Anda di halaman 1dari 8

Apakah Jilbab Bagi Muslimah Tidak Wajib?

Al-Ikhwan.net | 1 Januari 2008 | 22 Dhul-Hijjah 1428 H | 4.640 views


Abi AbduLLAAH
|

Apakah Berjilbab Termasuk Masalah Ijtihadi Dalam Syari’ah Islam Sehingga


Kedudukannya Menjadi Relatif?

Di akhir zaman ini banyak orang yang berani berfatwa dengan menabrak kesepakatan
para ulama, keluar dari kaidah belajar ilmu fiqh yang disepakati, mencari pendapat-
pendapat yang syadz (nyleneh), yang bagi orang yang benar-benar mempelajari fiqh tidak
tertutup lobang-lobang kelemahan mereka, semua ini mereka lakukan hanya demi
memuaskan orang-orang kafir bahwa Islam itu toleran, mengikuti zaman, padahal
kelemahan pendapat mereka itu amat sangat mereka sadari.

Mirisnya lagi hal tersebut dilakukan oleh orang-orang yang katanya bergelar doktor atau
bahkan profesor, lalu diajarkan dengan penuh semangat di universitas-universitas yang
sebagian besar (tidak seluruhnya) para pengajarnya belajar dari negara-negara sekular
dan kuffar, atau ada pula yang belajar dari negara Islam tapi pada orang-orang yang
sudah nyleneh pula dan dikenal menjadi kolaborator kuffar.

Salah satu dari fatwa yang demikian itu adalah bahwa Jilbab itu tidak wajib, atau
merupakan masalah ijtihadiyah, atau masalah khilafiyyah, sehingga dalil hukumnya
bersifat relatif dan tidak mengikat, demikianlah salah satu igauan mereka di siang-
bolong, yang jika kita teliti fatwa-fatwa mereka itu nampaklah pemutar-balikan fakta di
mana-mana, perancuan dalil yang shahih dengan yang dha’if, memaksakan diri
menggunakan tafsir bir ra’yil qabih/tafsir dengan logika yang sesat (karena ada juga tafsir
yang bir ra’yi shahih/logika tapi terbimbing oleh wahyu), dan mereka ini secara sengaja
menjauhi tafsir bil ma’tsur (tafsir menggunakan dalil, karena akan menghancurleburkan
semua pijakan mereka itu), mereka juga menggunakan kaidah ushul-fiqh secara terbalik-
balik sesuai hawa nafsu mereka sendiri, dll.

Yang kesemuanya itu hanya menunjukkan ashabiyyah (fanatisme) terhadap syahwat dan
taqdis (pengkultusan) kepada akal secara berlebihan, yang kesemuanya ini merupakan
ciri sebagian aliran mu’tazilah-jadidah (neo-rasionalis) yang kemudian sayap radikalnya
bermuara kepada aliran liberal yang menyempal jauh dari ajaran Islam, merupakan
mazhab sempalan dalam ajaran Islam, sebagaimana mazhab Syi’ah maupun Khawarij.

Salah satu ciri kelompok ini adalah pernyataan mereka bahwa dalam syariat Islam
kebenaran sebuah pandangan adalah relatif karena semuanya adalah ijtihad, maka setiap
orang berhak untuk memilih mana yang menurutnya benar.. Inna liLLLAAHi wa inna
ilayhi raji’un! Dari mana munculnya igauan seperti ini?! Coba tunjukkan referensi yang
mu’tabar (diakui sebagai referensi syari’ah) yang menyebutkannya?! Kecuali referensi
para orientalis atau murid-muridnya, maka tidak ada jumhur-ulama yang mengakuinya
kecuali kalangan orientalis dan para pengikut-pengikutnya, semoga mereka diberi
hidayah sehingga kembali ke jalan Islam yang lurus, aamiin..
1. Makna Penutup Aurat dan Jilbab

a. Aurat dalam bahasa Arab bermakna keburukan manusia[1], atau celah/kekurangan[2],


adapun menurut syari’ah didefinisikan sebagai apa-apa yang diwajibkan untuk ditutupi
dan diharamkan untuk dipandang[3].

b. Jilbab berbeda dengan kerudung (khumur)[4], karena jilbab adalah baju kurung yang
panjang/jubah[5] yang digunakan agar menutupi seluruh yang di bawahnya. Ia
merupakan kain yang diselubungkan di atas kerudung[6], atau sejenis kain
selubung/semacam mantel (milhafah)[7].

2. Aurat Wanita Yang Wajib Ditutup Dalam Al-Qur’an

a. Yang Wajib Berjilbab Bukan Hanya Istri Nabi Saja:

ِ‫ساء‬َ ‫ك َوِن‬َ ‫ك َوَبَناِت‬


َ‫ج‬ ِ ‫لْزَوا‬ َِ ‫ل‬ ْ ‫ي ُق‬
ّ ‫َيا َأّيَها الّنِب‬
َ ‫ن َذِل‬
‫ك‬ ّ ‫جلَِبيِبِه‬َ ‫ن‬ ْ ‫ن ِم‬ ّ ‫عَلْيِه‬
َ ‫ن‬ َ ‫ن ُيْدِني‬
َ ‫اْلُمْؤِمِني‬
‫غُفوًرا‬َ ‫ل‬ ُّ ‫ن ا‬َ ‫ن َوَكا‬ َ ‫ل ُيْؤَذْي‬َ ‫ن َف‬
َ ‫ن ُيْعَرْف‬ْ ‫َأْدَنى َأ‬
‫حيًما‬ِ ‫َر‬

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu dan ALLAAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[8]

Berkata Imam At-Thabari bahwa maknanya, ALLAAH SWT berfirman pada nabi SAW:
Hai Nabi, katakan pada istrimu, anak-anak-mu dan wanita muslimah: Janganlah kalian
menyerupai wanita-wanita lain dalam cara berpakaiannya (yatasyabbahna bil ima’i fi
libasihinna) yaitu dengan membiarkan rambut dan wajah terbuka, melainkan tutup semua
itu dengan jilbab[9]; berkata Imam Ibnu Katsir bahwa maknanya: ALLAAH SWT
menyampaikan kepada Nabi-NYA agar memerintahkan kepada semua wanita muslimah
agar menjaga kehormatan mereka dan agar mereka berbeda dengan cara berpakaiannya
wanita jahiliyyah yaitu hendaklah gunakan jilbab[10]; berkata Imam Asy-Syaukaniy
bahwa ayat ini sabab-nuzulnya adalah berkenaan dengan peristiwa keluarnya Saudah RA
yang dicela oleh Umar RA, lalu turun ayat ini yang membolehkan wanita keluar rumah
untuk suatu kepentingan asal mereka menutup jilbabnya[11].

b. Ayat Ini Tidak Ada Kaitannya Dengan Haditsul ‘Ifki

Di antara salah satu kedunguan mereka dan tidak berilmunya mereka dan guru-guru
mereka, adalah kata-kata mereka bahwa asbab-nuzul ayat ini berkaitan dengan peristiwa
haditsul-’ifki pada Ummul Mu’minin Aisyah RA.. Laa hawla walaa quwwata illa
biLLAAH.. Persis sebagaimana dalam pepatah Arab dikatakan: Saarat Musyarriqah wa
sirta Mugharriban, Syattaana baynal Musyarriq wa Mugharrib (Ia berjalan ke Timur tapi
engkau malah berjalan ke Barat, Ketahuilah sungguh amat jauh jaraknya antara Timur
dan Barat itu). Sebagaimana kita ketahui bahwa peristiwa Al-’Ifki itu turun berkenaan
dengan QS An-Nuur[12], tidak ada hubungannya dengan QS Al-Ahzab, karena surah Al-
Ahzab turun berkenaan dengan itu, melainkan berkenaan dengan bantahan kepada orang-
orang Munafiq Madinah seperti Ibnu Ubay, dll yang didatangi tokoh-tokoh Quraisy
Makkah ba’da perang Uhud, lalu mereka takut Nabi SAW akan mengetahui mereka, lalu
turun surah ini untuk meneguhkan Nabi SAW dan membantah mereka[13].

c. Ayat ini Tidak Bisa Menggunakan Kaidah Fiqh: Al-’Ibratu Bikhushushi Sabab La Bi
Umumi Lafzh (Hukum itu Berdasarkan Khususnya Sebab Bukan Umumnya Lafzh)

Salah satu bentuk kerancuan berfikir mereka menyimpangkan kaidah secara tidak benar
untuk mengelabui orang-orang bodoh (karena memang hanya orang bodoh saja yang
tertarik pada pendapat mereka), bahwa sudah jelas-jelas ayat tersebut menyatakan: Qul Li
Azwajika wa Banatika wa Nisa’il Mu’mina (Katakan pada istrimu, anakmu dan PARA
WANITA MUSLIMAH..), lalu tiba-tiba mereka bicara tentang kaidah berdasarkan
khususnya sabab saja, lha kepriben tho mas?! Sudah menjelaskan sabab-nuzulnya aja
sudah ngawur di atas, lalu bertambah ngawur lagi dalam menggunakan kaidah ini
sementara khithab ayat ini bersifat umum dan tidak bisa di-takhshish.. Mengapa mereka
sampai berfikir dengan kaidah terbalik-terbalik demikian?! Karena kebohongan dan tidak
menjaga amanah ilmiah, sudah mendarah-daging dalam diri mereka dan diajarkan juga
oleh guru-guru mereka, sehingga memutar-balik hukum, dalil dan ayat tidak menjadi
masalah buat mereka, yang penting hawa-nafsu mereka terpuaskan, kalau perlu
mengambil dalil fiqh dan hadits dari kitab sastra juga tak apa, yang penting berargumen
dengan Kitab Kuning supaya nampak “pinter”, kalau ada yang ngerti lalu mengecek dan
menunjukkan letak salahnya, cukup mereka katakan saja: maaf salah tulis, kan beres, lalu
cari lagi kitab lainnya, siapa tahu tidak ketahuan belangnya, na’udzu biLLAAHi min
dzalik…

d. Saat Turun Ayat Jilbab ini Para Shahabat Wanita Langsung Melaksanakannya Tanpa
Banyak Alasan dan Keberatan

Berkata Ibnu Abi Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu AbdiLLAAH Azh-
Zhahraniy, dari apa yang ditulisnya untukku, telah menceritakan kepadaku
AbduRRAZZAQ, telah menceritakan kepadaku Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari
Shafiyyah binti Syaibah, dari Ummu Salamah berkata: “Semoga ALLAAH SWT
merahmati para wanita Anshar, pada saat turun ayat ini[14] maka keluarlah semua wanita
Anshar seolah-seolah di kepala-kepala mereka ada burung Gagak (Al-Ghirban), karena
jilbab yang mereka kenakan dengan bahan yang seadanya yang mereka temui saat itu
juga.”[15]

3. Aurat Wanita Dalam As-Sunnah

a. Hadits Pertama:

‫ل يقبل ال صلة حائض إل بخمار‬


“Tidak diterima shalat wanita yang sudah haidh (baligh –pen) kecuali menggunakan
khimar (kerudung).”[16]

b. Hadits Kedua:

‫أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على النبي ) صلى ال عليه وسلم ( في ثياب‬
‫ يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن‬:‫رقاق فأعرض عنها وقال‬
‫ وأشار إلى وجهه وكفيه‬. ‫يرى منها إل هذا وهذا‬

“Sesungguhnya Asma’ binti Abibakr (saat itu ia masih remaja –pen) masuk ke tempat
Nabi SAW menggunakan pakaian yang menampak samar-samar bayang-bayang kulit di
bawahnya, maka Nabi SAW berpaling darinya sambil bersabda: Wahai Asma’
sesungguhnya wanita itu jika sudah haidh tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali
ini dan ini, beliau SAW memberi isyarat pada wajah dan tapak tangannya.”[17]

c. Hadits Ketiga:

ٌ‫سَياط‬ ِ ‫ل الّناِر َلْم َأَرُهَما َقْوٌم َمَعُهْم‬ ِ ‫ن َأْه‬


ْ ‫ن ِم‬ ِ ‫صْنَفا‬
ِ
ٌ ‫سَيا‬
‫ت‬ ِ ‫ساٌء َكا‬ َ ‫س َوِن‬َ ‫ن ِبَها الّنا‬
َ ‫ضِرُبو‬ ْ ‫ب اْلَبَقِر َي‬
ِ ‫َكَأذَْنا‬
ِ ‫خ‬
‫ت‬ ْ ‫سِنَمِة اْلُب‬
ْ ‫ن َكَأ‬ّ ‫سُه‬
ُ ‫ت ُرُءو‬ ٌ ‫ل‬ َ ‫ت َماِئ‬ٌ ‫ل‬ َ ‫ت ُمِمي‬ ٌ ‫عاِرَيا‬ َ
ّ ‫حَها َوِإ‬
‫ن‬ َ ‫ن ِري‬ َ ‫جْد‬ِ ‫ل َي‬
َ ‫جّنَة َو‬
َ ‫ن اْل‬
َ ‫خْل‬
ُ ‫ل َيْد‬
َ ‫اْلَماِئَلِة‬
‫سيَرِة َكَذا َوَكَذا‬ ِ ‫ن َم‬ْ ‫جُد ِم‬
َ ‫حَها َلُيو‬
َ ‫ِري‬

“Ada 2 kelompok manusia penghuni neraka yang belum pernah kulihat (saat beliau SAW
hidup –pen), yang pertama laki-laki yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang
kerjanya memukuli manusia dengannya; yang kedua wanita yang berpakaian tetapi
telanjang kalau jalan berlenggang-lenggok menggoda rambutnya seperti punuk unta, 2
kelompok ini tidak masuk Syurga dan tidak bisa mencium bau Syurga, padahal baunya
tercium dari jarak sekian dan sekian (jarak yang amat jauh –pen).”[18]

4. Aurat yang Wajib Ditutup Menurut Madzhab Yang Empat

a. Menurut Madzhab Hanafi: Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2
telapak tangannya[19], oleh karenanya kepala wanita adalah aurat yang harus ditutup[20].
Bahkan berkata Imam Hanafi: Kewajiban menutup aurat di depan manusia sudah menjadi
ijma’ (konsensus semua ulama), demikian pula saat ia shalat walaupun shalatnya
sendirian, maka seandainya saja ada orang yang melakukan shalat dalam keadaan
sendirian tidak menutup aurat sekalipun di tempat yang amat gelap-gulita padahal ia
memiliki pakaian yang dapat menutupinya maka shalatnya batal[21].

b. Menurut Madzhab Maliki: Aurat wanita di depan sesama wanita muslimah adalah
sama dengan aurat laki-laki dengan sesama laki-laki (yang tidak boleh terlihat hanya
antara pusar sampai lutut -pen)[22], aurat wanita di depan laki-laki muslim adalah
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya, aurat wanita di depan laki-laki
kafir adalah seluruh tubuhnya termasuk wajah dan 2 tapak tangannya[23]. Berkata Imam
Malik: Jika seorang wanita merasa wajahnya atau tapak tangannya demikian indahnya
sehingga ia amat kuatir orang yang melihatnya terkena fitnah maka baik ia tutup bagian
tersebut (dengan cadar misalnya –pen)[24].

c. Menurut Madzhab Syafi’i[25]: Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah
dan 2 tapak tangannya[26], yaitu tapak tangannya yang bagian atas maupun yang bagian
bawahnya bukan termasuk aurat, tapi dalam masalah ini madzhab kami ada 2 qaul,
namun berkata Al-Muzni bahwa yang kuat ia bukan termasuk aurat[27]. Telapak kaki
wanita termasuk aurat[28], bagi banci yang menurut kedokteran dominan sifat wanitanya
maka auratnya sama dengan aurat wanita[29]. Berkata Imam Syafi’i: Bukan hanya batas
aurat-nya[30] saja yang harus ditutup, melainkan tidak cukup aurat tersebut ditutupi oleh
pakaian yang menutupi seluruhnya jika ia masih ketat/membentuk tubuh[31].

d. Menurut Madzhab Hanbali: Ada 2 qaul[32], yang pertama menyatakan bahwa aurat
wanita adalah seluruh tubuhnya sampai ke kuku-kukunya[33] berdasarkan hadits riwayat
Tirmidzi: Al-Mar’atu ‘aurah (wanita itu aurat), dan qaul kedua dikecualikannya wajah
dan 2 tapak tangan berdasar hadits larangan bagi wanita menutup keduanya saat
Ihram[34], juga sesuai dengan makna ayat “maa zhahara minha (kecuali yang biasa
nampak)”[35] maka wajah dan 2 tapak tanganlah makna ayat tersebut karena keduanya
tidak mungkin ditutup untuk mengenali orang saat berbisnis dsb[36], ada juga yang
menambahkan kedua tapak kaki[37].

e. Tarjih wal Mulahazhat: Sebab dari adanya perbedaan pendapat ini adalah dalam
menafsirkan ayat QS An-Nur di atas. Apakah maknanya ada yang boleh nampak atau
maknanya tidak ada yang boleh nampak bagi wanita. Jumhur fuqaha berpendapat wajah
dan 2 tapak tangan bukan aurat bagi wanita (Imam Hanafi menambahkan tapak kaki
wanita bukan aurat), sementara Abubakar bin AbduRRAHMAN dan satu qaul dari Imam
Ahmad berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Mereka yang berpendapat bahwa tidak ada yang biasa nampak untuk wanita dan
menyatakan seluruh tubuhnya adalah aurat, berdalil dengan menafsirkan ayat ini dengan
ayat di surah Al-Ahzab di atas (tafsirul Qur’an bil Qur’an). Adapun kelompok yang
menyatakan adanya pengecualian wajah dan 2 tapak tangan berdalil dengan wajibnya
membuka kedua hal ini saat hajji berdasar hadits-hadits shahih, dan pendapat yang kedua
ini lebih kuat waLLAAHu a’lam bish Shawaab.

Demikian wahai para wanita muslimah –rahimakumuLLAAH-, jadi bukan menggunakan


pendekatan logika atau pendekatan kultural Arab, antropologi, sosiologi dan yang
semacamnya yang tentu saja bisa berbeda-beda, rambut sama hitam pendapat bisa
berbeda. Melainkan semuanya itu - jika kita bicara syari’ah - harus berdasarkan dalil dan
di-istinbath menggunakan metode ilmu syari’ah yang benar dan bukan metode kirata
(dikira-kira tapi nyata).

Dan yang demikian ini jika kita masih menganggap Al-Qur’an itu adalah firman
ALLAAH SWT yang terjaga dari kesalahan, dan Hadits Shahih adalah sabda Nabi SAW
yang ma’shum lepas dari hawa-nafsu. Kecuali jika kita anggap Al-Qur’an seperti koran
harian yang bisa direaktualisasi atau hadits Nabi SAW setara dengan ucapan Nietsche
atau Juergen Habermas, maka sungguh aku berlindung pada ALLAAH SWT dari hal
yang demikian bagi diriku sendiri dan seluruh keturunanku, fa ayna tadzhabina ayyuhal
muslimah..???

___
Catatan Kaki:

[1] Lih. Ash-Shihaah Fil Lughah, II/5; Tahdzib Al-Lughah, I/367

[2] Lih. Lisanul Arab, IV/612; Tajul Arus, I/3257

[3] Lih. Al-Fiqh Al-Islamiy, I/738

[4] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481

[5] Kamus Al-Munawwir, bab Ja-la-ba, hal 199

[6] Demikianlah pendapat para mufassir seperti Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan
Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al-Khurasaniy.

[7] Lih. Ash-Shihaah, I/101; demikian pendapat Al-Jauhary berdasarkan sya’ir seorang
tokoh wanita dari suku Hudzail: “Berjalanlah ia seorang diri dengan lalai.. Yaitu dengan
telanjang (hanya berkerudung saja –pen) tanpa berjilbab.”

[8] QS Al-Ahzab, 33:59

[9] Tafsir At-Thabari, XX/324

[10] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481

[11] Tafsir Durrul Mantsur, VIII/208, hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Al-Baihaqi dan Ibnu Sa’d

[12] Shahih Bukhari, no. 2314, 6633 dan Muslim, no. 1697

[13] Lih. Asbab Nuzulil Qur’an, Al-Wahidi, I/126; Lih. Juga Tafsir Munir, Az-Zuhayli,
XI/247

[14] QS Al-Ahzab, 33:59

[15] Lih. Tafsir AbduRRAZZAQ, II/101; ada riwayat lain yang menjadi syawahid atas
hadits ini yang diriwayatkan Al-Hasan bin Muslim, dari Shafiyyah binti Syaibah, dari
A’isyah RA (Lih. Shahih Bukhari, no. 4759)
[16] HR Abu Daud no. 164; Tirmidzi, II/215-216; Ibnu Majah no. 655; Ibnu Abi Syaibah,
II/28; Al-Hakim, I/251; Al-Baihaqi, II/233; Ahmad, VI/150; Di-shahih-kan oleh Albani
dalam Al-Irwa’, I/214

[17] HR Abu Daud, II/138, hadits ini dha’if tapi ada syahid dari hadits Asma’ binti
Umays RA dari Al-Baihaqi, VII/76, sehingga menjadi hasan, lih. Al-Irwa’, VI/203

[18] HR Muslim, XIV/229 hadits no. 5704 (Imam Muslim sampai menamai babnya ini
dengan nama: “Wanita2 yang Berpakaian Tapi Telanjang”); Al-Baihaqi, II/234; Ahmad,
II/355

[19] Al-Ikhtiyar Li Ta’lil Al-Mukhtar, I/4

[20] Al-Mabsuth, II/64

[21] Raddul Mukhtar, I/375

[22] Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil, IV/16

[23] Asy-Syarhul Kabir Li Syaikh Ad-Dardir, I/214

[24] Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil, IV/24

[25] Imam Az-Zayadi Asy-Syafi’i dalam Syarhul Muharrar menyebutkan 4 jenis aurat
bagi wanita: Pertama, aurat saat shalat yaitu kecuali wajah dan 2 tapak tangan; Kedua,
aurat pandangan dari orang laki-laki yaitu semuanya termasuk lelaki dilarang
memandangi secara terus-menerus wajah dan tangan wanita; Ketiga, aurat di depan suami
atau saat sendirian yaitu sama dengan aurat laki-laki (kecuali pusar dan lutut); Keempat,
aurat di depan orang kafir yaitu seluruh tubuhnya (Lih. Hawasyi Asy-Syairaziy, II/112).h

[26] Al-Majmu’, III/167

[27] Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, I/104

[28] Al-Umm, I/109

[29] Fathul Wahhab, I/88

[30] Aurat ada yang mughalazhah (aurat besar) yaitu 2 kemaluan dan ada yang ghairu-
mughalazhah (aurat kecil), keduanya harus ditutup

[31] Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, hal. 54

[32] Menurut Abul Ma’aliy Al-Hanbali, aurat anak sbb: 1) Sblm 6 tahun semuanya bisa
dilihat, 2) Setelah 6 th yang boleh dilihat rambut, betis dan lengan (ada juga yang
menyatakan seluruh tubuhnya kecuali 2 kemaluan), 3) Setelah 10 tahun sama dengan
setelah baligh (lih. Al-Furu’ Libni Muflih, I/476).

[33] Ibid.

[34] Asy-Syarhul Kabir, I/458

[35] QS An-Nur, 24/31

[36] Al-Iqna’, I/113

[37] Al-Furu’ Libni Muflih, I/476

Anda mungkin juga menyukai