Anda di halaman 1dari 6

MERAWAT & MENJAMAS PUSAKA

Menjamas pusaka adalah proses merawat dan menjaga pusaka hingga tetap bebas dari
karat hingga terjaga dari kerusakan. Proses merawat pusaka ini mulai dari proses
membersihkan dari karat / mutih, mewarangi, hingga meminyaki dan memberi
wewangian pada pusaka. Keseluruhan proses ini disebut proses Jamasan Pusaka. Dan
yang terpenting dari seluruh proses ini adalah sikap batin kita yang harus “nderek
langkung” alias permisi, menghormati dan tidak meremehkan. Hal tersebut merupakan
penghormatan kita atas kerja sang empu dan atas berkah Tuhan atas pusaka tersebut.

I. MENCUCI PUSAKA / MUTIH


Syarat mutlak agar bilah keris bisa diwarangi dengan baik, adalah bilah harus diputih
dengan baik terlebih dulu, setelah terlebih dulu dibersihkan dari berbagai noda, kotoran
atau karatnya – termasuk warangan yang terdahulu / lama / bekas. Cara ini disebut
“mutih”.

Salah satu cara tradisional mutih adalah :


Rendam bilah keris dengan air kelapa tua (asam lemah) selama beberapa hari, bergantung
kadar kotoran dan karatnya. (air bisa ditaburi dengan bunga setaman)
Gosok bilah dengan jeruk nipis sehingga menjadi putih keperakan
Buah lerak dibuang isinya dan diberi sedikit air dalam mangkok agar berbusa. Dengan
sikat halus, gosok keris yang telah dimandikan tadi dengan air lerak. Saat menggosok
keris dengan sikat jangan dibolak-balik. Sebaiknya mulai dari pesi sampai ganja terus ke
awak-awak hingga pucuk. Lakukan dengan pelan dan mantap hingga benar-benar bersih.
Lebih hati-hati lagi jika membersihkan keris kinatah atau keris yang kembang kacangnya
sudah sangat tipis.
Lakukan pada bilah keris baliknya.
Setelah benar-benar bersih, keringkan dengan menggunakan kain bersih dengan cara
memijit-mijitkan kain ke seluruh bagian.
Keris yang telah kering disiram dengan air bersih dan keringkan kembali – seperti
sebelumnya.

Beberapa cara yang lain untuk mutih :

1. Di rendam dalam air jeruk nipis.


Akan lebih baik dai perasan air jeruk nipis yang sebelumnya buah jeruk tersebut dikupas.
Kulit jeruk bisa menyebabkan bilah keris menjadi kemerahan. Perlu dilihat waktu
perendaman karena air jeruk ini bisa memakan bilah besi jika terlalu lama direndam. Jadi
sering-sering di cek. Biasanya membutuhkan waktu sektar 6 jam - 1 hari tergantung
kualitas warangan yang lama.

2. Jika ingin tidak terlalu makan besi, bisa menggunakan air kelapa tua.
Ini bisa membutuhkan waktu antara 2-5 hari tergantung warangan yang melekat pada
bilah. Jika menggunakan cara ini, maka tiap hari kita perlu membersihkan keris dengan
sabun colek. Setelah kering dan sabun bersih, maka dimasukkan lagi ke air kelapa. Tetapi
jangan mengganti air kelapa tersebut. Dibiarkan saja menggunakan yang awal. Air kelapa
juga bisa mengangkat karat dari bilah keris.
4. Jika ingin instant, bisa menggunakan air campur dengan serbuk sitrun.
Tetapi ini sangat tidak dianjurkan karena bisa membuat bilah keris berpori atau berbintik.
Jadi serat besi akan hilang.

5. Cara paling ekstrim dan sangat tidak dianjurkan adalah dengan menggunakan cairan
HCL atau Asam Nitrat. Ini sangat merusak keris walau keris bisa putih segera dalam
waktu hanya sekitar 5 menitan.

Setelah itu keris dioles dengan jeruk nipis yang sudah di kupas dan dibelah menjadi 2
bagian. Bisa ditambahkan dengan abu gosok, dimana belahan jeruk dimasukkan ke abu
gosok dan dioleskan ke keris. Cuci dengan air bersih. Barulah kemudian keris bisa
menjadi putih sehingga siap diwarangi. Memutih bilah, bisa dilakukan siapa saja. Tidak
perlu ahli. Setelah bilah bebas karat usai direndam air kelapa, dan disikat sabun colek
jeruk nipis, ya tinggal disikat terus, pelan-pelan. Sesabar-sabarnya, sabun-jeruk-sabun-
jeruk sampai nyaris "putih" kemilau, seperti seolah bilah dicat warna metalik. Jangan
memutihkan keris dengan cara di ampelas atau apalagi di kikir.

II. MEWARANGI
Proses "memutih" bilah keris adalah kunci sukses pertama untuk mewarangi. Proses
lainnya adalah "setelan" dalam membuat warangan yang pas untuk berbagai jenis bilah
dan proses mewarangi itu sendiri.

Membuat Warangan
Bahan utama membuat warangan adalah Batu Warangan (serbuk warangan) dan air jeruk
nipis.
a. Batu Warangan
Batu warangan yang bermutu bagus adalah batu warangan eks cina. Batu warangan
sangat mahal (sekitar 2 jt rupiah per ons) dan sulit diperoleh. Hal ini karena memang
barang seperti itu tidak banyak, juga karena adanya berbagai larangan di negara-negara
tertentu (Singapura, misalnya) untuk pemakaian sembaran warangan, maka kelangkaan
bahan warangan pun terjadi. Tak semudah seperti dulu. Apalagi, di Indonesia pun terjadi
"praktek penyimpangan arsenik untuk membunuh Aktivis Munir...)
Sebenarnya batu warangan berbeda atau tidak seratus persen sama dengan arsenikum
(Ar). Arsenikum yang dijual di apotik atau toko-toko kimia (sulit juga di dapat) biasanya
dipakai sebagai campuran "agar warangan lebih galak". Akan tetapi, hati-hati - selain
beracun, warangan kimia juga "lebih menggerogot bilah" karena kemurniannya, jika
dibanding dengan "warangan alam" eks Cina.
Yang pasti, batu warangan - dan juga arsenik murni yang terkadang dijadikan katalis -
sangat tidak mudah didapat di berbagai negara yang "sadar lingkungan". Bagaimana pun,
warangan - utamanya arsenikum - adalah bahan yang berbahaya bagi keselamatan
manusia. Soalnya, kandungan arsenik yang masuk ke dalam tubuh, biasanya menetap
(bersifat akumulatif). Jadi kalau setiap hari tambah arsenik di tubuh kita, ya tentunya
tumpukan unsur arsenik di tubuh kita semakin menggunung.
Batu warangan yang eks Cina, memang bukan "murni" arsenik. Di dalamnya terdapat
pula kandungan kapur, belerang di samping tentu juga arsenik di dalamnya. Karenanya
jika diperhatikan, ada batu warangan yang kekuning-kuningan, ada juga semburat ungu
(violet) nya, serta ada juga yang dominan putih, dengan semburat warna jingga, kuning,
dan lainnya. Sedangkan arsenikum apotik, tentunya murni hanya unsur arsenik.

b. Jeruk Nipis
Yang dipakai adalah jeruk nipis (Jawa: Jeruk Pecel), bukan jeruk lemon atau jeruk purut.
Jeruk nipis dikupas kulitnya dengan pisau kecil, agar cuma tinggal kulit dalamnya. Hal
ini karena cairan "sereng" yang keluar dari kulit jeruk tak baik untuk melarutkan
warangan. Malah mungkin "memperburuk" mutu warangan.
Cara memeras jeruk ada tekniknya sendiri - baik untuk mutih maupun terutama untuk
bahan cairan warangan. Kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya tak demikian.
Ada beberapa cara memeras jeruk. Bisa pakai alat (dibelah dan diputar-putar dalam alat
perasan jeruk yang biasa untuk minuman perasan jeruk), atau "fully manual" alias
dengan tangan hampa saja. Jeruk dibelah membujur - sesuai dengan serat pada belahan
jeruk. Malah lebih mudah dan enteng lagi, jika diprapat, atau malah
diperdelapan.Hilangkan bijinya, lalu peras di atas rantang atau waskom yang sudah lebih
dulu ditutupi saringan teh-kopi. Peras, dan sekaligus pelan-pelan disaring. Karena
perasan jeruk biasanya katut (terikut) ampasnya, maka memerasnya pun harus cukup
sabar. Ampas perasan jeruk pun masih bisa diperas lagi pakai kain kaos, lalu dipencet di
atas saringan teh. Setelah rantang cairan hasil perasan jeruk terisi, maka tuang cairan ke
dalam botol dengan "corong" yang juga - sekali lagi - diberi saringan, berupa kain kaos
yang tak terlalu rapat lubang-lubangnya.
Jadilah sudah, "air jeruk" murni yang bening. Tinggal diletakkan beberapa hari -- bisa
juga beberapa bulan di botol, maka larutan jeruk akan mengendap sendiri dan
menghasilkan larutan jeruk yang sangat bening... Untuk membuat warangan dibutuhkan
sekitar 15 kg jeruk nipis sehingga menjadi sekitar 1,5 liter air jeruk

c. Meramu Warangan
Soal "meramu larutan warangan". Ini juga penting, lantaran apabila kita belajar
mewarangi, tentu tak lepas pula dari membuat warangan. Larutan yang kalau dimasukkan
dalam botol, warnanya mirip Coca Cola yang lebih pekat ini, adalah "harta karun" bagi
mereka yang hobi atau ahli mewarangi.

Biasanya, jika kita ingin membuat larutan warangan baru, dibutuhkan juga "bibit
warangan yang sudah jadi dan berkualitas bagus”. Bibit yang dibutuhkan tidak perlu
banyak, cukup secangkir saja untuk seliter larutan warangan baru. Kegunaan “bibit” ini
adalah sebagai katalisator, agar warangan baru bisa bereaksi. Jadi atau tidak jadi
warangannya, bisa dilihat dengan memasukkan paku yang diikat dengan benang ke dalam
botol larutan. Warangan yang jadi, akan segera "menghitamkan paku" yang digantung
benang seharian.

Cara membuat larutan baru:


Pertama-tama mengendapkan dulu hasil perasan air jeruk. Botol berisi air jeruk, kita
biarkan berhari-hari di tempat yang tenang. Anda akan melihat, cairan jeruk terpisah dua
warna - bening di bagian atas, dan keruh atau pekat-endapan di bagian bawah. Ambil
botol kaca yang kosong, lalu tuang yang bening (bagian atas) ke botol baru. Endapan
jeruk nipis jangan dibuang, akan tetapi sendirikan dalam botol lain. Endapan ini bisa
digunakan untuk bahan "memutih bilah". (Jika diendapkan terus, sebotol endapan ini juga
akan menghasilkan jeruk bening bagian atasnya, yang tentu saja bisa kita pindahkan ke
botol jeruk bening yang pertama).
Dalam waktu lebih dari tiga bulan atau berbulan-bulan, jeruk bening di dalam botol akan
berubah warna. Dari semula kuning agak gading, menjadi "kuning semu oranye", agak
tua. Jeruk inilah yang akan dipakai untuk bikin larutan warangan baru. (Ada juga yang
tak perlu melalui proses "pembeningan" jeruk, tetapi langsung saja perasan jeruk nipis
dicampur dengan bubuk batu warangan baru. Risikonya, di masa datang warangannya
ada endapan jeruknya).

Selanjutnya adalah melarutkan warangan. Caranya sederhana saja. Tumbuk (lumatkan)


dulu batu warangan, biasa dengan "deplokan" (mangkuk pelumat) yang biasa dipakai
untuk mendeplok obat di apotik-apotik. Biasanya, mangkuk-pendeplok ini dari bahan
porselen tebal, lengkap dengan alu-pendeploknya yang juga dari porselen. Banyak dijual
di kios-kios obat di Pasar Rawabening, Jatinegara Jakarta. Atau, toko-toko obat.

Berikutnya adalah melakukan pencampuran antara perasan air jeruk dengan bubuk
warangan tadi. Komposisinya adalah sangat etrgantung pada hasil yang diharapkan
karena pada setiap jenis besi terkadang harus dilakukan “adjustment” dengan cara
menambahkan air jeruknya.

Untuk memancing agar warangan baru bisa cepat "jadi", selain di-katalisasi dengan
secangkir warangan yang sudah joss, juga botol berisi warangan itu "dijemur di terik
matahari. Ada juga cara lain dengan "nasi basi", atau nasi yang sudah lembek, kecut.
Bisa dibilang tidak ada warangan manapun yang langsung jadi. Harus distel dulu.
Umumnya jadi tiga jenis warangan, yakni warangan "galak", setengah "galak", dan
warangan "nom" atau lambat-reaksi untuk bilah-bilah dengan jenis pamor yang sanak.

Warangan lebih dulu “diadjust” dengan cara coba-coba celup bilah percobaan yang sudah
diputih. Jika dirasa "kurang galak", maka bisa ditambahkan perasan jeruk nipis aga
lebih “galak”. Hal ini butuh "feeling" dan pengalaman tersendiri. Bilah "majapahitan"
biasanya "langsung nyamber", gampang diwarangi. Tetapi bilah-bilah tua lainnya
dengan pamor sanak akan sulit diwarangi. Butuh “adjustment” warangan tersendiri.
Seorang ahli warangan yang baik, akan memiliki beberapa jenis larutan warangan yang
akan dipakai untuk jenis logam/besi yang berbeda-beda pula. Bahkan tak jarang mereka
punya larutan warangan untuk beberapa jenis tangguh, jika tangguh dianggap mewakili
jenis-jenis logam yang berbeda. Dia juga akan melihat 'hari baik' untuk mulai proses
mewarangi, biasanya saat cuaca terang dan matahari bersinar dengan cerah (sebagai
katalis).

Beberapa Metode Pewarangan

Hasil proses mewarangi dipengaruhi setidaknya tiga variable yaitu: jenis logamnya,
kualitas ramuan warangan (bubuk warangan, air jeruk, dan katalisnya juga proses
adjustment-nya), serta cara melakukan pewarangan. Untuk hasil optimal, ketiga variable
tadi harus dalam kondisi yang 'saling mendukung'.
Ada juga sebelum diwarangi,wilah yang sudah diputih dijemur dulu biar cukup panas
sebelum dicelup dalam larutan warangan. Ada juga yang pakai metode 'staging' yaitu
mewarangi dengan beberapa tahap, dimulai dari tahapan 'warangan enom/muda' setelah
itu meningkat ke 'warangan tua' sehingga bilah semakin menghitam. Dalam hal ini
terdapat istilah kalau bilah terlalu hitam setelah diwarangi disebut 'warangane ketuan /
warangannya terlalu tua'.

Secara garis besar, ada dua metode mewarangi :

a. Cara Di-koloh
- Siapkan warangan yang telah dicampur air jeruk
- Rendam pusaka dalam cairan warangan itu – beberapa kali sekitar setiap sepuluh menit
diangkat dan diangin-anginkan sambil dibantu dengan pijitan tangan hingga meresap.
Mencelup / merendam bilah dalam warangan pun, tidak sembarangan. Disini diperlukan
pengalaman empirik, yang sulit dituturkan dalam tulisan. Yang pasti, setiap upaya
mewarangi, pasti sering terbentur kegagalan. Jika gagal? Ya "kembali ke laptop", diputih
lagi. Begitu seterusnya

b. Cara Di-nyek
- Pusaka dijemur hingga panas lalu dilumuri warangan secara langsung dengan cara
dipijit-pijit (di-nyek) hingga kering
- Setelah kering dijemur lagi dan kemudian kembali dilumuri warangan dan dipijit-pijit.
Begitu seterusnya hingga tiga kali.
- Siapkan air jeruk dicampur dengan air buah klerek/air sabun lalu pusaka dikeplok
dengan kedua genggaman tangan dibersihkan dengan air bersih lalu dijemur lagi
- Setelah itu kembali ke proses awal … hingga beberapa kali sambil diamati bagian per
bagian. Semakin lama maka warna pusaka semakin kereng (gelap), hingga guwaya
pusaka menjadi bagus. Biasanya pengulangan hingga sembilan kali. Setelah yang
terakhir, dibilas hingga bersih dari bercak merah warangan yang tidak menempel.

Menjamas dengan cara di-nyek memang sangat membutuhkan banyak warangan.


Keunggulan cara ini adalah membuat pamor tidak mubyar melainkan kelem dan angker,
serat atau lapisan yang sering disebut pamor sanak pada besi keleng dapat tenggelam
dalam nuansa wingit. Namun hasil metode ini kadang dirasa kurang kontras, jika
dibandingkan dengan yang "koloh".

III. MEMBERI WEWANGIAN DAN MEMINYAKI PUSAKA

Berbeda dengan tahap sebelumnya, tahap ini merupakan tahap yang kerap diulang-ulang
hingga sebulan sekali, terutama bagian meminyaki keris. Tahap ini disebut pula tahap
pemeliharaan yang menjaga agar keris tidak berkarat.

1. Memberi Wewangian

Setelah keris diberi warangan, ada baiknya jika keris diberikan wewangian dupa terlebih
dahulu. Caranya :
- Pertama-tama olesi keris dengan minyak pusaka tipis saja. Ambil campuran bubuk
gaharu, ratus dan ramasala – taburkan pada bilah keris hingga lengket – biarkan beberapa
menit.
- Setelah itu nyalakan lilin – taruhlah di atas lilin dengan jarak lima jari – gerakkan ke
kiri ke kanan. Biarkan hingga beberapa saat (tidak perlu sampai terbakar!)
- Bersihkan dengan sikat halus.
- Gosok lagi dengan minyak pusaka tipis saja seperti di atas.
- Taburi dengan bubuk kayu cendana dan taruh di atas lilin seperti tadi.
- Setelah itu bersihkan lagi dengan sikat halus – diamkan beberapa saat.
Olesi dengan minyak pusaka. Angin-anginkan dan jangan tergesa dimasukkan dalam
warangka. Jangan menyimpan keris di tempat yang tertutup rapat tanpa sirkulasi udara.

2. Membuat Minyak Pusaka


Cara membuat minyak pusaka adalah :
- Minyak paraffin 60 cc
- Bibit cendana (sandalwood) 25 cc
- Bibit Melati Keraton 5 cc
- Bibit Kenanga 10 cc
Bisa juga ditambah atau diganti dengan bibit minyak lainnya (gaharu, dsb) sesuai selera
karena bersifat sangat subjektif dan terkadang aroma / bau keris juga menunjukkan
identitas pemiliknya. Sangat dilarang mencampurkan bahan parfum atau jenis yang
beralkohol – pasti keris menjadi merah berkarat.

Disadur, dirangkum, dikombinasikan, dikliping dari :


1. Milis FDK (Forum Diskusi Keris)
2. Majalah Pamor Edisi 03
3. Majalah Pamor Edisi 05
4. Haryono Haryoguritno, “Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar”, Indonesia Kebanggaanku, Jakarta, 2005
5. Bambang Harsrinuksmo, “Ensiklopedi Keris”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Anda mungkin juga menyukai