PENDAHULUAN
Merencanakan kemungkinan bagi Gereja untuk berakar dalam budaya setempat membutuhkan
suatu pemahaman keberadaan budaya setempat dan bagaimana injil masuk dalam kebudayaan.
Romo Dick hartoko memberikan gambaran ringkas mengenai perjalanan Injil masuk ke dalam
kebudayaan yang dimulai dengan inkarnasi sang Firman, sampai kepada pertemuan Injil dengan
kebudayaan setempat melalui inkulturasi , suatu istilah yang lazim dipakai di kalangan Katolik.
Dalam inkarnasi Sang Firman, yang paling hakiki adalah kesaksian Yoh 1:14 bahwa “Firman itu
menjadi manusia, diam di antara kita”. “Manusia di sini bukan sebagai manusia an sich, tetapi
sebagai seorang Yahudi yang hidup pada awal Zaman Bersama (tarikh Masehi, C.E.), yaitu
Yesus dari Nazareth. Seluruh pewartaan-Nya mencerminkan latar belakang budaya Yahudi.
Melalui manusia yang satu itulah, Injil itu disampaikan kepada kita dalam bentuk kata-kata,
ungkapan-ungkapan, kiasan-kiasan, dan tindakan-tindakan, yang dengan sendirinya juga terikat
kepada suatu budaya tertentu pada waktu tertentu. Lebih rumit lagi kita tidak menerima Injil itu
dari tangan pertama, melainkan entah dari tangan keberapa. Injil yang kita kenal adalah Injil
yang telah mengalami proses inkulturasi selama berabad-abad dari satu konteks budaya ke
konteks budaya lainnya. Untuk sampai kepada manusia, Injil selalu membutuhkan wahana
budaya. Mengutip Paulus, ia bergerak dari “iman kepada iman”, tetapi juga dari satu kebudayaan
ke kebudayaan lain.
Dalam rangka untuk memberitakan Injil inilah Gereja hadir di tengah-tengah dunia. Tetapi dunia
yang mana? Ketika gereja ingin menyampaikan misinya tidak bisa tidak Gereja juga harus
sungguh-sungguh mengerti apa yang menjadi misinya, peka terhadap siapa dan bagaimana misi
itu hendak disampaikan. Hal ini menyangkut kondisi penerima Injil beserta dengan
kebudayaannya. Apa relevansi Injil terhadap kebudayaan? Dalam kehidupan kita sehari-hari,
masalah Injil dan Kebudayaan adalah masalah yang hidup dan masalah yang menyangkut
kehidupan. Mengapa demikian? Karena baik iman maupun kebudayaan adalah kesehari-harian
kita. Artinya, tidak pernah sejenakpun hidup kita itu dapat kita lepaskan dari iman yang kita
hayati dan dari kebudayaannya
Sebagai orang Indonesia yang tinggal di Jawa dan keturunan etnis Cina, saya mencoba melihat
bagaimana gereja bisa berakar dalam budaya setempat. Gereja bisa berakar dalam budaya
setempat jika gereja di dalam menjalankan misinya mau menjadi gereja yang kontekstual. Ada
kesan khususnya di kalangan para pendeta GKI “alergi” terhadap inkultarasi. Misalnya saja sikap
anti kebudayaan Cina di dalam diri pendeta, (kesaksian Eka Darmaputera) membuat “kakek
saya”, beberapa puluh tahun yang lalu, harus meninggal dunia tanpa sempat dibaptiskan.
Padahal, sebetulnya dari segi kepercayaan, komitmen, dan kesungguhan, beliau itu sudah sangat
dekat dengan kekristenan. Beliau menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, baik dengan
kata-kata maupun tingkah lakunya. Lalu proses inkulturasi yang bagaimana yang bisa dilakukan
oleh gereja?
KELUARGA-KELUARGA TIONGHOA
Bentuk rumahtangga orang Tionghoa yang mendasarkan diri pada sistem perkerabatan itu adalah
keluarga-luas. Keluarga luas dapat dibagi menjadi dua. Pertama, keluarga-luas yang terdiri dari
keluarga orang tua dan anaknya laki-laki yang tertua beserta isteri dan anak-anaknya dan
saudara-saudaranya yang belum nikah. Kedua, keluarga-luas yang terdiri dari orang tua dengan
anak-anak lelakinya beserta keluarga-batihnya masing-masing (Keluarga-batih terdiri dari suami,
isteri, dan anak-anak). Sampai dengan akhir abad ke-19 rumah tangga orang Tionghoa pada
umumnya masih mendasarkan diri pada bentuk-bentuk keluarga seperti itu.
Di kemudian hari, sejak dihapuskannya peraturan sistem perkampungan Tionghoa; yang dikenal
dengan daerah Pecinan itu, lambat-laun bentuk-bentuk keluarga tadi telah mengalami perubahan.
Hal sedemikian nampak jelas dalam kehidupan orang-orang Tionghoa yang telah berkenalan
dengan pendidikan dan kebudayaan Barat, terutama di antara orang-orang Tionghoa Peranakan.
Berkenaan dengan bentuk-bentuk keluarga itu, satu hal perlu diketengahkan di sini, yaitu bahwa
orang-orang Tionghoa melakukan pekerjaan dagang dan pekerjaan lainnya atas dasar sistem
perkerabatan; sistem keluarga, sistem klen.
PERKAWINAN
Kalau dalam tradisi Jawa kawin cerai merupakan kejadian yang dianggap menonjol dalam
perkawinan, maka sebaliknya pada masyarakat Cina, perceraian merupakan kejadian yang aib.
Masalah yang terkandung dalam perceraian adalah tidak ada rasa hormat di antara pasangan itu.
Istri tidak berbakti pada suami atau sebaliknya.
Ada juga kecenderungan pada orang Cina untuk berpoligami. Namun poligami ini harus disertai
dengan tanggungjawab yang berkenan dengan hao (bakti anak kepada orang tua), yaitu bila
seorang istri tidak bisa memberikan anak atau anak laki-laki. Anak laki-laki ini sangat
dibutuhkan dalam keluarga untuk meneruskan nama keluarga dan memimpin perayaan atau
upacara, serta memelihara abu leluhur di rumah. Sehubungan dengan hao tadi dapat terjadi
seorang isteri rela meminta sendiri kepada suaminya untuk mengambil seorang isteri lagi untuk
mendapatkan seorang anak laki-laki.
Dalam perjodohan dalam tradisi Cina juga mengenal catatan hari lahir dan horoscoop dari
gadis/calon isteri. Catatan horoscoop ini oleh pihak laki-laki diperiksa keserasiannya dengan
catatan horoscoop calon laki-lakinya. Horoscoop kedua calon mempelai ini juga dipakai untuk
menentukan hari baik untuk melangsungkan pernikahannya. Dengan sengaja ditetapkan bahwa
upacara pernikahan harus mahal, sulit dan agung untuk membuat pernikahan itu menjadi suatu
kejadian yang sukar dan penting dalam kehidupan seseorang. Bagi orang Cina perkawinan akan
menentukan bagaimana kelanjutan dari keturunan clan-nya.
PENUTUP
Injil memerlukan kebudayaan, Injil perlu membudaya, tapi Injil tidak sama dengan kebudayaan.
Sebaliknya kebudayaan memerlukan daya kritis dan transformatif dari Injil terus menerus.
Keberadaan Cina sebagai masyarakat dan dalam gereja di Indonesia dapat dipahami sebagai
kebangsaan, etnisitas, kebudayaan, atau agama; dan bahwa “ketionghoaan yang direlatifkan”
dapat dipahami sebagai keutuhan yang ada dalam perspektif baru, unsur-unsur ketionghoaan
tertentu dapat ditinggalkan, tetapi hal yang positif dapat disumbangkan sebagai unsur pluralistik
pada masyarakat majemuk Indonesia.
http://forumteologi.com/blog/2007/07/10/gereja-yang-berakar-pada-budaya-tionghoa-di-tanah-
indonesia/