Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Mula kehadiran Islam di Indonesia telah cukup banyak mendapat perhatian dan telaah
para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang
membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk
dikaji terlebih di negeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Maka tak
berlebihan, studi mengenai latar historis dan proses perkembangan selanjutnya dari
agama ini –sehingga beroleh tempat dan mampu mengikat begitu banyak pengikut di
wilayah ini– cukup punya nilai guna memahami dan memaknai lebih dalam dinamika
keberagamaan Islam dalam konteks kontemporer di Indonesia.
Lokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema
utama, yakni: tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah dimensi proses dari interaksi awal dan
lanjutan antara Islam dan penduduk lokal berikut konstruk kepercayaan atau agama yang
telah ada sebelumnya.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para
sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya
menjadi tiga teori besar: Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah
Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam
tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya
singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Teori tersebut jika ditelaah lebih jauh sesungguhnya memiliki variasi pendapat yang
cukup beragam. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari
anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat.
Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O.
Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang
dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti
epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay – Gujarat sebenarnya bentuk
dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara
Morison lebih mempercayai bahwa Islam di Indonesia bermula dari pantai Coromandel.
Sebab menurutnya, pada masa Islamisasi kerajaan Samudera dimana raja pertamanya
(Malik al-Saleh) wafat tahun 1297 M, saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu.
Baru setahun kemudian, kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari
sana, tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang di tempat itu.
Adapun bukti epigrafis dari Gujarat atau Bengal, tidaklah serta merta menunjukkan
bahwa agama Islam juga ‘diimpor’ dari tempat yang sama.
Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain
dikemukakan oleh T.W. Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta
tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan
Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir
pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang
di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Terdapat juga
sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M,
dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan
Sriwijaya. Dan di wilayah itupun telah tumbuh komunitas muslim lokal. Sementara
variasi pendapat lain dikemukakan oleh Keijzer bahwa Islam nusantara berasal dari Mesir
berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i). Sedangkan Niemann dan de Hollander
mengemukakan teori Islam nusantara berasal dari Hadramaut (wilayah Yaman).
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang
populer dibanding teori-teori sebelumnya. Pada konteks ini menarik jika pendapat
Naguib al-Attas, seorang pendukung teori Arab, dihadirkan sebagai komparasi. Dalam
mengkaji Islam nusantara, al-Attas lebih tertarik untuk mendasarkan argumentasinya
pada bukti-bukti konseptual dan literatur, dibanding bukti-bukti epigrafis sebagaimana
para pemikir sebelumnya. Dalam “teori umum tentang Islamisasi nusantara”-nya tersebut
al-Attas menyebutkan bahwa karakteristik internal Islam di nusantara lebih cenderung
berasal langsung dari Arab. Dari berbagai literatur Islam yang beredar di nusantara
sebelum abad ke-17 M, tak satupun pengarangnya adalah orang India. Bahkan sebagian
penulis yang dipercayai beberapa sarjana Barat sebagai berasal dari India atau Persia, jika
ditelisik ternyata berasal dari Arab baik etnis maupun kultural. Adapun mengenai bukti
epigrafis Moquette, al-Attas menolaknya, dan menyatakan bahwa kemunculan nisan-
nisan dari India tersebut hanya karena faktor kedekatan lokasi saja (dalam konteks
perdagangan).
Selanjutnya tentang proses Islamisasi di nusantara, menarik untuk diperhatikan beberapa
pendapat berikut: Pertama, teori perkawinan. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa
kesuksesan Islamisasi di nusantara lebih karena peran para pedagang muslim.
Digambarkan, bahwa seraya berdagang mereka juga menyebarkan Islam. Di antaranya
dengan cara melakukan perkawinan dengan perempuan lokal sehingga terjadi konversi
agama dan terbentuklah lokus-lokus komunitas muslim setempat. Selanjutnya, mereka
juga berusaha menikahi perempuan bangsawan dengan harapan anak keturunannya akan
beroleh kekuasaan politik yang dapat dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Segaris
dengan pemikiran ini, J.C. van Leur mengemukakan adanya motif ekonomi dan politik
dalam persoalan konversi penduduk atau penguasa lokal di nusantara. Menurutnya,
penguasa pribumi yang ingin masuk dan berkembang dalam perdagangan internasional
kala itu yang terbentang dari Laut Merah hingga Laut Cina akan cenderung menerima
Islam karena dominasi kekuatan muslim di sektor itu. Di samping pula untuk
membentengi diri dari jejaring kekuasaan Majapahit.
Teori ini dikritik oleh A.H. Johns, yang menurutnya, patut diragukan bahwa para
pedagang akan mampu meng-Islam-kan penduduk lokal dalam jumlah yang signifikan.
Bukankah ditengarai bahwa mereka telah hadir sejak abad ke-7 atau ke-8 M di nusantara,
tetapi nyatanya, Islamisasi yang signifikan justru tampil di sekitar abad ke-12 M. Johns
lalu mengajukan teori Sufi-nya. Menurutnya, Islamisasi di nusantara sukses lebih
didorong oleh peran para sufi pengembara yang memang orientasi hidupnya diabdikan
untuk penyebaran agama Islam. Dan pada masa-masa massifikasi konversi Islam itulah
para sufi banyak hadir di nusantara. Johns dalam mengelaborasi teorinya juga mengambil
pemikiran tentang cara perkawinan dengan keturunan penguasa lokal sebagai pendukung
proses Islamisasi. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Schrieke bahwa faktor
pendorong yang menimbulkan gelombang besar masuk Islam di nusantara adalah
ancaman kekuasaan kolonial dan misi gospel Kristen yang agresif tampaknya sulit
diterima, karena dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Barat Kristen tiba di nusantara baru
sekitar tahun 1500-an. Sementara Islamisasi di nusantara telah berlangsung secara
signifikan jauh sebelumnya yakni sejak abad ke-12 atau ke-13 M.
Akhirnya, mari disimak beberapa simpulan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra
berikut ini: “Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, Islam diperkenalkan
oleh para guru dan penyiar “professional” – yakni mereka yang memang secara khusus
bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para
penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam “professional” ini datang ke
Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.” Jadi dengan mempertimbangkan berbagai uraian
di atas, dapat dinyatakan bahwa mungkin benar Islam memang telah diperkenalkan awal
mula sejak abad-abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 M), namun akselerasi
persebaran Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa
selanjutnya.
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya
Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk
memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang
memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di
Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti
Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan
pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim
terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini
sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-
besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali
menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri,
yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di
Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu
pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah
di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i.
Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di
Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah
makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis
angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-
makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi
Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi
memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum
Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak,
Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran,
keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada
abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam
bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-
pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum
Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke
Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari
Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai
yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani
berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara,
hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18
Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh
perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh
kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan
tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka
terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa
lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan
ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang
mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan
subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi
mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam,
agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap
kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama
dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh,
untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka
pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk
membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total
setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu
menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini
dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai,
yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga
kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di
Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum
muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata.
Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya
terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi
percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan
Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih
terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang
yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari
kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan
penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik
licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai
pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan
17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar,
Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus
rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh
(Teuku Umar).

PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM di INDONESIA

oleh :: A.Zuani

Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini
tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di mass media mungkin Anda sudah
sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut
agama Islam terbesar di dunia.Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah
pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar
ajaran Islam. Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat
beberapa teori yang mendukungnya.
Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islamdi Indonesia.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur
Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu
teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.Ketiga teori tersebut di atas memberikan
jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang
pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh
dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi
berikut ini.

Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard
H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya
pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai.
Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan ajaran Islam.
Demikianlah penjelasan tentang teori Gujarat. Silahkan Anda simak teori berikutnya.

Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat.
Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan
berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh
mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan
Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal
dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli
yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik
Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang
berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham simak
teori berikutnya.

Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya
berasal dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein
cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di
Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu
Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda
bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama
salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein
Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan
kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam
masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami
perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran
Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari
peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati.
Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali
yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:

1.Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di
Jawa Timur.
2.Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel
Surabaya.
3.Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum
Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4.Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin,
menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5.Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6.Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah
Kudus.
7.Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran
Islam di daerah Demak.
8.Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid
menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9.Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa
Barat (Cirebon)
Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa
sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat
dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang
dikasihi Allah.
Posted by adeut at 1:39 AM

Anda mungkin juga menyukai