Anda di halaman 1dari 7

A.

Pendahuluan

Globalisasi adalah suatu proses yang multi-dimensi, meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya
dan ideologi.  Fenomena globalisasi mewujud dalam bentuk penyempitan waktu dan ruang
dalam hubungan sosial.  Artinya hubungan sosial antara individu dengan masyarakat maupun
antar masyarakat dalam suatu negara bahkan antar negara telah menjadi begitu transparan, tidak
lagi mengenal batas-batas politik. Perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi informasi,
perdagangan internasional, serta mobilitas tenaga kerja, modal dan keuangan antar negara sejak
tiga dasawarsa terakhir telah mengakibatkan peran ekonomi suatu negara secara individual
terhadap perekonomian global menjadi semakin kurang penting atau kurang berarti. Tentunya,
proses ini telah dan akan mempengaruhi suatu konstruk sistem sosial suatu masyarakat yang
telah mapan selama ini. Sejauh mana pengaruh ini, ditentukan oleh bagaimana sebuah
masyarakat atau negara itu memberikan respon terhadap globalisasi tersebut.
Globalisasi, dari perspektif pesimis, dapat mengarah pada melemahnya lembaga-lembaga
ekonomi nasional dalam menghadapi kekuatan-kekuatan global seperti perusahaan-perusahaan
multinasional dan pasar-pasar uang internasional, yang muncul adalah kecemasan memasuki
abad 21. Globalisasi hanya akan menghasilkan sedikit pemenang dan sejumlah besar pecundang.
Para calon pemenangnya adalah negara-negara industri maju, perusahaan-perusahaan
multinasional dan kelas profesional, sedangkan calon pecundangnya adalah sejumlah besar
negara-negara berkembang, usaha-usaha skala kecil dan menengah serta kelas buruh.  Dari
perspektif optimis, globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi masyarakat dan
negara-negara sedang berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan
bidang ekonomi dan sosial terhadap negara-negara maju. Beberapa data empiris memang
menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang yang terlibat secara aktif dalam
globalisasi cendrung mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik dibandingkan dengan
negara-negara yang relatif tertutup terhadap perekonomian dunia.

Makalah ini berupaya menguraikan jawaban dari beberapa pertanyaan tentang globalisasi dan
pengaruhnya terhadap negara berkembang (terutama negara-negara Muslim). Pertama, apakah
sebenarnya pengertian dan proses terjadinya globalisasi? Kedua, apa sajakah dimensi-dimensi
globalisasi? Ketiga, bagaimanakah implikasinya terhadap negara berkembang? Keempat,
bagaimanakah ekonomi Islam memberikan solusi kritis terhadap implikasi globalisasi tersebut?
Makalah ini tidak berusaha menguraikan pengaruh globalisasi terhadap negara berkembang
dalam segala aspeknya, tetapi penekanan ditujukan pada hubungannya dengan pembangunan
ekonomi di negara berkembang.

B. Globalisasi: Pengertian dan Proses

Pembicaraan tentang ‘globalisasi’ atau ‘global’ akhir-akhir ini cukup populer. Sebelum dibahas
lebih jauh, penjelasan tentang definisi diperlukan agar lebih jelas. Kata global berasal dari kata
“globe” dan mulai dimaksudkan sebagai planet yang berarti bumi bulat sejak beberapa abad yang
lalu.  Dalam bahasa Inggris kata sifat global populer sejak tahun 1890-an yang dimaksudkan
sebagai “keseluruhan dunia’ dengan tambahan arti “berbentuk bola”.  Istilah-istilah “globalize”
dan ”globalism” dalam penerbitan baru muncul 50 tahun yang lalu,  sedangkan istilah
“globalization” pertama sekali muncul dalam sebuah kamus (American English) tahun 1961, 
dan “global village” dipakai oleh McLuhan tahun 1964,  ketika menjelaskan kemajuan teknologi
komunikasi dan transportasi yang telah menciptakan sebuah dunia baru.

Penggunaan istilah globalisasi dalam wacana keilmuan kontemporer ternyata mempunyai banyak
arti. Menurut hasil kajian Scholte,  definisi globalisasi dapat dibagi kepada lima konsep.
Pertama, globalisasi adalah “internationalization.”  Global adalah kata sifat yang
menggambarkan hubungan-hubungan lintas batas antar negara, dan globalisasi menunjuk suatu
pertumbuhan pertukaran dan saling ketergantungan internasional. Konsep globalisasi dalam
pengertian pertama ini digunakan oleh Paul Hirst dan Grahme Thomson yang mengidentifikasi
globalisasi dalam pengertian “pertumbuhan dan perluasan arus perdagangan dan investasi modal
antar negara.”  Kedua, konsep globalisasi digunakan dalam arti “liberalization” yaitu suatu
proses menghilangkan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pemerintah terhadap
pergerakan-pergerakan antar negara agar tercipta suatu ekonomi dunia yang ‘terbuka’, ‘tanpa
batas’. Sander menyarankan agar globalisasi menjadi suatu slogan terkemuka untuk
menggambarkan proses integrasi ekonomi internasional.  Ketiga, konsep globalisasi digunakan
sebagai “universalization”, yaitu proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada
orang di seluruh penjuru bumi. Pengertian ini yang pertama sekali dimaksud oleh Oliver Reisre
dan B. Davies tahun 1940-an yang menggunakan kata kerja “globalize” dalam arti “universalize”
dan meramalkan suatu sistesis budaya planet dalam suatu “humanisme global”.  Keempat,
globalisasi berarti “westernization” atau “modernization”, khususnya dalam suatu bentuk
‘Amerikanisasi’.  Globalisasi adalah suatu dinamika dengan cara modernisasi struktur-struktur
sosial (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dll.) tersebar ke seluruh dunia,
biasanya, dalam prosesnya menghancurkan keberadaan budaya lokal dan penentuan nasibnya
sendiri. Globalisasi digambarkan seperti imperialisme McDonald’s, Hollywood dan CNN. 
Martin Khor menggolongkan kolonisasi Dunia Ketiga termasuk dalam pengertian ini.  Dan
kelima, konsep globalisasi diartikan sebagai “deterritorialization” atau “supraterritorialization”.
Globalisasi membawa suatu penyusunan kembali geografi, agar ruang sosial tidak lebih panjang
pemetaannya dalam pengertian tempat, jarak dan batas-batas wilayah. David Held dan Tony
McGrew dalam hal ini mendefinisikan globalisasi sebgai “suatu proses (atau sekumpulan proses)
yang mewujudkan suatu transformasi dalam ruang organisasi hubungan-hubungan dan transaksi-
transaksi sosial”.  Tampaknya Scholte sendiri lebih setuju dengan definisi kelima ini.
Menurutnya, globalisasi, suprateritorial atau istilah lain ‘transworld’, atau ‘transborder”
menggambarkan keadaan dimana ruang wilayah secara substansial adalah lebih penting.

Kelima definisi di atas, walaupun terdapat perbedaan secara substansial tetapi tetap menunjukkan
bahwa batas-batas wilayah, budaya, politik, sosial dan ekonomi tidak dapat menahan laju
globalisasi. Kelima definisi tersebut mewakili berbagai pola pemikiran aliran masing-masing.
Golablisasi secara substansial berarti transparannya berbagai batas baik wilayah, politik, sosial,
budaya maupun ekonomi yang selama ini sangat ketat. Walaupun demikian proses globalisasi
dan respon masing-masing negara berbeda-beda, terutama negara-negara berkembang.

Dari segi kemunculannya, terdapat perdebatan panjang tentang awal munculnya globalisasi. 
Menurut Immanuel Wallerstein,  proses globalisasi dapat dilihat dari tiga tingkat sistem sosial.
Pertama, mini system, yaitu gabungan satu pembagian kerja  dengan satu sistem budaya.
Ekonomi diusahakan melalui pertanian dan perburuan sederhana secara bersama. Kedua, world-
empires, mempunyai sistem budaya yang beragam tetapi satu sistem politik dengan satu
pembagian kerja. Contoh peradaban Cina, Mesir dan Roma. Dan ketiga, world-economics, yaitu
penggabungan politik dan budaya yang beragam dalam satu pembagian kerja. Pada tingkat
ketiga ini globalisasi dimulai yaitu pada abad ke-16.

Scholte  membagi proses globalisasi kepada tiga tahap. Pertama, munculnya suatu imajinasi
global hingga abad ke-18. tahap ini merupakan masa persiapan yang panjang tanpa suatu
konsepsi yang jelas. Globalisasi masih dalam imajinasi dan pemikiran. Ide-ide tentang bumi
sebagai satu tempat sudah ada, seperti agama-agama “dunia”. Kedua, globalisasi yang baru
mulai (incipient globalization), bahwa globalisasi sudah bukan imajinasi dan hubungan-
hubungan sosial yang lebih substantif muali dibangun dari tahun 1850-an hingga 1950-an. Tahap
ini dimulai oleh munculnya teknologi komunikasi, yaitu telegrap tahun 1850-an, telepon dan
radio tahun 1890-an, dan transportasi air tahun 1919. Dimulainya pasar global yang pertama
dengan berdirinya The London Metal Exchange (LME) tahun 1876. tahap ketiga, globalisasi
skala penuh (full-scale globalization), yaitu dimulai 1960-an. Pada tahap ini hubungan-hubungan
lintas dunia mencapai peningkatan yang besar selama empat dekade terakhir abad kedua puluh
baik dari segi jumlah, ragam, intensitas, kelembagaan, dan pengaruh fenomena globalisasi.

C. Globalisasi: Suatu Keniscayaan

Globalisasi pada prinsipnya dijelaskan oleh dua kata kunci; interaksi dan integrasi, yaitu
interaksi ekonomi antar negara dan tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi mencakup arus
perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi berarti bahwa perekonomian lokal
atau nasional setiap negara secara efektif merupakan bagian tak terpisahkan dari satu
perekonomian tunggal dunia. Karena itu globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu
kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi ke dalam satu perekonomian
tunggal yang bersifat global.

Globalisasi tidak serta merta wujud, tetapi terdapat berbagai faktor yang mendorong atau
menyebabkan globalisasi. Menurut Scholte,  paling tidak terdapat empat penyebab terjadinya
proses globalisasi. Pertama, penyebaran rasionalisme sebagai kerangka pikir pengetahuan yang
dominan. Rasionalisme merupakan suatu konfigurasi umum tentang pengetahuan yang
meningkatkan penyebaran pemikiran global dan, melalui rasionalisme tersebut, globalisasi
menjadi tren yang lebih luas. Kerangka pikir pengetahuan itu menyangkut (i) rasionalisme
adalah sekular, bahwa realitas adalah dunia fisik, materi, meniadakan daya-daya transenden dan
ketuhanan; (ii) rasionalisme adalah antroposentris, bahwa realitas dunia yang utama untuk
kepentingan dan aktivitas manusia (keutuhan lingkungan tidak diutamakan); (iii) rasionalisme
mempunyai karakter ‘ilmuwan’, bahwa fenomena yang dipahami melalui metode penelitian
‘objektif’ mempunyai kebenaran yang tak dapat dibantah; (iv) rasionalisme adalah alat, bahwa
rasionalisme merupakan alat untuk manusia dalam memecahkan masalah secara cepat. Kedua,
perubahan-perubahan utama dalam perkembangan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu struktur
produksi dimana aktivitas ekonomi diorientasikan pertama dan terutama kepada akumulasi
surplus. Kapitalisme mendorong globalisasi dalam empat cara: (i) global market (pasar global)
untuk meningkatkan volume penjualan dan mencapai skala ekonomi tertentu; (ii) glabal
accounting harga dan pertanggungjawaban beban untuk meningkatkan keuntungan; (iii) global
sourcing untuk meminimalisasi biaya produksi; dan (iv) global commodities sebagai tambahan
saluran akumulasi. Ketiga, inovasi-inovasi teknologi komunikasi dan pemrosesan data.
Kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah mendorong komunikasi global,
transaksi finasial global, koordinasi produksi dan pemasaran global, dan aktivitas-aktivitas global
lainnya. Keempat, konstruksi kerangka-kerja regulatory (peraturan) yang memungkinkan.
Regulasi yang menjadi motor penggerak globalisasi dalam empat cara: (i) standardisasi yang
bersifat teknis dan prosedural; (ii) liberalisasi pergerakan-pergerakan uang, investasi dan
perdagangan lintas batas negara; (iii) jaminan hak-hak milik modal global; dan (iv) legalisasi
organisasi dan aktivitas global.

Senada dengan pendapat Scholte di atas, menurut Firdausy,  ada tiga motor penggerak dalam
globalisasi ekonomi: pertama, liberalisasi yaitu liberalisasi aliran modal dalam bentuk aliran
uang yang menyertai perdagangan barang dan jasa, penanaman modal asing dan investasi porto-
folio. Kedua, privatisasi, karena secara teoritis dan praktis dapat berfungsi dalam
mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan
nasionalisasi. Kebijakan privatisasi pertama sekali dicanangkan oleh Perdana Menteri Margareth
Tatcher dari Inggris pada tahun 1979 dan terbukti sukses. Ketiga, deregulasi yaitu pengurangan
berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah yang tidak pro-pasar dan tidak pro-efisiensi
sehingga peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku
ekonomi dan bisnis.

Menurut The Group of Lisbon (1995) sebagaimana dikutip oleh Firdausy,  bentuk globalisasi
dapat dikategorikan menjadi tujuh jenis. Pertama, globalisasi keuangan dan pemilikan modal
melalui deregulasi pasar modal, mobilisasi modal internasional, merjer dan akuisisi. Kedua,
globalisasi pasar dan strategi ekonomi melalui integrasi kegiatan usaha skala intersional, aliansi
strategis, dan pembangunan usaha terpadu di negara lain. Ketiga, globalisasi ilmu pengetahuan
dan teknologi serta penelitian dan pengembangan. Keempat, globalisasi sikap hidup dan pola
konsumsi atau globalisasi budaya. Kelima, globalisasi aturan-aturan pemerintah. Keenam,
globalisasi politik internasional. Ketujuh, globalisasi persepsi dan sosial budaya internasional.

Menurut Scholte,  globalisasi paling tidak berhubungan dengan empat dimensi, yaitu dimensi
produksi, dimensi pemerintahan, dimensi komunitas, dan dimensi pengetahuan. Pada dimensi
produksi, globalisasi telah menimbulkan global kapital. Kapital tidak saja menjadi komoditas,
tetapi telah menjadi commodification.  Percepatan globalisasi telah memperluas skop
commodifikation ke dalam tiga area. Pertama, konsumerisme  – banyak berhubungan dengan
produk global – telah memperluas bidang industri kapital. Merek-merek global (global branding)
menjadi incaran para konsumen global ini, seperti Sony, Armani, Michael Jackson, Coca-Cola,
dan lain-lain. Kedua, pertumbuhan skop kapital finansial. Perbankan global, sekuritas global dan
jenis-jenis bisnis global lainnya telah secara luar biasa meningkatkan volume dan ragam
instrument finansial. Ketiga, globalisasi juga telah menciptakan keadaan-keadaan pertumbuhan
besar dalam kapital komunikasi dan informasi. Pada dimensi ini globalisasi juga mereorganisasi
perusahaan secara global. Globalisasi pada dimensi pemerintahan mempercepat lima perubahan
umum: (i) berakhirnya kedaulatan negara; (ii) reorientasi pelayanan suprateritorial sebaik
kepentingan wilayah negaranya; (iii) menurunnya tekanan terhadap jaminan keselamatan sektor
publik; (iv) redefinisi penggunaan peperangan; dan (v) meningkatnya ketergantungan terhadap
penyusunan regulasi multilateral. Pada dimensi komunitas, globalisasi mendorong (i)
peningkatan bentuk bangsa dari state-nation (negara-bangsa) kepada ethno-nation, region-nation,
dan transworld-nation; (ii) munculnya identitas kolektif yang tidak didasarkan pada kerangka-
kerja nasional; (iii) menikatnya komunitas manusia kosmopolitan kepada komunitas manusia
universal; dan (iv) tumbuhnya identitas hibrida  dan komunitas yang saling melengkapi dalam
politik dunia kontemporer. Globalisasi pada dimensi pengetahuan, disamping meningkatnya
rasionalime dengan berbagai atributnya seperti sekularisme, antroposentrisme, saintisme, dan
instrumentalisme, juga telah menumbuhkan pengetahuan non-rasional, seperti revivalisme
keagamaan, ekosentrisme, dan pemikiran pos-modernisme.

D. Implikasi Globalisasi terhadap Negara Berkembang

Kenyataannya, globalisasi bak air bah, tidak dapat dibendung, apalagi bagi negara-negara yang
telah menandatangani perjanjian WTO, termasuk Indonesia. Menurut Marzuki Usman seperti
yang dikutip oleh Mahmud Toha, globalisasi atau era kesejagatan bagi Indonesia adalah suatu
hal yang pasti karena Indonesia salah satu negara pendiri World Trade Organization (WTO),
yaitu dengan ditandatangani perjanjian WTO pada bulan April 1994 yang kemudian diratifikasi
oleh DPR pada bulan November 1994. Hakekat perjanjian tersebut adalah dunia akan menuju
kepada pasar bebas paling lambat sebelum tahun 2020.

Bagi negara-negara maju globalisasi lebih banyak berimplikasi positif ketimbang negatif, karena
mereka adalah negara-negara yang paling siap baik secara ekonomi maupun politik
dibandingkan negara-negara berkembang. Pasar bebas dan globalisasi, terutama bagi negara-
negara berkembang menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua pandangan yang kontradiktif
berkaitan implikasi globalisasi; pandangan optimis dan pandangan pesimis.

Bagi para ekonom dan pendukung kapitalisme, sperti Stern (2000) dan Madison (1998)
sebagaimana dikutip Mahmud Toha, globalisasi (i) dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
dan pengentasan kemiskinan; (ii) dapat mempercepat terwujudnya pemerintahan yang
demokratik dan masyarakat madani dalam skala global; (iii) tidak mengurangi ruang gerak
pemerintah dalam kebijakan ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang;
(iv) tidak berseberangan dengan desentralisasi; dan (v) bukan penyebab krisis ekonomi.

Pandangan kontradiktif diberikan oleh kalangan skeptis seperti Holley (2000) sebagaimana
dikutip oleh Mahmud Toha, bahwa globalisasi adalah: (i) sebagai kapitalisme kasino; (ii) anti
negara; (iii) sebagai kompetisi yang menghancurkan; (iv) sebagai pembunuh pekerjaan; (v)
merugikan kaum miskin; (vi) sebagai individualisme yang berlebihan; (vii) sebagai imperialisme
budaya; dan (viii) merupakan kompor bagi munculnya gerakan-gerakan neo-nasionalis dan
fundamentalis.

Implikasi-implikasi globalisasi bagi negara berkembang dapat dilihat uraian berikut ini. Pertama,
peningkatan integrasi perekonomian nasional ke dalam pasar global menjanjikan pembesaran
dramatis atas volume dan karakter arus-arus sumber daya internasional. Kenyataannya, tatkala
pasar-pasar nasional negara berkembang dibuka, pasar-pasar internasional justru banyak yang
masih tertutup bagi ekspor mereka. Proteksionisme negara-negara maju terhadap produk ekspor
negara-negara berkembang terus meningkat sebelum tercapainya Perjanjian GATT (Generat
Agreement on Tariff and Trade; Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan) pada tahun
1994 dengan dicapainya kesepakatan Uruguay Round dan WTO.  Bahkan, proteksionisme
negara-negara maju masih terus berlanjut setelah perjanjian GATT tersebut. Berbagai alasan
digunakan oleh negara-negara maju dalam melegalisasi proteksionisme mereka, seperti standar
kualitas barang yang rendah, negara pengekspor melanggar HAM atau perusak ekologi hutan
tropis, dan sebagainya.

Kedua, karena ekspansi perdagangan sangat ditentukan oleh sektor perbankan yang menjadi
sumber pembiayaan bagi semua transaksi dagang internasional itu, maka peningkatan ukuran,
daya saing, dan difusi pasar finansial internasional mengandung kekuatan potensial yang
besarguna menarik perekonomian berpendapatan rendah ke dalam perekonomian dunia secara
utuh. Bagi negara-negara berkembang peningkatan integrasi ke dalam pasar-pasar finansial
internasional sangat berpotensi untuk memperbaiki prospek mereka dalam upaya meningkatkan
fleksibilitas dan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Kenyataannya, proses globalisasi pasar
finansial dunia hanya akan menurunkan biaya-biaya transaksi dagang bagi negara-negara masju
yang sudah memiliki akses ke pasar-pasar internasional; sedangkan bagi negara-negara
berkembang yang sama sekali belum atau kurang memiliki akses itu, maka globalisasi pasar
finansial hanya akan memperbesar kerugian komparatif mereka.

Ketiga, globalisasi pasar finansial juga sangat rentan dari pelaku spekulan pasar uang dan pasar
modal. Ketergantungan setiap negara terhadap valuta asing menjadi sangat tinggi. Devisa yang
dikumpulkan negara dengan susah payah guna membiayai pembangunan dapat dengan mudah
dan dalam sekejap lari ke luar negeri (capital flight) oleh ulah para spekulan jahat yang hanya
memikirkan keuntungan pribadi. Streeten (2001) sebagaimana dikutip Toha,  memberikan bukti-
bukti empiris bahwa arus devisa global telah mencapai jumlah yang sangat mencengangkan yaitu
US $ 2 triliun setiap hari, 98 persen diantaranya untuk aktivitas ekonomi yang bersifat spekulatif.
Krisis keuangan yang terjadi di Indonesia yang diperkirakan sebagai “contagian effects” dari
krisis keuangan yang terjadi di Thailand adalah diakibatkan oleh ulah spekulasi ini.

Keempat, poses globalisasi ternyata cenderung memperkecil kekuatan dan pengaruh ekonomi
suatu negara secara individual, apalagi jika itu adalah negara berkembang yang kemampuannya
serba terbatas. Negara-negara berkembang yang tidak terlibat secara aktif atau secara langsung
ke dalam blok-blok perdagangan yang didominasi oleh dolar Amerika, yen Jepang atau mark
Jerman, baik di kawasan Amerika Utara, di Palung Pasifik maupun di Eropa, akan menghadapi
masa-masa sulit.

Kelima, proses globalisasi telah meningkatkan dominasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan


multinasional, para pemilik modal dan para menejer serta kelompok profesional. Masa dominasi
negara telah beralih kepada lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF (International
Monetery Fund) dan Bank Dunia (World Bank). Ketergantungan terhadap kedua lembaga ini
telah membuat negara-negara penerima bantuan atau peminjam tidak berdaya dalam menentukan
kebijakan-kebijakan ekonomi dan pembagunan negaranya. Bank Dunia dan IMF adalah corong
dan eksekutor paham ekonomi neo classic yang sangat mengagungkan kekuatan dan mekanisme
pasar sebagai mesin pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dunia. Instrumen kebijakan utamanya
adalah deregulasi, liberalisasi, privatisasi, devaluasi, dekontrol dan anti defisit anggaran belanja
negara.

Keenam, salah satu perwujudan ketidakadilan antar negara yang terus memburuk adalah
meningkatnya arus migrasi internasional ilegal, terutama migrasi tenaga kerja atau biasa dikenal
dengan istilah ‘international brain drain” dari berbagai negara Selatan yang miskin ke negara-
negara industri di Utara yang lebih makmur. Tetapi, bagi negara-negara maju tujuan migrasi itu
mulai merasa bahwa para pekerja pendatang tersebut merupakan ancaman terhadap
perekonomian dan juga kebudayaan serta “cara hidup” mereka.

Anda mungkin juga menyukai