianggap terlibat sepak terjang Warman,
pemimpin pasukan khusus Darul Islam, yang mencari modal dengan melakukan fai-alias
merampok-di berbagai tempat di Jawa Barat. Warman juga membunuh Djaja Sudjadi,
pentolan Darul Islam masa Kartosoewirjo yang menolak bergabung dengan gerakan
fisabilillah pimpinan Beureueh. Masduki pun mengambil alih pimpinan.

Adah menolak bergabung dengan Ajengan. Ia menganggap pengangkatan imam baru itu
tak sesuai dengan prosedur karena tak melalui mekanisme dewan syura. Beberapa
pengikut Adah, terutama Abi Karim, yang menguasai KW-9-Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bekasi, dan Banten-ikut menolak Ajengan.

Begitu juga Abdul Fatah Wiranagapati, yang mengklaim pengikut paling murni
Kartosoewirjo. Ia menganggap mereka yang mengklaim diri sebagai pentolan tak berhak
lagi menjadi anggota Darul Islam. "Alasannya, para pentolan itu menandatangani
perjanjian 1962 yang menyatakan Darul Islam batal," kata Solahudin.

Hingga 2000, ada tujuh kelompok Darul Islam yang masih memegang prinsip fisabilillah,
dengan konsep amal, hijrah, dan jihad yang diajarkan Kartosoewirjo. Salah satunya
dipimpin Tahmid Rahmat Basuki, putra Kartosoewirjo. Tahmid awalnya bergabung
dengan Adah Djaelani. Dia dan pengikutnya marah ketika Adah menggantinya dengan
Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai kepala staf umum.

Tahmid kemudian menjadi imam hasil pemilihan dewan syura di Cisarua, Jawa Barat.
Langkah ini tak memuaskan Gaos Taufik, pentolan Darul Islam Sumatera, yang
menganggap lebih pantas menjadi pemimpin. "Gaos merasa lebih senior," kata
Solahudin.

Darul Islam pimpinan Tahmid juga tak mulus. Pengikutnya, Akdam alias Jaja, tak puas
dengan keputusan Tahmid menyetop pengiriman kader Darul ke Mindanao, Filipina
Selatan. Pengiriman kader ini dianggap penting setelah kamp pelatihan Afganistan tak
beroperasi lagi.

Pada 1999, setahun setelah Sungkar dan Ba'asyir kembali ke Indonesia, pecah konflik
Ambon. Inilah momentum kader Jamaah Islamiyah diterjunkan. Dipimpin Zulkarnaen
alias Arif Sunarso, sebagian besar yang dikirim ke Ambon berasal dari Mantiqi Satu.
Mantiqi Tiga yang berbasis di Sulawesi pun dibentuk.

Yang berangkat ke Ambon, selain anggota Jamaah Islamiyah, juga anggota Darul Islam
yang tadinya masih mengakui kepemimpinan Ajengan. Menurut Solahudin, penolakan
terlibat di Ambon membuat DI Ajengan pecah lagi. Yang ingin berjihad disebut DI
Akram-diambil dari nama tokohnya. Di Ambon, DI Akram bersatu dengan Jamaah
Islamiyah. Dan dalam kamp pelatihan di Mindanao pada 1993-1999, semua kader Darul
yang terpecah-pecah bersatu kembali. Mereka seperti melupakan klaim "pengikut
Kartosoewirjo paling murni".

Perlawanan Tak Pernah Padam

SETELAH NII diproklamasikan pada 7 Agustus 1949, gerilya Darul Islam bertahan
hingga 4 Juni 1962. Namun semangat menghidupkan cita-cita S.M. Kartosoewirjo tak
padam, meski gagal.

DI PASCA-1962
1963.
Achmad Sobari, mantan Bupati Priangan Timur (bupati wilayah Darul Islam),
mendirikan Negara Islam Tejamaya, yang disebut gerakan Islam murni.

1968.
Aceng Kurnia membentuk Penggerakan Rumah Tangga Islam/Persiapan Tentara Islam
Indonesia. Ia mendatangi sejumlah komandan wilayah: Adah Djaelani, Ateng Jaelani,
Danu Muhammad Hasan, dan Haji Ismail Pranoto (Hispran).

1971.
Reuni 3.000 eks DI/TII di Situ Aksan 120, Bandung. Pertemuan yang disokong Bakin ini
deklarasi mendukung Golkar.

Perlawanan NII pasca-Kartosoewirjo terbagi dua:

1. DI Fillah, yang meninggalkan perjuangan bersenjata. Tokohnya Djaja Sudjadi,


bekas menteri NII.
2. DI Fisabilillah, yang mengobarkan perang. Tokohnya Aceng Kurnia. Ideologinya
iman, hijrah, jihad.

1973.
Pertemuan Mahoni (Aceh, Sulawesi, Jawa) yang menghidupkan kembali Darul Islam.
Daud Beureueh dari Aceh diangkat sebagai imam baru pengganti Kartosoewirjo.

1974-1976.
Haji Ismail Pranoto merekrut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir.

1976.
Peledakan rumah sakit Kristen di Bukit Tinggi dan pelemparan granat pada acara
Musabaqah Tilawatil Quran di Medan di bawah komando Gaos Taufik.

1977.
Penangkapan 800 pengikut DI karena dituding terlibat gerakan Komando Jihad.Tokohnya
Danu Muhammad Hasan, Dodo Muhammad Darda, Gaos Taufik, dan Haji Ismail
Pranoto.

Warman dan kawan-kawan melakukan aksi fai (perampokan) untuk membiayai gerakan.
Aksi dilakukan di IAIN Yogyakarta, IKIP Malang, Cicalengka (Bandung), dan Depok.

1978.
Djaja Sudjadi dibunuh oleh anggota DI karena dituding menjadi imam tandingan dan
membocorkan aksi Komando Jihad kepada aparat.

1978-1979.
Adah Djaelani menjadi imam menggantikan Daud Beureueh, yang jadi tahanan rumah.
1983.
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir ditangkap dengan tuduhan golput dalam
pemilu.

1985 Sungkar dan Ba'asyir lari ke Malaysia.


Di Malaysia, mereka mengirim sejumlah kader Darul Islam ke Afganistan.

1987-1990.
Ajengan Masduki, mantan Bupati Darul Islam Tasikmalaya, diangkat sebagai imam baru
menggantikan Adah Djaelani, yang dipenjarakan. Pengikut Adah menolak Ajengan. Abu
Toto alias Panji Gumilang bergabung dengan KW-9. :

Abdul Fatah Wiranagapati mengklaim berhak menjadi imam karena tak menandatangani
pernyataan 1962 yang menyatakan Darul Islam telah batal.

Kelompok Ajengan Masduki:


DI Ansyarullah.

1999.
DI Akram yang berperang di Ambon.

KW-9 pimpinan Abi Karim yang setia kepada Adah Djaelani:

1992.
Ajengan Masduki pecah dengan Abu Bakar Ba'asyir/Abdullah Sungkar

1 Januari 1993.
Jamaah Islamiyah lahir.

1995.
Adah Djaelani diangkat jadi imam menggantikan Masduki setelah Adah, Tahmid Rahmat
Basuki, dan beberapa bekas anggota Darul Islam dibebaskan.

1997.
Adah Djaelani bergabung dengan KW-9.

Desember 1998.
Tahmid menjadi imam baru menyaingi kelompok Adah dan Abu Toto.

1998.
Gaos Taufik membentuk kelompok sendiri.

2000.
DI Akdam ring Banten pimpinan Jaja yang mengirim kader ke Moro.
Adah Djaelani mengangkat Panji Gumilang sebagai Kepala Staf Umum Darul Islam
menggantikan Tahmid.
SUMBER: WAWANCARA DENGAN SOLAHUDIN, PENELITI DARUL ISLAM

Dua Tahap Revolusi

TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama
13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar
meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara
Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar
Asia pada 1930-an.

Karena itu, meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku
menyuarakan hal sama. Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya
secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan Kartosoewirjo
lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.

Ada memang ia menyelipkan info terbaru seperti penemuan planet Pluto pada 1930
ketika membahas perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsa ke Sidratulmuntaha. Menurut
Kartosoewirjo, tujuh lapis langit tujuh lapis bumi yang disebut Quran tak lain dari
susunan planet di antariksa yang berjumlah tujuh buah. Informasi itu ia peroleh karena
mendengarkan siaran radio di seluruh dunia dari radio Zenit yang memakai 52 baterai
kering, yang ia bawa ke mana pun pergi.

Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara
yang damai sentosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dalam
nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia, dibutuhkan dua tahap
revolusi.

Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia.
Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni "revolusi sosial". Pada masa inilah
Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj
Nabi Muhammad.

Ia menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum 1945:
jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah ke
Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa
keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat
Indonesia juga harus hijrah di semua lini: politik, sosial, ekonomi.
Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang
hawa nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara
cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan
bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. "Perang
menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya," tulisnya dalam Perdjalanan
Soetji Isra' dan Mi'raj Rasoeloellah (1953).

Tapi, sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin
bahwa hukum-hukum Allah adalah hukum terbaik untuk mengatur perikehidupan.
Kartosoewirjo menyebut periode ini sebagai periode "revolusi individu". Para cerdik
cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya
melakukan revolusi sosial. Tiga konsep inilah-iman, jihad, hijrah-yang kemudian menjadi
basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan ia sebagai
imamnya.

Maka ia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno,


negara yang kemerdekaannya juga dia perjuangkan.

Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa


yang menyertai hijrah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan "perang suci"
menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi memerangi kaum
Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir
proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan kejadian-kejadian yang dia alami bersama
pengikutnya "sama-sama di luar dugaan dan perhitungan manusia". Dalam Sikap Hidjrah
(1936), Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan
sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik. Keyakinan
yang terbukti keliru.

 Kartosoewirjo

Bahtiar Effendy

 Dekan Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian
subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat.
Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam
buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri
dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan.
Kesan "nonsantri" ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-
abangan. Ayahnya adalah, menurut Van Dijk, "mantri penjual candu, seorang perantara
dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah".
Dan sekolahnya pun sekuler: Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan
kemudian NIAS-sekolah dokter Jawa.

Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai


Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru dikenal sebagai bagian penting dari
pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara
Islam.

Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan
dengan aspirasi ideologis dan politis "golongan agama"-yang kemudian bermetamorfosis
menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam perdebatan di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang
Konstituante (1956-1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang


menyatakan sikap politiknya secara lebih tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam
Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau partai Islam
"hanya" berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu
memilih mendeklarasikan negara Islam.

Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang "bukan santri",
kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat
dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui Sarekat
Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan
Tjokroaminoto sebagai mentor, Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan
Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga Suffah yang dibangunnya.

Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo
lebih bersifat institusional daripada substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak
memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, atau
Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak
melalui buku-buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong,
seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.

Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman
Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi
tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia yang dia
proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas
situasi yang berkembang waktu itu.

Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena
Kartosoewirjo-yang ketika itu "memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah
Jawa Barat"-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu adalah
ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah
yang dianggap dikuasai Belanda.

Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan
kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda
pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya pemerintahan RI
di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.

Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam
kaitannya dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo
memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan keadaan, hal itu
merupakan sesuatu yang lumrah.

Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan
Belanda-walaupun harus pula disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih
sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki kedalaman makna
teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru
selamat yang diridhoi Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo
juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan mistik, lengkap dengan keris
dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang?

Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya
sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu
berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat Indonesia-
disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul
seperti Kartosoewirjo, setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah.

Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan
mengenai negara Islam tidak mesti muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa
juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.

 Relevansi Darul Islam untuk Masa Kini

Sidney Jones

 Penasihat Senior International Crisis Group

BANYAK yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk
Indonesia sekarang ini-dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi baru. Ada
pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan oleh pusat;
bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik;
bagaimana pentingnya ikatan lintas generasi sehingga masa depan anak-anak anggota
kelompok ekstrem harus diperhatikan; dan bagaimana harapan untuk daulah islamiyah
tetap hidup.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan,


dan Daud Beureueh di Aceh menjadi pahlawan untuk daerah mereka masing-masing.
Setiap tokoh memimpin suatu pemberontakan melawan Republik atas nama DI, setiap
orang membayar mahal atas perannya masing-masing, dan setiap orang menjadi sumber
ilham untuk gerakan baru-pengaruh ketiganya masih terasa sampai hari ini:

 Kartosoewirjo, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949,


ditangkap pada 1962 dan kemudian dieksekusi oleh regu tembak; banyak di antara
ajudannya yang top diberi amnesti dan dana untuk kembali hidup seperti warga biasa
dalam semacam program "deradikalisasi" zaman dulu. Sampai hari ini, dia menjadi
inspirasi untuk semua kelompok, baik yang memilih jalan kekerasan maupun tidak, yang
ingin mendirikan negara Islam, termasuk Jamaah Islamiyah (JI), Ring Banten, dan
banyak kelompok sempalan lain.
 Kahar Muzakkar tewas tertembak oleh tentara pada 1965; beberapa pengikutnya lari ke
Sabah, sebagian lainnya lari ke Maluku. Kekacauan dan pengungsian yang terjadi sebagai
dampak pemberontakannya ada bekasnya di Sulawesi sampai sekarang. Warisan yang
tidak langsung termasuk jaringan Pesantren Hidayatullah, yang didirikan oleh salah satu
pengagum Kahar, dan Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam di Makassar, yang
ingin melanjutkan perjuangan dia melalui upaya advokasi.
 Pemberontakan Daud Beureueh di Aceh berakhir pada 1962. Setelah kesepakatan
perdamaian ditandatangani dengan pemerintah pada 1963, Beureueh ditarik kembali
sebagai imam gerakan Darul Islam untuk seluruh Indonesia pada 1973. Tapi, empat tahun
kemudian, dia ditangkap lagi dan menjadi tahanan rumah sampai wafatnya pada 1987.
Gerakan Aceh Merdeka mewarisi nasionalisme Aceh dari DI Aceh, dan banyak pejuang
pertama Gerakan Aceh Merdeka adalah anak para pejuang gerakan Daud Beureueh.

Setiap versi DI dimulai sebagai balasan terhadap keluhan-keluhan setempat-misalnya


kegagalan Jakarta memenuhi janji kepada Aceh tentang status istimewa. Pemunculan
mereka menggarisbawahi bahwa salah satu pelajaran kunci untuk Negara Indonesia, yang
masih relevan dengan kondisi Papua hari ini, adalah ketidakpedulian pemerintah pusat
terhadap keresahan di daerah yang bisa menjadi motor radikalisasi.

Kartosoewirjo secara khusus mengembangkan semacam ideologi dan justifikasi untuk


jihad terhadap negara kafir (awalnya Belanda, kemudian Republik Indonesia), yang
banyak aspeknya mirip dengan yang disebut salafi-jihadisme. Sebuah buku yang ditulis
Solahudin, wartawan Aliansi Jurnalis Independen, yang akan diterbitkan dalam waktu
dekat, menunjukkan salah satu alasan kenapa ideologi yang dikaitkan dengan Al-Qaidah
menemukan tanah yang begitu subur di Indonesia, yakni sudah ada landasan yang
ditanam oleh pendiri DI.

Pada akhir 1950-an, tiga pemimpin DI itu sudah saling menghubungi dan bersepakat
memperjuangkan suatu federasi Islam, meski konsep tersebut tidak pernah berhasil-antara
lain karena tujuan setempat jauh lebih penting untuk rekrutmen dan mobilisasi daripada
tujuan bersama. Empat puluh tahun kemudian, dalam konteks politik yang jauh berbeda,
mujahidin Indonesia mendapat pelajaran yang mirip: entah betapa kuatnya kemarahan
rakyat Indonesia terhadap kebijakan Amerika di Timur Tengah, tetap lebih gampang
merekrut orang lewat diskusi soal Ambon dan Poso daripada tentang Palestina dan Irak.

Tidak lama setelah tentara Indonesia mengalahkan pemberontakan DI di Jawa Barat,


pada 1965 terjadi peristiwa Gestapu. Prioritas utama dari tentara dan Jenderal Soeharto,
yang pada 1966 mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, adalah membasmi Partai
Komunis Indonesia. Dengan tujuan ini, prinsip "musuh dari musuh adalah teman"
berlaku. Beberapa mantan pemimpin DI, yang melihat komunisme sebagai ancaman
terhadap Islam, diangkat sebagai mitra TNI dalam operasi melawan PKI, sampai
disebarkan senjata.

Pada 1971, ketika Soeharto sedang merencanakan pemilu pertama Orde Baru, anggota DI
dilihat sebagai alat rahasia untuk memenangkan Golkar di Jawa Barat dan daerah lain.
Mereka dikasih uang oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menyelenggarakan
"reuni" selama tiga hari, yang katanya dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang eks anggota
DI.

Dus, dana dan fasilitas pemerintahlah yang memungkinkan gerakan setengah mati ini
hidup kembali-yang dengan cepat menggigit tangan yang memberinya makan. Dengan
diradikalisasi, baik oleh kebijakan Soeharto yang dilihat anti-Islam, seperti asas tunggal,
maupun oleh tulisan cendekiawan militan dari Timur Tengah yang diterjemahkan dari
bahasa Arab ke bahasa Indonesia, anggota DI dengan cepat memulai kegiatan klandestin
untuk melawan negara.

Sebagai satu-satunya kelompok di Indonesia dengan sejarah berperang untuk negara


Islam, makin banyak pemuda dan mahasiswa yang bisa direkrut-apalagi setelah represi
Orde Baru meningkat. Di antara mereka ada Abdullah Sungkar, pendiri JI, dan sesama
ustad dan temannya, Abu Bakar Ba'asyir. Salah satu pelajaran yang seharusnya diangkat,
tapi ternyata tidak, adalah kooptasi atau kerja sama dengan Islam garis keras untuk tujuan
politik lain tidak akan berhasil, dan mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Pukulan keras terhadap DI/NII dilaksanakan oleh Komando Operasi Pemulihan


Keamanan dan Ketertiban pada akhir 1970-an dan 1980-an, dengan akibat bahwa hampir
semua tokoh penting dalam DI ditangkap. Salah satu aspek dari penangkapan ini
menonjol: banyak narapidana dan tahanan politik ini punya anak laki-laki yang 20 tahun
kemudian muncul sebagai pemimpin JI dan/atau pelaku terorisme.

Sebut saja empat pemimpin DI yang ditangkap pada waktu itu: Haji Faleh dan Achmad
Hussein dari Kudus; Muhammad Zainuri dari Madiun; dan Bukhori dari Magetan. Anak
Haji Faleh, Thoriquddin alias Abu Rusdan, menjadi amir sementara JI setelah Abu Bakar
Ba'asyir ditangkap. Salah satu putra Achmad Hussein, Taufik Ahmad alias Abu Arina,
menjadi tokoh JI Jawa Tengah. Anak Zainuri, Fathurrahman al-Ghozi, tewas tertembak di
Mindanao pada 2003; dia terlibat dalam pengeboman di Jakarta dan Manila. Adik Al-
Ghozi, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein, ditangkap karena menolong Noor Din M. Top,
dan sekarang bebas. Anak Bukhori, Lutfi Haedaroh alias Ubeid, baru ditangkap untuk
kedua kalinya karena ikut kamp militer di Aceh. Ubeid dan Umar Burhanuddin bekerja
sama dengan Noor Din sebelum pengeboman Kedutaan Australia pada 2004. Putri-putri
tahanan DI juga muncul sebagai istri orang JI pada 1990-an.

Kalau Indonesia bisa belajar dari masa lalu, seharusnya program kontra-radikalisasi
ditargetkan kepada adik dan anak para tahanan radikal dan kepada sekolah yang mereka
ikuti. Kartosoewirjo, lebih dari Daud Beureueh atau�Kahar Muzakkar, mengerti bahwa
indoktrinasi dan regenerasi harus dilaksanakan bersama. Lembaga Suffah yang dia
dirikan di Jawa Barat, yang menggabungkan kajian agama dan politik dengan latihan
militer, mungkin merupakan sumber teladan dan inspirasi bagi sekolah JI yang terkenal,
seperti Al-Mukmin di Ngruki atau Lukmanul Hakiem di Johor, Malaysia.

Walaupun JI untuk sementara rupanya tidak tertarik melakukan amaliyat (operasi


pengeboman dan lain-lain), pesantren-pesantren dalam jaringannya di Jawa, Lampung,
Lombok, dan daerah lain adalah kunci kelangsungan hidup, karena di situlah anak-anak
pemimpin JI dididik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme seharusnya
memprioritaskan program pengawasan secara ketat terhadap sekolah-sekolah ini-
sekarang lebih dari 50-dan menarik anak-anak di dalamnya ikut dalam kegiatan di luar,
supaya jaringan sosial mereka bisa diperluas.

Sejarah Darul Islam memberikan pelajaran lain yang seharusnya dipetik oleh Indonesia:
pada saat para pemimpin gerakan radikal mulai dilihat terlalu pasif oleh pengikutnya,
sayap lebih militan sering muncul, dengan semangat perjuangan lebih tinggi. Perpecahan
ini tidak selalu menjadi indikasi bahwa organisasi mau mati. Setelah DI dihidupkan
kembali pada 1970-an sampai sekarang, perpecahan ideologi serta kebijakan dan pribadi
baru sering muncul. Yang paling terkenal adalah perpecahan JI dari DI pada 1992/1993,
tapi ada faksi lain yang keluar karena tidak puas dengan keterlambatan DI merespons
setelah konflik Ambon meledak pada 1999. Noor Din M. Top melepaskan diri dari JI
pada 2003/2004 dengan membawa pengikutnya ke arah lebih militan. Baru-baru ini,
aliansi lintas tanzim yang mendirikan kamp latihan di Aceh terdiri atas unsur-unsur sakit
hati atau kurang puas dari sekitar sembilan kelompok berbeda-dan semuanya sangat kritis
terhadap JI, yang dilihat tidak mau lagi berjihad.

Darul Islam jelas bukan suatu obyek kuno untuk museum. Setelah 50 tahun, ia masih
tetap berkembang dan sempalannya masih tetap menjadi inti gerakan Islam radikal di
Indonesia-bagaimanapun, ide negara Islam masih tetap bergema untuk generasi baru.
Kalau ada yang masih ragu tentang kedigdayaan DI untuk mendorong anak muda
berjihad, baca saja tulisan Iqbal alias Arnasan, salah satu pengebom bunuh diri di Bali
pada Oktober 2002. Dia menulis kepada keluarga dan teman di Malingping, Banten,
bekas basis DI:

"Ingat wahai Mujahidin yang di Malingping. Imam kita S.M. Kartosoewirjo dulu waktu
membangun dan menegakkan sekaligus memproklamasikan kemerdekaan NII dengan
darah dan nyawa para syuhada bukan dengan berleha-leha, santai-santai saja seperti kita
sekarang. Kalau kalian benar-benar ingin membangun kembali kejayaan NII yang hari ini
terkubur, siramlah dengan darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah.
Padahal kalian mengaku sebagai anak DII/NII."

Anda mungkin juga menyukai