Anda di halaman 1dari 11

by 

Artikel Buddhis on Thursday, February 11, 2010 at 10:23am

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan


Oleh Yang Mulia Bhikkhu Khantidharo

Secara umum perkawinan meruakan masalah yang dihadapi oleh


setiap orang, baik anak muda maupun orang tua. Bagi anak
muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan
maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi
pada waktu-waktu mendatang, dalam kehidupan berumah
tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena
anaknya sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda
menemukan jodohnya.

Seusia dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki


kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang
Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari
pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang
bagi mereka yang ingin hidup membujang, baik pria maupun
wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah
tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban
beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang hidup membujang
tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup
adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah,
baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, sampai
tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama
Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak
suci.

Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal.
Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-
undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang
harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat
ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah
mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi
tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan
dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini
berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang
suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.

Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka
pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan:

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”

Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga


bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang
praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang
Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang
harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami –
istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha
(keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna
(kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)

Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan


yang sama tersebut diatas, maka suami – istri akan dengan
mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan
suasana kehidupan yang penuh harmoni.

Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami –


istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki
sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat
sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti
yang dicita-citakan oleh semua orang.

Sehubungan dengan ini maka Sang Buddha menyebutkan


beberapa jenis pasangan suami istri yang memiliki sifat sifat:

* Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan wanita jahat


(raksasi/chava), ini merupakan pasangan yang brengsek.
* Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan seorang wanita
yang baik (devi), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.
* Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita jahat
(raksasa/chava), ini merupakan pasangan yang tak
seimbang.Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita baik
(devi). Pansangan pria yang baik dengan wanita yang baik atau
dikatakan pasangan deva dan devi ini adalah pasangan yang
paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang Buddha.
(Anuggtara N.II,57)

Sujata adalah menantu Anathapindika yang terkenal sebagai


seorang istri yang bengis, kejam dan tak kenal sopan terhadap
suami maupun mertuanya. Sewaktu Sang Buddha sedang
menguraikan ajarannya setelah menerima dana makan siang di
rumah Anathapindika. Sujata marah-marah dan memaki-maki
dengan suara yang keras dan kasar kepada pembantunya,
sehingga Sang Buddha menghentikan ceramahnya dan bertanya:

“Siapa itu yang marah-marah?”

dan dijawab oleh Anathapindika bahwa dia adalah Sujata,


menantunya yang sedang memarahi pembantunya.
Sang Buddha kemudian menyuruh memanggil Sujata untuk
menhadap. Ketika Sujata sudah menghadap, maka Sang Buddha
berbicara kepada Sujata, bahwa ada 7 (tujuh) jenis istri:

1. Istri Pembunuh (Vadha-kasama), yaitu seorang istri yang tak


kenal belas kasih batinnya kotor, membenci suami, menginginkan
pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh suaminya.
2. Istri Perampok (Corisama), yaitu seorang istri yang walaupun
seluruh hasil pendapatan suaminya sudah diserahkan pada
istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta itu untuk
kepentingan dirinya sendiri.
3. Istri Kejam (Ayyasama), yaitu seorang istri yang malas, kaku,
rakus, bengis, bicara kasa, suka bergunjing, menguasai siami,
boros, memperbudak suami, menjelek-jelekkan siami.
4. Istri Ibu (Matasama), yaitu seorang istri yang selalu
memperhatikan suaminya, bagaikan seorang ibu yang
menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik baik
kekayaan keluarga yang diperoleh suaminya.
5. Istri Saudara (Bhaginisama), yaitu seorang istri yang
memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani
suaminya dengan sopan dan berbakti dengan penuh lemah
lembut.
6. Istri Sahabat (Sakhisama), yaitu seorang istri yang selalu
bersikap riang terhadap suaminya, menyenangi kehadiran
suaminya. Bagaikan bertemu sahabat yang telah lama tidak
berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur,
tulus mengadi dan dapat mengarahkan suaminya.
7. Istri Pembantu (Dasisama), yaitu seorang istri yang bersifat
tenang, bebas dari kemarahan. Dengan hati yang tenang
bersedia menanggung derita bersama suaminya. Tanpa rasa
dendam dan selalu patuh terhadap suaminya. Mendengarkan
kata-kata suami dengan rendah hati.

Istri yang termasuk1, 2 dan 3 (pembunuh, pencuri, dan kejam),


setelah meninggal akan terlahir kembali di alam yang penuh
kesengsaraan. Tetapi istri yang termasuk 4, 5, 6, dan 7 (ibu,
saudara, sahahgat dan pembantu), setelah meninggal akan
terlahir kembali di dalam yang penuh kebahagiaan.

Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti
akan mendapatkan salah satu dari tujuh jenis istri ini. Kemudian
Sang Buddha bertanya kepada Sujata,

“Dan kami Sujata, termasuk jenis istri yang mana dirimu?”


Dengan batin yang tergugah Sdujata menjawab bahwa mulai saat
itu ia akan berusaha untuk menjadi pembantu bagi suaminya.
Sejak saat itu, Sujata berubah menjadi istri yang baik.
(Angguttara IV, 91 dst.J.269).

Sebaliknya seorang ssuamipun tentu memiliki sifat-sifat salah satu


dari 7 jenis istri seperti tersebut diatas. Pasangan siami istri akan
merupakan rumah tangga yang brensek, jika memili8ki sifat 1, 2
dan 3 seperti tersebut diatas. Tetapi Pasangan suami istri akan
menjadi harmoni kalau terdapat pasangan yang memiliki sifat-
sifat seperti tersebut dlam 4, 5, 6 atau 7 di atas. Selanjutnya
dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana
kewajiban suami-istri agar bisa menjalin hubungan rumah tangga
yang harmoni.

Seorang suami harus memperlakukan istrinya:

1. Menghormatinya
2. Ramah tamah dan tidak membenci
3. Setia
4. Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
5. Memberikan hadiah/ perhiasan.

Seorang istri harus memperlakukan suaminya:

1. Menjalankan kewajiban dengan baik dan bertanggung jawab


2. Ramah tamah terhadap sanak keluarga dari kedua belah pihak
3. Setia
4. Melindungi penghasilan suaminya (tidak boros)
5. Pandai dan rajin melaksanakan tugasnya.

Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu


pihak suami dan pihak istri. Oleh karena itu perkawinan yang
harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami
maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan
kehadiran mertua selaku orang tuanya sendiri, serta
memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri
(saudara ipar), sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian
pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman yang lainnya
dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau
menerima kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri,
dan demikian pula bagi saudara-saudara iparnya. Dalam dunia
rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan
mengorbankan anak-anak, hanya karena ikut campirnya atau
karena adanya dominasi mertua atau sauara-saudara ipar dalam
rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga
yang harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling
pengertian antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah


tangga yang harmoni. Jika dari 10 rumah tangga itu kita bisa
jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini
merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah
tangga itu ternyata hidupnya kurang harmoni (kalau tidak boleh
dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.

Sekalipun demikian bagi kawula muda tidak perlu takut untuk


berumah tangga, karena jodoh itu sebenanya sesuai dengan
karma kita masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya
tiak sesuai, penih dengan hari-hari cekcok, namun nyatanya
anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita bisa banyak
memperhatikan adanya pasangan suami-istri yang tidak
seimbang, namun rumah tangga mereka bisa berjalan lancar, dan
banyak yang bisa memdidik anak-anak mereka dengan sukses.
Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus
sama. Sepasang sepatu atau sandal tidak akan sama. Begitu pula
pasangan sendok dan garpu sama sekali tidak sama. Sendok dan
garpi hari-hari selalu bertarung diatas piring. Tetapi piring itu tak
pernah menjadi pecah. Dan kalau sendok dan garpu itu tidak
tarung diats piring maka kita tidak bisa kenyang, karena makan
kita tidak bisa tenang. Demikianlah meskipun rumah tangga itu
ada yang selalu cekcok, tetapi tak perlu rumah tangga itu harus
pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa
membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-
citakan? Bukan demikian. Hanya untuk membangun rumah
tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci
utamanya ialah kita harus mampu untuk menakhlukkan diri kita
masing-masing. Kita harus mampu menaklukkan / mengendalikan
nafsu-nafsu keinginan kita masing-masing.

Harmoni dengan keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja,


tetapi baru biusa diraih dengan perjuangan. Usaha yang ulet,
secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai
dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar
serta bekerja denga rajin dan ulet untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Untuk perjuangan batiniah dituntut
adanya semangat pengendalian diri, dengan selalu menjaga
kewaspadaan terhadap gerak gerik pikiran kita dennga biak. Hal
ini bisa dicapai dengan rajin melatih diri dalam meditasi.

Meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah yang dikatakan


mediasi benar, meditasi yang membawa berkah. Dalam hal ini
meditasi vipassana bhavana merupakan satu satunya jalan paling
cepat untuk bisa mengubah tingkah laku dan watak seseorang
yang kurang baik menjadi lebih tenang, sabar, tidak gelisah, tidak
mudah tersinggung, tidak membenci, tidak emosi dalam
menghadapi segala sesuatu dalam pergaulan sehari-hari, selalu
waspada, pikiran terkendali, serta bijaksana dalam segala
tingdakan yang diambil atau dihadapinya.
Dengan meditasi yang benar kita tak akan kecil hati, tak akan
takut, tak akan khawatir dalam menghadapi hari-hari mendatang.
Kita tidak akan takut menghadapai peristitwa-peristiwa yang
umumnya sering dipoandang mengganggu terhadap kebahagiaan
keluarga. Yang kini maksudkan disini ialah bagaimana kita bisa
tabah dalam menghadapi datangnya usia tua, sakit dan…. Saat-
saat yang tidak kita inginkan… yaitu datangnya kematian,
bagtaimanapun kita tak mungkin bisa menghindari datangnya tiga
peristiwa tersebut, karena tanpa diundang dia pasti datang. Yang
paling utama dalam hal ini ialah kita harus menyadari mulai
sekarang, mulai saat ini juga. Kita harus mempersiapkan diri
untuk menyambutnya dnegna lapang dada, dengan pikiran yang
penu ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga pada saat kita
harus meninggal kita telah bebas dari ikatan harta materi maupun
ikatan dengan anak, istri / suami, serta sanak saudara lainnya.

Dan jalan demikian hanya bisa dicapai melalui latihan mental


secara intensif. Dalam hal ini ialah meditasi vipassana bhavana.
Karena itu sangat penting bagi siapapun untuk berlatih meditasi
ini. Lebih-lebih bagi pasangan muda yang bercita-cita untuk
membangun rumah tangga yang harmoni, ia akan sukses jika
kedua belah pihak suka dan sering melatih diri vipassana
bhavana.. Meditasi ini merupakan cara satu-satunya untuk
menyelami Dhamma. Dhamma tak akan dapat dilaksanakan
dalam hidup sehari-hari hanya mendengarkan, diskusi, atau
membca buku-buku Dhamma, tetapi harus dilaksanakan dengan
perenungan yang mendalam (meditasi).

Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan jalan


menuju kepada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Hanya orang
yang memiliki keseimbangan lahirian dan batiniah yang akan
mampu menghadapi segala tantangan, godaan dan hambatan
dalam hidup ini, sehingga ia bisa merasakan hdiup ini penuh
dengan kebahagiaan.

Perceraian
Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya
masalah perceraian. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran San Buddha.
Masalahnya menjhadi timbul kalau ternaya dalam rumah tangga
suami-stri tidak terdapat kecocokan sehingga mereka tidak
mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha
selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta
berusaha sekuat mungkin untuk melatih diri agar dapat
mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada
umumna masih dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi
sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang muncul
dalam rumah tangga. Apakah dengan demikian agama Buddha
melarang adanya perceraian?

Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah


ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan
pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungmkin
lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan
seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau
sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat
(Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian
malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus
disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif
terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih
dan kasih sayang dari kedua orang tua.

Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau
mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan
anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dn membutuhkan
perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada
anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa
benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara
baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik
pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai
dengan Dhamma.
Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia
harus menceraikan istrinya terlebih dahulu? Tujuan menjadi
Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan
Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan
dengan itu maka bagi seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu
harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang
bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri
yang suaminya menjadi bhikkhu tidak perlu secara firmal minta
surat cera, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus
menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan
pisah meja makan, dan yang paling pentng adalah kesadarannya
untuk melepaskan suaminya ari lingkungan rumah tangganya.
Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika
istrinya minta surat cerai untuk kawin lagi.

Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri
yang suaminya menjadi bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat
cerai itu baru berlaku pada zmana peradaban modern ini. Hidup
berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan
bercerai sesuai dengan Dhamma.

Pada hakekatnya perselisihan atau eprtengkaran dalam keluarga


yahg menjurus pada perceraian adalah disebabkan karena salah
satu pihak ingin memaksakan kehendaknya kepada pihak yang
lain. Jika pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak
kita, maka jalan paling aman adalah kita sendiri yang harus
mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertentangan di antara
kita. Bagaimanapun juga harus dipertimbangkan bahwa
perceraian akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi
perkembangan pendidikan anak yang tidak dapat lepas dari
tanggung jawab orang tua..

Kesimpulan

* Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak


melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
* Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih
cepat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha untuk mengubah
tingkah kaku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi
lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu
waspada dengna pikiran terkendali serta bijaksana.
* Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan
latihan meditasi secara intensif, sehingga kita mampu
menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam
hidup ini, sehingga kita bsia merasakan hidup ini penuh dengan
ketentraman dan kebahagiaan.
* Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam
keluarga yang menjurus kepadaq perceraian adalah disebabkan
karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak yang
lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bsia menuruti
kehendak kita, maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri
yang harus berani mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi
pertengkaran di antara kita.

Anda mungkin juga menyukai