Anda di halaman 1dari 2

Artikel Ancaman Pemanasan Global

Berikut ini sebuah artikel yang saya tulis khusus menyambut Hari Bumi, 22 April 2006 dan dimuat di Surabaya
Post, edisi 24 April 2006. Selamat membaca (Mudah-mudahan sehabis membaca ini kita semua makin arif dalam
mengelola bumi).

Majalah Nature, edisi Desember 2005 yang lalu, melaporkan secara rinci perubahan iklim di
bumi dalam satu dekade terakhir. Dalam publikasi tersebut terungkap fakta jika konsentrasi
karbondioksida dan methana (sejenis zat karbon) pada saat sekarang telah meningkat hampir tiga
kali lipat jika dibandingkan tahun 50-an.

Gas karbondioksida dan methane ini merupakan penyumbang terbesar adanya pemanasan global
(global warming) yakni suatu fenomena alam yang ditandai dengan kenaikan suhu bumi dan
kenaikan permukaan air laut.

Umumnya zat karbondioksida dan methana ini berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, yakni
minyak bumi, batu bara dan gas bumi. Penggundulan hutan serta perluasan wilayah pertanian
juga meningkatkan jumlah karbondioksida dalam atmosfer. Diperkirakan, setiap tahun
dilepaskan 18,35 miliar ton karbon dioksida (Bayangkan 18,35 milliar ton karbon dioksida ini
sama dengan 18,35 X 1012 atau 18.350.000.000.000 kg karbon dioksida).

Waspada
Bukti akan adanya ancaman besar dari pemanasan global sudah mulai terlihat dalam beberapa
tahun terakhir ini. Pada tahun 1987 misalnya, tercatat suhu paling tinggi yang pernah ada di
Siberia, Eropa Timur dan Amerika Utara. Kenaikan suhu global ini mengakibatkan mencairnya
es di kutub utara. Sejumlah peneliti dari Princeton University pada tahun 2000 merilis hasil riset
terbaru bahwa perairan didekat kutub mengalami kenaikan rata-rata permukaan air laut sebesar
11,46 mm setiap tahunnya.

Juga pada tahun 1987 terjadi banjir besar di Korea, Bangladesh dan di Kepulauan Maladewa
akibat ombak pasang. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, fenomena ini belum pernah ditemui.

Di Indonesia sendiri, tanda-tanda perubahan iklim akibat pemanasan global telah lama terlihat.
Misalnya, sudah beberapa kali ini kita mengalami musim kemarau yang panjang. Tahun 1982-
1983, 1987 dan 1991,kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Hampir 3,6
juta hektar hutan habis di Kalimatan Timur akibat kebakaran tahun 1983. Musim kemarau tahun
1991 juga menyebabkan 40.000 hektar sawah dipusokan dan produksi gabah nasional menurun
drastis dari 46,451 juta ton menjadi 44,127 juta ton pada tahun 1990.

Dibeberapa daerah pesisir, kenaikan suhu menyebabkan bertambahnya permukaan air laut. Riset
yang pernah dilakukan antara tahun 1925-1989 menyebutkan bahwa terjadi kenaikan rata-rata
permukaan air laut di Belawan (Sumetera Utara) hingga 7,83 mm per tahun, Jakarta 4,38 mm per
tahun dan Semarang 9,27 mm per tahun.

Jika kondisi ini terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin sejumlah daerah yang terletak
dipermukaan air laut hanya akan menjadi cerita belaka, karena sebagian besar daratannya telah
berubah menjadi lautan.

Efektivitas Protokol Kyoto


Menyadari bahaya akan pemanasan global ini, sekitar 141 negara telah menandatangi dan
meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk Indonesia. Dalam nota kesepakatan ini disebutkan bahwa
setiap negara yang telah menandatangani Protokol Kyoto wajib berpartisipasi menurunkan emisi
gas karbon (termasuk didalamnya karbondioksida dan methane) untuk mengurangi pemanasan
global. Sayangnya, sejumlah negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia
hingga kini belum (karena tidak mau?) menandatangi protokol ini. Mereka beranggapan,
kesepakatan ini akan mengancam masa depan industi mereka. Padahal, AS tercatat sebagai salah
satu negara penyumbang emis gas karbon terbesar di dunia.

Dengan mengedepankan Protokol Kyoto, industri-industri stategis seperti industri migas, industri
transportasi, industri minyak dan gas didorong untuk menggunakan energi alternatif yang ramah
lingkungan. Artinya, sedapat mungkin meninggalkan penggunaan migas yang merupakan
sumber utama emisi gas karbon.

Disinilah beratnya. Hingga detik ini ketergantungan dunia terhadap migas masih sangat tinggi.
Dibeberapa negara, sektor migas justru menjadi penyumbang devisa terbesar. Kalaupun toh kita
ingin meminimalkan penggunaan migas, riset-riset di bidang non migas harus semakin
digalakan.

Saya berulang kali menulis dibeberapa media agar upaya diversifikasi dibidang energi terus
digalakan. Ini adalah salah satu cara alternatif untuk mengurangi emisi gas karbon. Dan ternyata,
beberapa sumber energi lainnya sangat aman dan ramah terhadap lingkungan. Sebut saja,
penggunaan energi surya untuk pemanas, pembangkitan listrik hingga sumber tenaga kendaraan
bermotor. Untuk dua contoh pertama yang saya sebutkan diatas bahkan sudah sejak lama
digunakan di beberapa tempat. Hanya soal publikasi dan produksi massalnya yang perlu
dipikirkan. Sementara untuk kendaraan bertenaga surya, hingga kini masih dalam riset lanjutan.
Yang jelas, di Jepang dan Jerman sudah ada prototype mobil bertenaga surya yang mampu
melaju hingga lebih dari 150 km per jam.

Teknologi ramah lingkungan seperti inilah yang perlu dikembangkan. Disamping merupakan
amanat dari protokol Kyoto, juga langkah jangka panjang untuk menyelamatkan masa depan.
Tugas perguruan tinggi, badan riset dan pemerintah untuk menciptakan iklim seperti ini. Para
ilmuwan dan teknolog harus menjadi garda terdepan, karena bagaimanapun juga “sakitnya” bumi
seperti saat ini secara langsung maupun tidak langsung akibat kemajuan teknologi yang
diciptakan oleh mereka sendiri. Mari selamatkan bumi kita. (*)

Nurhadi, Mahasiswa Tingkat Akhir di Jurusan Teknik Fisika ITS, dan peneliti pada insititusi
yang sama.

Anda mungkin juga menyukai