Laut menyimpan potensi energi yang luar biasa besar. Selain angin kencang
yang melintasi permukaannya, luasnya area yang terkena matahari, serta gelombang
dan pasang surutnya memungkinkan dihasilkannya energi listrik yang tidak kunjung
habis.
Masih berkaitan dengan potensi energi yang dimiliki laut, saat ini sudah banyak
dikembangkan teknologi yang mengubah energi gelombang laut menjadi listrik. Dan
sebagian besarnya hanya memanfaatkan satu jenis potensi energi yaitu gelombang
laut.
Barangkali berangkat dari usaha untuk memanfaatkan lebih banyak potensi energi yang
ada di laut, Seung Woo Jung, Jung Seung Woo, Kim Hyun Jun dan Kim Min Jung
--desainer-desainer Korea-- mencoba menawarkan konsep pembangkit listrik tenaga
gelombang laut dan surya yang termasuk baru.
Mereka membuat sebuah desain pembangkit listrik yang dinamakan WSG --Wave and
Solar Energy Generator-- untuk memanen energi surya dan gelombang laut. Prinsip
kerjanya pun sederhana. Sebuah pelampung dihubungkan dengan kabel transmisi yang
juga sekaligus berfungsi sebagai penambat yang tertanam di dasar laut.
Uniknya, desain mereka memanfaatkan pegas yang berfungsi untuk menggulung kabel
kembali dan terhubung dengan generator. Sistem tersebut tersimpan di dalam
pelampung. Mirip dengan meteran gulung dengan pelat kuning bertuliskan angka-angka
di atasnya sebagai analogi dari kabel transmisi.
Ketika pelampung berada di lembah gelombang, maka pegas akan menggulung kabel
transmisi. Gerakan berputar menggulung kembali tersebut akan menggerakkan
generator yang terhubung dengannya. Sedangkan ketika gelombang laut membawa
pelampung mencapai puncaknya, maka kabel transmisi akan tertarik serta memutar
generator. Kedua langkah tersebut berulang-ulang akan menghasilkan listrik.
Selain energi gelombang laut, perangkat yang dibuat oleh para desainer Korea tersebut
juga memanen energi surya. Di bagian atas pelampung, panel-panel surya fleksibel
digunakan untuk melapisi pelampung, sehingga pada siang hari ketika matahari
bersinar, listrik yang dihasilkan kemungkinan menjadi lebih besar. Dan ketika malam
tiba, sebagian kecil dari energi listrik yang dihasilkan gelombang laut digunakan untuk
memendarkan cahaya pada pelampung dan menjadi semacam mercu suar untuk
memandu kapal-kapal yang melintas di dekatnya.
Meski konsep tersebut sangat menarik, tetapi berbagai riset dan pengembangan harus
dilakukan agar konsep yang ada bisa diaplikasikan pada kondisi riil, sama seperti
halnya pembangkit listrik lainnya yang didesain mampu bertahan dalam kondisi laut
yang ekstrim.
designboom
Solar Energy
Ada bermacam-macam aplikasi teknologi yang telah dikembangkan untuk mengambil manfaat
energi surya. Teknologi tersebut dapat dibaca lebih jauh berikut ini.
Sistem Fotovoltaik
Sel surya bekerja dengan mengubah secara langsung sinar matahari menjadi listrik.
Elektron-elektron di dalam bahan semikonduktor, bahan yang digunakan untuk
menangkap sinar matahari, akan bergerak ketika energi matahari dalam bentuk foton
menabraknya. Energi matahari yang memaksa elektron berpindah, terjadi secara terus
menerus, dan akibatnya terjadi pula produksi listrik yang kontinyu. Proses tersebut,
yang mengubah sinar matahari (foton) menjadi listrik (tegangan), disebut dengan efek
fotovoltaik.
Modul Sel Surya
Sel-sel surya biasanya disusun menjadi modul-modul yang setiap modulnya bisa terdiri
dari 40 sel surya. Sejumlah modul bisa disusun untuk membentuk barisan PV yang
dipasang dengan sudut tetap menghadap selatan. Atau bahkan bisa dipasang di
sebuah perangkat penjejak sinar matahari, untuk mendapatkan energi matahari lebih
banyak sepanjang hari. Beberapa barisan PV bisa menghasilkan daya yang cukup
untuk sebuah rumah. Sedangkan untuk aplikasi industri atau perusahaan listrik, ratusan
baris PV bisa dihubungkan untuk membentuk satu sistem PV besar dan cukup untuk
memenuhi kebutuhan listriknya.
Unjuk kerja sel surya bisa diukur dengan melihat efisiensinya dalam mengubah sinar
matahari menjadi listrik. Hanya rentang energi tertentu dari sinar matahari yang secara
efisien bisa diubah menjadi listrik, dan sebagian besarnya dipantulkan ataupun diserap
oleh bahan pembentuk sel surya.
Karena beberapa hal tersebut, maka efisiensi sel surya komersial hanya sebesar 15%,
atau sekitar seperenam dari sinar matahari yang menghasilkan listrik. Semakin rendah
efisiensinya, maka semakin lebar panel surya yang dibutuhkan, dan artinya, semakin
mahal harga yang harus dibayarkan. Meningkatkan efisiensi sel surya dengan tetap
mempertahankan harga tetap rendah merupakan tantangan yang harus
dipecahkan. Hingga kini, sedikit demi sedikit tantangan tersebut bisa diatasi, terbukti
dengan efisiensi sebesar 15% saat ini dimana pada tahun 1950an, efisiensi masih
kurang dari 4%.
Pemanas Air Tenaga Surya
Air dangkal di sebuah kolam atau danau cenderung lebih panas
dibandingkan dengan air yang berada di tempat yang lebih dalam. Hal
tersebut terjadi karena matahari bisa memanaskan dasar kolam atau
danau di area yang lebih dangkal, dan itu berarti air yang berada di
atasnya juga menjadi panas.
Dengan prinsip yang sama, sinar matahari bisa digunakan sebagai pemanas air di bangunan
dan kolam renang. Sebagian besar sistem pemanas air yang menggunakan matahari sebagai
sumber panasnya, terdiri dari dua bagian utama : kolektor sinar matahari dan tangki penyimpan.
Kolektor yang umum digunakan adalah kolektor pelat datar. Kolektor tersebut terdiri dari kotak
datar tipis dengan tutup bagian atasnya transparan dan menghadap ke arah matahari. Pipa-
pipa kecil yang ada di dalam kotak tersebut membawa cairan, yang bisa berupa air ataupun
cairan lain, untuk dipanaskan. Pipa-pipa tersebut dipasangkan pada pelat berwarna hitam yang
berfungsi untuk menyerap panas dari matahari. Setelah panas terbentuk di kolektor, cairan
yang berada di dalam pipa-pipa tersebut
menjadi panas.
Sistem yang digunakan untuk kolam renang jauh lebih sederhana. Pompa penyaring kolam
renang digunakan untuk mengalirkan air melalui sebuah kolektor sinar matahari, yang biasanya
terbuat dari plastik atau karet hitam, dan air panasnya kemudian dialirkan kembali ke kolam
renang.
Solar Thermal
Sistem parabolik memusatkan energi sinar matahari dengan menggunakan cermin panjang
berbentuk U. cermin-cermin tersebut diatur mengarah sinar matahari dan memusatkan sinar
matahari ke sebuah pipa berisi minyak yang memanjang di tengah-tengah titik pusat parabolik
tersebut. Minyak panas tersebut digunakan untuk mendidihkan air di generator uap
konvensional dan menghasilkan listrik.
Satu-satunya mesin yang mengubah energi listrik menjadi energi kinetik dan
kemudian menyimpannya untuk dipergunakan kembali, tidak lama lagi akan menjadi
yang pertama di dunia yang dihubungkan ke jaringan listrik.
Penyimpan energi dengan sistem flywheel atau roda gaya sebenarnya termasuk
teknologi kuno, hanya saja kini dengan teknologi yang lebih maju mesin tersebut mulai
diperhitungkan sebagai media penyimpan energi selain baterai dan garam cair.
Beacon Power Corporation, perusahaan yang mempunyai ide tersebut saat ini sedang
membangun fasilitas senilai 69 juta US dolar yang didalamnya terdapat mesin-mesin
penyimpan energi berkapasitas 20 MW di New York, AS.
Mesin yang digunakan oleh Beacon Power Corporation menggunakan bahan komposit
serat karbon yang membentuk lingkaran dan berputar dengan kecepatan tinggi dalam
ruang yang kedap udara. Mesin tersebut sesuai dengan namanya --flywheel-- memang
berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi kinetik yang sewaktu-waktu bisa
dimanfaatkan ketika permintaan pasokan atau beban mengalami kenaikan atau ketika
pembangkit listrik energi terbarukan --angin atau surya-- tidak dapat menyuplai listrik.
Fasilitas penyimpan energi tersebut akan mengurangi emisi karbon dioksida hingga 82
persen selama 20 tahun masa pakainya. Selain ramah lingkungan jika dibandingkan
dengan pembangkit listrik konvensional, kemampuannya mengimbangi permintaan
listrik oleh beban juga sangat responsif. Perubahan permintaan daya di beban mampu
ditanggapi dalam empat detik, dan cukup untuk menyuplai daya selama 15 menit.
ecocentrism
lmuwan Kembangkan Kristal Penyimpan Hidrogen Yang Juga Bisa
Dimakan
Hidrogen adalah bahan bakar bagi kendaraan masa depan. Layaknya bahan
bakar, maka hidrogen membutuhkan tempat penyimpanan yang dicangkokkan ke
dalam kendaraan --khususnya kendaraan fuel cell-- tersebut.
Dua metode yang saat ini digunakan untuk menyimpan hidrogen adalah degan
membekukan hidrogen --berupa gas-- menjadi cair dalam suhu -250 derajat Celcius
atau dengan memberinya tekanan. Kedua metode tersebut cukup praktis, hanya saja
keduanya membutuhkan sistem yang membuat kendaraan-kendaraan tersebut kelak
tetap akan mahal.
Metal-organic framework sendiri saat ini memang sudah banyak digunakan, hanya saja
masih terbuat dari molekul organik yang diturunkan dari minyak seperti benzena yang
sulit diproduksi dan beracun.
Bahkan menurut klaim tim riset tersebut, jika alkohol dan air kemudian dipisahkan dari
material, satu gram material akan memberikan ruang setara dengan 6,5 kali lapangan
tenis untuk menyimpan hidrogen. Selain itu karena material --oleh beberapa anggota
tim riset yang pernah mencicipinya, serasa seperti kerupuk-- tersebut sudah tersedia di
pasar, maka kemungkinan metode tersebut lebih terjangkau dan kendaraan fuel cell di
masa depan tidak lagi akan tetap mahal.
Beberapa waktu lalu, dalam ajang 240th National Meeting of the American
Chemical Society di Boston AS, sebuah perangkat dilaporkan mempunyai potensi yang
menyerupai baterai.
Perangkat tersebut --atau biofuel cell baru-- menurut Shelley Minteer, Ph.D., --dari Saint
Louis University di Missouri Amerika Serikat-- jika dikembangkan lebih jauh bisa
menggantikan baterai isi ulang untuk berbagai aplikasi perangkat elektronik yang lebih
luas, seperti telepon seluler, laptop dan sebagainya.
Biofuel cell baru tersebut menggunakan teknologi yang dimiliki mitochondria untuk
menghasilkan listrik. Mitochondria merupakan bagian dari sel yang berfungsi menyerap
kalori dan kemudian mengubahnya menjadi energi kimia. Proses tersebut dikenal
dengan respirasi sel. Mitochondria menggunakan zat kimia hasil penguraian kalori yang
disebut pyruvate untuk membuat zat lain bernama ATP (adenosine triphosphate) yang
berfungsi menyimpan energi hingga diperlukan.
Minter bersama koleganya membuat biofuel cell baru tersebut dengan menempatkan
lembaran tipis mitochondria di antara dua elektrode, termasuk elektrode gas permeabel.
Dalam uji coba biofuel cell baru tersebut, listrik bisa dihasilkan dengan menggunakan
gula atau minyak goreng sebagai bahan bakarnya.
Meski biofuel cell bukanlah hal baru, tetapi pemakaian mitochondria termasuk yang
baru dilakukan. Dan fungsinya yang tidak memerlukan proses lain selain yang
dilakukan oleh mitochondria tersebut itu sendiri menjadikan biofuel cell tersebut lebih
efisien dibanding biofuel cell lainnya.
Serat yang lebih kecil lebih mudah dilengkungkan dibanding kristalnya dan karenanya
lebih mudah menghasilkan muatan listrik. Sejauh ini efisiensi yang bisa dicapai adalah
18%, lebih tinggi dibanding sumber energi eksperimental lainnya.
Xu menambahkan, karena ukuran serat dan piringan bisa disesuaikan, maka suara
sekecil apapun seperti getaran dan aliran air, bisa digunakan untuk menggetarkannya.
Dengan teknologi yang tepat, Xu membayangkan energi-energi yang lebih kecil bisa
dipanen lebih banyak, misalnya berjalan sambil mengisi ulang telepon seluler atau
pemutar musik, dan hembusan angin bisa menyalakan lampu-lampu jalanan.
Tim Riset MIT Gunakan Virus Untuk Hasilkan Hidrogen
Tim Planethijau
Angela Belcher, profesor Ilmu Bahan dan Rekayasa Teknik dan Biologi, bersama
timnya merekayasa genetik virus bakteri M13 yang tidak berbahaya. Hasil rekayasanya
tersebut menjadikan virus akan menarik dan mengikat molekul-molekul katalis, yang
oleh tim tersebut dipilihkan iridium oksida, serta bio-pigmen yaitu porphyrins seng
sebagai penangkap sinar matahari. Karena kemampuannya tersebut, virus juga
berfungsi sebagai pengatur pigmen dan katalis berjarak tertentu yang bisa memicu
reaksi pemisahan molekul air.
Hanya saja tanpa perlakuan khusus, semakin lama virus-virus tersebut akan kehilangan
efektivitas, karenanya akan terbentuk
gumpalan-gumpalan. Solusinya, tim tersebut menggunakan matriks mikrogel sebagai
pembungkus virus-virus tersebut agar jarak antar mereka tetap dan seragam serta
menjaga kestabilan dan efisiensinya.
Hasilnya, oksigen yang bisa dipisahkan lebih banyak empat kali lipat dari sistem
konvensional. Jika sistem tersebut bisa memberikan hasil yang baik pada oksigen,
maka para peneliti tersebut berkeyakinan bahwa separuh proses lainnya, yaitu
pemisahan hidrogen juga bisa dilakukan sevara biologis. Mereka saat ini sedang
melakukan penelitiannya sekaligus juga mencari katalis yang lebih murah dan mudah
didapatkan dibanding iridium oksida yang mereka gunakan.
Meski Belcher dan timnya tidak menetapkan kapan sistem tersebut siap secara
komersial, tetapi mereka berharap dalam waktu dua tahun ini mereka bisa
mengembangkan satu sistem yang bekerja untuk memisahkan hidrogen dan oksigen
sekaligus.
Massachusetts Institute of Technology
Profesor Haim D. Rabinowitch dari Robert H. Smith Faculty of Agriculture, Food and
Environment, mahasiswa riset Alex Golberg dari School of Computer Science and
Engineering, keduanya dari Hebrew University, bersama dengan Profesor Boris
Rubinsky dari University of California di Berkeley, pada dasarnya bermaksud
mempelajari proses elektrolitik yang terjadi pada organisme hidup untuk diterapkan
pada berbagai aplikasi.
Dalam risetnya mereka mendapati bahwa menggunakan seng dan tembaga yang
dipasang pada kentang yang direbus menghasilkan listrik hingga 10 kali lipat dibanding
kentang yang tidak direbus. Dari hasil analisa biaya, baterai kentang bisa lima hingga
lima puluh kali lebih murah dari baterai komersial 1,5 Volt.
Jika Anda tertarik untuk mencobanya, silakan Anda melakukan sedikit eksperimen
dengan berbagai jenis umbi-umbian atau buah-buahan, karena menurut para peneliti
tersebut semuanya bisa menghasilkan listrik dengan syarat perlu diberikan perlakuan
khusus terlebih dulu agar bisa menghasilkan listrik yang cukup besar.
Business Wire
Ilmuwan Gunakan Lilin dan Sabun Untuk Membuat Baterai Isi Ulang
Yang Lebih Baik
Baterai lithium ion isi ulang hingga kini masih jauh lebih mahal dibandingkan
dengan baterai biasa. Mahalnya baterai tersebut terutama disebabkan oleh material
yang digunakannya. Tetapi karena kebutuhan akan baterai tersebut dalam pemakaian
sehari-hari merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan, maka konsumen tidak ada
pilihan lain kecuali memakainya.
Berangkat dari hal tersebut, berbagai penelitian dilakukan untuk menghasilkan baterai
lithium ion oksida logam yang lebih murah. Salah satu yang berhasil mendapatkan
material yang murah sebagai pengganti elektrodenya adalah ilmuwan dari Pacific
Northwest Laboratory Departemen Energi AS.
Dalam risetnya, Daiwon Choi --ilmuwan tersebut-- menemukan bahwa lilin kecil dan
sabun dapat digunakan untuk membuat elektroda yang lebih baik. Choi menggunakan
metode sederhana untuk mengubah logam lithium fosfat menjadi elektrode dengan
menggunakan lilin parafin dan asam oleat cair.
Material elektroda yang telah dicampur dengan lilin kecil dan asam oleat tadi dibiarkan
hingga terbentuk kristal dan membentuk dirinya menjadi sebuah pelat-pelat nano pada
saat suhu mencapai 400 derajat celcius.
Dalam uji cobanya, pelat-pelat nano tersebut mengalami proses pengisian dan
pembuangan muatan listrik, dan didapati memiliki kapasitas penyimpanan lebih dari 150
miliAmpere jam per gram dari material yang digunakan. Angka tersebut lebih tinggi dari
yang pernah dicapai ilmuwan-ilmuwan lainnya.
Riset Para Peneliti Cina Tingkatkan Unjuk Kerja Baterai Lithium Ion
Berbasis Air
Baterai sebagai media penyimpan energi, terutama yang bersumber dari energi
terbarukan merupakan bagian penting dari sebuah sistem pembangkit listrik, teknologi
mobil masa depan ataupun teknologi ramah lingkungan lainnya.
Saat ini teknologi lithium ion merupakan teknologi baterai yang dianggap paling
berpotensial sebagai penyimpan energi. Densitas energi yang besar dengan
dimensinya yang semakin kecil menjadi keunggulannya jika dibandingkan dengan
teknologi baterai lainnya. Meskipun demikian usaha untuk mendapatkan baterai yang
lebih baik terus dilakukan.
Salah satunya adalah baterai lithium ion dengan cairan elektrolit air. Umumnya baterai
menggunakan cairan kimia organik seperti ethylen karbonat yang beracun dan mudah
terbakar. Meski baterai berbasis air tersebut belum memiliki kehandalan seperti baterai
berbasis kimia organik, tetapi biaya produksinya lebih murah serta aman. Saat ini
efisiensi baterai tersebut masih rendah. Setelah 100 kali siklus isi ulang, kapasitas
penyimpanan turun menjadi 50%.
Berkaitan dengan hal tersebut, para peniliti di Cina berhasil meningkatkan efisiensinya.
Yong-Yao Xia , yang memimpin tim riset dari Fudan University menjelaskan bahwa
penggantian elektrode pada baterai tersebut sangat berpengaruh pada kestabilan isi
ulangnya.
Elektroda yang biasa digunakan pada baterai lithium ion konvensional diganti dengan
elektroda yang dilapisi dengan karbon. Selain itu, menurut para penilit tersebut
kehadiran oksigen dalam sistem sangat mempengaruhi kinerja baterai. Karenanya
mereka menghilangkannya dari sistem agar dicapai kestabilan yang lebih baik.
Lemari pendingin yang Anda miliki ataupun yang dijual di pasaran masih
menggunakan teknologi konvensional, dimana fluida kerjanya menggunakan
hydrofluorocarbon yang diyakini bisa menjadi kontributor gas rumah kaca jika tidak
ditangani dengan benar ketika lemari pendingin mencapai umur pakai maksimum,
maupun ketika terjadi kerusakan atau kebocoran.
Di masa depan, lemari pendingin semacam itu bisa menjadi kurang menarik dan
kemungkinan malah tidak akan diproduksi lagi. Pasalnya, beberapa waktu terakhir riset
tentang fenomena efek magnetokalor banyak dilakukan, antara lain oleh ilmuwan
Lawrence Berkeley National Laboratory di California, AS, selain beberapa riset yang
telah dilakukan ilmuwan-ilmuwan lain sebelumnya( )(2)(3). Aplikasi teknologi tersebut
1
adalah sebagai pendingin yang tidak menyerap energi banyak, tidak menimbulkan
kebisingan dan tidak memerlukan hydrofluorocarbon layaknya lemari pendingin
konvensional.
Ahli fisika Lawrence Berkeley National Laboratory, Sujoy Roy bersama tim risetnya,
saat ini sedang mempelajari fenomena tersebut. Karena magnetokalor berkaitan
dengan material, maka menurutnya trik yang tepat untuk mendapatkan temperatur yang
cukup rendah ada pada materialnya. Logam campuran yang tepat akan mampu
menghasilkan efek tersebut pada suhu ruang tanpa menyerap banyak energi serta
yang lebih penting adalah harganya yang murah. Hasil riset mereka juga diterbitkan
dalam jurnal Physical Review.
Meski langkah panjang riset tentang hal itu masih harus dilakukan, tetapi semuanya
sudah menuju arah yang sama, bahwa jika efek tersebut bisa didapatkan, maka tidak
hanya lemari pendingin, laptop dan perangkat elektronika serta pendingin udara mobil
dan rumah bisa menggunakan teknologi tersebut.