Sampai saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia yang enggan berhubungan dengan dunia
perbankan, karena dengan alasan bahwa bunga bank termasuk praktik riba dalam Islam. Untuk itu,
tulisan ini kiranya dapat memberikan pemahaman tentang praktik perbankkan Islam yang ada di
Indonesia saat ini.
Dalam literatur perbankan Islam di Indonesia, istilah lain yang diperlukan untuk sebutan Bank Islam
adalah Bank Syariah. Secara akademis, istilah Islam dengan syariah memang mempunyai pengertian lain.
Namun secara teknis di Indonesia menyebutkan Bank Islam dan Bank Syariah mempunyai pengertian
yang sama.
Menurut Ensiklopedi Islam, Bank Islam ialah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya di dasarkan pada
tata cara bermuamalah secara Islam, yakni mengacu pada ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Al Hadis,
sedangkan pengertian muamalat sendiri ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia, baik hubungan pribadi maupun antara perorangan dengan masyarakat. Muamalah ini
meliputi bidang kegiatan jual-beli (bai’), bunga (riba), piutang (qard), gadai (rahan), memindahkan utang
(hawalah), bagi untung dalam perdagangan (qirad), jaminan (dhamanah), persekutuan (syirkah),
persewaan dan perburuhan (ijarah).
Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau berpedoman pada praktik-praktik usaha
yang dilakukan di jaman Rasulullah s.a.w, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak
dilarang oleh Rasulullah, atau bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama/cendekiawan muslim
yang tidak menyimpang dari ketentuan Al Qur’an dan Al Hadis.
Bentuk-bentuk perdagangan sejak pra-Islam yang sampai sekarang dikembangkan dalam dunia bisnis
modern antara lain : al musyarakah (joint venture), al Bai’at-Takjiri (venture capital), al Ijarah (leasing),
at takaful (insurance), al Bil’u Bithaman Ajil (instalment-sale), kredit pemilikan barang (al Murabahah),
pinjaman dengan tambahan bunga (riba).
Pada masa Rasulullah saw. yang membawa risalah Islam sebagai petujuk bagi umat manusia, telah
memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang boleh dilakukan dan
dikembangkan serta yang dilarang karena tidak sejalan dengan ajaran Islam. Salah satu bentuk yang
dilarang ialah perdagangan yang mengandung unsur riba. Ayat tentang larangan riba ini diperkirakan
turun menjelang Rasulullah wafat, yaitu pada usia 60 tahun. Sehingga beliau belum sampai memberikan
penjelasan secara rinci tentang riba. Oleh karena itu maka peranan ijtihad dari para ulama atau
cendekiawan muslim yang bisa diharapkan sebagai penggali konsep-konsep dasar tentang bentuk-
bentuk perdagangan yang mengandung unsur riba. Dengan demikian akan diperoleh konsep
perdagangan tanpa riba yang salah satu bentuk kelembagaan berupa bank Islam, bank syariah atau bank
tanpa bunga
Pengertian bank tanpa bunga di sini hendaknya tidak diartikan bahwa bank yang pada operasinya
mengganti imbalan bunga dengan bagi hasil. Lebih lanjut hendaknya pengertian bagi hasil tidak disama-
artikan dengan pembagian laba pada perseroan. Pengertian bagi hasil di sini tidak ada keterkaitan
dengan tanda bukti pemilikan saham atau sejenisnya. Oleh karena itu, bank tanpa bunga mensyaratkan
adanya kebersamaan, keterbukaan, kejujuran antara bank dengan nasabahnya sehingga kedua belah
pihak dapat merasakan adanya keadilan.