Anda di halaman 1dari 5

ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN KOTA SURABAYA BERDASARKAN

ASPEK GEOLOGI LINGKUNGAN

Oleh :
Oki O.

1. Latar Belakang
Surabaya, sebagai Ibukota Propinsi Jawa Timur adalah kota terbesar kedua di Indonesia,
merupakan pusat perindustrian dan wilayah penting perdagangan nasional, dengan fasilitas
pelabuhan dan bandar udara internasional. Wilayah di sekitar Surabaya dikenal dengan istilah “
Gerbang Kertosusila” atau GKS, kepanjangan dari Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto,
Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan. Pada tahun 1995, jumlah penduduk GKS sekitar 7,8 juta jiwa,
dan jumlah ini diperkirakan akan mencapai 10,8 juta pada tahun 2018.
Perkembangan perkotaan saat ini telah meluas hingga selatan Surabaya, yaitu Sidoarjo, dengan
tumbuhnya industri dan pemukiman, ke arah barat, Kota Gresik tumbuh sebagai pusat industri
utama dan rencana pemukiman penting. Pesatnya laju pembangunan di daerah Surabaya dan
sekitarnya akan menimbulkan dampak lingkungan yang bersifat positif dan negatif.
Pembangunan fisik suatu daerah tentunya akan memberikan keuntungan yang tidak sedikit,
seperti peningkatan taraf hidup masyarakat maupun pendapatan asli daerah. Namun demikikan
setiap pembangunan mempunyai keterbatasan sumberdaya alam dan kendala yang harus
ditanggulangi sedini mungkin.

2. Kondisi Umum
Daerah pemetaan secara geografis terletak antara 6045’ – 7030’ LS dan 112030’ – 112055’ BT, pada
peta topografi skala 1 : 100.000 termasuk dalam Lembar Surabaya dan Sapulu 1608 – 4, 16004 –
1. Secara administratif termasuk ke dalam Wilayah Propinsi Jawa Timur, meliputi wilayah
Kotamadya Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Gresik.
Berdasarkan pada Peta Penggunaan Tanah, pengamatan lapangan dan data lainnya daerah
pemetaan sebagian besar berupa dataran, penggunaan lahannya umumnya pertanian, tambak,
pemukiman dan perkebunan
Kawasan pertanian sebagian besar menempati bagian barat berupa pesawahan (± 71.889 Ha),
tegalan, ladang, kebun dan huma (± 64.172 Ha). Kawasan tambak umumnya menempati daerah
sekitar pantai, terutama untuk peternakan ikan dan penggaraman. luas ± 42.049 Ha. Lahan
untuk pemukiman seperti perumahan, emplacemen, perkantoran, perdagangan, industri dan
bangunan lainnya sebagian besar menempati bagian tengah seluas ± 55.793 Ha. Perkebunan
umumnya menempati bagian barat seluas ± 12.772 Ha, termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Sidoarjo dan Gresik. Jenis tanamannya adalah tebu, kelapa, jambu mete, dan kapuk randu. Selain
penggunaan lahan lainnya sebagian kecil dan setempat-setempat di sekitar pantai, seperti
kawasan Pantai Kenjeran, di Surabaya adalah hutan bakau, kebun campuran.

3. Arahan Pengembangan
Pengembangan suatu daerah perkotaan tidak lepas hubungannya dengan berbagai faktor
lingkungan fisik beraspek geologi. Seperti telah diuraikan dalam beberapa bab di muka, faktor-
faktor beraspek geologi yang menunjang keberhasilan pengembangan kota adalah, ketersediaan
lahan yang memadai bagi berbagai peruntukan, sumber daya air yang mencukupi kebutuhan,
sumber daya bahan bangunan yang dapat menunjang pembangunan, dan sebagai tambahan,
adanya bahan tambang yang dapat memberi tambahan pendapatan bagi pemerintah dan
masyarakat setempat. Akan tetapi pembangunan dan penambangan tersebut apabila
dilaksanakan tanpa perencanaan lingkungan dapat menimbulkan dampak negatif yang menjurus
kepada makin rendahnya nilai daya dukung lingkungan fisik daerah yang bersangkutan.

Isu yang berkembang berkaitan dengan pembangunan Kota Surabaya adalah makin meluasnya
daerah genangan (banjir), di mana jumlah luas kawasan yang terkena banjir adalah 4.755 ha yang
mana 3.587 ha dari areal tersebut dengan kondisi sudah dibangun. Wilayah Kota Surabaya seluas
32.741 ha kawasan yang terkena banjir sekitar 14,5%. Sedangkan isu lain adalah terjadinya
sedimentasi di bagian timur Surabaya yang menambah luas wilayah kota dan saat ini mulai
dirambah dengan pembangunan pemukiman. Oleh karena itu arahan geologi lingkungan yang
akan dibahas tidak terlepas dari ke dua isu tersebut

Selanjutnya, dari beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa di wilayah Kota
Surabaya terdapat tiga wilayah yang masing-masing mempunyai kondisi geologis sangat
berlainan, yaitu wilayah pantai yang tersusun terutama oleh endapan pasir, wilayah rawa yang
hampir seluruhnya tersusun oleh lempung dan wilayah pedataran bergelombang yang tersusun
oleh batu pasir, batu lempung dan napal. Berdasarkan evalusasi data baik sekunder maupun
primer maka daerah pemetaan dapat dipisahkan menjadi beberapa arah pengembangan wilayah
berdasarkan aspek geologi yaitu :

3.1. Konservasi Alam Pantai Timur


Kawasan ini merupakan daerah transisi antara laut dan daratan sehingga kondisi tanah dan
air cenderung terpengaruh oleh air laut, air tanah dangkal < 2 meter umumnya asin hingga
payau, pengembangan untuk pertambakan terbatas pada daerah pesisir saja.

Tanah timbul di sekitar Kali Surabaya secara bertahap dapat dikembangkan untuk lahan
pertambakan. Perlindungan terhadap sepadan pantai sebagai upaya melindungi pantai dari
kerusakan., terutama oleh aktivitas manusia, seperti penebangan hutan bakau. Pantai yang
perlu mendapat perhatian adalah pantai teluk barat Surabaya, tetapi secara umum
sepanjang pantai perlu perlindungan sebagai sempadan pantai dengan penanaman bakau
yang sangat baik untuk mengurangi abrasi dan menjadi perkembanganbiakan pelbagai jenis
ikan.

Masalah pengembangan perumahan di kawasan Pantai Timur merupakan salah satu


penyebab terjandinya banjir di sebagian besar perumahan di belahan timur Surabaya. Saat
ini Kota Surabaya juga sedang melakukan revisi Rencana Tata Ruang Pantai Timur, dan
telah dihasilkan kesepakatan bahwa kawasan Pantai Timur tidak akan dikembangkan lebih
lanjut s.d. 2020, kecuali untuk lokasi-lokasi yang telah diberikan ijin dan diusahakan
kegiatan pembangunannya, sisa lainnya adalah untuk konservasi alam.

Namun demikian, konservasi kawasan Pantai Timur saja tidak cukup, karena pengalaman
menunjukkan bahwa sepanjang 100 tahun terakhir ini, pantai Surabaya masih terus
mengalami proses sedimentasi alam dari Kali Brantas di muara Jagir Wonokromo. Oleh
masyarakat setempat sekitar pantai lahan tersebut telah dibuat tambak-tambak baru,
perluasannya sangat pesat selama 10 tahun terakhir ini. Oleh karena itu, penghentian
pembangunan Pantai Timur oleh developer, harus juga diimbangi oleh Pemerintah dengan
menyediakan fasilitas prasarana dasar, minimum hingga memungkinkan saluran muara dari
sistem-sistem primer, yang sekarang menjadi sempit karena dibatasi oleh tanggul-tanggul
tambak ikan yang baru, dapat mengalirkan airnya ke laut.

Peranan Perencanaan Pemerintah Kota lewat koordinasi dengan pihak BPN dalam
pendataan dan peresmian tanah oloran adalah penting dan disarankan harus melakukan
inspeksi lapangan secara terpadu, cermat dan intensif, agar mampu memberikan arahan
kepada masyarakat petambak akan kepentingan kota jangka panjang yang lebih besar.
Perencanaan kota tidak boleh menganggap bahwa dengan telah disepakatinya kawasan
Pantai Timur ini diperuntukkan sebagai cagar alam di pinggir kota maka kawasan tengah
kota akan atau telah terbebaskan dari banjir, karena kebijakan mengenai sistem
pengendalian banjir ini, di samping dibangunnya saluran juga tergantung pada pelaksanaan
operasi dan pemeliharaan yang baik. Untuk kawasan cagar alam, maka sekalipun gangguan
itu tidak besar, tidaklah mungkin operasi dan pemeliharaannya akan dilakukan oleh alam itu
sendiri.

3.2. Pengembangan Pemukiman


Pengembangan Kawasan Pemukiman berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota Surabaya
berada pada dua kawasan yaitu Kawasan barat (hulu) dan Kawasan pantai timur. Namun
saat ini pengembangan pemukiman telah dihentikan hingga tahun 2020 karena dianggap
berdampak meningkatnya banjir di Kota Surabaya. Kawasan hulu yang lahannya sedang
dalam proses pematangan tanah merupakan Unit-unit Pengembangan Kota di kawasan
barat kota : UP Benowo dan UP Darmo Baru, yang kesemuanya merupakan Upstream dari
sistem Gunungsari. UP Darmo Baru dan bagian timur UP Tandes telah berkembang secara
pesat. Pembangunan di kawasan bukit ini merupakan konsekuensi dari arahan perencanaan
kota yang ditetapkan di masa lalu (tahun 70’an) dan dampak yang terjadi adalah buruknya
sistem drainase yang berakibat banjir di bagian hilirnya. Mengingat pembangunan sudah
terjadi, maka pemerintah kota harus mengkompensasi secepatnya dalam memperbaiki
sistem drainase yang diperlukan, yakni pembangunan Saluran Diversi Gunungsari.
Sedangkan untuk kawasan yang pembangunannya masih berlangsung, a.l. Bagian Barat UP
Tandes dan UP Benowo, pengadaan waduk-waduk “up-stream” harus diadakan guna
menyeimbangkan volume puncak limpasan air yang akan terjadi. Pembangunan Saluran
Diversi ini berlokasikan di luar UP yang bersangkutan, oleh karena itu, skala
perencanaannya harus menjadi skala prioritas kota, sedangkan untuk skala UP, selanjutnya
yang menjadi perhatian khusus adalah koneksitas dari saluran-saluran sekunder yang
sebagian besar melintasi kawasan pemukiman informal.

Di samping itu ketaatan dari pengendalian kerapatan bangunan dengan sebanyak mungkin
mendorong tersedianya halaman-halaman hijau tak diperkeras diikuti pembuatan sumur
resapan sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang diijinkan untuk setiap
bangunan individual, blok bangunan maupun fasilitas umum, guna menghindari
permasalahan jangka panjang di kemudian hari Pengalaman menunjukkan, bahwa
pengendalian ke dapan permukaan lahan di kapling perumahan individual adalah lebih sulit
dari pada usulan rencana yang akan diaplikasikan untuk kawasan Fasilitas Umum, sosial
dan bahkan untuk komersial sekalipun. Kapling Industri dan pergudangan biasanya masih
bisa dikendalikan bilamana pemerintah cukup konservatif dalam melakukan advis planning
dibandingkan dengan permohonan kapling industri secara individu.

Dalam merevisi Rencana Tata Ruang Kota, pengembangan pemukiman dapat menempati
dataran dengan memperhatikan kondisi daya dukung tanahnya, semakin ke arah buritan
daya dukung tanah semakin baik karena dilandasi batuan yang lebih kompak terutama
untuk bangunan-bangunan berat. Penempatan bangunan di wilayah kota Surabaya yang
perlu diperhatikan adalah longsoran jenis nandatan yang dapat menyebabkan keretakan
tembok-tembok atau turunnya sebagian fondasi bangunan. Selain itu badan jalan sering
ambles.

3.3. Pengembangan Kawasan Industri


Pemerintah kota dalam pengembangan kawasan industri mengarahkan ke bagian barat kota
yaitu di kawasan tambak garam dan sebagian tambak ikan. Dikarenakan daya dukung
tanahnya rendah, maka rencana kota mengalokasikan kawasan tersebut sebagai kawasan
industri. Kawasan yang dimaksud terdiri dari Unit Pengembangan Kota : UP Industri Margo
Mulyo, UP Industri Tandes, dan UP Romokalisari. Berdasarkan pengamatan geologi
lingkungan daerah tersebut memiliki daya dukung rendah antara lain kemungkinan
pencemaran terhadap air tanah, karena muka air tanah relatif dangkal umumnya < 5 meter
dan < 3 meter untuk wilayah pantai Kota Surabaya, sifat fisik tanah sangat lunak dengan
tingkat penurunan (settlement) yang tinggi dan berada di bawah pasang laut serta kondisi
saluran alam yang ada sama sekali tidak memadai dalam menyalurkan pematusan air hujan
dari bagian hulunya. Oleh karena itu hendaknya menjadikan catatan tersendiri dalam
menyiasati rencana bangunan baru di kawasan ini.

Realisasi dari rencana kota dalam pembangunan kawasan industri berikut infrastruktur
sebelumnya hanya mengandalkan “elevasi banjir pasang laut” sebagai acuan pembangunan
dengan cara meninggikan permukaan lahan, namun dengan cara tersebut berakibat
terhadap pematusan limpasan air hujan bagian hulunya secara gravitasi terhambat. Untuk
mengatasinya kondisi tersebut, meninggikan elevasi harus dihindari, tetapi di masing-
masing daerah tangkapan kawasan rendah ini (low level) dapat dibuatkan sistem saluran
waduk-waduk kecil yang tersebar menurut sub-sub unit yang dirancangnya, selanjutnya
dipompa ke saluran sudetan di bagian muara, di mana perbedaan elevasi muka air di antara
kedua sistem tersebut sudah tidak besar.

Bilamana rancangan sistem jaringan saluran utama secara independen di kawasan low-level
ini dapat dibuat, dan tanggul-tanggul saluran sudetan telah terbangun, maka penggunaan
lahan di kawasan industri tersebut sebagaimana yang dirancang dalam Rancana Tata Ruang
Kota dapat diteruskan pelaksanaannya tanpa ada keraguan. Namum demikian, dikarenakan
UP Kawasan Industri berada di daerah dengan daya dukung rendah, maka perlu
diperhatikan kelayakan investasi, operasi dan pemeliharaan yang membebaninya.

3.4. Kelayakan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah


Kota Surabaya menghasilkan jumlah sampah yang besar (Dinas Kebersihan Kota Surabaya,
2000), rata-rata timbulan sampah yang dihasilkan sudah mencapai 8.368m3/hari, dengan
prosentase penduduk terlayani sebesar 87,25%. Dari studi yang dilakukan, berlandaskan
pada pertumbuhan ekonomi dan populasi dapat disimpulkan bahwa produksi sampah
Surabaya akan meningkat untuk tiap tahunnya sebesar 5% hingga periode 2010.

Teknik pemusnahan sampah di Kota Surabaya masih didominasi dengan cara open
dumping sekalipun standar nasional menentukan kota besar dan metropolitan hendaknya
menggunakan teknik sanitary landfill, Surabaya belum mampu melaksanakan karena alasan
ketersediaan dana. Lokasi dumping sebagai final disposal site/LPA yang ada di Surabaya
secara resmi berada di Keputih/ Sukolilo untuk melayani Surabaya Timur dan Lakarsantri
untuk Surabaya Barat. Sekalipun tidak memiliki Sanitary Landfill, sejak 1990, Surabaya
telah mengoperasikan sebuah incinerator skala besar di Keputih, namun dalam
operasionalnya membutuhkan biaya yang besar dengan hasil yang kurang efektif, sehingga
kurang bisa diandalkan. Saat ini TPA yang baru di Benowo dan Tambak Dono akan segera
difungsikan dengan menggunakan sistem Sanitary Landfill.

Untuk menunjang kesinambungan lokasi TPA Sampah dimasa yang akan datang, maka
diperlukan informasi yang memadai karena di dalam penentuan lokasi tempat penimbunan
sampah bagi suatu kota besar sering menimbulkan masalah yaitu sulitnya mencari lahan
yang sesuai untuk tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu untuk mendukung
perencanaan secara regional maka perlu dibuat suatu peta kelayakan lokasi TPA sampah
aspek geologi lingkungan dan persyaratan-persayaratan yang telah ditentukan Standar
Nasional Indonesia.

Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi data yang diperoleh dari pengamatan lapangan,
laboratorium dan kompilasi data yang ada, maka daerah pemetaan seluas + 32.741 ha dapat
dibagi menjadi 4 (empat) daerah kelayakan untuk TPA.

Τ Daerah kelayakan sebagai TPA dengan tingkat pembatas rendah


Sebaran di Kota Surabaya sekitar 5% dari luas Kota Surabaya meliputi daerah jalur
hijau seperti wilayah Surabaya Selatan, Lakarsantri dan perbatasan sebelah barat Kota
Surabaya dan Kabupaten Gresik. Di daerah ini terdapat pula lokasi TPA Lakarsantri
yang masa pengoperasiannya hampir habis dan lokasi lokasi TPA Benowo TPA dan
Tambak Dono di mana pada saat survey masih dalam tahap kontruksi. Untuk
Kabupaten Gresik tersebar cukup luas seperti di daerah Kedamean bagian selatan,
Cerme bagian timur dan Manganti ke arah barat, memanfaatkan daerah-daerah lahan
kering dan lahan terbuka.

Τ Daerah kelayakan sebagai TPA dengan tingkat pembatas sedang


Sebaran di Kota Surabaya sekitar 5% yaitu daerah untuk perumahan dan gedung-
gedung umum yang termasuk wilayah Sukolilo, Ramgkut, Wonocolo, Tambaksari dan
Randegan. Untuk wilayah Gresik tersebar di sekitar Randuagung, Cerme, Driyorejo,
Balongpandang, Wonopuro Wetan. Di daerah ini terdapat bekas TPA Cerme.

Τ Daerah kelayakan sebagai TPA dengan tingkat pembatas tinggi


Sebaran di Kota Surabaya sekitar 11%, yaitu daerah sekitar Kelurahan Tandes.
Sedangkan di Wilayah Gresik meliputi daerah sekitar Driyorejo dan Marawud

Τ Daerah tidak layak sebagai TPA


Sebarannya untuk Kota Surabaya sekitar 79% dari luas wilayah kota meliputi;
- Daerah perumahan seperti kawasan Surabaya Kota, Kambangan, Sukolilo dan
Wonokromo.
- Daerah tambak dan sawah sekitar kawasan Surabaya Timur dan Surabaya Utara.
- Daerah komersial dan jasa termasuk wilayah Pabeancantikan, Krembangan dan
Tanjung Perak.
- Daerah Militer, termasuk wilayah Tanjung Perak, Gunung sari, Balesemampir dan
Sumur Kelut. Di daerah ini terdapat TPA Keputih. Sebaran untuk wilayah Gresik
meliputi daerah pesawahan, hutan lindung, jalur hijau, pemukiman kota, Kebomas,
Manyar, Banjaranyar dan Ngipik. Di daerah ini terdapat TPA Ngipik

Anda mungkin juga menyukai