Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-Ekonomi Syariah
Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan-Ekonomi Syariah
MH
Bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Buku I adalah "Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." Sedangkan bunyi
Pasal 5 ayat (2) Buku yang sama adalah "Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi
berprestasi sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator
atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang berkepentingan."
Pasal 88 ayat (1) Buku II KHES berbunyi "Jika pembeli jatuh pailit setelah menerima barang yang
dibelinya, kemudian meninggal dunia, namun belum membayarnya, maka penjual boleh menuntut
pembeli untuk mengembalikan barang yang telah dijualnya." Sedangkan Pasal 89 ayat (I) Buku
yang sama bnerbunyi "Jika penjual jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang titipan
kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual." Dan dalam Pasal 350 ayat (1) Buku II KHES
disebutkan "Apabila pemberi gadai meninggal dunia dalam keadaan pailit, pinjaman tersebut tetap
berada dalam status harta gadai."
Pasal-pasal KHES yang dikutip di atas adalah pasal-pasal tentang: 1) kewenangan pengadilan
agama (Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2), dan – menurut penulis – kewenangan tersebut
merupakan kewenangan khusus dalam perkara ekonomi syariah, 2) perkara-perkara yang menjadi
bagian dari kompetensi absolut khususnya itu.
Dengan demikian, secara sekilas ada persinggungan kewenangan antara Peradilan Agama dan
Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum, dalam mengadili permohonan pernyataan
pailit Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah. Bagaimana tinjauan undang-undang tentang hal
tersebut? Bagaimana tinjauan asas-asas umum peraturan perundang-undangan? Bagaimana
pandangan ilmu hukum dan ilmu hukum Islam tentang hal tersebut? Dan bagaimana pandangan
Mahkamah Agung tentang hal tersebut?
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran
Utang, bukan merupakan undang-undang tentang kewenangan, tetapi di dalamnya diatur tentang
kewenangan mengadili perkara kepailitan, yaitu berada pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan
Peradilan Umum. Sedangkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah (ditambah) dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, merupakan undang-undang tentang
kewenangan, tetapi masalah kepailitan tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang
tersebut.
Penjelasan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2008 yang berbunyi "Keadaan suatu bank
dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan
penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang
tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat," juga tidak
menyebutkan kata pengadilan dalam hubungannya dengan keadaan Bank yang mengalami
kesulitan. Akan tetapi KHES yang didasarkan pada Perma Nomor 2 Tahun 2008, menyebutkan
masalah kata pengadilan dalam hubungannya dengan kepailitan dalam pasal-pasal tentang
kewenangan sebagaimana disebutkan dalam beberapa uraian sebelumnya. Mungkin muncul
pertanyaan, dapatkah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 menjadi peraturan
pelaksanaan atas UU Nomor 21 Tahun 2008, sementara Perma tersebut tidak untuk undang-
undang tersebut, tetapi untuk KHES?
Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan berbunyi "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi." Dan bunyi
penjelasan atas ayat dari pasal tersebut adalah "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam
ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA. MK, BPK,
BI, Menteri, kepala badan, lembaga,atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang
atau pemerintah alas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten/Kota/Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat." Akan tetapi,Pasal 79 UU
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5
Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Tahun 2009, menyebutkan "Mahkamah Agung dapat mengatur
lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini."
Selanjutnya disebutkan dalam bagian pertama penjelasan pasal tersebut "Apabila dalam jalannya
peradilan terdapat kukurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung
berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan
tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengtaturan tentang
cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini
peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh
pembentuk undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini
hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan".
Berdasarkan uraian di atas, Perma Nomor 02 Tahun 2008 dibuat tidak berdasarkan undang-undang
dan tidak pula atas perintah undang-undang, sehingga keberadaannya tidak dipayungi oleh
undang-undang terkait, tetapi berdasarkan UU tentang Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di
atas.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto – sebagaimana dikutip oleh B. Hestu Cipto Handoyo
– memperkenalkan enam asas undang-undang, yaitu: I. Undang-undang tidak berlaku surut. 2.
Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula. 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat
umum. 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku
terdahulu. 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan 6. Undang-undang sebagai sarana
untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat
maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.
Dari keenam asas tersebut, menurut penulis, hanya asas ketiga yang dapat digunakan, yaitu asas
"undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum." Dan
sebagaimana diketahui, Undang undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah undang-undang khusus
untuk menyelesaikan sengketa antara orang-orang yang beragama Islam, dan setelah diubah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan khusus tersebut ditambahkan pula dengan
kewenangan mengadili perkara ekonomi syariah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 huruf i
berikut penjelasannya. Dengan demikian, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus
dengan kewenangan tambahan mengadili perkara sengketa ekonomi syariah, termasuk di dalamnya
hal-hal yang terkait dengan kepailitan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, serta lembaga
keuangan syariah lainnya. Pemahaman tersebut merupakan penafsiran atas keumuman tambahan
kewenangan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 3 Tahun 2006.
Artinya, untuk perkara ekonomi syariah, ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum,
dalam hal ini UU Nomor 37 Tahun 2004, dikesampingkan, dan ketentuan tersebut dikembalikan
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi non syariah.
Kekhususan sebagaimana dimaksud di atas disebutkan pula dalam konsideran Menimbang huruf c
dan d UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang masing-masing berbunyi:
"Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional"
(huruf c), dan "Bahwa penyusunan mengenai perbankan syariah di dalam UU Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 belum
spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang- undang tersendiri." (huruf d).
Dalam tinjauan Ilmu Hukum Islam (Usul Fikih), UU Nomor 37 Tahun 2004 bersifat umum,
sedangkan UU Nomor 3 Tahun 2006 yang diundangkan beberapa tahun sesudahnya, tidak
dianggap membatalkan UU Nomor 37 Tahun 2004, tetapi mentakhsis keumuman kewenangan
pemailitan pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum, hanya pada perkara
ekonomi syariah. Sedangkan perkara ekonomi non-syariah, tidak termasuk yang ditakhsiskan
sehingga kewenangan pemailitannya tetap berada pada Pengadilan Niaga dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Pemahaman lainnya adalah dengan memasukkan masalah kepailitan Perbankan Syariah dengan
sejumlah kewenangan Peradilan Agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 huruf I berikut
penjelasannya, dengan pemahaman bahwa masalah kepailitan perbankan syariah termasuk bagian
kecil dari perbankan syariah, dan menurut kaidah, Indira al-ashghar fi al-'akbar, atau yang kecil
dimasukkan pada yang besar.
Kesimpulan :
berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik berkesimpulan sebagai berikut:
a.kewenangan memailitkan Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah pada Bank Umum dapat
menjadi titik singgung antara Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama.
b. berbagai pemahaman dan sudut pandang yang beragam akan muncul mengenai kewenangan
perbankan syariah atau unit usaha syariah.
Saran :
untuk menyelesaikan berbagai sudut pandang – jika ada – penulis menyampaikan saran sebagai
berikut:
a. perlu dibuat Undang-undang yang mengatur wewenang pemailitan Bank Syariah, Unit Usaha
Syariah, dan/atau LembagaKeuangan-Ekonomi Syariah.
b. setelah pengundangan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008, Undang undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang perlu dilakukan
perubahan dengan menambahkan penjelasan tentang: 1) hal-hal yang terkait dengan ekonomi
Syariah dan 2) yang dimaksud dengan Pengadilan dalam menyelesaikan perkara ekonomi
Syariah adalah Pengadilan Agama / Mahkamah Syar`iyah setelah Perma Khusus tentang
Pedoman Pemailitan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah.
c. Selama undang-undang sebagaimana dimaksud angka 2 di atas belum ada, Perma Nomor 02
Tahun 2008 merupakan regulasi dalam melakukan pemailitan Bank Syariah, Unit Usaha
Syariah, dan atau Lembaga Keuangan-Ekonomi Syariah.
http://www.timoer.infomediailmiah.blogspot.com/
http://www.yahoo.com/
http://www.google.com/
http://www.cnn.com/
http://www.detik.com
Dafatar Pustaka
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka
Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,
Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya
Persada.
----------2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya
Persada.
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinstp-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademis. (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2008), h. 73, mengutip Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, da
la m: Rosjidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia..
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government,
Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Vol VIII. Britis Empirism and the Idealist Movement in Great Britain and Idealisme in Amirica, The
Pragmatist movement, The Revolt against Idealisme, 1967.
Friedman, W.”Teori Dan Filsafat Hukum (Judul Asli : “LegalTheory”).Penerjemah Muhammad Arifin,
Jakarta : CV.Rajawali. 1990.
Fadjar, ”beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan
menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada
roh/sukma/jiwa/spirit”, 2007: 1-2.
----------- Gilson Etiene, History of Christian Philosophy in the Middie Ages, New York, 1954.
Gunawan Widjaja, Refleksi Sepuluh Tahun UU Kepailitan dan Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global:
Kapasitas dan Efektivitas Pengadilan Niaga. (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2009), volume 28
No. 1 Tahun 2009.
Harold H. Titus. Living Issues in Philosophya, New York : Amirika Book Company, Thirdd Edition 1959.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell.
Loewith,K.From hegel to Nietzsche, The revolution in Nineteenth Century, New York, 1967.
Mertokusumo, ”Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan
manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan-kepentingannya”, 1999- 10,
1999-12, 1999: 167.
Mohammad Noor Syam, ” Pembudayaan Nilai Pancasila Sebagai Sistim Filsafat Dan Idiologi
Nasional”Laboratorium Pancasila,Universitas Negeri Malang (UM), Malang, 30 November 2007
Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, ”Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuan”, 2007: 4.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan
Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San
Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln
Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.
---------Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western, London, George Allen
and Unwind Ltd.
Rasyid, ”yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif,
melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang
menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnya seperti aturan-aturan yang menyangkut
aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat”,
1991 : 6.
--------- Rudi T.Erwin. Tanya jawab Filsafat Hukum.Jakarta : Aksara Baru, 1982.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang tentang Kepailitan dan Penundaan
kewajiban Pembayaran Utang.
Republik Indonesia, Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan
Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila, 2000.
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan
Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), cet. I, h. 11, mengutip Sutan Remy Syandeni,
Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002).
Suriasumantri, ”Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis
monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada, 1990: 93.
Sumardjono, ”siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The
Logic of Science in Sociology”, 1989: 3.
Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan.
Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.Teguh Pudjo Mulyono,
“Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999. UNO 1988:
HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
Republik Indonesia, UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Wiliam Zelernyer. Internasional to Bussines Law The Macmillan Company, New York. London :
Collier-Macmillan Limited, 1964.
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard
College, University Press.
Zainuddi Ali, MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu,
Zulkarnain Sitompul, Antisipasi Krisis Perbankan Jilid Dua: Sudah Siapkah Pranata Hukum Melindungi
Nasabah dan Memperkuat Industri Perbankan?, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2009), volume
28 No. 1 Tahun 2009.
Republik Indonesia, Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan
Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila, 2000.