Azrin
Azrin
Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal.
Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-
undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang
harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat
ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah
mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi
tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan
dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini
berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang
suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.
Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka
pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”
Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti
akan mendapatkan salah satu dari tujuh jenis istri ini. Kemudian
Sang Buddha bertanya kepada Sujata,
1. Menghormatinya
2. Ramah tamah dan tidak membenci
3. Setia
4. Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
5. Memberikan hadiah/ perhiasan.
Perceraian
Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya
masalah perceraian. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran San Buddha.
Masalahnya menjhadi timbul kalau ternaya dalam rumah tangga
suami-stri tidak terdapat kecocokan sehingga mereka tidak
mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha
selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta
berusaha sekuat mungkin untuk melatih diri agar dapat
mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada
umumna masih dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi
sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang muncul
dalam rumah tangga. Apakah dengan demikian agama Buddha
melarang adanya perceraian?
Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau
mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan
anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dn membutuhkan
perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada
anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa
benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara
baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik
pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai
dengan Dhamma.
Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia
harus menceraikan istrinya terlebih dahulu? Tujuan menjadi
Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan
Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan
dengan itu maka bagi seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu
harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang
bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri
yang suaminya menjadi bhikkhu tidak perlu secara firmal minta
surat cera, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus
menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan
pisah meja makan, dan yang paling pentng adalah kesadarannya
untuk melepaskan suaminya ari lingkungan rumah tangganya.
Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika
istrinya minta surat cerai untuk kawin lagi.
Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri
yang suaminya menjadi bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat
cerai itu baru berlaku pada zmana peradaban modern ini. Hidup
berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan
bercerai sesuai dengan Dhamma.
Kesimpulan