Anda di halaman 1dari 2

tanda-tanda politik pada masa reformasi May 3, '09 1:17 AM

for everyone
[Politik] Setelah 10 Tahun Reformasi, Apa Yang Berubah?
Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Pada
mulanya, agenda yang diusung cukup beragam, dari tuntutan untuk mengakhiri prakt
ik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN); Soeharto harus lengser; re-demokratisas
i dari sistem otoriter, pencabutan dwifungsi ABRI, pemulihan krisis politik-ekon
omi, serta sejumlah agenda politik lainnya.
Lantas, setelah 10 tahun berjalan, kemajuan dan kemunduran apa yang patut kita c
atat? Dan pelajaran apakah yang dapat kita ambil?
Anomali dan Kemunafikan Politik
Politik di Indonesia pasca jatuhnya Soeharto terjadi dalam suasana change to cha
nge, yang sifatnya bukan lagi transisional, tetapi dapat disebut sebagai transak
sional.
Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezi
m otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri
dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. T
ransaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim "baru," berkom
promi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam
suasana reformasi.
Kekuatan politik (partai politik dan tokoh-tokohnya) yang lahir di masa reformas
i, apakah itu PAN, PDIP, PKB, PKS, serta sejumlah partai dan tokohnya yang lain,
kurang mampu mendorong gerbong perubahan yang lebih terarah. Wajah politik Indo
nesia justru terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan.
Ciri ini mirip dengan anomali politik, di mana sistem politik yang dibangun kura
ng memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi de
mokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi.
Dampaknya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama
untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebalikn
ya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.
Kita dapat mencatat sejumlah hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penye
baran," yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut sistem presidens
ial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer te
rjadi. Kedua, terjadi kontradiksi aturan main antara pusat dan daerah, kepastian
hukum yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan.
Ketiga, agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang
menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit diubah dari wajah perpolitikan Ind
onesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga So
eharto sebagai patron, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai d
ari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. KKN sebagai agenda utama yang harus
diberantas justru mengalami metamorfosis.
Bentuk-bentuknya berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menja
di bangsa yang munafik karena dalam praktiknya, KKN justru semakin terjadi secar
a transparan. Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi
sejak akhir 1997 dan awal 1998.
Keempat, kita menyaksikan fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah" di mana-m
ana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Kita menyaksikan drama kolosal pa
ra koruptor menjadi "pahlawan" di televisi dan tidak punya rasa malu. Padahal, p
ersoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini
sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah.
Tetapi, mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru
saja berlalu. Aji mumpung menjadi fenomena umum karena di mana ada kesempatan b
erkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik-praktik korupsi. Berapa
banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masala
h itu.
Kelima, agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan,
bahkan kini muncul wacana "dibebaskan" dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku
elite yang berkuasa memang "ambivalen," di satu sisi menghendaki kasus Soeharto
terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian m
aaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto d
alam perjalanan 10 tahun reformasi.
Tidak heran bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 men
ghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatif. Kita menyaksikan
elite politik yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secar
a umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjat
uhan Soeharto tidak dijalankan.
Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang b
erkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, serta sejum
lah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politi
k yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari jurus se
lamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan
kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).

Anda mungkin juga menyukai