DAFTAR ISI
No Hlm
A. DAFTAR ISI...................................................................................................... 1
B. KATA PENGANTAR.......................................................................................... 6
C. PAPER MAKALAH KHUSUS
Budidaya Tiram Mutiara, Tantangan & Permasalahannya
Dr. Mulyanto, M.Ed (ASBUMI).......................................................................... 8
Perdagangan Produk/Hasil Perairan, Moluska dan Permasalahannya
Dr. Sumpeno Putro (BRKP DKP)...................................................................... 9
Pengembangan Teknologi Pembenihan dan Budidaya Abalon (Haliotis
asinina) di Indonesia Moluska
Dr. Irwan Junaedi (UNHALU, Kendari)............................................................. 22
Dr. Made L Nurjana (Dirjen Perikanan Budidaya DKP)....................................
Riset Pembenihan Abalon
Prof. Riset Dr. Ketut Sugama (Kepala Pusat Riset Perikanan Budidaya) 27
D. PAPER MAKALAH ORAL
A1. Pemeliharaan Larva Kerang Hijau (Perna viridis) dengan Campuran
Beberapa Jenis Phytoplankton [Agus Hermanan MSc] ....................... 29
A2. Potensi Distribusi & Pengelolaan Lola (Trochus niloticus) di Perairan
Pantai Desa Nolloth, Pulau Separua Kab. Maluku Tengah
[Pr. Uneputty, Mphil]................................................................................. 38
A3. Pemanfaatan Siput Murbai (Pomacea canaliculata Lamack) Sebagai
Makanan Ringan (Snack) [D. Bhagawati dan Muh. Nadjmi Abullas]..... 39
A4. Produksi Juwana Lola Merah dan Kima Melalui Hatchery untuk
Konservasi Spesies Langka, Prospek dan Tantangan
[Magdalena Litaay, PhD].......................................................................... 40
A5. Potensi Budidaya Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) di Waduk Cirata
Dalam Rangka Pengendalian Cemaran dan Peningkatan Produksi
Budidaya Ikan
[Erlania, A.I., Gunawan dan TH. Pribadi]................................................. 49
1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
D3. Studi Penyakit Infeksi Parasit pada Kerang Mutiara Pinctada maxima
[Dr. Fris Johny]......................................................................................... 282
D4. Potensi Kijing (Pilsbryoconcha exilis) Sebagai Biofilter Perairan di
Wadul Cirata kab.Cianjur, Jabar [I.R. Astuti, R.S. Nendris S dan T.H.
Pribadi]..................................................................................................... 291
D5. Pengelolaan Kima di Indonesia : menuju Budidaya Berbasis
Konservasi [Dr. Ambariyanto]................................................................ 299
D6. Isolasi Fraksi Gabungan Aktif Agen Antibakteri dari Ekstrak Kloroform
Bakteri Photobacterium phosphoreum yang Bersimbiosis Pada Organ
Cahaya Cumi-cumi [M. Untung K.A, Dr. Delianis P dan Dr. Agus
S].............................................................................................................. 309
D7. Beberapa Jenis Kerang dan Siput yang Dipasarkan di Denpasar
[Ir. Retno Andamari, MSc]........................................................................ 338
D8. Kelompok Moluska yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat di Sekitar
Danau Sentani, Papua serta Ancaman Kelestariannya di Masa
Mendatang [Suriani Br. Surbekti]............................................................. 350
D9. Kajian Kandungan Fe dan Zn Pada Tiram (Saccostrea echinata) Di
Perairan Ujung Batu, Jepara Dan Tanjung Mas Semarang
[Niramaya Kusuma W].............................................................................. 361
D10. Studi Kandungan Asam Lemak Omega-3 Pada Kerang Totok
Polymesoda erosa yang mendapat perlakuan pakan alami Tetraselmis
chui dan Skeletonema costatum
[Ir. Endang Supriyantini,MSi].................................................................... 370
D11. Kajian Kandungan Besi (Fe) dan Seng (Zn) Pada Bivalvia Periglypta sp
Di Perairan Jepara [Anton Christian Hutagaol]........................................ 385
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
KATA PENGANTAR
Moluska merupakan salah satu sumber daya hayati yang memiliki potensi untuk
dikembangkan dan menjanjikan produk-produk yang bernilai ekonomis. Berbagai jenis
moluska telah banyak dimanfaatkan di Indonesia. Semakin bertambah jumlah penduduk
akan semakin meningkat pula kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi, sehingga tingkat
eksploitasi terhadap sumber daya hayati (moluska) akan terus meningkat.
Panitia
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Teknologi Budidaya Mutiara Laut Selatan (South Sea Pearl) dari A sampai Z telah dapat
dikuasai oleh bangsa kita tetapi kita menghadapi masalah high cost dan low quality sehingga kita
adalah produsen terbesar dalam kuantiti tetapi dalam nilai pergramnya kita masih berada di nomor
empat. Hal ini disebabkan rata-rata kualitas yang dijual/ekspor lebih rendah dari negara lain.
Penelitian pokok yang harus dilakukan untuk dapat mendukung peningkatan kualitas adalah
melalui: seleksi galur murni Pinctada maxima var. golden dan P. maxima var. silver, cross breeding
dalam varietas antar strain dan pengungkapan rahasia Saibo (mantel piece).
Konservasi dilakukan dengan regulasi yang meliputi peraturan dan law enforcement serta
konservasi dengan tindakan melalui program resource enhancement, habitat improvement, co-
culture/combination culture serta PORRMAP (Pearl Oyster Rehabilitation, Revitalitation,
Management Program).
Permintaan produk mutiara dunia terutama dalam bentuk mutiara worked (HS code 710122)
58,04 %, tetapi pasok kita dominan pada mutiara unworked (HS code 710121) 77,97%. Analisis
tenaga kerja on-farm untuk produksi mutiara 5 ton adalah 14 ribu orang dengan tenaga profesional
antara 300-600 orang.
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Sumpeno Putro
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Abstrak
Indonesia sangat kaya akan berbagai jenis moluska perairan (kekerangan) yang
mempunyai nilai ekonomis penting baik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik
maupun untuk tujuan ekspor, antara lain “cockles” (Anadara sp.), oyster (Crassostrea sp),
“mussels” (Perna sp) dan “oriental hard clams” (Meretrix meretrix). Disamping itu,
Indonesia juga merupakan pengekspor bekicot (escargot) serta kerang mutiara (Southern
Sea Pearl) ke beberapa negara di dunia.
Pada umumnya, kekerangan bersifat “filter feeder”, yaitu mendapatkan makanan
dengan cara menghisap dan menyaring air dari perairan disekitarnya. Akibatnya, dalam
daging kekerangan (bivalve mollusks) sering terjadi akumulasi berbagai macam cemaran
dari perairan sekitar, termasuk cemaran biologis seperti virus hepatitis A, E. coli, bakteri
pathogen dan bio-toksin khususnya PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), serta cemaran
industri khususnya logam berat yaitu Hg, Cu dan Cd.
Sering kali, kekerangan dimakan mentah atau direbus sebentar dalam air mendidih
sebelum dikonsumsi, sehingga mempunyai resiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan
konsumen. Oleh karena itu, kekerangan untuk tujuan konsumsi – harus dibudidayakan
atau di panen dari perairan yang bebas dari cemaran biologis dan kimiawi agar aman (safe)
bagi kesehatan. Dalam kaitan ini, beberapa negara maju memberlakukan standar sanitasi
dan hygiene yang sangat ketat, khususnya terhadap kekerangan yang diimpor dari negara
berkembang. Disamping itu, kekerangan harus di-depurasi sebelum dijual di pasar untuk
membersihkan berbagai cemaran yang melekat, agar resikonya terhadap kesehatan
konsumen dapat ditekan dalam batas aman.
Makalah ini mencoba untuk mengulas berbagai masalah yang dihadapi dalam
perdagangan internasional produk-produk moluska perairan. Pembahasan terutama
difokuskan terhadap permasalahan yang dihadapi dalam perdagangan dan ekspor produk
kekerangan (bivalve mollusks) untuk tujuan konsumsi, termasuk strategi dan langkah-
langkah operasional yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan stakeholders untuk
meningkatkan penetrasi pasar dan volume ekspor.
Pendahuluan
9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Pearl – Pinctada sp) yang banyak digemari oleh para konsumen baik di dalam maupun luar
negeri.
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Produk kekerangan merupakan salah satu komoditi perikanan yang sangat populer
dan banyak diperdagangkan baik di pasar domestik maupun untuk ekspor. Untuk konsumsi
lokal, produk kekerangan ini biasanya dijual dalam keadaan hidup, segar atau olahan
tradisional, sedang untuk pasar ekspor pada umumnya dijual dalam keadaan hidup, beku
atau kalengan (canned).
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan pasar domestik
adalah rendahnya animo masyarakat untuk mengkonsumsi kekerangan, terutama karena
terbatasnya produk-produk olahan kekerangan yang tersedia di pasar serta sering
terjadinya kasus keracunan setelah mengkonsumsi kekerangan. Disamping itu, akhir-akhir
ini para penjual kekerangan sering menambahkan bahan pewarna (orange) atau bahan
pengawet terlarang (formalin), sehingga para konsumen menjadi takut untuk membeli dan
makan kekerangan.
Walaupun Pemerintah telah memberlakukan SNI (Standar Nasional Indonesia)
tentang standar mutu kekerangan yang dijual di pasar domestik, namun dalam realitanya
perhatian terhadap pengawasan mutu kekerangan yang beredar di pasar lokal masih belum
efektif. Hal ini tercermin dari masih sering terjadinya beberapa kasus keracunan akibat
mengkonsumsi kekerangan yang dipanen dari perairan tercemar seperti Teluk Jakarta.
Bahkan sampai saat ini upaya-upaya dari berbagai instansi terkait untuk melakukan
klasifikasi/pemetaan terhadap wilayah perairan yang akan dipakai untuk budidaya dan
memanen kekerangan masih sangat terbatas. Hal ini selain berpotensi meningkatnya kasus
keracunan akibat makan kekerangan, dalam jangka panjang juga dapat menurunkan animo
masyarakat untuk mengkonsumsi kekerangan.
Dilain pihak, ekspor kekerangan dari Indonesia ke beberapa negara maju dihadapkan
pada berbagai hambatan perdagangan, baik hambatan tarif maupun hambatan non-tarif.
Hambatan tarif yang diberlakukan oleh beberapa negara maju khususnya Uni Eropa dan
Jepang cukup tinggi, seperti terlihat dalam tabel berikut:
Tarif bea masuk yang diberlakukan oleh Uni Eropa paling tinggi dan diskriminatif, dimana
negara-negara bekas jajahan Uni Eropa di Africa, Carribea dan Pasifik (ACP countries)
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
yang tergabung dalam kelompok Konvensi Lome (Lome Convention) termasuk Suriname
dan Papua New Guinea (PNG) mendapatkan pembebasan tarif bea masuk bagi semua
ekspor produk pertanian dan perikanan termasuk kekerangan. Hal ini menyebabkan daya
saing produk kekerangan Indonesia di pasar Eropa menjadi kurang kompetitif. Jepang juga
memberlakukan tarif bea masuk impor kekerangan cukup tinggi, walaupun tingkat tarif yang
berlaku relatif lebih rendah dibanding Uni Eropa.
Dilain pihak, ekspor kekerangan juga dihadapkan pada berbagai hambatan non-tarif,
khususnya pemberlakuan standar mutu dan sanitasi yang semakin ketat oleh negara-
negara pengimpor. Hal ini disebabkan karena kekerangan bersifat “filter feeder” sehingga
cenderung untuk mengakumulasikan berbagai cemaran yang terdapat di lingkungan
perairan sekitarnya. Menurut Sumner et al. (2004), beberapa bahaya (hazard) yang sering
terjadi dan harus dimasukkan dalam daftar “risk assessment” untuk berbagai produk
perikanan termasuk kekerangan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Daftar hazard dan jenis produk perikanan yang harus dimasukkan dalam profil
resiko (risk profile)
Hazard Produk
Hazard Kimia
Ciguatera Ikan karang
Mercury Ikan predator, kekerangan
Sulphit Udang
Biotoksin Bivalve molluscs (kekerangan)
Hazard Biologis
Virus Bivalve molluscs (kekerangan)
Listeria monocytogenes Ikan asap
Salmonella Udang rebus
Vibrio parahaemolyticus Shellfish dimakan mentah termasuk
kekerangan
Staphylococcus aureus Seafood masak
Clostridium botulinum Ikan kalengan atau dikemas vakum
Histamin Ikan-ikan scombroid
Parasit Ikan mentah
Sumber: Sumner et al., 2004
13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Mikroorganisme
Salmonella 10 – 100 sel 100.000 sel
V. parahaemolyticus > 10.000 sel > 10.000 sel
Listeria monocytogenes 1000 – 10.000 sel >1.000.000 sel
Virus Hepatitis A 1 – 10 partikel 10 – 100 partikel
Sumber : Sumner et al., 2004
Permasalahan
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
sanitasi yang sangat ketat terhadap kekerangan yang diimpor dari negara-negara
berkembang, termasuk standar cemaran mikrobiologi (bakteri penyakit dan virus), logam
berat, dan biotoksin. Ironinya hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh Uni Eropa ini
seringkali sangat diskriminatif sehingga menghambat kelancaran ekspor kekerangan dari
negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagai contoh: semua kekerangan yang diimpor
dari negara berkembang ke Uni Eropa dipersyaratkan harus bebas dari semua bakteri
pathogen dan faecal coliform. Namun dalam kenyataannya, kekerangan yang dipanen dari
perairan Belanda dan diketemukan terkontaminasi oleh Salmonella atau faecal coliform
boleh dijual dipasar asal diberi label “B-area product”.
Disamping itu, ekspor produk-produk perikanan termasuk kekerangan juga
dihadapkan pada hambatan non-tarif yang bernuansa “non-trade concerns” seperti isu
lingkungan, HAM, animal welfare, dsb. Hambatan teknis ini sering kali juga diberlakukan
secara diskriminatif dan tidak transparan, sehingga banyak yang menjadi hambatan
terselubung dalam perdagangan (disguised restriction to trade).
Secara umum, kekerangan yang akan dijual di pasar internasional khususnya Uni
Eropa dan Amerika Serikat harus memenuhi standar mutu sebagai berikut:
a. harus segar, hidup dan dagingnya bebas dari kotoran dan lumpur
b. mengandung faecal coliform kurang dari 300 atau bakteri E. coli kurang dari
230/100 g daging kerang
c. tidak mengandung “pathogenic marine bacteria” dan virus dalam jumlah yang dapat
menyebabkan sakit pada konsumen
d. bebas dari bakteri Salmonella atau toksin atau senyawa-senyawa lain yang dapat
membahayakan kesehatan
e. tidak mengandung “action levels” PSP (paralytic shellfish poisoning) 80
microgram/100gram atau diarrhetic shellfish poisoning (DSP)(Anonim, 2001)
Oleh karena itu, agar kekerangan yang dihasilkan memenuhi standar mutu yang
dipersyaratkan, maka diperlukan langkah-langkah untuk mengendalikan tingkat
pencemaran tersebut. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah pemetaan
dan klasifikasi perairan yang akan dipakai untuk budidaya atau pemanenan, menurut
tingkat cemaran yang ada baik cemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia maupun
yang alamiah. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara telah melakukan klasifikasi
perairan untuk budidaya kekerangan, bahkan di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan
Amerika Serikat hal ini merupakan suatu keharusan dan merupakan bagian integral dari
program sanitasi kekerangan nasional. Menurut kriteria Uni Eropa dan Amerika Serikat,
15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
maka perairan untuk budidaya kekerangan dikelompokkan menjadi 3, yaitu Klas A, Klas B
dan Klas C (Anonim, 2001).
Perairan Klas A: menghasilkan kekerangan yang langsung dapat dimakan tanpa proses
pembersihan atau perlakuan apapun. Kekerangan yang dihasilkan mengandung faecal
coliform kurang dari 300 atau E. coli kurang dari 230 per 100 gram daging.
Perairan Klas B: menghasilkan kekerangan yang harus di purifikasi paling sedikit 36 jam.
Pada saat dipanen, kekerangan yang dihasilkan mengandung faecal coliform antara 300 –
6000 atau kurang dari 4600 E. coli per 100 g daging dari 90% sample.
Perairan Klas C: menghasilkan kekerangan yang harus dikarantina dalam perairan bersih
(perairan klas A) sampai mutu sanitasinya sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.
Pada saat dipanen, kekerangan yang dihasilkan mengandung faecal coliform antara 6000
sampai 60.000 per 100 g daging.
Sistem klasifikasi tersebut didasarkan pada tingkat bahaya (hazard) yang dapat
ditimbulkan oleh cemaran limbah (sewage). Di perairan tropis seperti Indonesia dimana
suhu udara dapat mencapai lebih dari 30 C, kemungkinan terjadinya kontaminasi
kekerangan oleh bakteri patogen indigenous seperti Vibrio sp sangat tinggi. Oleh karena itu,
kandungan bakteri Vibrio sp ini harus diturunkan sampai batas ambang aman infeksi
sebelum dijual di pasar (Anonim, 2001).
Dilain pihak, kekerangan yang tidak dipurifikasi harus dimasak dengan baik (sampai
suhunya mencapai 90 C minimal selama 1,5 menit) sebelum dikonsumsi. Proses
pemasakan ini sangat penting untuk mematikan semua mikroorganisme yang terdapat
pada kekerangan. Akan tetapi, proses pemasakan yang relatif pendek ini tidak mampu
meng-eliminasi toksin PSP (paralytic shellfish poisoning) yang terdapat pada daging
kekerangan. Oleh karena itu, perairan yang tercemar dengan toksin PSP, DSP dan ASP
seyogyanya ditutup dan dilarang untuk kegiatan budidaya maupun pemanenan
kekerangan.
16
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Pemanenan
Kekerangan yang dipanen seyogyanya harus berasal dari wilayah perairan dalam klas A
atau B serta bebas dari potensi cemaran biotoksin (PSP, DSP dan ASP). Segera setelah
dipanen kekerangan dicuci/disemprot dengan air laut bersih untuk menghilangkan lumpur
dan kotoran yang melekat. Kekerangan yang sudah bersih kemudian dimasukkan dalam
wadah dan dijaga agar kondisinya selalu lembab dan terbebas dari sengatan terik matahari
secara langsung agar tetap hidup dan mutunya prima.
Transportasi
Selama transportasi dan retail suhu kekerangan harus dipertahankan pada suhu dingin
(dibawah 15C) agar mutu sanitasi dan viabilitas tetap terjamin. Hal ini mengingat bahwa di
negara berkembang termasuk Indonesia, kekerangan biasanya diangkut pada suhu kamar
(ambient) dalam keranjang atau wadah dan sekedar ditutup untuk menghindari sinar
matahari secara langsung. Dalam kondisi seperti ini, jumlah kandungan bakteri akan
meningkat dengan cepat dan dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Purifikasi
Purifikasi merupakan langkah yang sangat penting untuk menurunkan kandungan berbagai
cemaran pada kekerangan, khususnya kotoran, virus, dan bakteri pathogen sebelum dijual
di pasar. Namun proses purifikasi ini belum banyak diterapkan di negara-negara
berkembang di Asia. Di negara-negara sub-tropis, proses purifikasi ini merupakan prosedur
baku yang harus dilakukan oleh setiap pengusaha kekerangan. Dalam proses purifikasi
biasanya kekerangan dimasukkan kedalam suatu bak tertutup yang berisi air laut steril
yang mengalir atau dengan sistem re-sirkulasi selama 36 sampai 48 jam agar terjadi proses
17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dekontaminasi secara alami. Pada umumnya untuk sterilisasi ini digunakan UV sterilizer.
Untuk mempercepat proses purifikasi dan mengurangi stress pada kekerangan, maka
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Sebelum kekerangan dimasukkan dalam bak purifikasi, sebaiknya dibersihkan dari
lumpur dan kotoran termasuk binatang (barnacles) yang melekat.
b. Dipilih hanya kekerangan yang masih hidup
c. Suhu, salinitas dan kadar oxygen dalam air purifikasi harus dijaga dengan baik agar
kekerangan tidak stress dan mati selama proses purifikasi
d. Unit purifikasi tidak boleh diisi terlalu banyak (overloaded)
e. Air untuk purifikasi harus dipertahankan agar selalu jernih sehingga proses
sterilisasi dengan sinar UV berjalan efektif
f. Kekerangan yang telah dipurifikasi harus diberi label dan dijaga dari kemungkinan
re-kontaminasi selama proses distribusi dan pemasaran.
Pada umumnya, sistem purifikasi ini dapat mengeliminasi bakteri pathogen dan
bakteri-bakteri faecal dalam 36 sampai 48 jam (Anonim, 2001).
Dokumentasi/Traceability
18
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Dari uraian diatas terlihat bahwa industi kekerangan menghadapi berbagai tantangan
yang cukup berat agar mampu menembus pasar global. Masalah utama yang sangat
mendesak dan perlu untuk segera ditangani adalah bagaimana mengatasi kasus embargo
yang diberlakukan oleh Uni Eropa sejak tahun 1997, mengingat Uni Eropa merupakan
salah satu pasar ekspor utama bagi kekerangan dari Indonesia. Dalam kaitan ini maka
diperlukan langkah-langkah pembenahan, terutama penyusunan peraturan tentang sanitasi
dan hygiene kekerangan yang mengacu kepada EC Food Law 2002/178 khususnya Annex
III Section VII tentang Live Bivalve Mollusks (Council Directive 91/492/EEC). Peraturan
tersebut mencakup antara lain:
a. Persyaratan Umum tentang Perdagangan Kekerangan (Bivalve Mollusks)
b. Persyaratan Hygiene dalam Produksi dan Pemanenan Kekerangan Hidup, termasuk
Persyaratan tentang Perairan/Daerah Produksi Kekerangan, Persyaratan
Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen dan Persyaratan untuk “Relaying”
Kekerangan
c. Persyaratan Struktural untuk Pusat Pengumpulan dan Purifikasi
d. Persyaratan Hygiene untuk Pusat Pengumpulan dan Purifikasi
e. Standar Kesehatan untuk Bivalve Mollusks Hidup
f. Pengemasan dan Pengepakan
g. Penandaan dan Pelabelan
h. Persyaratan Khusus untuk Pectinidae yang Dipanen diluar “Classified Production
Areas”.
Disamping peraturan tersebut, diperlukan langkah-langkah persiapan di lapangan
antara lain pemetaan/klasifikasi wilayah perairan yang akan dipergunakan untuk kegiatan
budidaya kekerangan atau akan dipakai sebagai wilayah penangkapan, pemanenan atau
“relaying” kekerangan agar mutunya sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.
Klasifikasi (zonasi) perairan ini harus dilandasi dengan data monitoring mingguan atau
bulanan tentang kadar cemaran yang terdapat di perairan dimaksud. Monitoring kadar
cemaran tersebut mencakup cemaran mikrobiologi khususnya virus hepatitis A, bakteri
pathogen, faecal coliform dan E. coli, cemaran logam berat (Hg, Cd, Pb) dan pestisida serta
cemaran biotoksin khususnya PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish
Poisoning) dan ASP (Amnesic Shellfish Poisoning). Program monitoring ini harus dilakukan
secara kontinu dan tepat waktu serta didokumentasikan dengan tertib.
Program monitoring ini sekaligus merupakan perangkat untuk “early warning system”
– khususnya bila terdapat indikasi terjadinya penyimpangan atau potensi bahaya (hazard)
dari meningkatnya kandungan cemaran di perairan tersebut. Dalam kaitan ini,
19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Handling Shellfish. A guide to the safe handling of molluscan shellfish in
Southeast Asia. National Resources Institute Booklet, United Kingdom.
Anonim, 1991. Council Directive 91/492/EEC of 15 July 1991 laying down the health
conditions for the production and placing on the market of live bivalve molluscs.
Official Journal L 268, 24/09/1991.
20
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Sumner, J., T. Ross and L. Ababouch, 2004. Application of risk assessment in the fish
industry. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy.
Unar, M., M. Fatuchri and R. Andamari. 1982. Bivalve culture in Asia and the Pacific.
Proceedings of a workshop held in Singapore, 16 – 19 February 1982. Edt. F.
Brian Davy and M. Graham.
21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
gantung dan padat penebaran yang terbaik yang mempengaruhi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup abalone yang dibudidayakan di laut. Untuk menguasai teknik abalone
muda hingga mencapai ukuran abalone besar dengan menggunakan kurungan gantung di
laut. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan metode yang efisien dan efektif untuk
pemeliharaan abalone muda dan pembesarannya hingga mencapai ukuran desawa yang
layak untuk dilepaskan atau dibudidayakan pada perairan pantai; dan melakukan
pelepasan abalone di alam (sea ranching) untuk menentukan ukuran terbaik abalone
dilepas di alam. Penelitian ini difokuskan pada metode sea ranching dengan cara
melakukan perbaikan habitat sebelum sea ranching dilakukan yang memberikan hasil yang
sangat memuaskan dan menjadi teknologi percontohan dalam usaha sea ranching abalone
di tempat lain.
Tahap I : Penelitian, Tahun I dan II masing-masing dilakukan di Hatchery Jalan R.
Martadinata, Kelurahan Purirano, Kecamatan Kendari, Kotamadya Kendari dan Tanjung
Tiram Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Hasil penelitian tahun I menunjukkan bahwa bentik diatome yang diisolasi dari air laut,
KCL, lendir abalone, kombinasi bentik diatome yang diisolasi dari air laut dengan KCL,
kombinasi bentik diatome yang diisolasi dari air laut dengan lendir abalone, bentik diatome
pada daun Enhalus acroides dapat dengan efektif merangsang larva veliger yang berenang
bermetamorfosis menjadi veliger menempel. Berdasarkan hasil penelitian maka teknik
terbaik untuk memacu larva bermetamorfosis dan menempel serta untuk menghasilkan
post larvae dengan lubang respirasi pertama pada cangkang sangat efisien dan efektif
adalah dengan menggunakan kombinasi lendir abalone dengan bentik diatome yang
didominasi terutama Navicula sp dan juga terdapat Coconeis sp dan Nitzchia sp.
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah larva yang menempel atau hidup setelah masa
pemeliharaan dengan menggunakan kombinasi lendir abalone dengan bentik diatom
adalah tertinggi dengan mencapai nilai rata-rata 76,50% dan berbeda sangat nyata
dibandingkan dengan menggunakan bahan pemacu metamorfosis lainnya. Sedangkan
jumlah larva yang menempel atau yang hidup setelah 10 hari masa pemeliharaan dengan
menggunkan kombinasi lendir abalone dengan bentik diatom adalah tertinggi (24,63%) dan
berbeda sangat nyata dibandingkan dengan menggunakan bahan lainnya. Demikian
dengan post larvae dengan lubang repiratory pertama yang dihasilkan dengan
menggunakan post larvae dengan lubang repiratory pertama yang dihasilkan dengan
menggunakan kombinasi bentik diatom dengan lendir abalone adalah tertinggi (1,813%)
dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan penggunaan bahan lain.
Penelitian tahun II menunjukkan bahwa, bentik diatom merupakan pakan terbaik
untuk memelihara larvae abalone fase lubang respirasi pertama pada cangkang hingga
23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
berbeda sangat nyata dibandingkan dengan menggunakan intensitas cahaya 0 – 80 lux dan
147 – 2010 lux.
Penggunaan intensitas cahaya 117 – 656 lux merupakan jumlah cahaya yang sesuai
untuk pertumbuhan diatom Navicula sp, Nizchia sp, dan Coconeis sp karena intensitas
cahaya tersebut mempu mempertahankan pertumbuhan larva dan pakan dalam bak
meskipun jumlah larva yang sama yaitu 600.000 larva/ton dan juga pupuk yang digunakan
sama dengan yang digunakan pada intensitas cahaya 0 -80 lux dan 148 – 2010 lux. Hal ini
menunjukkan juga bahwa keseimbangan pertumbuhan larva abalone/juvenile dengan
pertumbuhan pakan bentik diatom pada bak kultur dapat dijamin dengan menggunakan
intensitas cahaya 117 – 656 lux, sehingga kegiatan pembenihan secara intensif untuk skala
komersial dapat dicapai dengan memanfaatkan intensitas cahaya tersebut.
26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Abalone, Haliotis sp. termasuk gastopod laut, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan
merupakan makanan yang sangat lezat serta dikonsumsi oleh banyak masyarakat di dunia.
Pada tahun 2002 , produksi Abalone hasil budidaya mencapai 4.706 ton dari total produksi
dunia 8.000 ton (FAO, 2004). Negara produsen Abalone hasil budidaya adalah Taiwan,
China, Afrika Selatan, Jepang, Chile, Amerika Serikat, Australia dan New Zeland. Di
Indonesia data produksi Abalone hasil budidaya belum tersedia.
Masalah utama yang dihadapi dalam perbenihan abalone adalah, bahwa kematian
yang sangat tinggi terjadi saat post larva mulai menempel pada substrat dan kematian
berikutnya terjadi pada saat juvenil dipindahkan dari substrat ke tempat pembesaran. Pusat
Riset Perikanan Budidaya bekerjasama dengan Kyowa Marine Tech Jepang sedang
melaksanakan riset perbenihan Abalone di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut
Gondol. Ada dua jenis Abalon yang sedang dikembangkan teknologi perbenihannya yaitu
jenis ”Mimigai”, Haliotis asinina dan ”Tokobushi”, Haliotis diversicolor.
Dalam paper ini disajikan teknologi perbenihan Abalone yang sedang dikembangkan
di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol dan pengalaman penulis melakukan
riset perbenihan di Jepang.
27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A1
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Kerang Hijau (Perna viridis) adalah salah satu jenis biota laut yang telah dikenal dan
dibudidayakan oleh masyarakat beberapa puluh tahun yang lalu. Kerang hijau termasuk
bivalvia yang mempunyai pertumbuhan ertical cepat dibandingkan dengan jenis kerang
lain, pada umur 6 – 7 bulan sudah dapat dipanen. Phytoplankton sebagai sumber makanan
utama untuk bivalvia dan beberapa larva ertical n dan ikan laut. Campuran beberapa
jenis phytoplankton dapat meningkatkan kandungan nutrisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan yang normal dan kelulus
hidupan. Tujuan dari perekayasaan ini adalah membandingkan pemberian pakan campuran
beberapa jenis phytoplankton, dengan Perlakuan I diberi pakan berupa campuran dari
Isochrysis galbana, Tetraselmis sp dan Perlakuan II Chaetoceros sp, Tetraselmis sp and
Pavlova lutheri
Hasil yang didapat dari perekayasaan ini, pada Perlakuan I panjang pada D.50=4,5
cm dan kelulus hidupan 1,7 %.. Sedangkan pada Perlakuan II panjang pada D.50=2,2 cm
dan kelulus hidupan 2 %.
Pendahuluan
Kerang Hijau (Perna viridis) adalah salah satu jenis biota laut yang telah dikenal dan
dibudidayakan oleh masyarakat beberapa puluh tahun yang lalu. Kerang hijau termasuk
bivalvia yang mempunyai pertumbuhan relatif cepat dibandingkan dengan jenis kerang lain,
pada umur 6 – 7 bulan sudah dapat dipanen dengan ukuran cangkang lebih kurang 6 cm
dan berat daging sekitar 30 % dari berat total cangkang. Ketersediaan benih atau spat
kerang hijau di alam cukup banyak akan tetapi tidak semua daerah mempunyai stok benih
alam baik secara kualitas maupun kuantitasnya Benih kerang hijau di Singapura terdapat
sepanjang tahun dengan puncak musim pada bulan Februari hingga Mei dan bulan
Oktober hingga Nopember di sebeleh timur Selat Johor, serta bulan Juni hingga Agustus
dan Nopember hingga Desember di sebelah barat Selat Johor (Andamari dan Ismail, 1985).
Di Indonesia musim puncak pemijahan terjadi pada bulan Maret hingga Agustus. Untuk
menunjang pengembangan budidaya kerang hijau di daerah yang benihnya masih
29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
bergantung pada musim perlu dirintis usaha pembenihan secara terkendali dan kontinyu di
unit pembenihan.
Menurut Asikin (1982), Kerang hijau adalah salah satu jenis kerang termasuk
golongan binatang lunak ( Mollusca), bercangkang dua (bivalva), insang berlapis-lapis
(Lamellibranchia), berkaki kapak ( Pelecypoda) dan hidup di laut.
Kerang hijau mempunyai kebiasaan khusus, yaitu lebih menyukai melekatkan diri
secara tetap pada benda- benda keras yang ada disekelilingnya. Habitat kerang hijau
belum ditemukan merata di seluruh perairan Indonesia. Karakteristik perairan yang
merupakan habitat kerang hijau secara umum bersifat keruh, suhu perairan antara 27 – 37
oC, salinitas 27 – 34 ppt, pH 6 – 8, kecerahan air laut antara 3.5 – 4 meter, arus dan angin
tidak terlalu kuat dan kedalaman perairan antara 10 – 20 meter.
Kerang hijau bersifat filter feeder (penyaring makanan) sehingga kebutuhan makanan
tergantung pada perairan sekitarnya terutama makanan yang terbawa oleh arus. Beberapa
jenis makanan kerang hijau yaitu plankton dan beberapa partikel organik.
Pada umumnya alat kelamin kerang hijau terpisah atau disebut dioecious, yaitu dalam
satu individu hanya terdapat alat kelamin jantan atau betina saja. Tetapi kadang-kadang
dijumpai juga kerang hijau yang bersifat hermaprodit yaitu dalam satu individu terdapat dua
organ reproduksi yaitu jantan dan betina.
Klasifikasi kerang hijau menurut Jenkins (1987) adalah sebagai berikut :
Phylum : Mollusca
Kelas : Bivalvia
Sub Kelas : Lamellibranchia
Ordo : Anisomyaria
Famili : Mytilidae
Genus : Perna
Species : Perna viridis L.
Bentuk agak pipih dan memanjang, mempunyai cangkang yang pipih, keduanya
simetris, namun satu cangkang agak cembung dari yang lainnya serta umbonya
melengkung ke depan. Tipe alur cangkang konsentrik, dengan bagian pinggir berwarna
hijau kebiruan. Ukuran panjang cangkang dapat mencapai 10-15 cm. Bentuk kedua
cangkang kerang hijau sama sebangun, lonjong dimana bagian depannya cekung dan
bagian belakang cembung, serta bagian atasnya lancip. Panjangnya lebih dari dua kali
lebarnya, hubungan kedua cangkangnya dilakukan oleh ikat engsel yang terletak dibagian
atas. Ikat engsel ini berfungsi sebagai pembuka cangkang (Hasibuan, 1986).
Cangkang bagian luar berwarna coklat dan hijau menyala pada bagian pinggir
ventralnya. Semakin tua warna hijaunya semakin mendesak ketepian. Ada gari-garis
30
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
lengkung mengikuti bentuk pinggiran cangkangnya. Garis lengkung ini disebut garis
pertumbuhan atau garis umur, sedangkan cangkang bagian dalam halus dan berwarna
putih mengkilat. Tubuh kerang hijau terbagi tiga bagian utama, yaitu bagian kaki, mantel
dan visceral mass atau bagian tubuh sebenarnya. Kakinya dapat bergerak memanjang dan
memendek, berbentuk seperti lidah dan terletak dibagian depan atas diantara bibirnya.
Fungsinya sebagai organ untuk bergerak atau merayap. Di bagian bawahnya ada suatu
serabut untuk melekatkan dirinya pada benda-benda keras. Organ ini disebut byssus,
keistimewahannya dari byssus adalah cepat tumbuh lagi apabila terpotong (Suwignyo dkk,
2005).
Kerang hijau banyak terdapat di perairan dekat muara, biasanya hidup menempel
dengan byssusnya pada substrat, seperti tiang-tiang bagan, jermal atau sero maupun di
tiang-tiang dermaga pelabuhan. Kerang hijau dapat hidup baik pada perairan dengan
kisaran kedalaman antara 1-7 meter, ia mempunyai daya toleransi tinggi terhadap
perubahan kadar garam antara 27-35 psu (Vakily, 1989).
Kerang hijau terdapat dalam jumlah yang berlimpah di sepanjang pantai Indonesia
dan memijah sepanjang tahun, tetapi puncak musimnya terjadi pada bulan Maret sampai
dengan Juli. Pemijahan terjadi akibat adanya rangsangan alami seperti perubahan suhu air
dan salinitas. Seekor induk kerang hijau dapat menghasilkan telur sebanyak kurang lebih
1,2 juta butir.
Pada umumnya alat kelamin kerang hijau terpisah (dioceous), tetapi kadang-kadang
dijumpai juga kerang yang hermaphrodit. Kerang hijau tergolong binatang ovivar, artinya
telur dan sperma jumlahnya amat banyak dan mikroskopis. Telur-telur dan sperma yang
disemburkan oleh kerang dewasa melayang-layang di air dan segera terjadi pembuahan
saat keduanya bertemu. Dengan demikian pembuahannya terjadi di luar tubuh. Bentuk
telurnya lonjong dan akan berubah menjadi bulat bila terkena air laut begitu keluar dari
induknya. Spermanya seperti kecebong dengan ekor yang panjang. Siklus hidup kerang
hijau sangat kompleks, dimulai dari telur, burayak, spat barulah menjadi kerang dewasa.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyediakan benih atau spat kerang hijau
secara kontinyu, tepat waktu dan tidak tergantung dari alam. Adapun sasaran yang akan
dicapai pada tahun anggaran ini adalah tingkat kelangsungan hidup spat umur 50 hari
sebesar 2 %.
31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
32
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
pada pagi hari pukul 07.00, siang hari pukul 12.00 dan sore hari pukul 17.00. Pemeliharaan
larva dan dosis pemberian pakan dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemeliharaan larva kerang hijau Perna viridis di laboratorium
Umur Jenis pakan Dosis pakan (sel/ml)
I II I II
D.1 I C 50x103 50x103
D.5 I+T+P C+T+P 50x103 50x103
D.10 I+T+P C+T+P 37,5x103+25x103+37,5x103
37,5x103+25x103+37,5x103
D.20 I+T+P C+T+P 37,5x103+25x103+37,5x103
37,5x103+25x103+37,5x103
D.30 I+T+P C+T+P 37,5x103+25x103+37,5x103
37,5x103+25x103+37,5x103
D.50 I+T+P C+T+P 56x103+37,5x103+56x103
56x103+37,5x103+56x103
Keterangan :
I = Isochrysis galbana T = Tetraselmis sp
P = Pavlova lutheri C = Chaetoceros sp
Setelah larva mencapai stadia pediveliger mulai disiapkan kolektor yang terbuat dari
waring hijau atau polynet bersegi empat dengan tali rami. Kolektor tersebut digantung
secara ertical pada bak fiberglass sebagai tempat penempelan spat. Selama
pemeliharaan dilakukan pergantian air sebanyak 30 – 50 % secara sirkulasi.. Pakan alami
diberikan sesuai perlakuan dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
tingkat preferensi spat. Setelah spat menempel selama 2 – 3 minggu dosis campuran
yang digunakan adalah 15.000 – 20.000 sel/ml dan setelah berumur lebih dari 3 minggu
diberi pakan dengan kepadatan > 20.000 sel/ml. Pada waktu spat berumur 50 – 60 hari
atau telah mencapai ukuran 2,5 – 3 mm spat kerang hijau dapat dipindahkan ke tempat
pemeliharaan di laut.
33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Tabel 2. Data rata-rata Pertumbuhan Larva dan Laju kelangsungan hidup pada kerang
yaang diberi pakan I+T+P
Umur Ukuran Larva Jumlah Spat Sintasan
Larva ( AV x DV ) ( Ekor ) (%)
D2 101,39 x 75,69µ 13.500.000
D5 105,29 x 78,50µ 12.500.000
D10 171,02 x 142,13µ 9.900.000
D15 204,28 x 176,62µ 6.300.000
D20 280,82 x 242,97µ 2.700.000
D30 289,93 x 250,45µ 1.800.000
D50 2,2 mm 900.000 2
Keterangan : I = Isochrysis galbana T = Tetraselmis sp P = Pavlova lutheri
Tabel 3. Data rata-rata Pertumbuhan Larva dan Laju kelangsungan hidup pada kerang
yang diberi pakan C+T+P
Umur Ukuran Larva Jumlah Spat Sintasan
Larva ( AV x DV ) ( Ekor ) (%)
D2 114,35 x 88,22 µ 13.500.000
D5 117,75 x 91,89µ 12.500.000
D10 120,85 x 93,45µ 8.100.000
D15 225,77 x 198,86µ 6.300.000
D20 324,74 x 290,63µ 1.000.000
D30 335,85 x 298,11µ 700.000
D50 4,5 mm 500.000 1,7
Keterangan : C = Chaetoceros sp T = Tetraselmis sp P = Pavlova lutheri
34
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Pada saat berumur D10, larva yang diberi perlakuan pakan Chaetoceros sp mulai
mengalami kemajuan pertumbuhan yang cukup baik. Dari pengamatan larva yang
dilakukan secara mikrokopis, tampak perut larva berwarna kuning kehijauan Ini berarti
bahwa larva telah dapat mengkonsumsi pakan Chaetoceros sp, Tetraselmis sp dan
Pavlova lutheri secara maksimal.
Selama masa pemeliharaan tiap-tiap bak perlakuan mengalami mortalitas pada saat
fase-fase kritis. Pada bak I terjadi mortalitas yang tinggi pada saat larva berumur D10 –
D15. Hal ini disebabkan pada waktu tersebut larva mengalami metamorfosis menjadi fase
umbo. Ini sesuai dengan pendapat Gosling (2003) dan Winanto (2004), bahwa selama
pertumbuhan larva mengalami 3 kali periode kritis. Pertama pada fase D yaitu larva
pertama kali mulai makan, Kedua pada fase umbo dan terakhir pada fase plantigrade yaitu
pada saat larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari planktonis menjadi spat yang
hidupnya menetap di dasar. Selain itu, mortalitas juga disebabkan dosis pakan yang
diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan karena terjadi kontaminasi pakan.
Hasil pengamatan terhadap tahapan perkembangan larva kerang hijau, terjadi
keterlambatan dalam waktu penempelan larva. Larva baru menempel pada hari ke 25 – 30
dengan ukuran 250 – 350 mikron. Hal ini di duga terjadi karena suhu di dalam bak
pemeliharaan antara 27 – 27,4 0C. Ini sesuai dengan pendapat Spencer (2002) dan Gosling
(2003) bahwa dalam kondisi laboratorium, suhu yang bervariasi dapat mempengaruhi
waktu penempelan larva.Pada kondisi normal antara suhu 28 – 30 0C, larva akan
menempatkan diri untuk menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 20 – 22 hari
dengan ukuran 200 – 250 mikron sedangkan pada rentang suhu 24,3 – 27,2 0C, larva baru
akan menetap dan melekat pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250
– 300 mikron. (Gambar 2).
Hasil pengamatan kualitas air selama pemeliharaan masih dalam kisaran optimal
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kerang hijau.
Tabel 4. Data Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan
1 Suhu (0 C ) 27 – 29 27 – 29
2 Salinitas ( ppt ) 30 – 32 30 – 32
3. pH 7,87 – 8 7,87 – 8
4. DO 4,5 4,5
5 NO2 ( ppm ) 0,272 – 0,350 0,152 – 0,315
6 NO3 (ppm) 0.0470 – 0,0475 0,0460 – 0,0470
7 NH3 ( ppm ) 0,0473 – 0,051 0,0466 – 0,0512
35
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan pemeliharaan larva dan spat kerang hijau selama 50 hari
di bak terkendali, pemberian pakan Isochrysis galbana, Tetraselmis sp dan Pavlova
lutheri memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik. Namun pada bak dengan
perlakuan pakan Chaetoceros sp, Tetraselmis sp dan Pavlova lutheri, memberikan
kelangsungan hidup lebih rendah, karena pada bak ini terjadi mortalitas yang tinggi pada
fase kritis ke 2.
Daftar Pustaka
Amini, 1990. The Biochemical Composition of Isochrysis galbana clone Tahiti (T-Iso). Jur.
Pen.Bud.Pantai Vol. 6 No. 1 : 53-62.
Andamari, R dan Wardana Ismail, 1985. Pendugaan ketersediaan Benih kerang Hijau (P.
Viridis L.) di Perairan Ketapang, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang. Lap.
Pen. Perikanan laut No.32 Th. 1985 : 7 – 14.
Anonim. 1986. The Philippines Recomends for Mussel and Oyster. PCARRD. Technology
Bulletin No. 66. 34 pp.
Asikin, 1982. Kerang Hijau. PT. Penebar Swadaya, eri : C-XII/43, Jakarta.
Chapman, V.J. and D.J. Chapman, 1973. The Algae. The University Press, Glasgow,
London and Basingstoke.
Dahuri, R, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Pradnya Paramitha. Jakarta.
De Pauw ., 1982. Use and Production of Microalgae as Food for Nursery Bivalves.
Laboratory for marine Culture State University of Ghent, Belgium.
Jenkin, R.J. 1987. Mussel Cultivation in The Marlborough Sonds (New Zealands). 75 pp.
Technical Officer NZ Fishing Industry Board Wellington, New Zealand.
Sitoy, H.S., A.L. Young and M.Y. Tabbu, 1983. Raft culture of Mussel. 11 pp. AQD
SEAFDEC , Tigbauan, Illo-illo, Philippines.
36
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Vakily, J.M, 1989. The Biology and culture of Mussels of The Genu Perna. International
Center for LivingAquatic Resources Management.
Voltalino, D.et al., 1994. Culture of Pavlova lutheri (Droop) Green (Prymnresophyta) in
Dilluted Wastewater. Journal of Applied Phycology 6 : 285 – 288, Kluwer Academic
Publisher.
Watanabe, T.C., Kitajima and S.Fujita, 1983. Nutritional Values of Live Organism used in
Japan for Propagation of Fish. A review Aquaculture.
37
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A2
_________________________________________________________________________________________
Pr. A. Uneputty
Abstrak
Spesies Trochus niloticus dikenal sebagai “bia” lola oleh para nelayan di Maluku.
Cangkang lola mempunyai nilai jual yang tinggi karena mempunyai kualitas mother of pearl
shell (lapisan mutiara) yang terbaik. Beberapa tahun belakangan ini ketersediaan stok lola
di alam semakin berkurang sedangkan permintaan semakin tinggi. Sistem pemanenan lola
di Maluku sampai saat ini diambil langsung dari alam. Pengelolaan sumberdaya alam di
Maluku diatur oleh hokum adapt yang disebut sasi. Sasi merupakan salah satu pengelolaan
tradisional yang dipraktekkan oleh masyarakat baik itu sasi darat maupun sasi laut. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi, distribusi dan pengelolaan lola
(Trochus niloticus).
Penelitian ini dilakukan dari bulan maret sampai bulan April 2007. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa total jumlah populasi yaitu 38121 individu dengan densitas rata-rata
0.932 ind/m2. Lola terdistribusi mulai dari zona intertidal bagian tengah sampai ke daerah
tubir. Hal ini berhubungan erat dengan variasi ukuran cangkang (i.e. tinggi dan diameter).
Untuk lola degan ukuran < 2 cm menyebar pada bagian atas sampai bagian tengah
sedangkan untuk lola dengan ukuran > 2 cm menyebar mulai dari bagian tengah sampai
pada daerah tepian tubir. Telah terjadi perubahan bentuk sasi lola pada desa ini dimana
bentuk sasi saat ini diselenggarakan dengan cara melelang areal sasi kepada penduduk
local ataupun dari luar yang dilakukan oleh pemerintah desa.
Kata kunci: lola, sasi
38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A3
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Keong mas atau siput murbai (Pomacea canaliculata Lamack) mempunyai kandungan
gizi yang cukup tinggi, dapat berkembang biak dengan cepat serta mudah beradaptasi
dengan berbagai kondisi lingkungan. Menurut Philippine Rice Research Institute (2001),
seratus gram daging siput murbai mempunyai nilai gizi yang berupa: energi makanan 83
kalori, protein 12,2 gram, lemak 0,4 gram, karbohidrat 6,6 gram; abuniacin 1,8 gram.
Kandungan makanan lainnya adalah vitain C, Zn, Cu, Mn dan Jodium. Dijelaskan pula
bahwa siput murbai tersebut dapat dimasak menjadi makanan manusia sebagai makanan
ringan serta sebagai bahan baku pellet untuk pakan ikan dan ternak.
Kata kunci: siput murbai, makanan ringan
39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A4
_________________________________________________________________________________________
Magdalena Litaay
Abstrak
Pendahuluan
Lola dan kima adalah dua kelompok moluska laut yang oleh karena nilai ekonomisnya
telah dieksploitasi berlebihan, sehingga telah masuk daftar species langka dan dilindungi di
Indonesia (Marwoto, 2001). Lola (Trochus niloticus) di Indonesia dikenal dengan istilah lain:
lola merah, susu bundar (Dharma, 1988). Dagingnya dimanfaatkan sebagai sumber protein,
sedangkan cangkang yang memiliki lapisan mutiara yang menarik dimanfaatkan
diantaranya dalam industri jelewry, keramik, kancing. Kima (famili tridacnidae) dikenal
sebagai kerang raksasa, terdapat tujuh jenis di Indonesia (Dharma, 1992) dan semuanya
telah dilindungi. Jenis kima yang dilindungi tersebut yakni: Tridacna gigas, T. squamosa, T.
crocea, T. maxima, Hippopus hippopus, H. porcelanus. Upaya untuk mempertahankan
populasi alami melalui budidaya telah dilakukan di beberapa tempat baik dalam skala kecil
maupun skala industri (Rachman & Wahyuni, 2006). Pengembangan budidaya lola dan
40
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kima yang bertujuan untuk restocking dan sea ranching belum banyak dilakukan. Tulisan ini
membahas beberapa aspek yang berhubungan dengan produksi juwana kedua komoditi ini
untuk menunjang program konservasi species langka, prospek dan tantangan.
Budidaya Kekerangan
Di Indonesia, budidaya kekerangan berkembang pesat sejak awal tahun 1980,
khususnya kerang hijau dan kerang darah (Unar et al., 1982; Putro, 2007). Hal-hal yang
menentukan keberhasilan budidaya diantaranya: lokasi budaya, induk dan benih, pakan
dan nutrisi, teknik budidaya, penanggulangan penyakit, pasca panen, mutu produk dan
pemasaran.
Pada pembudidayan lola dam kima untuk tujuan penebaran kembali melibatkan
pemanfaatan tiga lokasi yakni hatchery, pemeliharaan terkontrol di ocean nurcery dan
pembesaran di alam. Hal penting yang merupakan pertimbangan dalam pengoperasian
suatu hatchery diantaranya teknologi budidaya, sumber air tawar, sumberdaya manusia
dan akses infrastruktur. Sementara pada pembesaran di ocean nursery dan sea ranching,
kriteria seperti faktor oseanografi perairan, metode yang digunakan dan keamanan menjadi
penting.
Induk dan benih merupakan dua komponen utama dalam budidaya, dimana sumber
dan status induk yang digunakan hendaknya telah mencapai kematangan gonad, hal ini
diperlukan untuk menjamin keberhasilan pemijahan dan kualitas broodstock. Untuk kima
penentuan tingkat kematangan gonad dapat diperkirakan dari ukuran dan umur induk.
Sementara untuk lola, dimana bagian gonad tidak tampak secara visual atau tertutup
cangkang, pendugaan kualitas induk dapat berdasarkan ukuran dan berat organisme. Jenis
kelamin dapat ditentukan berdasarkan pengalaman, umumnya lola betina memiliki diameter
basal lebih lebar dari tinggi cangkang jika dibanding dengan hewan jantan. Kuantitas induk
yang digunakan dalam budidaya cukup diperhitungkan terutama dalam budidaya skala
besar. Rasio jantan dan betina yang digunakan pada pemijahan juga hendaknya
diperhitungkan. Selanjutnya pengetahuan tentang siklus hidup hewan yang dibudidayakan
mulai induk – pemijahan – penetasan – larva – juwana – dewasa perlu dipahami benar.
Pakan dan nutrisi merupakan penentu keberhasilan budidaya kekerangan. Jenis
pakan tergantung kebiasaan makan dan stadia organisme yang dibudidayakan. Lola
tergolong grazer dan herbivor, pada stadia larva memerlukan diatom sebagai pakan utama,
sementara pada tahapan juwana dan dewasa, dapat mengkonsumsi berbagai jenis alga
laut. Kima tergolong kelompok filter feeder dapat mengkonsumsi fitoplankton, misalnya
isochrysis atau ragi (Niartiningsih, 2005). Kima bersimbion dengan alga sel tunggal
zooxanthellae, olehnya, pada skala hatchery setelah zooxanthellae berhasil bersiombiosis
41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dengan kima, maka dibutuhkan pemupukan untuk membantu proses fotosintesis yang
dilakukan oleh zooxanthellae. Fasilitas penunjang kultur pakan alami, merupakan salah
satu komponen penentu keberlanjutan budidaya. Hatchery produktif umumnya dilengkapi
dengan lab alga untuk kultur pakan alami, baik stok murni maupun untuk produksi masal.
Pakan alami dengan kadar nutrisi tinggi dan aplikasi biteknologi dapat mempercepat proses
pematangan gonad. Namun terdapat konsekuensi lain pada pemakaian pakan buatan di
hatchery, terutama budidaya sistem intensif. Di lingkup budidaya, sebahagian besar sekitar
proporsi makanan buatan tidak terkonsumsi dapat mencemari lingkungan bila tidak
ditangani atau diproses dengan baik. Untuk land-based akuakultur yang memiliki unit
pengolahan limbah, hal ini bukan masalah, tetapi tidak untuk ocean based skala besar.
Budidaya kekerangan semi intensif maupun intensif melibatkan teknologi dimana
fasilitas dan metode yang digunakan dalam pembudidayaan bervariasi. Teknik
pembudidayaan skala hacthery lola dan kima tidaklah rumit (Hahn, 1989; Braley, 1992).
Teknik pemijahan pada lola misalnya dapat menggunakan metode stress suhu, air
mengalir, aerasi kuat atau kombinasi, sedangkan untuk kima: stress suhu, suspensi gonad,
injeksi seratonin atau kombinasi (Niartiningsih, 2005). Pada tahapan pemeliharaan larva
ataupun juwana di hatchery dapat menggunakan sistem air mengalir atau statis.
Masalah gangguan penyakit dan organisme tidak diperlukan kehadirannya di lingkup
budidaya juga perlu dipertimbangkan. Umumnya kehadiran parasit dan penyakit
berhubungan dengan kualitas air yang tidak sesuai dengan standar budidaya. Sebagai
contoh kisaran parameter kualitas air pendukung hidup kima adalah suhu (20-30oC),
salinitas 30-40 ppm, pH 7-8 dan oksigen terlarut 7.5 – 7.8 (Effendi, 2003).
Salah satu indikator keberhasilan budidaya adalah hasil budidaya yang memenuhi
standar konsumen. Tergantung pada permintaan pasar, pasca panen melibatkan beberapa
proses penyortiran hasil budidaya dan pengemasan.
Pemasaran hasil budidaya merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
kegiatan ini. Kualitas hasil produksi budidaya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
standar pasar yang diinginkan. Pemasaran produk budidaya kekerangan dapat dalam
bentuk kedaan hidup (raw material), segar atau olahan tradisional untuk konsumsi lokal.
Sementara untuk tujuan ekspor pada umunya diperdagangkan dalam keadaan hidup, beku
atau kalengan (canned). Dewasa ini, pengawasan mutu dan sanitasi produk-produk
kekerangan diperketat, hali ini disebabkan karena tingginya kasus keracunan makanan di
beberapa negara maju karena mengkonsumsi produk perikanan tertentu termasuk
kekerangan (Putro, 2007).
42
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
2001; Purcell, 2004; Nair, 2005). Seperti dijelaskan sebelumnya, program penebaran
kembali ke alam hendaknya memperhatikan beberapa aspek diantaranya lokasi, aspek
keamanan dan teknis lainnya. Lautan merupakan daerah terbuka yang dapat diakses oleh
umum, olehnya sebelum inseminasi program, lokasi restocking ataupun sea-ranching
hendaknya dipertimbangkan dengan baik. Produksi juwana dengan tujuan akhir penyediaan
induk untuk pemijahan kembali memerlukan kriteria khusus, terutama pada hatchery
komersil, untuk tujuan ini metode percepatan pematangan gonad, penggunaan makanan
buatan dan hormon umumnya digunakan.
44
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
memerlukan dukungan komunitas lokal, majemen harus berbasis ekosistem dan teknologi
yang digunakan seharusnya berasas bersih lingkungan.
Kesimpulan
Teknik pembudidayaan lola dan kima di hatchery cukup mudah sehingga kedua
kelompok komoditi ini memiliki prospek pengembangan kedepan, namum perlu ditopang
dengan ketersediaan hatchery. Pemanfaatan pola dan kebiasaan makan kedua kelompok
ini bila dipadukan dalam sistem polikultur diharapkan dapat mengatasi kendala yang
terdapat dalam monokultur. Hal ini sekaligus akan meningkatkan produksi hatchery yang
selanjutnya dapat diperuntukan untuk berbagai tujuan. Selanjutnya, penebaran kembali
juwana ke alam dalam rangka menunjang program konservasi species langka hendaknya
memperhatikan faktor-faktor pembatas keberhasilan.
Daftar Pustaka
Ali, S., M.N. Nessa & A. Rahman. 1992. Rangkuman beberapa hasil penelitian lola
(Trochus spp). Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan
Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone.
Amos, M.J and S.W. Purcel. 2003. Evaluation strategies for intermediate culture of Trochus
niloticus (Gastropods) in sea cages for restocking. Aquaculture, 218 : 235-249.
Braley, R. D 1992. The Giant Clam. A Hatchery and Nursery Culture Manual. ACIAR,
Canberra. 144p.
Braley, R.D., and A.Rachman, 1996. Technical Note : A Succesfull Protocol for the
Hatchery and Land Nursery Culture of Giant Clam (Fam.Tridacnidae). Perairan
Maluku dan Sekitarnya. Vol.10 : 81-85.
Clarke, P.J, T.K. Komatsu, J.D. Bell, F.Lasi, C.P.Oengpepa & J. Legata. 2003. Combined
culture of Trochus niloticus and giant clams (Tridacnidae): benefits for restocking
and farming. Aquaculture 215: 123-144.
Crowe, T.P., G. Dobson & C.L. Lee. 2001. A novel method for tagging and recapturing
animals in complex habitats and its use in research into stock enhancement of
Trochus niloticus. Aquaculture 194:383-391.
Crowe, T.P., K.A. Lee, M.J. Amos, J. Dangeubun, S.A.P. Dwiono, P.C. Manuputty, F.
N’guyen, K. Pakoa and J. Tetelepta. 2002. Experimental evaluation of the use of
hatchery-reared juvenile to enhance stocks of the topshell Trochusniloticus in
Australia, Indonesia and Vanuatu. Aquaculture, 206 (3-3): 175-197.
Dharma, B., 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT. Sarana Graha.
Jakarta.
45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Dharma, B. 1992. Siput dan kerang Indonesia II (Indonesian Shells). PT. Sarana Graha,
Jakarta.
Ditjen Budidaya DKP. 2005. Iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan akuakultur di
Indonesia. Makalah disampaikan pada Akuakultur Indonesia 2005. Makassar, 25-26
November 2005
Dwiono, A. P. Makatipu, P.C & Pradina. 1997. A Hatchery for the Topshell (T. niloticus) in
Eastern Indonesia. In.: Trochus: Status, Hatchery Practice and Nutrition, ACIAR
Proceeding No. 79, ACIAR. Canberra. 34 p.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hahn, O. 1989. Culture of The Tropical Top Shell T. niloticus. Handbook of Culture of
Abalone and Other Marine Gastropods. CRC. Press Inc. Boca Raton. Florida. Pp.
301-315.
Ilahiyati, N, 2003. Distribusi dan Kelimpahan Spesies Serta Variasi Ukuran Kima
(Tridacnidae) di Perairan Kepulauan Spermonde. Skripsi Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
Lee, C.L. and M. Amos. 1997.Current status of topshell T. niloticus Hatcheries in Australia,
Indonesia and The Pacific- A. Review. In: Trochus: Status, Hatchery Practice and
Nutrition. ACIAR Proceeding No. 79, ACIAR, Canberra. 38-42.
Litaay, M., Apriadi, S. Yusuf & Arifin. 2006a. Pertumbuhan dan sintasan juwana lola
(Trochus niloticus Linn) dan kima sisik (Tridacna squamosa) pada ocean nursery P.
Barrang Lompo. Bulletin Seri Sayati Vol 9(2): 161-171.
Litaay, M., R.B. Gobel, A. Abdullah dan S. Lejab. 2007. Kualitas media pemeliharaan larva
lola merah dan kima sisik hasil filtrasi bertingkat di hatchery. Indonesian J. of Mar.
Sci. Vol 6 Juni 2007.
Nair, M. 2005. Stock enhancement programs in the United States affiliated Pacific Islands
for economic development and food security. J. Shellfish Research. 24(1): 330-331.
Niartiningsih, A., 2000. Pengaruh pemberian Zooxanthella dari Sumber yang Berbeda
Terhadap Pertumbuhan Larva Kima Sisik (Tridacna squamosa). Buletin Ilmu
Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin. VI : 233 – 239.
46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Niartiningsih, A., 2001. Analisis Mutu Zooxanthella dari Berbagai Inang dan Pengaruhnya
Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Juvenil Kima Sisik (Tridacna squamosa).
Disertasi S3. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Niartiningsih, A., G. Latama, Nessa, M.N. & Q.Ishak, 2001. Pengaruh Pemberian Obat
Cacing Mebendazole dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan
Sintasan Juvenil Kima Sisik (Tridacna squamosa) yang Terinfeksi Cacing. Sci &
Tech. Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar, Indonesia. 2 (2) : 23 – 34.
Niartiningsih, A., E.Indrawati, Hadijah, M., dan Syahruni, 2004a. Pengaruh Waktu
Pemberian Zooxanthella Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Larva Kima Sisik
Tridacna squamosa. Torani Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan 3 (14) : 121-126.
Niartiningsih, A., A.G.Tantu, Hadijah, M., & A.Salam, 2004b. Pengaruh Kepadatan
Zooxanthella Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Larva Kima Sisik Tridacna
squamosa. Torani Jurnal Ilmu Kelaautan dan Perikanan 4 (14) : 181-186.
Niartiningsih, A. 2005. Budidaya kima atau kerang raksasa. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Makassar Maritime Meeting. DKP & DPD RI. Makassar, 29-30
November 2005.
Niartiningsih, A., S. Yusuf & E. Suryaningrat. 2006. Translokasi dan restocking juvenil lola
(Trochus niloticus) dari Pulau Barrang Lompo makassar ke kawasan konservasi
Laut Gili Sulat. Lombok Timur, NTB. Prosiding KONAS V Pesisir Laut dan Pulau-
pulau Kecil, Batam 29 Agustus - 1 September 2007. Hal. 88-94.
Niartiningsih, A., M. Litaay, K. Amri & F. Akib. 2007. Sintasan dan perkembangan larva lola
merah (Trochus niloticus) pada metode pemijahan yang berbeda. BIONATURA. In
press.
Paonganan, Y. 1997. Hubungan antara lebar, panjang, berat total, berat cangkang dan
berta daging dengan berat isi perut dari Trochus niloticus Linn dikaitkan dengan
kedalaman dan habitatnya di periranan Pulau Liukang Loe Sulawesi Selatan.
Skripsi, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang: 80 hal
Paonganan, Y. 2000. Korelasi fase perkembangan gonad lola (Trochus niloticus Linn.)
dengan aspek biofisik lingkungan perairan Pulau Baki, Sulawesi Selatan, Thesis
PPs-IPB Bogor: 86 hal.
Paonganan, Y, Tjahjo Winanto and E.Soekendarsi. 2001a. Size distribution of male and
female top shell Trochus niloticus Linne in relation to the depth and
substrate.Phuket Mar. Biol. Center Spec. Publ. 25(1):89-90
47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Paonganan, Y., Tjahjo Winanto and E.Soekendarsi. 2001b. Biometrics of male and female
top shell Trochus niloticus Linne. Phuket Mar. Biol. Center Spec. Pub. 25(1):87-88
Pradina, S.A.P. Dwiono, P.E. Makatipu & Z. Arifin. 1997. Reproductive biology of Trochus
niloticus from Maluku, Eastern Indonesia. In: Trochus: Status, Hatchery Practice and
Nutrition. ACIAR Proceedings No. 79. Canberra. 47-51.
Purcell, S.W., 2004. Management Options For Restocked Trochus Fisheries. Stock
Enhancement And Sea Ranching, Developments, Pitfalls and Oppotunities
Rachman, A. and D.T. Wahyuni. 2006. Mariculture as an alternative for sustainable use of
the marinr invertebrates bio-extract-giant clam and coral culture. Presented at
International Seminar and Workshop on Marine Biodiversity and their potential for
Developing Bio-Pharmaceutical Industry in Indonesia. Jakarta, 17-18 Mei 2006.
Soekendarsih, E., M.I Djawad & Y.Paonganan. 2001. Growth rate of Trochus niloticus L.
fed on four species of benthic marine macrolagae. Phuket Mar. Spec Publ.,
25(1):135-137.
Unar, M., M. Fatuchri & R. Andamari. 1982. Bivalvie culture in Asia and the Pacific. Proceed
of a workshop held in Singapore, 16-19 February 1982. Edt. F.Brian Davy and M.
Graham.
Yusuf, S., dan W. Moka. 2000. Laju pertumbuhan kima hasil translokasi di Taman Nasional
Laut Taka Bonerate. Prosiding Lokakarya Terumbu Karang Indonesia. Coremap-
LIPI, Jakarta
48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A5
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Budidaya Kijing Taiwan (Anodonta woodiana, Lea) telah dapat dilaksanakan di waduk
cirata, Kabupaten Cianjur. Hal ini ditujukan untuk mengetahui prospek budi daya Kijing
Taiwan sebagai kerang air tawar yang diharapkan dapat menanggulangi degradasi
lingkungan akibat limbah atau cemaran budi daya yang kian meningkat. Selain itu Kijing
Taiwan merupakan hewan nabati yang berprotein tinggi yang dapat dibudidayakan sebagai
plankton feeder. Penelitian ini dilaksanakan di Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata pada
bulan Juli – November 2006. Perlakuan yang diberikan adalah kedalaman berbeda yaitu 0
m, 4 m dan 8 m dan kelompok padat penebaran yaitu 2 kg, 4 kg dan 6 kg pada wadah
1.472 cm2. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan, sintasan serta kelimpahan
plankton di perairan dan di dalam lambung kijing. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan uji lanjut BNT. Plankton yang ada di perairan
Waduk Cirata sebagian besar terdapat dalam lambung Kijing Taiwan. Hal ini menunjukkan
bahwa Kijing Taiwan sangat efektif dalam memanfaatkan plankton yang terdapat di
perairan Waduk Cirata yang berwarna hijau tua. Plankton yang ada di dalam lambung Kijing
Taiwan dimanfaatkan untuk pertumbuhan Kijing Taiwan sehingga terjadi peningkatan bobot
rata-rata. Selain itu sintasan Kijing Taiwan tinggi yaitu mencapai 87,38 – 96,89%.
Peningkatan kepadatan dari 2 kg /1.472 cm2 sampai 6 kg/1.472 cm2 berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan dan produksi, namun tidak berpengaruh terhadap sintasan.
Peningkatan padat penebaran disertai penurunan pertumbuhan dan produksi. Dari tiga
padat tebar yang digunakan, padat tebar yang paling baik adalah 2 kg/1.472 cm2.
Perlakuan kedalaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, sintasan dan produsi
Kijing Taiwan. Semakin dalam perairan disertai dengan penurunan pertumbuhan dan
sintasan serta produksi. Kondisi perairan yang paling baik bagi pertumbuhan Kijing Taiwan
yaitu kedalaman 0 meter atau di permukaan perairan.
Pendahuluan
Kijing Taiwan (Anodonta woodiana, Lea) merupakan salah satu jenis kerang-kerangan
yang hidup di perairan tawar. Kijing ini berasal dari Taiwan dan masuk ke Indonesia tanpa
sengaja pada saat Indonesia mengimpor ikan Mola (Hypophthalmichtys molitrix) dari Taiwan
pada tahun 1969 (Suwignyo,1975). A. woodiana banyak di temukan pada perairan dengan
substrat berlumpur, sedikit berpasir dan tidak terlalu dalam.
49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Ketidakseimbangan ekosistem waduk masih dapat diperbaiki dalam waktu yang relatif
cepat, warna air yang hijau pekat dapat dijernihkan dengan menggunakan Kijing Taiwan (A.
woodiana). Kijing Taiwan yang berperan dalam sistem purifikasi alami perairan menunjukkan
bahwa keberadaannya pada suatu perairan sangat penting secara ekologis. Oleh karena itu,
perlu diketahui kualitas lingkungan perairan bagi pertumbuhan Kijing Taiwan pada sistem
budidaya karamba jaring apung sehingga pertumbuhannya optimum. Selanjutnya penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dasar pertimbangan dalam budi daya Kijing
Taiwan (A. woodiana) di Waduk Cirata.
Dari analisa isi lambung kijing dan perairan, sebagian besar plankton yang ada di
perairan Waduk Cirata terdapat juga didalam lambung Kijing Taiwan. Dari hasil tersebut
menunjukkan, bahwa selain detritus juga ditemukan plankton. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pennak (1953), Hickman (1967), Kaestner (1967), dan Barnes (1974) in
Suwignyo (1981) yang menyatakan, bahwa kijing juga memakan fitoplankton dan
51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
0,2
0
(gram/hari)
-0,2 0 4 8
-0,4
-0,6
-0,8
-1
Kedalaman (m)
2 kg/1,472 cm2 4 kg/1,472 cm2 6 kg/1,472 cm2
Gambar 1. Laju Pertumbuhan Kijing Taiwan pada Kedalaman dan Padat Tebar Berbeda
80
Sintasan
60
(%)
40
20
0
0 4 8
Kedalaman (m)
2 kg/1,472 cm2 4 kg/1,472 cm2 6 kg/1,472 cm2
Gambar 2. Sintasan Kijing Taiwan pada Kedalaman dan Padat Tebar Berbeda
52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Perlakuan kedalaman juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata dalam hal laju
pertumbuhan kijing, kedalaman 0 meter memiliki laju pertumbuhan paling tinggi dan
kedalaman 8 meter memiliki laju pertumbuhan yang paling rendah (Gambar 1.)
Perlakuan kedalaman yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
sintasan kijing adalah kedalaman 0 meter, yang memiliki sintasan paling tinggi. Sedangkan
kelompok padat tebar tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap sintasan.
0,2
0
2
Produksi
-0,2 0 4 8
-0,4
-0,6
-0,8
-1
Kedalaman (m)
Gambar 3. Produksi Kijing Taiwan pada Kedalaman dan Padat Tebar Berbeda
Perlakuan kedalaman yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata dan memiliki
produksi yang paling tinggi adalah perlakuan kedalaman 0 meter. Sedangkan Kelompok
padat tebar yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai produksi adalah
2 kg/1472 cm2 dengan 4 kg/1472 cm2 (pada kedalaman 0 meter).
Kedalaman
Parameter 0 meter 4 meter 8 meter
Minimum Maksimum Minimum Maksimum Minimum Maksimum
DO (mg/l) 3,39 ± 0,672 7,89 ± 0,71 0,26 ± 0,1 2,16 ± 1,90 0,11± 0,015 0,96 ± 0,596
pH 7,71 ± 0,28 8,37 ± 0,45 7,62 ± 0,46 8,12 ± 0,67 7,37± 0,46 7,98 ± 0,56
Suhu (0C) 28,71 ± 1,43 30,61±1,57 28,32 ± 1,35 29,13 ± 0,77 27,66±0,366 28,68 ±0,49
Kekeruhan 5,5 6,7 6,5 11,0 21,5 65,0
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa semakin dalamnya kandungan oksigen terlarut
semakin kecil. Suhu dan pH pada setiap kedalaman tidak jauh berbeda, sedangkan
kekeruhan mengalami peningkatan dengan meningkatnya kedalaman.
53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
K a n d u n g a n O k s ig e n T e rla ru t S e tia p K e d a la m a n
0
0 2 4 6 8 10 12
1 o k s ig e n te rla ru t (m g /l)
2
Kedalaman (meter)
10
Laju pertumbuhan, sintasan dan produksi kijing semakin menurun dengan semakin
bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga karena oksigen terlarut (DO) mengalami
penurunan yang tajam pada kedalaman 4 m dan 8 m (Tabel 1.). Menurut Lovell (1980) in
Mokoginta et al, (1995), kebutuhan energi untuk hidup harus terpenuhi terlebih dahulu
sebelum energi pakan dapat disediakan untuk pertumbuhan. Pada percobaan ini diduga
kijing dengan perlakuan kedalaman 4 meter dan 8 meter mengalami stres karena
kandungan oksigen yang rendah sehingga energi yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan digunakan untuk bertahan pada kondisi stres sehingga mempengaruhi
pertumbuhan. Namun keadaan stres dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
sintasan kijing juga turun dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini pada akhirnya akan
menyebabkan produksi juga menurun.
Kesimpulan
Kijing Taiwan dapat dibudidayakan di waduk cirata dan sangat prospektif untuk
dikembangkan karena numpunyai nilai gizi yang baik dan juga untuk menanggulangi
cemaran akibat limbah budidaya. Plankton yang ada di perairan Waduk Cirata sebagian
besar terdapat dalam lambung Kijing Taiwan. Hal ini menunjukkan bahwa Kijing Taiwan
sangat efektif dalam memanfaatkan plankton yang terkandung didalam perairan Waduk
Cirata. Plankton yang ada di dalam lambung Kijing Taiwan dimanfaatkan swbagai makanan
yang berpengaruh pada pertumbuhan, produksi dan sintasan Kijing Taiwan. Padat tebar
yang paling baik adalah 2 kg/1.472 cm2 sampai 4 kg/1.472 cm2, sedangkan kedalaman
yang paling baik untuk pertumbuhan Kijing Taiwan adalah kedalaman 0 meter atau di
permukaan.
54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
Mokoginta, I., M. A. Suprayudi dan M. Setiawati. 1995. Kebutuhan Optimum Protein dan Energi
Pakan Benih Ikan Gurame (Oshpronemus gouramy, Lac). Jurnal Perikanan Indonesia.
I (4). 94 hal.
Suwignyo, P, J. Basmi, D.T.F. Lumbanbatu dan R. Affandi.1981. Studi Biologi Kijing Taiwan
(Anodonta Woodiana). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 97 Hal.
Tadashige, H. 1968. Shells of The Western Pacific in Color. Hoikusha Publishing Co. Ltd., New
York.. 233 p.
55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A6
_________________________________________________________________________________________
Fredinan Yulianda
Abstrak
Keong macan Babylonia spirata (L.1758) merupakan keong laut pemakan bangkai
(scavenger). Pemberian pakan yang berbeda (kerang hijau, ikan pepetek dan ikan layang)
mempengaruhi efisiensi pakan, pertumbuhan somatik, perkembangan gonad keong macan
dan kandungan protein. Kerang hijau merupakan pakan yang paling disukai oleh keong
macan dengan tingkat konsumsi 87,58% dan efisensi pakan 0,14%. Pakan kerang hijau
dan ikan layang lebih baik bagi pertumbuhan panjang cangkang, sedangkan pakan kerang
hijau lebih baik bagi pertambahan berat daging. Keong yang diberi pakan ikan layang
mempunyai IKG paling tinggi, yaitu 13,40%, sedangkan keong yang diberi pakan kerang
hijau paling cepat mencapai matang gonad. Perkembangan gonad keong yang dipelihara di
laboratorium dua kali lebih cepat dibandingkan keong macan yang hidup di alam.
Pendahuluan
Keong macan, Babylonia spirata (L.1758) merupakan keong laut yang hidup di dasar
perairan dengan tipe substrat pasir halus pada kedalaman 10-20 meter. Keong macan
(Babylonia sp.) adalah salah satu anggota famili Buccinidae, ordo Neogastropoda yang
mempunyai nilai ekonomis penting. Kelezatan rasa dagingnya dan kandungan protein yang
tinggi diminati oleh para pelaku bisnis untuk memasukkannya ke dalam komoditi ekspor.
Negara yang telah melakukannya terlebih dahulu adalah Thailand. Indonesia telah memulai
mengekspor ke beberapa negara seperti RRC, Taiwan, Hongkong, Malaysia dan Singapura
meskipun dalam skala kecil. Sumberdaya keong macan selama ini mengandalkan hasil
tangkap di alam, diantaranya dari Teluk Pelabuhan Ratu. Namun demikian, pengambilan
keong di alam dikuatirkan penurunan populasi di alami, seperti yang terjadi populasi keong
macan di Pelabuhan Ratu yang menunjukkan ukuran keong yang tertangkap telah
mengalami penurunan dari ukuran optimal (Yulianda & Danakusumah, 2000). Upaya
budidaya dan pemeliharaan keong macan di kolam merupakan salah satu alternatif
pemecahan masalah degradasi populasi di alam. Salah satu permasalahan dalam budidaya
keong adalah masalah pakan. Di lain pihak pakan yang tepat dapat mampu menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan biak.
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Perlakuan pemberian pakan dilakukan dengan memberikan tiga jenis pakan yang
berbeda pada setiap bak yang berisi 30 keong macan. Pakan yang diberikan adalah ikan
pepetek (Leiognathus sp.), kerang hijau (Perna viridis), dan ikan layang (Decapterus sp.).
Pakan dicacah kecil-kecil dan diberikan pada keong sebanyak 30 gram setiap hari. Setelah
12 minggu keong yang diberi pakan yang berbeda, diukur dan dibedah untuk pengamatan
gonadnya.
Analisis Data
Efisiensi pakan yang diberikan pada keong dihitung berdasarkan rumus:
E = (Wt + D) – Wo x 100%
F
Keterangan : E = efisien pakan (%)
Wt = bobot total keong pada akhir pengamatan
Wo = bobot total keong pada awal pengamatan
D = bobot total keong mati selama penelitian
F = bobot total pakan yang dikonsumsi selama penelitian
57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Efisiensi Pakan
Pemberian jenis pakan yang berbeda kepada keong macan yang dipelihara di dalam
laboratorium memberikan respons yang berbeda pada efisiensi pakan, kandungan
proksimat daging keong dan perkembangan gonad. Kandungan proksimat pada tiga jenis
pakan kerang hijau, ikan pepetek dan ikan layang berbeda kandungan protein, lemak, air
dan karbon (abu) (Tabel 1).
Keong macan yang diberi pakan daging kerang hijau menunjukkan tingkat konsumsi
dan efisiensi pakan yang tertinggi dibandingkan dengan pakan daging ikan (Tabel 2).
Diduga bahwa daging kerang hijau mempunyai komposisi asam amino, asam lemak dan
mineral yang mirip dengan pada keong macan. Sehingga pakan daging kerang hijau paling
efektif sebagai pakan keong macan. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan protein yang
tinggi pada keong macan yang mengkonsumsi kerang hijau (Tabel 2). Hal lain yang
memberikan indikasi serupa adalah bahwa pakan daging kerang hijau tidak mengandung
tulang seperti pada pakan ikan pepetek dan ikan layang sehingga bagian dari pakan kerang
hijau yang dapat dicerna menjadi lebih besar daripada kedua pakan lainnya. Energi yang
dihasilkan sebagian digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme dan
selebihnya digunakan untuk pertumbuhan (Raghunathan et al., 1994). Energi yang
diperoleh dari pakan yang dikonsumsi pertama-tama akan digunakan untuk memelihara
tubuh, pergerakan, dan mengganti sel-sel yang rusak, selebihnya digunakan untuk
pertumbuhan (Effendie, 1997).
Pakan ikan pepetek dikonsumsi oleh keong macan cukup tinggi yaitu 83,57%, namun
efisiensi pakan paling rendah (0,03%) dibandingkan dengan jenis pakan lainnya. Sebaliknya
pakan ikan layang tingkat dikonsumsi oleh keong macan paling rendah (70,04%) tetapi
efisiensi pakan (0,06%) sedikit lebih baik dibandingkan pakan ikan pepetek. Hal ini
disebabkan kandungan protein pakan ikan layang lebih tinggi dibandingkan dengan pakan
58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
ikan pepetek, serta kandungan duri pada daging ikan layang lebih sedikit daripada ikan
pepetek (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisa proksimat pakan keong macan dan keong macan uji
Fungsi utama makanan adalah sebagai penyedia energi bagi aktifitas seluruh tubuh.
Karbohidrat, lemak, dan protein merupakan zat gizi dalam pakan yang berfungsi sebagai
sumber energi. Efisiensi penggunaan pakan menunjukkan nilai (persentase) pakan yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh dan dipengaruhi oleh kualitas pakan, komposisi bahan-
bahan yang digunakan dalam pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi (Purchon, 1968).
Pemberian pakan pada keong macan yang dipelihara di laboratorium menunjukkan gizi
yang lebih baik dibandingkan keong macan yang hidup di alam (Tabel 1). Persentase
kandungan protein dan serat kasar meningkat pada keong setelah diberikan ketiga pakan
(Tabel 1). Peningkatan kandungan karbon (abu) hanya terjadi pada keong yang diberi
pakan ikan pepetek dan kerang hijau. Hal ini mungkin disebabkan karena kedua pakan
tersebut mengandung komponen tulang. Peningkatan kandungan lemak hanya terjadi
pada keong yang diberi pakan kerang hijau. Peningkatan kandungan lemak yang sangat
tinggi ini diperkirakan karena adanya persamaan atau paling sedikit kemiripan asam lemak
yang terdapat pada daging kerang hijau dengan lemak yang terdapat pada keong macan.
Peranan pakan lainnya yang signifikan adalah peningkatan serat kasar pada daging.
Keong yang diberi pakan ikan pepetek dan ikan layang jauh lebih besar kandungan
seratnya dibandingkan keong yang diberi pakan kerang hijau. Hal ini diperkirakan ada
59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kaitannya dengan efisiensi pakan, yaitu efisensi pakan ikan pepetek dan ikan layang yang
rendah, serta kandungan lemak yang terbentuk pada daging keong mengurangi komposisi
serat daging.
Tabel 2. Jumlah Pakan yang diberikan, tingkat konsumsi dan efisiensi pakan pada keong
macan (selama 12 minggu).
Jenis pakan Jumlah Tingkat Konsumsi Efisiensi
pakan (g) konsumsi (%) protein (g) pakan (%)
Ikan pepetek 2520 83,57 231,07 0,03
Kerang hijau 2520 87,58 161,93 0,14
Ikan layang 2520 70,04 212,11 0,06
Pertumbuhan
Pertumbuhan gonad dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan. Pertumbuhan
gonad keong macan yang merupakan total spawner dalam sistem reproduksi dan
mengeluarkan seluruh telurnya pada saat terjadinya pemijahan. IKG akan mencapai
maksimum sesaat sebelum terjadi pemijahan dan mencapai minimum setelah terjadi
pemijahan. Keong macan yang diberi pakan kerang hijau mencapai IKG tertinggi pada
ukuran yang lebih kecil yaitu 44,2-47,4 mm (Tabel 3). Pakan daging ikan layang
memberikan rangsangan untuk perkembangan gonad lebih besar namun IKG tertinggi
dicapai pada ukuran yang lebih besar, yaitu 47,5-50,7 mm. Hal ini menunjukkan energi
pertumbuhan somatik (berat tubuh) keong yang diberi ikan layang cenderung lebih sedikit
dibandingkan dengan energi reproduksi. Sehingga perkembangan gonad tidak diikuti
dengan pertambahan berat tubuh, tetapi energi lebih banyak untuk pertumbuhan cangkang.
Tabel 3. Nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) keong macan yang diberi pakan
berbeda berdasar ukuran panjang.
Ukuran keong Rata-rata IKG (%) yang diberi pakan berbeda
(mm) Ikan pepetek Kerang hijau Ikan layang
37,6 – 40,8 10,94 ± 2,23 10,66 ± 1,53 9,47 ± 1,27
40,9 – 44,1 10,73 ± 2,26 11,00 ± 1,11 12,49 ±
1,18
44,2 – 47,4 11,07 ± 1,87 12,16 ± 0,89 12,61 ±
1,04
47,5 – 50,7 11,07 ± 0,99 9,91 ± 1,05 13,40 ±
0,78
Catatan: cetakan tebal = puncak IKG
60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Keong yang diberi pakan ikan layang lebih cepat di dalam proses pertambahan
ukuran gonad tetapi tidak dalam proses pematangan gonad dimana pertumbuhan gonad
terus meningkat dan belum pencapai suatu titik yang menunjukkan akan terjadinya
pemijahan meskipun ukuran tubuh terus bertambah. Begitu juga halnya dengan keong
yang diberi pakan ikan pepetek agak lambat mencapai matang gonad. Keong yang diberi
pakan ikan pepetek dan ikan layang mengalami perlambatan dalam proses pematangan
gonad dibandingkan dengan keong yang diberi pakan kerang hijau. Kemungkinan untuk
keong yang diberi pakan kerang hijau sudah matang gonad dan siap memijah meskipun
ukuran gonad lebih kecil dibandingkan dengan keong yang diberi pakan ikan layang.
Pemanfaatan pakan keong yang di beri pakan kerang hijau lebih efisien dalam membantu
proses pematangan gonad.
Tabel 4. Nilai rata-rata IKG (%) keong macan yang diberi pakan yang berbeda
Jenis pakan IKG jantan (%) IKG betina (%)
Pakan ikan Pepetek 11,58 ± 3,03 10,26 ± 2,99
Pakan kerang hijau 11,52 ± 2,04 10,86 ± 2,13
Pakan ikan layang 12,15 ± 1,86 11,82 ± 1,78
Alami 4,46 ± 3,04 4,84 ± 2,99
IKG keong macan yang diberi pakan tambahan lebih besar daripada IKG keong
macan yang berasal dari alam (Tabel 4). Hal ini menunjukkan peranan pakan yang positif
terhadap perkembangan gonad keong. Keong macan baik jantan maupun betina yang
diberi pakan ikan layang mempunyai IKG yang lebih tinggi dibandingkan dengan keong
yang diberi pakan ikan pepetek dan kerang hijau. Pakan ikan layang mempunyai
kandungan gizi yang lebih baik untuk perkembangan gonad keong. Pemberian tiga jenis
pakan tidak terlalu berbeda pengaruhnya terhadap jenis kelamin, meskipun ada
kecenderungan bahwa IKG keong jantan lebih baik dari keong betina. IKG keong macan
jantan tertinggi (12,15%) pada keong yang diberi pakan ikan layang dan terendah (11,08%)
pada keong yang diberi pakan ikan pepetek. Hal yang sama juga yang terjadi pada keong
61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
macan betina. Nilai IKG tertinggi (11,82%) pada keong macan betina yang diberi pakan
ikan layang dan terendah (10,26%) pada keong yang diberi pakan ikan pepetek.
Rata-rata IKG keong macan jantan lebih besar dari rata-rata IKG keong macan betina
pada pemberian pakan yang berbeda. Hal ini menunjukkan perkembangan gonad jantan
lebih baik dari keong betina karena penyerapan kadar proksimat dalam pakan yang
diberikan lebih cepat. Rata-rata IKG keong jantan tertinggi (11,58%) pada keong yang
diberi pakan ikan layang dan terendah (11,52%) pada keong yang diberi pakan kerang
hijau. Begitu juga yang terjadi pada keong betina, nilai IKG tertinggi (11,82%) pada keong
yang diberi pakan ikan layang dan terendah (10,26%) pada keong yang diberi pakan ikan
pepetek.
Tabel 5. Berat tubuh dan gonad keong yang diberi pakan berbeda
Keong macan yang diberi pakan berbeda menunjukkan bahwa sebagian besar berat
testis pada setiap individu paling tinggi pada keong yang diberi pakan kerang hijau.
Sedangkan untuk berat ovari sebagian besar tertinggi pada keong yang diberi pakan ikan
layang (Tabel 5). Berat testis dan ovari tidak berbeda jauh untuk semua pakan yang
diberikan. Nilai rata-rata berat testis tertinggi terdapat pada keong yang diberi pakan
kerang hijau (0,98 ± 0,16 g) dan terendah pada keong yang diberi pakan ikan pepetek (0,87
± 0,21 g). Begitu juga dengan rata-rata berat ovari tertinggi pada keong yang diberi pakan
kerang hijau (0,77 ± 0,09 g) kemudian keong yang diberi pakan ikan layang (0,75 ± 0,13 g)
dan paling rendah pada keong yang diberi pakan ikan pepetek (0,69 ± 0,11 g).
Hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh keong macan dapat
memperlihatkan pola pertumbuhan somatik keong diantaranya banyak dipengaruhi oleh
pakan. Hubungan panjang berat menunjukkan korelasi yang cukup tinggi dengan nilai R2
tertinggi (84,0%) pada keong yang diberi pakan kerang hijau dan ikan pepetek, terendah
(75,0%) pada keong yang diberi pakan ikan layang (Gambar 1). Nilai b tertinggi (2,78) pada
keong yang diberi pakan kerang hijau dan terendah (2,03) pada keong yang diberi pakan
ikan pepetek. Hal ini menunjukkan bahwa keong yang diberi pakan kerang hijau lebih cepat
bertambah berat tubuh. Sedangkan keong yang diberi pakan ikan layang cenderung lebih
cepat bertambah panjang cangkang.
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
40
Pakan ikan pepetek
30
Wt = 0.0013L2.5672
10
R2 = 0.8396
0
0 10 20 30 40 50 60
Panjang cangkang (mm)
40
Pakan kerang hijau
30
Berat total (g)
20
2.7769
Wt = 0.0006L
10 2
R = 0.8383
0
0 10 20 30 40 50 60
Panjang cangkang (mm)
40
Pakan ikan layang
30
Berat total (g)
20
Wt = 0.0047L2.2122
10 R2 = 0.7876
0
0 10 20 30 40 50 60
Panjang cangkang (mm)
Gambar 1. Hubungan panjang berat keong macan pada pakan yang berbeda
Kesimpulan
Keong macan memilih kerang hijau sebagai pakan yang paling disukai dengan tingkat
konsumsi 87,58% dan efisensi pakan 0,14%. Pakan kerang hijau dan ikan layang lebih baik
bagi pertumbuhan panjang cangkang, sedangkan pakan kerang hijau lebih baik bagi
pertambahan berat daging.
Pemberian pakan kerang hijau, ikan layang, dan ikan pepetek pada keong macan
memberikan pengaruh yang baik bagi kualitas daging keong dan pertumbuhan. Keong yang
dipelihara kualtas dagingnya dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan keong di alam.
Jenis pakan kerang hijau paling untuk mempercepat kematangan gonad keong macan.
Sedangkan pakan ikan layang untuk proses pertumbuhan keong macan yang dipersiapkan
untuk induk.
63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
Effendie, M.I., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal.
Purchon, R.D. 1968. The biology of mollusca. Pergamon Press. Oxford 561p.
Raghunathan, C., J.K. Paterson Edward and K. Ayyakkannu, 1994. Long term study on
food consumption and growth rate of Babylonia spirata (Neogastropoda: Buccinidae).
Jurnal Phuket Marine Biological Center, Spec. Publ. No. 13: 207-210.
Yulianda, F. and E. Danakusumah, 2000. Growth and gonad development of babylon snail
Babylonia spirata (L.) in culture. Jurnal Phuket Marine Biological Center, Spec. Publ.
No. 21(1): 243-245.
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A7
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Abalon Haliotis asinina merupakan salah satu komoditas laut andalan ekonomis
penting di pasaran ekspor. Kebutuhan benihnya untuk produksi budidaya sangat besar
maka faktor penyediaan benih terutama ukuran juvenil berperan sangat penting.
Budidayanya dapat dilakukan baik di lingkungan alam/laut maupun buatan/daratan. Tujuan
dari kajian adalah untuk memperoleh tehnik budidaya abalon yang efektif dan efisien di bak
hingga mencapai ukuran ekonomis dalam waktu relatif singkat
Metode budidaya menggunakan wadah bak beton ukuran 3 X 2 x 1 m di dalam
bangunan indoor. Benih abalon diperoleh dari hasil pembenihan, ukuran tebar 1-2 cm/ekor
(panjang) dan 2-3 gram/ekor (berat) dengan padat penebaran benih 100 ekor/m2. Pakan
abalon berupa rumput laut Gracillaria sp dari hasil budidaya di tambak, dengan dosis
adlibitum. Air dialirkan selama 20-24 jam/hari yang dilakukan setelah pembersihan dan
penggantian air total. Sebagai substrat penempelan abalon, dipergunakan plastik
gelombang ukuran 40 x 30 cm/lembar, sebanyak 21 lembar tiap bak, menggantung di bak
dan tiap bulan jumlahnya dikurangi secara berkala sesuai dengan kondisi penempelan.
Pengamatan pertumbuhan benih dilakukan tiap bulan sekali sedangkan pengamatan
kehidupan dan parameter fisik air dilakukan tiap hari.
Hasil menunjukkan bahwa selama 3 bulan pertama masa pemeliharaan abalon di bak
indoor diperoleh peningkatan pertumbuhan panjang cangkang, lebar cangkang dan berat
total rata-rata tiap bulan/ekor masing-masing 0,607 cm, 0,256 cm dan 1,435 gram (benih
tebar kecil). Sedangkan pada benih tebar ukuran lebih besar peningkatan pertumbuhan
masing-masing 0,606 cm dan 0,204 cm serta 1,720 gram. Pertambahan berat cenderung
lebih tinggi pada benih tebar berukuran besar dan sebaliknya untuk benih tebar ukuran
lebih kecil. Pada bulan ke 4 pemeliharaan, peningkatan pertumbuhannya lambat dan faktor
suhu yang rendah (27,3-28,1oC) diduga sebagai pembatasnya. Tingkat kehidupan benih
abalon selama 4 bulan pemeliharaan masing-masing 93,4 % (benih awal ukuran besar) dan
.90,5 % (benih awal ukuran kecil). Rumput laut Gracillaria sp hasil dari budidaya di tambak,
100 % dapat dipergunakan sebagai pakan alami abalon selama pemeliharaan. Fungsi
penggunaan plastik gelombang sebagai substrat penempelan abalon selama pemeliharaan
di bak relatif kecil (10 – 15 % plastik gelombang ditempeli abalon, rata-rata 3 ekor per
plastik gelombang).
Pendahuluan
Abalon adalah salah satu diantara komoditas hasil laut untuk konsumsi manusia yang
bernilai tinggi, dengan permintaan dalam jumlah besar terutama di negara-negara Asia
antara lain Jepang, Cina, Taiwán dan lainnya. Cangkang abalon dengan berbagai warna
menarik digunakan juga sebagai hiasan (Sales dan Britz, 2000). Selain itu hewan ini
sangat digemari juga di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Colombia,
Kanada, negara-negara Eropa dan lain-lain. Di pasar internasional harga abalon bervariasi
65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
tergantung kualitas dan jenisnya dengan harga tidak kurang dari Rp. 200.000,-/kg daging
(Irwan, 2006). Terdapat berbagai jenis abalon yang tersebar di seluruh belahan dunia dan
satu diantaranya adalah Haliotis asinina L. yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia
baik pembenihan maupun pembesaran/budidayanya.
Terkait dengan permintaan pasar abalon dunia, telah diprogramkan produksi abalon di
Indonesia mulai tahun 2005 hingga tahun 2009 dan sasaran produksi akhir adalah 500 ton
dengan kenaikan 350 % per tahun (DPB, 2006). Untuk mencapai sasaran produksi
tersebut tentunya tidak bisa lagi mengandalkan cara eksplotasi dari alam melainkan harus
dari usaha budidaya. Selain itu populasinya dari alam juga semakin terbatas sehingga sulit
untuk mengharapkan produksi yang optimal. Eksploitasi abalon di alam akan menimbulkan
dua masalah penting yaitu pertama populasinya yang terancam punah dan kedua habitat
karang sebagai tempat hidupnya mengalami kerusakan yang akan berdapak negatif juga
terhadap lingkungan dan organisme lain di sekitarnya (Irwan, 2006).
Sementara ini budidaya abalon secara bertahap sedang dikembangkan di Indonesia
termasuk pula usaha pembenihannya. Masalah utama yang menjadi kendala adalah
kontinyuitas penyediaan benih dan jumlahnya yang terbatas. Terbatasnya jumlah unit
pembenihan dan tingkat kehidupan benih yang masih rendah khususnya pada stadia larva
maka jumlah benih yang dapat dihasilkan sangat kecil. Di lain pihak pembesaran abalon
akan menguntungkan bilamana digunakan benih dalam jumlah banyak dan berukuran
relatif besar setidaknya pada tingkatan juvenil (ukuran cangkang > 1 cm/ekor) karena benih
ukuran kecil riskan terhadap gangguan lingkungan dan predator. Salah satu cara untuk
mencapai hal tersebut adalah dengan memproduksi juvenile abalon melalui usaha
pendederan di hatchery sebelum kemudian di budidayakan atau dibesarkan. Postlarva
yang telah mencapai ukuran 6 – 10 mm dapat dipindahkan ke fasilitas penumbuhan
sebelum mereka menjadi juvenil (Viana, 2002). Di Indonesia telah dikembangkan sistem
pembenihan abalon, hingga menghasilkan juvenil (ukuran 1,5 – 2,0 cm/ekor) dengan
menggunakan teknologi pembenihan yang sangat efisien dan dukungan fasilitas hatchery
yang memadai (Irwan, 2006). Namun demikian teknologi pendederannya sendiri masih
belum standar dan perlu dicari teknologi pendederan benih abalon yang efektif dan efisien
khususnya dalam fasilitas terkontrol diantaranya dalam bak beton.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh tehnologi budidaya di bak sistim
indoor yang efektif dan efisien dan untuk mengetahui kecepatan tumbuh selama masa
pemeliharaan abalon
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
cangkang serta berat total relatif lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan ukuran
selama 3 bulan masa pemeliharaan sebelumnya.
Tabel 1. Ukuran panjang dan lebar cangkang serta berat total rata-rata tiap ekor
abalon H. Asinina selama 4 bulan pemeliharaan di bak indoor
Parameter Ukuran Awal Maret April Mei Juni
Panjang Kecil 1,570 2,200 2,884 3,165 3,216
Cangkang (cm) Besar 1,750 2,520 3,312 3,588 3,600
Lebar Kecil 0,800 1,110 1,515 1,568 1,682
Cangkang (cm) Besar 1,300 1,470 1,690 1,828 1,912
Berat tubuh total (gr) Kecil 2,000 2,486 3,943 6,315 7,092
Besar 3,500 4,735 5,129 8,662 9,327
68
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
plastik gelombang rata-rata tiap plastik gelombang ditempeli benih sekitar 3 ekor.
Berdasarkan kondisi ini tiap bulan dilakukan pengurangan jumlah plastik gelombang
sebagai tempat penempelan abalon hingga tidak digunakan lagi pada bulan ke 4.
Pelepasan abalon yang menempel pada dinding bak dengan cara fisik/mekanis
menggunakan alat sisir plastik pengaduk kue cukup efektif. Dalam waktu sekitar 5 detik
tiap individu abalon dapat dilepaskan dari dinding bak sedangkan untuk abalon yang
melekat pada plastik gelombang membutuhkan waktu lebih lama yaitu sekitar 8-9 detik.
Pertumbuhan
Pertumbuhan abalon berhubungan dengan pakan dan kondisi lingkungan. Pada
saat pakan berkualitas baik dan tersedia melimpah, cangkang tumbuh cepat dan pipih
dengan berisi banyak daging yang lembek. Sebaliknya bilamana suplai pakan kurang,
pertumbuhannya lambat (Natkewatana dan Hylleberg, 1985). Pada kajian ini pertumbuhan
rata-rata individu abalon cenderung terus meningkat (Tabel 1). Dalam 3 bulan masa
pemeliharaan di bak. pertambahan panjang dan lebar cangkang rata-rata masing-masing
meningkat sekitar 0,60 cm/ekor/bulan (0,2 mm/hari) dan 0,2 cm/ekor/bulan (0,06 mm/hari)
serta berat sekitar 1,5 gram/ekor/bulan (0,05 gram/hari). Selama 3 bulan masa
pemeliharaan sebelumnya, suhu media berkisar antara 29 – 30 oC. Sebaliknya pada bulan
ke 4 pemeliharaan (bulan Juni), pertumbuhan abalon relatif lambat dibanding bulan-bulan
sebelumnya. Kondisi suhu air media pemeliharaan abalon di bak bulan tersebut cukup
rendah sekitar 27,3 -28,1 oC. Setiap tahunnya, mulai bulan Juni suhu relatif rendah yang
dikenal sebagai suhu mbediding. Vianna (2002) melaporkan bahwa juvenil abalon species
tropis berukuran 1 cm meningkat menjadi 4,5 cm dalam waktu 1 tahun (meningkat 3,5 cm
atau rata-rata sekitar 2,916 mm per bulan). Di Taiwan pertumbuhan cangkang juvenil
abalon spesies Taiwan dapat meningkat sekitar 8,5 mm selama 60 hari pemeliharaan
dengan pakan Gracillaria sp (Chen, 1984 dalam Natkewatana dan Hylleberg, 1985) atau
sekitar 4,25 mm/ekor tiap bulan. Irwan (2006) mendapatkan peningkatan pertumbuhan
panjang dan berat masing-masing 0,199 mm/individu/hari dan 0,00701 gram/individu/hari
yang menggunakan juvenil umur 3 – 5 bulan. Dalam hal ini faktor pakan makroalga rumput
laut Gracillaria sp. sangat berperan dalam pertumbuhan benih abalon. Disebutkan oleh
Ebert dan Houk (1984) dalam Natkewatana dan Hylleberg (1985) bahwa pakan benar-
benar sebagai faktor pembatas untuk pertumbuhan.
Pada kajian ini diberikan pakan Gracillaria sp. dari tambak dengan dosis yang berlebih
(ad libitum) untuk menjaga agar pakan selalu tersedia setiap saat. Disebutkan oleh Sales
dan Britz (2000), rumput laut Gracillaria sp yang diiperoleh dari hasil budidaya dapat
digunakan sebagai pakan abalon. Seperti diketahui abalon bersifat herbivore dan ukuran
69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
lebih besar dari 10 mm menyukai pakan alga ukuran besar (makro alga) seperti alga
merah, hijau dan coklat (Natkewatana dan Hylleberg, 1985). Bahkan pada ukuran panjang
cangkang 4 – 6 mm sudah dapat memakan rumput laut (Sales and Britz, 2000). Untuk
tingkatan juvenile/abalon muda (umur 3-7 bulan) sudah dapat memanfaatkan berbagai
jenis rumput laut dan diatom dasar. Jenis pakan terbaik pada pemeliharan juvenil muda
(umur 3 bulan) sampai juvenil (umur 5 bulan) adalah G. verrucosa (Irwan, 2006). Menurut
Natkewatana dan Hylleberg (1985) bahwa abalon Jepang membutuhkan pakan 19 – 20 %
dari berat badan per hari untuk pertumbuhannya dan mungkin pakan dibutuhkan lebih
banyak lagi pada suhu yang lebih tinggi. Pada kajian pendederan abalon ini telah dicoba
pemberian pakan rumput laut dari tambak dengan dosis 25 % per hari dari berat total
namun hanya berkisar 25 - 40 % nya yang termanfaatkan.
70
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
berlangsung secara pelan dus menaikkan resiko infeksi bakteri dan stress. Sugiarto dkk.
(2006) melakukan pelepasan benih abalon secara mekanis dari substrat penempelan
sekitar 5 – 10 detik utuk tiap individu. Masalah-masalah tersebut dapat menjadi penyebab
rendahnya tingkat kehidupan abalon.
71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dan Ikenone (1983) dalam Natkewatana dan Hylleberg (1985) bahwa pada dasarnya
abalon hidup pada salinitas air laut namun dapat diharapkan toleransinya dari 24 – 26 ppt.
Sebaliknya salinitas yang rendah adalah fatal bagi abalon yang berakhir dengan kematian.
Kandungan oksigen dalam media pemeliharaan abalon sangat mendukung
kehidupannya. Kandungannya dalam air antara 3,27 – 6,28 ppm yang selalu terjaga oleh
sistim aerasi dan aliran air yang terus menerus yang berfungsi sebagai sumber oksigen.
Natkewatana dan Hylleberg (1985) menyebutkan bahwa pergantian air dalam bak
pemeliharaan umumnya dijaga pada tingkatan 50% dan air sebaiknya diputar dengan water
jet.
pH air media pendederan relatif stabil dan berada pada kisaran normal yaitu 7,6 – 8,1.
Kisaran nilai tersebut terjaga oleh aliran air bersih yang terus mengalir selama 20-24 jam
dan penyiponan kotoran tiap hari. Sehingga kandungan asam atau gas-gas yang mungkin
dihasilkan oleh sisa kotoran abalon dan sebagian pakan alami yang tidak termanfaatkan
dapat tereliminasi oleh aliran air segar. Demikian juga bilamana terdapat kematian abalon
yang menimbulkan pembusukan atau timbulnya gas amoniak segera terdorong keluar bak.
Peningkatan suhu air dapat meningkatkan ekskresi gas amonia (Sales dan Britz, 2000).
Kesimpulan
1. Suhu yang rendah dalam pemeliharaan abalon sistim indoor cenderung
berpengaruh terhadap lambatnya pertumbuhan abalon dan peningkatan angka
kematian.
2. Perlakuan fisik atau mekanis pada kegiatan pelepasan abalon dari substrat
cenderung sebagai penyebab timbulnya kematian benih selama pendederan di bak
3. Rumput laut Gracillaria spp. hasil budidaya di tambak, 100 % dapat digunakan
sebagai pakan alami dengan respon positif selama pemeliharaan dibak indoor.
4. Penggunaan plastik gelombang sebagai substrat penempelan benih abalon selama
pemeliharaan efektifitasnya kecil untuk ukuran > 1,5 cm/ekor
5. Pelepasan abalon secara fisik-mekanis dari substrat lebih efektif pada substrat datar
6. Budidaya abalon di bak sistim indoor lebih aman, terkendali, efektif
Saran
1. Perlu penggunaan alat peningkatan suhu air dalam pemeliharaan sistim indoor pada
bulan-bulan dimana kondisi suhu rendah
2. Perlu peningkatan padat tebar benih abalon dengan ukuran yang lebih kecil
sehingga diperoleh peningkatan efisiensi fasilitas pendederan dan biaya operasional
72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
Body, A.G.C. 1986. Abalon Culture in Japan, Australian Fisheries. p. 22-24.
Irwan, J. E. 2006. Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina L.) Produksi Hatchery
di Indonesia. Jurusan Perikanan, UNHALU, Kendari, Sulawesi Tenggara. 21
halaman
Sales, J. and Peter J. Britz. 2000. South African abalone culture succeeds through
collaboration. World Aquaculture , vol. 31. No. 3. p. 44.
Sugiarto, Jumono dan Subiyarto. 2006. Tehnik Pelepasan Abalon Mata Tujuh, Haliotis
asinina Pada Substrat Selama Pendederan. Pertemuan Tehnis Litkayasa, tanggal 7 –
8 Mei 2006 di BBPPI Semarang, Jawa Tengah. 5 halaman.
Viana, M.T. 2002. Abalon Aquaculture, an overview. World Aquaculture, vol 33, No. 1 , p.
34-39.
73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A8
_________________________________________________________________________________________
74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A9
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Pendahuluan
Kima termasuk dalam kelas Bivalvia, genus Tridacna yang memiliki fungsi ekosistem
sangat penting dan nilai ekonomis tinggi, antara lain otot adductor dan retractor yang biasa
di sebut daging kima oleh nelayan tersubut bisa di pasarkan dengan harga mencapai US$ 5
per kilogramnya (Calumpong, 1992 dalam Knop, 1996), bahkan pernah di informasikan
cangkang kima bisa terjual dengan baik di pasaran internasional, biasanya digunakan
sebagai hiasan atau juga bahan bangunan. Di pihak lain kima memiliki tingkat distribusi
yang sangat luas khususnya di daerah Indo-pasifik, tujuh dari 9 spesies kima yang ada di
dunia terdapat di Indonesia, antara lain T. gigas, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, T.
derasa, Hippopus hippopus, Hippopus porcelanus, tingginya distribusi kima tersebut
menjadikan Kima merupakan salah satu sumber potensi penting dalam perikanan di
Indonesia ( Lucas, 1988 ; Pasaribu, 1988, Panggabean, 1991; Knopp, 1996; Rahman, 2003
).
75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kima mempunyai 2 organ utama, yaitu organ keras berupa cangkang sebagai
identifikator spesies kima, dan organ lunak yang dilindungi oleh mantel luar yang berwarna
– warni ( Calumpong, 1992 ). Organ lunak yang ada di dalam cangkang untuk semua jenis
spesies adalah sama (Rosewater, 1965).
Seiring dengan nilai kegunaannya yang begitu berarti, tekanan terhadap populasinya
di alam juga sangat tinggi (terjadi peningkatan eksploitasi) akibatnya populasi kima
menurun secara drastis dan beberapa jenis spesies Kima di perairan Indo-pasifik telah
hilang karena over exploitation (Knop, 1996). Musnahnya populasi Tridacna gigas di
wilayah barat perairan Indonesia merupakan salah satu contoh akibat dari kegiatan over
exploitation (Usher, 1984).
Penurunan populasi kima di alam tersebut berdampak pada penurunan keragaman
jenis ikan dan biota lain yang pernah mendiami suatu perairan tersebut. Hal ini terjadi
mungkin karena kualitas perairan daerah tersebut juga telah mengalami penurunan,
karena secara ekologi kima dewasa merupakan biota penyangga terhadap kualitas perairan
dengan kemampuannya sebagai filter feeder.
Penurunan populasi kima disebabkan ketidak seimbangan antara laju ekploitasi
dengan laju rekruitment. Dimana kemampuan rekruitment populasi kima di alam sangat
lamban, didukung dengan pertumbuhan yang relative lamban pula, ditambah dengan
tingginya pemangsaan oleh predator terhadap larva dan telurnya sehingga mengakibatkan
sangat lambannya pertumbuhan populasi kima secara alami. Di pihak lain, kerapatan
individu yang terlalu rendah mengakibatkan jarak antar individu kima saling berjauhan, hal
ini mengakibatkan peluang terjadinya pemijahan alami menjadi semakin rendah
(Romimohtarto dkk, 1987). Berdasarkan kondisi tersebut, maka sangat perlu sekali di
adakannya penelitian yang bertujuan untuk mengembalikan dan atau meningkatkan
populasi kima di alam dengan cara restocking. Pada tahap awal, perlu di ketahui cara untuk
memproduksi benih kima yang akan di gunakan untuk restocking.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara atau metode dalam memproduksi
benih kima yang akan di gunakan untuk restocking kima di alam.
76
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Materi penelitian meliputi hewan uji, yaitu induk kima dan 2 jenis fitoplankton yang
digunakan untuk pakan alami. Induk kima yang digunakan terdiri dari 3 jenis spesies yaitu
Hippopus hippopus, Tridacna squamosa dan Tridacna maxima dengan masing-masing
spesies di gunakan 8 ekor induk dewasa. Sedangkan fitoplankton yang digunakan sebagai
pakan adalah Dunaliella sallina dan Tetraselmis chuii.
Penelitian di lakukan dalam 2 tahap pada waktu yang tidak sama. Penelitian awal
adalah pemijahan dan pengamatan terhadap perkembangan larva Hippopus hippopus yang
tanpa diberikan perlakuan pakan. Kemudian Penelitian tahap ke-2 adalah pemijahan dan
pemeliharaan terhadap larva Tridacna squamosa dan Tridacna maxima dengan di beri
perlakuan perbedaan pakan alami. Secara teknis, kegiatan penelitian di lapangan terbagi
menjadi 5 tahapan kegiatan yaitu adalah pemijahan, fertilisasi, pemeliharaan larva, dan
pemeliharaan juvenil.
Pemijahan
Untuk mendapatkan larva kima, maka perlu dilakukan pemijahan buatan terhadap
induk kima yang diperoleh dengan mengoleksi induk dari perairan di sekitar Pulau
Sambangan, P. Genting, dan P. Seruni. Induk Kima yang digunakan berjumlah 8 ekor untuk
masing – masing spesies. Sebelum induk digunakan untuk pemijahan, terlebih dahulu
dilakukan aklimatisasi terhadap lingkungan pemijahan dengan waktu kurang lebih 2 hari.
Setelah dilakukan aklimatisasi, kemudian dilakukan persiapan media pemijahan. Media
pemijahan adalah 2 buah bak dengan volume 1 ton. Bak tersebut di isi dengan 800 liter air
laut yang telah di saring, disterilisasi dan diendapkan dulu kurang lebih 1 malam.
Setelah media pemijahan siap, dilakukan pemijahan buatan pada induk kima. Untuk
melakukan pemijahan buatan pada penelitian ini digunakan metode gabungan antara
”stressing”–shock termal (kejut suhu) dan ”induce spawning” dengan menggunakan
”serotonin”. Penggunaan kombinasi metode ini dilaporkan sangat efektif untuk memacu
kima memproduksi larva dengan cukup cepat (Braley, 1985). Sebelum dilakukan stressing,
terlebih dahulu dilakukan pembersihan pada induk kima dengan cara sebagai berikut : sisik
– sisik pada bagian luar cangkang dibuang dengan cara di patahkan dengan di pukul satu
per satu; setelah sisik bersih, kemudian cangkang bagian luar di sikat hingga kotoran yang
melekat pada cangkang benar – benar hilang; untuk menghindari kontaminasi dari
organisme pengganggu terhadap sel gonad saat pemijahan nantinya, maka cangkang luar
dibersihkan dengan menggunakan klorin konsentrasi rendah (5%). Pada saat pembersihan
dengan klorin, diusahakan tidak mengenai mantel & organ bagian dalam dengan cara
mengarahkan cangkang yang terbuka kearah bawah dan kima dibilas dengan air laut dari
kondisi semula.
77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Induksi Pemijahan
Sebelum dilakukakan injeksi serotonin, terlebih dahulu dilakukan kejut suhu. Teknik
kejut suhu pada prinsipnya mengubah kondisi/keadaan suhu lingkungan secara drastis,
perubahan itu bisa penambahan atau penurunan suhu. Pada penelitian ini teknik kejut suhu
dilakukan dengan jalan mengangkat dan menjemur induk kima yang sudah bersih dibawah
sinar matahari selama kurang lebih 30 menit – 1 jam. Perubahan kondisi yang mendadak
seperti ini biasanya akan memacu kima untuk mengaktifasi kematangan sel gonad secara
cepat. Kemudian perlakuan kedua adalah induce spawning ”injeksi serotonin”.
Setelah serotonin diinjeksikan kedalam gonad, serotonin akan memacu dinding gonad
sehingga berkontraksi. Hal ini menyebabkan terlepasnya sperma dari dalam gonad, dan
untuk beberapa saat kemudian akan diikuti oleh pelepasan sel telur bagi induk yang telah
memproduksi sel telur ( Braley, 1992 ).
78
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Fertilisasi
Saat terjadi spawning, pengamatan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, induk
kima yang telah selesai mengeluarkan sperma dan mulai mengeluarkan sel telur harus
segera dipindahkan ke bak pemijahan ke-2, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
polysperm pada proses fertilisasi. Setelah koleksi sperma sudah diperoleh, dan induk kima
pada bak pemijahan ke-2 telah selesai mengeluarkan sel telurnya, maka mulai dilakukan
proses fertilisasi. Fertilisasi dilakukan dengan menebarkan koleksi sperma dari bak
pemijahan ke-1 kedalam koleksi sel telur pada bak pemijahan ke-2. Braley (1992)
merekomendasikan banyaknya sperma yang ditebarkan adalah 1 – 10 ml koleksi
sperma/liter telur. Seterusnya Braley menegaskan apabila konsentrasi sperma tidak
diketahui, sebaiknya jumlah koleksi sperma yang di tebar lebih rendah dari 10 ml/liter telur.
79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Pemeliharaan Larva
Dalam pemeliharaan larva terjadi perbedaan perlakuan antara pemelilharaan larva
Hippopus hippopus dengan T. Squamosa dan T. Maxima. Perbedaan tersebut di
maksudkan untuk menyempurnakan teknik pemeliharaan larva yang di peroleh saat
pemijahan Hippopus hippopus. Pemijahan Hippopus hippopus adalah kegitan penelitian
awal, sehingga masih berorientasi untuk mendapatkan larva dari pemijahan buatan.
Sedangkan pada pemijahan T. Squamosa dan T. Maxima merupakan pengembangan dari
penelitian awal dan berorientasi meningkatkan SR pada produksi larva.
80
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
mendekati kepunahan. Pembenihan Ikan dan Non–Ikan laut sangat membutuhkan pakan
alami. ( Isnansetyo & Kurniastuti, 1995).
Pemeliharaan Juvenil
Setelah larva di pelihara dalam aquarium selama 26 hari, dengan asumsi bahwa
semua larva telah bermetamorfose menjadi juvenil, maka juvenil siap dipindahkan kedalam
bak pemeliharaan berikutnya. Sebelum di pindahkan, dilakukan penghitungan terhadap
jumlah juvenil, sehingga SR dapat di monitoring.
Juvenil di pindahkan ke dalam bak pemeliharaan, yaitu bak dengan volume 10 ton,
dengan di lengkapi sistem sirkulasi air selama 24 jam. Pada ujung bak di beri outlet agar
dapat di atur sedemikian rupa sehingga tinggi air dalam bak berkisar antara 50 – 75 cm
(Knop, 1996). Di dalam bak pemeliharaan tersebut di letakkan concret blok dengan ukuran
50 x 50 x 5 cm, guna untuk tempat settle saat juvenil berkembang menjadi individu baru
(Braley, 1992; Knop, 1996).
Kondisi pemeliharaan juvenil tersebut diatas di pertahankan hingga kurang lebih 3 – 4
bulan sebelum benih kima siap di pindahkan ke alam. Setelah 3 – 4 bulan dengan asumsi
individu kima baru sudah mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup di alam (Braley,
1992; Knop, 1996; Calumpong, 1992; Copland, 1988; Fitt, 1990) maka benih kima siap di
tebar, dengan terlebih dahulu dihitung jumlahnya untuk mengetahui SR dan untuk
pemantauan/monitoring dalam perkembangan selanjutnya.
Setelah fertilisasi telur yang telah di buahi akan berkembang menjadi larva trocophore
dan akan berkembang menjadi velliger yang bersifat planktonik. Kemudian velliger
berevolusi menjadi juvenile dan mempunyai kaki yang berkembang digunakan untuk
bergerak (motile) (Romimohtarto, 1987).
Trocophore terbentuk 12 – 24 jam setelah terjadi fertilisasi. Pengamatan dilakukan
setiap 2 jam di mulai dari hari pemijahan hingga hari ke-2, guna mengetahui dan
mendokumentasikan perubahan yang terjadi pada larva. Selanjutnya pengambilan data di
lakukan terhadap tingkat kelulus hidupan pada setiap perubahan fase siklus hidupnya. Hari
pertama saat pemijahan, di lakukan pengambilan data terhadap jumlah telur yang didapat.
Dari telur menjadi larva di lakukan pengambilan data terhadap Hatching Rate, yaitu 1 hari
setelah terjadi pemijahan. Dari Larva di amati SR (tingkat kelulushidupan) hingga fase
juvenil dan SR sampai pada saat terakhir benih akan di tebar.
Siklus hidup sebagai panduan pengambilan data adalah pada stadia velliger akan di
capai setelah 2 – 3 hari setelah terbentuk larva (Nash & raley, dalam Coplan & Lucas,
1988). Setelah 10 hari, velliger akan berubah menjadi pedivelliger, dan akan berubah
menjadi juvenile setelah 14 – 15 hari. Pada fase ini akan terjadi metamorphose sehingga
81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
menjadi kima muda yang benar – benar settle sejati (Alcazar, et.al. 1988; Roemimohtarto
dkk, 1987). Perkiraan hari tersebut bisa berubah sesuai dengan jenis spesies kima yang di
amati. Untung menghindari hilang/terlewatnya pengamatan pada stadia tertentu, maka
pengamatan dilakukan setiap hari sekali.
Menurut Rosewater (1965) perkembangan selanjutnya setelah juvenile menuju ke
kima dewasa yang di lengkapi dengan bissus pada awal perkembangannya, kemudian
pada beberapa spesies, bissus ini akan tereduksi hingga hilang sama sekali.
Pemijahan H. hippopus
Pada H. hippopus mempunyai Hatching Rate (HR) sebesar 73,33 %, dengan
kepadatan telur 150 cell/ml pada volume 800Ltr. Yang berarti jumlah telur yang dihasilkan
sebanyak 120 juta sel. Dengan HR diatas maka telur yang menjadi larva ada 87,996 juta.
Pada perkembangan selanjutnya, dari larva menjadi juvenil SR menjadi 42,15%, ini berarti
ada 37.090.314 juvenil yang bertahan hidup. Dari juvenil menjadi individu baru SR turun
menjadi 15%. Sehingga pada akhir penelitian di dapatkan 5.563.547 ekor individu baru
untuk spesies H. Hippopus. Pada spesies ini tidak dilakukan perlakuan perbedaan pakan
karena masih merupakan penelitian awal dengan orientasi keberhasilan pemijahan dan
pemeliharaan larva.
Pemijahan T. maxima
Berbeda dengan H. hippopus, pada T. maxima, dan T. squamosa di berikan
perlakuan perbedaan pakan pada larva. Pakan yang diberikan adalah D. Sallina dan T.
chuii. Dari hasil pengamatan ternyata perbedaan pakan yang diberikan memberi pengaruh
nyata terhadap SR. Hatching Rate (HR) pada T. maxima sebesar 71.32%, dengan
kepadatan telur sebesar 80 sel/ml total telur yang dihasilkan sebanyak 64 juta sell. Dengan
HR diatas sehingga didapat Larva sebanyak 45,65 juta.
Selanjutnya tingkat kelulushidupan pada masing – masing jenis pakan yang diberikan,
dimonitoring dalam perubahan setiap fase hidupnya (Larva, Velliger, Pedivelliger,
Metamorfosis, juvenile, dan individu baru).
Pada perlakuan pakan Tetraselmis chuii memperlihatkan kelulushidupan larva (SR
rata-rata) hingga fase juvenil adalah 25.33% dan menurun menjadi 10% setelah terbentuk
82
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
individu baru, yaitu sebanyak 1.156.183 ekor. Sedangkan pada perlakuan pakan Dunaliela
sallina memperlihatkan kelulushidupan larva (SR rata-rata) sampai fase Juvenil adalah
29.33% dan menurun menjadi 10% setelah menjadi individu baru, yaitu sebesar 1.338.762
ekor.
Pemijahan T. squamosa
Pada pemijahan T. squamosa dari 8 induk yang digunakan hanya bisa memijah
dengan sempurna 4 ekor. Dari telur yang disekresikan mempunyai HR sebesar 59,32 %,
dengan kepadatan telur sebesar 67 sel/ml pada media 800Ltr, sehingga total telur yang di
produksi adalah 53.6 juta sell. Dengan HR diatas maka di peroleh larva sebanyak 31,8 juta
sell. Perkembangan selanjutnya sama dengan yang terjadi pada T. maxima, yaitu SR
sesuai dengan jenis pakan yang diberikan
Tingkat kelulushidupan dengan pakan D. sallina sampai fase juvenile menunjukkan
SR sebesar 37 %, sehingga di dapat 11.764.342 juvenile. Setelah perkembangan hingga
pada fase individu baru SR turun menjadi 11% sehingga di dapat 1.294.077 ekor individu
baru. Untuk pakan T. chuii SR hingga fase juvenile lebih kecil dari pakan D. sallina yaitu
sebesar 33.33%. Dengan SR tersebut maka di dapatkan juvenile sebanyak 10.598.940
ekor. Dalam pertumbuhannya menjadi individu baru SR turun menjadi 11%, sehingga di
dapat 1.165.883 ekor individu baru
Teknik gabungan antara kejut suhu dan injeksi serotonin yang digunakan ini secara
umum sangat efektif, karena dari teknik kombinasi ini bisa memberikan rangsangan awal
terhadap induk untuk memacu produksi telur sebelum di lakukan induksi pemijahan dalam
tingkat syaraf.
Kejut suhu berfungsi untuk memacu induk (brood stock) agar cepat matang gonad.
Saat dilakukan teknik kejut suhu, maka induk merasa stres dan terancam, dengan kondisi
ini otomatis naluri/instingnya akan menuntunnya untuk memacu telur dalam sel gonad agar
siap untuk dikeluarkan sewaktu-waktu, setelah kondisi induk (Brood Stock) seperti ini
dikatakan induk sudah siap untuk memijah maka induksi serotonin akan memacu atau
memaksa induk tersebut memijah (mengeluarkan sel gonadnya) yang kemudian diikuti
fertilisasi.
Pada realitas di alam, pemijahan buatan hanya akan berhasil secara optimal jika
dilakukan pada induk yang sudah dewasa dan matang gonad, sedangkan jika pemijahan
buatan di lakukan terhadap induk (Brood Stock) yang belum siap, induk (Brood Stock)
tersebut tetap akan memijah, tetapi tidak sempurna. Pada kondisi ini bisa saja induk/brood
stock hanya akan mensekresikan sperma saja tanpa di ikuti sel telur, tapi kadang kala pada
83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
induk yang lain bisa mensekresi sperma dan sel telur juga, akan tapi sel telur yang di
hasilkan sangat buruk sehingga menghasilkan nilai HR (Hatching Rate) yang cukup rendah.
Pada proses pemijahan buatan sering kali rendahnya HR disebabkan karena terjadi
Polysperm. Untuk mengurangi resiko terjadinya Polysperm maka sangat perlu di
perhatikan saat induk mulai spawning atau mulai melakukan sekresi sel gonad, saat
sperma sudah di keluarkan pengamatan harus lebih cermat jangan sampai terlambat
memindah induk yg sudah mulai mengeluarkan telur kedalam bak pemijahan yang lain.
Setelah didapatkan koleksi sperma dan sel telur pada bak yang berbeda, proses
pencampuran sperma dan telur juga tidak boleh terlalu pekat, seperti yang di anjurkan
dalam Braley (1992) yaitu tidak boleh lebih dari 10 ml/L telur.
Di sisi lain ternyata pakan yang diberikan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan kelulushidupan larva. Hal itu terjadi karena pakan yang diberikan menjadi sumber
nutrisi yang utama selama proses metamorfose, terutama setelah kuning telur (egg yolk)
yang dimiliki sejak menetas telah habis, sedangkan individu baru tersebut belum bisa
mengkonsumsi pakan dari alam secara optimal.
Pada perkembangan yang lebih lanjut, ternyata perbedaan jenis pakan yang diberikan
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan dari larva. Pengaruh
pakan terhadap tingkat kelulushidupan dan pertumbuhan ini dimungkinkan karena bentuk
morfologi dan fisiologi dari pakan yang berbeda. Selain itu, kandungan nutrisi, sifat biologis
dan aktifitas pakan alami yang berbeda juga memberikan dampak atau efek yang berbeda
terhadap perkembangan larva.
Pakan alga yang diberikan memberi pengaruh yang positif terhadap perkembangan
larva dalam kondisi yang sewajarnya, akan tetapi jika pakan yang di berikan tidak sesuai
baik dalam hal bentuk, jumlah, ukuran maupun pergerakannya maka pakan tersebut bisa
menjadi parasit bahkan menjadi predator terhadap larva itu sendiri. sebagai contoh yaitu
tingkat motilitas atau gerakan dari pakan alami yang diberikan, jika pergerakannya semakin
aktif maka kesempatan pakan tersebut akan termakan oleh larva semakin besar karena
sifat memakan (feeding habit) dari larva adalah filter feeder, akan tetapi kalau pakan yang
diberikan tidak aktif maka pakan akan cenderung mengendap dan menjadi
parasit/kompetitor dari pada termakan oleh larva. Beberapa fungsi dan pentingnya
fitoplankton sebagai pakan alami adalah pakan segar langsung.Karena selain sebagai
pakan segar alami, fitoplankton juga menjadi sumber protein sel tunggal yang sangat bagus
untuk pertumbuhan larva pada fase awal pemeliharaan pembibitan. Selain itu berfungsi
sebagai penyangga kualitas air pada media pemeliharaan. Beberapa fitoplankton diketahui
sangat efektif dalam menyerap beberapa senyawa yang toxic bagi larva, dapat
84
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
meningkatkan oksigen terlarut karena mampu berfotosistesis dan pengendali kadar CO2
dalam air media pemeliharaan.
Setelah larva melewati masa metamorfose, mortality lebih disebabkan oleh predator
dan kompetisi, karena setelah masa metamorfose menjadi juvenil dan individu muda,
kemampuan beradaptasinya sudah cukup tinggi, selain itu dia juga telah mempunyai
cangkang yang keras untung melindungi organ dalamnya.
Kesimpulan
1. Tidak semua induk yang digunakan dapat memijah sempurna, tergantung dari
kematangan gonad induk tersebut.
2. Teknik induksi spawning (pemijahan buatan) yang menggunakan gabungan antara kejut
suhu dan injeksi serotonin terbukti efektif digunakan pada H. Hippopus, T. Maxima, T.
Squamosa
3. Pakan Alami (pakan segar) sangat membantu mempertahankan nilai kelulushidupan
pada pembenihan kima.
Daftar Pustaka
Abbot, T.R. 1954. American Sell Shell. D. Van Nostrand Company, Inc. Priceton, New
Jersey. 245 pp.
Alcazar, S. N, Nagnit R. A. and G. A. Heslinga. 1988. Notes on The Life Sycle on The
Giant Clam Hippopus Hippopus (Linnaeus). Aquaculture. 13 : 99-182
Ambariyanto. 1996. Effect of Nutrient Enrichment in The Field on The Giant Clam,
Tridacna maxima. PhD Thesis. School of Biological science University of Sydney,
Australia. 269 pp.
Braley. R. D. 1984. Reproduction In The Giant Clam Tridacna KiKa.\'And Tridacna derasa
in situ on The North- Central Great Barrier Reef And Papua New Guinea. Coral
Reefs, 3.221 - 227 pp.
Braley, R. D. 1988. Distribution And Abundance of The Giant Clam Tridacna gigas and
Tridacna derasa on The Great Barrier Reef. Macronesia.
Braley. R. D. 1992. The Giant Clam ': llatchery ano Nursery Culture Manual. ACIAR.
Canberra. 144 pp
Calumpong, H.P., 1992. The Giant Clam: An Ocean Culture Manual. Australian Center for
International Agriculture Research (AICIAR), Canberra. 65pp
Copland, J. W. and J. S. Lucas. 1988. Giant Clam in ASIA and the Pacific. ICIAR.
Canberra. 274 pp
85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Gwyter and Munro, J. L. 1981. Spawning Induction and Rearing of Larvae-of Tridacnid
Clam(Bivalvia: Tridacnidae).Aquaculture.24 : 4 - 6 pp.
Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton, Pakan
Alami Untuk Pembenihan Biota Laut. Kanisius. Yogyakarta. 89 pp
Knop, D. 1996. Giant Clam A Comprehensive guide to the identification and care of
Tridacnid Clams. Darne Verlag Ettlingen. 225 pp.
Munro, J.t. dan Heslinga, G.A. 1982. Prospect for The Comercial Cultivation of Giant Clam
(Bivalvia: Tridacnidae). 35'" Ann. Meet. Of The Gulf & Caribb. Fist. Inst.. nassaou.
Bahamas. ICLARM Contribution No. 35. 122 -134.
Munro, Patricia. 1993. Genetic Aspek of Conservation and Cultivation of Giant Clam: Report
of The Workshop, held on 17. 18. June 1992 at The ICLARM Headquarters Makati
Metro Mannila, Philipina. ICLARM. Philiphina. 47 pp
Nash, W.J., Pearson, R.G. and Westmorc, S.P. 1988. A Histological Study of Reproduction
of the Giant Clam Tridacna gigas in the North – Central Great Barrier Reef in :
Copland. .I.W. and Lucas. .I.S. (Eds.). Giant Clams in Asia and Pasific. ACIAR
Monograph, 9 : pp. 89-94.
Norton, J. H. & Jones, G. W. 1992. The Giant Clam: An Anatomical and Histological Atlas.
ACIAR. Canberra. 92 pp
Pasaribu, B.P., 1988. Status of Giant Clams in Indonesia dalam J. W. Copland and J. S.
Lucas (Eds). Giant Clam in Asia and the Pasific. ACIAR. Canberra. 44-46p
Pringgenies, D. Suprihatin J., Lazo, 1... 1994. Spatial and Size Distribution of Giant Clams
in the Karimunjawa Islands. Indonesia. Phuket Marine Biology Center Special
Publication No. IS. 133-135p
Rahman, A. 2003. Studi Distribusi Kima (Giant Clam) di Dacrah Kepulauan Karimun Jawa.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan IImu kelautan. UNDIP. Semarang. 65 pp
Rosewater, J. 1965. The Family Tridacnidae in the Indo Pasific. United Stated University
Press, Ames Towfl, USA.
Sya'rani, L.. 1986. Studies on The Giant Clam Industry in The Karimunjawa Archipelago,
Jepara. Proceeding of a Seminar Multy-Disciplinary Studies on Fisheries and
Inshore Coastal Resource management: 342-343.
86
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI A10
_________________________________________________________________________________________
Hambali Supriyadi
Abstrak
Tiram mutiara merupakan salah satu komoditas penting dalam usaha menunjang
peningkatan tarap ekonomi rakyat. Budidaya tiram mutiara di Indonesia lebih banyak
dilakukan di wilayah Timur, mengingat keadaan lingkungan didaerah ini masih relatif
tergolong bersih dan jauh dari sumber cemaran. Seperti halnya budidaa ikan budidaya
tiram mutiara juga tidak luput dari permasalahan. Salah satu masalah yang banyak
dihadapi adalah masalah penyakit. Walaupun masalah yang terbesar yang dirasakan
sampai saat ini adalah masalah rendahnya kualitas air, yaitu antara lain karena banyaknya
bahan cemaran terutama limbah Industri yang dibuang ke laut tanpa adanya treatment
terlebih dahulu. Level kematian yang diakibatkan oleh infeksi penyakit ini biasanya tidak
sedikit bahkan pada keadaan ertentu bias menimbulkan kematian sebanyak 100%.
Penyakit pada tiram mutiara pada umumnya bisa disebakan oleh jasad Parasitik, Bakteria,
dan Virus. Parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni atau identik
dengan Michinia nelsoni, dan Parkinsus marinus. Adapun bakteri yang sering menjadi
masalah adalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum dan Achromobacter
sp. Sedangkan jenis Virus yang biasanya menginfeksi tiram mutiara adalah Herpes virus.
Pendahuluan
Tiram mutiara merupakan salah satu komoditas unggulan yang memiliki prospek
cukup penting dalam usaha peningkatan penghasilan masyarakat perikanan. Komoditas ini
baik yang berasal ari laut maupun air tawar masih memiliki peluang yang cukupluas.
Indonesia yang memiliki iklim yang hampir stabil sepanjang tahun, sehingga
memungkinkan pengembangan budi daya hampir tidak terpengaruh oleh perubahan
musim. Selain itu jenis tiram penghasil mutiara yang tumbuh dan berkembang di Indonesia
merupakan salah satu jenis yang paling unggul dianding dengan dari negara lain
(Demersal, 2006). Hal tersebut dibuktikan bahwa pasar dunia begitu bergairah menyambut
mutiara dari bumi pertiwi ini yaitu pada saat Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia
(ASBUMI) melakukan penjualan mutira dengan jalan pelelangan (auction) yang
mengundang calon pembeli dari luar negeri. Hasilnya bahwa Mutiara Laut Selatan ( South
sea pearl) laku dijual dengan harga tinggi yaitu US$ 100-200 per gram untuk kualitas
terbaik. Dan semenjak itu terjadi perubahan yang tadinya pembeli dari Amerika dan Europa
membeli mutiara dari Jepang, beralih menjadi pembeli Mutiara dari Selatan.
Budi daya tiram mutiara di Indonesia lebih banyak berlokasi di wilayah Indonesia
bagian Timur seperti di Ambon, Sulawesi dan Nusa Tenggara Bbarat dan Timur. Hal ini
mungkin karena keadaan laut di daerah-daerah tersebut sangat cocok untuk budidaya tiram
88
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
tersebut. Selain itu keadaan laut di daerah tersebut relatif masih bersih, dan terhindar dari
cemaran karena terletak jauh dari simber cemaran.
Kota Mataram (NTB) sejak tahun 2004 telah ditetapkan sebagai Pusat Mutiara
Imternasional.Asosiasi Mutiara Internasional yang berkedudukan di jepang telah
mengagendakan berbagai acara untuk mencapai sebutan tersebut (Demersal, 2006).
Produksi biji mutiara di Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2005 mencapai 1,8 ton yang
dihasilkan oleh sedikitnya 24 perusahaan budi daya yang tersebar di enam kabupaten di
daerah ini. Kalau diasumsikan stiap gram mutiara dihargai dengan US$ 50 saja maka
berarti pendapatan ekspor dari NTB mencapai US$ 75 juta, merupakan suatu angka yang
fantastis. Untuk mengantisipasi pembeli Internasional yang makin banyak maka
Pemerintah Daerah (pemda) NTB telah merencanakan pembangunan ” International Pearl
Trade Center” (IPTC) di kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.
Beberapa Permasalahan
Walau iklim di Indonesia dikatakan relatif stabil namun ternyata masih banyak
masalah–masalah yang timbul dan menimbulkan gangguan pada budidaya tiram mutiara.
Oleh karena itu bagian yang terpenting dalam usaha budidaya kerang mutiara adalah
ketepatan dalam pemilihan lokasi. Untuk itu perlu dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan/pertumbuhan tiram itu sendiri.
Masalah tersebut antara lain meliputi:
a. Masalah Lingkungan
b. Masalah Organisme Penempel
c. Masalah penyakit.
Masalah Lingkungan
Masalah lingkungan besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan tiram mutiara ini.
Pada prinsipnya tiram akan hidup dan berkembang dengan baik apabila persyaratan-
persyaratan lingkungan untuk kehidupan nya terpenuhi. Adapun masalah lingkungan yang
banyak sekali pengaruhnya pada kehidupan tiram mutiara adalah antara lain: Salinitas,
Arus air, Suhu, dan kecerahan.
Perbedaan salinitas pada permukaan dan di bawahnya akibat hujan lebat
menyebabkan kerusakan populasi tiram mutiara secara alami. Fluktuasi salinitas yang
tinggi akan menimbulkan stress bagi kehidupan tiram dan kemudian tiram akan mudah
terinfeksi oleh penyakit.
89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Suhu optimum untuk pertumbuhan tiram antara 28-29 ºC. Tiram mati pada suhu
dibawah 6 ºC sedangkan pada suhu dibawah 13 ºC menyebabkan Hybernasi dan pada
suhu di atas 28 ºC tiram nampak Exhaustion (Widiana, 2006; Sutaman, 1993).
Menurut Sutaman (1993), kecerahan suatu perairan juga bergantung pada
banyaknya partikel-partikel koloid serta jasad-jasad renik yang terdapat dalam air.
Kejernihan perairan sangat disukai organisme tetapi kaya akan makanan berupa plankton.
Pada kondisi demikian maka tiram akan tumbuh dengan baik.
Predator
Seperti halnya binatang akuatik lainnya masalah predator merupakan masalah yang
seringdihadapi oleh para pembudidaya tiram mutiara. Predator tersebut banyak menjadi
masalah terutama pada waktu tiram tersebut masih berumur muda (spat). Banyak sekali
jenis-jenis predator yang terdapat pada budidaya tiram yaitu diantaranya : Sparus
swinhonis, Octopus vulgaris dan Asteria amurensis dll. Carnivorous gastropods seperti:
Purpura clavigora, Purpura bronni, Ocenebra japonicum, Goratostoma founari, dan Rapana
thomasiana, dan lain lain. Kerusakan terparah akibat gangguan predator ini biasanya terjadi
apabila terjadi peningkatan suhu. Namun demikian R. thomasiana menimbulkan kerusakan
sepanjang tahun walaupun pada suhu dibawah 10 oC.
Masalah Penyakit.
Penyakit pada tiram mutiara dapat menimbulkan masalah yang cukup besar. Selain
menimbulkan kerugian akibat kematian juga akan mengakibatkan tiram tersebut juga
pertumbuhannya akan terhambat. Penyakit pada tiram mutiara dapat disebabkan oleh
90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
jasad parasitik terutama yang tergolong dalam golongan Protozoa, Jamur, Bakteri maupun
Virus.
Protozoa.
Protozoa yang dominan sebagai penyakit pada tiram adalah terutama dari golongan
Sporozoa. Misalnya yang diakibatkan oleh Haplosporidium nelsoni atau dengan nama lain
Minchinia nelsoni atau lebih terkenal dengan sebutan Multinucleated Sphere-X (MSX).
Parasit ini berasal dari Asia dan pada tahun 1957 samapi 1960 telah menyebabkan
kematian sebanyak 95% di pantai barat Amerika (Andrews, 1982; Ewart and Ford, 1993;
Ford and Tripp, 1996). Parasit ini pada awalnya tidak dapat diidentifikasi hingga kurang
lebih empat tahun setelah insident tersebut. Hasil penelitian kemudian menyebutnya
dengan MSX karena terdapatnya banyak inti. Pada budi daya tiram di USA Minchinia
nelsoni sering timbul pada kondisi salinitas rendah. Sedangkan Manchinia costalis
sebaliknya sering timbul pada salinitas tinggi. MSX memerlukan salinitas diatas 10 ppt
untuk berkembang sedangkan pada salinitas dibawah itu tidak pernah dijumpai (Ewart and
Ford, 1993; Ford and Tripp, 1996)
Parasit lain dari golongan protozoa yang menjadi masalah pada budi daya tiram
mutiara adalah Perkinsus marinus atau sering disebut dengan Dermo. Penyakit ini pertama
kali diidentifikasi di teluk Mexico pada tahun 1940 dan telah menyebabkan kematian pada
budi daya tiram. Pada awalnya penyakit ini diduga disebabkan oleh jamur/kapang, oleh
karena itu kemudian dinamakan Dermocyctidium marinum (Ewart and Ford, 1993; Ford and
Tripp, 1996; Virginia Institute of Marine Science, 2003), dan tidak sampai tahun 1978
kemudian diklasifikasikan kedalam phylum Apicomlexa dan kemudian dinamakan
Perkinsus marinus. Dermo sangat cepat berkembang dan mewabah pada suhu diatas 25
o
C (Ewart and Ford, 1993; Ford and Tripp, 1996; Locke, 1998). Namun demikian apabila
tiram yang terinfeksi dipindah ke suhu 12 oC pada salinitas 3, 6 atau 15 ppt maka level
infeksi akan berkurang dalam dua minggu. (Lowry, 2004).
Penyebaran parasit ini lebih mudah karena bias melalui air, yaitu dari inang yang
terinfeksi kemudian mengeluarkan parasit tersebut. Tiram hidup yang terinfeksi juga bias
menyebarkan parasit ini karena parasit akan keluar bersama kotoran dari tiram tersebut.
P. marinus menunjukkan kecenderungan menginfeksi tiram yang berukuran
mendekati ukuran yang siap dipasarkan (Ford and Tripp, 1996; Locke, 1998). Di Teluk
Mexico parasit tersebut menginfeksi 80% eastern oyster, dan 50% adalah usia dewasa
mati (Delaney et al., 2003).
91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Penyakit Bakterial.
Seperti binatang akuatik lainnya Tiram juga sering terinfeksi oleh penyakit bacterial.
Pada tahun 1967 Colwell berhasil mengisolasi bakteri Pseudomonas enalia yang diduga
telah menyebabkan kematian pada tiram muda. Selain itu Sinderman ( 1977) melaporkan
bahwa Vibrio anguillarum dan bakteri yang menyerupai V. anguillarum (V. anguillarum-like)
telah menyebabkan banyak kematian pada tiram muda.
Pada prinsipnya makin menurunnya kualitas lingkungan dan makin tingginya kadar
bahan organik maka akan ada kecenderungan bagi beberapa species bakteri untuk
menjadi lebih fatogenik.
Pada tahun 1953 di teluk Hirosima telah ditemukan bakteri gram negative
(Achromobacter sp.) dengan insidensi 22% adalah tertinggi diantara bakteri yang diisolasi
dari tiram mati.
Penyakit viral.
Virus Herpes yang berbentuk hexagonal biasanya ditemukan dan menginfeksi system
pencernakan tiram . Tiram yang terinfeksi biasanya menunjukkan gejala perubahan warna
menjadi keputih-putihan dan kemudian akan menimbulkan kematian.
Dalam penelitian tiram yang dipelihara pada suhu 12-18oC akan mati apabila dipindah
kedalam air yang memiliki suhu 28-30oC.
Cara pencegahan yang sering dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit tersebut
antara lain adalah :
1. Menjaga agar fluktuasi suhu supaya tidak terlalu tinggi
2. Apabila ada tiram yang terinfeksi harus segera dibuang dari tempat budidaya.
Rekomendasi
Dalam rangka memelihara kesehatan tiram pada usaha budi daya maka para
pembudidaya hendaknya memperhatikan hal-hal seperti berikut.
1. Selalu memonitor salinitas apakah masih berada dalam kisaran salinitas yang
dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tiram.
2. Menjaga agar fluktuasi suhu air supaya tidah terlalu tinggi. Apabila musim dingin
maka hendaknya poket ditempatkan jangan terlalu mendekati ke permukaan.
3. Kalau memungkinkan pilih lokasi dengan kecerahan yang cukup bagus, supaya
penetrasi cahaya akan berjalan dengan baik.
4. Tidak memilih lokasi pada lahan dengan dasar pasir berlumpur, agar supaya
terhindar dari banyak kotoran dan organisme penempel yang hinggap pada tiram
tersebut.
92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
Andrews, J.D. 1982. Epizootiology of late summer and fall infection of Oyster by
Haplosporidium nelsoni, and comparison to annual life cycle of Haplosporidium
costalis a typical haplosporidan. Journal of Shellfish Research 2: 15-23.
Delaney, M.A., Y.J. Brady., S.D. Worley and K.L. Huels. 2003. The effectiveness of N-
halamine disinfectant compounds on P. marinus, a parasite of the eastern oyster
(Crassostrea virginica). The Journal of Shellfish Research 22: 91-94.
Demersal 2006. Mutiara” The Quieen of Pearl”. Kilaunya Kian Mempesona. Edisi Mei 2006
. pp. 31-35.
Ewart, J.W. and S.E. Ford. 1993. History and impact of MSX and Dermo diseases on
oyster stocks in the Northeast region. U.S. Department of Agriculture Publication
No. k-32501-1-93.
Ford, S.E. and M.R. Tripp. 1996. Deseases and defense mechanisms p. 581-642. In REI
Newell., V.S. Kennedy and A.F. Eble (Eds). The Eastern Oyster Crassostrea
virginica, Maryland sea Grant College Program. College Park, Maryland.
Lowry A.E. 2004. The Plight of the Eastern Oyster : Is a Non-Native the Answer?. Saint
Mary’s Proyect in Biology. Saint Mary’s College of Maryland. Pp. 1-61.
93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B1
_________________________________________________________________________________________
Djuwito
Abstrak
Pendahuluan
94
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
perairan tambak. Seterusnya dikatakan bahwa Cerithidea cingulata dikenal luas sebagai
kompetitor dalam budidaya ikan bandeng.
Faktor-faktor yang menyebabkan terdapatnya Cerithidea pada perairan umum dan
perairan tambak tentulah berbeda. Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk
mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan Cerithidea pada petak tambak
bekas budidaya udang secara intensif dan semi intensif, serta satu petak pada tambak
tradisional ikan bandeng.
Tabel 1. Jumlah individu Cerithidea (pada 3 titik sampling) dan Rerata kelimpahan
95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Komposisi Species
96
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
(1983) bahan-bahan organic dalam bentuk detritus merupakan sumber pakan utama bagi
pertumbuhan trisipan di daerah pertambakan Klekap sulit tumbuh bila trisipan terdapat
melimpah.
Pada bekas tambak semi intensif, selama masa budidaya udang - pengapuran jarang
dilakukan, belum pernah dikaporit, pengangkatan lapisan tanah atas tidak begitu tebal.
Pengelola selama sembilan tahun (1998 – 2007) baru sekali melakukan pengambilan
lumpur (kedok-teplok} yaitu mengangkat/membuang lumpur dasar sekeliling tanggul., hal
ini terlihat dari kaki tanggul yang jauh melebar ketengah petak tambak.
Keluar masuknya air hanya melalui dua pipa PVC 8 dim, sehingga pergantian air
sangat tidak maksimal, terlihat dari salinitas yang paling tinggi (32,5 %o). Tidak
97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
maksimalnya pergantian air selama sembilan tahun dan pengangkatan tanah dasar yang
hanya dilakukan sekali tersebut, menjadikan petak tersebut sebagai perangkap bagi
perkembangan trisipan selama daur hidupnya. Pasokan air langsung berasal dari anak
sungai.
Kelimpahan trisipan yang tinggi (66,67 individu/m2) dibuktikan juga dengan meratanya
cangkang (shell) pada sepanjang tanggul. Pengelola pernah beberapa kali melakukan
pengambilan (pemberantasan) trisipan secara manual, tetapi tidak dilakukan secara
periodic. Akibatnya klekap sedikit bahkan tidak dapat tumbuh yang berakibat bandeng tidak
dapat berkembang secara maksimal (7-8 ekor/kg). Terdapat empat species pada petak
bekas tambak semi intensif yaitu C. cingulata, C.quadrata, C. djadjariensis, dan C. alata.
Diduga kuat melimpahnya trisipan pada petak tambak bekas budidaya udang semi
intensif tersebut karena disebabkan oleh system pasokan dan pembuangan air yang tidak
maksimal dan berlangsung lama, saluran masuk dan pembuangan menjadi satu, sumber
air langsung dari badan sungai.
Pada tambak bandeng yang dikelola secara tradisional, justru kelimpahan trisipannya
paling rendah (2, 17 %). Substrat dasarnya dari lumpur. Pengelola secara periodic
melakukan pengambilan lumpur pada sepanjang kaki tanggul (caren), pergantian air
melalui pintu utama dan secara terbuka. Pergantian air yang dilakukan secara terbuka dan
mengikuti pola pasang surut menyebabkan massa air dapat berganti secara maksimal
dengan kemungkinan
Kesimpulan
1. Terdapat empat species Cerithidea pada substrat dasar tambak bekas budidaya
udang semi intensif dan tambak bandeng tradisional yaitu Cerithidea cingulata C.
quadrata C. djadjariensis dan C. angulata. Pada bekas tambak udang intensif hanya
ditemukan satu species C. cingulata.
2. Kelimpahan Cerithidea tertinggi terdapat pada tambak bekas budidaya udang semi
intensif yang pergantian massa airnya tidak maksimal dalam petakan tertutup.
3. Sistem dan intensitas pengelolaan tanah dasar tambak lebih berperan dibandingkan
dengan jenis substrat dasar tambaknya terhadap kelimpahan Cerithidea.
98
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Saran
Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan tujuan mendapatkan system
pencegahan/pengurangan kelimpahan Cerithidea dalam mendukung budidaya ikan
bandeng.
Daftar Pustaka
Budiman A. dan S.A.P. Dwiono. 1987. Ekologi moluska hutan mangrove di Jailolo,
Halmahera : suatu studi perbandingan. Makalah dalam Prosiding Seminar III :
Ekosistem Mangrove. MAB – Indonesia. Pp. 129-135.
Carpenter, K. E. and V.H. Niem. 1998. The living marine resources of the Western Central
Pacific. Volume I. FAO. Rome. Pp. 448-454.
Dharma, B.1988. Indonesian shells. PT. Sarana Graha. Jakarta. 111 halaman.
Poernomo A. 1979. Budidaya udang ditambak. Dalam Soegiarto A. V. Toro dan K.A.
Soegiarto (Editor) Udang : biologi potensi bueidaya produksi dan udang sebagai
bahan makanan di Indonesia. LON-LIPI. Jakarta. Halaman 71-178.
Sabar, F., M. Djajasasmita, dan A. Budiman. 1979. Susunan dan penyebaranmoluska dan
krustasea pada beberapa hutan rawa payau : suatu studi pendahuluan. Makalah
dalam Prosiding Seminar I : Ekosistem Hutan Mangrove. MAB – Indonesia.
Halaman 120-125.
Soeseno, S. 1983. Budidaya ikan dan udang dalam tambak. PT Gramedia. Jakarta. Pp.148
hal.
99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B2
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Siput gonggong merupakan salah satu komoditas perikanan yang sudah dikenal
oleh masyarakat di Propinsi Bangka-Belitung. Biota ini sering diburu dan habitatnya sering
dirusak sehingga mempengaruhi populasinya di alam. Untuk mengetahui sebaran dan
kepadatan siput gonggong di Teluk Klabat digunakan metode transek kuadrat
menggunakan frame berukuran 1x1 m. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebaran
siput gonggong di Teluk Klabat terkonsentrasi pada areal teluk luar bagian barat dengan
kepadatan rata-rata mencapai 4 individu/m2 dan membentuk pola penyebaran
mengelompok. Lokasi sebaran tat d Spatial an Sebaraniput gonggong dapat dijadikan
sebagai areal konservasi dan dilanjutkan dengan penebaran siput. rlHabitat siput gonggong
terdiri dari substrat pasir berlumpur dan berada pada areal yang tenang dan terlindung dari
gerakan arus yang kuat. Pada habitat yang substratnya didominasi oleh lumpur tidak
dijumpai siput gonggong. Aktivitas penambangan timah rakyat di laut berpotensi merusak
habitat siput gonggong dan mempengaruhi kehidupannya di alam.
Kata Kunci: Siput gonggong (Strombus turturella), habitat, sebaran, Teluk Klabat,
Bangka-Belitung
Pendahuluan
Teluk Klabat merupakan salah satu areal perikanan tradisional yang dimanfaatkan
oleh nelayan P. Bangka untuk mencari ikan, kekerangan ataupun biota laut lainnya.
Pemanfaatan sumberdaya kekerangan di Teluk Klabat sudah berlangsung sejak lama, baik
dimanfaatkan sebagai pelengkap lauk sehari-hari maupun dijual untuk menambah income
nelayan. Salah satu jenis biota yang dijumpai di rataan terumbu dengan substrat pasir
berlumpur adalah siput gonggong (Strombus turturella). Siput gonggong sudah sangat
dikenal dan digemari oleh mesyarakat khususnya di Kepulauan Bangka Belitung dan
sekitarnya.
Penangkapan siput gonggong di Teluk Klabat sudah berlangsung sejak lama dan
diusahakan secara turun-temurun. Musim penangkapan efektif dalam setahun hanya
berlangsung selama 4 bulan yaitu Maret, April, Mei dan Juni dengan puncaknya terjadi
pada bulan Maret. Di luar waktu musim penangkapan siput gonggong aktivitas nelayan
100
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
beralih ke penangkapan ikan ataupun pekerjaan lainnya. Dari usaha penangkapan siput
gonggong ada sebagian pendapatan bersih yang dapat disisihkan untuk keperluan lainnya
bagi nelayan.
Persoalan umum yang dihadapi oleh masyarakat pesisir khususnya di Teluk Klabat,
Bangka Belitung sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya perairan adalah tingkat
pemanfaatan sumberdaya non ikan khususnya kerang-kerangan oleh masyarakat selama
ini tidak dibarengi dengan upaya-upaya pelestariannya, sehingga kini mulai terasa adanya
tekanan terhadap populasi biota tersebut di alam. Selain itu kegiatan penambangan timah
di laut yang bepotensi merusak habitat yang ada semakin menambah tekanan terhadap
populasi biota yang ada. Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung tanpa adanya upaya
penyelamatan dan restorasi akan berdampak terhadap kelestarian biota tersebut dan
berimplikasi terhadap kegiatan perekonomian masyarakat setempat.
Teluk bagian luar sisi timur merupakan alur pelayaran, dan lokasi penangkapan ikan.
Sedangkan aktivitas penambangan timah tidak dijumpai di areal ini. Penentuan titik
sampling dimulai pada sisi timur teluk yang berdekatan dengan Tanjung Penyusuk
menyusuri perairan pantai desa Romodong hingga ke Tanjung Gudang. Sebanyak 180 titik
sampling dari 10 transek yang berhasil dilakukan di lokasi ini (Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, dan 6).
Teluk bagian luar sisi barat juga merupakan alur pelayaran dan lokasi penangkapan
ikan serta aktivitas penambangan timah. Penentuan titik sampling dimulai dari sekitar P.
Kelapa dan menyusuri pantai sebelah barat Teluk Klabat. Vegetasi yang tumbuh di daerah
pantai umumnya cemara. Selain itu dijumpai pula beberapa buah pulau kecil yang
bervegetasi serta beberapa pulau berupa tonjolan batu dan gosong pasir yang muncul ke
permukaan pada saat air surut. Di areal ini juga beroperasi puluhan tambang timah rakyat
101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
(TI) yang mengeruk substrat untuk mendapatkan pasir timah. Kegiatan mengaduk-aduk
substrat ini yang menyebabkan rusaknya habitat siput gonggong di areal tersebut.
Sebanyak 240 titik sampling dari 10 transek yang berhasil dilakukan di lokasi ini (Stasiun 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, dan 14).
11 13
9 14
12
10
8 I
19
18 20 7 40”
3 1
21 4 2
5
II 6
17 16
15
III
105’50
”
TELUK KLABAT
Sepanjang sisi timur teluk bagian tengah (Stasiun 15, 16, dan 17), merupakan areal
dengan ekosistemnya yang khas yang didominasi oleh tumbuhan mangrove. Terdapat 3
unit kapal keruk milik PT. Timah yang beroperasi di bagian pintu masuk areal ini. Aktivitas
nelayan di daerah ini lebih didominasi oleh nelayan bagan tancap, jaring (gill net). Areal
dangkal di tepi pantai dimanfaatkan oleh nelayan untuk mencari udang dan kepiting
menggunakan jaring (gillnet) dan alat penangkap kepiting (pentor). Dari 3 stasiun
pengamatan pada areal ini ditentukan Titik sampling lainnya di lakukan di sepanjang sisi
barat Teluk Klabat bagian tengah (Stasiun 18, 19, 20, dan 21) Di areal ini dijumpai
beberapa pulau kecil di antaranya P. Nenas dan P. Puteri.
Teluk Klabat bagian dalam ditumbuhi pohon mengrove yang sangat rapat. Dalam
pengambilan data kali ini tidak dilakukan pemantauan sampai ke teluk bagian dalam,
102
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
karena adanya kendala teknis serta dianggap areal ini bukan merupakan habitat siput
gonggong yang potesial.
Contoh substrat diambil menggunakan Ekman grab, sedangkan parameter kualitas
perairan menggunakan Horiba Type U-10. Sebaran spasial dan kepadatan siput gonggong
di lokasi penelitian dilakukan metode transek kwadrat menggunakan frame 1 x 1 m yang
ditempatkan secara acak di habitat siput gonggong. Pola penyebaran Siput gonggong
dianalisa menggunakan indeks penyebaran Morisita (Poole, 1974).
Untuk melengkapi data yang sudah ada, dilakukan pula wawancara dengan para
nelayan pencari gonggong, nelayan pengumpul dan penjual siput gonggong yang ada di Kota
Blinyu dan sekitarnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kisaran kualitas perairan di Teluk Klabat bagian
luar (Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, dan 6) adalah pH antara 7.60-7.67, nilai oksigen terlarut antara
4.77-6.09 mg/l, temperatur perairan antara 29.0-29.7 oC dan salinitas antara 31.2-33.3 o/oo
dengan kondisi substrat berupa pasir, patahan karang bercampur pasir dan lumpur pasiran.
Selanjutnya kondisi yang terjadi di areal bagian barat (Stasiun 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan
14) adalah pH antara 7.60-7.69, oksigen terlarut antara 4.78-7.32 mg/l, temperatur antara
28.5-29.9 oC dan salinitas antara 32.1-32.9 o/oo. Kondisi substrat pada areal ini lebih
didominasi oleh lumpur hingga pasir berlumpur. Secara keseluruhan nilai kualitas perairan
yang diperoleh dalam penelitian ini relatif tidak berbeda dengan yang ditemukan oleh
Djamali (1983).
Jika ditilik dari kondisi substratnya, nampak bahwa stasiun 1 hingga 6 substratnya
didominasi oleh pasir kasar hingga pasir berlumpur, sebaliknya stasiun 7 hingga stasiun 14
substratnya lebih didominasi oleh pasir berlumpur. Hal ini dapat terjadi akibat pola arus
yang berkembang di areal ini yang menyebabkan terjadinya akumulasi substrat (lumpur)
lebih banyak terjadi di stasiun 7-14. Pola arus ini sesuai dengan yang ditemukan oleh
Djamali (1983).
Dengan semakin maraknya aktivitas penambangan timah rakyat di perairan Teluk
Klabat, terutama pada lokasi pengamatan (stasiun 9, 10, 11, 12, 13 dan 14) dan makin
bertambah sejak tahun 1984 hingga kini, telah menyebabkan berubahnya komposisi
substrat di areal tersebut. Berubahnya komposisi substrat tersebut sangat mempengaruhi
kehidupan biota yang ada. Sehingga sering terjadi timbunan lumpur yang membenamkan
siput gonggong di areal tersebut terutama pada bulan-bulan September dan Oktober. Hal
ini sangat mempengaruhi kehidupan siput gongong di habitatnya.
103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siput gonggong di Teluk Klabat menyebar pada
beberapa lokasi tertentu dengan kondisi substrat yang tertentu pula. Berdasarkan lokasi
penelitian yang telah dipetakan memberikan gambaran bahwa siput gonggong ditemukan
pada setiap lokasi penelitian dengan kepadatan yang berbeda. Di lokasi I sebelah timur
teluk bagian luar (stasiun 3 dan 4) hanya ditemukan beberapa ekor siput gonggong. Sama
halnya di lokasi II hanya ditemukan beberapa ekor siput gonggong yaitu di stasiun 19 dan
20. Dari data yang diperoleh nampak bahwa konsentrasi tertinggi ditemukannya siput
gonggong adalah di Teluk Klabat bagian luar pada areal sisi barat khususnya di stasiun 7,
8, 10, 12, 13 dan 14. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa areal tersebut merupakan
habitat siput yang ditemukan dengan konsentrasi yang relatif lebih tinggi dari lokasi-lokasi
lainnya di Teluk Klabat. Hasil analisis diperoleh nilai indeks penyebaran Morisita adalah 2,2
yang mengindikasikan bahwa sebaran siput gonggong di lokasi penelitian tergolong tipe
mengelompok, dengan kepadatan rata-rata mencapai 4 individu/m2.
Dengan hasil yang telah diperoleh di atas, memberikan indikasi bahwa habitat siput di
Teluk Klabat tersebar mulai dari Teluk Klabat bagian luar hingga ke teluk bagian tengah.
Lokasi yang potensial sebagai habitat siput gonggong adalah sepanjang pantai sisi barat
teluk bagian luar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya pola arus yang
berkembang yang dapat menyebabkan terakumulasinya nutrient dan tersebarnya larva di
areal tersebut, banyaknya gosong pasir yang membentuk daerah-daerah terlindung bagi
siput gonggong serta relatif jauhnya dari lokasi pemukiman.
Hadirnya siput gonggong pada beberapa lokasi lainnya walaupun dengan kepadatan
relatif rendah, namun hal ini merupakan informasi penting untuk pengelolaan selanjutnya
104
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Ukuran Cangkang
Siput gonggong merupakan biota sesil yang kehidupannya sangat bergantung pada
ketersediaan makanan di alam dan kondisi substrat di habitatnya. Bila terjadi degradasi
lingkungan yang dapat merubah struktur substratnya akan membawa dampak terhadap
kehidupannya, karena siput gonggong mendapatkan makanannya langsung dari substrat.
Indikasi kerusakan lingkungan dan salah satu dampaknya terhadap kehidupan siput
gonggong di alam khususnya Teluk Klabat dapat dilihat dengan adanya perbedaan ukuran
cangkang pada areal terjadinya aktivitas penambangan dan bila aktivitas penambangan
tersebut dihentikan selama kurun waktu beberapa bulan lamanya. Perbedaan ukuran
cangkang terlihat lebih menyolok bila dibandingkan dengan contoh siput yang ditemukan
dilokasi lainnya di P. Bangka yang tidak terjadi aktivitas penambangan pada habitat siput
gonggong (Gambar 2). Penurunan ukuran cangkang juga telah dilaporkan oleh Amini dan
Pralampita (1987) yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan ukuran cangkang siput
gonggong yang ditemukan di perairan Riau dan sekitarnya.
Siput goggong yang diperoleh dari beberapa lokasi pengambilan di Teluk Klabat
didominasi oleh siput dengan kisaran ukuran 40.0-49.9mm sebanyak 49.0% dan ukuran
50.0-59.9mm sebanyak 50.1%. Sedangkan yang ditemukan di Bangka Selatan didominasi
oleh siput dengan kisaran ukuran 60.0-69.9mm (48%) dan ukuran 70.0-79.9mm (50%)
serta yang ditemukan di P. Setoko, Batam didominasi oleh ukuran 60.0-69.9mm (56.2%).
Gambar 3 memperlihatkan perbedaan ukuran siput gonggong yang ditemukan di Teluk
Klabat, Bangka Selatan dan P. Setoko-Batam.
Bila dilihat dari kondisi habitat, nampak adanya perbedaan antara P. Setoko dan
Teluk Klabat. Kondisi habitat di P. Setoko substratnya terdiri dari pasir berlumpur dan
ditumbuhi lamun dan relatif belum terjadi degradasi lingkungan yang berarti, sehingga
ketersediaan makanan tetap ada dan kondisi substratnya tetap stabil. Sebaliknya di Teluk
Klabat, substratnya terdiri dari pasir berlumpur dan tidak ditumbuhi lamun. Selain itu kondisi
substratnya selalu labil sehingga ketersediaan sumber makanan yang terdapat
dipermukaan selalu tergerus arus ataupun tertimbun pasir hasil kerukan penambangan
timah di laut. Tidak jarang seluruh tubuh siput gonggong tertimbun substrat sehingga
menyulitkannya untuk mendapatkan makanan dan oksigen yang memadai dan dapat
berakhir dengan kematian.
105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
90
83.0mm
79.7mm
80
69.4mm
70
Keterangan :
61.5mm
PANJANG CANGKANG (mm
59.8mm
60 K = Ukuran cangkang terkecil (mm)
54.3mm
51.5mm
B = Ukuran cangkang terbesar
R = Ukuran rata-rata cangkang
50
45.9mm
42.5mm
40 36.7mm
30
20
10
0
K B R K B R K B R L∞
LOKASI
Gambar 3. Perbedaan rata-rata ukuran cangkang siput gonggong antara Teluk Klabat,
Bangka Selatan dan P. Setoko, Batam
106
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Populasi siput gonggong di Teluk Klabat telah mengalami tekanan akibat degradasi
habitat;
- Pemulihan pertumbuhan populasi siput gonggong di Teluk Klabat dapat dilakukan
dengan cara mengurangi tekanan terhadap degradasi habitatnya dan pengelolaan
sumberdaya tersebut secara rasional.
Saran
- Untuk mencegah terjadinya kepunahan terhadap siput gonggong, maka disarankan
membentuk areal perlindungan yang dikelola sendiri oleh masyarakat setempat.
- Karena siput gonggong merupakan salah satu komoditi yang bernilai ekonomis,
maka pengelolaan sumberdaya tersebut harus melibatkan seluruh stake holder
yang ada.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih disampaikan kepada Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
c.q. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI yang telah membiayai penelitian ini lewat
Riset Kompetiti LIPI sub Program Kaltim Babel tahun 2006-2007.
Daftar Pustaka
Akbar, S., N. Hartanto, S. Muhli dan T. Hermawan. 2005. The first successful breeding of
marine snail (Strombus canarium) at regional center for mariculture development
(RCMD) Batam-Riau Island, Indonesia. Regional Center for Mariculture
Development (RCMD), Batam-Riau Island. 6 p.
Anonim, 2006. Bangka Dalam Angka 2005. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bangka dengan Bapeda Kabupaten Bangka. Hal 1-124
Dartnall A.J. & M. Jones (Eds). 1986. A manual survey method : living resources in
coastal areas. ASEAN-Australia Cooperative Program on Marine Science
Handbook. Townsville : Asean Institute of Marine Science (IMS). 167 p.
107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Stoner, A. W., P. A. Pitts and R. A. Amstrong, 1992. Interaction of physical and biological
factors in the large-scale distribution of juvenile queen conch in seagrass meadows.
Bulletin of Marine Science 58(1): 217-233.
Strickland, J.D.H & T.R. Parson 1968. Apractical handbook of seawater analysis Fish. Res
Board. Can. Bull. 167 : 1 - 311.
Yamaji, I. 1966. Illustrations of the marine plankton of Japan. Hoikusho, Osaka, Japan.
369 p.
108
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B3
_________________________________________________________________________________________
M. Ali S.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan, kondisi habitat dan pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kepadatan kerang Geloina pasca tsunami di perairan
ekosistem mangrove pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. Kegiatan penelitian dilakukan
sejak Februari 2006 sampai Januari 2007 di perairan sungai Leupung, Reuleng dan
sungai Lhok Kulam pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. Penentuan kawasan penelitian
dan pengambilan data penelitian ditetapkan dengan metode purposive, in-situ dan metode
sweapt area. Data lingkungan ditabulasi ke dalam tabel pengamatan, kepadatan dianalisis
dengan rumus kepadatan dan pengaruh faktor lingkungan terhadap kepadatan dianalisis
dengan regressi berganda. Hasil yang diperoleh adalah kepadatan kerang Geloina pasca
tsunami dalam kisaran luas 100 meter2 berkisar antara 2-18 individu. Kondisi habitat
perairan ekosistem mangrove pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar pasca tsunami adalah
suhu berkisar antara 20,5-32,00C, pH 4,3-8,6, salinitas 4,0-22,0 %o, komunitas tumbuhan
rusak total. Faktor lingkungan perairan ekosistem mangrove sangat berpengaruh terhadap
kepadatan kerang Geloina. Kesimpulan diperoleh (1) Kepadatan kerang Geloina pasca
tsunami sangat berbeda dengan kepadatan sebelum terjadi tsunami, (2) Kondisi habitat
perairan ekosistem mangrove pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar pasca tsunami adalah
rusak total, dan (3) Faktor lingkungan perairan ekosistem mangrove sangat berpengaruh
terhadap kepadatan kerang Geloina di perairan ekosistem mangrove pesisir Barat
Kabupaten Aceh Besar.
Pendahuluan
Peristiwa tsunami 26 Desember 2004 yang terjadi di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Sumatera Utara, telah membawa perubahan yang sangat nyata di kedua
kawasan ini. Berbagai dampak yang telah ditimbulkan oleh tsunami diantaranya adalah
hilangnya pemukiman penduduk di kawasan pesisir, hilangnya berbagai daratan dan
hilangnya berbagai ekosistem mangrove dari kawasan ini. Khusus di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam kegiatan ini terjadi di kawasan pesisir Kabupaten Aceh Barat, Aceh
Jaya, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kota
Lhokseumawe dan sebagaian pesisir Timur kabupaten Aceh Timur, (Anonimus, 2005).
Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dengan luas wilayahnya 2.974 km2, terbagi ke dalam 23 kecamatan definitif
109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dengan jumlah penduduk 285.750 jiwa (Anonim, 2003). Sebagai salah satu kabupaten yang
terletak di ujung Utara Sumatera, kabupaten Aceh Besar dibatasi oleh dua perairan besar
yaitu perairan Selat Malaka dan perairan Samudera Hindia. Panjang garis pantai yang
dimiliki adalah ± 195 km dan luas pantai 1482 km sebagai kawasan landai. Kawasan pantai
dan pesisir terdapat di kecamatan Lhong, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, Pulau Aceh,
Baitussalam, Masjid Raya, Seulimum dan kecamatan Lembah Seulawah (Anonimus, 2003).
Perairan Selat Malaka merupakan perairan yang berada di pesisir sebelah Utara kabupaten
ini, sedangkan perairan Samudera Hindia berada di kawasan pesisir Barat Kabupaten Aceh
Besar. Masing-masing kawasan pesisir ini memiliki berbagai pantai dan potensi
sumberdaya, sebagai tempat hidup berbagai hewan dan tumbuhan bagi kesejahteraan
masyarakat ( Ali et al., 2007).
Kawasan pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar terdapat berbagai pantai, tempat
berlangsung berbagai kegiatan dan hidup berbagai organisme. Dalam kawasan ini terdapat
berbagai ekosistem antara lain adalah ekosistem mangrove, terumbu karang dan ekosistem
pantai tidak berair (Zamzami 1999; Mustafa, 2003 dan Ali, 2005). Keberadaan ekosistem
mangrove bagi masyarakat wilayah pesisir memiliki tiga keuntungan yaitu keuntungan fisik
sebagai pencegah intrusi air laut dan abrasi, biologi sebagai tempat hidup dan memijah
berbagai biota perairan dan ekonomi sebagai tempat mendapatkan keuntungan hasil hutan
(Sudarmadji 2006). Hadirnya ekosistem mangrove di pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar,
merupakan kawasan ekosistem yang membawa manfaat bagi masyarakat di pesisir
kawasan ini. Berbagai hewan perairan hidup di dalam ekosistem ini, dan merupakan
potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan manusia di kabupaten Aceh Besar.
Kerang Geloina dikenal dengan kerang mangrove atau kerang nipah, merupakan
salah satu kerang yang hidup di ekosistem mangrove, kawasan pesisir Barat Kabupaten
Aceh Besar. Kerang ini hidup di perairan payau hutan mangrove kawasan sungai Leupung,
Reuleng, Lhok Kulam, Tampirak, Samsawang dan sungai Krueng Kala (Ali, 1988 dan Ali,
2006). Dalam kehidupan masyarakat pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar, kerang Geloina
merupakan salah satu kerang utama yang dimanfaatkan sebagai sumber protein hewan.
Kerang dipergunakan sebagai lauk pauk nasi, membuat sate kerang, umpan udang air
payau, campuran pakan unggas dan asesoris rumah tangga (Ali et al., 2003 dan Ali et al,
2000.
110
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Keberadaan kerang Geloina di kawasan pesisir Barat kabupaten Aceh Besar, terus
terjadi perubahan dan penurunan populasi. Penurunan populasi kerang ini dapat terjadi
akibat dari berbagai faktor. Faktor utama yang menurunkan populasi kerang ini antara lain
adalah terjadi peristiwa alam tsunami 26 Desember 2004, pemangsaan yang dilakukan oleh
hewan dan penangkapan yang dilakukan oleh manusia. Tsunami telah menyebabkan
hilangnya berbagai komunitas tumbuhan penyusunan ekosistem mangrove, habitat rusak
total dan pengrusakan struktur dasar perairan (Halim et al, 2006 dan Anonimus, 2005).
Adanya peristiwa tsunami yang menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam
lingkungan perairan ekosistem mangrove, dapat berdampak pada kepadatan kerang
Geloina dari kawasan ini. Biasanya sebelum terjadi peristiwa tsunami 26 Desember 2004,
masyarakat dapat memperoleh kerang Geloina dalam kisaran luas ± 100 meter2 sebanyak
150-200 individu. Akan tetapi akibat dari peristiwa tsunami yang menyebabkan hilangnya
komunitas mangrove dari kawasan Barat Kabupaten Aceh Besar, kerang Geloina hanya
dapat diperoleh 2- individu dalam kisaran luas 100 meter2. Berubahnya komunitas
tumbuhan yang menyusun ekosistem mangrove akan dapat berakibat terjadinya perubahan
kondisi lingkungan terutama suhu, salinitas, pH dan struktur dasar sedimen.
111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
habitat dan (3) Pengaruh kondisi lingkungan terhadap kepadatan kerang Geloina pasca
tsunami, di perairan ekosistem mangrove pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. Manfaat
penelitian adalah dapat diperoleh suatu informasi tentang kondisi habitat dan kondidi
kerang Geloina pasca terjadi tsunami, di kawasan pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar.
Pengumpulan data dilakukan pada tiga lokasi yaitu lokasi I sungai Leupung, II sungai
Reuleng, dan lokasi III sungai Lhok Kulam. Penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan
metode purposive, yaitu menetapkan tempat penelitian berdasarkan berbagai
pertimbangan. Pertimbangan yang dijadikan dasar ini adalah kawasan penelitian di sungai
perairan payau yang memiliki ekosistem mangrove, ketersediaan kerang Geloina di
masing-masing perairan, kondisi ekosistem mangrove dan frekuensi penangkapan yang
dilakukan oleh masyarakat di pesisir ini.
Pada setiap lokasi penelitian, dilakukan pengukuran terhadap komponen fisik dan
kimia dengan metode in-situ (Hadi, 2005). Komponen fisik yang diukur adalah suhu air,
suhu sedimen, struktur, tekstur sedimen dan langsung dilakukan di tempat penelitian. Suhu
air, suhu udara dan suhu sediment dilakukan pengukuran dengan mempergunakan
termometer. Komponen kimia yang akan diukur meliputi pH air, pH sedimen, dan salinitas.
pH air dan pH sedimen diukur dengan pH meter, salinitas dengan hand refraktometer, dan
pengambilan sedimen dengan Eckmand dradge.
Pada masing-masing lokasi penelitian, dilakukan penetapan plot cuplikan sampling.
Plot cuplikan sampling ditetapkan dengan metode purposive, didasari pada berbagai
pertimbangan. Dasar pertimbangan diantaranya adalah komunitas penyusun ekosistem
adalah komunitas nipah dan hidup kerang Geloina. Plot cuplikan sampling memiliki luas
100 meter2, dengan perincian panjang 10 meter dan lebar 10 meter. Dasar penetapan
ukuran plot sampling berukuran 100 meter2 ini adalah luasnya kawasan yang dijelajah
oleh seorang pengambil kerang Geloina pada setiap waktu dilakukan penangkapan.
Peletakan plot sampling dilakukan hanya dalam kawasan komunitas nipah, yang
dihuni oleh kerang Geloina. Kawasan ini berada dekat dengan badan sungai yang
tergenang air pada waktu air surut. Pada lokasi I plot diletakkan dalam kawasan komunitas
nipah memiliki area sepanjang 150 meter dan lebar 15 meter atau dalam kisaran luas ±
1800 meter2. Lokasi II dalam komunitas nipah dengan area sepanjang 125 meter dan lebar
112
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
14 meter atau dalam kisaran luas ± 1750 meter2. Lokasi III dalam komunitas nipah
sepanjang 120 meter, lebar 11,5 meter atau seluas ± 1380 meter2.
Pada setiap pengambilan sampel di masing-masing lokasi setiap bulan, hanya
dilakukan penyamplingan sebanyak satu plot sampling. Sedangkan pada pengambilan
sampel di bulan yang lain maka dilakukan penetapan sampling baru, dengan memilih
kawasan penyamplingan memiliki rumpun komunitas nipah. Peletakan plot cuplikan
sampling pada setiap bulan pengambilan sampel selalu berpindah-pindah, tetap masih
dalam kawasan lokasi bersangkutan dan tetap dalam komunitas nipah.
Setiap plot sampling dari masing-masing lokasi sampling yang telah ditetapkan
secara purposive, dilakukan pengambilan sampel kerang Geloina. Proses pengambilan
sampel dilakukan dengan menggores semua area petak sampling, dengan
mempergunakan metode luas sapuan atau metode swept area (Widodo 1998). Semua
kerang Geloina yang hidup dalam luasan area plot cuplikan sampling yang tertangkap,
dijadikan sebagai sampel penelitian.
Pengambilan kerang Geloina pada area plot cuplikan sampling, dilakukan dengan
mempergunakan pisau atau parang besar, alat goresan yang sering dipergunakan oleh
masyarakat pada setiap pengambilan. Alat goresan ini memiliki gagang sepanjang ± 20
cm, pada bagian ujung melengkung dan tajam, sehingga mudah menggeruk dasar
perairan. Kerang Geloina yang tertangkap, langsung dimasukkan ke dalam kantong
sampel, yang telah dipersiapkan dan diberikan label sesuai lokasi masing-masing.
Data yang telah dikumpulkan di tempat penelitian, dianalisis sesuai dengan
peruntukan masing-masing. Data suhu, salinitas, pH, tumbuhan dan data hewan yang
terdapat di lokasi penelitian, ditabulasi ke dalam tabel pengamatan.
Kepadatan populasi kerang Geloina yang hidup di perairan hutan mangrove pesisir
Barat Kabupaten Aceh Besar, dianalisis dengan mempergunakan rumus kepadatan
populasi yaitu X = ∑ xi /n (Hartati 2004). X = rata-rata jumlah individu (kepadatan)
kerang Geloina persatuan luas, ∑ xi = jumlah kerang Geloina dalam satuan contoh dan N
= jumlah luas satuan contoh ke-i.
113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
II
III
114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Pada saat ini kondisi ekosistem mangrove masih belum normal, dengan tumbuhan
penyusun ekosistem ini belum tumbuh secara sempurna. Hanya komunitas nipah yang
telah mulai tumbuh kembali dari bekas rumpun yang ada, sementara Rhizophora sp., harus
dilakukan penanaman kembali dengan bibit tumbuhan yang baru. Kerang Geloina telah
mulai hadir kembali pada kawasan komunitas nipah, akan tetapi belum menyebar secara
sempurna. Kerang Geloina hanya hidup di sekitar komunitas nipah yang hidup di dekat
badan air, sementara di komunitas nipah yang telah tumbuh di dekat daratan belum dapat
ditemukan kerang Geloina (Ali et al., 2007).
Komunitas tumbuhan yang telah tumbuh kembali secara alami selain nipah adalah
rumput payau (Fymbristilis sp.) dan berumbang (Sonneratia alba). Kerang Geloina hanya
ditemukan dalam komunitas Fymbristilis tetapi sangat jarang, sementara dalam kawasan
berumbang (Sonneratia alba) hingga berakhir penelitian belum dapat ditemukan kerang
Geloina.
115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
hingga September 2005, belum ditemukan tanda-tanda adanya kehidupan hewan di dasar
perairan. Pada hal di kawasan sungai Leupung, Reuleng dan sungai Lhok Kulam sebelum
terjadi tsunami hidup berbagai hewan diantaranya Annelida, Molluska, Arthropoda dan
Chordata. Annelida ditemukan 5 species, Molluska 32 species, Arthropoda 13 species dan
Chordata 15 species (Ali, 1988 dan 1994).
Komunitas penyusun ekosistem mangrove yang telah mulai tumbuh kembali secara
alami adalah nipah, berumbang dan rumput payau. Nipah mulai tumbuh kembali pada
kawasan rumpun nipah sebelumnya, dengan jumlah individu yang sangat jarang. Dalam
kisaran luas 100 meter2, rata-rata hanya ditemukan 1-2 pohon baru. Pada kawasan yang
belum normal air payau telah mulai tumbuh berumbang, dengan jumlah tumbuhan yang
tumbuh sangat jarang. Dalam kawasan sungai Leupung hanya ditemukan ± 10 batang,
sungai Reuleng ± 12 batang dan di sungai Lhok Kulam telah tumbuh ± 13 batang.
Sementara itu komunitas Fymbristilis telah tumbuh di kawasan dekat kawasan awal
perairan payau di sungai reuleng, aliran dan muara sungai Lhok Kulam dan di aliran sungai
Leupung. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum terjadi tsunami, dimana
semua kawasan payau ekosistem mangrove ke tiga sungai ini ditumbuhi oleh ekosistem
mangrove dengan berbagai komunitas tumbuhan penyusunnnya.
Pada bulan Oktober 2005 dilakukan penelitian dan ditemukan beberapa species dari
hewan invertebrata di kawasan perairan. Molluska yang ditemukan tiga species yaitu
Gelona erosa, Nerritina turrita, dan Teloscopium teloscopium (Ali, 2006). Sementara itu
Arthropoda yang ditemukan sejumlah 3 species yaitu Scylla serrata, Macrobranchium sp1.,
dan Macrobranchium sp2. Sementara itu Chordata yang ditemukan adalah ikan mujair
(Tilapia mozambica), dan belanak.
116
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Biota perairan payau ekosistem mangrove yang terkena dampak dari perubahan salinitas
perairan antara lain adalah Telescopium telescopium, Terebralia palustris, Littorina scabra,
Polymesoda (Geloina) coaxans, Polymesoda (Geloina) expansa, Anadara anticuota, Uca
vocans, Scylla serrata, Balanus sp., Uca dussumeri, Cerithidea djadjarensis dan Casostre
cuculata (Pramuji 2001).
Barus (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya kondisi lingkungan, sangat
mempengaruhi kehidupan berbagai biota yang terdapat di dalam suatu lingkungan
perairan. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan, jika kondisi
lingkungan berada dalam kondisi yang optimum maka kehidupan biota yang ada di
dalamnya akan berjalan secara normal. Disamping itu jika kondisi lingkungan tidak optimum
dapat menyebabkan terjadi kematian terhadap biota di dalamnya, karena akan
mempengaruhi kegiatan fiologis yang terjadi di dalam tubuh biota bersangkutan.
Pada umumnya ekosistem mangrove di pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar hilang
total akibat tsunami 26 Desember 2004, yang berpengaruh terhadap suhu perairan
ekosistem mangrove. Sinar matahari langsung mencapai dasar perairan sehingga suhu
terus meningkat, dan berdampak negative bagi kehidupan biota di dalamnya terutama
kerang Geloina. Kondisi komunitas tumbuhan penyusun ekosistem mangrove sampai
dengan kegiatan penelitian berakhir, ternyata komunitas nipah, berumbang dan rumput air
payau telah mulai tumbuh kembali dari bekas rumpun tumbuhan ini sebelum terjadi
tsunami. Komunitas nipah dalam kisaran luas 100 meter2 biasanya dihuni oleh ± 10-20
individu (menghitung sisa individu nipah yang telah mati karena tsunami) ternyata hanya
beberapa individu nipah tumbuh kembali.
Suhu di lokasi I, II dan III berkisar antara 22-32,5 oC, pH berkisar antara 4,3-8,6 dan
salinitas berkisar antara 4,0-22,0 %o. Kondisi suhu pada siang hari sangat tinggi, karena
tidak ada penghalang sinar matahari yang langsung menembusi dasar perairan.
Sementara itu salinitas selalu berubaha-ubah, tergantung dari kondisi muara sungai yang
selalu tertutup oleh pasir yang dibawa dari laut. Pada saat muara sungai ditutupi oleh
berbagai pasir dari laut, kondisi salinitas di tempat tertentu menjadi rendah dan bahkan
masuk dalam kondisi perairan tawar. Akibat dari kondisi ini banyak ditemukan cangkang
kerang muda yang telah mati, di bagian perairan ekosistem mangrove yang mendekati
kawasan daratan. Cangkang yang ditemukan masih dalam posisi seperti kerang hidup,
dengan sisi cangkang yang memiliki tempat kedua siphon bermuara menghadap dan
berada di bagian permukaan dasar perairan.
Bagi hewan perairan payau yang hidup melekat pada media di badan sungai dan
yang membenamkan diri di dasar perairan, akan mengalami kematian sehingga akan
meninggalkan cangkang di perairan tersebut. Biota dasar perairan yang hidup
117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
membenamkan diri seperti kerang Geloina, kepah dan remis. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Morton (1988) di hutan mangrove Hongkong pada musim dingin yang
menyebabkan kematian dari Polymesoda (Geloina) erosa yang hidup kawasan mangrove
tersebut. Air tawar banyak masuk ke badan air ekosistem mangrove Ting Kok Hongkong,
akan tetapi pemasukan air laut sangat sedikit. Sementara itu biota dasar perairan yang
hidup merangkak di dasar perairan seperti anggota dari kelas Gastropoda dan Crustacea,
terjadi perubahan kondisi salinitas perairan akan melakukan kegiatan migrasi ke daerah
yang memiliki salinitas yang sesuai bagi kehidupannya.
Kesimpulan
1. Kepadatan kerang Geoina di kawasan pesisir Barat kabupaten Aceh Besar pasca
tsunami sangat kurang, jika dibandingkan dengan kepadatan kerang ini sebelum terjadi
tsunami.
2. Kondisi ekosistem mangrove hilang total pada waktu terjadi peristiwa tsunami, sehingga
setelah tsunami hanya pada kawasan tertentu yang telah terjadi proses pertumbuhan
kembali.
3. Faktor lingkungan di kawasan pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar berpengaruh nyata
terhadap kepadatan kerang Geloina.
Saran
1. Perlu diupayakan penanaman kembali species tumbuhan penyusun ekosistem
mangrove, sehingga ekosistem ini dapat menjadi normal kembali
2. Perlu adanya upaya budidaya kerang Geloina di kawasan mangrove pesisir Barat
Kabupaten Aceh Besar
Daftar Pustaka
Ali, S. M., Mennofatria, B., Rokhmin, D., Yusli, W., dan Sutrisno, S. 2007. Pemanfaatan
Kerang Geloina Dalam Masyarakat Leupung Kawasan Pesisir Barat Kabupaten
Aceh Besar. Jurnal Ichthyos Vol. 6 No. 1 Januari 2007 (41-44). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon.
Ali, S. M., Rokhmin, D., Mennofatria, B., dan Yusli, W. 2006. Studi Morfometrik dan Nilai
Sosial Budaya Kerang Geloina Dalam Masyarakat Pesisir Barat Kabupaten Aceh
Besar. Jurnal Mon Mata Vol. 8 No. 2 September 2006 (33-41). Lembaga
Penelitian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Ali S M. 2005. Kerang Geloina Pasca Tsunami di Perairan Payau Pesisir Barat Kabupaten
Aceh Besar. International Centre for Research in Agroforestry (Icraf) Wilayah Asia
Tenggara, Bogor.
118
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Ali, S.M., dan Zainal, A. 2003. Sarah Leupung: Dulu, Kini dan Mendatang. Kantor Camat
Leupung, Kabupaten Aceh Besar
Ali S M. 1988. Identifikasi Berbagai Jenis Moluska di Perairan Payau Sungai Leupung
Aceh Besar. Banda Aceh: Pusat Penelitian, Universitas Syiah Kuala.
Anonimus. 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang
Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekontruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Indonesia, Jakarta.
Anonimus. 2002. Statistik Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2003.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar, Jantho.
Dwiono, S. A. P. 2003. Pengenalan Kerang Mangrove Geloina erosa dan Geloina expansa.
Majalah ilmiah Oceana Volume XXVIII No. 2: 31-38 LIPI, Jakarta.
Halim, A. dan Zulhamsyam, I. 2006. Revitalisasi Perikanan Tangkap Provinsi Aceh Pasca
Tsunami. Seminar Nasional Perikanan tangkap FPIK IPB, Bogor.
Morton, B. 1988. The Population Structure and Age of Polymesoda (Geloina) erosa
(Bivalvia: Corbiculidae) from a Hongkong Mangrove. Jurnal Asian Marine Biology 5
(1988): 107-113. Departemen of Zoology the University of Hongkong, Hongkong.
119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Pramuji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai
Fauna Aquatik. Majalah ilmiah Oceana Volume XXVI No. 4: 13-23 LIPI, Jakarta.
Sudarmadji. 2006. Revitalisasi Wilayah Pesisir. Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh.
Widowati, I., Jusup, S., Sigit, A.P., dan Retno, H. 2006. Aspek Reproduksi Kerang Totok
Polymesoda erosa Dari Perairan Segara Anakan Cilacap. Program Studi Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.
120
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B4
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Studi mengenai struktur komunitas Bivalvia telah dilakukan di komunitas mangrove
desa Passo kecamatan Teluk Ambon Baguala pada bulan Oktober 2006. Pengambilan
sample dilakukan dengan menggunakan metode Belt transek. Analisa data untuk
kepadatan, kelimpahan dan frekwensi kehadiran menggunakan formula yang diusulkan
oleh krebs (1978). Sedangkan untuk indeks keragaman, indeks dominansi, dan indeks
keserasian mengacu pada Odum (1975). Hasil penelitian jumlah Bivalvia yang ditemukan
17 spesies, 14 genera, 11 familia, 11 super familia, 6 ordo dan 3 sub kelas. Spesies Siliqua
winteriana merupakan spesies yang kepadatan dan frekwensi kehadiran yang tinggi,
sedangkan Tellina gargadia merupakan spesies yang mempunyai kelimpahan tertinggi.
Indeks keragaman spesies sebesar 1, dominansi spesies 0,3995 dan indeks keserasian
sebesar 0,5135.
121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kekayaan potensi sumber daya pesisir dan laut yang ada di Maluku dapat kita lihat
dari keragaman spesis ikan, moluska, echinodermata, krustacea, serta rumput laut yang
dimilikinya. Potensi sumber daya tersebut dapat didayagunkan secara optimal bagi
kepentingan pemenuhan kebutuhan manusia yang tentunya dengan memperhatikan
keseimbangan antara tingkat pemanfaatan dan kelestarian sumber daya itu sendiri.
Perhatian ini seharusnyalah terhadap keseluruhan organisme yang hidup di dalamnya, dan
bukan hanya terhadap organisme-organisme yang telah dikenal dan atau yang memiliki
nilai ekonomis saja, karena keseluruhan organisme yang ada memiliki peranan penting
dalam suatu ekosistem perairan.
Desa Passo yang adalah salah satu desa yang terletak pada Teluk Ambon Bagian
Dalam ternyata memiliki wilayah pesisir dengan panjang garis pantai yang cukup luas dan
didominasi oleh ekosistem mangrove, yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat
menunjang kehadiran biota laut pesisir, terutama komunitas fauna bentik termasuk
didalamnya kelompok moluska dari kelas bivalvia. Bivalvia terdiri dari kerang, remis, tiram,
dan sebangsanya. Mereka biasanya simetri bilateral, mempunyai cangkang setangkup dan
sebuah mantel yang berupa dua daun telinga atau cuping (Romimohtarto K, Juwana S,
2001).
Akhir-akhir ini pada perairan desa Passo mengalami suatu degradasi lingkungan yang
cukup parah karena adanya sedimenasi akibat pembangunan perumahan di daerah Lateri.
Oleh karena itu perlu diketahui serta dianalisa struktur komunitas bivalvia sehingga dapat
dikelola secara baik agar sumber daya hayati laut ini tetap lestari dan memberi manfaat
yang optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas bivalvia yang
ditekanakan pada aspek ekologi komunitas tersebut yang meliputi komposisi spesis,
kepadatan, kelimpahan, frekuensi kehadiran, dan keragaman spesis pada perairan pantai
desa Passo. Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk dapat dijadikan
sebagai bahan acuan pengetahuan dan informasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Peralatan yang digunakan adalah tali raffia yang digunakan untuk tali transek.Kuadrat
berukuran 1 x 1 meter.Kantong plastik 1 Kg, untuk menempatkan sampel bivalvia yang
telah dikoleksi. Ayakan dengan diameter 0,05 cm untuk memisahkan sampel dari
substrat.Meter rol untuk mengukur jarak antar transek.Skop dan trovol untuk menggali
substrat.pH meter untuk mengukur pH.Refraktometer untuk mengukur salinitas.Termometer
untuk mengukur suhu.
122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Dimana : Pi = ni / N
ni = Jumlah individu atau spesis ke-i
N = Jumlah individu semua spesis
S = Jumlah spesis
124
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Penduduk sekitar perairan pantai desa Passo secara umum melakukan usaha
perikanan yang sifatnya artisanal dan dilakukan pada saat surut. Usaha perikanan ini
ditandai dengan adanya kegiatan bameti atau kegiatan pencaharian dan atau penggalian
beberapa jenis moluska, udang, kepiting, dan penangkapan beberapa jenis ikan. Selain itu
dapat juga dijumpai adanya kegiatan pencucian pakaian dan perabot rumah tangga di
sepanjang aliran sungai yang ada pada daerah tepi pantai.
125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Keberadaan hewan bentos termasuk bivalvia, pada suatu perairan sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh
diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber bagi hewan bentos.
Tabel 1. Komposisi taksa dan Jumlah individu Bivalvia.
Sub kelas Ordo Super Famili Famili Genus Spesis
Pteriomorphia Arcoida Arcoidea Arcidae Anadara Anadara 10
Pterioida Pinnoidea Pinidae Pina granosa 5
Pinna sp
Heterodonta Ostreoida Ostreoidea Ostreidae Sacostrea Sacostrea 101
Mytiloida Mytiloidea Mytilidae Mytilus cucculata
Veneroida Veneroidea Vaneridae Anomalocardia Mytilus sp 1
Pitar Anomalocardia 51
Placemen squamosa
Gafrarium Pitar citrinus 9
126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya : suhu, salinitas, arus,
oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan
nitrogen (N), kedalaman air dan substrat dasar (Allard and Moreau, 1987, APHA, 1992;
Ardi, 2002). Parameter hidrologi yang diukur adalah suhu dan salinitas. Suhu pada setiap
transek bervariasi antara 26 0C – 30 0C begitu juga dengan salinitas, menunjukan nilai yang
bervariasi antara 27 O/OO – 32 O/OO hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.
I 28 29
II 27 28
III 28 28
IV 28 28
V 26 27
VI 28 28
VII 28 29
VII 30 32
Suhu
Menurut Nybaken (1992), suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme laut. Selain itu suhu sangat
berperan penting bagi kehidupan organisme di perairan laut karena dapat mempengaruhi
aktifitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme laut. Selanjutnya dikatakan
bahwa kebanyakan organisme laut telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang
biak dalam kisaran suhu yang lebih sempit dari kisaran total 0 – 40 0C.
Suhu perairan pada lokasi pengambilan sampel yang paling rendah dapat dilihat pada
transek V sedangkan suhu tertinggi pada transek VIII. Secara umum dapat dikatakan
bahwa suhu perairan lokasi pengambilan sampel ini berkisar antara 26 0C – 30 0C dengan
nilai rata-rata 27.88 0C. sehingga dengan demikian merupakan kisaran suhu yang stabil
bagi kehidupan bivalvia. Hal ini tentunya sesuai dengan pendapat (Nagabhusaman dan
Chintawar, 1967; Sellano, 2002) yang mengemukakan bahwa kisaran suhu yang stabil bagi
127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kehidupan beberapa jenis bivalvia serta makro fauna lainya berkisar antara 26.5 0C – 34.5
0
C.
Suhu yang rendah pada transek V dipengaruhi oleh letak wilayahnya yang cukup
tertutup oleh vegatasi mangrove yang mengakibatkan kurangnya penetrasi cahaya
matahari untuk sampai ke permukaan air dan substrat dimana transek itu berada. Selain itu
hal ini juga dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang dilakukan pada waktu sore
hari, disesuaikan dengan air surut. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi wilayah dan
waktu pengambilan sampel pada transek VIII sehingga suhu pada transek ini menunjukan
derajat panas yang tinggi.
Suhu dari suatu perairan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor : posisi matahari, letak
geografis, musim, letak awan, serta proses interaksi antara air dan udara, seperti alih
panas, penguapan, dan hembusan angin (Dahuri, dkk, 2001).
Salinitas
Salinitas tertinggi diperoleh pada transek VIII sebesar 32 O/OO dan yang terendah pada
transek V sebesar 27 O/OO. Rata-rata salinitas sebesar 28.63 O/OO. Salinitas terendah pada
transek V dipengaruhi oleh kedekatannnya dengan daerah sungai sehinnga perembesan
air tawar dari sungai pada waktu surut ke daerah dimana transek itu berada cukup tinggi.
Sedangkan salinitas yang tinggi pada transek 8 disebabkan karena daerah dimana transek
ini berada, kedudukannya jauh dari daerah aliran ataupun muara sungai sehingga
meskipun air lautnya surut namun perembesannya lebih tinggi dari air tawar yang ada.
Menurut Nybaken (1992), perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme
terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat
pasang-turun dan kemudian air atau aliran air akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan
sangat turun. Yang kedua, ada hubungannya dengan genangan pasang-surut, yaitu daerah
yang menampung air laut ketika pasang-turun.
Soegiarto (1988) dalam Haumase (1996) mengemukakan bahwa salinitas permukaan
di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 27.0 O/OO – 33.0 O/OO. Bila dihubungkan
dengan hasil yang diperoleh maka kisaran salinitas yang ada dapat dikatakan dalam
keadaan normal.
128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
wilayah penyebaran yang luas karena mampu hidup dan beradaptasi dengan kondisi
habitat atau substrat yang ada. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kedua spesis ini
hampir pada semua kotak pengamatan dan dalam jumlah yang banyak. Nilai kepadatan
berikutnya diduduki oleh Tellina gargadia sebesar 1.8050 ind/m2 dengan kepadatan
relatifnya 10.9251 %, dan spesis yang memiliki nilai kepadatan terendah yaitu Mytilus sp
sebesar 0.0035 ind/m2 dengan kepadatan relatifnya 0.0215 %.
50
6 40
(%)
4 30
2 20
0 10
Gafrarium
Anomalocardia
Anadara
Lutraria
Sacostrea
0
Tellina
Pina sp
Placemen
Tellina sp
Gafrarium
Anomalocardia
Anadara
Lutraria
Sacostrea
Tellina
Tellina sp
Pina sp
Placemen
Spesis
Spesis
129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
50.0000 35
40.0000 30
30.0000
(%)
25
20.0000 20
10.0000 15
0.0000 10
G afrariu m
A n ad ara
L u traria
Saco strea
T ellin a
5
Pitar citrin u s
0
Gafrarium
Anomalocardia
Anadara
Lutraria
Sacostrea
Tellina
Tellina sp
Pina sp
Placemen
Spesis Spesis
130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
25
(%)
0.3 20
0.2 15
10
0.1 5
0 0
Gafrarium
Anadara
Anomalocardia
Lutraria
Sacostrea
Tellina
Placemen
Pina sp
Tellina sp
Gafrarium
Anadara
Anomalocardia
Lutraria
Sacostrea
Tellina
Placemen
Tellina sp
Pina sp
Spesis
Spesis
Keragaman
Tinginya keragaman spesis dalam suatu komunitas menandakan bahwa komunitas
tersebut semakin lengkap atau kompleks (Brower etall, 1977; Pontoh, 2000). Keragaman
dan dominansi spesis merupakan suatu ciri yang unik untuk suatu bentuk komunitas
dimana semakin tinggi nilai keragaman spesis semakin kecil nilai dominansi ataupun
sebaliknya.
Berdasarkan hasil analisa data maka, nilai keragaman spesis yang diperoleh sebesar
1. Nilai keragaman yang didapat menunjukan suatu nilai yang terendah dari kisaran nilai
keragaman spesis (0 – 4) yang dikemukakan oleh Odum (1971, 1975). Keragaman suatu
komunitas akan mencapai maksimum pada perairan laut yang terletak jauh dari muara-
muara sungai dengan kondisi lingkungan yang masih bersifat alamiah (Odum, 1971). Tinggi
rendahnya keanekaragaman spesis dari suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa factor
antara lain; bermacam-macam habitat, stabilitas lingkungan, kompetisi, panjang rantai
makanan, dan ukuran tubuh (Pianka, 1976 dalam Kastoro dkk, 1999).
Indeks keserasian (e) berdasarkan hasil analisa data ini pun mendapat pengaruh
penurunan yang signifikan karena berada di bawah kisaran 0.6 – 0.8. Nilai kisaran indeks
keserasian spesis ini diajukan oleh Odum (1971) dengan asumsi bahwa, bila suatu
131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
komunitas biologis memiliki kisaran nilai indeks keserasian spesis Evennes antara 0,6-0,8
maka, komunitas biologis tersebut berada dalam keadaan “Steady State” atau seimbang.
Dengan adanya nilai keserasian yang rendah ini maka dapat dikatakan bahwa komunitas
bivalvia pada perairan desa Passo berada dalam keadaan yang tidak seimbang.
Kesimpulan
1. Jumlah bivalvia yang ditemukan sebanyak 17 spesis, yang tergolong dalam 14
genera, 11 famili, 11 super famili, 6 ordo, dan 3 sub kelas.
2. Dari 17 spesis yang ditemukan, spesis Siliqua winteriana memiliki kepadatan
tertinggi. Siliqua winteriana juga memiliki frekuensi kehadiran tertinggi. Sedangkan
kelimpahan tertinggi adalah Tellina gargadia
3. Berdasarkan hasil analisa data, Indeks keragaman spesis sebesar 1, dominasi
spesis sebesar 0.3995, dan indeks keserasian yang diperoleh sebesar 0.5135.
Daftar Pustaka
Aninomous. 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific. Food and
Agriculture Organization of the United Nation : Rome.
Badan Pusat Statistik. 2004. Maluku Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Maluku : Ambon.
Dahuri R. J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita : Jakarta.
Dharma Bunjamin. 1988. Siput Dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta.
Dharma Bunjamin. 1992. Siput Dan Kerang Indonesia Ii. Verlag Christa
Hemmen:Weisbaden, Federal Republic of Gemany. PT. Sarana Graha : Jakarta.
Haumase, J. 1996. Ekologi Komunitas Neogastropoda Pada Perairan Pantai Utara Dan
Selatan Pulau Ambon. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Patimura,
Ambon.
Kastoro W. 1977. Apakah Moluska itu. Pewarta Oseana Thn. IV. No. 3,4. LIPI. Lembaga
Oseanologi Nasional : Jakarta.
132
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Nybaken J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta.
Odum. E. P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd eds. W. B. Sounders Company :
Philadelphia.
Pontoh Mira Corry. 2000. Struktur Komunitas Gastropoda Dan Bivalvia Pada Pantai Hulaliu
Di Desa Hulaliu Kabupaten Maluku Tengah. Skripsi. Fakultas Perikanan
Unversitas Pattimura, Ambon.
Romimohtarto K Juwana S. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut.
Djambatan : Jakarta.
Ruppert, E.e and R. D. Barnes. 1994. Invertebrata Zoology. Sixth edition. Sounder College
publishing.
Warbal A. M. K. 2005. Struktur Komunitas Bivalvia Pada Paerairan Pantai Desa Passo
Teluk Ambon Bagian Dalam. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Pattimura, Ambon.
133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B5
_________________________________________________________________________________________
Pengaruh Level Kedalaman Terhadap Daya Tempel Larva Kerang Mabe (Pteria
M.S. HAMZAH
UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Puslit. Oseanografi - LIPI
Abstrak
Penentuan faktor kedalaman yang tepat dalam pemasangan jaring sebagai “spat
kolektor” untuk penjaringan larva kerang mabe (Pteria penguin) adalah sangat menentukan
tingkat keberhasilan. Penelitian dilakukan pada bulan Pebruari – Oktober 2006 di Teluk
Kapontori, Pulau Buton. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui level kedalaman
pemasangan jaring sebagai kolektor spat, yang cocok dan menguntungkan bagi nelayan
kerang mabe. Luaran hasil penelitian ini sangat penting untuk diketahui bagi pengembang
budidaya kerang mabe, kaitannya dengan sebaran kosentrasi larva kerang mabe tiap level
kedalaman perairan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi perlakuan level kedalaman
pemasangan jaring tidak memberikan respons yang berpengaruh nyata. Hal ini,
menggambarkan bahwa aplikasi pemasangan jaring berdasarkan level kedalaman tidak
memberikan perbedaan hasil yang berbeda. Namun, bila dikaji lebih jauh ternyata jaring
yang dipasang pada level kedalaman 26 m cenderung lebih baik yaitu diperoleh hasil
sebesar 41,18 %, kemudian disusul kedalaman 14 m sebesar 29,77 % dan 28,43 % untuk
kedalaman 2 m. Sementara kisaran ukuran lebar cangkang kerang mabe antara 3,1 – 4 cm
cenderung lebih banyak diperoleh pada kedalaman 14 m, dan disususl kedalaman 26 m
antara 5,1 – 6 cm, dan antara 7,1 – 8 cm pada kedalaman 2 m yaitu berturut-turut
berjumlah 45 ekor, 44 ekor dan 21 ekor.
Pendahuluan
Prospek pengembangan budidaya kerang mabe (Pteria penguin) pada akhir-akhir ini
mulai meningkat seiring dengan permintaan pasar baik pasaran lokal maupun Luar negeri,
selain kerang mutiara (Pinctada maxima). Kedua jenis hewan ini, dapat diklasifikasikan
sebagai Phylum Mollusca dan Famili Pteridae Daerah sebarannya meliputi perairan
Pilipina, Thailand, Australia dan Indonesia. Sementara diperairan Indonesia umumnya
banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Irian Jaya, Sulawesi dan
Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Sutaman, 1992; Mosse, et al,. 1994).
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa jenis hewan ini senang hidup pada kedalam perairan
antara 20 – 60 m dan menempel dengan menggunakan bysusnya pada batu-batuan dan
pecahan karang serta kadang ditemukan pada dasar perairan yang berpasir. Sementara
untuk jenis kerang mabe (Ptreria penguin) banyak ditemukan pada daerah teluk-teluk yang
134
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta senang penempel dengan menggunakan
bysusnya pada tali-tali yang tertancap di dasar laut, pelampung yang terendam, batu
karang, jaring dan tali jangkar (Hamzah, 2006). Jenis kerang mutiara yang hidup dan
menyebar di perairan Indonesia antara lain : Pinctada maxima, P. margaritifera, P. fucuta,
P. chemnitis dan Pteria penguin. Sementara yang dapat dikembangkan untuk
menghasilkan biji mutiara ada empat jenis antara lain P. maxima, P. margaritifera, Pteria
penguin dan P. fucata (Sutaman, 1992; Mizumoto, 1979; Garvis dan Sims, 1992 Dalam
Mosse, et al,. 1994). Selanjunya dijelaskan pula bahwa dari kedua genus Pinctada dan
Pteria diketahui bahwa genus Pinctada pengembangannya telah lebih maju dibandingkan
dengan genus Pteria. Sementara kerang mabe di perairan Buton pengembangannya cukup
sederhana yaitu menggunakan jaring sebagai spat kolektor untuk penempelan larva kerang
mabe dan dipasang pada daerah teluk, kemudian dipanen pada bulan ke 10. Harga kerang
mabe ukuran operasi penyuntikan (lebar cangkang 7 - 9 cm) bervariasi antara Rp.500,- s/d
Rp.1.000,- /ekor dan untuk harga di Lombok, Nusa Tenggra Barat bervariasi antara
Rp.3.500,- s/d Rp.4.500,-/ekor. Indikator keberhasilan dalam stadia larva selain kualitas air,
pakan alami di laut juga ditentukan oleh faktor kedalaman pemasangan jaring sebagai “spat
kolektor” dan jenis kolektor yang digunakan (Hamzah, 2003). Dijelaskan pula bahwa jenis
dan warna spat kolector yang tidak sesuai dapat menyebabkan kurangnya persentase daya
penempelan yang akhirnya berakibat pada penurunan produksi. Dengan demikian dari
hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi pengembangan penelitian yang lebih lanjut
dalam kaitnnya dengan kedalaman pemasangan jaring yang dijadikan sebagai spat
kolektor” untuk penempelan larva kerang mabe. Luaran hasil penelitian ini sangat penting
untuk diketahui bagi pengembang budidaya kerang mabe, kaitannya dengan sebaran
kosentrasi larva kerang mabe tiap level kedalaman perairan kususnya di Teluk Kapontori,
Pulau Buton.
135
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
sebagai pemberat (Gambar 2). Rakit dibuat dari batangan kayu atau bambu dan drum foam
sebagai pelampung. Selanjutnya pada masing-masing sudut rakit dipasang jangkar agar
tidak tergeser sebagai akibat dari dorongan arus maupun angin. Setelah jaring terendam
kurang lebih 8 – 10 bulan, maka dilakukan pascapanen kerang mabe yang menempel pada
jaring. Untuk mempermudah penarikan jaring dipergunakan alat bantu katrol (winch) yang
terbuat dari konstruksi kayu dan dapat ditarik hanya 2 orang nelayan (Gambar 3). Hasil
panen kerang mabe yang menempel pada setiap kedalaman dipisahkan dan kemudian
dilakukan pengukuran lebar, tebal (cm) dan berat cangkang (gr)(Gambar 4). Selain itu,
dilakukan pengukuran kondisi lingkungan pada kedalaman sesuai dengan kedalaman
pemasangan jaring antara lain suhu (ºC) diukur dengan mempergunakan botol Nansen
dilengkapi termometer balik, salinitas dengan alat salinometer (ppt), Derajat keasaman (pH)
dengan kertas pH meter dan kecerahan air dengan cakram sechi (m)
Metoda analisis data dipergunakan adalah analisis varians dan dilanjutkan dengan uji
Beda Nyata Jujur (uji BNJ) bila perlakuan memberikan respons yang berpengaruh nyata
(Sudjana, 1991 dan Hanafiah, 1995).
KENDARI
: Lokasi Penelitian
Gambar 1. Lokasi Penelitian kerang mabe (Pteria penguin) di Teluk Kapontori,
Pulau Buton - Sulawesi Tenggara
136
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Gambar 2. Cara pemasangan jaring di rakit dan posisi setelah di tebar ke dalam laut
Gambar 3. Cara penarikan jaring dengan menggunakan katrol (winch) dan hasil panen
Gambar 5. Kerang mabe (Pteria penguin) dan pembesaran anakan di rakit penampung
137
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Hasil pengumpulan kerang mabe yang menempel pada jaring berdasarkan level
kedalaman memiliki ukuran lebar cangkang bervariasi yaitu pada kedalaman 2 m
didominasi ukuran antara 7,1 – 8 cm sebanyak 21 ekor, kedalaman 14 m didiminasi ukuran
antara 3,1 – 4 cm sebanyak 45 ekor dan kedalaman 26 m antara 5,1 – 6 cm sebanyak 44
ekor(Gambar 2). Selanjutnya jumlah total hasil pengmpulan kerang mabe berdasarkan level
kedalaman, ternyata jaring yang dipasang pada kedalaman 26 m cenderung lebih
menguntungkan yaitu sebesar 41,81% dan disusul kedalaman 14 m sebesar 29,77 % dan,
28,43 % untuk kedalaman 2 m ( Gambar 6). Namun bila dikaji lebih jauh dengan
menggunakan pendekatan analisis varians, memperlihatkan bahwa perlakuan pemasangan
jaring berdasarkan level kedalaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil
pengunpulan kerang Tabel 1). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa level kedalaman
pemasangan jaring memiliki hasil yang tidak jauh berbeda. Namun sedikit lebih banyak
pada kedalaman 26 m. Hal ini, menggambarkan bahwa kemungkinan sebaran larva yang
mulanya menyebar pada lapisan permukaan turutama pada stadia telur, hingga pada stadia
eye-spot yang melayang-layang kelapisan permukaan yang bersifat planktonik. Pada stadia
eye spot ini, umumnya mulai menempel pada suatu substrat yang disebut kolektor sebagai
tempat larva menempel. Namun bilamana tidak mendapatkan kolektort, maka larva tersebut
berangsur-angsur renang kelapisan yang lebih dalam. Hal ini sebagai akibat dari berat
badan dan daya renang sudah tidak seimbang lagi yang akhirnya lambat laun jatuh
kelapisan lebih dalam hingga ke dasar laut. Sebagaimana penjelasan yang dikemukakan
oleh Hamzah (2003), bahwa pemasangan kolektor sebagai tempat penempelan larva
kerang mutiara (Pinctada maxima) dilakukan pada saat mencapai stadia eye spot, yaitu
umumnya dicapai antara hari ke 15 s/d 18, dan spat dicapai pada hari ke 24 (Adiguna,
2004). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa bilamana pada stadia tersebut tidak pasang
138
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kolektor sebagai tempat penempelannya, maka larva akan jatuh ke dasar bak pendederan
dan menempel disitu, dan kadang juga menempal pada dinding bak terutama pada stadia
spat. Kajian ulasan tersebut, menggambarkan bahwa bilamana pemasangan kolektor
terlambat, maka larva yang bersifat planktonik, baik larva kerang mutiara maupun kerang
mabe akan jatuh ke lapisan air yang lebih dalam (Konsultasi pakar breeding mutiara di
Laboratorium). Kaitannya dengan penjelasan tersebut di atas mengindikasikan bahwa
pemasangan jaring (spat kolektor) dijadikan sebagai perlakuan level kedalaman sedikit
agak terlambat, sehingga konsen-trasi larva mulai menyebar kelapisan yang dalam yang
akhirnya kelektor jaring yang dipasang yang lebih dalam (kedalaman 26 m) cenderung lebih
berhasil.
50
45
Jumlah kerang mabe (ekor)
40
35
30 I (2 m )
25 II ( 1 4 m )
20 III ( 2 6 m )
15
10
5
0
2 - 3 ,1 c m 3 ,2 - 4 c m 4 ,1 - 5 c m 5 ,1 - 6 c m 6 ,1 - 7 c m 7 ,1 - 8 c m
V a r ia s i k is a r a n u k u r a n k e r a n g m a b e t ia p k e d a la m a n
Gambar 5. Variasi ukuran kerang mabe (Pteria penguin) berdasarkan level kedalaman
139
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
140
120
Jumlah kerang mabe
100
80
(ekor)
60
40
20
0
I (2 m) II (14 m) III (26 m)
Perlakuan Level Kedalaman
Tabel 1. Analisa varians terhadap daya penempelan larva kerang mabe (Pteria penguin)
pada warna jaring sebagai spat kolector yang berbeda
Sumber Keragaman DB JK KT Fh
F table
0,05 0,01
Rata-rata 1 5960,0667
Perlakuan Antar Level 2 194,1333 97,0667 1,31tn 3,88 6,93
Kedalaman
Galat 12 888,8 74,0667
Jumlah 14 1082,9333
Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata
Dari rentetan hasil kajian tersebut dapat dikatakan bahwa pemasangan jaring
berdasarkan level kedalaman tidak memberikan respons yang berpengaruh nyata. Maka
dengan demikian aplikasi pema-sangan jaring, kaitannya dengan efesiensi anggaran bisa
dilakukan pada kedalaman yang menguntungkan bagi petani kerang mabe, yaitu
kedalaman 2 m atau pada laipsan bawahnya yang tidak banyak membutuh-kan biaya tali
nilon sebagai pengikat.
Dari bahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemasangan jaring
berdasarkan level kedalaman tidak menunjukkan respons yang berpengaruh nyata. Namun
bila dikaji lebih jauh ternyata kedalaman 26 m cenderung lebih berhasil dan disusul
140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kedalaman 14 m. Variasi ukuran lebar cangkang antara 3,1 – 4 cm cenderung lebih banyak
tercatat pada kedalaman 14 m, dan disusul kedalaman 26 m yaitu antara 5,1 – 6 cm dan
antara 7,1 – 8 cm untuk kedalaman 2 m. Kondisi suhu, salinitas berdasarkan level
kedalaman masih berada dalam kisaran ambang toleransi untuk kehidupan kerang mabe,
demikian juga tingkat kecerahan air laut.
Dari hasil kajian ini, disarankan agar pengamatan lanjut perlu dilakukan untuk menge-
tahui sebaran larva kerang mabe berdasarkan level kedalaman, kaitannya dengan waktu
dan musim pemijahan
Daftar Pustaka
Adiguna, L.W., 2004. Pengaruh pemberian pakan alami dengan jenis yang berbeda
terhadap perkembangan dan kelulushidupan larva tiram mutiara (Pinctada maxima),
Jameson) dalam bak pendederan. Skripsi : Manejemen Sumberdaya Perairan
Universitas Brawijaya Malang : 47 hal.
Hamzah, M.S., 2003. Pengaruh warna spat kolektor terhadap daya tempel larva kerang
mutiara (Pinctada maxima) dalam bak pendederan. Dalam : Ruytno, Pramudji dan
Imam Supangat (eds.). Pesisir dan Pantai Indonesia VIII. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI Jakarta : 79 – 84
Hamzah, M.S., 2006. Prospek pengambangan budidaya kerang mabe (Pteria penguin) dan
operasi penyuntikan di Perairan Teluk Kapontori, Pulau Buton – Sulawesi Tenggara.
Cerah Harian Kerjasama dengan Musium Bahari DKI Jakarta Tgl 28 November
2006 : 15 hal
Hanafiah, K.A., 1995. Rancangan Percobaan, Teori dan Aplikasi. Fak. Pertanian Univ.
Sriwijaya Palembang : 238 hal.
Mosse, J.W; Hutubessy, B.G. dan Sidabutar, T. 1994. Preliminary study on the growth of
pearl oyster (Pteria penguin Roeding) reared under pond sea condition. Perairan
Maluku dan sekitarnya. Balitbang Sumberdaya Laut, P3O – LIPI Ambon, volume 8 :
24 – 35.
Sudjana, 19991. Desain dan Analisis Eksperimen, Edisi III. Penerbit “Tarsito” Bandung :
415 hal.
Sutaman., 1992. Tiram Mutiara. Teknik Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara. Penerbit
Kanisius. Yokyakarta : 93 hal.
141
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B6
_________________________________________________________________________________________
M.S. HAMZAH
UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Puslit. Oseanografi - LIPI
Abstrak
Akhir-akhir ini usaha budidaya kerang mutiara dari jenis Pinctada maxima semakin
meningkat seiring dengan permintaan pasar. Namun kendala yang dihadapi para
pengembang budidaya kerang mutiara khususnya di kawasan tengah Indonesia adalah
kisaran ambang batas toleransi kehidupan anakan kerang mutiara terutama pada ukuran
stadia kritis (lebar cangkang antara 3 – 4 cm) yang banyak mengalami kematian akibat
ancaman perubahan variasi musiman beberapa parameter oseanografi. Pengamatan
dilakukan pada beberapa lokasi di perairan Pulau Buton, Sulawesi Tenggara dan Pulau
Lombok, Nusa Tenggara Barat berturut-turut pada bulan April 2006 s/d Maret 2007 dan
Agustus 2002 s/d Juli 2003
Analisis kurva pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara selama
periode pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup sangat
dipengaruhi oleh perubahan variasi musiman kondisi lingkungan. Kelangsungan hidup
terendah terjadi pada saat suhu air naik secara dratis hingga mencapai level 30 -310C yaitu
tercatat pada bulan Desember dan Januari bertepatan dengan awal musim barat dengan
tingkat kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 70,59 % dan menurun hingga mencapai
29,41 % pada bulan Maret untuk skala penelitian dan, skala usaha 58,82 % untuk di Teluk
Kapontori dan 22,5 % untuk di Teluk Lombe. Sementara di Teluk Kodek, Lombok Barat
sebaliknya tingkat mortalitas tertinggi tercatat pada saat air menurun dratis hingga
mencapai level 26,5 – 26,8 0C bertepatan dengan musim peralihan II (September, Oktober
dan November). Kisaran ambang batas toleransi kehidupan anakan kerang mutiara,
kaitannya dengan perubahan musiman beberapa parameter lingkungan turut dikaji dalam
tulisan ini.
Pendahuluan
Patut kita sukuri sebagai anak bangsa bahwa posisi geografis Indonesia sangat unik
dan strategis, berada di daerah tropis dalam posisi silang antara dua benua : Asia dan
Australia, dan dua samudra : Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sebaran gugusan
pulau-pulau kecil dan besar yang berjumlah 17.508 pulau dengan panjang garis pantai
80.791 km menghiasi panorama perairan Nusantara (Nontji,1986). Di dalamnya hidup
142
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
berbagai jenis hewan yang menghuni sonasi terumbu karang, lamun, pasir, perairan
mangrove dan perairan lepas.
Pada akir-akhir ini, usaha budidaya kerang mutiara dari jenis Pinctada maxima
semakin meningkat seiring dengan permintaan pasar baik Dalam negeri maupun Luar
negeri. Jenis hewan ini senang hidup dan terkonsentrasi pada perairan yang memiliki
ekosistem terumbu karang, pecahan karang yang berpasir serta tersebar pada kedalaman
antara 20 – 60 m. Selain itu pula didukung oleh potensi lahan untuk pengembangan
budidaya laut, khususnya kerang mutiara dan abalone sebesar 62.040 Ha (Sunaryanto dkk,
2002). Namun pemanfaatannya hingga saat sekarang baru sebesar 1 % (Sunaryanto dkk,
2002 Dalam Ditjen Perikanan Budidaya, 2002). Catatan ASBUMI (1996), mengemukakan
bahwa pengembangan budidaya laut khususnya budidaya kerang mutiara (Pinctada
maxima) sampai saat ini berjumlah sekitar 65 perusahaan yang beroperasi menyebar di
perairan Nusantara. Kebanyakan perusahan tersebut berstatus PMDN/ PMA dengan
dominasi tenaga kerja asing di dalamnya yang menentukan kebijakan perusahaan tersebut.
Sebaran lokasi perusahaan tercatat Kawasan Timur Indonesia lebih dari 50 % (40
perusahaan), dan sisanya menyebar di kawasan perairan Tengah dan Barat Indonesia.
Pengem-bangan bio industri kerang mutiara (hatchery) pada mulanya dikuasai oleh tenaga
teknisi asing, sehingga proses pengembangannya sangat ditentukan kehadiran mereka.
Namun dengan globali-sasi sains dan teknologi yang cepat menjalar, maka pada dekade
tahun 1980-an teknisi kita telah menguasai teknologi tersebut. Kaitan dengan penguasaan
teknologi pengembangan budidaya kerang mutiara melalui hatchery dan dikaitkan dengan
garis pantai Nusantara yang panjang dan memiliki kondisi perairan yang sesuai akan
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan devisa negara dari sektor perikanan.
143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dan Teluk Lombe dari bulan April 2006 s/d Maret 2007 dengan menggunakan jalur dan
rakit seluas 20 x 6 m2 (Gambar 2 dan 3). Jumlah sampel pengamatan sebagai skala
penelitian berjumlah 34 ekor, dan 10 ekor di antaranya diberi tanda (tegging), sehingga
pengukuran pertumbuhan (lebar, tebal cangkang dan berat) dilakukan secara seksama
hanya kerang mutiara yang diberi tanda. Sementara sisanya (24 ekor), ditambah dengan
skala usaha berjumlah 13.876 ekor yang ada di Teluk Kapontori dan, 80.000 ekor di Teluk
Lombe dijadikan sebagai data pembanding, diamati tingkat kematiannya tiap bulan untuk
mengetahui persentase kelangsungan hidup. Sedangkan pengamatan anakan kerang
mutiara di pulau Lombok hanya satu lokasi yaitu di Teluk Kodek (Gambar 4) khusus untuk
skala penelitian, mulai dilakukan Agustus 2002 s/d Juli 2003. Prosedur pengamatan sama
dengan yang dilakukan di di pulau Buton yaitu selain pengukuran pertumbuhan (lebar, tebal
cangkang dan berat) dengan sistem penandaan (tegging) juga pencatatan data kematian
anakan kerang mutiara setiap bulan untuk mengetahui persentase kelangsungan hidupnya.
Pengukuran pertumbuhan dilakukan dengan mengguanakan kalipper (mm) dan timbangan
duduk (gr). Bersamaam dengan pengamatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup
anakan kerang mutiara pada dua lokasi tersebut, juga dilakukan pengukuran kondisi
perairan pada kedalaman 4 m sesuai dengan kedalaman gantungan poket sampel
pengamatan antara lain suhu air (ºC) menggunakan botol Nansen dan dilengkapi dengan
termometer balik, pH menggunakan kertas pH meter, salinitas (ppt) dengan menggunakan
salinometer dan kecerahan air dengan cakram sechi (m).
Data hasil pengamatan baik dalam skala penelitian maupun skala usaha sebagai data
pembanding dianalisis dengan menggunakan kurva dan grafik
Tl. Kodek
Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan anakan kerang mutiara di Pulau Lombok dan Buton
144
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Gambar 2. Rakit mutiara di Teluk Kapontori (kiri) dan anakan kerang mutiara (kanan)
Gambar 3. Jalur mutiara di Teluk Lombe, Buton (kanan) dan kerang mutiara (kanan)
145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Gambar 4. Jalur mutiara di Teluk Kombal, Lombok Barat (kiri) dan kerang mutiara (kanan)
Hasil analisis kurva kelangsungan hidup dan dikaitkan dengan beberapa parameter
kondisi lingkungan terlihat pada Gambar 5 AB. Kedua gambar ini tampak bahwa
kelangsungan hidup mulai menurun hingga mencapai 79.01% tercatat bersamaan dengan
naiknya kondisi suhu air secara dratis pada level 310C yaitu terjadi pada bulan Desember
bertepatan dengan awal musim barat. Dampak perubahan kondisi suhu air secara dratis
yang tercatat pada bulan Desember dapat menyebabkan tingkat stresnya berlangsung
hingga pada bulan Maret dengan tingkat kelangsungan hidup terendah untuk skala
penelitian menurun hingga mencapai 29,41% (10 ekor dari jumlah 34 ekor) dan skala usaha
sebesar 59,64 % (8.276 ekor dari jumlah 13.876 ekor) (Gambar 6 AB). Pada gambar kurva
dan grafik tersebut terlihat bahwa perubahan suhu air musiman pada kedalaman 4 m cukup
dratis yaitu bervariasi antara 27 – 31 0C . Suhu terendah tercatat pada bulan September
bertepatan dengan musim peralihan II, dan tertinggi pada bulan Desember (awal musim
barat).
Perubahan kondisi suhu air yang naik secara dratis tercatat pada bulan November ke
Desember yaitu dari 29 0C menjadi 31 0C dengan gradien suhu 2 0C. Sebagai akibat dari
perubahan kondisi suhu air yang naik secara dratis yang terjadi di Teluk Kapontori,
menyebabkan kondisi anakan kerang mutiara yang berukuran kritis yaitu ukuran lebar
cangkang 3 – 4 cm mengalami stres beberapa minggu dengan indikasi mantel terlipat
(lemah) dan kemudian mati. Demikian juga pada rengs waktu yang sama terjadi kematian
146
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
anakan kerang mutiara di Teluk Lombe, pulau Buton (Gambar 7 AB). Pada kedua gambar
ini terlihat kematian anakan kerang mutiara mulai terjadi bersamaan dengan perubahan
suhu air naik secara dratis mencapai level 31 0C yaitu tercatat pada bulan Desember dan,
menurun hingga bulan Januari mencapai sebesar 59,64 % (8.276 ekor dari jumlah 13.876
ekor) DI Teluk Kapontori, dan 77,5 % (62.000 ekor dari jumlah 80.000 ekor) di Teluk
Lombe. Hal ini, identik dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Hamzah dkk. (2005),
bahwa perubahan suhu air secara mendadak dari level 28,5 0C, yang merupakan suhu
ideal untuk pertumbuhan anakan kerang mutiara, berubah menjadi 26,5 0C, dengan gradien
suhu 2 0C dapat menyebabkan kematian kerang mutiara terutama pada stadia kritis yaitu
ukuran cangkang antara 3 – 4 cm. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa batas minimum dari
kisaran ambang toleransi kehidupan kerang mutiara untuk ukuran stadia kritis adalah 27
0
C, bilamana suhu air lebih rendah dari nilai tersebut sudah memberi dampak negatif dan
akan mengarah pada proses kematian. Penjelasan ini sesuai dengan hasil pengamatan
seperti terlihat pada kedua gambar tersebut, terbukti bahwa pada level suhu antara 27,30 –
29 0C tingkat kelangsungan hidupnya masih tinggi yaitu untuk skala penelitian tercatat
bulan Juli 97,06 %, pada suhu 27,30 0C (kematian 1 ekor dari jumlah 34 ekor), sementara
untuk skala usaha di Teluk Kapontori tidak mengalami kematian. Sedangkan pada level
suhu tersebut di Teluk Lombe kematian anakan kerang mutiara hanya sebesar 5 % (4.000
ekor dari jumlah 80.000 ekor) tercatat pada bulan September pada suhu mencapai level 27
0
C.
Hal yang sama pula tercatat pada level suhu air mencapai 29 0C kondisi kerang
mutiara masih normal dengan indikasi mentel dalam kedaan melebar menutupi permukaan
kulit cangkang bagian dalam, ini menujukkan bahwa kerang mutiara dalam keadaan sehat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa batas maksimum suhu untuk pertumbuhan dan
kelang-sungan hidup anakan kerang mutiara pada level 29 0C, bilamana lebih tinggi dari
level suhu tersebut menyebabkan kondisi anakan kerang mutiara mulai mengalami
perubahan dan mengarah pada tingkat stres. Hal ini, sesuai dengan penjelasan yang
dikemukakan oleh Hamzah dan Sumadhiharga (2002), bahwa kisaran ambang toleransi
variasi musiman kondisi suku dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup anakan kerang mutiara stadia kritis adalah antara 28 – 29 0C dan
salinitas antara 30 – 33 ppt. Sementara kondisi salinitas, derajat keasaman (pH) dan
kecerahan air laut selama periode pengamatan baik di Teluk Kapontori maupun Teluk
Lombe masih berada dalam kondisi ambang toleransi untuk kehidupan anakan kerang
mutiara stadia kritis yaitu berturut-tuirut antara 30 – 32 ppt, pH antara 7 – 8 dan, kecarahan
antara 7,50 – 17,50 m khusus di Teluk Kapontori. Hal ini, tidak jauh berbeda dengan
penjelasan yang dikemukakan oleh Sutaman (1992) bahwa kondisi suhu dan salinitas yang
147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
baik untuk pertumbuhan kerang mutiara adalah bervariasi antara 28 – 30 0C dan salinitas
antara 32 – 35 ppt
Menurut Hamzah (2007), bahwa tanda-tanda kematian sebagai akibat dari terpaan
suhu panas yang mencapai level 31 0C adalah sebagai berikut :
1. Anakan kerang mutiara lemah atau stres ditandai dengan mentel terlipat dan mulut
cangkang terbuka, sehingga mudah diserang pemangsa dari jenis ikan dan kepiting
2. Warna cangkang tidak berubah, mulut cangkang terbuka selama periode musim panas
dan yang masih hidup bila disentuh lambat menutup cangkangnya.
Suhu panas yang terjdi di perairan Teluk Kapontori maupun Teluk Lombe, diduga
selain panas lokal, juga perubahan musiman kondisi perairan. Sebagaimana dijelaskan
oleh Birowo, dkk. (1975) bahwa naiknya suhu juga diakibatkan oleh pengaruh posisi
matahari (radiasi matahari), massa air yang berasal dari daerah yang berlintang tinggi
dengan variasi suhu terutama pada musim barat antara 29 – 30 0C tercatat di perairan Cina
selatan dan Samudra Pasifik. Demikian juga penjelasan yang dikemukakan oleh Wyrtki
(1961), bahwa variasi musiman kondisi perairan di daerah sekitar katulistiwa adalah
0
memiliki garadien suhu antara 3 – 4 C. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
meningkatnya suhu yang terjadi pada bulan Desember yang bertepan dengan awal musim
barat adalah diduga sebagai akibat dari posisi pulau Buton yang mendekati garis
katulistiwa, sehingga perubahan musiman suhu yang terjadi di daerah Samudera pasifik
juga mempengaruhi kondisi perairan pulau Buton.
148
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
35
30
Kondisi Perairan
25 T (oC)
20 Sal (ppt)
15 pH
Kec (m)
10
5
0
ei
rt
06
b
kt
li
07
t
n
ov
es
us
Ju
Se
Fe
Ju
M
M
D
Ag
Ap
Jn
Periode Waktru Pengamatan (A)
SR (%)
Kerang Mutiara (Pinctada maxima )
100
90
Kelangsunagn Hidup
80
70
60
(%)
50
40
30
20
10
0
06 ei n li t p kt ov es 07 b rt
M Ju Ju gus Se O N D Fe M
Ap A Jn
Periode Waktu Pengamatan (B)
Gambar 5. Kurva kondisi perairan (A) dan, grafik kelangsungan hidup anakan kerang
mutiara (B) (skala penelitian: jumlah sampel 34 ekor)
149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
35
30
Kondisi Perairan
25 T (oC)
20 Sal (ppt)
15 pH
10 Kec (m)
5
0
Agut Sept Okt Nov Des 06 Jn 07
Periode Waktu Pengamatan (A)
100
Kelangsungan Hidup (%)
90
80
70
60
50
40 SR (%)
30
20
10
0
Agut Sept Okt Nov Des 06 Jn 07
Periode Waktu Pengamatan (B)
Gambar 6. Kurva kondisi perairan (A) dan grafik kelangsungan hidup (B)
150
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
35
30
Kondisi Perairan
25 T (oC)
20
Sal (ppt)
15
10 pH
5
0
Agut Sept Okt Nov Des 06 Jn 07
Periode Waktu Pengamatan (A)
100
Kelangsungan Hidup (%)
80
60
40 SR (%)
20
0
Agut Sept Okt Nov Des 06 Jn 07
Gambar 7. Kurva kondis perairan (A) dan, Grafik kerang mutiara (B) di Teluk Lombe (skala
usaha berjumlah : 80.000 ekor)
Perkembangan bulanan anakan kerang mutiara dan dikaitkan dengan kondisi perairan
(Gambar 8). Pada gambar ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan lebar cangkang bagian
dorsal yang merupakan standar ukuran perdagangan untuk transaksi penjualan, mulai
condong meningkat terjadi pada bulan Mei hingga mencapai pertumbuhan 92 mm tercatat
pada bulan Maret dengan laju pertumbuhan rerata perbulan sebesar 7,9 mm. Pola
pertumbuhan lebar cangkang indentik dengan pola pertumbuhan tebal cangkang, yaitu
mulai condong meningkat pada bulan Mei dan mencapai pertumbuhan 14,2 mm tercatat
pada bulan Maret dengan laju pertumbuhan rerata 1,6 mm/bulan. Demikian juga pola
pertambahan berat identik dengan pola pertumbuhan lebar dan tebal cangkang. Berat awal
anakan kerang mutiara yang diamati adalah 1,9 gr tercatat pada bulan April dan bertambah
mencapai berat 130 gr tercatat pada bulan Maret dengan laju pertambahan berat rerata
11,65 gr/bulan.
151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Lc (mm)
Kerang Mutiara (Pinctada maxima )
Tc (mm)
Brt (gr)
120
100
Pertumbuhan
80
60
40
20
06 ei n
Ju
li
us
t p kt v s 07 b rt
M Ju Se O No De Fe M
Ap Ag Jn
Periode Waktu Pengamatan (B)
Hasil analisis kurva kelangsungan hidup dan dikaitkan dengan kondisi variasi
musiman beberapa parameter lingkungan seperti terlihat pada Gambar 9 AB). Pada
gambar ini, tampak bahwa kelangsungan hidup terendah atau mortalitas tertinggi mencapai
level 85 % (367 ekor) tercatat bersamaan dengan penurunan suhu air secara dratis yaitu
terjadi pada bulan September dan Oktober 2002 bertepatan dengan musim Peralihan II,
dimana suhu air tercatat antara 26,5–26,8 0C dengan variasi salinitas antara 31,5 – 32 ppt.
Banyak isue yang berkembang terutama dikalangan pengusaha budidaya kerang mutiara
yang ada di perairan Nusa Tenggara Barat, bahwa kebanyakan kematian masal dominan
diakibatkan oleh terjadinya perubahan kondisi suhu air secara dratis. Catatan hasil
pengamatan menunjukkan bahwa perubahan suhu air secara mendadak dari level 28,5 0C
berubah menjadi 26,5 0 C dengan gradien suhu 2 0 C dapat menyebabkan kematian kerang
mutiara terutama pada ukuran kritis yaitu antara 3 – 4 cm. Pada kedua kurva ini
memperlihatkan bahwa mortalitas tertinggi bersamaan dengan terjadinya penurunan suhu
air secara dratis dari 27,7 0C menjadi 26,5 0C dengan gradien suhu 1,2 0C. Diduga nilai
suhu air 27 0C adalah merupakan nilai batas minimum dari kisaram ambang toleransi
kehidupan kerang mutiara, sehingga bisa dikatakan bahwa bila suhu air lebih rendah dari
nilai tersebut sudah memberi dampak negatif dan akan mengarah pada proses kematian.
Selajutnya dari kedua kurva tersebut memperlihatkan bahwa kondisi salinitas agak
152
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
menurun terjadi pada bulan Januari dan Februari bertepatan dengan musim barat yang
ditandai dengan musim penghujan di Lombok Barat, demikian juga nilai kecerahan hanya
mencapai 6,25 m. Hamzah dan Sumadhiharga (2002), mengemukakan bahwa kematian
kerang mutiara lebih condong diakibatkan oleh factor arus dingin. Dijelaskan pula bahwa
variasi musiman kondisi suhu antara 28 – 29 0C dan salinitas antara 30 – 32 ppt merupakan
kisaran ambang toleransi untuk kehidupan dan pertumbuhan kerang mutiara. Demikian
juga penjelasan yang sama bahwa kisaran nilai suhu dan salinitas yang terbaik untuk
pertumbuhan kerang mutiara yaitu antara 28 – 30 0C dan antara 32 – 35 ppt (Sutaman,
1992). Tanda-tanda kematian akibat terpaan arus dingin yaitu mulut cangkang tertutup dan
kemudian beberapa hari terbuka disertai mantel terlipat atau dengan istilah umum mantel
jatuh. Keadaan inilah yang sangat ditakuti oleh para pengusaha budidaya kerang mutiara di
Nusa Tenggara Barat, seperti yang pernah terjadi pada akhir tahun 2001 dan pertenghan
tahun 2002. Kondisi salinitas dan kecerahan air agak menurun terjadi pada musim hujan
yaitu pada bulan Desember, Januari dan Februari.
Gejala Arus dingin ini masih merupakan dugaan bahwa kemungkinan diakibatkan oleh
proses upwlling yang terjadi di perairan lepas yang turut mempengaruhi perairan dangkal
dan sekitarnya. Keadaan ini bisa diperkuat bahwa arus dingin mulai terjadi bila angin darat
bertiup malam hari dengan kencang dan satu arah dalam beberapa bulan, yang nelayan
setempat kadang disebut angin sayong. Sebagaimana dijelaskan oleh Wenno (1979)
bahwa dampak penaikan massa air (upwelling) yang terjadi di laut Banda relatif tinggi
sangat mempengaruhi kondisi suhu dan salinitas lapisan permukaan dan sekitarnya
menjadi rendah terutama suhu air dan sebaliknya kadar salinitas cenderung naik. Sebagai
akibat dampak penaikan massa air, suhu air pada lapisan permukaan menurun hingga
mencapai antara 25,33 – 27,63 0C (Hamzah dan Arfah, 2001) dan antara 26,03 – 26,08 0C
(Wenno, 1979).
Perkembangan bulanan kerang mutiara disajikan pada Gambar 10. Pada gambar ini,
memper-lihatkan bahwa pertumbuhan lebar cangkang bagian dorsal yang merupakan
standar ukuran perdagangan untuk transaksi penjualan, mulai condong meningkat terjadi
pada bulan November bertepatan dengan berakhirnya musim peralihan II, mencapai ukuran
98,1 mm, hingga pada bulan Juli 2003 dengan laju pertumbuhan rerata sebesar 6,7
mm/bulan. Pola pertumbuhan lebar cangkang indentik dengan pertumbuhan berat yaitu
pertumbuhan berat mulai terjadi pada Januari bertepatan dengan pertengahan musim barat
dan meningkat hingga mencapai berat 118,56 gr pada bulan Juli dengan laju pertumbuhan
rerata sebesar 10,64 gr/bulan. Sementara pertumbuhan tebal mulai condong meningkat
terjadi pada bulan Februari hingga mencapai pertumbuhan puncak pada bulan Juli yaitu
153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Bila dikaji lebih jauh ternyata laju pertumbuhan anakan kerang mutiara yang tercatat
di Teluk Kapontori, Buton cenderung lebih baik dibandingkan terhadap pengamatan
pertumbuhan yang dilakukan di Teluk Kombal, Lombok Barat. Laju pertumbuhan anakan
kerang mutiara yang tercatat di teluk Kapontori yaitu lebar dan tebal cangkang rerata
berturut-turut sebesar 7,9 mm/bulan dan 1,6 mm/bulan dengan berat retata 11,65
gr/bulan. Sementara di Teluk Kodek, Lombok laju pertumbuhan lebar dan tebal cangkang
berturut-turut 6,7 mm/bulan dan 1,5 mm/bulan dengan laju pertambahan berat rerata 10,64
gr/bulan
Dari bahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kematian massal anakan
kerang mutiara yang terjadi di di Teluk Kapontori dan Lombe, pulau Buton adalah lebih
banyak diakibatkan oleh terpaan arus panas yang naik secara dratis yaitu dari nilai 29 0C,
yang tercatat pada bulan November menjadi 310C pada bulan Desember yang bertepatan
0
dengan awal musim barat dengan gadien suhu 2 C. Kisaran suhu normat untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara bervariasi antara 27,30 – 29
0
C, dengan suhu ideal adalah 28 0C. Tingginya suhu air laut yang terjadi pada bulan
Desember adalah diduga sebagai akibat dari fenomena efek panas lokal yang terjadi
akibat perubahan suhu musiman di perairan Samudera Pasifik yang mempengaruhi
perairan pulau Buton dan sekitarnya. Sementara perairan Teluk Kodek, Lombok sebaliknya,
kematian masal anakan kerang mutiara lebih condong diakibatkan oleh aliran arus dingin
hingga mencapai level antara 26,5 – 26,8 0C bertepatan dengan musim peralihan II
(September, Oktober dan November). Sementara kisaran suhu dan salinitas yang cocok
untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan kerang mutiara adalah berturut-turut
antara 27 – 29 0C dan 30 – 33 ppt dengan suhu dan salinitas ideal 28 0C dan 33 ppt.
Sementara kondisi pH dan kecerahan air pada dua lokasi yang berbeda masih berada
dalam ambang batas toleransi kehidupan anakan kerang mutiara.
Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk melihat pola perubahan suhu air musiman yang
berkembang baik di perairan pulau Buton maupun Lombok, kaitannya dengan laju
pertumbuhan dan kelangsungan hidup kerang mutiara terutama pada stadia kritis dari
terpaan arus panas dan arus dingin
154
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
35
Nilai Kondisi Perairan
30
25
T (oC)
20
Sal (ppt)
15
Kec. (m)
10
5
0
t0
2 p kt ov 02 03 b ar
t pr ei n
i0
3
gs Se O N es n Fe M A M Ju l
A D Ja Ju
Periode Waktu Pengamatan (A)
100
80
60
SR (%)
40
20
0
pr
ov
02
kt
02
n
ei
t
3
p
3
ar
n0
li0
Ju
Se
Fe
M
O
A
t
es
N
M
gs
Ju
Ja
D
A
Gambar 9. Kurva kondisi perairan (A) dan kelangsungan hidup anakan kerang
mutiara (B)
155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Lebar (mm)
Kerang Mutiara (P. maxima )
Tebal (mm)
Berat (gr)
140
Nilai Pertumbuhan
120
100
80
60
40
20
0
2
02
b
ov
pr
3
p
kt
n
ei
t
ar
n0
t0
li0
Se
Fe
Ju
M
O
A
es
N
M
gs
Ju
Ja
D
A
Kesimpulan
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara sangat dipengaruhi
oleh perubahan variasi musiman kondisi lingkungan. Kelangsungan hidup terendah terjadi
pada saat suhu air naik secara dratis hingga mencapai level 30 -310C yaitu tercatat pada
bulan Desember dan Januari bertepatan dengan awal musim barat dengan tingkat
kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 70,59 % dan menurun hingga mencapai 29,41
% pada bulan Maret untuk skala penelitian dan, skala usaha 58,82 % untuk di Teluk
Kapontori dan 22,5 % untuk di Teluk Lombe. Sementara di Teluk Kodek, Lombok Barat
sebaliknya tingkat mortalitas tertinggi tercatat pada saat air menurun dratis hingga
mencapai level 26,5 – 26,8 0C bertepatan dengan musim peralihan II (September, Oktober
dan November).
Daftar Pustaka
Birowo, S.; A.G. Ilahude dan A. Nontji, 1975. Status pengetahuan dalam ilmu laut di
Indonesia dewasa ini. Atlas Oseanologi perairan Indonesia dan sekitarnya, Buku 1,
Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta 1975 : 67 hal
Hamzah, M.S. dan K. Sumadhiharga, 2002. Studi laju pertumbuhan dan kelangsungan
hidup anakan kerang mutira (Pinctada maxima) pada kedalaman yang berbeda di
perairan Teluk Kombal – Lombok Barat. Makalah dipresentasikan dalam Kongres
Nasional III, di Bali 21 – 24 Mei 2002 (Proses penerbitan).
156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Hamzah, M.S. Abd. Basir kaplale, Sangkala dan Rustam, 2005. Kelangsungan hidup
anakan keran mutiara (Pinctada maxima) dan fenomena arus dingin di perairan
Teluk Kombal, Lombok Barat. Dalam : Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahun ISOI,
Jakarta 10 – 11 Desember 2003. Anugra Nontji, W.B. Setyawan, D.E. Djoko
Setiono, Pradina Purwati dan A. Supangat (editor) : Ikatan Sarjana Oseano-logi
Indonesia : 171 – 178
Hamzah, M.S. dan Arfah., 2001. Variasi musiman kondisi hidrologi, pengaruhnya terhadap
produksi hasil tangkapan dan estimasi daerah sebaran cumi-cumi arus
(Symplectoteuthis oualaniensis, LESSON) di perairan pulau Ambon bagian selatan
dan sekitarnya. Makalah dopresentasikan dalam seminar pertemuan Ilmiah
Nasional Ikatan Serjana Oseanologi Indonesia (ISOI), 29 – 30 Mei 2001 di Jakarta
Hamzah, M.S., 2007. Prospek pengembangan budidaya kerang mutiara (Pinctada maxima)
dan kendala yang dihadapi serta alternatif pemecahannya di beberapa tempat di
kawasan perairan tengah Indonesia. Makalah dipersentasikan dalam kongres
Masyarakat aquaculture Indonesia, pada Tgl. 5 – 7 Juni 2007 di Surabaya : 19 hal.
(in press.)
Sutaman., 1992. Tiram Mutiara. Teknik Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara. Penerbit
Kanisius. Yokyakarta : 93 hal.
Wenno, L.F., 1979. Pola sebaran suhu air di Teluk Ambon. Oseanologi di Indonesia Jakarta
No. 12 : 12 – 21.
157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B7
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Penelitian terhadap kerang hijau (Perna viridis) telah dilakukan di beberapa wilayah
perairan pantai di provinsi Banten (Kab.Pandeglang dan Kab. Tangerang), Jawa Barat
(Kab.Cirebon), Jawa Timur (Kab. Pasuruan an Kenjeran Surabaya) serta di provinsi
Sulawesi Selatan (Kab.Pangkep). Tujuan penelitian adalah mengetahui keragaan kerang
hijau pada saat ini, respon pembudidaya, dalam pelaksanaan pengembangan budidaya
keang hijau , keuntungan budidayanya, permasalahan dan dampak lingkungan pada
kerang hijau.
Metode yang digunakan adalah RRA (Rapid Rural Appraisal) dengan pendekatan
melalui pengamatan di lapangan, wawancara dengan kelompok pembudidaya maupun
petugas Dinas Perikanan setempat, dan pengumpulan sampel kerang hijau untuk dianalisa
kadar gizinya serta kadar logam berat (CU, Pb, Cd dan Hg). Dari hasi penelitian
menunjukkan bahwa kadar gizi kerang hijau : protein 16,7% (66,19% dari berat kering),
lemak 8,06% dan karbohidrat 14, 37 %. Respon pembudidaya tehadap pelaksanaan
budidaya keang hijau baik terihat dari jumlah pembudidaya semakin banyak. Budidaya
kerang hijau menguntungkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan yang
kebanyakan sebagai pembudidaya. Kendala utama selama pemeliharaan kerang hijau
ádalah jika ada angin musim yang kuat, musim kemarau panjang dan musim hujan yang
lebat.. Meskipun dari hasil analisa logam berat kerang hijau mengakumulasi logam berat
(Cu, Pb, Cd dan Hg. Namun kerangnya sendiri tidak menunjukkan gejala klinis. dan nilai
kadar logam beratnya masih aman untuk dikonsumsi berdasarka aturan keamanan pangan
Indonesia.
Pendahuluan
Kerang merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis
penting selain ikan dan udang. Salah satu jenis kerang yang sudah dibudidayakan sejas
lama sekitar tahun 1981 (Unar et.al. 1982, Ditjen Perikanan 2004) yaitu kerang hijau (Perna
viridis) yang mempunyai nama lain yaitu Mytilus viridis atau Mytilus smaragdinus (Vakily,
1989). Meskipun kerang hijau sudah dibudidayakan sejak lama namur sampai sekarang
tidak seunggul budidaya ikan (kerapu), dan udang windu yang sudah merambah sampai ke
luar negeri padahal kerang hijau memiliki beberapa keunggulan seperti nilai gizi yang baik
(protein 21%) (Anonimous, 1977) serta kaya akan asam amino esencial terutama arginin,
leusin dan lisin (Chen 1977 dalam Suryaningrum et .al 1984). Selain itu kerang hijau juga
mengandung zat yang dapat membantu memperlancar kerja hati dalam tubuh manusia.
Ekstrak kerang hijau mempunyai efek sebagai anti rheumatik dan artritis (penyakit radang
158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
sendi. Cangkang kerang hijau mengandung kitosan yang dapat digunakan dalam berbagai
bidang seperti penjernih dan pemurnian air minum, bidang kosmetika, farmasi, imobilisasi
sel dan enzim, sebagai talk pada sarung tangan, bahan pembuat benang pada bedah
plastik, bahan pada kromatpgrafi , bahan koagulasi dan flokulasi (Alistair, 1995, Salami,
1998 dalam Kusumaningsih et.al. 2004.). Dalam budidaya udang , kerang hijau dapat
digunakan sebagai filter pada petak tandon air untuk budidaya. Selain itu daging kerang
dapat diolah sebagai makanan seperti kerupuk, pepes,abon dll. Kerang hijau (Perna viridis)
selain digemari di dalam negeri (Indonesia) juga sebagai makanan mewah di Eropa sepeti
Perancis, Italia dan Belanda (Direktorat Jend Perikanan, 2004)
Sejak budidaya udang windu (Penaeus monodon) mengalami kerugian karena
penyakit dan juga sejak Tsunami yang menyebabkan nelayan takut untuk pergi ke laut
menangkap ikan, kelihatannya budidaya kerang hijau mulai diminati kembali.
Tujuan dari penelitian ini ingin mengetahui keragaan kerang khususnya kerang hijau
saat ini di wilayah perairan pantai di beberapa lokasi di Jawa dan luar Jawa, mengetahui
respon pembudidaya, keuntungan budidaya, kendala budidaya dan dampak lingkungan
terhadap kerang hijau.
Bahan penelitian ádalah populasi kerang hijau yang ada di wilayah perairan pantai di
provinsi Jawa Barat ((Kab. Cirebon),, Banten (Kab.Pandeglang dan Kab. Tangerang),
Jawa Timur (Kab. Pasuruan dan Kec Kenjeran, Kota Surabaya) serta propinsi Sulawesi
Selatan (Kab. Pangkep).
Metode yang digunakan adalah RRA (Rapid Rural Appraisal) dengan pendekatan
melalui pengumpulan data primer yaitu survei ke lapangan, wawancara dengan para
pembudidaya kerang dan pengumpul kerang, petugas dinas, pengambilan sampel kerang
hijau untuk dianalisa kadar gizinya dengan metode analisa proksimat (AOAC, 2002) dan
analisa kadar residu logam berat dengan menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometer (Hutagalung at.al 1997, Darmono 1995) Data sekunder diperoleh dari
studi literatur. Selanjutnya data dianalsa secara deskriptif.
Kerang hijau (Perna viridis) termasuk Phylum Mollusca, Kelas Pelecipoda, Ordo
Filibranchia, Famili Mytilidae, yang bercangkang 2 (bivalva),berwarna hijau kecoklatan. Di
habitatnya kerang hijau menempel pada berbagai substrat seperti kayu, bambu, karang dll.
Toleransi terhadap kualitas air yaitu salinitas pada kisaran 27-35 ppt dan kedalaman 1-7 m
159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
(Anonimus, 1986). Di daerah tropis kerang hijau dapat memijah sepanjang tahun, dan
puncaknya pada bulan Maret sampai Juli. Laju pertumbuhan kerang hijau cukup cepat
dalam waktu 1 tahun dapat mencapai panjang rata-rata 83 mm(Raja Gppal1998 dalam
Cholik at al 2005). Kisaran .pertumbuhan kerang 0,7-1.0 cm perbulan setelah umur 6- 7
bulan kerang dapat dipanen dengan ukuran sekitar 6 cm ( Ismail dan Andamari 1983 ).
.Kerang umumnya hidup di pantai dekat muara sungai oleh karena itu mempunyai peluang
yang besar untuk mendapat pengaruh pencemaran baik pencemaran domestik maupun
pencemaran industri. Hasil analisa proksimat dari sampel kerang hijau dari lokasi yang
berbeda menunjukkan nilai yang berbeda yaitu;
Perbedaan ini menunjukkan kualitas lingkungan habitat kerang hijau yang menjadi
sumber nutrien pakan kerang berbeda.
160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kerangka, perbedaannya yaitu pada metode rumpon digunakan net (jaring) sedangkan
pada metode turap tidak menggunakan net.. Kerangka bambu ditancapkan pada perairan
laut pada jarak 500m dari garis pantai. Benih kerang hijau didapat dari perairan sekitarnya
dan melimpah. Hasil panen per unit selama 1 tahun (2x panen) produksi 15-20 ton.
.Kerang dipanen setelah 5-6 bulan pembesaran. Selain berbudidaya kerang hijau, para
pembudidaya juga memasang bubu untuk menangkap ikan sehingga menambah
penghasilan. Harga kerang hijau mentah/berkulit seikitarRp.600-700/kg dan kerang tanpa
kulit Rp. 6.000- Rp. 7.000 / kg.
Menurut informasi pada tahun 2005 Departemen Kelautan dan Perikanan
memberikan bantuan 10 unit rumpon dan tahun sebelumnya bantuan rumpon dari dana
APBD provinsi Jawa Barat dan APBD Kabupaten Cirebon.
Permasalahan yang dihadapi pembudidaya kerang hijau :
1. Gangguan alam seperti angin ribut dan gelombang tinggi (tsunami) yang dapat
merusak tempat budidaya kerang
2. Sarana untuk pembersihan kerang belum memadai kendala listrik dan air.
3. Kehawatiran dampak pencemaran lingkungan baik pencemaran domestik (bahan
organik yang mengandung bakteri0 maupun pencemaran industri (logam berat)
4. Pemasaran lokal tidak ada masalah, tetapi berharap dapat dipasarkan keluar
negeri
Gambaran analisa usaha budidaya kerang hijau di kabupaten Cirebon (Sumber data
:Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2004)
Modal Investasi:
1. Kerang hijau
Bambu 500 bt xRp 6.000 = Rp. 3.000.000
Tambang net 500 kg x Rp.2.500 = 1.250.000
Tali pengikat 4 gulung x Rp. 100.000= 400.000
Ongkos tanam bambu 3 orang x 10 hari x Rp. 30.000- Rp. 900.000
Sewa perahu 4x Rp.100.000= Rp.400.000
Lain-lain = Rp. 50.000
Total; Rp. 6000.000
2. Unit bubu ( 4 unit bubu per 1 unit kerang hijau)
3. Besi stainless 25 m x Rp25.000 x 4 unit= Rp. 2.500.000
4. Ram kawat 10 m x Rp. 24.000 x 4 unit=80.000
5. Tali rami 2 ikat x Rp. 11.000 x 4 unit= 60.000
6. Bambu 13 bt x Rp. 6.00 x 4 unit= Rp 312.000
161
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Total = 4.000.000
Jumlah modal : Rp. 10 juta
Biaya operasional kerang hijau (2x panen0; rp.7.48200
Biaya operasional bubu : Rp.37.310.000 (20 hari panen x 10 bulan. Jumlah biaya
operasional = Rp. 44. 92.000.
Produksi
Kerang hijau (2x panen) = 9000kgx Rp. 600 + 8.000 kg x Rp.600= Rp. 10. 200.000
Unit bubu: 1.000 kg x 10 bulan x Rp. 6.000 = Rp. 60.000.000
Jadi nilai produksi : Rp.70.200.000
Keuntungan Rp.70.300.000 – 44.992.000= Rp.25. 208.000/th/unit.
Seperti halnya di Jawa Barat, di provinsi Banten juga budidaya kerang hijau telah
dimulai sejak puluhan tahun yang lalu sekitar tahun 1980, tetapi tidak sepopuler budidaya
udang windu, hal ini mungkin disebabkan peminat/konsumen kerang hanya lokal dan tidak
banyak sehingga pembudidaya kerang tidak tertarik untuk berbudidaya kerang hijau
kebanyakan hanya nelayan pengumpul sambil menangkap ikan. Akantetapi setelah
peristiwa tsunami/ dimana nelayan sering tidak melaut minat nelayan untuk berbudidaya
kerang hijau bangkit kembali dan ternyata dapat menunjang kehidupan nelayan .Kegiatan
budidaya kerang hijau di provinsi Banten banyak terdapat di kabupaten Pandeglang dan
kabupaten Tangerang Metode budidaya bervariasi ada yang menggunakan rakit tancap
tetapi ada juga yang menggunakan tali rentang (long line). Kendala yang dihadapi serupa
dengan di wilayah lain yaitu angin kencang dan gelombang tinggi, hama, dan parasit
(teritip) sertan pencemaran lingkungan yaitu limbah industri (logam berat) terutama di kab.
Tangerang dan limbah domestik (pencemaran mikroba/ bakteri).. Menurut Ismail et.al
(2002) jenis ikan laut yang biasa menyerang kerang hijau adalah ikan lencam, pari, sidat ,
buntal dan bintang laut. Tritip(barnacle) dapat menempel pada cangkang kerang hijau dan
mengebor benda-benda yang ditempelinya. Biota lain yang mengganggu adallah gurita,
kepiting, rajungan, bunga karang (sponge) dan juga lumut.
Kegiatan budidaya kerang hijau di Muara Kamal dimulai dengan jumlah rakit 50 yunit
dan pada tahun 2001 tercatan sekitar 1000 yunit sehingga di kawatirkan akan mengganggu
pelayaran (Ismail at.al 2002), Usaha penanggulangan pencemaran mikroba yang sudah
dimulai yaitu pembangunan unit depurasi di Panimbang, unit ini terutama untuk
pengurangan pencemaran bakteri. Masih ada kendala karena produksi kerang yang
didepurasi belum berkesinambungan dan belum maksimal jumlahnya dibandingan
162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kapasitas unit depurasi tersebut, kebalikan dengan unit depurasi yang ada di kab Cirebon,
wadahnya kecil sedangkan produksinya melimpah .
Lokasi survei kekerangan di Jawa Timur dipilih Kabupaten Pasuruan, Gresik dan Kec
Kenjeran di Surabaya. Pada waktu survei di Gresik kebetulan belum ada produksi kerang
hijau. Usaha kekerangan di Jawa Timur cukup berkembang , terlihat dari banyaknya
pembudidaya maupun pengumpul kekerrangan baik laki-laki maupun perempuan. Mereka
tinggal sebagai masyarakat nelayan di tepi pantai dan banyak yang memiliki perahu sendiri,
hal ini menunjukkan bahwa usaha kekerangan meningkatkan kesejahteraan para nelayan .
Alat pengumpul kerang adalah garuk/garet, arad yang memakai jaring. Di Jawa Timur telah
direncanakan pula pengembangan budidaya kerang hijau di wilayah Tuban,
Menurut informasi dari pengumpul kerang, banyak pesanan dari luar negeri yaitu Cina
, Hongkong, dan Malaysia terutama kerang darah, oleh karena itu masyarakat nelayan
terutama mengharapkan bantuan modal untuk pengembangan usaha kekerangan.
Dampak Lingkungan
Salah satu persyaratan lokasi untuk budidaya kerang hijau adalah wilayah perairan
yang bebas pencemaran baik pencemaran domestik (limbah rumah tangga), maupun
limbah industri. Laut merupakan badan air terakhir yang akan menampung air limbah yang
berasal dari berbagai kegiatan. Akan tetapi melihat kepada lokasi habitat kekerangan
berada di perairan pantai dekat muara sungai, maka peluang untuk mendapat pencemaran
domestik maupun industri cukup besar. Menurut informasi untuk negara-negara yang masih
terbelakang dan sedang berkembang , pencemaran domestik mencapai 85% dari
pencemaran yang memasuki badan air, sedangkan di negara maju pencemaran domestik
hanya 15 % dari seluruh pencemaran .Menurut Clem (1973) dalam Slaby (1980)
163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
menyatakan bahwa biota laut yang mempunyai problem khusus karena dapat
mengakumulasi polusi biologis dan kimia adalah kekerangan.
Kehadiran mikroorganisme yang bersifat parasit atau patogen di perairan laut seperti
protozoa, bakteri jamur dan virus sangat tergantung pada kualitas air lingkungan yang
didiaminya. Biota laut yang terkontaminasi dapat sebagai vektor penyebab penyakit pada
biota lain dan juga pada manusia. Mikroba yang biasa terdapat pada kekerangan adalah
E.coli, Salmonella, Streptococcus, Staphylococcus, Shigella, Vibrio parahaemolitycus,
Vibrio algynoliticus, Micrococcus, Bacillus. Dampak yang dihawatirkan dari pencemaran
mikroba ini adalah penyakit pada manusia yang mengkonsumsinya seperti gastroenteritis,
kolera, typoid, paratyphoid, salmonellosis, virus hepatitis dan paralysis.
Penyakit-penyakit yang dihantarkan melalui pangan di Indonesia sudah menjadi
masalah yang serius tetapi sayang penyakit-penyakit ini masih dipandang sebagai masalah
biasa pada sebagian masyarakat menganggap keracunan pangan sebagai bagian hidup
normal dan dianggap salah makan. (Direktorat Keamanan Pangan Indonesia,2006). Pada
tahun 2005 konsumsi hewan seperti daging, susu, telur ikan dan hewan air lainnya
meningkat,
Oleh karena keberadaan mikroba patogen ini berbahaya bagi kesehatan manusia
maka sangat perlu diusahakan untu menanggulanginya. Usaha yang sedang dirintis oleh
pemerintah ialah pembangunan unit depurasi kekerangan di wilayah Panimbang,
Kabupaten Pandeglang. Sampai saat ini kegiatannya belum optimal karena produksi
kerangnya tidak berkesinambungan. dan jumlahnya sedikit dibandingkan dengan kapasitas
yang disediakan untuk depurasi.. Suatu penelitian depurasi kerang hijau skala laboratorium
telah dilakukan oleh Peranginangi et.al (1984) dan hasilnya menunjukkan bahwa sinsr ultra
violet sangat efektif menurunkan jumlah bakteri coliform dan E.coli dari kerang hijau dengan
sistem depurasi.
Selain pencemaran mikroba pencemaran lain yang menghawatirkan adalah
pencemaran industri berupa limbah logam berat seperti Cu (tembaga), Pb (Timbal), Cd
(Kadmium) dan Hg (raksa). Hasil analisa logam berat Cu, Pb, Cd, dan Hg pada kerang
hijau.
Tabel 1. Hasil analisa kandungan logam berat pada berbagai lokasi
164
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
(Surabaya)
6 Kab.Cirebn 6,5 9,5 1,0 2,0 0,17
7 Pangkep 6,0 5,3 1,1 0,5 0,012
Berdasarkan peraturan pangan yang boleh dikonsumsi batas kadar loam berat sbb.
Hg 0,5 ppm, Cd : 2 ppm , Pb 2 ppm dan Cu ;20 ppm (Direktorat Keamanan Pangan, 2004).
Dari data kerang yang disampling kadar logam beratnya masih dalam batas yang boleh
dikonsumsi.
Meskipun dari data logam berat masih aman tetapi karena lingkungan tempat
hidupnya terus menerus mendapat pencemaran sedangkan logam berat pada organisme
yang mengabsorpsinya mengalami pelipatan berkali-kali (biomagnification) ( Darmono,
1995) maka perlu diusahakan teknologi untuk pengurangan logam berat. Selain itu harus
ada pengalokasian budidaya kekerangan pada lokasi-lokasi yang jauh dari pencemaran.
Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengurangi pencemaran logam berat telah
dlakukan oleh Murtini et.al (.2004) yaitu dengan menggunakan larutan kitosan 1,5%
selama 3 jam.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Anonimous, 1977. The Phillipines Recomends for Mussels and Oyster. The Phillipines
Council for Agriculture and Resources research 25p
Anonimus, 1985. Buku Petunjuk Budidaya Kwerang Hijau (Perna viridis). MRD Project. ATA
:192. Deptan-JICA. Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai. Bojonegara.
165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Darmono , 1995. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup. Penerbit UI.140 p
Dinas Kelautan dan Perikanan 2006. Profile Budidaya Kerang Hijau di Kabupaten Cirebon.
Pemerintah Kabupaten Cirebon. DKP. 8 p
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004. Budidaya Kerang Hijau 9Perna viridis).
Petunjuk Teknis Budidaya Laut.29 p
Hutagalung, H.P, Setia permana,d dan Riono,s.H. 1997. Metode analisa air laut, sedimen
dan biota. Oceanologi buku.2. Puslitbang Oseanologi LIPI, 182p.
Ismail, W dan R.. Andamari.1983. Budidaya kerang hijau dan permasalahannya. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1 (2) ;65-67
Ismail, W, Endang Pratiwi dan Wedjatmiko, 2002 perubahan kerang hijau di Perairan Muara
Kamal, Jakarta P 6-9.
Murdinah, 2002. Tepung Kerang hijau. Kumpulan Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan
Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, hal
165-167.
Murtini, J.T; Hedi Indra Januar dan Sugyono 2004. Upaya Pengurangan Cemaran Logam
berat pada Daging kerang hijau (Perna viridis) dengan laruan kitosan. Jurnal
penelirian perikanan Indonesia volume 10 No 3 tahun 2004.
Peranginangin, R; Sumpeno Putro; suyuti Nasim dan Jovita Tri Murtini 1984. Depurasi
Kerang Hijau (Mytilus viridis). Laporan Penelitian Teknologi Perikanan . Jakarta
p.17-26.
Slaby, B.M. 1980. Storage and Processing of mussels. In Mussels culture and harvest in
North American (Persfectif Lutz R.A). Elsevier Scientific Publishing Company
Amsterdam. P.247-265.
Unaor,M, M Fatnahri and Retno Andamari 1982 Bivalve Celture In Indonesia In. Bivolve
Culture in Asia and the Pasifik Procediy of a Worksh of held in Singapure 16-19
February 1982 . Edit ( Brian Davy.F and Michall Grda.J.) p .44-46
166
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Suryaningrum,T,D, Rosmawaty Peranginangin dan Dian Sutomo 1984, penelitian mutu dan
daya awet kerang hijau ( Mytilus Viridis ,L) rebus selama pembekuan. Laporan
penelitian teknologi perubahan. Balai Penelitian Teknologi Perikanan, P 11-16.
Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara 1985. Buku Petunjuk Budidaya Kerang
Hijau (Perna viridis). Kerja sama Deptan- JICA . 15 p
Vakily, J.M. 1989. The Biology and Culture of Mussels of the Genus Perna. ICLARM.
Manila. Phillipines. 63p
167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL B8
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Lorjuk (Solen vaginalis) merupakan salah satu spesies pelecypoda dari Phylum
Moluska yang khas yang hidup di Pantai Timur Surabaya. Lorjuk dimanfaatkan sebagai
makanan sumber protein yang disajikan dalam bentuk segar atau dikeringkan sebagai
makanan ringan. Dengan adanya lorjuk yang didapatkan hanya pada musim-musim
tertentu, pendapatan nelayan di sekitar Pantai Timur Surabaya relatif meningkat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor lingkungan yang berpengaruh
pada keberadaan lorjuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa habitat lorjuk berada pada
pantai yang mengalami pasang surut diurnal, dan pengambilan lorjuk dilakukan pada saat
surut dengan menggunakan keruk (sendok) atau cangkul. Lorjuk menyukai tekstur pasir
berlumpur dengan kandungan bahan organik rata-rata 24.8 ppm, pH tanah 4.07, dan logam
berat Cd yang terkandung sebesar 0.34 ppm. Pb sebesar 0.724 ppm dan Hg tidak
terdeteksi. Kualitas air laut terukur rata-rata Oksigen terlarut 4.7 ppm, pH air 8.0, suhu 27
o
C, salinitas 28 o/oo, kandungan lemak dan minyak 13.32 ppm dan kekeruhan 13.32 NTU.
Pada habitat yang sama juga ditemukan spesies lain yaitu kupang putih (Corbula faba),
tebalan (Lingula unguis), kerang glatik (Litorina melanostum).
Pendahuluan
Sumberdaya perairan laut meliputi sumberdaya yang dapat pulih maupun yang tidak
dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih berasal dari kelompok vertebrata, avertebrata
atau rumput laut, umumnya dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pangan, sumber
bahan baku industri farmasi dan kosmetik serta sebagai sumber plasma nutfah. Pada
kelompok avertebrata, phylum Moluska merupakan phylum yang sebagian besar spesies
yang termasuk didalamnya dimanfaatkan sebagai makanan, salah satunya adalah lorjuk
(Solen vaginalis), yaitu spesies dari kelas Pelecypoda
Lorjuk (solen vaginalis) merupakan spesies yang sangat khas yang hidup di Pantai
Timur Surabaya. Selain itu juga bisa ditemukan di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten
Bangkalan, Madura. Lorjuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan sumber protein maupun
disajikan sebagai makanan ringan.
Sebagai spesies yang hidup pada wilayah pantai yang mengalami pasang surut
secara berkala, keberadaan lorjuk sangat tergantung pada musim Sebagai benthos, lorjuk
168
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
sangat tergantung pada habitatnya yaitu substrat dasar pantai dan kondisi oceanografis
dari perairan sekitarnya.
Nelayan umumnya mengumpulkan lorjuk dengan menggunakan alat semacam keruk
(sendok) atau menggunakan cangkul. Pada penggunaan keruk, untuk mengambil lorjuk
dibantu dengan lidi yang diberi tuba yaitu campuran dari sabun dan kapur. Pengambilan
dilakukan pada saat pantai mengalami surut. Pada saat musim panen, harga lorjuk pada
kondisi basah berkisar antara Rp 6.000 – Rp 8.000 per kg, sedangkan pada saat paceklik
bisa mencapai harga Rp 10.000 – Rp. 12.000 per kg. Jika dikeringkan, harga lorjuk
mencapai Rp. 180.000 – Rp 200.000 per kg.
Mengingat lorjuk cukup memberikan pendapatan yang nyata pada para nelayan di
Pantai Timur Surabaya, maka pengkajian terhadap lorjuk sebagai salah satu sumber bahan
pangan yang bernilai ekonomis tinggi perlu dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap kelimpahan lorjuk, meliputi kondisi oceanografis dan substrat dasar.
Penelitian ini masih bersifat pendahuluan dan merupakan bagian dan rangkaian dari
Penelitian Fundamental atas biaya dari DIKTI tahun anggaran 2007/2008, sehingga data
yang terkumpul masih merupakan data awal yang dimulai pada bulan April – Juni 2007.
Metode penelitian bersifat survai, yaitu pengamatan langsung dilakukan di lapangan.
Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada 3 lokasi sepanjang Pantai Timur Surabaya.
Stasiun pengamatan terletak pada posisi geografis (x,y) yang ada pada citra satelit,
ditentukan dengan menggunkan GPS (Global Positioning System).
Pengumpulan data meliputi perhitungan kepadatan lorjuk per transek dan spesies
benthos lain yang ditemukan dalam transek. Pengamatan lorjuk dilakukan dengan
menggunakan transek kuadrat berukuran 31,6 X 31,6 cm (Soegianto, 1994). Pengukuran
faktor lingkungan meliputi tekstur tanah, pH tanah, bahan organik, kandungan logam berat
pada tanah serta kondisi oeceanografis perairan yaitu suhu air, pH air, salinitas, kekeruhan,
oksigen terlarut serta kandungan lemak dan minyak air laut yang dilakukan setiap bulan
sekali. Untuk mengetahui kandungan gizi pada lorjuk, dilakukan pula analisa proksimat.
169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dari beberapa sungai yang mengalir sepanjang pantai Timur ini, maka pantai yang dekat
dengan muara sungai mempunyai substrat dasar lumpur dan yang jauh dari muara
mempunyai substrat campuran pasir dan lumpur. Luas pantai kurang lebih 3.129 ha ini, 80
% merupakan rawa payau yang terpengaruh pasang surut air laut, menjadikan kawasan
Pantai Timur ini memiliki beberapa keanekaragaman benthos yang khas, diantaranya lorjuk
(Solen Vaginalis) dan kupang (Corbula faba).
Dari hasil analisa diatas diperoleh gambaran bahwa lorjuk mempunyai kandungan
protein yang cukup, tetapi kandungan lemaknya juga cukup tinggi. Kadar air yang tinggi
merupakan penyebab tingginya konversi lorjuk dari kondisi basah ke kondisi kering. Rata-
rata dari 1000 gr lorjuk basah, dapat dihasilkan 200 gr lorjuk kering. Kandungan logam
berat yang terdapat pada lorjuk masih dalam batas toleransi untuk dikonsumsi manusia.
Sebagai perbandingan, hasil penelitian Wulansari (2006), mendapatkan kandungan nilai Pb
pada lorjuk di Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Madura mempunyai nilai 0.5698
mg/kg.
Kepadatan lorjuk dan moluska lain yang ditemukan pada stasiun pengamatan
tercantum pada tabel 2.
Lokasi pengambilan pada stasiun 1 berada pada daerah Sukolilo. Di daerah ini pada
2 tahun yang lalu masih banyak ditemukan lorjuk, tetapi saat ini lorjuk tidak didapatkan
sama sekali. Penyebab utama karena adanya kapal pengeruk pasir yang beroperasi di
pinggir pantai yang bertujuan untuk memperdalam pantai akibat pendangkalan. Hasil
kerukan pasir yang ditempatkan langsung di pinggir pantai menyebabkan habitat lorjuk
tertutupi.
170
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan di perairan dan substrat dasar yang terpantau selama penelitian
dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa lorjuk
menyukai habitat substrat pasir berlumpur dengan kandungan bahan organik rata-rata 24.8
ppm. pH tanah dasar rata-rata 4.07 termasuk pada kondisi tanah cenderung asam. Hal ini
disebabkan karena pantai Timur Surabaya substrat dasarnya banyak bercampur dengan
sampah sehingga terjadi proses penguraian zat-zat organik yang tinggi. Letak pantai ini
memang dekat dengan pemukiman nelayan, sehingga limbah rumah tangga banyak
tertumpuk di tepi pantai. Dalam jumlah besar, juga dijumpai pecahan cangkang dari
berbagai jenis makroinvertebrata. Rendahnya pH pada substrat dasar menunjukkan bahwa
171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
makroinvertebrata dapat bertoleransi pada pH asam. Kandungan logam berat yang ada di
substrat masih dalam batas toleransi.
Tabel 3. Parameter terukur selama penelitian
Parameter Bulan
April Mei Juni
St 1 St 2 St 3 St 1 St 2 St 3 St 1 St 2 St 3
o
Suhu C 30 28 29 30 28 29 29 30 30
Salinitas o/oo 28 28 27 27 26 27 28 28 27
pH air 8 8 8 8 8 8 8 8 8
Oksigen terlarut 4.72 4.45 4.91 4.72 4.42 4.90 4.70 4.60 4.82
(ppm)
Kekeruhan (NTU) 34.4 35.3 30.1 35.5 32.4 31.1 34.0 33.8 35.3
Minyak, lemak 13.5 13.5 13.3 13.3 13.6 14.0 13.6 13.2 13.6
(ppm)
Bahan organik 24.3 25.4 25.2 24.3 25.6 24.8 24.8 25. 24.2
(ppm)
pH tanah 4.00 3.98 4.00 3.99 4.10 4.00 4.00 4.32 4.22
Logam berat Cd 0.084 0.039 0.027 0.062 0.053 0.069 0.055 0.063 0.062
(ppm)
Logam berat Pb 0.567 0.724 0.638 0.436 0.852 0.852 0.589 0.737 0.850
(ppm)
Logam berat Hg 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
(ppm)
Kondisi kualitas air yang terukur mempunyai nilai yang masih dalam batas toleransi
yang layak, kecuali tingkat kekeruhan yang relatif tinggi, akibat tinggginya padatan
tersuspensi di perairan. Kandungan minyak dan lemak terukur berada pada kondisi relatif
kurang baik, akibat adanya kapal-kapal nelayan yang melakukan bongkar muat di pantai.
Kesimpulan
Lorjuk (Solen vaginalis) merupakan spesies yang khas dari kelas pelecypoda yang
hidup di Pantai Timur Surabaya. Keberadaan lorjuk dipengaruhi oleh faktor lingkungan
berupa substrat dasar pasir berlumpur, dan mampu bertoleransi pada pH rendah. Kondisi
oceanografis turut bepengaruh terhadap keberadaan lorjuk, dan lorjuk juga dapat
bersuksesi dengan spesies lainnya yaitu kupang (Corbula faba).
Daftar Pustaka
Anggoro, S. 1984. Distribusi dan Kelimpahan Molluska. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Barnes, R.D. 1980. Invertebrate Zoology. Fourth Edition. W.B. Sounders. New
York.
172
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kupang
173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Lorjuk
174
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B9
_________________________________________________________________________________________
Abstrak
Perairan Teluk Jakarta selain memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup
besar, beragamnya aktivitas manusia seperti sektor industri, pertanian, perhubungan,
pembuangan sampah, maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya menyebabkan wilayah
ini menerima beban pencemaran yang cukup berat. Dalam lingkungan yang dinamis,
analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas bentos dapat memberikan gambaran
yang jelas tentang kualitas perairan. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005
dan Juni 2006 di 23 stasiun yang terbagi menjadi 4 zona. Tujuan penelitian adalah
mengkaji struktur komunitas makrozoobentos meliputi komposisi jenis, kepadatan, indeks
keanekaragaman, keseragaman dan dominansi serta kondisi perairan dasar meliputi
kedalaman, kecerahan, suhu, salinitas, DO, pH, BOD, ammonia, TSS, kecepatan arus dan
tekstur substrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makrozoobentos bulan September
2005 didapat 61 genus dan Juni 2006 didapat 55 genus didominasi oleh kelas Gastropoda,
Bivalva, dan Polychaeta. Kepadatan total dari kedua pengamatan hampir sama dan
terkonsentrasi pada zona D, berkisar antara 1,3x103-173.0x103 ind/m2 (September 2005)
dan bulan Juni 2006 mengalami peningkatan berkisar 25-214,4x103 ind/m2. Indeks
keanekaragaman bulan September 2005 dan Juni 2006 tidak mengalami perbedaan yang
cukup besar berkisar 0,05 – 3,05 dan 0,00-3,34. Nilai ini termasuk kategori rendah hingga
tinggi yang mengindikasikan perairan tersebut mengalami tercemar berat hingga tercemar
sangat ringan. Indeks keseragaman bulan September 2005 dan Juni 2006 berkisar 0,02-
0,70 dan 0,00-0,94 artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama. Indeks
dominansi berkisar 0,20-0,99 dan 0,11-1,00 dengan kategori dominansinya rendah sampai
dengan tinggi yang berarti bahwa di beberapa stasiun pengamatan ada jenis
makrozoobentos yang dominan (Donax sp.) dan di beberapa stasiun lain penyebaran
jenisnya merata. Secara umum, parameter perairan Teluk Jakarta relatif cukup mendukung
untuk kehidupan makroozoobentos namun kandungan ammonia memiliki nilai yang
melebihi baku mutu untuk kehidupan biota laut dan nilai DO yang rendah. Tipe substrat
Teluk Jakarta didominasi oleh substrat berliat dan kecepatan arus cenderung lemah.
Pendahuluan
Wilayah Teluk Jakarta terletak di sebelah utara kota Jakarta. Kedalamannya yang
memiliki rata-rata 15 m dengan luas sekitar 514 km2 menyebabkan Teluk Jakarta ini dapat
dikategorikan sebagai perairan dangkal. Di teluk ini bermuara 13 sungai diantaranya sungai
Cisadane di bagian barat, sungai Ciliwung di bagian Tengah serta sungai Citarum dan
sungai Bekasi di bagian timur.
Perairan Teluk Jakarta memiliki potensi sumberdaya perairan dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat penting. Sumberdaya perairan diantaranya biota laut perairan,
175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
hutan mangrove, dan terumbu karang; sedangkan jasa-jasa lingkungan meliputi sektor-
sektor industri, pertambangan, perhubungan, perikanan dan kependudukan. Teluk Jakarta
selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktivitas manusia menyebabkan wilayah
ini paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya
penurunan kualitas perairan dan mempengaruhi keanekaragaman mikroorganisme,
vertebrata, dan invertebrata yang hidup di dasar perairan seperti makrozoobentos (Millero
dan Sohn, 1992).
Menurut Romimohtarto & Juwana (2005) komunitas fauna bentik atau zoobentos
terdiri dari Mollusca, Polychaeta, Crustacea, Ehinodermata dan kelompok lain yang terdiri
dari beberapa takson kecil seperti Sipunculidae, Pogonophora dan lain-lain. Bentos
merupakan salah satu parameter biologi yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas
perairan karena hidupnya relatif menetap, tidak bermigrasi walaupun ada perubahan
kondisi lingkungan, mudah diambil, dan sensitif terhadap polusi organik.
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan
analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Pada perairan yang dinamis, analisis
fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan dan
dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena
kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi oleh keadaan sesaat. Bourdeau and
Tresshow dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis, analisis
biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos (komposisi, kepadatan,
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi), dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang kualitas perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas
makrozoobentos serta kondisi perairan di Teluk Jakarta
Alat yang digunakan dalam penentuan stasiun pengambilan contoh adalah GPS
(Global Positioning System). Pengambilan contoh air digunakan Botol Nansen serta
pengambilan substrat dasar dan makrozoobentos digunakan Ekman Grab.
176
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh air, substrat dasar, hewan
makrozoobentos, larutan rose bengal, alkohol 70%, dan formalin 4% untuk mengawetkan
contoh makrozoobentos. Pengambilan makrozoobentos dianalisis dari substrat atau lumpur
dengan menggunakan alat Ekman grab dengan luas bukaan alat 20x20 cm. Setelah
diawetkan, identifikasi contoh makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Biologi BRPL-
Jakarta dengan buku identifikasi dari Kastoro (1982), Abbot (1982), dan Habe & Kosuge
(1966).
Pengukuran beberapa parameter fisika-kimia seperti kedalaman, suhu, salinitas,
kecerahan, kecepatan arus, dan pH dilakukan secara in situ, oksigen terlarut (DO) dan tipe
substrat dilakukan di Laboratorium BRPL-Jakarta sedangkan BOD, ammonia, dan padatan
tersuspensi total (TSS) dilakukan di Laboratorium BPLHD-DKI Jakarta. Analisis tekstur
substrat hanya dilakukan satu kali pengamatan yaitu pada bulan September 2005.
Penentuan komposisi substrat ditentukan dengan menggunakan segitiga tekstur tanah
yang memperlihatkan persentase liat (< 0,053 μm), debu (0,053-0,50 μm), dan pasir (0,50 -
1,00 μm).
177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
A4, A5, A6, dan A7 ; Zona B yaitu perairan berjarak 10-15 km dari pantai sebanyak 7
stasiun terdiri dari stasiun B1, B2, B3, B4, B5, B6, dan B7 ; Zona C yaitu perairan berjarak
5-10 km dari pantai sebanyak 5 stasiun terdiri dari stasiun C2, C3, C4, C5, dan C6 ; Zona D
yaitu perairan berjarak 5 km dari pantai sebanyak 4 stasiun terdiri dari stasiun D3, D4, D5,
dan D6.
Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas (Krebs, 1972) dengan formulasi sebagai
berikut :
10.000 xNi
Κ=
A
Keanekaragaman (H’)
S
H ' = −∑ ( pi)( log2 pi) pi = ni/N= 1,2,3,...,S
i =1
Keseragaman (E)
Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi individu tiap
spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus Indeks keseragaman dinyatakan
sebagai berikut :
178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
H '
E =
H max
S = Jumlah genus.
Nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0-1. Indeks Keseragaman mendekati
nilai 0, maka dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominansi spesies yang
disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila indeks
keseragaman mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam
kondisi yang relatif mantap, yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama.
Dominansi (D)
Untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari spesies tertentu digunakan Indeks
Dominansi Simpson yaitu :
S S 2
D = ∑ ( pi ) = ∑ (ni / N )
2
i =1 i =1
S = Jumlah taksa.
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Jika indeks dominansi mendekati 0, berarti
hampir tidak ada individu yang mendominansi dan biasanya diikuti dengan indeks
keseragaman yang besar. Apabila indeks dominansi mendekati 1, berarti ada salah satu
genera yang mendominasi dan nilai indeks keseragaman semakin kecil (Odum, 1971).
179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
kedalaman perairan Teluk Jakarta di dekat pantai umumnya kurang dari 10 meter, namun
lebih ke tengah bisa mencapai 10-30 meter. Kecerahan air umumnya kurang dari 15 m,
dengan kisaran 1,50-12,30m (September 2005) dan 1,50-7,00 m (Juni 2006).
Nilai suhu bulan September 2005 dan Juni 2006 tidak menunjukkan adanya
perbedaan secara spasial (lokasi pengamatan) dan temporal (waktu pengamatan)
walaupun terdapat variasi dalam kisaran yang sempit tidak mengalami perubahan yang
berarti, masing-masing berkisar antara 29,00-30,28ºC dan 29,22-30,92ºC, temperatur
perairan pada kisaran ini masih mendukung proses metabolisme organisme yang hidup di
dalamnya (Nybakken, 1999).
Demikian pula kondisi salinitas dari kedua pengamatan nilainya tidak berbeda berkisar
antara 29,00-34,00‰. Salinitas tinggi bulan September di stasiun B5, B6, D3, dan D5
sebaliknya terendah di stasiun B1, sedangkan bulan Juni 2006 salinitas tertinggi di stasiun
A3, A4, A5, A6 sebaliknya terendah di stasiun C2. Secara umum, nilai salinitas perairan
Teluk Jakarta, semakin ke arah darat nilainya cenderung menurun karena letaknya dekat
dengan muara sungai dimana pengaruh masukan air tawar dari aliran sungai lebih besar.
Nilai pH yang diperoleh bulan September 2005 berkisar 7,34-8,13 dan bulan Juni 2006
berkisar 7,76-8,50. Menurut Kep. MNLH No.51 tahun 2004, nilai pH ini masih layak untuk
kehidupan biota laut.
Kandungan oksigen terlarut pengamatan bulan september mengalami fluktuasi
berkisar antara 0,96-4,06 mg/l. Stasiun C2 memiliki kandungan DO terendah sebaliknya
stasiun A5 merupakan stasiun dengan kandungan DO tertinggi. Pengamatan bulan Juni
2006 berkisar antara 2,53-5,88 mg/l. DO terendah di stasiun B1 sebaliknya tertinggi di
stasiun D5. Secara keseluruhan, nilai DO di Perairan Teluk Jakarta relatif lebih rendah dari
kisaran baku mutu yang telah ditetapkan oleh Kep. MNLH No. 51 tahun 2004 untuk
kehidupan biota laut (lebih tinggi dari 5 mg/l), namun ada beberapa stasiun yang memiliki
nilai DO diatas baku mutu yaitu stasiun D3 dan D4 (September 2005) dan stasiun A2, C2,
C5, D5, dan D6 (Juni 2006).
Nilai BOD5 yang diperoleh bulan September 2005 berkisar antara 24,8 (stasiun A5)
hingga 93,1 mg/l (stasiun C2) dan pada bulan Juni 2006 berkisar antara 25,90 (stasiun C3)
hingga 64,00 mg/l (stasiun C6). Berdasarkan Kep. MNLH No. 51 tahun 2004, nilai ini
melebihi baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan (20 mg/l). Nilai TSS bulan
September 2005 berkisar antara 3,0 mg/l (stasiun A3, B5, C4, dan C6) hingga 17,0 mg/l
(stasiun D5) sedangkan pengamatan bulan Juni 2006 berkisar antara 2,0 mg/l (stasiun A2
dan A3) hingga 7,0 (stasiun B7). Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut (MNLH,
2004) nilai TSS perairan Teluk Jakarta masih di bawah nilai ambang baku mutu (coral 20
mg/l, bakau 80 mg/l dan lamun 20 mg/l).
180
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Nilai ammonia yang diperoleh bulan September 2005 berkisar antara 0,03 mg/l
(stasiun A4) hingga 0,63 mg/l (stasiun B6) sedangkan bulan Juni 2006 berkisar antara
0.026 (stasiun B4) hingga 0.541 (stasiun C2). Berdasarkan penelitian sebelumnya (BPLHD,
1999), kandungan ammonia perairan Teluk Jakarta mengalami peningkatan (<0,001-0,38
mg/l). Nilai ammonia yang melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Kep. MNLH tahun
2004 dengan kadar ammonia 0,3 mg/l pengamatan September 2005 adalah stasiun B1, B5,
B6, C2, dan D5 sedangkan pengamatan Juni 2006 adalah stasiun C2.
Kecepatan arus pengamatan bulan September (musim barat) berkisar antara 0,03 m/s
(stasiun B1) hingga 0,45 m/s(stasiun A4). Pengamatan bulan Juni 2006 (musim peralihan
II) kecepatan arus berkisar antara 0,03 (stasiun B7 dan C2) hingga 0,29 m/s (stasiun A1).
Pada umumnya kecepatan arus Teluk Jakarta termasuk dalam kategori berarus lambat
sehingga partikel yang mengendap di dasar perairan adalah lumpur halus dengan tipe
substrat berliat.
Tipe substrat di Teluk Jakarta didominasi oleh substrat berliat (Lampiran 2). Tipe
substrat ini hampir serupa dengan penelitian sebelumnya di Teluk Jakarta pada tahun 2003
(Prihatiningsih, 2004). Tipe substrat yang diperoleh adalah liat, liat berpasir, lempung liat
berpasir dan berliat. Stasiun B1 memiliki tipe substrat berpasir, stasiun D5 liat berpasir,
stasiun A1 dan D6 lempung liat berpasir, sedangkan stasiun lainnya (19 stasiun) memiliki
tipe substrat berliat diduga penyebabnya adalah pengendapan sedimen bawaan dari
berbagai sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta yang terbawa arus dasar. Hal ini didukung
oleh Ongkosongo (1980) bahwa substrat dasar perairan estuari seperti Teluk Jakarta
umumnya didominasi oleh lumpur berpasir atau pasir berlumpur.
Komposisi Makrozoobentos
Hasil identifikasi terhadap makrozoobentos dari 23 stasiun pada bulan September
2005 didapat 4 filum (Mollusca, Arthopoda, Decapoda, dan Annelida), 7 kelas dan 61
genus. Komposisi makrozoobentos berdasarkan kelas berturut-turut dari tertinggi hingga
terendah adalah Gastropoda (39,34%), Bivalva (26,23%), dan Polychaeta (24,59%),
sedangkan kelas yang lainnya memiliki komposisi kurang dari 5,00% (Gambar 2a).
Sama halnya dengan makrozoobentos yang teridentifikasi pada bulan Juni 2006
terdiri dari 4 filum (Mollusca, Arthopoda, Decapoda, dan Annelida), 5 kelas dan 55 genus.
Komposisi makrozoobentos berdasarkan kelas berturut-turut adalah Gastropoda (35,71%),
Bivalva (32,14%), dan Polychaeta (26,79%), sedangkan kelas yang lainnya memiliki
komposisi kurang dari 5,00% (Gambar 2b). Ketiga kelas tersebut merupakan kelompok
organisme ciri khas dari kelas bentik estuaria karena memiliki kemampuan adaptasi yang
sangat baik terhadap perairan estuari yang sangat fluktuatif (Nybakken, 1999). Selain itu,
181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
tipe substrat berliat hampir pada semua stasiun pengamatan turut memberi andil adanya
dominansi kelas bivalva.
Genus Donax sp, Codakia sp, Tuttitella, dan Tellina sp dari filum Mollusca pada kedua
pengamatan tampak menempati pada hampir seluruh stasiun, indikasi ini menunjukkan
bahwa makrozoobentos tersebut mempunyai penyebaran paling luas. Mollusca merupakan
salah satu filum yang memiliki anggota paling banyak diantara anggota organisme perairan
lainnya (80.000 spesies hidup dan 35.000 spesies fosil) (Barnes, 1999).
Hasil evaluasi jumlah genus setiap stasiun pada bulan September 2005 menunjukkan
nilai yang bervariasi dengan kisaran 4-23 jenis. Jumlah jenis terendah ditemukan pada
stasiun D5 dan D6 sebaliknya jumlah jenis tertinggi pada stasiun B5 dan A3, sedangkan
pada bulan Juni 2006 jumlah genus berkisar antara 1-24 jenis. Jumlah jenis terendah
ditemukan pada stasiun B3 sebaliknya jumlah jenis tertinggi pada stasiun C2 (Gambar 3)
Kom posisi kelas (%) m akrozoobentos pada Kom posisi kelas (%) m akrozoobentos pada
bulan Septem ber 2005 bulan Juni 2006
3.28%
1.64% 26.79%
Bivalva 32.14%
26.23% Gastropoda
24.59% Malacostraca Bivalva
Crustacea
Gastropoda
Polychaeta
3.28% 3.57% Malacostraca
Pterigota
Oligochaeta 1.79% Crustacea
1.64%
Polychaeta
39.34% 35.71%
a. b.
Gambar 2. Diagram komposisi makrozoobentos di perairan Teluk Jakarta
(a) Pengamatan pada bulan September 2005; (b) Pengamatan pada bulan Juni 2006.
30
25
20
Jumlah genus
15
10
0
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6
Stasiun
Sep-05 Jun-06
Gambar 3. Variasi jumlah genus makrozoobentos di Perairan Teluk Jakarta pada bulan
September 2005 dan Juni 2006.
182
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kepadatan Makrozoobentos
Kepadatan makrozoobentos pada bulan September 2005 menunjukkan nilai
bervariasi yakni berkisar 1,3x103-173.0x103 ind/m2 sedangkan pada bulan Juni 2006
berkisar antara 25-214,4x103 ind/m2. Kepadatan tertinggi pada bulan September 2005
terletak pada stasiun D3 sebaliknya terendah pada stasiun A7, sedangkan pengamatan
pada bulan Juni 2006 kepadatan tertinggi terletak pada stasiun D4 sebaliknya terendah
pada stasiun B3 (Gambar 4).
Secara keseluruhan di perairan Teluk Jakarta, filum yang mendominasi adalah filum
Mollusca dan genus yang mendominasi adalah Donax sp. (September 2005 sebesar
85,10% dan Juni 2006 sebesar 78,95%) dari total kepadatan makrozoobentos yang
ditemukan. Dapat dikatakan bahwa kepadatan makrozoobentos dari kedua pengamatan
relatif tidak mengalami perbedaan yang cukup besar. Kepadatan makrozoobentos tinggi
pada stasiun D3 dan D4 (zona D) karena pada stasiun ini dekat dengan pantai dan
beberapa sungai bermuara ke perairan ini diantaranya sungai Cilincing, Muara Karang, dan
Muara Ancol dimana terdapat masukan air tawar dan nutrien sebagai sumber makanan
sehingga Donax sp dari kelas bivalva mendominasi dan kepadatan bertambah.
Berdasarkan habitat hidupnya, kepadatan bivalva tinggi pada zona D disebabkan
karena substrat pada stasiun ini didominasi oleh tipe substrat liat hingga lempung. Tipe
substrat berliat cenderung untuk mengakumulasi bahan organik sehingga cukup banyak
makanan yang potensial, keadaan ini menyebabkan tingginya kepadatan makrozoobentos.
Organisme yang dominan aalah Bivalva, Gastropoda, dan Polychaeta, hal ini disebabkan
karena organisme tersebut merupakan organisme yag cukup baik dalam beradaptasi
terhadap kondisi substrat dasar perairan.
Menurut Fretter (1968), kelas bivalva beradaptasi dengan menggali pada substrat
lunak. Barnes dan Hughes (1999) mengemukakan bahwa kelas bivalva memiliki kaki yang
dapat membuat liang dan rongga mantel luas, insang besar, serta sifon yang panjang untuk
makan dan bernafas di dalam substrat dan menurut Morris (1951), Bivalva dapat hidup
dengan baik pada wilayah pasang surut dekat dengan pantai. Donax sp memiliki cangkal
kecil yang kuat sehingga dapat mempertahankan kadar air dalam tubuhnya (Webber dan
Thurman, 1991).
183
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
dengan beberapa muara di Teluk Jakarta (zona D) nilainya relatif menurun. Indeks
keanekaragaman yang relatif rendah di Teluk Jakarta ini juga hampir sama kondisinya
dibandingkan dengan perairan lain seperti di Selat Malaka (Suprapto, 2004). Pengamatan
bulan Juni 2006, indeks keanekaragamannya juga bervariasi berkisar antara 0,00 (stasiun
B3) hingga 3,34 (stasiun A7) bila mengacu kriteria Lee, et. al., (1978) perairan ini termasuk
kategori tercemar berat hingga tidak tercemar.
250,000
200,000
Kepadatan (ind/m2)
150,000
100,000
50,000
0
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6
Stasiun
Sep-05 Jun-06
Indeks keseragaman (E) yang diperoleh pengamatan september 2005 berkisar antara
0,02 (stasiun D6) hingga 0,70 (stasiun A7) sedangkan pengamatan bulan Juni 2006
berkisar antara 0,00 (stasiun B3) hingga 0,94 (stasiun A6). Rendahnya nilai keseragaman
pada stasiun D6 ( 4 jenis) dan B3 (1 jenis) disebabkan karena mempunyai perbedaan jenis
dan jumlah individu yang tidak seimbang. Nilai keseragaman pada stasiun A7 dan A6 lebih
tinggi, yang artinya penyebaran individu relatif sama atau seragam. Dengan demikian
bahwa indeks keseragaman dari darat (Zona D) ke arah laut (Zona A) cenderung
meningkat yang diduga berhubungan dengan kondisi parameter fisika - kimia perairan dari
darat ke arah laut cenderung homogen, dimana makin ke arah laut pengaruh dari daratan
atau aktivitas manusia relatif kecil. Hal ini ditandai dengan nilai ammonia stasiun A7 (0,08 ;
0,06 mg/l) dan TSS stasiun A6 ( 10,0 ; 5,0 mg/l) cenderung lebih kecil dibandingkan dengan
stasiun-stasiun lainnya.
Indeks dominansi berbanding terbalik dengan indeks keseragaman. Indeks
dominansi (D), pengamatan bulan September 2005 berkisar antara 0,20 (stasiun B5)
hingga 0,99 (stasiun D6) sedangkan pengamatan bulan Jui 2006 berkisar antara 0,11
(Stasiun A7) hingga 1,00 (stasiun B3). Tingginya indeks dominansi pada stasiun D6
disebabkan karena adanya dominansi oleh spesies tertentu yaitu Donax sp. dari kelas
184
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Bivalva, dimana genus tersebut memiliki kepadatan cukup tinggi dibandingkan dengan
spesies lain dan hampir ditemukan di seluruh stasiun pengamatan, sedangkan pada stasiun
B3 (juni 2006) jumlah jenis yang ditemukan hanya1 genus yaitu Donax sp.
Dapat dikatakan bahwa indeks dominansi makrozoobentos dari laut (Zona A) ke arah
darat (Zona D) nilainya cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa penyebaran
jumlah individu atau jenis tidak sama atau tidak merata, terdapat dominansi jenis
makrozoobentos tertentu sehingga dapat dikatakan bahwa struktur komunitas
makrozoobentos di perairan Teluk Jakarta mengalami gangguan dari kondisi normal suatu
perairan.
Indeks keanekaragam an (H'), keseragam an (E), dan dom inansi (D) perairan
Teluk Jakarta pada bulan Septem ber 2005
3.50
3.00
2.50
Nilai Indeks
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6
Stasiun
Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman (E) Indeks Dominansi (D)
Gambar 5. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi perairan Teluk
Jakarta pada bulan September 2005.
Indeks Keanekaragam an (H'), keseragam an (E), dan dom inansi (D) di perairan
Teluk Jakarta pada bulan Juni 2006
4.00
3.50
3.00
Nilai indeks
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C2 C3 C4 C5 C6 D3 D4 D5 D6
Stasiun
Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman (E) Indeks Dominansi (D)
Gambar 6. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi perairan Teluk
Jakarta pada bulan Juni 2006.
185
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kesimpulan
1. Pengamatan bulan September 2005, makrozoobentos yang didapat 61 genus
sedangkan pada bulan Juni 2006 didapat 55 genus. Komposisi kelas yang
mendominasi adalah Gastropoda, Bivalva, dan Polyvhaeta. Genus yang mendominasi
adalah Donax sp, Codakia sp, Tellina sp (Bivalva), dan Tuttitella (Gastropoda).
2. Kepadatan makrozoobentos bulan September 2005 berkisar 1,3x103-173.0x103 ind/m2
sedangkan pada bulan Juni 2006 mengalami peningkatan berkisar 25-214,4x103 ind/m2.
Kepadatan makrozoobentos dari kedua pengamatan terkonsentrasi pada zona D.
3. Indeks keanekaragaman bulan September 2005 dan Juni 2006 tidak mengalami
perbedaan yang cukup besar berkisar 0,05 – 3,05 dan 0,00-3,34. Nilai ini termasuk
kategori rendah hingga tinggi yang mengindikasikan perairan tersebut mengalami
tercemar berat hingga tercemar sangat ringan.
4. Indeks keseragaman bulan September 2005 dan Juni 2006 berkisar 0,02-0,70 dan
0,00-0,94 artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama. Indeks dominansi
berkisar 0,20-0,99 dan 0,11-1,00 dengan kategori dominansinya rendah sampai dengan
tinggi yang berarti bahwa di beberapa stasiun pengamatan ada jenis makrozoobentos
yang dominan (Donax sp.) dan di beberapa stasiun lain penyebaran jenisnya merata.
5. Secara umum, parameter perairan Teluk Jakarta relatif cukup mendukung untuk
kehidupan makroozoobentos namun kandungan ammonia memiliki nilai yang melebihi
baku mutu untuk kehidupan biota laut dan nilai DO yang rendah. Tipe substrat Teluk
Jakarta didominasi oleh substrat berliat dan kecepatan arus cenderung lemah.
Daftar Pustaka
Abbot, T.R. and Dance, S.P. 1982. Compendium of seashells, A full colour guide to more
than 4.200 of The world marine shells, E.P.Duta Inc., New York, 410 pp.
Butler, G. C. 1978. Principles of ecotoxicology scope 12. John Willey and Sons. New York.
Fretter, V. (Editor). 1968. Studies in the structure, physiology and ecology of molluscs.
Symp. Of The Zoologycal Society of London and the Malacologycal society of
London Number 22. Academic Press. New York.
Habe, T. and K. Kosuge. 1966. Shells of tropical pasific in colour. Volume II. Hoikusha
Publishing Co Ltd. Higashiku. Osaka. Japan. 193 pp.
186
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Kastoro, W.,D Roberts and S. Soemodihardjo. 1982. Shallow water marine molluscs of
north-west java. LON-LIPI. Jakarta.
Kep. Men. KLH No. 51 / I / 2004. Tentang pedoman penetapan baku mutu lingkungan.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Lee, C. D., S. B. Wang & C. L. Kuo. 1978. Benthic macro invertebrate and fish as biological
indicators of water quality with reference to community diversity index. In water
pollution control in developing countries. Rhe Asian Institute of Technology,
Bangkok: 233-238 p.d
Millero, F. J. and M. L. Sohn. 1992. Chemical oseanography. CRC Press. USA. 551 p.
Morris, P. A. 1951. A field guide to the shell. Houghton Mifflin Company. Boston. USA
Romimohtarto, K and Juwana, S. 2001. Biologi laut. Ilmu pengetahuan tentang biota laut.
Djambatan Jakarta, 540 h.
Suprapto, Herlisman, dan Nurwiyanto. 2004. Struktur komunitas bentos dan distribusinya di
dasar perairan Selat malaka. JPPI Edisi Sumber daya dan penangkapan Vol 10 No.
4 Tahun 2004.
Webber, H. H. and H.V. Thurman. 1991. Marine biology, 2 th Edition. Harper Collins
Publishers. New York, NY. 415 p.
187
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________________________
Lampiran 1. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi perairan Teluk
Jakarta pada bulan September 2005 dan Juni 2006.
Sep-05 Jun-06
Stasiun H' E D Stasiun H' E D
A1 2.26 0.63 0.32 A1 2.08 0.81 0.28
A2 1.59 0.44 0.47 A2 2.31 0.69 0.31
A3 1.78 0.41 0.54 A3 2.78 0.93 0.17
A4 2.39 0.60 0.27 A4 2.67 0.84 0.20
A5 2.18 0.61 0.34 A5 2.47 0.82 0.22
A6 1.94 0.56 0.43 A6 2.82 0.94 0.16
A7 2.42 0.70 0.25 A7 3.34 0.93 0.11
B1 1.00 0.26 0.74 B1 2.48 0.69 0.26
B2 1.91 0.57 0.39 B2 2.87 0.83 0.17
B3 1.94 0.58 0.39 B3 0.00 0.00 1.00
B4 2.13 0.59 0.32 B4 2.79 0.73 0.24
B5 3.05 0.68 0.20 B5 3.24 0.78 0.16
B6 2.55 0.62 0.28 B6 2.87 0.73 0.20
B7 0.33 0.08 0.93 B7 2.55 0.64 0.31
C2 0.15 0.05 0.96 C2 2.29 0.50 0.29
C3 1.25 0.42 0.63 C3 1.92 0.55 0.39
C4 2.07 0.60 0.37 C4 2.30 0.56 0.31
C5 1.38 0.36 0.63 C5 2.25 0.61 0.34
C6 0.54 0.16 0.85 C6 1.19 0.40 0.59
D3 0.73 0.20 0.72 D3 0.81 0.25 0.67
D4 0.27 0.07 0.94 D4 0.70 0.18 0.79
D5 0.22 0.11 0.95 D5 1.72 0.41 0.49
D6 0.05 0.02 0.99 D6 1.82 0.45 0.47
Kisaran 0,05-3,05 0,02-0,70 0,20-0,99 Kisaran 0,00-3,34 0,00-0,94 0,11-1,00
188
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Lampiran 2. Keadaan Kualitas PerairanTeluk Jakarta pada bulan September 2005
No. Kedalaman Kec. Suhu Salinitas DO BOD Ammonia
Tanggal Jam o
pH
ST (m) (m) ( C) (‰) (mg/L) (mg/L) (mg/L)
14-Sep-05 10:36 A1 9.60 2.50 29.20 30.00 2,48 7.47 41.5 0.05
14-Sep-05 11:10 A2 20.10 6.50 29.10 31.00 3,18 7.45 32.5 0.06
14-Sep-05 11:50 A3 20.80 9.00 29.12 31.00 3,22 7.43 41.5 0.04
14-Sep-05 12:28 A4 25.00 12.30 29.04 31.00 3,29 7.70 53.35 0.03
14-Sep-05 13:40 A5 24.00 8.50 29.09 31.00 4,06 7.48 24.8 0.05
14-Sep-05 14:10 A6 23.10 4.70 29.06 32.00 2,92 7.62 52.35 0.04
14-Sep-05 10:09 B1 2.90 2.50 29.97 29.00 3,49 7.53 55.05 0.47
14-Sep-05 9:30 B2 14.70 3.50 29.14 31.00 2,48 7.57 33.7 0.12
15-Sep-05 12:43 B3 18.60 3.00 29.67 33.00 3,22 7.65 31.1 0.05
15-Sep-05 12:00 B4 20.70 5.50 29.21 33.00 3,39 7.58 32.5 0.14
14-Sep-05 16:40 B5 21.90 4.50 29.03 34.00 3,08 7.57 31.1 0.32
14-Sep-05 16:04 B6 20.10 4.00 29.06 34.00 2,9 7.46 30.5 0.63
14-Sep-05 15:20 B7 15.20 2.30 29.00 33.00 2,01 7.39 30.65 0.12
14-Sep-05 8:43 C2 11.50 3.50 29.65 31.00 0,96 7.34 93.1 0.53
15-Sep-05 13:15 C3 14.70 4.30 29.12 33.00 1,79 7.53 62.85 0.09
15-Sep-05 11:24 C4 17.80 5.00 29.11 33.00 2,68 7.57 41.5 0.12
15-Sep-05 10:52 C5 17.30 3.70 29.10 33.00 3,07 7.55 42.65 0.08
15-Sep-05 10:04 C6 16.60 4.50 29.03 33.00 2,78 7.49 34.1 0.05
15-Sep-05 7:50 D3 7.10 3.80 30.28 34.00 2,18 7.65 41.5 0.13
15-Sep-05 8:25 D4 7.30 2.50 30.09 33.00 2,83 7.64 26.5 0.18
15-Sep-05 9:00 D5 14.30 3.00 29.13 34.00 2,36 7.36 31.8 0.53
15-Sep-05 9:34 D6 9.20 5.20 29.10 33.00 3,71 7.39 34.25 0.15
Kisaran 2,90-25,00 1,50-12,30 29,00-30,28 29,00-34,00 0,96-4,06 7,34-7,70 24,80-93,10 0,03-0,63
189
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Lampiran 3. Keadaan Kualitas PerairanTeluk Jakarta pada bulan Juni 2006.
No. Kedalaman Kec. Suhu Salinitas DO BOD Amm
Tanggal Jam o
pH
ST (m) (m) ( C) (‰) (mg/L) (mg/L) (m
16-Jun-06 10:40 A1 9.20 4.70 29.52 33.00 3.75 8.00 28.90
16-Jun-06 11:30 A2 20.10 5.00 29.53 33.00 5.34 8.04 29.20
16-Jun-06 12:13 A3 23.50 5.00 29.46 34.00 4.29 8.08 27.60
16-Jun-06 13:03 A4 24.40 4.50 29.46 34.00 4.02 8.08 27.10
16-Jun-06 14:25 A5 2.80 3.50 29.42 34.00 4.18 8.08 36.50
16-Jun-06 15:07 A6 22.80 4.00 29.42 34.00 3.67 8.10 33.20
16-Jun-06 15:55 A7 19.20 5.00 29.42 33.00 3.75 8.10 42.30
16-Jun-06 10:02 B1 2.80 1.50 30.92 32.00 2.53 7.92 27.80
16-Jun-06 9:17 B2 13.90 4.00 29.52 32.00 4.78 7.76 38.00
17-Jun-06 9:20 B3 18.30 6.30 29.52 32.50 4.53 8.00 44.20
17-Jun-06 10:15 B4 20.40 7.00 29.50 32.00 4.26 8.05 27.30
16-Jun-06 18:00 B5 21.60 4.00 29.30 32.00 4.10 8.12 42.10
16-Jun-06 17:20 B6 19.50 4.30 29.40 33.00 4.02 8.13 44.80
16-Jun-06 16:35 B7 14.60 2.50 29.22 33.00 3.89 8.09 27.60
16-Jun-06 8:34 C2 10.90 4.50 29.49 29.00 5.21 7.95 32.50
17-Jun-06 8:35 C3 14.70 6.50 29.43 32.50 4.62 7.98 25.90
17-Jun-06 10:45 C4 16.20 6.00 29.57 32.00 4.94 8.01 34.80
17-Jun-06 11:30 C5 16.30 4.00 29.40 32.00 5.80 8.05 26.90
17-Jun-06 12:10 C6 15.10 5.00 29.50 32.50 4.16 8.00 64.00
17-Jun-06 15:20 D3 7.13 3.50 29.60 32.00 4.91 8.05 37.00
17-Jun-06 14:30 D4 6.40 3.50 29.68 32.00 3.96 7.98 29.30
17-Jun-06 13:35 D5 7.90 2.50 29.54 32.50 5.88 7.93 41.60
17-Jun-06 12:50 D6 7.60 2.00 29.50 32.50 5.62 7.97 48.20
Kisaran 2,80-24,40 1,50-7,00 29,22-30,92 29,00-34,00 2,53-5,88 7,76-8,13 25,90-64,00 0,0
190
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI B10
________________________________________________________________________
Yuliana Natan
Pascasarjana Ilmu Kelautan IPB Bogor
e-mail: natan_y@yahoo.co.id
Abstract
Study on ecology of tropical mudflat clams population Anodontia edentula has been
carried out on mangrove ecosystem of Inner Ambon Bay. The objectives of this study was
to know habitat typology and water quality in connection with distribution pattern of
density of the tropical mudflat clam. The result showed that tropical mudflat clam inhabit
muddy sand, especially in zone II located in the mangrove forest. Water quality was
depended on rain fall. Highest density was found in zone II in February and November.
This species distributed as clumped, and it has positive allometric growth pattern
Pendahuluan
Salah satu ekosistem perairan wilayah pesisir yang produktif adalah ekosistem
mangrove dimana kaya akan sumberdaya moluska. Berbagai organisme mendiami
ekosistem ini, salah satunya adalah kerang lumpur tropis Anodontia edentula dari famili
lucinidae yang hidup di daerah tropis. Spesies tersebut menggali lubang pada daerah
pantai berlumpur (mudflat) di zona intertidal sampai subtidal dan hidupnya berkelompok
(Lim et al, 2001 dalam Ng dan Sivatoshi, 2003). Selain itu spesies ini membenamkan diri
pada dasar berlumpur (muddy bottoms) sekitar estuari pada daerah hutan mangrove
pada kedalaman 20 – 50 cm (Lebata, 2000 dan 2001), dan dapat hidup pada kondisi
anoxic dengan sedimen mengandung banyak sulfida (Lebata dan Primavera, 2001).
Dengan adanya bakteri pengoksidasi sulfur pada insangnya (endosymbiont bacteria),
maka spesies ini mampu menyerap sulfida dalam jumlah yang banyak untuk
dimanfaatkan sebagai nutrisi. Karena itu kerang ini dapat digunakan sebagai biofilter
pada budidaya tambak dalam memperbaiki serta menjaga kualitas air budidaya.
Di Philipina kerang Anodontia edentula yang dikenal dengan nama imbao, kini
dieksploitasi dan merupakan sumber makanan bagi keluarga (Lebata, 2000 dan 2001,
Lebata dan Primavera 2001) Demikian pula di Thailand, kerang ini bernilai ekonomis
yang dijual dengan harga sekitar 3.00 euro/kg. Di Indonesia kerang ini belum
mendapat perhatian, padahal kerang ini merupakan makanan yang mengandung
protein tinggi dan mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dikembangkan menjadi
191
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
konsumsi lokal dan komodi ekspor yang akan menambah devisa bagi Negara. Di
Maluku, kerang ini dimanfaatkan bila terjadi musim paceklik dimana ikan sebagai sumber
protein hewani sulit diperoleh, sehingga populasi kerang ini akan mangalami tekanan
bila tidak dikelola dengan baik. Aktivitas ekploitasi yang berlebihan, serta penekanan
terhadap kondisi habitat alami dari kerang itu sendiri mengakibatkan penurunan populasi
yang cukup mengkhawatirkan. Penelitian serta informasi tentang kerang ini di Indonesia
terutama di perairan Maluku masih minim. Hanya ada satu penelitian yang telah
dilakukan oleh Latale (2003) tentang eksplorasi sumberdaya Anodontia edentula.
Tujuan dari penelitian ini adalah: mengkaji tipologi habitat dan kualitas perairan
dalam hubungannya dengan pola sebaran kepadatan.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan aspek ekologi dari
populasi kerang lumpur tropis sehingga didapatkan status sumberdaya popoulasi kerang
lumpur
192
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Pengumpulan data
primer dilakukan melalui pengambilan contoh sedimen dan kualitas air (suhu, salinitas,
pH, oksigen terlarut, sulfit, nitrat dan fosfat) serta kerang Anodontia edentula, sedangkan
data sekunder meliputi data curah hujan dan lama hari hujan diperoleh dari BMG Stasiun
Ambon. Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada tiga zona yang mewakili daerah
penelitian. Zona I terletak pada bagian depan mangrove yang berbatasan dengan daerah
pasang surut, zona II bagian tengah hutan mangrove, dan zona III bagian belakang hutan
mangrove yang berbatasan dengan perumahan penduduk.
Pengambilan contoh kerang dengan menggunakan metode transek garis (line
transect) dengan interval 10 m untuk mendapatkan kepadatan di kedalaman substrat
antara 20 – 50 cm, dilakukan sebulan sekali selama 13 bulan. Semua individu Anodontia
edentula yang didapat dihitung jumlahnya dan diukur panjang, serta ditimbang berat
basahnya menurut jenis kelamin.
Untuk mengkaji variasi karakteristik lingkungan perairan antar waktu pengamatan,
digunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) dengan
bantuan program EXCELSTAT.
Kepadatan kerang lumpur digunakan formula menurut Krebs (1989), yaitu:
Jumlah individu suatu spesies
Kepada tan (ind / m 2 ) =
Total luas pengama tan
Analisis ragam (ANOVA) dari kepadatan digunakan untuk melihat signifikansi
perbedaan antar zona. Jika terdapat perbedaan yang signifikan maka dilanjutkan dengan
uji Tukey.
Pola dispersal dari populasi spesies Anodontia edentula di lokasi penelitian, maka
digunakan rasio ragam terhadap rataan (Pielou, 1977 dalam Ludwig dan Reynold, 1988),
yaitu membandingkan rataan (mean) dan ragam (variance). Rataan populasi ( μ ) diduga
dari rataan contoh ( x ), sedangkan ragam populasi ( σ 2 ) diduga dari ragam contoh ( s 2 ).
Pola perumbuhan kerang dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang
dengan bobot tubuh kerang (berat basah) yang dianalisis melalui hubungan persamaan
regresi kuasa (power regression) sebagai berikut (Ricker, 1975):
W = aLb atau log W = log a + b log L
dimana:
W = berat basah (g)
L = panjang cangkang (mm)
a dan b = konstanta
193
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Untuk menguji apakah konstanta b sama dengan tiga atau tidak (isometrik atau
allometrik) dilakukan uji t. Persamaan diatas dilakukan baik secara jenis kelamin maupun
per bulan pengamatan.
Kondisi ini (Zona II) sesuai dengan namanya mudflat clam dimana kerang
Anodontia edentula hidup pada areal lumpur yang didominasi pasir. Adanya pasir akan
meningkatkan pertukaran massa air dan tersedianya oksigen sehingga berpeluang bagi
kerang untuk beradaptasi. Kondisi substrat pada bagian tengah hutan mangrove memiliki
ukuran partikel lebih halus. Kenyataan yang didapat menunjukan bahwa habitat yang
berada pada kondisi tersebut sesuai dengan kehidupan kerang terutama dari famili
Lucinacea (Allen 1958), dimana Anodontia edentula termasuk famili tersebut. Selanjutnya
dikatakan bahwa kisaran hidup famili tersebut dari pasir kasar (coarse sand) hingga
lumpur halus (fine mud). Pennak (1989) menyatakan bahwa umumnya kelompok
subfamili Anodontidae menyukai subtrat pasir berlumpur. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Latale (2003); Lebata (2000 dan 2001, Lebata dan Primavera 2001), Anodontia
edentula mendiami dasar pasir berlumpur di daerah mangrove.
194
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
600 30
Curah Hujan
Hujan (hari)
Junlah Hari
400 20
(mm)
200 10
0 0
J F M A M J J A S O N D J
Bulan Pengamatan
Gambar 2. Curah hujan dan lama hari hujan dari bulan Januari 2005 hingga Januari 2006
Hasil perhitungan diskripsi statistik dari nilai kualitas perairan pada lokasi zona I, II
dan III dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Zona I
Suhu Salinitas D.O SO3 N-NO3 P-PO4
(oC) (‰) pH (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
Rataan 27.86 30.00 6.37 2.52 0.68 1.04 0.07
SD 1.57 2.00 0.36 0.62 0.25 0.27 0.02
Minimum 24.90 27.00 5.67 1.50 0.20 0.54 0.05
Maximum 30.20 34.00 6.91 3.30 1.00 1.37 0.10
Zona II
Suhu Salinitas D.O SO3 N-NO3 P-PO4
(oC) (‰) pH (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
Rataan 27.94 29.15 6.24 1.94 0.60 1.15 0.12
SD 2.18 2.08 0.56 0.79 0.32 0.36 0.17
Minimum 24.00 26.00 5.34 1.00 0.20 0.50 0.06
Maximum 31.30 32.00 6.98 3.10 0.90 1.45 0.68
Zona III
Suhu Salinitas D.O SO3 N-NO3 P-PO4
(oC) (‰) pH (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
Rataan 28.20 30.08 6.39 2.12 0.66 1.07 0.08
SD 1.82 2.06 0.53 0.74 0.27 0.33 0.02
Minimum 24.70 26.00 5.45 1.00 0.20 0.45 0.06
Maximum 31.00 33.00 6.97 3.20 1.00 1.38 0.10
Rataan suhu pada ketiga zona memperlihatkan bahwa hampir tidak ada perbedaan
yang signifikan, tetapi jika dilihat secara temporal maka suhu di Zona II pada bulan
Februari dan Nopember (31.3 dan 31.2 0C) sangat tinggi dan Mei dan Juli (25.6 dan 24
0
C) sangat rendah, yang mana berkaitan dengan curah hujan dan lama hari hujan
Kondisi suhunya bila dibandingkan dengan hasil penelitian Latale (2003) di ekosistem
195
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam, dapat dikatakan hampir sama (antara 27.1 oC
dan 31.1 oC). Hal ini didukung juga oleh penelitian Lebata (2001) yaitu antara 27 oC dan
30 oC, dan Lebata (2000 dan 2001) pada musim kering (27 oC dan 31 oC).
Salinitas mempuyai korelasi dengan curah hujan, dan lamanya hari hujan,
mempunyai kontribusi yang signifikan dalam kenaikan nilai salinitas. Ini terlihat pada
bulan Februari 2005 dan Nopember 2005 di zona II (320/oo) dimana sedikit hari hujan,
masing-masing 7 hari dan 9 hari. Lebata (2000 dan 2001) menemukan kisaran salinitas
pada musim kering antara 27 o/oo - 31 o/oo, Latale (2003) antara 27 o/oo - 29 o/oo.
Nilai pH pH hampir tidak menunjukkan perubahan yang berarti baik zona maupun
bulan pengamatan. Lebata (2000 dan 2001) pada musim kering menemukan pH berkisar
antara 5.15 sampai 6.55. Jika dilihat dari hasil yang didapat oleh peneliti sebelumnya,
maka habitat spesies ini menyenangi kondisi sedikit agak asam. Kondisi habitat
penelitian jelas mengindikasikan kondisi asam sulfit yang agak tinggi.
Dilihat dari nilai DO yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa kondisi habitat
mempunyai DO yang anoksid di ketiga zona. pH tertinggi di bulan kering (Nopember) dan
terendah pada musim hujan (Mei). Jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan oleh
Lebata (2000 dan 2001) pada musim kering di habitat Anodontia edentula Filipina, yaitu
antara 0.2–1 mg/l, kondisi anoksid tersebut dikarenakan suhu yang tinggi. Terlihat bahwa
ada suatu kecenderungan penurunan atau penaikan suhu dibarengi oleh DO. Secara
teori bahwa DO merupakan fungsi suhu.
Sulfit habitat pada ketiga zona adalah rendah. Hasil penelitian Lebata terhadap
sulfit di habitat Anodontia edentula Filipina didapatkan 0.05 sampai 1 mg/l. Hasil yang
didapat sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti lain dengan kadar sulfit yang tinggi.
Penurunan DO sebanding dengan penurunan kadar sulfit. Menurut Lebata (2001) dalam
percobaannya tentang perubahan oksigen, sulfit dan nutrient dari kerang Anodontia
edentula menyatakan penurunan DO dibarengi dengan sulfit menandakan bahwa sama-
sama digunakan oleh kerang tersebut. Rataan nilai sulfit, maupun parameter lainnya
seperti DO, salinitas dan pH pada Zona II sedikit lebih rendah dari zona lainnya.
Rataan kadar nitrat di zona II lebih tinggi dari kedua zona lainnya. Secara temporal
ditemukan kadar tertinggi pada bulan kering (Februari dan Nopember) yaitu 1.41 dan
1.45 mg/l dan terendah pada bulan Mei dan Juni (0.56 dan 0.54 mg/l).
Untuk perairan alami, kadar nitrat antara 0.005 - 0.02 mg/l. jika dilihat dari rataan
kadar fosfat diketiga zona adalah cukup tinggi, terutama di zona II dan III yang selalu
mendapat suplai air tawar dari darat, baik itu pada saat surut maupun pasang.
Hasil olahan dengan PCA menunjukkan pencirian dari parameter lingkungan
perairan ditunjukan dengan bulan-bulan pengamatan di zona II dimana terdapat
196
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
beberapa kelompok bulan yang mencirikan keberadaan spesifik bulan tersebut (Gambar
3).
2
0.5
CH
1.5
Salinitas
0 LHH 1 Juli
Suhu
pH D.O
Mei
SULFITair 0.5
-0.5 NO3air Juni
0 Feb Agust
-1 Nop Sept
-0.5 Okt
-1.5 -1 Des
April
39088
39087
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
-1.5
-- sum bu 1 (71% ) --> -4 -2 0 2 4 6
-- sum bu 1 (71% ) -->
Kelompok bulan Mei, Juni dan Juli mencirikan bulan-bulan dengan curah hujan yang
tinggi, lama hari hujan yang banyak, serta derivat terhadap parameter lainnya seperti
suhu dan salinitas. Kelompok bulan Februari dan Nopember mencirikan bulan-bulan
kering dimana curah hujan rendah, lama hari hujan sedikit, suhu dan salinitas yang cukup
tinggi DO dan sulfit rendah. Lebata (2000 dan 2001), pada musim kering menemukan
suhu antara 27 oC - 31 oC; salinitas pada antara 27 o/oo - 31 o/oo, pH berkisar antara 5.15 -
6.55; DO antara 0.2–1 mg/l dan sulfit 0.05 – 1.0 mg/l yang semuanya relatif hampir sama
dengan yang ditemukan di ekosistem mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam.
Kepadatan Kerang
Sebaran rataan kepadatan per zona (sebaran secara spasial) dapat dilihat pada
Tabel 3. Pada Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada zona II mempuyai rataan
kepadatan yang tinggi (26.48 ind/m2) dan kepadatan maksimum yang lebih besar dari
zona lain (35.25 ind/m2).
197
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Tabel 3. Sebaran rataan kepadatan secara spasial
Untuk membuktikan bahwa zona II mempunyai kepadatan dari zona lainnya, maka
dilakukan uji sidik ragam/ANOVA (Analisys Of Variance). Hasilnya menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rataan kepadatan maupun kelimpahan antar zona, dimana zona II
sangat berbeda dengan zona lainnya. Ini dapat dibuktikan dengan Anova terhadap
kepadatan. Dengan uji lanjut Tukey terlihat bahwa zona II, kepadatannya menunjukkan
perbedaan rataan dengan zona lainnya. Zona II merupakan zona yang cocok dengan
kehidupan kerang Anadontia edentula, dimana kepadatan dan kelimpahannya selalu
banyak. Di Zona II juga mempunyai parameter kualitas air (suhu, salinitas, DO dan sulfit)
yang berbeda dengan zona lainnya.
Sebaran temporal kepadatan, pada zona II ditemukan kepadatan tertinggi pada
bulan Nopember 2005 dengan kepadatan sebesar 28.64 ind/m2, dan terendah pada
bulan Januari 2005 sebesar 9.19 ind/m2. Kepadatan terringgi di bulan Nopember, dan jika
dikaitkan dengan parameter curah hujan dan lama waktu hujan di bulan tersebut
merupakan bulan dengan curah hujan dan frekuensi yang sedikit. Kemudian di bulan
Nopember 2005 mempunyai parameter kualitas perairan yang sangat spesifik terutama
suhu, salinitas, DO dan sulfit sangat ekstrim dibandingkan dengan parameter lainnya.
Pola Penyebaran
Hasil perhitungan rasio nilai tengah dan ragam populasi tertera pada Tabel 4.
Selama penelitian didapatkan bahwa populasi kerag lumpur tropis ini menyebar secara
mengelompok.
198
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Tabel 4. Pola penyebaran dari kerang Anodontia edentula
Terbentuknya pola penyebaran dari kerang ini terkait dengan tingkah laku
(behaviour) dan daur hidup dari kerang tersebut. Pola penyebaran berkelompok
(clumped) merupakan ciri dari populasi Anodontia edentula dimana selalu ditemukan
dalam suatu lubang dengan berbagai struktur ukuran dalam satu lubang. Untuk lebih
jelasnya dapat kita lihat pada Gambar 4.
199
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
alam terutama faktor lingkungan dan keberadaan makanan. Kerang Anodontia edentula
yang bervariasi dalam suatu kelompok di suatu lubang menandakan bahwa kemampuan
larva kerang tersebut bereaksi tehadap faktor lingkungan sangat peka, ini ditunjukkan
dengan adanya beberapa anakan dalam tubuh induknya, dimana perlindungan anakan
atas perubahan lingkungan yang sangat ekstrim, terutama oksigen dan sulfit
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anakan kerang tersebut.
Hubungan Panjang-Berat
Hubungan panjang dan berat kerang total digambarkan berdasarkan persamaan
model hubungan W = 0.0002 L3.3134 (L = panjang dan W = berat), dengan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.9658. Uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukkan
bahwa b lebih besar dari 3 (allometrik posiif) dengan nilai t = 275.13. Hasil tersebut
diperkuat dengan uji hipotesis yang menyatakan bahwa hipotesis nol ditolak (p = 0.00)
yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang total kerang di perairan
200
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
hutan mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam adalah tidak seimbang
(Gambar 5).
120
3.1343
y = 0.0002x
100 2
R = 0.9657
n = 2692
80
B e ra t (g r)
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Panjang (mm)
Gambar 5. Kurva hubungan panjang dan berat cangkang kerang total di perairan
ekositem mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam.
Hasil analisis data panjang dan berat kerang dapat dipisahkan menurut jenis
kelamin, diperoleh hubungan panjang berat kerang jantan diekspresikan sebagai: W =
0.0001 L3.288 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9294. Dari hasil uji lanjut
dengan uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukan bahwa nilai b lebih besar dari 3
(allometrik positif) dimana t = 123.15. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil uji hipotesis
(p=0.00) yang menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa antara laju
pertumbuhan berat dan panjang kerang jantan adalah tidak seimbang. (Gambar 6).
Total Jantan
90
80 y = 1E-04x3.288
70 R2 = 0.9294
n = 1154
60
Berat (gr)
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Panjang (mm)
Kondisi pola pertumbuhan yang berlaku pada kerang jantan, berlaku juga pada
betinanya. Hasil analisis menunjukan bahwa pola pertumbuhannya bersifat allometrik
positif seperti yang ditunjukan pada persamaa model hubungan dimana W = 0.00008 L
3.321
dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9327. Dari hasil uji lanjut dengan
uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukan bahwa nilai b lebih besar dari 3
(allometrik positif) dimana t = 128.38. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil uji hipotesis
201
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
(p=0.00) yang menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa antara laju
pertumbuhan berat dan panjang kerang betina adalah tidak seimbang. (Gambar 7).
120
y = 8E-05x 3.3213
100
R2 = 0.9327
n = 1192
80
Berat (gr)
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Panjang (mm)
Kesimpulan
1. Kerang Anodontia edentula mendiami habitat substrat pasir berlumpur. Di zona II (di
tengah hutan mangrove) dengan pasir yang cukup tinggi serta variasi suhu, salinitas,
DO serta kandungan sulfitnya tergantung pada curah hujan dan lamanya hari hujan.
2. Kepadatan pada zona II (35.25 ind/m2) lebih tinggi dari zona lainnya. Zona II
merupakan zona yang cocok bagi kehidupan kerang Anadontia edentula, dimana
kepadatan selalu banyak. Di Zona II juga mempunyai parameter kualitas air (suhu,
salinitas, DO dan sulfit) yang berbeda dengan zona lainnya. Kepadatan kerang
secara temporal memperlihatkan puncak kepadatan dan kelimpahan pada bulan
November 2005 (musim kering) yang menyebabkan parameter kualitas air yang
ekstrim dengan bulan-bulan lain.
3. Kerang Anodontia edentula mempunyai bentuk penyebaran yang mengelompok,
dimana terlihat dari terbentuknya kelompok lubang-lubang perlindungan di dalam
habitat kerang.
4. Sebaran ukuran yang kecil dikarenakan kondisi dan lokasi yang berbeda
5. Pertumbuhan kerang bersifat allometrik positif dimana laju pertambahan panjang
lebih cepat dari beratnya.
Saran
1. Habitat kerang Anodontia edentula harus dijaga dan dilindungi dari aktivitas yang
menuju kerusakan.
202
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
2. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang aspek reproduksi, jumlah dan jenis
makanan yang dikonsumsi, mortalitas akibat alami dan penangkapan, larva serta
juvenil.
Daftar Pustaka
Allen, J.A. 1958. On the basic form and adaptation to habitat in the Lucinacea
(Eulamellibranchia). Departemen of Zoology, King’s College, University of
Durham.
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. University of British Columbia. Harper, Inc.
New York.
Latale, S.S. 2003. Studi pendahuluan eksplorasi sumberdaya Anodontia edentula pada
perairan pantai desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam (Skripsi). Fakultas
Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 58 hal.
Lebata, M.J.H.L. 2000. Elemental Sulphur in the Gills of the Mangrove Mud Clam.
Anodontia edentula (Family Lucinidae). Journal of Shell Shellfish Researh 19(1),
241-245.
Lebata, M.J.H.L. 2001. Oxygen, sulphide and nutrient uptake of the mangrove mud clam
Anodontia edentula (Family: Lucinidae). Marine Pollution Bulletin. 11(42), 1133-
1138. Elsevier Science Ltd.
Lebata, M.J.H.L, and Primavera. 2001 Gill Structure, Anatomy and Habitat of Anodontia
edentula :Evidence of endosymbiosis. Journal of Shellfish Researh. 20(3):1273-
1278.
Lim, K.K.P, H.D.H. Murphy, T. Morgani, N.Sivasothi, P.K.L Ng, B.C. Seong, T. Hugh,
W.Tan, K.S.Tan and T.K. Tan. 2001. Animal diversity. In P.K.L.Ng and
N.Sivasothi, 2003 (Eds). A Guide to mangrove of Singapore (Vol I). Singapore
Science Centre.
Ludwig, J.A and J.F Reynolds. 1988. Statistical ecology. A Primer on Methods and
Computing. A Willey Interscience Publ, Joh Willey and Sons. New York. 337p
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta
203
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C1
________________________________________________________________________
Agus Nuryanto1, Marc Kochzius2, Dedy Duryadi Solihin3, Dedi Soedharma4, and
Dietmar Blohm2
1
Faculty of Biology, Jenderal Soedirman University, Purwokerto
2
Dept. of Biotechnology and Molecular Genetics, FB2-UFT, University of Bremen,
Germany
3
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Life Sciences, Bogor Agriculture
University
4
Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agriculture University
Abstract
204
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C2
________________________________________________________________________
Kima (Tridacnidae) adalah golongan kerang berukuran besar dan merupakan salah
satun jenis kerang laut yang bernilai ekonomis penting, karena dagingnya mengandung
protein tinggi dan cangkangnya dapat dibuat untuk berbagai peruntukan seperti asbak,
tempat cuci tangan dan perhiasan. Namun di beberapa negara seperti Filipina, Australia
dan Indonesia, komoditas tersebut telah dilindungi pemerintah karena populasinya
menurun sangat cepat dan diduga bahwa populasi kima di Kepulauan Spermonde juga
sudah berkurang dan bahkan pada beberapa spesies tertentu sudah hampir punah.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gtambaran tentang kondisi dan permasalahan
populasi kima di Kep. Spermonde untuk dapat dijadikan informsi yang berguna dalam
menetapkan model pengelolaannya. Gambaran penurunan populasi kima di Kep.
Spermonde sudah diperlihatkan sejak tahun 1993 oleh Muhsin dimana hanya
menemukan 5 spesies kima dari 7 spesies kima yang ada di Indonesia dan bahkan yang
berukuran besar sudah tidak ditemukan lagi, gambaran ini semakin terlihat oleh beberapa
hasil penelitian secara berturut-turut dan terakhir oleh Niartiningsih dkk pada tahun 2006
dimana hanya menemukan 4 spesies kima yang berukuran kecil. Penurunan populasi
tersebut disebabkan oleh eksploitasi berlebihan dan akibat rusaknya terumbu karang
sebagai habitat kima oleh penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mempertahankan populasinya selain menegakkan aturan pelarangan
juga dengan menggalakkan upaya budidaya di panti benih dan restocking juvenil kima di
alam. Namun upaya ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak baik pihak
pemerintah maupun masyarakat.
Kata Kunci: kima, Spermonde
205
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C3
________________________________________________________________________
Bunjamin Dharma
Dari fosil yang pernah ditemukan, Moluska Indonesia sudah hadir sejak Era
Mesozoic, periode Cretaceous, kira-kira 130 juta tahun lalu. Fosil-fosil ammonit pada
zaman itu banyak ditemukan di Pulau Timor dan Papua, yang mana pada saat sekarang
semuanya telah punah. Fosil hidup tertua yang dapat ditemukan berasal dari awal kala
Miocene, periode Tertiary yaitu kira-kira 25 juta tahun yang lalu. Sejak pertengahan abad
ke 19, fosil Moluska Indonesia mulai dicari, dipelajari dan digunakan sebagai penentu
umur lapisan yang terkait dengan penelitian keberadaan manusia purba di Pulau Jawa.
Manusia mengenal Moluska seumur dengan keberadaan manusia itu sendiri; sejak
adanya peradaban manusia, Moluska telah digunakan sebagai makanan, alat ritual dan
sebagainya. Recent Moluska Indonesia mulai diberi nama oleh beberapa peneliti sejak
dipublikasikannya tata nama zoologi oleh Carl Linnaeus pada tahun 1758, yaitu pada
masa penjajahan Belanda. Setelah itu dalam jangka waktu yang cukup lama keberadaan
Moluska Indonesia seperti tertutup, sebagian dari species yang pada awalnya ditemukan
di Indonesia pada zaman penjajahan tidak ada beritanya lagi, tetapi satu persatu
diungkapkan di beberapa negara tetangga. Akhir-akhir ini beberapa species Moluska
masuk ke Indonesia sebagai pendatang baru, untuk ini kita perlu arif menyikapinya,
dengan memanfaatkannya dan bukan memusnahkannya.
Kata Kunci: sejarah, moluska
206
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C4
________________________________________________________________________
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro
Semarang
Abstrak
Pendahuluan
Kerang kipas-kipas Amusium pleuronectes merupakan salah satu dari sekitar 3000
jenis kerang di Indonesia yang belum banyak dimanfaatkan hasilnya. Kerang ini
ditemukan di daerah sepanjang pantai utara Jawa Tengah (Brebes, Tegal, Pemalang,
Pekalongan, Weleri-Kendal, Semarang) dan pantai sebelah Jawa Timur (Tuban,
Pasuruan) (Unpbl.data).
A pleuronectes hidup di daerah infralittoral (Dance, 1993), Jenis kerang ini seperi
saucer scallops atau mud scallops ditemukan pada kedalamam antara 15-50 meter
(Williams, 2002). Di Indonesia hewan ini dapat tertangkap pada kedalaman antara 10-
40m atau biasanya pada jarak waktu tempuh 3 jam perjalanan dari pantai dengan kapal
motor tempel. Amusium sp adalah termasuk dalam superfamili Pectinoidea, spesies ini
tersebar di wilayah Indo Pasifik (Dance, 1993). A pleuronectes memiliki bentuk simetris
bilateral, pipih, sedikit cembung pada bagian tengah cangkang, dimana cangkang terdiri
dari dua bagian yang sama besar. Kedua cangkang dihubungkan oleh “hinge ligament”,
yang elastis dan terdiri dari protein. Cangkang bagian kiri berwarna merah kecoklatan
sedangkan cangkang bagian kanan berwarna putih. Cangkang A pleuronectes rata
dimana guratan garis tahunan tidak nyata seperti pada P maximus. Pada pangkal
cangkang terdapat sepasang “ear/kuping”, kiri dan kanan yang sama besar.
207
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Hewan ini merupakan hewan makrobenthos, hidup di permukaan bawah air dengan
substrat dasar pasir-lumpur atau campuran pecahan cangkang. Jenis kerang kipas-kipas
dapat ditemukan pada substrat gravel halus, pasir kasar, pasir halus dan lumpur berpasir
pada kedalaman 5 - 50 m. A pleuronectes hidup di laut, tidak dipengaruhi oleh muara
sungai dan dengan densitas atau kecerahan cukup tinggi. Pecten novazelandiae hidup di
substrat lumpur lunak dengan kedalaman 10 - 25 m (Bull, 1991). P maximus, lebih
menyukai hidup pada dasar bersih, pasir gravel halus atau berpasir dengan tambahan
kadang-kadang campuran lumpur (Mason, 1983). Sedangkan Chlamys opercularis, sama
seperti P maximus akan tetapi dapat hidup pula pada dasar gravel yang lebih keras dan
dengan banyak kulit kerang (Mason, 1983). Di Bay of St. Brieuc - Perancis, P maximus
hidup pada kedalaman 20 m, sedangkan di Bay of Brest - Perancis pada kedalaman 15 -
20 m (Mackie and Ansell, 1993). Namun di Loch Creran, Argyll - Scotlandia, hewan
tersebut ditemukan pada kedalaman 15 - 30 m (Mackie, 1984). Kedalaman, menurut
Mackie dan Ansell (1993) adalah bukan merupakan faktor yang penting dalam
menentukan perbedaan-perbedaan yang ada diantara populasi scallop.
Sedangkan perhatian pada beberapa spesies dari famili Pectinidae di dunia saat ini,
terutama disebabkan oleh alasan nilai ekonomis, misalnya di Kanada, Perancis, Jepang,
Amerika, Spanyol, Norwegia, Australia, Amerika Latin yaitu di Argentina, Chili-Peruvia,
Venezuela, Jepang dan Thailand. Dari segi produksi, menyumbang 38 % dari produksi
scallop dunia, disusul oleh China dengan 32 %, Amerika dengan 11 %, Kanada 7 %,
Eropa 6 % dan negara-negara lain 6 % (Dorange dan Le Pennec, 1989 ; Lovatelli, 1991;
Pena, et.al, 1991; Penchaszadeh, 1991; Zhang, 1991 ; Nugranad and Promchinda, 1996
dan Thorarinsdottir, 1996). Ukuran komersial untuk scallop bervariasi tergantung dari
spesies. Untuk Patinopecten yessoensis, P. magellanicus, Pecten maximus, P. fumatus
dan Argopeten purpuratus, ukuran komersialnya adalah sekitar 100 mm panjangnya. Dan
untuk spesies yang kurang komersial, seperti Chlamys opercularis, C. tebuelca dan C.
islandica, ukuran komersialnya adalah sekitar 50-70 mm, dan untuk Argopecten gibbus
adalah 40 mm (Thorarinsdottir, 1996).
Nelayan menangkap kerang A pleuronectes sebagai hasil tangkapan ikutan.
Produksi kerang ini belum tercatat di Dinas Perikanan secara baik. Hal ini diduga karena
masih sangat kecilnya volume produksi yang dihasilkan para nelayan. Dibanding jenis
kerang-kerangan yang lain, A pleuronectes mempunyai ciri khusus yaitu mempunyai
otot aduktor yang cukup besar dibanding ukuran tubuhnya, seperti halnya pada species
yang tergolong dalam famili Pectinidae, yaitu Pecten maximus dan Placopecten
magellanicus (Roberts, et.al, 1982). Pada individu yang mencapai kelas ukuran ± 8 cm,
diameter otot aduktor dapat mencapai 3 cm dengan berat otot bisa mencapai 5 gram. Di
208
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
otot aduktor itulah tersimpan sebagian besar cadangan energinya dalam bentuk glikogen,
yang memberikan rasa yang enak.
Masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging segarnya, sedangkan cangkangnya
banyak dimanfaatkan oleh penduduk pantai di Jawa Timur untuk kerajinan tangan,
misalnya lampu hias, pigura foto, pembatas ruangan, dll. Kerang jenis kipas-kipas ini
tertangkap oleh nelayan penangkap udang yang menggunakan jenis jaring trawl karena
kerang kipas-kipas hidup di dasar perairan maka kerang ini dapat terjaring bersama-
sama dengan udang. Menurut informasi nelayan, kelimpahan alami dari kipas-kipas ini
telah menurun secara tajam.
Potensi pemanfaatan kerang ini di Indonesia dapat dikembangkan melalui
dukungan pemerintah dan pihak swasta. Beberapa upaya pendukung pengetahuan
tentang kerang ini telah diupayakan, diantaranya beberapa penelitian pendukung telah
dilakukan untuk mengetahui potensi dan distribusinya, terutama di Jawa Tengah. Kerang
A pleuronectes sebagai sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk
dikembangkan di Indonesia, sebagai suatu upaya diversifikasi usaha, yang dapat
memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor sebagai sektor penambah
devisa negara. Data hasil produksi yang ditemukan pada beberapa pengumpul
menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok dengan data yang tercatat di Dinas
Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah.
Data dari Dinas Perikanan Jawa Tengah (2002) menunjukkan hasil tangkapan pada
tahun 1980 adalah 228 ton, pada tahun 1984 adalah 182,7 ton/th dan sejak itu menurun
menjadi 2,6 ton/th pada 1994; 12,2 ton/th pada 1996 dan 10,3 ton/th pada 1997.
Kemudian meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 65,5 ton/tahun.
Tujuan penelitian jangka pendek ini mencakup pengamatan terhadap calon induk
di perairan pamtai utara Jawa Tengah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan
terhadap karakter pertumbuhan calon induk tersebut. Pengamatan akan menggunakan
karakteristik biometrika kerang simping dari beberapa lokasi di Pantai Utara Jawa
Tengah.
209
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
pertumbuhan kerang, dimana pertumbuhan itu sendiri dapat diukur dari dua hal, yaitu
pertumbuhan cangkang dan jaringan lunaknya (Franklin, dkk, 1980; Moraga 1989 ;
Mariani, dkk, 2002 dan Gimin,dkk, 2004). Korelasi pengukuran pertumbuhan secara
matematis dihitung menggunakan regresi linier :
Y = a xb
Nilai b adalah koefisien allometri yang merefleksikan pertumbuhan relatif dimana
bila nilai b = 3 maka pertumbuhan disebut isometri yaitu pertumbuhan dimensi kerang
mempunyai proporsi yang sama. Sedangkan bila nilai b < 3 (allometri negatif) atau b > 3
(allometri positif) maka pertumbuhan tidak pada proporsi yang sama.
210
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Analisa pertumbuhan antara panjang cangkang dengan berat pada beberapa
bivalvia telah dilakukan, diantaranya oleh Moraga (1984); Mariani, dkk, (2002) dan Gimin,
dkk (2004).
Data pengukuran panjang dan berat kerang dianalisa dengan menggunakan regresi
linier sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik biometrika pada bulan
Mei 2005 ditemukan pertumbuhan allometri positif di Brebes : 3,18 ; Tegal : 3,32 dan
Kendal 3,13. Sedangkan pertumbuhan allometri negative ditemukan di daerah Pemalang
: 2,74 dan Pekalongan : 2,77.
Hasil penelitian pada kerang ini menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang
cangkang terhadap berat total adalah pola pertumbuhan allometrik positif (b>3). Hal ini
berarti bahwa pertumbuhan berat lebih cepat daripada pertumbuhan panjang. Pola
pertumbuhan allometri negatif (b<3) juga ditemukan di dua daerah pengamatan. Pola
pertumbuhan pada bulan Mei berdasarkan pengamatan beberapa tahun sebelumnya
terlihat konstan yaitu dengan pola allometri positif (Tabel 1) .
Tabel. 1 Karakteristik Biometrika Kerang Simping A pleuronectes pada Bulan Mei 2001,
Mei 2002, Mei 2003 di perairan pantai Utara Jawa Tengah.
Kendal Pekalongan
No. Waktu b r Allometri b r Allometri
1. Mei 2001 3,3424 0,9664 Positif 3,1386 0,8895 Positif
2. Mei 2002 3,0731 0,8228 Positif 3,3773 0,9728 Positif
3. Mei 2003 3,2812 0,9634 Positif 3,1386 0,8895 Positif
Berdasarkan data analisa regresi linier yang dilakukan pada bulan Mei tahun 2001,
2002 dan 2003 di Kendal dan Pekalongan, ditemukan kerang dengan pola pertumbuhan
allometri positive.
Berat dan Indeks kegemukan kerang erat hubungannya dengan siklus reproduksi
kerang, karena nilai indeks kegemukan dapat mewakili tingkat kematangan gonad
kerang. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1977-1978 tentang perubahan ukuran
berat otot dan gonad kerang di Newhaven menunjukkan bahwa komposisi dari daging
kerang dipengaruhi oleh perubahan musim yang berhubungan dengan perkembang
biakan kerang (Franklin dkk,1980). Kerang yang gonadnya telah matang atau telah
mengalami proses reproduksi memiliki indeks kegemukan yang relatif lebih besar dan
sebaliknya bila indeks kegemukan rendah kerang tersebut belum melakukan siklus
reproduksi atau belum mengalami kematangan gonad.
211
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Indeks kegemukan sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan daging kerang.
Indeks kegemukan berbanding lurus dengan berat daging dan berbanding terbalik
dengan berat total. Variasi ukuran berat daging dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan
kerang, dimana produk daging yaitu berat otot dan gonad biasanya bertambah dengan
pertambahan ukuran cangkang kerang (Franklin dkk,1980).
Berat daging merupakan berat keseluruhan isi dalam cangkang kerang yakni
termasuk otot gonad dan organ dalam lainnya. Berat total merupakan berat keseluruhan
kerang (berat cangkang + berat daging). Semakin besar berat daging akan semakin
besar pula nilai indeks kegemukan, dan sebaliknya semakin kecil berat daging akan
semakin kecil pula indeks kegemukannya.
Pada P maximus, variasi peningkatan berat otot aduktor, proses gametogenesis
yang cukup tajam sering terjadi setelah musim panas dimana kerang P. maximus
melakukan pemijahan (Mason, 1983). Variasi penurunan berat otot aduktor terjadi pada
peralihan musim gugur ke musim dingin, hal ini disebabkan suplai makanan di alam
sedikit dan suhu perairan turun.
Menurut pengamatan Widowati dkk (1999), dimana terjadi fluktuasi berat basah
gonad, otot aduktor dan visceral mass pada A pleuronectes dari perairan Pekalongan
Jawa Tengah yang disebabkan oleh pola perkembangan gonad dan aktifitas pemijahan.
Berat basah meningkat setelah terjadi pemijahan dan menurun ketika cadangan
makanan digunakan sebagai sumber energi pada perkembangan tingkat kematangan
gonad tinggi. Epp dkk (1988) juga menemukan bahwa indeks kondisi dan berat jaringan
gonad, otot aduktor, kelenjar pencernaan dan other tissue sangat berpengaruh dalam
perkembangan gonad.
Aktifitas reproduksi yang diekspresikan dengan nilai indeks otot pada penelitian ini,
dari hasilnya diduga bahwa otot berperan penting pada aktifitas reproduksi kerang. Hal ini
sesuai dengan peran fisiologis otot pada aktifitas reproduksi kerang jenis scallops lainnya
(Mackie, 1984). Pada A pleuronectes , diduga bahwa kondisi tingkat kematangan gonad
yang matang, dimana nilai indeks gonad tinggi, terlihat nilai indeks ototnya menurun. Hal
ini berarti transfer energi hasil metabolisme yang tersimpan di dalam otot dimanfaatkan
untuk kepentingan pematangan sel gametnya. Sumber energi lain masih dapat diperoleh
melalui transfer langsung dari saluran pencernaan menuju gonad (Widowati, dkk., 2000).
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan, kerang simping A pleuronectes di perairan Pantai Utara Jawa
Tengah, pada bulan Mei 2005 ditemukan pertumbuhan :
1. allometri positif yaitu b >3 di Brebes : 3,18 ; Tegal : 3,32 dan Kendal 3,13 dan
212
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
2. allometri negatif yaitu b < 3 di Pemalang : 2,74 dan Pekalongan : 2,77
3. terlihat adanya pola pertumbuhan allometri positif pada bulan yang sama
berdasarkan data pengamatan pada bulan Mei 2001, 2002 dan 2003.
.
Ucapan Terima Kasih
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya dengan tidak menyebutkannya satu persatu,
diucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi pada kegiatan
sampling penelitian Penelitian Hibah Bersaing IX Th 2000-2002 an. Dr.Ir.Ita Widowati,
DEA dan Hibah Bersaing XI Th 2003-2004 an. Ir.Jusup Suprijanto,DEA.
Daftar Pustaka
Bull, M.F, 1991. New Zealand scallops, Pecten novaezelandiae Reeve. In : Estuarine and
marine bivalve mollusk culture. (Ed) W. Menzel. CRC Press, Inc. 362 p.
Dance, S. P., 1993. L’oeil nature. Les coquillages. Bordas. Paris. 256 p.
Dinas Perikanan, 2002. Statistik Perikanan TK I Propinsi Jawa Tengah “Buku Tahun
1978-1997. Din.Perik.TK I Jateng.
Dorange, G and M. Le Pennec, 1989. Ultrastructural study of oogenesis and oocytic
degeneration in Pecten maximus from the Bay of Saint Brieuc. Mar. Biol., 103: 339-
348.
Epp, J., V. M. Bricelj and R.E. Malouf, 1988. Seasonal Partitioning and Utilization Energy
Reserves in Two Age Classes of The Bay Scallop Argopecten irradians (L). State
University of New York, Stony Brook, New York. J. Exp Mar. Biol. Ecol. 121: 113 –
136.
Franklin, A., G.D. Pickett and P. M. Connor. 1980. The scallop an its fishery in England
and Wales. Laboratory leaflet No. 51. Lowestoft
Gimin,R; R.Mohan; L.V. Thinh and A.D.Griffiths. 2004.The relationship of shell
dimensions and shell volume to live weight and soft tissue weight in the mangrove
clam, Polymesoda erosa (Solander, 1786) from Northern Australia. NAGA. World
Fish Center Quarterly. 27(3&4): 32-35.
Lovatelli, A, 1991. The production of the scallop. In : World Animal Science. C :
Production of aquatic animals. C. E Nash (Ed). Elsevier Science Publishers BV. : p:
161-171.
Mackie, G.L. 1984. Bivalves. In : Wilbur, K.M dkk (Eds.), The Mullusca, Volume 7 :
Reproduction, Academic press, Inc. p. 351 – 418.
213
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Mackie, L.A and A.D Ansell, 1993. Differences in reproductive ecology in natural and
transplanted populations of Pecten maximus: evidence for the existence of separate
stocks. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 169: 57-75.
Mariani,S; F.Piccari and ED.Matthaeis. 2002. Shell morphology in Cerastoderma spp.
(Bivalvia: Cardiidae) and its significance for adaptation to tidal and non-tidal coastal
habitats. J.Mar Biol Ass, UK, 82 : 483-490.
Mason, J, 1983. Scallop and queen fisheries In the British Isles. Fishing News Books,
Farnham, U.K. 144 p.
Moraga, D, 1989. Polymorphisme enzymatiques de populations naturelles et
experimentalles de la Palourde Europenne (Ruditapes decussatus). These de
doctorat de 3eme cycle. Universite de Bretagne Occidentale.Brest. 114 p
Nugranad, J and K Promochinda, 1996. Experiment on hatchery seed production of the
th
scallop Chlamys senatorius Gmelin. Proceeding of the 6 workshop of the Tropical
Marine Mollusc Program. Hylleberg, J and K. Ayyakannu (Eds.) Phuket Marine
Biological Center Special Publication . 16 : 365.
Pena, J.B, S. Mestre and A. Farias, 1991. Pectinid settlement on artificial collecter in
Castellon, East Spain In 1990. 8th Internat. Pectinid Workshop, Cherbourg-France.
(Abstract).
Penchaszadeh, P. E., 1991. Pectinid fisheries In latin American. 8th Internat. Pectinid
Workshop, Cherbourg-France. (Abstract).
Roberts, D.S., Soemodihardjo dan W. Kastoro, 1982. Shallow water Marine Molluscs of
North West Java. LON-LIPI. Jakarta. 172 p.
Thorarinsdottir, GG, 1996. The feasibility of suspended culture of scallops (Pectinidae).
th
In: Proceeding of the 6 workshop of the Tropical Marine Mollusc Program.
Hylleberg, J & K Ayyakannu (Eds.) Phuket Marine Biological Center Special
Publication 16 : 39-46.
Widowati, I; J. Suprijanto dan D. Suprapto. 2000. Analisa Kualitatif Reproduksi Kerang
Kipas-Kipas Amusium pleuronectes dari Weleri-Kendal, Jawa Tengah. Majalah Ilmu
Kelautan 26 (VIII) : 127-130. (ISSN 0853 – 7291).
Widowati, I; Widiastuti H.N, dan G. Hidayat, 1999. Variasi komposisi biokimia dan berat
jaringan lunak Amusium sp dari perairan Pekalongan - Jawa Tengah. Majalah Ilmu
Kelautan. 16 (IV) : 180-183.
Williams, LE. 2002. Queensland’s fisheries resources. Current condition and recent trens
1988-2000. Departement of Primary Industries. Brisbane.
Zhang, F. 1991. The rise of the bay scallop culture in China. 8th Internat. Pectinid
Workshop, Cherbourg-France. (Abstract).
214
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C6
________________________________________________________________________
Abstrak
Keuntungan pakan buatan adalah bisa disimpan dalam waktu yang lama, tidak
memerlukan tempat yang luas, dan ada setiap saat. Maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian pakan Gracilaria sp, pakan buatan , dan kombinasi
antara Gracilaria sp dengan pakan buatan terhadap pertumbuhan Haliotis asinina.
Eksperimental laboratorium ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan
perlakuan pemberian tiga jenis pakan yaitu Gracillaria sp, pakan buatan, dan kombinasi
antara Gracillaria sp dan pakan buatan. Juvenil abalon dengan panjang cangkang 2 - 3
cm dipelihara dalam hapa di bak beton dan diberi pakan satu kali dalam 24 jam setiap
pukul 16.00 sebanyak 10 % dari total biomassa.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan jenis pakan tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan panjang cangkang dan kelulushidupan abalon tetapi sangat
berpengaruh terhadap pertambahan berat abalon. Namun demikian baik pertambahan
berat, pertumbuhan panjang cangkang, dan kelulushidupan abalon yang terbaik dicapai
oleh abalon yang diberi pakan Gracilaria sp dan yang terendah adalah abalon yang diberi
pakan buatan.
Pendahuluan
Abalon merupakan salah satu komoditas laut yang memiliki nilai ekonomis cukup
tinggi. Abalon jika dibudidayakan dengan teknologi yang tepat akan menghasilkan
keuntungan yang besar karena hampir seluruh penduduk di dunia sangat menggemari
abalon. Dinegara-negara lain seperti Jepang, Selandia baru, Taiwan, China, Australia,
Afrika selatan, dan Korea selatan, abalon sudah dibudidayakan dengan mengguankan
teknologi yang canggih dan tepat guna. (Romimohtarto & Sri Juwana, 2001).
Tahapan dalam budidaya abalon meliputi pemeliharaan dan seleksi induk,
pemijahan, penyiapan pakan awal larva, pemeliharaan larva dan pendederan. Pemberian
pakan harus diberikan secara tepat dalam pelaksanaan budidaya abalon karena protein
merupakan komponen penting untuk pertumbuhan (Fleming et al, 1996). Saat ini
pemeliharaan abalon di Jepang banyak menggunakan pakan berkualitas tinggi, yang
lebih sehat, efisien dan menghasilkan daging dengan kualitas sangat tinggi (Setyono,
2004).
215
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Di alam bebas, makanan normal abalon dewasa adalah makroalga (seaweed) yang
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu alga coklat, hijau dan merah. Seagrass atau eel grass
(zostera) yang bukan alga juga dikonsumsi oleh abalon (Fallu,1991). Menurut
Sanghagraiwan (1993), Gracilaria merupakan makanan yang baik untuk perkembangan
gonad induk abalon jenis Haliotis asinina.
Kemungkinan ketertarikan abalon pada makanan tergantung pada daya tarik kimia
meskipun kekerasan dan tekstur juga kadang berpengaruh. Umumnya abalon lebih
memilih makanan yang lunak, contohnya alga merah Glacilaria sp. Hal tersebut
dikarenakan abalon tidak memiliki rahang dan gigi yang tajam yang dapat mereka
gunakan untuk menyobek makanan
Pemberian rumput laut sebagai makanan abalon akan mendapat masalah karena
pada waktu tertentu rumput laut tidak tersedia, hal ini dikarenakan pertumbuhan rumput
laut sangat dipengaruhi oleh musim. Ketiadaan rumput laut akan membuat pertumbuhan
abalon menjadi menurun dan hal ini tentunya akan merugikan pembudidaya abalon,
selain itu stok pakan rumput laut apabila diletakkan di dalam bak teraerasi dalam jumlah
yang banyak dan waktu yang lama akan membusuk dan kualitas pakannya akan
menurun. Untuk mengatasi hal tersebut alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
cara pemberian pakan tambahan/buatan yang dapat diberikan pada abalon. Keuntungan
pemberian pakan buatan adalah komposisi nutrisinya dapat diatur, sehingga didapatkan
komposisi nutrisi yang optimal untuk kebutuhan nutrisi abalon (Fallu, 1991). Selain itu
pakan buatan juga bisa disimpan dalam waktu yang lama, tidak memerlukan tempat yang
luas, dan ada setiap saat. Namun pengaruh pemberian pakan buatan terhadap
pertumbuhan abalon belum banyak dikatahui, sehingga penelitian untuk membandingkan
pemberian pakan rumput laut dan pakan buatan perlu dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan
Gracilaria sp, pakan buatan, dan kombinasi antara Gracilaria sp dengan pakan buatan
terhadap pertumbuhan abalon. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang pakan buatan untuk abalon sebagai pakan alternatif yang baik untuk
budidaya abalon agar pertumbuhan abalon dapat berlangsung normal.
216
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
gram. Pakan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis Gracillaria
sp yang didapat dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Jepara
dan pakan buatan berupa pellet udang serbuk merk Charoen Pokphand dengan
kandungan protein 40 %.
Metode yang digunakan adalah Eksperimental Laboratorium dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL), tiga perlakuan dan tiga pengulangan. Adapun
perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : pemberian pakan Gracilaria sp
Perlakuan B : pemberian pakan kombinasi antara Gracilaria sp dan pakan buatan dengan
perbandingan pakan 1 : 1
Perlakuan C : pemberian pakan buatan
Bak yang digunakan untuk penelitian abalon berukuran panjang 4 m, lebar 2 m, dan
tinggi 0.6 m dengan volume air 4800 L. Hapa sebagai media untuk menempel dan hidup
juvenil abalon terbuat dari jaring yang dijahit berbentuk persegi dengan ukuran P 40 cm,
L 30 cm, dan T 30 cm. Hapa dipasang digantung dan pada dasar hapa diletakkan mika
bergelombang yang berfungsi sebagai tempat menempel juvenil abalon (Gambar 1 dan
2).
217
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
218
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan (pertambahan berat,
pertumbuhan efektifitas harian berat (SGR), dan pertumbuhan cangkang abalon) dan
kelulushidupan abalon.
a. Pertambahan berat abalon (W) (Cox, 1996).
W = Wt − W 0
Keterangan :
Wt : berat akhir penelitian waktu minggu ke-t
W0 : berat awal abalon
b. SGR (Spesific Growth Rate), adalah laju pertumbuhan harian atau rata- rata
pertambahan berat setiap hari dalam persen. (Cox, 1996).
ln Wt − ln W 0
SGR = x100%
t
Keterangan :
Wt : Berat akhir abalon
W0 : berat awal abalon
t : waktu penelitian
c. Pertumbuhan Panjang cangkang (L) (Cox, 1996).
L = Lt − L 0
Keterangan :
Lt : panjang cangkang akhir penelitian waktu minggu ke-t
L0 : panjang cangkang awal abalon
d. Kelulushidupan
Kelulushidupan (SR) adalah prosentase jumlah biota yang hidup pada akhir waktu
tertentu (Cox, 1996).
Nt
SR = × 100 %
No
Keterangan :
Nt : jumlah abalon akhir penelitian waktu ke-t
N0 : jumlah awal abalon
Uji ANOVA yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pakan
terhadap pertumbuhan panjang dan berat mempunyai beberapa tahap. Tahap petama
adalah uji normalitas, jika dari uji normalitas nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (sig >
219
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
0,05) maka data tersebut normal dan dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji lanjut
setelah uji homogenitas menggunakan uji Duncan.
5.00
4.50
Berat (gram)
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1 2 3 4 5 6
Minggu ke-
220
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
3.50
3.00
SGR Berat (%) 2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Perlakuan
1 pakan
Umumnya abalon lebih memilih makanan yang lunak, contohnya alga merah
Glacilaria sp. Abalon lebih menyukai makanan yang lunak dikarenakan mereka tidak
memiliki rahang dan gigi yang tajam yang dapat mereka gunakan untuk menyobek
makanan. Dengan hanya mengunakan radula yang dimilikinya abalon akan cukup
kesulitan untuk menghancurkan makanan yang keras (Setyono, 2004). Menurut Tanin
Sanghagraiwan (1993), Gracilaria sp juga merupakan makanan yang baik untuk
perkembangan gonad induk abalon Haliotis asinina.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Siwi (Kom.Pri., 2007) diketahui bahwa
abalon lebih menyukai alga lunak, yaitu Ulva sp daripada Gracilaria sp tetapi
pertumbuhan yang lebih baik ditunjukkan oleh abalon yang diberi pakan Gracilaria sp.
Gracilaria sp merupakan pakan yang baik untuk pertumbuhan abalon dibandingkan Ulva
sp, meskipun abalon lebih banyak mengkonsumsi Ulva sp
Gracillaria sp mempunyai bentuk thallus yang berbentuk silindris atau gepeng
dengan percabangan mulai dari yang sederhana hingga yang rumit. Di atas percabangan
biasanya berbentuk thallus yang agak mengecil. Warna thallus beragam, mulai dari
warna hijau-coklat, merah, pirang, merah-coklat dan sebagainya. Substansi thallus
menyerupai gel atau lunak seperti tulang rawan (Aslan, 1998).
Abalon menunjukkan pilihan yang berbeda pada jenis makanan tertentu. Jika
mereka menyukai berbagai makanan yang ada, maka mereka akan berkembang lebih
cepat. Pakan digunakan setelah sebelumnya dilakukan aklimatisasi biota dengan
lingkungan dan pakan sesuai perlakuan yaitu Gracilaria sp, pakan buatan, dan kombinasi
antara Gracilaria sp dan pakan buatan selama 1 minggu sebelum pelaksanaan
pengamatan. Setelah abalon mau memakan pakan buatan yang disediakan sebagai
pakan pengganti baru dilaksanakan pengamatan dengan pemberian pakan yang berbeda
221
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
secara berkala. Menurut Landau (1992) tingkat kesukaan terhadap suatu jenis dan tipe
pakan tergantung dari arus, ketersediaan pakan, dan pengaturan lingkungan sekitarnya.
Shepherd dan Steinberg (1992) dalam Corazani dan Illanes (1996) mendefinisikan
bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pemilihan alga oleh abalon sebagai
makanannya yaitu senyawa metabolit yang ada dalam alga, morfologi alga yang merujuk
pada tingkat kekerasan alga tersebut, dan nilai nutrisi yang memiliki peranan dalam
tahap perkembangan abalon.
Perilaku makan abalon pada saat makan Gracilaria sp lebih suka menangkapnya
dengan epipodium lalu kemudian memakan rumput laut itu dengan cara
menggerogotinya seperti yang dikemukakan oleh Fallu (1991). Sedangkan perilaku
abalon pada saat memakan pakan buatan berdasarkan pengamatan pada saat penelitian
ini adalah mendekatinya lebih dahulu, kemudian mengenali pakan tersebut dengan
menggunakan kedua tentakel, setelah beberapa lama abalon tersebut berjalan sampai
seluruh badannya menutupi pakan tersebut dan memakannya dengan cara menghisap
pakan yang berbentuk serbuk.
Data yang didapat dari pengamatan selama 6 minggu menunjukan bahwa laju
pertambahan berat abalon yang paling tinggi ditunjukan oleh pemberian pakan jenis
Gracilaria sp dengan nilai 1,20 ± 0,12 (g) , yang diikuti oleh jenis pakan kombinasi dan
yang paling rendah adalah pemberian pakan buatan dengan nilai masing – masing 0,90
± 0,02 (g) dan 0,45 ± 0,01(g).
Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan perbedaan pakan berpengaruh sangat
nyata terhadap pertambahan berat abalon. Uji lanjut Duncan menunjukan bahwa
Gracilaria sp merupakan pakan buatan yang paling baik diantara tiga pakan yang
diberikan. Pakan kombinasi memberikan pengaruh yang nyata lebih baik daripada pakan
buatan tetapi pengaruhnya sama dengan pakan Gracilaria sp.
Studi kebiasaan makan abalon menunjukkan bahwa abalon lebih menyukai pakan
yang barvariasi dan lunak karena abalon memiliki radula sehingga pakan lunak akan
lebih mudah dimakan abalon daripada pakan keras (Steneck and Watling, 1982). Abalon
tidak mampu memakan pakan yang keras sesuai dengan pernyataan McShane et al
(1994) yang menyatakan bahwa faktor utama yang berpengaruh pada pakan abalon
adalah kekerasan makroalga.
Perbedaan tingkat kesukaan pakan pada abalon menurut Fleming (1995),
disebabkan oleh kemampuan abalon mencerna komponen tertentu, misalnya
karbohidrat. Abalon di alam akan memilih pakan yang memiliki keseimbangan nutrisi
tetapi pada suatu waktu hal ini dapat berubah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya ketersediaan pakan, keberadaan bahan kimia pada alga yang membuat abalon
222
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
tidak mau memakan alga tersebut serta ketidakmampuan abalon mengkonsumsi
makanan yang keras (Fleming, 1995).
Menurut Poore (1972), pemilihan pakan hanya akan terjadi bila pakan tersedia.
Selain hal itu proses pemilihan makanan oleh abalon juga disebabkan oleh beberapa hal
antara lain; keberadaan zat metabolit kimia dari alga, morfologi alga (kekerasan) dan nilai
gizi (Shepherd and Steinberg, 1990 dalam Sharifuddin, 2000).
Pertambahan berat dan pertumbuhan panjang cangkang abalon pada pengamatan
yang dilakukan selama 6 minggu paling besar dicapai dengan pemberian pakan
Gracilaria sp. Abalon memilih jenis pakan tertentu karena kebutuhan abalon untuk
mengkonsumsi pakan dengan nilai nutrisi yang seimbang dan secara khusus abalon
membutuhkan suplai nitrogen yang cukup dari pakannya. Tingkat kesukaan pada abalon
sangat berhubungan dengan kandungan nitrogen tercerna pada alga. Hal ini
mengindikasikan bahwa nitrogen memegang peranan penting dalam menentukan tingkat
kesukaan abalon terhadap alga serta merupakan nutrien pembatas bagi pertumbuhan
abalon karena tingkat konsumsi nitrogen tercerna secara nyata berpengaruh terhadap
laju pertumbuhan abalon (Fleming, 1995). Sementara menurut Capinpin dan Corre
(1996) dengan menggunakan Gracilaria sp sebagai pakan dapat memacu pertumbuhan
lebih lama dan dianggap cocok untuk budidaya abalon.
Kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan sangat berpengaruh bagi
pertumbuhan abalon (Fallu, 1991). Menurut Mujiman (1992), zat-zat gizi yang
diperlukan untuk menghasilkan tenaga, mengganti sel-sel tubuh yang rusak dan untuk
tumbuh antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air. Zat yang paling
berperan dalam pertumbuhan adalah protein.
Perbandingan nilai protein pakan pakan buatan dan Gracilaria sp sangat jauh
berbeda. Bagi abalon, protein merupakan komponen penting untuk pertumbuhan
(Fleming et al, 1996). Menurut NRC (1993) dalam Mai et al (1995), hewan membutuhkan
keseimbangan dan perpaduan yang bagus antara asam amino esensial dan asam amino
non-esensial. Sesuai dengan pernyataan Bautista-teruel et al (2003), yang menyatakan
bahwa kebutuhan protein pada pakan harus cocok, mudah dicerna dan memiliki
komposisi asam amino yang cocok. Kandungan protein optimal memiliki arti jumlah
protein yang dibutuhkan untuk menghasilkan pertumbuhan maksimal (Uki dan Watanabe,
1992).
Perbedaan yang mencolok lagi adalah pada perbandingan kandungan lemak antara
pakan buatan dan Gracilaria sp, dimana kandungan lemak pakan buatan lebih tinggi jika
dibandingkan kandungan lemak Gracilaria sp. Pakan alami abalon rendah lemak tetapi
kaya cadangan karbohidrat (Painter, 1983 dalam Knauer et al 1996). Abalon memiliki
223
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
kemampuan yang besar untuk mensintesis lemak dari sumber karbohidrat (Durazo-
beltran et al, 2003). Untuk meningkatkan pertumbuhan abalon dibutuhkan makroalga
dengan kandungan lemak sebesar 3 - 5% (Mercer et al, 1993).
Uki and Watanabe (1992) menyatakan laju pertumbuhan abalon akan rendah
apabila kekurangan lemak. Tingkat pertumbuhan yang rendah pada abalon yang diberi
pakan tanpa lemak diduga disebabkan oleh berkurangnya energi yang dapat
dimanfaatkan atau kekurangan faktor esensial pada lemak. Moyes and West (1995)
mengemukakan bahwa lipid merupakan unsur penting makanan bukan semata - mata
karena nilai energinya yang tinggi, melainkan karena adanya vitamin yang larut dalam
lemak dan asam lemak esensial yang terkandung pada pakan alami.
Tingginya nilai lemak pada pakan menyebabkan konsumsi pakan rendah sehingga
energi yang dihasilkan rendah dan menyebabkan laju pertumbuhan abalon menjadi
lambat (Thongrod et al , 2003). Lipid memegang peranan penting pada nutrisi abalon
sebagai penyedia EFA, khususnya HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) (Uki et al, 1986;
Uki and Watanabe, 1992).
Sampai saat ini informasi mengenai kebutuhan asam lemak esensial (EFA) untuk
abalon belum tersedia. Asam lemak esensial tidak dapat disintesa oleh tubuh biota
melainkan harus disuplai dari pakan. PUFA (Polyunsaturated fatty acid) dibutuhkan untuk
pertumbuhan normal dan reproduksi abalon yang harus didapatkan dari pakan sebagai
asam lemak esensial (Dunstan et al, 1996).
224
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
29.00
28.00
27.00
P.cangkang (mm)
26.00
25.00
24.00
23.00
22.00
21.00
20.00
1 2 3 4 5 6
Minggu ke-
Kelulushidupan Abalon
Kelulushidupan abalon pada akhir pengamatan dapat dilihat pada tabel 3. Tabel
tersebut menunjukan bahwa kelulushidupan abalon dengan pakan Gracilaria sp lebih
225
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
tinggi dibanding pakan kombinasi dan pakan buatan. Kelulushidupan abalon pada
pemberian pakan kombinasi mempunyai nilai persentase yang paling rendah.
Kesimpulan
Perbedaan jenis pakan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang
cangkang dan kelulushidupan abalon tetapi sangat berpengaruh terhadap pertambahan
berat abalon. Namun demikian baik pertambahan berat mutlak maupun harian,
pertumbuhan panjang cangkang, dan kelulushidupan abalon yang terbaik dicapai oleh
abalon yang diberi pakan Gracilaria sp dan yang terendah adalah abalon yang diberi
pakan dengan pellet udang/pakan buatan.
Daftar Pustaka
Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 97 pp.
Bautista -Teruel, Myrna N Oseni M. Millamena. 1999. Diet development and evaluation
for juvenile abalone, Haliotis asinina: protein energy levels. Aquaculture 178: p
117–126.
226
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Capinpin EC and Corre KG. 1996. Growth rate of the Philippine abalone, Haliotis asinina
fed an artificial diet and macroalgae. Aquaculture 144 : 81–89
Corazani, D and Illanes, Z.E. 1996. Growth of Juvenile Abalone Haliotis discus hannai Ino
1953 and Haliotis rufescens Swainson 1822 Fed With Different Diets. Journal of
Shellfish Research 17: 663-666.
Cox. K.W. 1962. California Abalones. Family Haliotidae. California Fish and Game.
Fisherias Bulletin. Pp 118.
Dunstan, G.A., Baillie, H.J., Barrett, S.M., Volkman, J.K., 1996. Effect of diet on the lipid
composition of wild and cultured abalone. Aquaculture 140 : 115– 127.
Fallu, R. 1991. Abalone Farming. Fishing News Books A Division of Blackwell Scientific
Publications Ltd. Osney Mead. Oxford. 195 pp.
Fleming, A. E. 1995. Digestive efficiency of the Australian abalone Haliotis rubra in
Relation to Growth and Feed Preference. Aquaculture 134: 279-293.
Knauer, J., Britz, P., Hecht, T., 1996. Comparative growth performance and digestive
enzyme activity of juvenile South African abalone, Haliotis midae, fed on
diatoms and a practical diet. Aquaculture 140: 75– 85.
Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. John Willey & Sons, Inc Corporation.
Canada. pp 181-184.
Mai, K., Mercer, J.P., Donlon, J., 1995. Comparative studies on the nutrition of two
species of abalone, Haliotis tuberculata L. and Haliotis discus hannai Ino: III.
Response of abalone to various levels of dietary lipid. Aquaculture 134: 65– 80.
Mercer, J.P., Mai, K.S. and Donlon, J., 1993. Comparative studies on the nutrition of two
species of abalone, Haliotis tuberculara Linnaeus and Haliotis discus hannai
Ino. 1. Effects of algal diets on growth and biochemical composition. Invert.
Reprod. Dev., 23: 75-88.
Moyes, C.D. and West, T.G., 1995. Exercise metabolism of fish. In: Hochachka, P.W.,
Mommsen, T.P. (Eds.), Metabolic Biochemistry. Biochemistry and Molecular
Biology of Fishes, vol. 4.: 367– 392.
227
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Romimohtarto, K. Dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. P3O LIPI. Jakarta.
Setyono, D.E.D. 2003. Reproductive Biology and Production Techniques For Tropical
Abalone ( Haliotis asinina L.) In Eastern Indonesia. PhD thesis, Otagop
University, New Zealand. 274 p. ( Tidak dipublikasikan).
Sharifuddin. 2000. Food and Growth in Haliotis (preview). Jurnal Perikanan UGM II (1) : 1
– 12
Singhagraiwan, T. and Doi, M. 1993. Seed Production and Culture of A Tropical Abalone,
Haliotis asinina Linne. Department of Fisheries, Ministry of Agriculture and
Cooperatives. Thai. Mar. Fish. Res. Bull.2: 83-94.
Uki, N., Watanabe, T., 1992. Review of the nutritional requirements of abalone Haliotis
spp and development of more efficient diets. In: Sheperd, S.A., Tegner, M.J.,
Guzma´n del Proo´ , S.A. (Eds.), Abalone of the World: Biology, Fisheries and
Culture. Fishing News Books, Oxford, pp. 504– 517.
Uki, N., Sugiura, M., Watanabe, T., 1986. Requirement of essential fatty acids in the
abalone Haliotis discus hannai. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 52: 1013– 1023.
228
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C6
________________________________________________________________________
George Hadiprajitno
Abstrak
Indonesia Negara kepulauan merupakan surga bagi Moluska baik yang hidup di laut
maupun di darat, sehingga menjadi sorotan para peneliti asing. Dalam 15 tahun terakhir
lebih dari 120 lebih species baru yang dipertelakan, hampir semua dari species baru
tersebut dipertelakan di luar negeri oleh peneliti asing dan holotypenya disimpan di
museum-museum yang berada di luar Indonesia. Dalam studi ini dibuat Daftar
Species baru moluska Indonesia dari tahun 1991 sampai 2006. Juga informasi
species-species yang dipertelakan dari lokasi di luar negeri dan diperkirakan dapat
ditemukan di Indonesia; maupun species yang awalnya dipertelakan dari Indonesia
tetapi saat ini keberadaannya tidak ada beritanya lagi. Sejalan dengan Seminar ini,
melalui tulisan ini penulis mengajak/menggugah para peneliti untuk bangkit karena
kesempatan masih terbentang luas dan apa yang dapat kita lakukan masih banyak, baik
dalam segi penelitian, konservasi, pemanfaatan serta budidaya moluska Indonesia untuk
kehidupan manusia.
Kata kunci: Moluska, Indonesia, Terbaru
Pendahuluan
Indonesia Negara kepulauan merupakan surga bagi Moluska baik yang hidup di laut
maupun di darat, sebagian diantaranya merupakan species yang endemic dan tidak
diketemukan di daerah lain. Kekayaan dan keaneka ragaman moluska Indonesia
menjadi perhatian dan sorotan para peneliti asing. Sedangkan peneliti Indonesia sendiri
masih adem ayem saja.
Banyak peneliti dan kolektor asing yang datang ke Indonesia sebagai wisatawan dan
menjelajah sampai daerah-daerah pedalaman untuk mengumpulkan specimen-specimen
moluska (laut maupun darat). Mereka kemudian menerbitkan tulisan dan hasil
temuannya dalam berbagai media cetak baik journal ilmiah maupun journal popular,
ataupun di situs-situs Moluska.
Meskipun demikian sampai sekarang informasi mengenai moluska Indonesia masih
tertutup, masih banyak sekali informasi yang belum terungkap. Bukan saja dari segi
penelitian ilmiah dan penemuan species-species baru, pemanfaatan moluska secara
ekonomi juga masih belum berarti, demikian juga konservasi moluska masih belum
terlihat jelas, selain Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 tanggal 12
Januari 1987 yang memuat 12 jenis Siput dan Kerang yang dilindungi di Indonesia.
229
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Species Baru Moluska Indonesia 1990-2005
Berdasarkan referensi yang dapat diperoleh, penulis menyusun Daftar Species
Baru Moluska Indonesia dari tahun 1990 sampai 2005.
Tabel 1. Daftar Species Baru Moluska Indonesia 15 Tahun Terakhir.
_______________________________________________________________________
No. Famili Species Author Tahun Lokalitas
230
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________
No. Famili Species Author Tahun Lokalitas
231
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________
No. Famili Species Author Tahun Lokalitas
232
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
4
3
Tabel 1. (lanjutan)
_______________________________________________________________________
No. Famili Species Author Tahun Lokalitas
B . Siput Darat
1 Strobilopsidae Enteroplax aumogensit Vermeulen 1990 Sulawesi Utara
2 Strobilopsidae Enteroplax dumogonsis Vermeulen 1992 Sulut: G.Mogogonipa
3 Strobilopsidae Enteroplax trochospira Vermeulen 1992 Sulut: Lbh. Dumoga
4 Strobilopsidae Eostrobilops triptychus Vermeulen 1992 Kalimantan Tenggara
5 Diplommatinidae Diplommatina aurisdiaboli Vermeulen 1993 Kasel & Kaltim
6 Diplommatinidae Diplommatina bicoronata bicoronataVermeulen 1993 Kasel & Kaltim
7 Diplommatinidae Diplommatina bicoronata praetevisa Vermeulen 1993 Kasel & Kaltim
8 Diplommatinidae Diplommatina serempakensis Vermeulen 1993 Kasel & Kaltim
9 Diplommatinidae Diplommatina miraculumdei Vermeulen 1993 Kasel: BatuTangga
10 Diplommatinidae Diplommatina tiara Vermeulen 1993 Kasel & Kaltim
11 Diplommatinidae Diplommatina lacrimans Vermeulen 1993 Kasel & Kaltim
233
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________
No. Famili Species Author Tahun Lokalitas
12 Diplommatinidae Diplommatina welzeni Vermeulen 1993 Kasel & Kaltim
13 Diplommatinidae Diplommatina meratusensis Vermeulen 1993 Kalsel: G.Meratus
14 Diplommatinidae Diplommatina subglaber Vermeulen 1993 Kalsel & Kaltim
15 Camaenidae Amphidromus djajasasmitai Dharma 1993 Lampung
16 Camaenidae Amphidromus puspae Dharma 1993 Bangko-Jambi
17 Diplommatinidae Opisthotoma asyndeton Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
18 Diplommatinidae Opisthotoma crassicolle Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
19 Diplommatinidae Opisthotoma acolaston Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
20 Diplommatinidae Opisthotoma semisolutum Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
21 Diplommatinidae Opisthotoma auriforme Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
22 Diplommatinidae Opisthotoma subconicum Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
23 Diplommatinidae Opisthotoma delopterum Vermeulen 1994 Kalsel: G.Meratus
24 Diplommatinidae Opisthotoma transequatorialis Vermeulen 1994 Kaltim & Kaltenggr
25 Diplommatinidae Arinia valkenburgi Vermeulen 1996 Kalsel & Kaltim
26 Diplommatinidae Arinia dioryx Vermeulen 1996 Kalsel & Kaltim
27 Diplommatinidae Arinia strophostoma strophostoma Vermeulen1996 Kalsel: G.Meratus
28 Diplommatinidae Arinia strophostoma fusiformis Vermeulen 1996 Kalsel: G.Meratus
29 Diplommatinidae Arinia ascotrochus Vermeulen 1996 Kalsel & Kaltim
30 Diplommatinidae Arinia ferecognita Vermeulen 1996 Kaltim: Kutai
31 Diplommatinidae Arinia stenotrochus stenotrochus Vermeulen 1996 Kalsel & Kaltim
32 Diplommatinidae Arinia stenotrochus anisopleuron Vermeulen 1996 Kalsel & Kaltim
33 Diplommatinidae Diplommatina meijaardi Vermeulen 1996 Kaltim: Sangkulirang
34 Ariophantidae Asperitas trochus inversa Falconieri 1996 Nusa Tenggara
35 Enidae Coccoderma alticola Dharma 1996 Jawa
36 Pupinidae Sulapina theresiae Maassen & Kittel 1996 Tangkoko, Sulut
37 Pupinidae Moulinsia boucheti Maassen & Kittel 1996 Tonusu, Sulteng
38 Pupinidae Callianella incerta Maassen & Kittel 1996 G.BawaKaraeng
Sulsel
39 Diplommatinidae Palaina astenis Vermeulen 1997 Denpasar-Bali
40 Helicarionidae Geotrochus rimatus Vermeulen 1997 Bedugul-Bali
41 Ariophantidae Asperitas stuartiae yani Dharma 1999 Atambua-Timor Barat
42 Ariophantidae Asperitas stuartiae hadiprajitnoi Dharma 1999 Laurara-Timor Timur
43 Assimineidae Anaglyphula minutissima Maasen 2000 Bukittinggi-Sumbar
44 Hydrocenidae Georissa pangianensis Maasen 2000 Bukittinggi-Sumbar
45 Valloniidae Ptyhopatula solemi Maasen 2000 Aceh Tengah
46 Valloniidae Ptyhopatula vermeuleni Maasen 2000 Karo-Sumut
47 Charopidae Teracharopa goudi Maasen 2000 Bukittinggi-Sumbar
234
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________
No. Famili Species Author Tahun Lokalitas
48 Charopidae Teracharopa rara Maasen 2000 Karo-Sumut
235
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Coccoderma alticola Dharma, 1996 Moulinsia boucheti Maasen & Kittel, 1996
Dari daftar tersebut jelas terlihat bahwa species yang dipertelakan orang Indonesia
sangat kecil dari 125 species hanya 10 species yang dipertelakan oleh orang Indonesia
itupun dari 10 species tersebut 5 species ada campur tangan orang asing. Akibatnya
kebanyakan holotype dari species tersebut disimpan di berbagai museum di luar negeri,
arsipnya tidak ada di Museum Indonesia.
Sebagian species baru dari laut adalah hasil dari Ekspedisi Karubar yang diadakan
tahun 1992 yang disponsori oleh pemerintah Perancis. Ekspedisi ini menggunakan
sebuah kapal “dredging” dari Perancis yang dapat mengeruk dasar laut untuk mengambil
sample sampai kedalaman ribuan meter. Banyak sekali specimen laut dalam yang sangat
sukar didapat tanpa kapal yang dilengkapi alat khusus tersebut, hingga kini masih banyak
236
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
specimen yang belum dapat di-identifikasi (disimpan di lembaga/museum di Perancis dan
di tangan para ahli Eropa).
Beberapa species dari daerah Ambon adalah hasil dari “The Rumphius Biohistorical
Expedition” untuk memperingati ekspedisi Georgius Everhardus Rumphius ke Ambon
beberapa ratus tahun yang silam (abad 17). Beberapa peneliti dari berbagai Negara
yang masing-masing ahli dalam famili moluska tertentu terlibat dalam proyek tersebut.
Diantaranya Roland Houart spesialis Muricidae dari Belgia, H.H. Dijkstra ahli Pectinidae ,
juga A. Verhecken ahli Cancellariidae dari Belanda, dan A. Sysoev ahli Turridae dari
Rusia.
Sedangkan untuk siput darat, banyak siput hasil eksplorasi Dr. J.J. Vermeulen
seorang ahli botani Belanda yang menjelajah daerah Kalimantan, Malaysia dan sebagian
Sulawesi. Dalam satu beberapa tulisan lebih dari 30 species baru dari Indonesia yang
berukuran mikro (1.1 – 8.3 mm) dipertelakan olehnya, dalam tulisan Vermeulen lebih dari
100 species siput mikro baru dari Kalimantan yang termasuk daerah Malaysia,
kemungkinan besar species tersebut juga dapat diketemukan di wilayah Indonesia.
Disamping Vermeulen juga ada Wim J.M. Maassen juga dari Belanda yang
melakukan perjalanan ke berbagai lokasi di Sumatera dan Sulawesi dan membukukan
cukup banyak species baru.
Dari Indonesia sendiri peneliti yang pernah mempertelakan species moluska baru
adalah sebagai berikut:
• Bp. Machfudz Djajasasmita (saat itu peneliti dari Museum Zoologi Bogor) antara
tahun 1963-1988 mempertelakan 3 siput, dua darat baru: Amphidromus
poecilochrous asmani Djajasasmita, 1963 dari Pulau Komodo dan Pterocyclus
spiroliratus Djajasasmita, 1988 dari Aceh, dan 1 kerang air tawar: Corbicula lacunae
Djajasasmita, 1977 dari Jawa.
• Ibu Ir. W. Widiarsih Kastoro Msc., tahun 1997 bersama H.H. Dijkstra menulis
tentang 2 species Pectinidae baru dari hasil Ekspedisi Karubar.
• Kemudian Bp. Bunjamin Dharma yang banyak menulis buku dan artikel-artikel
tentang Moluska di berbagai media cetak mempertelakan 5 jenis siput darat baru
serta bekerja sama dengan peneliti asing juga mempertelakan 2 jenis siput laut.
• Kemudian peneliti muda dari Bandung Bp. Aswan ST, MT. tahun 2004 bersama 2
peneliti Jepang mencatatkan satu jenis species baru.
Pada saat ini beberapa species baru sedang dikerjakan studinya dan pertelaannya oleh
Ibu Ir. Ristiyanti M. Marwoto (Pusat Penelitian dan Pengembangan Zoologi, LIPI –
Cibinong), juga secara terpisah Bp. Bunjamin Dharma sedang mempersiapkan
pencatatan beberapa siput darat baru.
237
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
3. Species Lain Yang Belum Tercatat
Selain daftar species-species baru, banyak pula species yang dipertelakan dari
lokasi di luar negeri tetapi dapat ditemukan di Indonesia, juga terdapat species yang
awalnya dipertelakan dari Indonesia tetapi saat ini keberadaannya tidak jelas atau tidak
ada beritanya lagi
Kelangkaan suatu species moluska kadang-kadang bukannya “langka” dalam arti tidak
ada, tapi bisa jadi tidak diketahui lokalitasnya. Sebagai contoh dua siput langka yang
kebetulan keduanya bergenus Cymbiola yaitu C. cymbiola (Gmelin, 1791) dan C.
chrysostoma (Swainson, 1824). Kedua siput ini lebih dari seabad tidak diketemukan, dan
baru kemudian sekitar tahun 1980 an C. cymbiola diketemukan oleh kapal trawl Thailand
di Laut Arafura, dan C. chrysostoma
sekitar tahun 2000 diketemukan di
sekitar Banggai, pulau kecil di Sulawesi
Tengah.
1. Conus nobilis nobilis Linnaeus, 1758, tahun 1980 an species ini masih mudah
diketemukan di kepulauan Seribu, tapi lebih dari 15 tahun terakhir species ini tidak
pernah diketemukan lagi.
2. Conus gloriamaris Chemnitz, 1777, Conus indah ini sangat langka di Indonesia
sedangkan di Filipina tergolong species tidak umum.
238
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
3. Conus excelsus Sowerby, 1908 Conus yang sangat indah ini kemungkinan besar
dapat diketemukan di Indonesia.
Volutidae
2. Cymbiola kaupi (Dunker, 1863), hanya satu specimen yang pernah ada, holotype (56
mm) disimpan di Museum Berlin Timur, dan diperkirakan berasal dari Indonesia
Timur.
Selain kedua species diatas ada beberapa species lain yang diperkirakan ada di
Indonesia, antara lain:
3. Cymbiola imperialis (Lightfoot, 1786), dikenal dari Sulu, Filipina Selatan
4. Cymbiola aulica (Sowerby, 1825), Sulu, Filipina Selatan
5. Cymbiola rutila (Broderip, 1826). PNG & Queensland, Australia
6. Lyria habei Okutani, 1979, form vicdani, Filipina sampai New Caledonia
7. Lyria mikoi Kosuge, 1985, Davao, Mindanao, Filipina Selatan
8. Lyria planicostata (Sowerby, 1903), Mindanao, Filipina Selatan
239
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
9. Teramachia dalli (Bartsch, 1942), Filipina Selatan samapi Taiwan
10. Teramachia smithi (Bartsch, 1942), Filipina Selatan
11. Teramachia dupreyae Emerson, 1985. Kemungkinan dapat diketemukan di Arafura.
12. Amoria dampiera (Weaver, 1960), Australia Barat & Utara
13. Amaria jamrachi (Gray, 1864), Australia Barat Laut.
Muricidae
1. Murex acanthostephes Watson, 1883, Australia, kemungkinan ada di L. Arafura
2. Murex falsitribulus Ponder & Vokes, 1988, Palawan-Filipina, kemungkinan ada di
Sulawesi Utara dan Timor
3. Murex bervispina ornamentalis Ponder & Vokes, 1988, Sabah – Malaysia
4. Murex spectabilis Ponder & Vokes, 1988, Laut Sulu (Filipina), Laut Andaman dan
juga di Australia
5. Haustellum gallinago (Sowerby, 1903), Filipina, kemungkinan ada di Selat Makasar
6. Haustellum dentifer (Watson, 1883), Filipina, Papa New Guinea & New Caledonia
7. Haustellum mindanoensis (Sowerby, 1841), Filipina Selatan, kemungkinan ada di
Timor
Cypraeidae
1. Cypraea (Lyncina) aurantium (Gmelin, 1791), Filipina sampai Taiwan, beberapa
specimen telah diketemukan di Indonesia, salah satunya milik penulis kemungkinan
dari P. Lembata, Flores, tapi kebenaran lokalitas specimen tersebut masih
meragukan.
2. Cypraea (Lyncina) leucodon Broderip, 1828
3. Cypraea (Lyncina) porteri Caté, 1966
4. Cypraea (Lyncina) nivosa Broderip, 1827
5. Cypraea (Nesiocypraea) langfordi Kuroda, 1938
6. Cypraea (Notadusta) martini Schepman, 1907
7. Cypraea (Notadusta) rabaulensis Schilder, 1964
8. Cypraea (Blasicrura) goodalli Sowerby, 1832
9. Cypraea (Erosaria) cernica Sowerby, 1870
10. Cypraea (Erosaria) dilwyni Schilder, 1927
11. Cypraea (Erosaria) guttata Gmelin, 1791
12. Cypraea (Erosaria) beckii Gaskoin, 1836
13. Cypraea (Annepone) mariae Schilder, 1927
Daftar tersebut diatas hanya sebagian kecil dari moluska yang kemungkinan besar
dapat diketemukan di Indonesia tetapi belum tercatat dalam inventaris moluska kita,
240
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
masih panjang sekali daftar yang dapat dibuat untuk species-species yang kategorinya
serupa, apalagi bila species-species yang kecil dimasukkan dalam daftar.
Kesimpulan
Sejalan dengan Seminar “Moluska Dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi”,
melalui makalah ini penulis mengajak/menggugah para peneliti dan masyarakat yang
ingin ikut terlibat untuk bangkit karena kesempatan untuk meneliti bidang Moluska
masih terbentang sangat luas dan tugas yang dapat dan harus kita lakukan masih
banyak, baik dalam bidang penelitian, bidang konservasi, maupun pemanfaatan serta
budidaya moluska Indonesia untuk kehidupan manusia, khususnya manusia Indonesia.
Di bawah penulis membuat daftar dari kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan;
daftar dibagi menjadi 3 kelompok bidang yang berbeda, meskipun demikian ketiga
kelompok tersebut saling tumpang tindih dan sebenarnya sulit dipisahkan satu sama
lain:
Bidang Penelitian
Kesempatan untuk melakukan penelitian dan studi mengenai Moluska masih sangat
terbuka dan cukup menantang.
1. Perlu dibentuk Data base (distribusi dan populasi) dan Jaringan (Network) para
peneliti Moluska di Indonesia dengan melibatkan perguruan-perguruan tinggi yang
tersebar tiap-tiap Ibu kota provinsi dan kota-kota besar lainnya, lebih luas lagi dalam
mengumpulkan data dapat dilibatkan siswa-siswa Sekolah Menengah Atas yang
tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Pada tahap awal hanya perlu dibuat data
base sederhana saja yang penting dapat dipergunakan untuk mengetahui
(inventarisasi) species moluska yang ada di Indonesia dan juga mengetahui potensi
moluska yang dapat dimanfaatkan.
2. Data base ini disebar luaskan melalui journal ilmiah moluska yang diterbitkan secara
berkala ke pihak-pihak yang terkait dan yang membutuhkan, termasuk untuk
masyarakat yang memerlukannya.
3. Perlu disiapkan buku panduan tentang pengetahuan dan cara-cara mengumpulkan
specimen, standard pendataan, bila perlu disertai dengan penyuluhannya ke daerah-
daerah. Buku panduan ini harus disebar luaskan keperguruan tinggi dan lembaga-
lembaga yang akan membantu mengumpulkan data untuk data base.
4. Kesempatan untuk mempertelakan species baru sangat besar, para malacologist dan
conchologist Indonesia diharapkan bisa lebih berperan atau menjadi “tuan” di negeri
sendiri. Prof. Sunberg menyatakan bahwa saat ini baru 1.7 juta lebih tumbuhan dan
hewan yang tercatat, sedangkan di dunia diperkirakan oleh para ahli Biologi ada 5 –
10 juta species, jadi baru sepertiga yang telah tercatat.
241
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
5. Ekspedisi penelitian perlu digiatkan, apabila diperlukan bisa mengajak kerjasama
peneliti asing, tapi dalam kerjasama ini harus disertai syarat yaitu: material study
harus lebih banyak yang di tinggal di Indonesia daripada yang mereka bawa ke
negerinya.
6. Disamping kerjasama dengan orang asing, bisa juga lembaga pemerintah, perguruan
tinggi yang memiliki fakultas-fakultas terkait mengajak kerjasama penelitian dan
penjelajahan dengan pengusaha dan organisasi terkait.
Bidang Konservasi Moluska
Di kelompok bidang ini, sudah banyak pakar-pakar lingkungan yang menangani, penulis
hanya ingin memberi beberapa masukan:
1. Peninjauan kembali moluska yang dilindungi, peraturan pemerintah yang mengatur
perlindungan Moluska dibuat tahun 1987, setelah 20 tahun perlu ditinjau kembali
apakah ada species lain yang perlu dilindungi ataukah ada perubahan status dari
species-species yang telah termuat dalam daftar tersebut.
2. Penataran staf di bagian karantina hewan dan pabean di pelabuhan, bandara dan
kantor pos, sehingga mereka dapat lebih mengenali species-species yang dilindungi,
karena pada prateknya dengan memberi nama berbeda cangkang moluska yang
dilindungi dapat dengan mudah lolos dieksport.
3. Pengaturan membatasan dan pengaturan waktu penangkapan moluska yang
populasinya mengkhawatirkan. Contoh: penangkapan Abalon (Haliotis sp.) oleh
masyarakat umum di Perth hanya boleh dilakukan bulan-bulan tertentu saja.
Bidang Ekonomi dan Pemanfaatan Moluska
Penelitian tentang budidaya moluska untuk tujuan komersiil yaitu penelitian tentang
moluska yang bisa dijadikan makanan dan mudah dibudidayakan,
1. Penentuan jenis-jenis moluska yang dapat dimakan. Hampir semua jenis moluska
dapat dimakan, keragaman jenis moluska yang dimakan di Indonesia masih kecil
dibandingkan di Negara-negara lain seperti China dan sebagainya.
2. Penelitian pengolahan makanan dari moluska, termasuk pengolahan moluska yang
banyak diketemukan sebagai bahan makanan bergizi (protein tinggi). Contoh: “Keong
murbei” atau lebih dikenal dengan “Keong Mas” atau Pomacea canaliculata (Lamarck,
1804), pada saat ini jenis keong ini sangat mudah didapatkan di sungai, selokan,
sawah, saluran irigasi dan genangan-genangan di hampir setiap pelosok Indonesia,
keong pendatang yang masuk Indonesia tahun 1987 telah lebih dominan dari keong
asli Indonesia dan juga menjadi hama padi di sawah. Pengolahan menjadi keripik
atau jenis makanan lain akan mengurangi populasi di lapangan dan mengurangi
dampak negatip yang ditimbulkannya.
242
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
3. Juga penelitian budidaya moluska yang cangkangnya bisa dipakai sebagai bahan
industri maupun bahan kerajinan. Beberapa contoh: Trochus niloticus Linnaeus, 1758
yang permintaan international sangat tinggi untuk bahan kancing kelas satu; kerang
Placuna placenta (Linnaeus, 1758) yang juga sangat banyak dibutuhkan untuk
kerajinan.
Ucapan Terima Kasih
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Panitia Seminar “Moluska Dalam
Penelitian, Konservasi dan Ekonomi” terutama kepada Ibu Dr. Ir. Delianis Pringgenies,
Msc. yang telah memberi kesempatan kepada saya, juga saya sangat berterima kasih
kepada Bapak Bunjamin Dharma yang telah memberikan kontribusi berharga pada saat
saya menyusun makalah ini.
Daftar Pusaka
Bail, P., & A. Limpus. 1996. Amoria (Amoria) damonii (Gray, 1864). World Shells, No. 16:
3-20, 104 figs.
Dharma B. 1993. Description of Two New Species of Subzebrinus
(Gastropoda:Pulmonata: Buliminidae) from Java, Indonesia. Apex, 8(4):139-143,pl.
1993. Description of two new species of Amphidromus from Sumatra, Indonesia
(Gastropoda: Pulmonata: Camaenidae). Apex 8 (4): 139-143, 12 figs.
Dharma B. 1999. Asperitas stuartiae (Sowerby in Pfeiffer, 1845) from Timor Island,
Indonesia with a Description of Two New Subspecies (Gastropoda: Pulmonata:
Ariphantidae), Schr. Malakazool., 32 (4/6): 59-64, 6 figs.
Dharma B. 2005. Recent & Fossil Indonesia Shells. ConchBooks, Germany, 424 pp., figs
Diljktra, H.H. 1991. A Contribution to the Knowledge of the Pectinacean Mollusca
(Bivalvia: Propeamussiidae, Entolilidae, Pectinidae) from the Indonesia
Archipelago. Zool. Verh., No. 271: 57 pp., 91 figs.
Effendy, S. 2007. Berburu Keong di Pasar Ikan Guangzhou. Berita Solaris 10(3): 26-27.
2 figs
Fehse, D. 2004. Beiträge zur kenatais der Triviidae, VII. Eine neue ungewöhnliche
Cleotrivia Jousseaume 1884 aus Indonesien. Arch Molluskenkunds 133(1/2): 63-67,
3 figs.
Fehse, D & J. Grego. 2006. Contributions to the Knowledge of the Triviidae (Mollusca:
Gastropoda). XII. A New Trivirostra Jousseaume, 1884 from Taiwan and Indonesia.
Visaya – Oct., 2006:26-34, 5 pls.
Fraussen, K & H. Dekker. 2002. A new Euthria (Gastropoda: Buccinidae) from Java.
Gloria Maris 40(6): 112-119, 14 figs.
243
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Gittenberger, A., J. Goud & E. Gittenberger. 2000. Epitonium (Gastropoda: Epitoniidae)
associated with mushroom corals (Seleractinia: Fungiidae) from Sulawesi,
Indonesia, with the description of four new species. The Nautilus 114(1):1-13, 48
figs.
Goud , J. & B.W. Hoeksema 2001. Special volume Dr. Jacob van der Land 77-79, 26
figs.
Hadiprajitno, G. 2001. Species Baru Indonesia Dasawarsa Terakhir. Berita Solaris 7 (1-
2): 17-20, 7 figs.
Houart, R. 1992. Description of a New Species of Chicoreus (s.s) (Gastropoda:
Muricidae) from Kalimantan (Borneo). Apex, 7 (1):27-30, 9 figs.
2001. Chicoreus (Triplex) setionoi n. sp. (Gastropoda: Muricidae) from Arafura Sea,
Pacific Ocean. Novapex 2 (4):145-148. 6 figs.
Houart, R & Dharma, B. 2001. Description of Murex (Murex) hystricosus n.sp.
(Gastropoda, Muricidae) from Sumatra, Indian Ocean. Novapex, 2 (2): 31-36, 10
figs.
Latip, W., 1999. Volute yang langka di Indonesia. Berita Solaris 4(2): 1,7-10, 5 figs.
Latip, W., 1999. Cypraeidae yang Langka. Berita Solaris 4(3): 1, 10-14, figs.
Latip, W., 1999. Kerang Conidae. Berita Solaris 4(4): 12-15, figs.
Lorenz, F. 2001. Notes one some species of Conidae and Cypraeidae from Indonesia
with the description of Conus empressae sp. Nov. (Mollusca: Gastropoda). Schr.
Malakozool. 18: 15-20, 2 pls.
Lorenz, F. 2005. An overlooked species of Conus (Gastropoda: Conidae) Schr.
Malakozool. 22:71-74. 4 pls.
Maassen, W.J.M &K. Kittel 1996. Notes on terrestrial molluscs of the island of Sulawesi,
1. The Pupinidae (Gastropoda Prosobranchia: Pupinidae). Bastaria, 60:171-176, 7
figs.
Maassen, W.J.M 2000. Notes on terrestrial mollusks of Sumatra, Indonesia, with
description of ten new species (Gastropoda, Probobranchia, & Pulmonata).
Basteria, 64:137-150, 28 figs.
Monsecour, K & D. Monsecour . 1999. Two new species of Angaria. Gloria Maris, 37 (5-
6): 63-70, 4 pls.
Nakano, T.,Aswan & T. Ozawa 2004. A new limpet (Gastropoda: Lottidae) of the
Patelloida profunda group from Java, Indonesia, with notes on co-occuring species.
Venus 63(1-20: 31-38.
244
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Patamakanthin, S & H.E. NG. 2002. Description of a new Haliotis species from southern
Central Java, Indonesia (Gastropoda, Haliotidae) Of Sea and Shore 25 (1): 26-31.
20 figs.
Sola , M. 1996. Familia Muricidae. Inserto redazionale di World Shells n. 17, 64 pp.
Sunberg. 2007. Linnaeus’s Legacy. Biodiversiti Research in Sweden – past and present.
The 300 years Linnaeus Memorial Symposium, Widyasatwaloka, Cibinong.
Syoev, A. 1997. Mollusca Gastropoda: New deep-water Turrid Gastropods (Conoidea)
from eastern Indonesia. . Résultats des Campagnes Musorstom Vol. 16. Mém.
Mus. Natn. Hist. Nat., 172: 321-355, 58 figs.
Tan, K.S. & J.B. Sigurdsson. 1996. New Species of Thais (Neogastropoda, Muricidae)
from Singapore, with a Re-Description of Thai javanica (Philippi, 1848). Journ. Moll.
Stud., 62: 517-535, 13 figs.
Vermeulen, J.J. 1992. Two species of the genus Enteroplax (Gastropoda Pulmonata:
Strobilopsidae) from Sulawesi, Indonesia. Basteria 56: 77-81. Figs.
Vermeulen, J.J. 1992. Notes on the non-marine molluscs of the island of Borneo 4. The
genus Eostrobilops (Gastropoda Pulmonata: Strobilopsidae). Basteria 56: 65-68, 4
figs.
Vermeulen, J.J. 1993. Notes on the non-marine molluscs of the island of Borneo 5. The
genus Diplommatina (Gastropoda Prosobranchia: Diplommatinidae). Basteria 57: 3-
69, 51 figs.
Vermeulen, J.J. 1994. Notes on the non-marine molluscs of the island of Borneo 6. The
genus Diplommatina (Gastropoda Prosobranchia: Diplommatinidae). Basteria 58:
75-191, 68 figs.
Vermeulen, J.J. 1996. Notes on the non-marine molluscs of the island of Borneo 8. The
genus Arinia (Gastropoda Prosobranchia: Diplommatinidae). Basteria 60: 87-137,
35 figs.
Verhecken, A. 1997. Mollusca Gastropoda: Arufura Sea Cancellariidae Collected During
the Karubar Cruise. Résultats des Campagnes Musorstom Vol. 16. Mém. Mus.
Natn. Hist. Nat., 172: 295-323, 64 figs.
Vilcens , C. 2001. Description of new Species of Agothodonta (Gastropoda: Trochidae:
Eucyclinco: Chilodontini) from Indonesia and Philippines islands.
Voskuil, R.PA. 1990. A new Agaronia (Mollusca: Olividae) from Indonesia. De Kreukel
26(2-3): 19-22. 5 figs.
245
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C7
________________________________________________________________________
Ita Widowati 1), Jusup Suprijanto 1), Gusti Ngurah Permana2), dan Sigit AP Dwiono 3)
1).
Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang
2).
Lab.Bioteknologi-BBRPBL Gondol Bali
3)
UPT Bio Industri Laut LIPI Lombok
Abstrak
Analisa aktifitas enzimatik dilakukan untuk mengetahui variasi genetik populasi sebagai
akibat terjadiya perubahan ekologis dari daerah asal induk. Dari 8 ezim yang dianalisis
terdeteksi 14 lokus dan 2 diantaranya polimorfik yaitu Mdh-1, Mdh-2 dan Peptidase leu
gly gly1, Peptidase leu gly gly2. Group bivalvia dilaporkan banyak memiliki tingkat
variabilitas genetik yang tinggi, yaitu polimorfisme dan heterozigot untuk beberapa
autosomal lokus. Nilai heterozygositas teramati dari kedua populasi populasi adalah alam
(P Sumbawa) : 0.064 dan yang telah dibudidayakan di Lombok : 0.038. Jarak genetik
antara populasi kerang dari Sumbawa dan Lombok ádalah (0,052), Hal ini masih
merupakan dugaan yang sangat dini, sehingga masih sangat diperlukan studi lanjutan
tentang sistem enzimatik yang lain yang lebih banyak. Selain itu diperlukan pula studi
lanjutan tentang pengaruh musim, dan pemijahan serta umur serta berat individu
terhadap sistem enzimatik kerang ini.
Pendahuluan
Di Indonesia, kerang mutiara tersebar di wilayah Indonesia bagian Tengah dan
Timur, yaitu Bali, Nusa Tengara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Irian
Jaya. Usaha budidaya tiram mutiara sebenarnya telah dilakukan terutama di daerah
Indonesia bagian timur seperti Maluku, Lombok dan lain-lain. Di mana sampai tahun
1992 telah tercatat ada 36 perusahaan yang bergerak di bidang budidaya mutiara
(Anonim, 1991) kemudian pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 77 perusahaan
(Winanto dkk, 1997) dan meningkat lagi menjadi 87 perusahaan pada tahun 2003
(Anonim, 2003). Di Nusa Tengara Barat, selama 5 tahun terakhir sektor perikanan
menempati urutan ketiga penghasil devisa dengan andalan utama biji mutiara. Jumlah
pengusaha budidaya tahun 2001 mencapai 38 perusahaan yang menempati areal seluas
33.550 ha di perairan P. Lombok dan Sumbawa. Nilai eksport mutiara Nusa Tengara
Barat tahun 1999 mencapai US$ 12,1 juta (96 milyar rupiah) (Hamzah dkk, 2003).
246
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Lebih lanjut dijelaskan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya bahwa tiram
mutiara ternyata untuk kawasan Tengah Indonesia induk kerang mutiara tidak selamanya
matang gonad sepanjang tahun. Kawasan Tengah Indonesia termasuk Nusa Tenggara
Barat proses pematangan gonad mulai berlangsung dari awal September hingga Maret
dan, sebaliknya dari April hingga akhir Agustus kosong telur. Dengan demikian para
pengembang budidaya kerang mutiara yang berawal dari proses pemijahan terutama di
kawasan Nusa Tenggara Barat akan mengalami kesulitan pencaharian induk lokal yang
matang gonad, kecuali induk matang gonad yang didatangkan dari daerah lain (Maluku
dan Irian Jaya) .
Eksploitasi tiram mutiara merupakan salah satu sumber daya laut yang berpotensi
ekonomi tinggi baik di pasaran lokal, nasional maupun internasional. Spesies Pinctada
maxima merupakan spesies yang potesial secara ekonomis, sudah tereksploitasi sejak
bertahun-tahun. Di pemerintahan Meksiko, eksploitasi yang terus-menerus dilakukan
pada tiram mutiara ini memaksa pemerintah mengeluarkan pengumuman bahwa stok
dalam keadaan kritis sudah sejak tahun 1939 (Cariño-Olvera, 1994).
Meskipun pelarangan penangkapan tiram mutiara telah dilakukan namun eksploitasi
illegal induk masih berlanjut. Dimana pada permulaan abad ini stock tiram mutiara masih
melimpah namun pada saat ini sudah sangat kritis yang disebabkan oleh overfishing,
polusi, perubahan kondisi habitat (Bückle-Ramirez et al. 1992; Monteforte dan Cariño
1992).
Sebagai contoh, angka-angka dari kerang mutiara di La Paz Bay diperkirakan
pada awal abad ini sekitar dua juta ekor menurut suatu laporan dari Kementerian
Perikanan Mexico namun hanya tersisa beberapa ribu ekor saja dalam 1982 (Singh et al.
1982 di Monteforte dan Cariño 1992).
Penelitian studi aktifitas enzymatik melalui metoda elektrophoresis sering
digunakan untuk memahami beberapa hal pokok yang dimungkinkan mempengaruhi
distribusi organisme secara spatial. Seperti dijelaskan oleh Blanc and Bonhomme (1987),
beberapa studi genetik pada sebuah populasi alami, yaitu 1) sudi tentang biosystimatika,
2) struktur genetika dan 3) studi adaptasi populasi berdasarkan kondisi lingkungan. Lebih
jauh dijelaskan bahwa variasi intraspesifik dan struktur genetik kerang di perairan,
diferensiasi interpopulasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yaitu 1) distribusi spatialnya
diakibatkan karena kerang melalui tingkatan kehidupan dua phase, yaitu phase
planktonik dan bentik, 2) perubahan genetik dan 3) seleksi alami.
Analisa biokimia untuk uji polymorphisme kerang diharapkan dapat lebih
menjelaskan keanekaragaman organisme tersebut dialam. Dalam kaitannya dengan
manajemen suatu populasi dan tujuan budidaya serta restocking, maka sangat perlu
247
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
dilakukan studi genetika untuk mengetahui type profil populasinya (Rigaa and Sellos,
1991; Krause, et.al, 1991).
Oleh karena itu analisa aktifitas enzimatik ini perlu dilakukan untuk mengetahui
variasi genetik populasi sebagai akibat terjadiya perubahan ekologis dari daerah asal
induk tiram mutiara. Hal ini diharapkan dapat menjelaskan keanekaragaman organisme
tersebut dialam.
otot
Analisa Enzimatik
Analisa gen dilakukan dengan teknik allozyme elektroporesis. Untuk mendapatkan
metoda yang terbaik dalam mengekspresikan variasi gen dilakukan beberapa kombinasi
penggunaan bufer gel dan elektroda yaitu dengan buffer Citric-Acid Aminoprophyl
morpholine pH 6 (CAMP-6).
Gel yang digunakan untuk penelitian ini adalah horizontal gel dengan kandungan
tepung gel hidrolisa (Sigma) 12% (w/v) dengan penambahan 0,2 M MgCl2 dan 0,1 %
KCN serta kedua bufer tersebut.
Organ tubuh yang digunakan dalam analisa adalah otot daging (muscle). Larutan
enzim diambil dengan kertas saring ukuran 0,5 x 1,0 cm lalu ditempelkan pada gel untuk
selanjutnya dialirkan listrik dengan arus tetap 4 MA/cm2 selama 4 jam. Setelah itu gel
248
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
diiris menjadi lempengan dengan ketebalan 1 mm, masing – masing gel lempengan
diwarnai (staining) dengan spesific histochemical staining untuk masing–masing enzym
mengikuti metoda Sugama (1998) yang merupakan modifikasi dari metoda Shaw dan
Prassad (1970).
Analisa Data
Dari hasil interprestasi data elektroforesis selanjutnya data ini digunakan untuk
menghitung beberapa parameter struktur genetik populasi yaitu frekuensi alelik,
polymorphisme genetik dan jarak genetik. Jarak genetik dan perbedaan antar populasi
diklasifikasi menggunakan formula oleh Nei (1972). Dendogram dibuat dari matrik jarak
genetik menggunakan metode (UPGMA) unweighted pair group method with arithmetic
average
249
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Group bivalvia dilaporkan banyak memiliki tingkat variabilitas genetik yang tinggi,
yaitu polimorfisme dan heterozigot untuk beberapa autosomal lokus. Nilai
heterozygositas teramati dari kedua populasi populasi adalah alam (P Sumbawa) : 0.064
dan yang telah dibudidayakan di Lombok : 0.038.
Tabel 2. Variasi genetik kerang simping, P maxima dari dua kelompok populasi yang
berbeda,
Populasi Populasi
No Parameter Rata
Sumbawa Budidaya
Jumlah sampel dianalisa
1 30 16 23
No of sample examined
2 HeterosigositasHeterozygosity:
Teramati/observed (Ho) 0.064 0.038 0.051
Harapan/expected (He) 0.134 0.100 0.056
Ho/He 0.477 0.38 0.429
Pada hewan-hewan bivalvia yang hidup didaerah pasang surut yang tinggi, tingkat
pertumbuhannya cepat, persentase heterozygotisme tinggi dan cenderung tidak toleran
terhadap suhu tinggi. Group bivalvia Pectiniade dilaporkan banyak memiliki tingkat
variabilitas genetik yang tinggi yaitu polimorfisme dan heterozigot untuk beberapa
autosomal lokus jika dibandingkan dengan jenis ikan laut seperti kerapu bebek : 0,048
(Permana 2001), krustasea : 0,082 (Nevo et al., 1984). Namun spesies Pectinidae yang
lain menunjukkan bahwa variabilitas tidak tipikal (spesifik) karena polimorfisme dan
heterozigot yang yang rendah ditemukan pada spesies Placopecten magellanicus (Foltz
& Zouros, 1984).
Namun demikian banyak jenis binatang laut dengan phase larva pelagis yang
panjang, secara umum dapat dikategorikan bahwa kemampuan distribusinya mengarah
kepada type panmixia yaitu penyebarannya sangat luas secara geographis (Palumbi dan
Wilson 1990; Palumbi 1992). Beberapa contoh tentang perbedaan-perbedaan genetik
antara populasi-populasi organisma-organisma laut dengan suatu potensi yang kuat
untuk migrasi telah dilaporkan. Beberapa faktor-faktor biasanya digunakan untuk
menjelaskan analisa pengamatan tersebut antara lain karena pengaruh arus lokal, arus
permukaan, atau barier geographis suhu (Lewis dan Thorpe 1994 ; Macaranas et al.
1992 ; Van Syoc ; 1994)). Akhirnya, bagi organisma-organisma dengan aktip berenang
larvae mampu orientasi, 'homing' bisa cukup kuat untuk memastikan ketekunan dari
250
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
pembedaan yang genetik antara populasi-populasi seperti yang diamati dalam beberapa
jenis ikan (Planes dkk, 1996; Tallman dan Healey 1994).
Stenzel (1971) menjelaskan bahwa pada kehidupan organisme kerang yang hidup
di perairan laut, ketika pada masa planktonik dapat secara mudah terdispersi oleh arus.
Estimasi terdispersinya larva ini sangat bervariasi, dicontohkan yaitu pada larva jensi
Crassostrea di daerah Gulf-Stream dapat terdispersi sampai 1000-1300 km pada
kecepatan arus 2 m/detik.
Bayne (1983) menjelaskan bahwa selain faktor arus, masa phase planktonik yang
cukup lama juga dapat menyebabkan distrbusi spatial organisme kerang sangat luas
sekali. Pada Crassostrea virginica di daerah littoral Amaerika Utara, yang mempunyai
phase planktonikmencapai 3 minggu dapat ditemukan kesamaan genetiknya dari daerah
Nouvelle-Ecosse sampai daerah Yucatan. Sedangkan jenis Pecten maximus dari
Norwegia mempunyai kesamaan genetika dengan jenis yang ditemukan di Maroko
Selatan.
1 ------------------------------------------------------------
|
2 ------------------------------------------------------------
................|..............|..............|..............|
0.013 0.026 0.039 0.052
Gambar 2. Dendogram jarak genetik populasi dari kerang simping P maxima, dimana
(1) adalah pipulasi dari Sumbawa dan (2) populasi dari Lombok dimana
budidaya dilakukan
Selain arus, menurut Koeh et.al. (1976) dan Koehn et.al. 1984) mengatakan bahwa
fluk genetik dapat terputus-putus pada populasi meskipun bertetangga oleh beberapa
hal, yaitu : barier geographis, barier salinitas dan barier temperatur. Menurut Koehn et al.
251
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
(1984) kesamaan genetik organisme akan dapat terputus akibat perbedaan salinitas,
perbedaan temperatur dan barier geographis. (Stenzel, 1971). Struktur intrapopulasi
pada studi genetika ini juga ditengarai akibat efek geographisme; dimana terdapat
perbedaan recruitment karena pengaruh pasang surut air laut pada hewan-hewan
bivalvia didaerah littoral.
Slatkin (1981) memproposisikan suatu teori yang berdasarkan kepada frekwensi
allelik. Pada kasus ini estimasi “fluk genetik” secara aproximatif tidak tergantung oleh
seleksi alam tetapi lebih tergantung oleh disposisi geographis dari populasi tersebut.
Koeh et.al., (1976) dan Koehn et.al., 1984) mengatakan bahwa fluk genetik dapat
terputus-putus pada populasi meskipun bertetangga oleh beberapa hal, yaitu : barier
geographis, barier salinitas dan barier temperatur.
Studi-studi allozymic suatu struktur populasi di Pacific pada jenis P.margaritifera
menunjukkan perbedaan genetik pada skala jarak ratusan sampai kepada ribuan
kilometres, dimana hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat adanya arus di wilayah pantai
tersebut (Durand dan Blanc 1986; Benzie dan Ballment 1994).
Studi analisa morfometrika cangkang kerang sering juga digunakan untuk
membandingkan hubungan antar populasi satu dengan populasi lainnya. Keduanya
pendekatan morphometrik memberikan jawaban yang berbeda antara satu studi dengan
studi lainnya dan juga menunjukkan perbedaan kesimpulan dengan data analisa
elektroforesis. Beberapa peneliti lebih mempercayai keakurasian data yang dianalisa
menggunakan metoda elektroforesis dibandingkan dengan menggunakan studi
morphometri bentuk cangkang kerang. Variasi genetika dan perbedaan morphologi dari
dua populasi Pectinid, Argopecten purpuratus di pantai Chili Utara juga ditengarai karena
faktor microhydro-oceanography (Moraga, 2001). Pada hewan jenis kerang, analisis
distribusi spesies dan variasi keanekaragaman genetikanya dapat dilakukan dalam
kaitannya dengan adanya masa planktonis dalam phase awal kehidupannya (Stenzel,
1971).
Satu pemahaman sejarah populasi dan tingkat struktur dan variabilitas genetik akan
menjadi menarik untuk suatu studi tentang menajemen dinamika populasi. Dimana pada
kasus P.mazatlanica berada kira-kira 6000 km dari Mexico barat-laut untuk mencapai
Peru Utara, dan kira-kira membutuhkan waktu 3 minggu pada phase pelagis larva
(Saucedo dan Monteforte 1997).
Kesimpulan.
Analisa aktifitas enzimatik dilakukan untuk mengetahui variasi genetik populasi
sebagai akibat terjadiya perubahan ekologis dari daerah asal induk.
252
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
1. Dari 8 ezim yang dianalisis terdeteksi 14 lokus dan 2 diantaranya polimorfik
yaitu Mdh-1, Mdh-2 dan Peptidase leu gly gly1, Peptidase leu gly gly2.
2. Nilai heterozygositas teramati dari kedua populasi populasi adalah alam
(Pulau Sumbawa) : 0.064 dan yang telah dibudidayakan di Lombok : 0.038.
3. Jarak genetik antara populasi kerang dari Sumbawa dan Lombok ádalah
(0,052),
Hal ini masih merupakan dugaan yang sangat dini, sehingga masih sangat
diperlukan studi lanjutan tentang sistem enzimatik yang lain yang lebih banyak. Selain itu
diperlukan pula studi lanjutan tentang pengaruh musim, dan pemijahan serta umur serta
berat individu terhadap sistem enzimatik kerang ini.
Daftar Pustaka
Anonim, 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual 8. CFMRI
Tuticorin, India.
Anonim, 2003. Budidaya mutiara belum maksimal. Departemen Komunikasi dan
Informatika. Pusat Pelayanan Informatika.
http://www.lin.go.id/news.asp?kode=130503MzYT0001. (28 April 2006).
Bayne, BL. 1983. Physiological ecology of marine Molluscan Larva. In : Verdonk,NH, Van
Den Biggelaar,JAM; Tompa AS (Eds.): The Mollusca 3. . New York. Acad.Press.
pp :299-343.
Benzie JAH, Ballment E (1994) Genetic differences among black lipped pearl oyster
(Pinctada margaritifera) populations in the western Pacific. Aquaculture, 127(2–3),
145–156.
Blanc, F and F. Bonhomme, 1987. Polymorphisme genetique Des Populations Naturelles
de Mollusques D’Interet Aquicole. Proc.World.Symp. on Selction, Hybridization
and Genetic Engineering in Aquaculture, Bordeaux, 27-30 May. Volume I. Berlin.
Bückle-Ramirez LF, Volotina-Lobina D, Morales-Guerrero E, Valenzuela-Buriel F (1992)
Spat settlement and growth of Pteria sterna (Gould) (Mollusca, Bivalvia) in Bahia
de Los Angeles, Baja California, Mexico. Trop. Ecol., 33(2), 13–14.
Cariño M (1994) Natural pearl farming in the early century at Bahia de La Paz, South
Baja California, Mexico. Abst. “International Pearl Conference” Hawaï, 346.
253
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
________________________________________________________________________
Durand P, Blanc F (1986) Divergence génétique chez un bivalve marin tropical: Pinctada
margaritifera. Coll. Nat. CNRS “Biologie des populations”, 323–330.
Hamzah, M.S., A.B. Kaplale, Sangkala & Roostam. 2003. Studi Alternatif
mempertahankan kelangsungan hidup anakan mutiara (Pinctada maxima)
terhadap fenomena arus dingin di perairan Teluk Kombal Lombok Barat. Makalah
dipresentasikan dalam bentuk poster dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan ISOI, 10
– 11 Desember 2003. 15 hal.
254
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Koehn RK; JG Hall; DJ Innes and AJ Zera, 1984. Genetic differenciation of Mytilus
edulis in eastern North America. Mar. Biol., 79 : 117-126.
Koehn RK; R Milkman ; JB Mitton, 1976. Population gnetics of marine Pelecypods. IV.
Selection, migration and genetic differentiation in blue mussels Mytilus edulis .
Evolution, 30 : 2-32.
Krause, M; W Arnold; W Ambrosse Jr and S Sarkis, 1991. Genetic differenciation within
populations of Argopecten irradians and Argopecten gibbus. 8th International
Pectinid Workshop (Abstract).
Lewis RI, Thorpe JP (1994) Temporal stability of gene frequencies within genetically
heterogeneous populations of queen scallop Aequipecten (Chlamys) opercularis.
Mar. Biol., 121, 117–126.
Macaranas JM, Ablan CA, Pante MJR, Benzie JAH, Williams ST (1992) Genetic
structure of giant clam (Tridacna derasa) populations from reefs in the Indo-
Pacific. Mar. Biol., 113, 231–238.
Monteforte M, Cariño M (1992) Exploration and Evaluation of Natural Stocks of Pearl
Oysters Pinctada mazatlanica and Pteria sterna (Bivalvia: Pteriidae): La Paz
Bay, South Baja California, Mexico. AMBIO, 21(4), 314–320.
Moraga, D; M. Avendano; J. Pena; M.Le Pennec; A. Tanguy and J. Baron.
2001.Genetic and morphological differentiation between two Pectinid
populations of Argopecten purpuratus from the Northern Chilean coast.
Estud.Oceanol. 20 : 51-60.
Nei, M.1972. Genetic distance between population, American Naturalist 106, 283-292.
Palumbi SR (1992) Marine speciation on a small planet. TREE, 7, 114–118.
Palumbi dan Wilson 1990Palumbi SR,Wilson AC (1990) Mitochondrial DNA diversity in
the sea Urchins Stongylocentrotus purpuratus and S. droebachiensis. Evolution,
44(2), 403–415.
Planes S, Galzin R, Bonhomme F (1996). A genetic metapopulation model for reef
fishes in oceanic islands: The case of the surgeonfish, Acanthurus triostegus. J.
Evol. Biol., 9: 103–117.
Rigaa A and D Sellos, 1991. Mitochodria DNA polymorphisme in the scallop Pecten
maximus. 8th Internat. Pectinid Workshop, Cherbourg-France. (Abstract).
Saucedo P, Monteforte M (1997) Breeding cycle of pearl oysters Pinctada mazatlanica
and Pteria sterna (Bivalvia: Pteriidae) at Bahia de La Paz, Baja California Sur,
Mexico. J. Shellfish Res., 16(1), 103–110.
255
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Shaw, C.R. and Prasad, R., 1970. Starch Gel Electrophoresis of Enzymes. Compilation
of Recipes. Boichem. Gen. 4 : 279 – 321.
Slatkin, M. 1981. Estimating levels of gene flow in natural populations. Genetics 99 :
323-335.
Stenzel, H.B. 1971. Oysters. In. Moore,KC (Ed): Treatise on Invertebrate Paleontology.
Part. No, 3: Mollusca 6: 935-1224. Geol. Soc.Amer. and Univ.Kansas.
Sugama, K. 1998. Population Genetic Analysis of Red Sea Bream, Pagrus major.
Thesis for the Degree of Master Of Science. Kochi University. Japan.
Tallman RF, Healey MC (1994). Homing, Straying and Gene Flow among Seasonally
Separated Populations of Chum Salmon (Onchorynchus keta). Can. J. Fish.
Aquat. Sci., 51, 5–588.
VanSyoc RJ (1994) Genetic divergence between subpopulations of the eastern Pacific
goose barnacle Pollicipes elegans: Mitochondrial cytochrome c subunit 1
nucleotides sequences. Mol. Mar. Biol. Biotechnol., 3(6), 338–346.
Winanto, Sudjiharno, S.B. Dhoe. 1997. Rekayasa Teknologi Pembenihan Tiram Mutiara
(Pinctada maxima) Secara Terkendali. Balai Budidaya Laut. Lampung. 1- 4.
256
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C8
_______________________________________________________________________
_
Nova Mujiono
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Telp: 021-8765056.
e-mail : nova.mujiono@lipi.go.id
Abstrak
Gurita cincin biru termasuk binatang Cephalopoda berkaki delapan, sehingga
termasuk dalam bangsa Octopoda, suku Octopodidae dan marga Hapalochlaena.
Tubuhnya relatif kecil, yaitu hanya sebesar bola golf. Pada mantel dan tentakel terdapat
pola cincin berwarna biru dan pada bagian tengahnya berwarna kuning terang, sekilas
sangat kontras dengan warna coklat tubuhnya. Terdapat tiga jenis gurita dalam marga
ini. Ciri utamanya dapat berupa pola cincin dan pola garis yang keduanya sama-sama
berwarna biru terang. Dalam paper ini akan diuraikan mengenai aspek taksonomi dan
morfologi Hapalochlaena lunulata berdasarkan spesimen di MZB.
Pendahuluan
257
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
oleh Robson menjadi Hapalochlaena lunulata (Adam, 1954). Nama inilah yang terus
dipakai hingga sekarang.
Marga Hapalochlaena mempunyai ciri ukuran tubuh yang kecil, dengan bagian
mantel dan kepala dihiasi pola cincin atau garis, pada hewan yang hidup akan berwarna
biru terang. Tentakel pendek, sekitar 1,5-3 kali panjang mantelnya (Carpenter & Niem,
1998). Selain H. lunulata (greater blue-ringed octopus), dua jenis gurita lainnya dalam
marga ini adalah H. maculosa Hoyle, 1883 (lesser blue-ringed octopus) dan H. fasciata
Hoyle, 1886 (blue-lined octopus) (Smithsonian Institution, 2001). Semua anggota marga
ini sangat berbahaya, bahkan bagi manusia. Banyak dilaporkan kasus gigitannya yang
berakibat fatal seperti kelumpuhan atau bahkan kematian (Potter & Short, 2006).
Morfologi
Gurita cincin biru memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibanding jenis gurita lainnya.
Pada posisi diam dan tentakel melingkar, ukurannya hanya sebesar bola golf.
Sedangkan apabila tentakelnya terentang lurus, maka panjang total tubuhnya dapat
mencapai 20 cm (Anonim, 2007). Namun kebanyakan individu yang dijumpai jarang
mencapai ukuran tersebut (Watters & Stommel, 2004). Panjang maksimal mantelnya
mencapai 5 cm, panjang tentakel mencapai 7 cm atau sekitar 1,5-2 kali panjang mantel
(Day, 2003; Carpenter & Niem, 1998). Lengan kanan ke-3 gurita jantan termodifikasi
menjadi hectocotylus dan berfungsi sebagai alat reproduksi. Ujung hectocotylus berupa
ligula, dimana tidak terdapat sucker.
Noktah berupa cincin biru tersebar di bagian mantel, kepala dan tentakel.
Diameter cincin dapat mencapai 1,2 cm atau sekitar 40% dari panjang mantel
(Carpenter & Niem, 1998). Jumlah cincin di sekitar mantel kurang dari 25 buah. Disaat
diam warna cincin tidak terlalu tebal dan mencolok. Warna dasar tubuhnya seringkali
gelap, dari coklat sampai abu-abu. Seringkali terdapat papillae pada permukaan
kulitnya sehingga tubuhnya kelihatan berkulit kasar. Namun disaat merasa terganggu
atau terancam predator warna cincin akan menebal dan bertambah terang, ditambah
ada 2 lingkaran hitam yang berada di bagian dalam dan luar tiap cincin biru ini sehingga
akan nampak semakin jelas. Warna dasar tubuh ikut berubah menjadi kuning
keemasan atau oranye tua. Kemampuan merubah warna ini dikarenakan pengaturan
pigmen chromatophore yang ada dalam kulitnya (Caldwell,2000). Untuk dapat
memperoleh gambaran tentang morfologinya, maka akan disajikan tabel morfometri
spesimen yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB).
258
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata panjang total 6,23 cm, panjang mantel
2,53 cm, lebar mantel 1,56 cm. Rata-rata panjang total gurita jantan 6,5 cm, betina
6,025 cm. Rata-rata panjang ligula pada jantan 0,18 cm. Rata-rata panjang tentakel
berkisar 3,31-4,26 cm, atau sekitar 1,5 kali panjang mantel. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Day, 2003 dan Carpenter & Niem, 1998.
Karakter lainnya yang teramati yaitu jumlah cincin pada bagian mantel sekitar 25
buah, disekitar mata dan web 10 buah dan pada tiap tentakel 14-16 buah. Diameter
cincin 0,3 cm atau sekitar 12% panjang mantelnya. Jumlah sucker pada tiap tentakel
sekitar 60 buah dan tersusun atas dua baris. Sucker dengan diameter besar terdapat
dari mulai mulut sampai dengan separuh panjang tentakel, sisanya dengan ukuran lebih
kecil.
Adam (1954) selama Ekspedisi Siboga berhasil mengkoleksi 17 spesimen gurita
ini dari perairan laut di Indonesia. Rata-rata panjang total gurita jantan 7,13 cm (6,5-7,9
cm), betina 7,2 cm (6,2-8 cm). Rata-rata panjang mantel 1,87 cm (1,4-2,5 cm), lebar
mantel 1,38 cm (1,05-1,9 cm). Tentakel dorsal maupun ventral mempunyai urutan dari
terpendek sampai terpanjang 4.3.2.1.
CEP039- CEP039-
REG 1 CEP057 CEP122 CEP154 2 CEP144 CEP277 Rata2
SEX ♀ ♀ ♀ ♀ ♂ ♂ ♂
W 8.88 4.67 7.26 7.66 5.15 7.94 10.82 7.48
TL 5.7 4.7 6.6 7.1 4.4 7.1 8 6.23
ML 2.8 1.7 2.5 2.6 2.3 2.8 3 2.53
259
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
MW 1.6 1.2 1.4 1.6 1.3 1.2 2.6 1.56
MR 4.8 3.7 5.1 5 3.8 3.8 5.1 4.47
Web 0.7 0.9 1.4 0.9 0.9 0.9 1.3 1.00
Ligula - - - - 0.17 0.25 0.14 0.19
R1 3.5 2.6 2.9 3.7 2.2 4.3 4.6 3.40
R2 3.7 3.2 3.4 4.2 2.7 5.2 2.4 3.54
R3 3.1 3.8 2.9 4.5 2.4 4.2 2.3 3.31
R4 3.2 1.2 3.7 4.4 2.8 5.4 5.4 3.73
L1 2.9 2.3 3.5 3.3 2.5 4.3 4.7 3.36
L2 4.1 3 2 4.2 2.6 4.9 4.4 3.60
L3 3.8 3.4 4.6 5 3 5.2 4.8 4.26
L4 4.5 3 1.8 3.8 2.1 5.2 5 3.63
Keterangan : W : berat (gr);TL : panjang total; ML : panjang mantel; MW : lebar mantel; MR : keliling
mantel; R : tentakel kanan; L : tentakel kiri. Selain W (berat); semuanya dalam cm. Angka
yang tercetak tebal menandakan bahwa anatomi organ tersebut tidak sempurna, bisa
karena putus atau mengalami regenerasi.
260
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
di kepulauan Indo-Malaya mulai dari perairan Philipina, Jepang, Indonesia, Papua New
Guinea, kepulauan Solomon dan Vanuatu (Carpenter & Niem, 1998;Nordsieck, 2005).
Di Indonesia sendiri, berdasarkan koleksi spesimen yang ada di MZB, hewan ini dapat
ditemukan di perairan Selat Banda (CEP057); Pulau Ayer, Kepulauan Seribu (CEP144,
CEP154 dan CEP277), Pulau Gorong, Maluku (CEP122), sedangkan CEP039-1 dan
CEP039-2 tidak diketahui lokasi pastinya. Ekspedisi Siboga berhasil menemukan di
beberapa tempat, yaitu Labuan Pandan (Lombok), Laut Seram, Teluk Sanana
(Sulawesi), Ternate, Teluk Jakarta, Ambon dan Flores (Adam, 1954).
Gurita ini punya kebiasaan unik yaitu sering masuk bersembunyi di dalam kaleng
atau botol minuman yang berada di dasar atau bahkan bersembunyi di dalam cangkang
Bivalvia yang telah kosong (Stevenson, 2006). Kebiasaan lainnya yaitu membenamkan
hampir seluruh bagian tubuh ke dalam pasir. Kemampuan menyamarkan diri
(kamuflase) dengan lingkungan membuat mereka sangat sulit dibedakan dengan
lingkungannya (Potter & Short, 2006).
Gurita cincin biru ( H. lunulata Quoy & Gaimard, 1832 ) termasuk dalam suku
Octopodidae dan memiliki karakter morfologi tubuh berukuran kecil (rata-rata panjang
6,23 cm, bobot 7,48 gr) dan terdapat pola cincin dengan diameter 0,3 cm sebanyak 25
buah di bagian mantel dan kepala, 10 buah di bagian mata dan web, 14-16 buah pada
tiap tentakel. Sucker tersusun dua baris dengan jumlah sekitar 60 buah tiap tentakel.
Karena keterbatasan jumlah spesimen yang ada di MZB, maka perbandingan
morfometri yang kami lakukan masih kurang mewakili proporsi morfologi sebenarnya.
Karena itu apabila pembaca menemukan gurita jenis ini agar dapat menghubungi
penulis atau mengirimkan ke Museum Zoologi Bogor di Cibinong agar dapat disimpan
dengan baik dan memberikan tambahan data morfologi bagi jenis ini.
Daftar Pustaka
261
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Carpenter, K.E & Niem, V.H. 1998 (Eds). FAO species identification guide for fishery
purposes : The living marine resources of the Western Central Pacific. Volume 2.
Cephalopods, crustaceans, holothurians and sharks. Rome, pages : 687-1396.
Day, C. 2003. Mantle Length of Hapalochlaena lunulata.
http://www.cephbase.utmb.edu/ spdb/mantlelength.cfm?CephID=616. Update 26
November 2003. Diakses 15 Juni 2007.
Nordsieck, R. 2005. Blue Ring Octopuses Hapalochlaena spec
http://www.weichtiere.at/Mollusks/Kopffuesser/blauring.html. Diakses 15 Juni 2007
Potter, D & Short, J. 2006. Blue-ringed Octopus. Fact Sheet. Queensland Museum
Learning.
http://www.qm.qTD.gov.au/inquiry/factsheets/blue_ring_octopus200611.pdf.
Update November 2006. Diakses 15 Juni 2007
Smithsonian Institution. 2001. Current Classification of Recent Cephalopoda.
http://www.mnh.si.edu/cephs/newclass.pdf. Update 4 Mei 2001. Diakses 15 Juni
2007.
Stevenson, J. 2006. Blue Ringed Octopus Habitat http://www.users.bigpond.net.au/
je.st/bro/habitat.html. Update Juni 2006. Diakses 15 Juni 2007
Watters, M.R & Stommel, E.W. 2004. Marine neurotoxins : envenomations and contacs
toxins. Current Treatment Options in Neurology. 6 : 115-123
262
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C9
_______________________________________________________________________
_
Abstrak
Gastropoda merupakan salah satu fauna yang mendominasi kawasan hutan
bakau. Taman wisata Air Payau Tritih merupakan salah satu kawasan bakau yang
terdapat di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Kawasan ini merupakan lahan tambak
yang dihutankan kembali. Kehadiran Gastropoda sebagai penghuni asli sangat
bergantung pada kondisi hutan. Salah satu kelompok gastropoda khas bakau yang
dapat ditemukan adalah dari subclassis Pulmonata. Pulmonata mempunyai ciri-ciri khas
yang membedakannya dsengan kelompok lain yaitu tidak mempunyai insang dan
operculum. Pengenalan spesies dalam taksonomi sangat penting. Variasi cangkang
biasa digunakan sebagai karakter morfologi pembeda spesies gastropoda termasuk
pulmonata, namun untuk memudahkan identifikasi di lapangan diperlukan informasi
tentang karakter morfologi sebagai pembeda spesies. Sehubungan dengan hal tersebut
telah dilakukan survey untuk mendapatkan sampel pulmonata yang terdapat di Taman
Wisata Air Payau Tritih Cilacap. Hasil identifikasi dan determinasi diperoleh empat
spesies Pulmonata yaitu Cassidula nucleus, Cassidula aurisfelis, Cassidula
vespertilionis dan Ellobium aurisjudae. Cassidula nuvleus dan C. vespertilionis dapat di
bedakan dengan melihat aperturanya. Apertura C. nucleus berwarna putih sedangkan
C. vepertilionos berwarna coklat.
C. aurisfelis mempunyai sabuk lingkar berwarna putih di bagian atas dari seluk
akhir. Genera Cassidula dan Ellobium dapat dibedakan dengan melihat bentuk
cangkangnya. Cassidula berbentuk ”ovate” (oval) sedangkan Ellobium berbentuk
”elongate ovate” (oval memanjang).
Kata Kunci: gastropoda, pulmonata, morfologi
263
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI C10
_______________________________________________________________________
_
Abstrak
Pendahuluan
Kerang hijau (P. viridis) mempunyai sifat hidup yang menetap (sessile). Hidup
menempel pada dasar (substrat) dengan menggunakan serabut penempel (bysus)
(Wahyuni et al., 2003). Dengan sifat hidupnya tersebut, tentunya sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan perairan tempat hidupnya. Menurut Anonim dalam Ismail et al.,
264
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
(2002), kandungan di dalam kerang hijau adalah 40,8% air; 21,9% protein; 14,5%
lemak; 18,5% karbohidrat dan 4,3% abu. Selain itu pada 100 gram daging kerang hijau
mengandung 300 kal.
Pada awalnya usaha pembesaran yang banyak dilakukan oleh nelayan di bagian
timur (Cilincing) dan barat (Kamal) Teluk Jakarta, berkembang dengan pesat. Dari
beberapa keterangan yang berhasil dikumpulkan, usaha ini dilakukan sejak tahun 1980-
an. Khusus di bagian barat usaha telah dilakukan sejak tahun 1991. Pada awalnya
jumlah rakit sebanyak 50 unit, kemudian bertambah menjadi 100 unit di tahun
berikutnya, sampai pada tahun 1999 jumlahnya diperkirakan telah mencapai 700 unit
(Ismail et al., 2002). Jumlah ini semakin bertambah hingga menjadi 1.625 buah
(Prahoro dalam Wahyuni et al., (2003)).
Perkembangan usaha bagan kerang hijau (P. viridis) di Teluk Jakarta ini, tidak
diimbangi dengan produksi yang meningkat. Dari tahun ke tahun produksinya semakin
menurun, walaupun penurunannya tidak drastis. Disamping semakin banyaknya jumlah
nelayan yang menekuni usaha ini, juga disebabkan singkatnya masa pembesaran yang
diakibatkan oleh faktor kondisi lingkungan di sekitar tempat hidup kerang hijau (P.
viridis) yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya dengan masa pembesaran yang
ideal.
Tulisan ini menyajikan data perkembangan serta kondisi sebagai bahan kajian
dan informasi sumberdaya kerang hijau (P. viridis) di perairan Teluk Jakarta.
Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu di Muara Kamal dan Muara Cilincing,
Teluk Jakarta pada bulan Mei dan Oktober 2006. Pengumpulan data meliputi : deskripsi
alat tangkap (bagan kerang) dan operasionalnya; hasil produksi; aspek pertumbuhan
(pengukuran panjang, lebar, tebal dan berat) serta pengamatan terhadap kondisi
perairan di Teluk Jakarta. Pengukuran panjang, lebar, dan tebal kerang hijau (P. viridis)
menggunakan alat ukur caliper dengan ketelitian 0,00 mm; sedangkan penimbangan
berat menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,0 gram. Pengamatan
terhadap kondisi kualitas perairan di Teluk Jakarta, meliputi parameter fisika dan kimia
air, yaitu DO, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan, suhu, dan kecepatan arus.
265
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi Alat Tangkap dan Daerah Operasional
Alat tangkap yang digunakan untuk pembesaran kerang hijau ini, dinamakan
bagan kerang. Bagan kerang merupakan alat tangkap yang menetap (stationary).
Bahan dasar bagan kerang adalah bambu. Benih kerang hijau (P. viridis) ditempelkan
pada tali rami yang menggantung pada bambu sepanjang ± 4m. Bagan kerang
berukuran kecil memiliki dimensi berukuran 5x8 m, sedangkan untuk ukuran besar
10x15 m dengan jumlah bambu sebanyak ± 1000 batang. Jarak antar bagan berkisar 5
sampai 10 m (Gambar 1).
Lokasi penempatan bagan kerang hijau (P. viridis) tersebar di bagian barat
(Kamal) dan timur (Cilincing) Teluk Jakarta, hingga mencapai perairan di sekitar Pulau
Onrust dan Pulau Bidadari. Lokasi penempatan bagan kerang (P. viridis) di perairan
Teluk Jakarta tersaji pada Gambar 2.
Produksi
266
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
panen kerang hijau (P. viridis) saat ini jauh mengalami penurunan, pada tahun 1983
dapat menghasilkan produksi sebanyak 5.900 kg (Andamari dan Ismail, 1983).
5.92
SKALA 1 : 50000
6.00
4
148250
112 141
148
156 60 50 44
56 103 86 57
99
255 33
2451
6.08 272 99 42 28 50 5968
166
128 42
Gambar 2. Peta lokasi budidaya bagan kerang di seluruh perairan Teluk Jakarta
Bagian timur Teluk Jakarta (Cilincing), hasil panen kerang hijau (P. viridis) lebih
sedikit dibandingkan di sebelah barat. Dari data pengamatan terhadap 4 perahu,
diperoleh hasil produksinya berkisar antara 450-900 kg, dengan hasil rata-rata sebesar
727 kg. Data perkembangan produksi kerang hijau (P. viridis) per bagan di Teluk
Jakarta tersaji pada Gambar 3.
267
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
8000
5900
6000
Produksi (Kg)
4000
Hasil produksi kerang hijau (P. viridis) yang semakin menurun saat ini selain
disebabkan semakin banyaknya nelayan yang menekuni usaha ini, sehingga
menyempitkan area unit usaha yang ada, hal yang sangat berpengaruh juga adalah
waktu pembesaran yang singkat. Dari hasil wawancara dengan nelayan, umumnya
mereka membesarkan kerang hijau (P. viridis) hanya dalam masa pembesaran sekitar 3
bulan. Apabila melebihi waktu tersebut, kerang hijau (P. viridis) yang mereka tanam
sebagian besar akan mati. Hal tersebut dikarenakan kondisi lingkungan perairan tempat
hidup kerang hijau (P. viridis) yang tidak memungkinkan untuk menambah waktu masa
pembesaran. Faktor itulah yang menyebabkan produksi kerang hijau (P. viridis) di
pasaran akhir-akhir ini menurun. Menurut Ismail et al., (1981), untuk mencapai ukuran
pasar (5-7 cm) dibutuhkan waktu 6-7 bulan, sedangkan menurut Noordin&Sze dalam
Wahyuni et al., (2003); Di perairan Malaysia untuk mencapai ukuran pasar dibutuhkan
waktu 5-10 bulan dan untuk perairan yang subur perlu waktu 4-6 bulan.
Pengamatan yang dilakukan pada bulan Mei 2006, terhadap 150 sampel kerang
hijau, diperoleh kisaran panjang cangkang 1,86-7,32 cm; lebar 1,05-3,40 cm dan tebal
0,68-2,34 cm. Modus pada kisaran panjang 4,0 cm. Kisaran berat antara 0,40-27,30
gram; sedangkan pada bulan Oktober 2006, dari pengamatan terhadap 100 sampel
kerang hijau, diperoleh data kisaran panjang antara 3,26-9,61 cm; lebar 1,15-3,14 cm;
dan tebal 5,16-6,0 cm. Modus kisaran panjang 6,5 cm. Kisaran berat antara 3,70-48,40
gram. Struktur ukuran panjang kerang hijau (P. viridis) pada bulan Mei dan Oktober
268
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
2006 tersaji pada Gambar 4 dan grafik hubungan panjang-berat kerang hijau (P. viridis)
pada bulan Mei dan Oktober 2006 tersaji pada Gambar 5.
30.0
Persentase (%)
25.0
20.0
15.0 20.0
15.0
10.0
10.0
5.0
5.0
0.0 0.0
1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10
Panjang (cm ) P a nj a ng ( c m)
Gambar 4. Sebaran Frekuensi Panjang Kerang Hijau (P. viridis) Pada Bulan Mei dan
Oktober 2000 di Teluk Jakarta.
30
60
25
50 y = 0.3303x2.1111
y = 0.0886x 2.7956
20 R2 = 0.8217
R2 = 0.9716 40
Berat (gram)
Berat (gram)
15 30
n=150
10 20
5 10 n = 100
- -
- 1 2 3 4 5 6 7 8 - 2 4 6 8 10 12
Panjang (cm ) Panjang (cm)
Gambar 5. Simulasi hubungan panjang berat kerang hijau (P. viridis) Pada Bulan Mei
dan Oktober 2006 di Teluk Jakarta.
Hasil pengukuran kerang hijau (P. viridis) saat ini mengalami sedikit penurunan
dibandingkan dengan hasil pengukuran yang dilakukan Wahyuni, et al (2003), dimana
untuk kisaran panjang 4,2-7,7 cm; lebar 2,0-3,7 cm; dan tebal 1,2-2,9 cm. Untuk kisaran
berat antara 4,6-24,0 gram.
Keberlangsungan hidup kerang hijau (P. viridis) sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan tempat hidupnya. Salah satu faktor menurunnya produksi kerang hijau
(P. viridis) akhir-akhir ini, karena beberapa parameter kualitas perairan di Teluk Jakarta
ternyata sudah melebihi ambang batas normal. Hasil penelitian Wedjatmiko&Dharmadi
269
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
(1998) dalam Ismail et al (2002), pengukuran terhadap logam berat (Hg) pada perairan
Muara Kamal mencapai 0,8423-1,4690 mg/L. Hasil tersebut melebihi batas baku mutu
yang hanya sebesar 0,03 mg/L.
270
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
menurun. Keadaan ini gambaran perkembangan sumberdaya kerang hijau (P. viridis) di
Teluk Jakarta saat ini.
Kesimpulan
Kondisi sumberdaya kerang hijau (Perna viridis) di perairan Teluk Jakarta saat ini
mengalami penurunan (degradasi). Dilihat dari produksi di bagian barat (Kamal) Teluk
Jakarta yang menghasilkan rata-rata 566 kg; sedangkan di bagian timur (Cilincing)
menghasilkan rata-rata 727 kg. Dilihat dari hubungan panjang-berat kerang hijau
(P. viridis) yang berada di Teluk Jakarta berpola pertumbuhan allometrik negatif dimana
(b<3) yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pertumbuhan beratnya. Dari
beberapa parameter kualitas air, perairan di Teluk Jakarta sudah tidak memenuhi
kriteria habitat yang cocok untuk kelangsungan hidup kerang hijau (P. viridis).
Daftar Pustaka
Ismail, W., E. Pratiwi dan Wedjatmiko. 2002. Perikanan Kerang Hijau Di Perairan Muara
Kamal, Jakarta. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 8 No:3 : (6-9)
Kastoro, W.W. 1988. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau (Perna viridis Linnaeus)
Dari Perairan Binaria, Ancol Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
No.45 (83-102)
Wahyuni,I. S., Awwaluddin dan S.T. Hartati. 2003. Kajian Tentang Sumberdaya Kerang
Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta. Himpunan Karangan Ilmiah Di
Bidang Perkotaan dan Lingkungan. Vol 1/No.2 : (30-37)
Wahyuni, I.S., S.T. Hartati dan Murniyati. 1993. Pengaruh Pencemaran Terhadap
Pertumbuhan Kerang Hijau (Perna viridis) Sebagai Salah Satu Telaah Studi Baku
Mutu Lingkungan Perairan Laut. Bull. Penelitian Perikanan Edisi Khusus No. 4 :
(139-146)
271
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D1
_______________________________________________________________________
_
Abstrak
Keong lola (Trochus niloticus) memiliki nilai ekonomis yang sangat penting di
perairan Maluku. Studi keong lola dilakukan di perairan Booi, Haria, Ullath, Ouw,
Itawaka dan Nolloth,Pulau Saparua-Maluku Tenggara. Koleksi dilakukan dengan
metoda transek secara tegak lurus garis pantai, mulai dari batas surut ke arah laut.
Setiap individu keong lola diambil dalam luasan transek (100 m x 2 m). Setiap individu
yang dikoleksi diukur diameter dasar cangkangnya dan potensi reproduksi diestimasi
dengan laju reproduksi bersih. Pengetahuan tentang pola eksploitasi tradisional lola
diperoleh berdasarkan informasi penduduk setempat. Hasil penelitian menunjukan
bahwa estimasi individu betina keong lola dapat menghasilkan 226 individu betina
setiap kali bereproduksi dan waktu generasi 2,88tahun. Hal tersebut sangat berbeda
dengan model eksploitasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar secara tradisional
lewat acara buka sasi yang dilakukan setiap tahun. Hasil tersebut memberikan
sumbangan bagi pengetahuan tradisional dalam upaya pengelolaan keong lola secara
berkelanjutan terutama pola buka sasi yang sangat sejalan dengan kemampuan
reproduksi dari keong lola.
Kata kunci: potensi reproduksi, pengetahuan tradisional, Trochus niloticus
272
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D2
_______________________________________________________________________
_
Kasus Infeksi Bakteri Vibrio sp. Pada Induk Abalon Haliotis discus discus
Fris Johnny
Abstrak
Upaya pembenihan dan pembesaran abalon, Haliotis discus discus di Jepang
telah berkembang, namun dalam upaya pembenihan dan pembesaran tersebut
mengalami kendala yaitu ditemukan abalon sakit dengan gejala klinis hemoragi, erosi,
nekrosa pada bagian mantel. Dari gejala klinis tersebut diduga abalon ini terserang
penyakit infeksi bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab penyakit
infeksi bakteri pada abalon. Di Laboratorium Patologi Pusat Perikanan Laut Kochi,
Jepang dari abalon yang sakit telah diisolasi isolat bakteri dari bagian jaringan otot kaki
yang mengalami hemoragi, erosi, dan nekrosa. Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada
media ”Triptic Soy Agar” (TSA) untuk semua bakteri, dan pada media penumbuh
khusus bakteri Vibrio “Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar” (TCBSA) dengan
warna koloni kuning dan hijau. Setelah dilakukan serangkain pengujian bakteri ini
diidentifikasi dan diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio sp.
Pendahuluan
273
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
yang dibudidayakan di hatchery baik stadia larva maupun induk banyak mengalami
penyakit infeksi, seperti infeksi parasit, jamur, virus dan bakteri (Singhagraiwan & Doi.
1993; Nagai et al., 1998).
Koleksi isolat bakteri dilakukan dari bagian otot kaki abalon yang hemoragi, erosi,
dan nekrosis. Isolasi dilakukan pada media penumbuh ”Tryptone Soya Agar” (TSA),
media “Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar” (TCBSA), kemudian diinkubasi
pada suhu 25-280C selama 24-48 jam. Pemurnian terhadap bakteri yang tumbuh
dominan pada media TSA dan TCBSA dilakukan dengan menggunakan media “Marine
Agar” (MA). Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai isolat uji dan
diidentifikasi berdasarkan acuan pada Holt et al. (1994).
274
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Histologi
275
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Gambar 2. Induk abalone, Haliotis discus discus yang terinfeksi bakteri dengan
gejala hemoragis, erosi, dan nekrosis dilakukan pemotongan jaringan
otot kaki yang terinfeksi untuk pembuatan preparat histologi (tanda
panah).
Dari Tabel 1, isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang
tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA hampir semua jenis bakteri
tumbuh dan tidak spesifik untuk satu bakteri. Namun pada media TCBSA isolat yang
diisolasi dari bagian otot kaki yang nekrosa tumbuh pada media TSA dan TCBSA.
Bakteri yang tumbuh pada media penumbuh TCBSA adalah spesifik untuk bakteri dari
genus Vibrio. Isolat dominan yang diisolasi mempunyai karakteristik yang sama baik
secara morfologi, biologi dan biokimia antara lain koloninya berbentuk batang, motil,
gram negatif, koloni berwarna hijau dan kuning pada TCBSA karena dapat mensintesa
sukrosa, tumbuh menyebar memenuhi permukaan atau swarming pada MA dan
fermentatif (anaerob). Karena bakteri ini tumbuh pada TCBSA, dengan berpedoman
kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri dominan diidentifikasikan sebagai genus Vibrio
spp.
276
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Gambar 3. Koloni bakteri yang diisolasi dari otot kaki induk abalon, Haliotis discus
discus tumbuh pada media pembiak TSA (a) dan bakteri Vibrio spp. yang
tumbuh pada media pembiak TCBSA (b).
Pengamatan dengan mikroskop pada sayatan histologi terhadap jaringan otot kaki
induk abalon yang mengalami nekrosa disajikan pada Gambar 4, sedangkan
penumpukan bakteri Vibrio spp. yang menginfeksi jaringan otot kaki induk abalon
disajikan pada Gambar 5 dan 6.
Pada Gambar 4, hasil pengamatan secara histologi terlihat jaringan otot kaki
mengalami nekrosa. Hal ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Vibrio spp. pada
tahap akhir setelah menimbulkan peradangan akan menyebabkan nekrosa pada
jaringan otot tersebut. Terhadap bakteri Vibrio spp. yang menginfeksi jaringan otot kaki
induk abalon, penumpukan koloni bakteri terlihat pada lokasi infeksi yang mengalami
peradangan. Dengan pewarnaan Wright dan Giemsa bakteri Vibrio spp. berwarna
kemerahan, dan merupakan karakteristik spesifik bakteri Gram negatif (Gambar 5).
Sedangkan dengan pewarnaan Eosin-B-Aniline Blue, koloni bakteri Vibrio spp.
berwarna biru dan merupakan karakteristik spesifik bakteri Gram negatif dengan
pewarnaan Eosin-B-Aniline Blue (Gambar 6).
Tabel 1. Karakteristik dari bakteri isolat dominan yang diisolasi dari bagian otot
induk abalon, Haliotis discus discus mengalami nekrosa dengan
berpedoman pada Holt et al. (1994)
277
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
0% - -
3% + +
6% + +
10 % - Nt
L - Arginin - D
L - Lysin + D
L - Ornithin + D
Hugh - Leifson (O-F) F F
Peka terhadap 150 mg agen vibriotik 0/129 S S
Gambar 4. Sayatan histology jaringan otot kaki induk abalon, Haliotis discus discus
yang mengalami nekrosa
(tanda panah, a = pembesaran 100x, b = pembesaran 400x) dengan
pewarnaan H.E. (Hematoxylin – Eosyn)
Gambar 5. Penumpukan bakteri Vibrio spp. pada jaringan otot kaki induk abalon,
Haliotis discus discus yang mengalami nekrosa (tanda panah, a =
pembesaran 100x, b = pembesaran 400x) dengan pewarnaan Wright
dan Giemsa,
278
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Gambar 6. Penumpukan bakteri Vibrio spp. pada jaringan otot kaki induk abalon,
Haliotis discus discus yang mengalami nekrosa (tanda panah,
pembesaran 400x) dengan pewarnaan Eosin-B-Aniline Blue.
Kesimpulan
Dari induk abalon yang mengalami nekrosa di hatchery berhasil diisolasi isolat
dominan bakteri, setelah dilakukan serangkaian uji morfologi, biologi dan biokimia
bakteri tersebut diidentifikasi sebagai bakteri dari Genus Vibrio spp.
279
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Pimpinan Pusat Perikanan Laut
Kochi, Jepang, dan Kepala Laboratorium Patologi beserta seluruh staf atas
terlaksananya penelitian ini.
Daftar Pustaka
Anonimous. 1980. Fisheries in Japan abalone and oyster. Japan Marine Products
Photo Material Association. Japan. 225p.
Elston, R.A., and G.S. Lockwood. 1983. Pathogenesis of vivriosis in cultured juvenile
red abalone, Haliotis rufescens Swainson. Journal Fish Disease. (6):111-
128.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams. 1994. Bergey’s
manual of determinative bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins.
Baltimore. USA. pp.
Momoyama, K., and T. Nakatsugawa. 1999. Mass mortalities of juvenile abalones,
Haliotis spp., caused by amyotrophia. Fish Pathology. 34(1):7-14.
Pass, D.A., R. Dybdahl, and M.M. Mannion. 1987. Investigations into the causes of
mortality of the pear oyster, Pinctada maxima (Jameson), in Western Australia.
Aquaculture (65):149-169.
280
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Perkins, F.O. 1996. Shell disease in the gold lip pearl oyster, Pinctada maxima and the
Eastern oyster, Crassostrea virginica. Aquat. Living Resources (9):159-168.
Singhagraiwan, T., and M.Doi. 1993. Seed production and culture of a tropical
abalone, Haliotis asinina Linne. The Easter Marine Fisheries Development
Center (EMDEC). Departement of Fisheries. Ministry of Agriculture and
Cooperative. Bangkok. 32p.
281
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D3
_______________________________________________________________________
_
maxima
Abstrak
Suatu studi tentang kejadian penyakit infeksi parasit pada kerang mutiara,
Pinctada maxima telah dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol, Bali. Juvenil berasal dari lokasi budidaya kerang mutiara di
pulau Lombok dan Bali yang mengalami kematian cukup tinggi. Sampel juvenil kerang
mutiara ukuran 6 cm berumur 6 bulan dikoleksi sebanyak 40 sampel dari setiap lokasi.
Dari setiap sampel diamati perubahan anatominya, baik terhadap cangkang maupun
bagian tubuh, kemudian dilakukan proses untuk histologi dengan fiksasi dalam larutan
buffer formalin 10%, embedding, penyayatan dengan mikrotom, pewarnaan dengan
Haematoxylin dan Eosin, terakhir diamati dibawah mikroskop. Hasil pengamatan
histologi ditemukan juvenil kerang mutiara mengalami infeksi parasit dari jenis
Gregarine spp, Rickettsia like-organisme dan Ancistrocoma spp.
Pendahuluan
282
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Di Indonesia kebutuhan benih kerang mutiara masih mengandalkan dari alam,
sejalan dengan globalisasi ada kemungkinan pasok benih berasal dari panti benih di
luar negeri. Upaya pembenihan kerang mutiara di Indonesia telah dikembangkan,
namun masih ditemukan kendala tingginya kematian pada stadia larva dan juvenil. Di
daerah sentra budidaya kerang mutiara di pulau Lombok dan Bali bagian Utara pada
bulan April s/d September dari tahun 2001 s/d 2006 dilaporkan sering terjadi kematian
masal pada larva dan juvenil kerang mutiara. Kerang mutiara stadia larva dan juvenil
sangat rentan dengan perubahan lingkungan seperti perubahan temperatur dan
penyakit. Pada larva dan juvenil kerang mutiara yang mengalami kematian banyak
ditemukan kasus ”mantle down”.
Sebetulnya, kasus kematian pada larva dan juvenil kerang mutiara, diyakini
penyebabnya selain mantle down juga karena penyakit infeksi, namun laporan hasil
penelitian kejadian penyakit pada kerang mutiara di Indonesia masih minim. Di
beberapa negara telah banyak diteliti dan dilaporkan, diantaranya dari Australia,
Selandia Baru, Cina, dan Jepang. Hasil penelitian yang dilaporkan diantaranya adalah
beberapa patogen yang serius menginfeksi moluska, termasuk dalam daftar penyakit
yang diwaspadai oleh OIE. Penyebab penyakit pada moluska yang dikeluarkan oleh
OIE, 4 dari 10 daftar patogen adalah dari moluska, yaitu; Marteilia sydney, Bonamia sp.,
Mikrocytos roughleyi, dan Perkinsus olseni. Sedangkan 7 organisme patogen
penyebab penyakit pada kerang mutiara, Pinctada maxima di Australia yang dilaporkan
adalah; Marteilia lengehi, Marteilia sp., Marteilioides branchialis, Marteilioides
chungmuensis, Haplosporidium sp., dan Perkinsus sp. (Humphrey et al., 1996).
Kejadian penyakit moluska secara serius juga terjadi di Asia Tenggara pada remis
besar, Ruditapes philippinarum dan Ruditapes decussatus yang disebabkan oleh
Perkinsus olseni dan Perkinsus atlanticus. Identifikasi penyakit ini dilakukan dengan
metoda molekuler (rRNA) yang ternyata awal kejadiannya di Eropa. Kemudian penyakit
ini menyebar ke Asia Tenggara, Jepang dan Korea Selatan. Patogen lainnya sesuai
dengan daftar OIE adalah Haplosporidium nelsoni yang terjadi di Asia pada Pacific
oyster, Crassostrea gigas. Awal kejadian penyakit ini diidentifikasi di Teluk
Matsushima, Jepang, kemudian berkembang sampai ke Korea Selatan (Pass et al.,
1987; 1988; Perkins, 1996).
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui penyakit infeksi penyebab kematian
juvenil kerang mutiara melalui pengamatan histologi.
283
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Materi dan Metode
Hewan uji yang digunakan adalah juvenil kerang mutiara, Pinctada maxima
berumur sekitar 6 bulan dengan ukuran sekitar 6 cm, masing-masing sebanyak 40
sampel yang diperoleh dari lokasi pembenihan dan budidaya kerang mutiara di pulau
Lombok dan Bali bagian Utara yang mengalami kematian massal. Sampel juvenil
kerang mutiara dikoleksi dari sentra pembenihan dan budidaya di :
Tabel 1. Lokasi dan waktu pengambilan sampel juvenil kerang mutiara, Pinctada
maxima.
Histologi
Untuk melakukan pembuatan preparat histologi, dilakukan berbagai langkah
penting untuk penanganan jaringan sebelum proses pewarnaan, meliputi ;
fiksasi, pencucian, dehidrasi, clearing, embeding, bloking, sektioning dan perlekatan
pada gelas obyek.
284
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Fiksasi
Bertujuan untuk mempertahankan elemen sel atau jaringan, dengan fungsi :
menghambat proses metabolisme, mengawetkan elemen sitologis dan histologis,
mengawetkan bentuk yang sebenarnya, mengeraskan atau memberi konsistensi
material yang lunak. Cara kerja fiksasi adalah ; organ atau jaringan direndam dalam
formalin 10 % atau buffer formalin 10 % sampai menjadi keras dan kaku, kemudian
dicuci selama ± 30 menit.
Dehidrasi
Bertujuan untuk menarik molekul air dari dalam jaringan. Cara kerjanya adalah
jaringan dalam tissue teck atau plankton net atau tissue processor, direndam dalam
alkohol 70% sampai alkohol absolut dalam waktu tertentu.
Clearing
Bertujuan untuk menggantikan tempat alkohol dalam jaringan. Cara kerjanya
adalah jaringan dalam tissue processor direndam dalam xylol dalam waktu tertentu.
Embeding (penanaman jaringan) dan Bloking
Bertujuan untuk mengeraskan atau memadatkan jaringan. Cara kerjanya adalah
jaringan dalam tissue processor direndam dalam parafin cair dalam suhu tertentu,
kemudian dicetak dalam tissue teck dengan parafin blok dan ditempatkan pada
bantalan es.
Sektioning (pemotongan)
Bertujuan untuk memperoleh jaringan histologi yang tipis agar dapat
dilihat strukturnya di bawah mikroskop. Cara kerjanya adalah blok jaringan ditempatkan
pada mikrotom, dipotong dengan ketebalan ± 3 – 5 mikron, potongan jaringan yang baik
dipindahkan ke dalam baskom, ditempelkan pada obyek gelas yang telah diberi kode,
dicelupkan pada water bath agar jaringan mengembang, dikeringkan pada hot plate
(inkubator untuk waktu lama).
Staining (pewarnaan) dan Mounting
Bertujuan untuk mempertajam atau memperjelas elemen jaringan sehingga dapat
dibedakan dan ditelaah dengan mikroskop. Cara kerjanya adalah dengan pewarnaan
HE (Hematoxylin – Eosyn) formula Harris, preparat histologi (dalam keranjang
pewarnaan) direndam dalam larutan berwarna secara bertahap dengan waktu tertentu.
Setelah selesai diangkat dan dibersihkan, diberi bioleit, dicover, dan diamati di bawah
mikroskop.
285
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Gambar 2. Parasit Gregarine sp. pada organ digestive gland juvenil kerang mutiara,
Pinctada maxima dengan pewarnaan H & E (a = 100x; b & c = 200x; d =
400x).
Parasit Gregarine adalah jenis parasit Apicomplexan, pada kerang clam, parasit
Gregarine yang menginfeksi adalah stadia gymnospore yang dapat menyebabkan
peradangan. Apicomplexan merupakan parasit dengan zoites yang mempunyai
beberapa persamaan ultrastructural dengan merozoit-merozoit dari Aggregata eberthi
(klas Coccidia, sub order Eimerioria), banyak tersebar di pantai British Columbia dan
Canada. Inang yang diinfeksi oleh parasit ini ditemukan pada kerang Cerastoderma
(=Cardium) edule, Cardium lamarcki, Saxicava rugosa, Tellina spp., Venerupis
(=Tapes) philippinarum, Protothaca staminea, Nuttalia obscurata, Clinocardium nuttali
dan Saxidomus gigantea. Gimnospora-Gimnospora dan oosista-oosista (spora-spora
gregarina yang berisi satu atau lebih uninucleate vermiform sporozoit-sporozoit), atau
sporozoit di dalam suatu fagosit dapat menyebar di dalam jaringan ikat, berakhir di
saluran usus. Infeksi Gregarine dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan
pembengkakan seperti bisul (Bower, 2004)
286
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Gambar 3. Parasit Rickettsia- like organism. pada organ connective tissue juvenil
kerang mutiara, Pinctada maxima dengan pewarnaan H & E (a = 100x; b
= 200x; c & d = 400x).
287
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Infeksi rickettsia pada kerang mutiara dapat menimbulkan peradangan, dan
peradangan yang serius pada kerang mutiara dapat menimbulkan kematian.
Gambar 4. Parasit Ancistrocoma spp. pada organ stomach juvenil kerang mutiara,
Pinctada maxima dengan pewarnaan H & E (a = 100x; b = 400x).
Kesimpulan
Hasil pengamatan histologi pada juvenil kerang mutiara yang mengalami kematian
diidentifikasikan sebagai parasit Gregarine spp., Rickettsia-like organism, dan
Ancistrocoma spp.
288
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Daftar Pustaka
Bower, S.M. and G.R. Meyer. 1993. Stegotricha enterikos gen. n., sp. n. (Class
Phyllopharyngea, Order Rhynchodida), a parasitic ciliate in the digestive gland of
Pacific oysters (Crassostrea gigas) and its distribution in British Columbia.
Canadian Journal of Zoology (71): 2005-2017.
Humphrey, J., J.C. Arthur, R.P. Subangsihe, and M.J. Phillips. 1996. Aquatic animal
quarantine and health certification in Asia. Proceedings of the regional
workshop on health and quarantine guidelines for the responsible movement
(Introduction and transfer) of aquatic organisms Bangkok, Thailand, 28 January
1996. 153p.
Kleeman, S.N., R.D. Adlard and R.J.G. Lester. 2002. Detection of the initial infective
stages of the protozoan parasite Marteilia sydneyi in Saccostrea glomerata and
their development through to sporogenesis. International Journal of
Parasitology. (32):767-784.
Nell, J.A. and B. Perkins. 2006. Evaluation of the progeny of third-generation Sydney
rock oyster, Saccostrea glomerata (Gould, 1850) breeding lines for resistance to
QX disease Marteilia sydneyi and winter mortality Bonamia roughleyi.
Aquaculture Research. (37):693-700.
Norton, J.H., M.A. Shepherd, F. Perkins and H.C. Prior. 1993. Perkinsus-like infection
in Farmed Golden-Lipped Pearl Oyster Pinctada maxima from the Torres Strait,
Australia. Journal of Invertebrate Pathology. (62):105-106.
Pass, D.A., R. Dybdahl, and M.M. Mannion. 1987. Investigations into the causes of
mortality of the pear oyster, Pinctada maxima (Jameson), in Western Australia.
Aquaculture (65):149-169.
Pass, D.A., F.O. Perkins, and R. Dybdahl. 1988. Virus-like particles in the digestive
gland of the pearl oyster (Pinctada maxima). J. Invert. Pathology (51):166-167.
Perkins, F.O. 1996. Shell disease in the gold lip pearl oyster, Pinctada maxima and the
Eastern oyster, Crassostrea virginica. Aquat. Living Resources (9):159-168.
Renault, T., and N. Cochennec. 1994. Rickettsia-like organisms in the cytoplasm of gill
epithelial cells of the Pacific oyster, Crassostrea gigas. Journal of Invertebrate
Pathology. (64):160-162.
Wu, X.Z. and J.P. Pan. 1997. Studies on Rickettsiaceae-like microorganism (RLO)
diseases of tropical marine pearl oyster III. Morphology of parasitized in
Pinctada fucata. Tropical Marine Research. (5):110-117.
289
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Wu, X.Z. and J.P. Pan. 1999. Studies on Rickettsiaceae-like microorganism (RLO)
diseases of tropical marine pearl oyster, Pinctada maxima and Pinctada fucata
IV. On histo-cytopathology of RLO diseases. Acta Oceanologica Sinica.
(21):93-98.
Wu, X.Z. and J.P. Pan. 2000. An intracellular prokaryotic microorganism associated
with lesions in the oyster, Crassostrea ariakensis Gould. Journal of Fish
Disease. (23):409-414.
290
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D4
_______________________________________________________________________
_
Iswari Ratna Astuti, R. Selfi Nendris Sulistiawan dan Tri Heru Prihadi
Pusat Riset Perikanan Budidaya
Abstrak
Pendahuluan
Kijing adalah salah satu komponen penting dalam sistem purifikasi alami pada
suatu perairan. Sebagai kelompok filter feeder kijing mempunyai pengaruh yang besar
dalam pengurangan detritus di perairan (Suwignyo, 1998). Kijing hidup di dasar perairan
dan makan dengan cara menyaring makanan yang ada di dalam air, sehingga polutan
yang ada di dalam air juga terdapat di dalam organ-organ seperti insang, ginjal dan
hatinya.
Waduk Cirata merupakan waduk serbaguna seperti untuk pemanfaatan kegiatan
perikanan Karamba Jaring Apung (KJA). Namun saat ini penerapan sistem budidaya
intensif dengan pemberian pakan buatan sebagai pakan utama sering menimbulkan
291
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
masalah serius di perairan wilayah KJA yaitu penurunan kualitas air. Akumulasi sisa
pakan di dasar perairan dalam kondisi anaerob akan membentuk gas-gas beracun
seperti NH3 dan H2S.
Dengan melihat kondisi lingkungan tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian
pertumbuhan, sintasan dan produksi kijing dengan perlakuan perbedaan kedalaman
dan padat penebaran. Selain itu juga diukur parameter kualitas air yang berpengaruh
pada pertumbuhan kijing serta komposisi plankton yang ada di perairan dan di dalam
lambung kijing. Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dasar
pertimbangan dalam budi daya kijing (Pilsbryoconcha exilis).
292
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
pertumbuhan paling tinggi adalah pada perlakuan kedalaman 0 meter dan 4 meter
(antara kedua perlakuan tidak berbeda nyata).
120,00
100,00
Sintasan (%)
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
0 4 8
Kedalaman (meter)
2 kg 4 kg 6 kg
293
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
gram/wadah/hari, 4 kg/keranjang hasilnya sebesar – 3,704 gram/wadah/hari, dan 6
kg/keranjang memiliki hasil - 22,593. Sedangkan pada kedalaman 8 meter kelompok
padat tebar 2 kg/keranjang memiliki hasil sebesar - 20,444 gram/wadah/hari, 4
kg/keranjang hasilnya sebesar - 30 gram/wadah/hari, dan 6 kg/keranjang memiliki hasil
– 64,905. Nilai hasil pada semua perlakuan kedalaman dan pada padat tebar dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa kelompok padat tebar tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap produksi kijing sedangkan perlakuan
kedalaman memberikan pengaruh yang berbeda nyata yaitu perlakuan kedalaman 8
meter memiliki produksi paling rendah dibandingkan dengan perlakuan kedalaman yang
lain. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
20,00
Produksi (gram/wadah/hari)
10,00
0,00
-10,00 0 4 8
-20,00
-30,00
-40,00
-50,00
-60,00
-70,00
Kedalaman (meter)
2 kg 4 kg 6 kg
294
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa suhu dan pH pada setiap kedalaman
hampir sama pada setiap kedalaman. Sedangkan nilai kekeruhan semakin meningkat
dengan bertambahnya kedalaman, begitu juga dengan kandungan oksigen terlarut
yang semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman.
Pertumbuhan kijing bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis sifat genetik, dan
kemampuan memanfaatkan makanan, ketahanan terhadap penyakit serta didukung
oleh faktor lingkungan seperti kualitas air, pakan dan ruang gerak atau padat
penebaran (Hepher dan Pruginin, 1981). Pada percobaan ini pakan selalu tersedia di
perairan, sehingga pakan tidak menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan. Selain
pakan, faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah ketersediaan oksigen
dan sisa metabolisme (Hepher dan Pruginin, 1981).
Laju pertumbuhan yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya
kedalaman diduga karena terjadinya penurunan oksigen terlarut (DO) yang mengalami
penurunan yang tajam pada kedalaman 4 meter yaitu mencapai nilai dengan kisaran
0,33-3,41 mg/l dan juga pada kedalaman 8 mengalami penurunan dengan nilai kisaran
0,11-1,41 mg/l selama pengamatan dibandingkan dengan kedalaman 0 meter dimana
nilai DO berkisar antara 2,84-8,53 mg/l selama pengamatan. Penurunan pertumbuhan
dan produksi dengan meningkatnya kepadatan diduga karena tingginya tingkat
kompetisi dalam pemanfaatan makanan. Peningkatan kepadatan akan mengganggu
proses fisiologis dan tingkah laku terhadap ruang gerak yang akhirnya akan
menurunkan pemanfaatan makanan dan menurunkan pertumbuhan.
Kesimpulan
Kijing sangat efektif dalam memanfaatkan plankton yang terkandung di dalam
perairan sebagai makanan karena hampir semua plankton yang ada di perairan terdapat
dalam lambung kijing. Plankton yang ada di dalam lambung kijing dikonversi menjadi
protein yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan kijing sehingga terjadi peningkatan bobot
rata-rata.
Perlakuan kedalaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, sintasan dan
produksi kijing. Semakin dalam perairan disertai dengan penurunan pertumbuhan,
sintasan dan produksi. Sedangkan peningkatan padat tebar tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi kijing.
295
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Daftar Pustaka
Allen, K. O. 1974. Effect of Stocking Density and Water Exchange on Growth and
Survival of Channel Catfish Ictalurus Punctatus (Rafinesque) in Circular Tanks.
Aquaculture, 4: 29-39.
Anonim, 2003. Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC). Laporan Hasil Pemantauan
Kualitas Air Waduk Cirata (Triwulan III Tahun 2003). BIOTROP. Bogor. 64 hal.
Anwar, S. 1980. Pengamatan Pertumbuhan Kijing Air Tawar (Famili Unionidae) pada
Kolam Percobaan Laboratorium Fakultas Perikanan Universitas Lambung
Mangkurat. Faperikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
Asyari, dan A.K Gaffar. 1993. Pengaruh Padat Tebar dan Ransum Pakan Terhadap
Pertumbuhan Benih Ikan Jelawat. Buletin Penelitian Perikanan Darat, 12 (13) :
37-41.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Jakarta.
Hart, C.W and Fuller, L.H. 1974. Invetebrate Academic Press. New York.
Hepher, B., and Y. Pruginin. 1981. Commercial Fish Farming with Special Reference to
Fish Culture in Israel. Jhon Willey and Sons, New York. Hal 88-103.
Kusdiarti, Z. Jangkaru, dan I. Insan. 1992. Optimasi Padat Penebaran pada Usaha
Peningkatan Produksi Benih Gurame Ukuran ± 5 gr di Kolam. Pros. Seminar,
Hasil Penelitian Air Tawar 1992/1993: BALITKANWAR Sukamandi. Hal 79-82.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. IPB Press. Bogor.334p.
Mokoginta, I., M. A. Suprayudi dan M. Setiawati. 1995. Kebutuhan Optimum Protein dan
Energi Pakan Benih Ikan Gurame (Oshpronemus Gouramy Lac). Jurnal Perikanan
Indonesia. I (4) :82-94.
296
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Nugroho, Antofany Eko. 2006. Tingkat Biofiltrasi Kijing Air Tawar (Pilsbryoconcha exilis)
Terhadap Bahan Organik. Skripsi. Program Studi MSP. FPIK-IPB. Bogor. 61 hal.
Pennak, R. W. 1953. Fresh Water Invertebrates of the United States. The Roland Press
Company., New York.
Prihatini, W. 1999. Keragaman Jenis dan Ekobiologi Kerang Air Tawar Famili Unionidae
(Moluska : Bivalvia) Beberapa Situ di Kabupaten dan Kotamadya Bogor. Tesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Ruppert, E.E and R. D. Barnes. 1994. Invetebrtae Zoology 6th Edition. Sunders College
Publishing. Orlando. Florida. 1056p.
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. p. 13-17. Depdikbud Ditjen Dikti. PAU Ilmu Hayat.
IPB. Bogor. 151 p.
Stickney, R.R. 1979. Principles of Warm Water Aquaculture. John Willey and Sons.
New York. 375 hal.
Sumantadinata, K., S,L. Angka, E. Harris, DE. Dana, dan I.S. Mokoginta. 1985.
Kamus Istilah Budidaya Ikan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. 61 hal.
Suresh, A. V. And C. K. Lin. 1992. Effect Stocking Density on Water Quality Production
of Red Tilapia in a Recirculated Water System. Aquacultural Enginering, 11 : 1-
22.
Welch, P.S. 1952. Limnology : Lake and River Ecosystem. 3rd edition. Academia Press.
San Diego. 985 p.
297
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_______________________________________________________________________
_
Willbur, K. M and C. M. Younge. 1964. Phsiology of Mollusca . Academic Press. New
York.
www.crustaforum.com
298
PROSIDING SEMINAR NASIONAL D5
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Ambariyanto
Jurusan Ilmu Kelautan, FPK-Universitas Diponegoro, Semarang
Email: ambariyanto@telkom.net
Abstrak
Kima (Tridacnidae) dikenal sebagai kerang raksasa dimana sebagian besar spesies
yang ada di seluruh dunia terdapat di perairan Indonesia. Pada saat ini populasi kima di
alam menurun sangat drastis akibat dari berbagai faktor terutama dari aktivitas manusia.
Hasil survei di beberapa tempat di Indonesia juga menunjukkan rendahnya kepadatan
hewan ini. Oleh karena itu untuk menjaga / melestarikan populasi yang masih ada serta
meningkatkan populasi di alam diperlukan usaha-usaha konservasi. Namun dilain pihak,
prospek secara ekonomis dari hewan ini sangat besar, baik sebagai hewan akuarium,
makanan laut (seafood), suvenir, dan sebagainya. Mengingat pula bahwa kima termasuk
hewan yang dilindungi di Indonesia dan masuk dalam Appediks II dari CITES, maka
diperlukan usaha budidaya untuk memenuhi permintaan pasar berbasis pada kegiatan
konservasinya.
Kata kunci: kima, budidaya, konservasi
Pendahuluan
Kima (giant clams) merupakan salah satu hewan laut yang dilindungi di seluruh
dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 1987 pemerintah Indonesia melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No 12/Kpts/II/1987 yang diperkuat dengan Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 memasukkan ketujuh jenis kima yang hidup di Indonesia
menjadi hewan yang dilindungi. Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa
populasi kima di alam sudah sangat menurun terutama disebabkan pemanfaatan
manusia. Secara tradisional hewan ini memang dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar
pantai baik yang digunakan untuk bahan makanan, bahan bangunan, kebutuhan rumah
tangga dan sebagai souvenir maupun hewan akuarium yang sangat digemari (Sya’rani,
1987; Pasaribu, 1988). Sedangkan dewasa ini kima juga dikenal sebagai salah satu
hewan akuarium yang sangat menarik dan juga merupakan komoditi eksport yang sangat
299
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
penting dari berbagai negara (Tisdell, 1989; 1992; Tisdell dkk. 1994). Walaupun hewan ini
dilarang untuk diambil dari alam, namun pemanfaatannya masih tetapi berlangsung. Hal
ini bisa dilihat di berbagai tempat khususnya di wilayah pesisir masih banyak ditemukan
cangkang – cangkang (shells) kima baik yang menumpuk di rumah penduduk untuk
digunakan sebagi bahan bangunan seperti pondasi, penimbunan lahan kosong dsb, juga
banyak ditemukan berserak di pantai khususnya cangkang yang kecil atau bahkan
sebagai souvenir baik di warung-warung cinderamata di pantai atau di toko – toko khusus
souvenir. Di beberapa wilayah bahkan hingga saat ini masih bisa ditemukan daging kima
segar yang di jual di pasar tradisional.
Hewan ini mempunyai harga yang sangat tinggi di luar negeri. Tingginya permintaan
kima ini mengakibatkan eksploitasi yang berlebih (overexploitation) dari populasi kima di
alam, sehingga populasi tersebut menurun sangat drastis di seluruh dunia (Hirschberger,
1980; Pearson, 1977; Villanoy dkk. 1988; Junio dkk. 1989; Ambariyanto dkk., 2000).
Secara biologis hewan ini dikenal sebagai kerang raksasa yang termasuk dalam
keluarga Tridacnidae yang hidup di ekosistem karang di wilayah Indo-Pacific. Dari utara
ditemukan di wilayah Jepang Selatan hingga ke sekitar Great Barrier Reef bagian selatan.
Sedangkan dari barat ditemukan di pantai timur Afrika hingga ke Negara-negara Pasifik
Selatan.
Dalam keluarga ini terdapat dua genera dan delapan spesies dimana
keseluruhannya dapat ditemukan di Indonesia, kecuali spesies paling akhir ditemukan di
Fiji dan Tonga yakni Tridacna tevoroa (Lucas dkk., 1991). Hewan ini hidup bersimbiosis
mutualisma dengan alga tunggal yang dikenal dengan zooxanthellae. Alga yang mampu
berfotosintesa ini ditemukan di bagian mantle kima dan juga mampu mentranslokasikan
sebagian hasil fotosintesanya ke tubuh hewan inang. Translokasi hasil fotosintesa dari
zooxanthellae merupakan sumber energi utama dari kima selain dari proses filter feeding
(Klumpp dkk., 1992; Klumpp dan Griffiths, 1994; Klumpp dan Lucas, 1994)
300
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
bahwa kepadatan kima masih relatif sama, misalnya di pulau Burung dilaporkan sebesar
0,03 individu/m2 (Hadi, 2000), pulau Cemara Kecil dan Gosong Cemara sebesar 0,02 dan
0,04 individu/m2. Hasil survei terakhir menunjukkan populasi kima di Karimunjawa
khususnya di taka Puspa (antara Menjangan Kecil dan Menjangan Besar) hanya sebesar
0,08 individu/m2 dan hanya ditemukan spesies kecil Tridacna crocea (Ambariyanto, 2007
tidak dipublikasikan).
Kondisi yang hampir sama juga dilaporkan, misalnya di Teluk Cenderawasih
dilaporkan mempunyai kepadatan yang rendah yakni sebesar 0,07, 0,06 dan 0,06
individu/m2 di pulau Pepaya, Tridacna Atol dan Kabuai (Pranowo, 1998). Sedangkan
laporan dari pulau Barang Lompo dan Bone Batang, Makassar mempunyai kepadatan
sebesar 0,06 dan 0,1 individu/m2 (Ramli, 1999). Data lebih mutakhir juga hampir sama
dimana kepadatan kima di perairan sekitar Krakatau (Krakatau Kecil, Anak Krakatau,
Rakata, Sebuku) sebesar 0,017 individu/m2, beberapa pulau di Kepulauan Seribu
(Pramuka, Semak Daun, Karang Congkak) sebesar 0,07 individu/m2dan di perairan sekitar
Manado (P Tanjung Pisok, Nudi Retreat, Batu Gosok dan Serena west) sebesar 0,03
individu/m2.
Pada umumnya hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa populasi kima di
alam didominasi oleh spesies – spesies kecil seperti Tridacna crocea, T. maxima.
Sedangkan spesies besar seperti T. derasa, T. squamosa. Hipippus hipoppus dan H.
porcellanusi sudah sangat jarang ditemukan. Bahkan untuk spesies terbesar yakni T.
gigas sudah tidak ditemukan lagi di beberapa tempat.
Dibandingkan dengan di negara-negara lain, maka kepadatan kima di beberapa
tempat di Indonesia tersebut relatif lebih rendah. Sebagai contoh, di Takapoto Lagoon,
North Tuamotu, Frech Polynesia kepadatan kima dilaporkan sebesar 0,14 individu /m2
(Richard, 1981), selanjutnya di Cook Island kepadatan kima dilaporkan sebesar 0,2 – 5,4
individu/ m2 (Sims dan Howard, 1988), sedangkan di One Tree Island, Australia dilaporkan
sebesar 0,16 – 0,17 individu/m2 (Ambariyanto, 1996).
Pengelolaan Kima
301
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
penduduk di sekitar pantai (Pasaribu, 1988; Taniera, 1988), kebutuhan eksport (Govan
dkk, 1988), dsb., 2) Penyakit dan parasit. Penyakit dan parasit pada kima disebabkan
oleh Vibrio sp., Aeromonas sp., Perkinsus sp. (Norton dkk., 1992b; Braley, 1992; Sutton
dan Garrick, 1993), 3) Predasi. Terutama dilakukan oleh snail (Chicoreus ramosus dan
Cymatium muricinum), hermit crab (Dardanus deformis), dan sea bream ( Monotaxis
granoculis) (Jameson, 1976; Heslinga dkk, 1984; Perron dkk., 1985), 4) Faktor lingkungan.
Termasuk di dalamnya adalah suhu dan salinitas (Braley, 1992), 5) Anthropogenic.
Termasuk di dalamnya adalah polusi (Pearson, 1977; Juino dkk, 1989), dan 6 ) Faktor
lain. Faktor lain ini adalah beberapa faktor yang perlu diidentifikasi (Alder dan Braley,
1988; Dustan dkk., 1993).
Sebagai usaha untuk menjaga maupun mengambangkan populasi kima di alam
maka diperlukan suatu usaha konservasi melalui sistem pengelolaan populasi kima yang
tepat, termasuk didalamnya adalah penegakkan hukum dan peraturan, restoking dan
usaha budidaya. Disamping itu pengelolaan populasi kima berbasis masyarakat juga
merupakan hal yang perlu dilakukan (Ambariyanto, 2002).
Terdapat dua alasan utama terkait dengan pentingnya pengelolaan populasi kima di
alam ini, yakni aspek ekologis dan aspek ekonomis (Ambariyanto, 2002). Pada aspek
ekologis menjadi penting karena hewan ini merupakan salah satu organisme laut yang
hidup di ekosistem karang, dimana beberapa jenis kima hidup menempel pada karang,
bahkan ada yang membenamkan diri dalam karang. Sehingga pengambilan kima di alam
tidak saja akan menurunkan jumlah populasi alam, namun juga secara langsung akan
merusak ekosistem karang di sekitarnya. Pada aspek ekonomis juga dinilai penting karena
kima mempunyai nilai yang sangat tinggi, khususnya di pasaran luar negeri dimana hewan
ini menjadi organisme akuarium yang sangat digemari.
Salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam pengelolaan populasi kima adalah
sosialisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga populasi kima dan ekosistem di sekitarnya. Disamping itu sosialisasi juga
dilakukan dalam memasyarakatkan peraturan pemerintah khususnya mengenai
pelarangan pengambilan kima di alam mengingat bahwa hewan ini dilindungi.
Peningkatan kesadaran masyarakat ini sangat penting, sehingga kebiasaan – kebiasaan
302
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
masyarakat selama ini yang merugikan akan bisa segera ditinggalkan. Kesadaran hukum
ini sangat penting sehingga masyarakat akan mengetahui konsekwensinya. Dalam sistem
pengelolaan terpadu, tahapan sosialisasi ini merupakan kegiatan yang harus dilakukan
karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap sistem pengelolaan tersebut
merupakan pijakan umum bagi seluruh stakeholder yang terlibat. Terdapat berbagai
macam metode sosialisasi misalnya melalui berbagai media, leaflet, atau melalui
pertemuan-pertemuan rutin seperti pengajian, arisan, rapat RT, dan sebagainya.
Tahapan penting lainnya adalan penegakan hukum dan peraturan mengingat bahwa
kima adalah hewan laut yang dilindungi oleh pemerintah sehingga masyarkat dilarang
untuk mengambilnya di alam. Diharapkan masyarakat mengetahui secara pasti bahwa
hukum yang ada akan ditegakkan dan diterapkan kepada mereka yang melanggarnya.
Ketidakpastian hukum akan memberikan anggapan kepada masyarakat bahwa
pelanggaran hukum, termasuk pengambilan kima di alam, merupakan suatu yang tidak
akan terkena sangsi hukum. Sehingga penegakkan hukum dan peraturan ini juga menjadi
suatu faktor penting dalam suatu jaringan pengelolaan populasi kima di alam secara
terpadu.
Restoking adalah suatu usaha untuk mengembalikan kondisi populasi alam.
Kegiatan ini harus ditopang dengan kegiatan budidaya untuk memproduksi juvenil yang
siap untuk restoking.
Salah satu bentuk pengelolaan tradisional adalah kearifan lokal/tradisional
(traditional wisdom) yakni suatu bentuk pengelolaan berdasarkan adat yang telah menjadi
kebiasaan dan telah dijalankan secara turun – temurun oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu. Dalam perkembangannya, dari banyak kasus di Indonesia, khususnya mengenai
pemanfaatan sumberdaya alam, maka kearifan tradisional sangat dikenal sebagai bagian
yang sangat penting pula dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Kebiasaan adat ini
justru banyak yang mampu menjaga kualitas sumberdaya yang ada, jika dibandingkan
dengan sistem pengelolaan yang modern. Hal ini terutama disebabkan masyarakat
tradisional justru lebih menghargai hukum dan lembaga adat dibandingkan dengan hukum
dan lembaga modern. Di beberapa daerah bahkan “dikembangkan” aturan-aturan adat
baru dalam rangka mengelola suatu sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka.
Menurunnya kondisi populasi alam kima menggugah para ahli untuk mencoba
mengembangkan teknik budidaya kima. Diawali dengan penelitian mengenai pembenihan
303
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
buatan skala laboratorium yang dilanjutkan dengan percobaan skala hatchery. Usaha-
usaha tersebut akhirnya berhasil memproduksi benih kima. Beberapa negara yang
berhasil membenihkan kima antara lain Australia, Fiji, Palau, Philippina dan sebagainya
(Heslinga dkk. 1984; Lucas dkk. 1989; Ambariyanto 1995).
Terkait dengan alasan pentingnya pengelolaan populasi kima, khususnya dari aspek
ekonomis, maka usaha budidaya hewan ini merupakan tahapan yang harus dilakukan dan
dikembangkan. Pada dasarnya dalam usaha budidaya kima terdapat dua tujuan utama
yakni:
1. Memenuhi permintaan pasar
Seperti telah disinggung di atas bahwa permintaan pasar terhadap kima cukup tinggi
baik sebagai salah satu produk makanan khas laut, hewan akuarium maupun sebagai
suvenir. Tahapan ini sangat penting dilakukan sehingga perilaku pengambilan kima di
alam sebagai komoditi eksport tidak akan terjadi lagi.
Diharapkan dengan kegiatan budidaya ini, kebiasaan untuk mengambil kima alam akan
berkurang dan akhirnya akan hilang sama sekali. Hal ini juga merupakan aspek penting
dalam konservasi populasi kima, dimana usaha menekan pengambilan di alam harus
dilakukan melalui berbagai cara.
Disamping itu mengingat bahwa budidaya kima merupakan kegiatan yang memiliki
prospek yang cukup baik karena harga yang tinggi dan biaya operasional yang rendah,
maka masyarakat dapat dilibatkan dalam usaha ini secara komersial. Masyarakat secara
aktif bisa melakukan kegiatan ini dalam rangka usaha peningkatan pendapatan keluarga.
Teknik budidaya, khususnya pembesaran kima bisa diberikan kepada mereka mengingat
penumbuhan kima di laut cukup mudah dilakukan. Dari pelatihan yang pernah dilakukan,
ternyata masyarakat sangat antusias dan dengan mudah mampu menerima materi yang
diberikan (Ambariyanto dan Suryono, 2001).
2. Konservasi
Salah satu kegiatan konservasi yakni restocking populasi alam hanya dapat
dilakukan jika kegiatan budidaya kima berjalan. Juvenil-juvenil kima hasil produksi
budidaya ini dapat dimanfaatkan dalam usaha mengembalikan dan meningkatkan
populasi kima di alam.
304
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Salah satu akibat yang signifikan dan berpengaruh positip terhadap konservasi kima
dengan kegiatan budidaya adalah berkurangnya kegiatan pengambilan populasi alam
untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat lainnya.
Untuk itu diperlukan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang
mengarah kepada usaha budidaya berbasis konservasi, antara lain:
a) Pengaturan mengenai hasil budidaya yang dapat diperdagangkan.
Peraturan ini menjadi penting terutama bagi hewan dilindungi yang telah
berhasil dibudidayakan dan sangat menguntungkan untuk diperdagangkan.
Tanpa adanya peraturan ini maka kepastian hukum tidak ada sehingga akan
mempersulit bagi para pengusaha maupun para konservasionis..
b) Sertifikasi hasil produk budidaya. Hal ini juga merupakan kebijakan penting
untuk menentukan apakah produk yang diperdagangkan tersebut memang
hasil budidaya atau hanya mengambil di alam.
c) Kebijakan mengenai usaha pengembalian populasi alam dari berbagai
hewan yang masuk dalam golongan endangered species. Perlunya
kebijakan ini khususnya terhadap kima adalah agar terdapat program-
program restoking yang diinisiasi oleh pemerintah.
d) Kebijakan mengenai dukungan pendanaan terhadap usaha-usaha
konservasi kima. Salah satu kesulitan dalam usaha konservasi kima adalah
tidak adanya dukungan pendanaan dari pemerintah. Padahal disisi lain
teknik untuk konservasi hewan ini sudah dikuasai dan cukup mudah untuk
dilaksanakan, sehingga kepastian akan keberhasilan usaha ini sangat besar.
Kesimpulan
Dalam rangka menjaga populasi kima maka diperlukan suatu kegiatan konservasi
melalui usaha pengelolaan yang meliputi aspek sosialisasi, penegakan hukum dan
peraturan, restoking, kearifan tradisional, dan usaha budidaya. Usaha budidaya ini selain
terkait dalam kegiatan konservasi juga bertujuan untuk memenuhi permintaan kima yang
cukup tinggi. Oleh karena itu usaha budidaya berbasis konservasi dalam rangka
komersialisasi kima dapat dijalankan.
305
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
Alder, J., Braley, R.D. (1988). Mass mortalities of giant clams on the Great Barrier Reef.
Abstract. In: Copland, J.W., Lucas, J.S. (eds). Giant Clams in Asia and the Pacific.
ACIAR Monograph No. 9., Canberra. p: 230.
Ambariyanto (1995) Giant clams culture and its prospect in Indonesia. IARDJ. 17(1) : 13-
17
Ambariyanto (1996). Effects of nutrient enrichment in the field on the giant clam, Tridacna
maxima. PhD Thesis. The University of Sydney, Sydney Australia. 267 p.
Braley, R.D. (1992). The Giant Clams: A hatchery and nursery culture manual. ACIAR
Monograph No. 15. Canberra. p: 144.
Brown, J.H., Muskanofola, M.R. (1985). An investigation of stocks of giant clams (family
Tridacnidae) in Java and of their utilization and potentials. Aquaculture and Fisheries
Management. 1: 25-39.
Dustan, A.J., Crabtree, A., Norton, J. (1993). An investigation into mass mortalities of the
giant clam Tridacna gigas on the Northern Great Barrier Reef. Australian Marine
Sciences Conference. University of Melbourne. 4th-7th July 1993. Melbourne.
Govan, H., Nichols, P.V., Tafea, H. (1988). Giant clam resource investigations in Solomon
islands. In: Copland, J.W. Lucas, J.S. (eds). Giant Clams in Asia and the Pacific.
ACIAR Monograph No.9. p: 54-57.
Heslinga, G.A., Perron, F.E. Orak, O. (1984). Mass culture of giant clams (F. Tridacnidae)
in Palau. Aquaculture 39: 197-215.
Hirschberger, W. (1980). Tridacnid clam stock on Helen Reef, Palau, Western Caroline
Islands. Mar. Fish. Rev. 42(2): 8-15.
Jameson, S.C. (1976). Early life history of the giant clams Tridacna crocea Lamarck,
Tridacna maxima (Roding) and Hippopus hippopus (Linnaeus). Pac. Sci. 30(3): 219-
233.
306
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Juino, M.A.R., Menez, L.A.B., Villanoy, C, Gomez, E.D. (1989). Status of giant clam
resources of the Philippine. Journal Molluscan Studies. 55: 431-440.
Klumpp, D.W., Bayne, B.L., Hawkins, A.J.S. (1992). Nutrition of the giant clam Tridacna
gigas (L.). I. Contribution of filter feeding and photosynthates to respiration and
growth. J. Exp. ar. Biol. Ecol. 155: 105-122.
Klumpp, D.W., Lucas, J.S. (1994). Nutritional ecology of the giant clams Tridacna tevoroa
and T. derasa from Tonga: influence of light on filter-feeding and photosynthesis.
Mar. Ecol. Prog. Ser. 107: 147-156.
Lucas, J.S., Ledua, E., Braley, R.D. (1991). Tridacna tevoroa Lucas, Ledua and Braley: A
recently-described species of giant clam (Bivalvia; Tridacnidae) from Fiji and Tonga.
Nautilus 105(3): 92-103.
Lucas, J.S., Nash, W.J., Crawford, C.M., Braley, R.D., (1989). Environment influences on
growth and survival during the ocean-nursery rearing of giant clams, Tridacna gigas
(L.). Aquaculture. 80: 45-61.
Norton, J.H., Shepherd, M.A., Long, H.M , Fitt, W.K. (1992). The zooxanthellal tubular
system in the giant clam. Biol. Bull. 183: 503-506.
Nugroho, E.P. dan Ambariyanto. (2001). Pengaruh substrat dasar terhadap pertumbuhan
kima (Tridacna crocea). Ilmu Kelautan 23: 237 – 243.
Pasaribu, B.P. (1988). Status of giant clams in Indonesia. In. Copland, J.W., Lucas, J.S.
(eds). Giant Clams in Asia and the Pacific. ACIAR Monograph No.9 p: 44-46.
Pearson, R.G. (1977). Impact of foreign vessels poaching giant clams. Australian
Fisheries., 36: 8-13.
Perron, F.E., Heslinga, G.A., Fagolimul, J.O. (1985). The gastropod Cymatium muricinum,
a predator on juvenile tridacnid clams. Aquaculture. 48: 211-221.
Pranowo, W.S. (1998). Sebaran kima (Famili Tridacnidae) di Taman Nasional Laut Teluk
Cenderawasih, Irian Jaya. Skripsi. FPK-UNDIP. Semarang. 88 hal.
Ramli, I. (1999). Distribusi kima (Tridacnidae) di perairan pulau Barrang Lompo dan Bone
Batang, Sulawesi Selatan. Skripsi. FPK-UNDIP, Semarang. 49 hal.
Richard, G. (1981). A first evaluation of the growth and production of lagoon and reef
molluscs in French Polynesia. Proc. 4th. Int. Coral Reef Symp. Vol.2. p:637-641.
307
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Sims, N.A., Howard, N.T. (1988). Indigenous tridacnid clam populations and the
introduction of Tridacna derasa in the Cook Islands. In: Copland, J.W., Lucas, J.S.
(eds). Giant Clams in sia and the Pacific. ACIAR Monograph No. 9. p: 34-40.
Sutton D.C., Garrick, R. (1993). Bacterial diseases of cultured giant clams, Tridacna gigas
larvae. Diss. aqua. Org. 16: 47-53.
Sya’rani, L. (1987). The exploitation of giant clams fossils on the frigging reef areas of
Karimunjawa Islands. Biotrop. Spec. Publ. 29: 59-64.
Taniera, T. (1988). Status of giant clams in Kiribati. 1988. In: Copland, J.W., Lucas, J.S.
(eds). Giant Clams in Asia and the Pacific. ACIAR Monograph no. 9 Canberra. p:47-
48
Tisdell, C. (1989). Pacific giant clams and their products: an overview of demand and
supply. In: Campbell, H., Menz, K. Waugh, G. (eds). Economics of fishery
management in the Pacific region. ACIAR Proceeding No. 26. p: 100-104.
Villanoy, C.L., Juinio, A.R., Menez, L.A. (1988). Fishing mortality rates of giant clams
(Family Tridacnidae) from the Sulu Archipelago and Southern Palawan, Philippines.
Coral Reefs. 7: 1-5.
Yusuf, C., Ambariyanto (2007). Kepadatan Kima (Famili Tridacnidae) di perairan Krakatau,
Kepulauan Seribu dan Manado. Submitted to IJMS.
308
PROSIDING SEMINAR NASIONAL D6
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Abstrak
Pengembangan potensi metabolit sekunder sebagai antibiotik saat ini sangat
diperlukan seiring dengan beragamnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Di
antara mikroorganisme yang berpotensi sebagai penghasil senyawa antibakteri
adalah bakteri, termasuk bakteri simbion. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menelusuri potensi antibakteri dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri
Photobacterium phosphoreum yang bersimbiosis pada organ cahaya cumi-cumi
Loligo duvauceli. Fraksi gabungan ke-2 (FC-3.2) hasil fraksinasi FC-3 diketahui
merupakan fraksi yang paling aktif menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus sp,
Staphylococcus aureus, Vibrio harveyi dan Escherichia coli dengan aktivitas
antibakteri terbesar ditunjukkan terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
Pendahuluan
Pengembangan bahan alam merupakan usaha potensial untuk mendapatkan bahan
kimia baru yang sulit disintesis di laboratorium dan kemungkinan sangat berguna dalam
pengobatan, pertanian, dan industri (Achmad, 1995). Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, penelitian bioteknologi di Indonesia juga mulai dilakukan
secara intensif terpadu dari berbagai multi disiplin ilmu. Penelitian mengenai potensi
bahan bioaktif banyak dilakukan karena dimungkinkan dapat dikembangkan sebagai
bahan baku obat (Kardono, 1996 dalam Cahyono, 1996). Adanya resistensi
mikroorganisme patogen terhadap bahan antibiotik sintetis juga menjadi pemacu
pencarian bahan antibiotik baru yang dapat menghambat pertumbuhan mikoorganisme
patogen tersebut. Salah satunya yaitu dengan menelusuri potensi metabolit sekunder dari
309
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
310
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
bakteri uji yang dipergunakan adalah Bacillus sp, Staphylococcus aureus, Vibrio harveyi
dan Escherichia coli.
Proses ekstraksi
Setelah 5 (lima) hari, kultur massal dipanen dan disentrifuge (2500 rpm) selama 1
jam. Supernatan yang didapat kemudian diekstraksi dalam separatory funnel dengan
pelarut campuran 10 % Methanol dalam Kloroform, dengan perbandingan supernatan dan
pelarut (1 : 1). Fraksi Kloroform kemudian diambil dan dikisatkan dengan rotavapour pada
suhu 38 0C. Ekstrak kasar (pasta) yang didapat kemudian ditimbang beratnya (Burgess
et.al., 2002).
311
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Proses fraksinasi fraksi gabungan aktif dengan Kromatografi Kolom Terbuka (KKT)
dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
312
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Fraksi-fraksi gabungan yang didapat dari hasil fraksinasi fraksi gabungan aktif ekstrak
kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum selanjutnya diuji kembali aktivitas
antibakterinya terhadap keempat uji. Adapun prosedur uji sensitivitas antibakteri yang
digunakan pada tahap ini adalah sama dengan prosedur yang dipergunakan pada uji
sensitivitas antibakteri ekstrak kasar maupun pada uji sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi
gabungan hasil fraksinasi ekstrak kasar yang mengacu pada prosedur dari Laboratorium
Hama dan Penyakit BBPBAP Jepara. Sedangkan konsentrasi ekstrak yang diujikan
adalah 10 μg/mL.
313
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Sentrifugasi
Sel Supernatan
Ekstraksi
Umpan Balik
Konsentrasi Ekstrak Uji Terbaik
314
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
315
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Tabel 1. Rerata Diameter Zona Hambatan Pertumbuhan Bakteri Uji yang Terbentuk
dari Uji Sensitivitas Antibakteri terhadap Ekstrak Kasar Kloroform Bakteri
Photobacterium phosphoreum
Sementara itu, untuk kontrol uji negatif yaitu Methanol, diameter rata-rata zona
hambatan yang terbesar diperoleh pada uji terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada
pengamatan waktu inkubasi 24 jam yaitu sebesar (6,68 ± 0,07) mm, sedangkan diameter
316
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
rata-rata zona hambatan yang terkecil diperoleh pada uji terhadap bakteri Vibrio harveyi
pada pengamatan waktu inkubasi 48 jam yaitu sebesar (6,35 ± 0,04) mm.
Adapun untuk lebih jelasnya, hubungan antara pembentukan diameter zona
hambatan pertumbuhan bakteri uji hasil uji sensitivitas antibakteri ekstrak kasar kloroform
bakteri Photobacterium phosphoreum dengan waktu inkubasi dapat dilihat pada Gambar 2
dan Gambar 3 berikut ini :
Diam eter Z.H. (m m )
8,7
8,2
7,7
7,2
6,7
6,2
Methanol 1 5 10
Konsentrasi Ekstrak (ug/m L)
Gambar 2. Grafik pembentukan diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri uji hasil uji
sensitivitas antibakteri ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium
phosphoreum dalam waktu inkubasi 24 jam
8,7
Diam e te r Z.H. (m m )
8,2
7,7
7,2
6,7
6,2
Methanol 1 5 10
Konsentrasi Ekstrak (ug/m L)
Bacillus sp S.aureus V.harveyi E.coli
Gambar 3. Grafik pembentukan diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri uji hasil uji
sensitivitas antibakteri ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium
phosphoreum dalam waktu inkubasi 48 jam
317
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Berdasarkan kedua grafik di atas dapat diketahui bahwa baik untuk pengamatan
waktu inkubasi 24 maupun 48 jam terdapat persamaan pola pembentukan diameter zona
hambatan pertumbuhan bakteri uji oleh ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium
phosphoreum yaitu bahwa diameter zona hambatan yang terbentuk akan semakin besar
seiring dengan kenaikan konsentrasi ekstrak yang diujikan.
Hasil fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dan Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
318
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa berat
ekstrak yang terbesar diperoleh untuk fraksi gabungan ke-4 (FC-4) yaitu 69,8 mg,
sedangkan fraksi gabungan ke-1 (FC-1) memperoleh berat ekstrak yang terkecil yaitu
hanya sebanyak 10,2 mg.
Hasil uji sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan (FC) hasil dari fraksinasi
ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
Setiap fraksi gabungan yang didapat dari hasil fraksinasi dengan KKT dan KLT
tersebut kemudian diuji kembali aktivitas antibakterinya terhadap 4 (empat) bakteri uji yaitu
Bacillus sp, Staphylococcus aureus, Vibrio harveyi, dan Escherichia coli dengan
konsentrasi uji untuk masing-masing fraksi gabungan yaitu 10 μg/mL. Adapun hasil uji
sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Rerata Diameter Zona Hambatan Pertumbuhan Bakteri Uji yang Terbentuk
dari Uji Sensitivitas Antibakteri terhadap Fraksi-Fraksi Gabungan (FC) Hasil
Fraksinasi Ekstrak Kasar Kloroform Bakteri Photobacterium phosphoreum
319
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
320
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Berdasarkan data rerata diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri uji yang
terbentuk dari hasil uji sensitivitas antibakteri terhadap fraksi-fraksi gabungan hasil
fraksinasi ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum di atas dapat
diketahui bahwa diameter rata-rata zona hambatan yang terbesar diperoleh dari uji ekstrak
fraksi gabungan ke-3 (FC-3) ekstrak kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada pengamatan waktu inkubasi 24 jam yaitu
sebesar (9,57 ± 0,10) mm, sedangkan diameter rata-rata zona hambatan yang terkecil
diperoleh dari uji ekstrak fraksi gabungan ke-1 (FC-1) ekstrak kloroform bakteri
Photobacterium phosphoreum terhadap bakteri Vibrio harveyi pada pengamatan waktu
inkubasi 48 jam yaitu sebesar (7,98 ± 0,05) mm. Sementara itu, untuk kontrol uji negatif
yaitu Methanol, diameter rata-rata zona hambatan yang terbesar juga diperoleh pada uji
terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada pengamatan waktu inkubasi 24 jam yaitu
sebesar (6,51 ± 0,04) mm, sedangkan diameter rata-rata zona hambatan yang terkecil
diperoleh pada uji terhadap bakteri Escherichia coli pada pengamatan waktu inkubasi 48
jam yaitu sebesar (6,32 ± 0,03) mm.
Adapun untuk lebih jelasnya, hubungan antara pembentukan diameter zona
hambatan pertumbuhan bakteri uji hasil uji sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan
321
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
(FC) hasil fraksinasi ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum dengan
waktu inkubasi dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5 berikut ini :
9,7
Diam e te r Z.H. (m m )
9,2
8,7
8,2
7,7
7,2
6,7
6,2
M ethanol FC-1 FC-2 FC-3 FC-4 FC-5 FC-6
Fraksi Uji
Bacillus sp S.aureus V.harveyi E.coli
Gambar 4. Grafik pembentukan diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri uji hasil uji
sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan (FC) hasil fraksinasi ekstrak kasar
kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum dalam waktu inkubasi 24 jam
9,7
Diam e te r Z .H. (m m )
9,2
8,7
8,2
7,7
7,2
6,7
6,2
M ethanol FC-1 FC-2 FC-3 FC-4 FC-5 FC-6
Fraksi Uji
Bacillus sp S.aureus V.harveyi E.coli
Gambar 5. Grafik pembentukan diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri uji hasil uji
sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan (FC) hasil fraksinasi ekstrak kasar
kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum dalam waktu inkubasi 48 jam
Berdasarkan kedua grafik di atas dapat diketahui bahwa baik pada pengamatan
waktu inkubasi 24 maupun 48 jam, ekstrak fraksi gabungan ke-3 (FC-3) menunjukkan
322
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Hasil fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dan Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) fraksi gabungan ke-3 (FC-3) ekstrak kloroform bakteri Photobacterium
phosphoreum
Sebanyak 10 mg ekstrak FC-3 yang diketahui sebagai fraksi gabungan yang paling
aktif menghambat pertumbuhan keempat bakteri uji, selanjutnya dielusi kembali melalui
Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dengan pelarut campuran Methanol : Kloroform yang
ditingkatkan kepolarannya yakni dengan perbandingan Kloroform : Methanol berturut-turut
(4 : 1), (3 : 1), (2 : 1), dan (1 : 1) dengan bantuan 300 mg Silika Gel sebagai fase diamnya
(perbandingan ekstrak : Silika Gel = 1 : 30).
Hasil elusi menghasilkan 20 fraksi yang selanjutnya setelah divisualisasi lebih lanjut
dengan bantuan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ternyata didapatkan 4 fraksi gabungan.
Masing-masing fraksi gabungan tersebut kemudian dikisatkan dengan Rotavapour pada
suhu 38 0C dan didapatkan ekstrak pasta. Adapun banyaknya ekstrak yang didapat untuk
tiap-tiap fraksi-fraksi gabungan hasil fraksinasi KKT dan analisis KLT dari FC-3 ini dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut ini :
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa berat
ekstrak yang terbesar diperoleh untuk fraksi gabungan ke-2 (FC-3.2) yaitu 3,6 mg,
323
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
sedangkan fraksi gabungan ke-4 (FC-3.4) memperoleh berat ekstrak yang terkecil yaitu
hanya sebanyak 0,8 mg.
Hasil uji sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan hasil dari fraksinasi FC-3
ekstrak kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
Setiap fraksi gabungan yang didapat dari hasil fraksinasi FC-3 dengan KKT dan KLT
tersebut kemudian diuji kembali aktivitas antibakterinya terhadap 4 (empat) bakteri uji yaitu
Bacillus sp, Staphylococcus aureus, Vibrio harveyi, dan Escherichia coli dengan
konsentrasi uji untuk masing-masing fraksi gabungan yaitu 10 μg/mL. Adapun hasil uji
sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi ini dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Rerata Diameter Zona Hambatan Pertumbuhan Bakteri Uji yang Terbentuk
dari Uji Sensitivitas Antibakteri terhadap Fraksi-Fraksi Gabungan Hasil
Fraksinasi FC-3 Ekstrak Kloroform Bakteri Photobacterium phosphoreum
324
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Berdasarkan data rerata diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri uji yang
terbentuk dari hasil uji sensitivitas antibakteri terhadap fraksi-fraksi gabungan hasil
fraksinasi FC-3 ekstrak kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum di atas dapat
diketahui bahwa diameter rata-rata zona hambatan yang terbesar diperoleh dari uji ekstrak
325
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
11,2
Diameter Z.H. (mm)
10,2
9,2
8,2
7,2
6,2
Methanol FC-3.1 FC-3.2 FC-3.3 FC-3.4
Fraksi Uji
326
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
11,2
Diam e te r Z .H. (m m )
10,2
9,2
8,2
7,2
6,2
Methanol FC-3.1 FC-3.2 FC-3.3 FC-3.4
Fraksi Uji
Bacillus sp S.aureus V.harveyi E.coli
Berdasarkan kedua grafik di atas dapat diketahui bahwa baik pada pengamatan
waktu inkubasi 24 maupun 48 jam, ekstrak fraksi gabungan ke-2 (FC-3.2) menunjukkan
tingkat penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan keempat bakteri uji yang
ditunjukkan dengan paling besarnya rata-rata diameter zona hambatan yang terbentuk.
Sedangkan rata-rata diameter zona hambatan terkecil tampak diperoleh pada uji ekstrak
fraksi gabungan ke-4 (FC-3.4).
327
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
328
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
bioaktifnya, yang berarti pula semakin kuat kemampuan antibakterinya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Prijono (1994) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak, maka semakin tinggi kandungan bahan aktifnya yang dapat
meningkatkan kemampuan bahan dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji.
Pada pengamatan terhadap waktu inkubasi, berdasarkan data pada Tabel 1
maupun Gambar 2 dan 3 dapat diketahui bahwa diameter zona hambatan yang terbentuk
pada waktu inkubasi 24 jam akan mengalami penyempitan dan berkurang kecerahannya
setelah waktu inkubasi 48 jam. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa senyawa ekstrak
bersifat bakteriostatik, yang menghambat pertumbuhan bakteri namun tidak
membunuhnya. Menurut Wattimena et.al. (1991), zat antibakteri dikatakan bersifat
bakteriostatik bila menunjukkan penyempitan zona hambatan dan pengurangan
kecerahan zona hambatan setelah inkubasi 24 jam, sedangkan bakterisidal mampu
membentuk zona hambatan yang tetap bening sampai inkubasi 48 jam.
Berdasarkan pengamatan terhadap data yang tersaji pada Tabel 1 juga dapat
diketahui adanya perbedaan penghambatan pertumbuhan pada jenis bakteri gram positif
dan gram negatif. Bakteri uji jenis gram positif, yang diwakili oleh Bacillus sp dan
Staphylococcus aureus, memiliki diameter zona hambatan yang lebih besar dari pada
bakteri uji jenis gram negatif, yang diwakili oleh Vibrio harveyi, dan Escherichia coli.
Perbedaan aktivitas penghambatan ini dapat terjadi kemungkinan akibat perbedaan pada
struktur dinding sel kedua jenis kelompok bakteri tersebut. Menurut Pelczar et.al. (1993)
bakteri jenis gram negatif memiliki kandungan lipid yang lebih tinggi (15 sampai 20 %)
dibandingkan pada bakteri jenis gram positif (2 sampai 4 %). Menurut Wattimena et.al.
(1991), proses transportasi zat antibiotik ke dalam suatu sel hidup sangat dipengaruhi oleh
hambatan pada struktur dinding selnya, terutama terkait dengan keberadaan lapisan lipid.
Adapun perpedaan yang paling khas dari bakteri jenis gram positif dan gram negatif yaitu
terkait dengan keberadaan Asam Teikoat, yang hanya dimiliki oleh bakteri jenis gram
positif dan tidak terdapat pada bakteri jenis gram negatif (Prescott et.al., 1996).
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) ekstrak kasar kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
329
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Uji sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan (FC) hasil dari fraksinasi ekstrak
kasar kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
330
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
penghambatan akibat perbedaan pada struktur dinding sel bakteri jenis gram positif dan
bakteri jenis gram negatif (Pelczar et.al.,1993; Wattimena et.al.,1991; Prescott et.al.,
1996).
Pada pengamatan terhadap waktu inkubasi, berdasarkan data pada Tabel 3 maupun
Gambar 4 dan 5 dapat diketahui bahwa seperti halnya pada uji sensitivitas antibakteri
ekstrak kasar, diameter zona hambatan yang terbentuk pada waktu inkubasi 24 jam akan
mengalami penyempitan dan berkurang kecerahannya setelah waktu inkubasi 48 jam. Hal
ini kembali menunjukkan bahwa senyawa ekstrak fraksi-fraksi gabungan (FC) juga bersifat
bakteriostatik.
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Terbuka (KKT) dan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) fraksi gabungan ke-3 (FC-3) ekstrak kloroform bakteri Photobacterium
phosphoreum
Uji sensitivitas antibakteri fraksi-fraksi gabungan hasil dari fraksinasi FC-3 ekstrak
kloroform bakteri Photobacterium phosphoreum
331
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
mampu membentuk rata-rata diameter zona hambatan terbesar hingga mencapai (11,11 ±
0,02) mm, juga pada uji terhadap bakteri Staphylococcus aureus (gram positif).
Kesimpulan
1. Fraksi gabungan ke-2 (FC-3.2) hasil fraksinasi FC-3 dari ekstrak kloroform bakteri
Photobacterium phosphoreum diketahui merupakan fraksi yang paling aktif
menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus sp, Staphylococcus aureus, Vibrio
332
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Saran
1. Untuk melengkapi informasi yang telah ada, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan
identifikasi dan penentuan golongan senyawa hasil fraksinasi.
2. Penelitian ini juga perlu dilanjutkan dengan pengujian terhadap bakteri patogen lain
sehingga dapat diketahui lebih luas lagi bioaktivitasnya.
Daftar Pustaka
Achmad, S.A. 1995. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Yogyakarta
Anonim. 1998. Teknik Pemisahan Kimia : Teknik Pemisahan Antibiotika. Kursus Singkat
Teknik Pemisahan Kimia. Yogyakarta
Breed, R.S., Murray, E.G.D. and Hitchens, A.P. 1948. Antimicrobial and Cytotoxic
Terpenoid from Tropical Green Algae of Family Udoteacea. Hydrobiologia. 18 : 135 –
170.
Brooks, G.F., Butel, J.S., and Morse, S.A. 1991. Mikrobiologi Kedokteran (Terjemahan).
Salemba Medika, Jakarta. 524 hlm.
Bullough, W.S. 1958. Practical Invertebrate Anatomy. Second Edition. Mc Millan & Co Ltd.
London.
Burgess, J.G., Boyd, K.G., Amstrong, E., Zhong Jiang, Liming Yan, Matz, B., May, U.,
Pisacane, T., Granmo, A. and Adam, D.R. 2003. The Development of Marine Natural
Product based Antifouling Paint. Biofouling. Volume 19. Taylor & Francis Ltd.
333
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Cahyono, M.S. dan Lia, D.Y. 1996. Senyawa Bioaktif dalam Daun Pace Alas : Suatu Uji
Biologis dengan Brine Shrimp Lethally Test. Fakultas MIPA Universitas Diponegoro.
Semarang. 47 hlm.
Chatib, U.W. 1994. Kokus Positif Gram dalam Mikrobiologi Kedokteran. Universitas
Indonesia. Jakarta. hlm 39-50
Concepcion, G.P., Caraan, G.B. and Lazaro, J.E., 1994. Biological Assays for Screening
of Marine Samples. Workbook Strategies in The Quest for Natural Bioactive
Compound from The Sea. Marine Science Institute, University of The Philippines. 52
pp.
Dahuri, R. 2005. Kelautan, Potensi Memakmurkan Rakyat. Harian Kompas, Senin 20 Juni
2005.
Edward, J.K. Patterson and Murugan, A. 2000. Screening of Cephalopods for Bioactivity.
Phuket Marine Biological Center Special Publication. 21 : 253-256
Fardiaz, S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Edisi Pertama. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 127 hlm.
Farkas, J. dan Malik, S.E. 1986. Vibrio Disease of Sheatfish (Silurus sp). Aquaculture. 24 :
81-88
Fenical, W. and Paul, V.J. 1984. Antimicrobial and Cytotoxic Terpenoid from Tropical
Green Algae of Family Udoteacea. Hydrobiologia. 17 : 135-170
Fessenden and Fessenden. 1983. The Technique and Experiments of Organic Chemistry.
PWS Publisher. USA
Harborne, J.W. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Penerbit ITB. Bandung
Helianti, Is. 2005. Metagenomik, Era Baru Bioteknologi. Harian Kompas, Senin 6 Juni
2005
Hering, P.J. 1977. Luminescent in Cephalopods and Fish. Symposia of The Zoological
Society. London. 38 : 127-159
334
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Hering, P.J. 1990. Bioluminescent Communication in The Sea in Hering, P.J., Campbell,
A.K. Whitefield, M. and Maddock, L (Ed.). Light and Life in The Sea. Cambridge
University Press. pp 245-264
Hiscok, I.D. 1972. Phylum Mollusca in Marshall, A.J. and Williams, W.D. (Ed.). Textbook of
Zoology : Invertebrate. English Language Book Society and Mc Millan. London
Jawestz, E., Melnick, J.L. and Adelberg, E.A. 1984. Review of Medical Microbiology.
Lange Medical Publication. California. 34 : 56-67
Katzung, B.G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC Publisher. Jakarta. 1086 hlm.
Krovacek, K., Faris, A. and Mansson. 1987. Cytotoxic and Skin Permeability Factor
Produce by Vibrio anguillarum. Aquaculture. 26 : 87-91
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta. 168
hlm.
Lightner, D.V. 1983. Disease of Cultured Penaeid Shrimp in J.P. Mc Very. CRC Handbook
of Mariculture. Vol. I. CRC Press. Florida. 1 : 289-298
Manitto, P. 1981. Biosynthesis of Natural Product. Ellis Harwood Ltd. England. 211 pp.
Mariam, A. dan Mintarjo, K. 1987. Premilinary Study on Bacteria Isolated from Shrimp
Larvae Infected with Shrimp Disease. Bulletin Brackish Water Aquaculture
Development Center. 8 : 71-80
Nurwantoro dan Djarijah. 1997. Mikrobiologi Pangan Hewani dan Nabati. Kanisius.
Yogyakarta. hlm 39-51
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. PT Pustaka Utama
Gramedia. Jakarta
Papilaya, E. dan Ngili, Y. 2004. Mengenal Organisme Bioluminesensi Laut Indonesia.
www.cakrawala.co.id/iptek.htm (Tanggal pengambilan 28 Juni 2005)
Pavia, D.L., Lampman, G.M., Kriz, G.S. and Engel, R.G. 1995. Introductions to Organic
Laboratory Techniques : A Contemporary Approach. W.B. Saunders College
Publishing. Philadelphia. USA
Pelczar, M.A., Chan, J.E.C.S., dan Kreig, H.R. 1993. Microbiology : Concept and
Aplication. Mc. Graw Hill Inc. 952 pp
335
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Prescott, L.M., Harley, J.P. and Klein, D.A. 1996. Microbiology. Third Edition. WCB, C.
Brown Publisher. 944 pp
Prijono, D. 1994. Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. IPB. Bogor. 123 hlm.
Pringgenies, D. dan Hapsara, H.T. 2004. Buku Acuan Petunjuk Identifikasi Cephalopoda.
Jurusan Ilmu Kelautan FPIK Universitas Diponegoro. Semarang (Tidak
Dipublikasikan)
Pringgenies, D. and Jorgensen, J.M. 1994. Morphology of The Luminous Organ of The
Squid Loligo duvauceli d’Orbigny 1839. Acta Zoologica. 4 : 305-309
Reinheimer, G. 1985. Aquatic Microbiology. Third Edition. John Wiley & Sons. New York.
308 pp.
Roper, C.F.E., Sweeney, M.J. and Nauen, C.E. 1984. FAO Special Catalouge. Volume 3.
Cephalopods of The World. Annotated and Illustrated Catalouge of Species of
Interest to Fisheries. FAO Fisheries. pp 277
Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang Biologi
Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. 527 hlm
Rukyani, A. 1999. Pengenalan Jenis-Jenis Penyakit Utama pada Udang Windu serta Cara
Penanggulangannya. BALITKANWAR. Puslitbang Perikanan. 10 : 1-6
Samways, M.J. 1981. Biological Control of Pest and Weeds. Mc Millan India Ltd.
Bangalore, India
Sherr, E. and Sherr, B. 2000. Marine Microbes : An Overview in Kirchman, D.L. (Ed.).
2002. Microbial Ecology of The Oceans. John Wiley & Sons Inc. New York. 542 pp.
Simidu, V., Noguchi, T., D Hwang, Shide, Y. and Hashimoto. 1987. Marine Bacteria which
Produce Tetroxin. Applied and Environment Microbiology. 2 : 1714-1715
Sterritt, R.M. and Lester, J.N. 1988. Microbiology for Environmental and Public Health
Engineers. E & F.N. Spon Ltd. 278 pp.
Sudiro, I. 1998. Produk Alam Hayati Laut dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang
Kesehatan dan Kosmetika dalam Soemadihardjo et al., (Ed.). Prosiding Seminar
Bioteknologi Kelautan Indonesia I. LIPI. Jakarta.
336
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Sunaryanto, A., Mariam, A. dan Pudjiatno. 1987. Penyakit Udang. INFIS Manual No. 43.
Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta
Takaya, Y., Uchisawa, H., Matsae, H., Okuzaki, B., Narum, F., Sasoki, J., and Ishida, R.
1994. An Investigation of The Antitumor Peptidoglycan Fraction from Squid Ink.
Biological Pharmacy. 17 : 846-849
Taslihan, A. 1992. Vibriosis pada Udang Windu. BPAP. Jepara. (Tidak dipublikasikan)
Taslihan, A. 2001. Cara Isolasi dan Identifikasi Bakteri dari Air, Ikan dan Udang di Air
Payau. BBPBAP. Jepara. 29 hlm.
Tauchstone, J.C. and Dobbins, M.F. 1983. Practice of Thin Layer Chromatography.
Second Edition. John Wiley & Sons Inc. New York. 405 pp.
Volk, W.A. dan Wheeler, M.F. 1989. Mikrobiologi Dasar (Terjemahan). Edisi Kedua.
Penerbit Erlangga. Jakarta. 341 hlm.
Wattimena, J.R., Nelly, C., Sugiarso, Widianto, M.A., Sukandar, E.Y., Soemardji, A.A. dan
Setiadi, A.R. 1991. Farmakodinamika dan Terapi Antibiotik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 168 hlm.
Wibowo, A.E. 2003. Isolasi dan Elusidasi Stuktur Senyawa Metabolit Sekunder dari
Mikrobia Laut Aspergillus versicolor (Vuill) Tiraboschi yang Mempunyai Aktivitas
Toksik terhadap Larva Udang Artemia salina Leach. Tesis Program Magister Sains
Ilmu Kimia. Universitas Indonesia (Tidak Dipublikasikan)
337
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D7
_________________________________________________________________________
Retno Andamari
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai pantai sangat luas dan
memiliki berbagai jenis moluska diantaranya siput dan kerang. Beberapa jenis kekerangan
dan siput banyak dipasarkan di daerah wisata, swalayan, pasar ikan bahkan di pedagang
kaki lima di Denpasar dan sekitarnya. Jenis siput dan kerang yang dipasarkan di daerah
wisata yang digunakan sebagai hiasan beberapa diantaranya adalah termasuk jenis siput
yang dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987
tanggal 12 Januari 1987 . Jenis tersebut antara lain siput kepala kambing (Cassis
cornuta), susur bundar (Trochus niloticus), batu laga (Turbo marmoratus), nautilus
berongga (Nautilus pompilius) dan kimah (Tridacna spp.). Kekerangan yang untuk
konsumsi (edible) diantaranya tiram atau lebih populer dengan sebutan oyster
(Crassostrea spp), kerang darah (Anadara granosa), kerang bulu (Anadara indica),
simping (Amusium spp.), dan kerang hijau (Perna viridis). Hal yang tak kalah pentingnya
untuk diketahui adalah asal usul kerang tersebut sampai dipasaran (traceability ).
Kata kunci: kerang, siput, tiram
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga memiliki garis pantai yang cukup
panjang sehingga mempunyai pantai yang sangat luas. Pada umumnya moluska hidup di
daerah pantai meskipun ada juga yang hidup di laut dalam. Yang termasuk dalam phylum
moluska diantaranya adalah siput dan kerang. Kekerangan dan siput sudah sejak lama
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan masing-masing daerah mempunyai kekhasan
sendiri-sendiri. Sebagai contoh di kepulauan Riau sangat terkenal dengan gonggong
rebus (Strombus canarium), di Surabaya dan sekitarnya sangat terkenal lontong kupang
(Musculista senhausia dan Corbula faba), di Jakarta dan Bogor banyak dijual di pedagang
kaki lima kerang rebus biasanya jenis kerang darah (Anadara granosa, Anadara nodifera),
kerang bulu (Anadara indica, Anadara antiquata) dan sekarang sudah bermunculan juga
pedagang keliling membawa kerang hijau (Perna viridis). Di P. Saparua (Maluku)
masyarakat sangat menggemari bia jala (Strombus luhuanus). Semua jenis kerang-
338
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
kerangan tersebut berasal dari alam, sehingga bila hal ini dibiarkan terus menerus
dikhawatirkan akan bisa terjadi “tangkap lebih”. Sebagai contoh yang telah terjadi “tangkap
lebih” adalah kerang bulu (Anadara indica) di daerah perairan Kamal. Pada tahun 1979
produksi kerang bulu ini satu hari dapat mencapai 10 ton. Bila anda menginjakkan kaki di
pantai pada kedalaman 40 cm sudah penuh dengan kerang bulu ini, tetapi beberapa tahun
kemudian tak satu ekorpun ditemukan jenis kerang ini. Hal ini disebabkan setiap hari
kerang-kerang tersebut diambil tanpa memikirkan kelestariannya.
Untuk menghindari kejadian tersebut diatas lembaga-lembaga penelitian sudah
mulai merintis usaha budidaya kekerangan. Percobaan tentang tiram telah dilakukan oleh
Ismail dan Subagjo (1974) di P. Pari (Kepulauan Seribu) dan Teluk Banten, Kastoro
(1975), Fatuchri et al (1975), Danakusumah (1979) meneliti tentang pengumpulan benih
tiram dengan metoda payung di Gegara Menyan (Subang) dan Woutuyzen (1983)
melakukan penelitian pendugaan saat pemanenan dan pemijahan tiram di teluk Ambon
bagian dalam. Sudradjat, (1985) melakukan juga penelitian tentang tiram (Crassostrea
spp.). Masih banyak lagi serangkaian penelitian kerjasama internasional yaitu INFIDEP
(Indonesia Fisheries Development Project), IDRC (International Development Reseach
Canada), dan JICA (Japan International Cooperation Agency), Balai Litbang Sumberdaya
Laut, LON-LIPI Ambon kerjasama dengan ACIAR telah berhasil membudidayakan trochus
pada tahun 1993 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol juga melakukan
kerjasama penelitian abalon di mulai tahun 2006.
Di samping tiram, kerang hijau (Perna viridis) juga sudah mulai diteliti dan
dikembangkan sejak tahun delapan puluhan oleh Andamari dan Ismail (1980),
Danakusumah dan Wahyuni (1979) dan Kastoro (1980). Sejak tahun tersebutlah mulai di
kenal oleh masyarakat Jakarta kerang hijau bahkan tahun 1982 sudah ada menu kerang
hijau di salah satu hotel berbintang lima di Jakarta. Pernah pula dilakukan pemanenan
kerang hijau oleh Presiden tahun 1981 di pantai Binaria, Ancol hasil budidaya Lembaga
Oseanologi Nasional bekerjasama dengan Gelanggang Samudra Ancol.
Uraian tersebut diatas dimaksudkan untuk mengingatkan kembali bahwa usaha-
usaha rintisan ke arah budidaya sudah mulai dilakukan sejak 30 tahun yang lalu,
meskipun sampai saat ini masih ada kendala-kendala yang harus diatasi dan masih
banyak kegiatan penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang tidak
dicantumkan pada makalah ini. Pada tulisan ini penulis mencoba menginventarisasi
339
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
kerang dan siput yang terdapat di pasaran di Denpasar, Bali dan sekitarnya dengan tujuan
untuk mengetahui perkembangannya terkini.
Pasar swalayan
Di pasar empat swalayan dijual daging tiram/oyster tanpa cangkang, daging
kerang bulu, dan otot simping (adductor scallop).Jenis tiram ini dilihat dari ukurannya di
duga jenis Sachrostrea cuculata karena jenis ini yang banyak tersebar di sekitar perairan
Bali dan Jawa Timur dan otot dari simping diduga dari jenis Amusium spp. Disamping
ketiga jenis kerang tersebut kerang dan siput yang lain dijual dalam bentuk hidup lengkap
dengan cangkangnya (dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1
340
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Tabel 1. Jenis kerang dan siput yang dijual di Tiara Dewata, Tiara Grosir, Makro dan
Carrefour di Denpasar (Bali).
Harga/100 Ukuran
No Nama Lokal Nama Ilmiah gram Bentuk Panjang
(Rp.) cangkang (cm)
1 Tiram/oyster Crassostrea spp. 2360 Segar tanpa 1,5 - 2
cangkang
2 Simping/scallop Amusyum spp. 3240 Beku, otot ǿ 1.50 – 2.0
aduktor (5 gram/ind)
3 Kerang bulu Anadara spp 2990 Daging rebus 1.50
(4 gram/ind)
4 Kerang darah Anadara spp.. 1400 Hidup 3-4
5 Kerang tahu Tapes spp. 1390 Hidup 5-6
6 Kerang bulat Polymesoda sp 1150 Hidup 6 - 10
7 Kerang hijau ??? 1600 Hidup 10 - 11
8 Kul nenek Terebralia sp. 2016 Hidup 5-7
9 Kakul Pila spp. 736 Hidup 4-5
Gambar 1. Daging tiram, scalop, kerang bulu, kerang darah, kerang tahu, kerang bulat,
kerang hijau, kul nenek dan kakul yang terdapat di empat pasar swalayan di
Denpasar (Bali).
341
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Pasar Kadonganan
Pasar Kadonganan adalah pasar ikan yang terbesar di sekitar Denpasar. Jenis
kerang yang terdapat di pasar ini pada saat sampling hanya kerang darah (Anadara
granosa) dengan harga Rp.8000,- per kg ukuran 2 – 4 cm dan kerang manis atau kerang
bakau (Polymesoda spp.) berbagai ukuran (4 – 10 cm) dengan harga Rp.7000,- per kg.
Satu hari dapat dipasarkan kurang lebih 100 kg.
Tabel 2. Jenis kerang dan harga di lokasi Pelabuhan Benoa, Kuta dan Cafe di Jimbaran
Harga per 100 gr
No Nama Lokal Nama Ilmiah Bentuk Olahan
(Rp.)
1 Abalone Haliotis asinina 20.000- 30.000 Diolah
2 Kerang bulat Polymesoda spp. 2.200 – 5.000 Bakar, rebus, diolah
3 Kerang panjang Pharella spp. 3.200 Rebus, bakar, diolah
4 Kerang darah Anadara granosa 5.000 Rebus atau diolah
5 Kerang shinji Tellina spp. 10.000 Rebus atau diolah
342
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Gambar 2. Kerang panjang, abalone dan kerang shinji yang terdapat di Cafe Benoa dan
Kuta
Impor Kerang
Salah satu super market di Nusa Dua mengimpor beberapa jenis kerang langsung
dari Amerika, Kanada dan New Zealand disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 3. Kerang ini
diimpor setiap minggu sekali dengan jumlah kurang lebih 500 kg untuk semua jenis.
Kerang-kerangan ini dipasok ke rumah makan dan hotel bintang lima yang konsumennya
umumnya orang asing. Alasan hotel/restauran yang menggunakan kerang ini adalah
sanitasi sehingga mereka memilih kerang impor dari pada kerang lokal meskipun
harganya jauh lebih mahal.
Tabel 3. Jenis kekerangan impor dari Amerika, Kanada dan New Zealand
Nama
No Nama Asing Nama Ilmiah Harga (Rp.) Kondisi
Lokal
1 Tiram Oyster St. Sumion Crassostrea virginica 12.000 / buah Hidup
2 Tiram Hama Hama River Crassostrea gigas 12.000 / buah Hidup
3 Tiram West Coast Flat Ostrea edulis 12.000 / buah Hidup
oyster
4 Tiram Eagle Rock oyster Crasostrea gigas . 10.000 / buah Hidup
5 Tiram Kumamoto oyster Crassostrea sikamea 13.000 / buah Hidup
6 Kijing Native littleneck Protothaca staminea 136.000 / kg Hidup
clams
7 Kerang Penn Cove mussel Mytilus trossulus 115.000 / kg Hidup
biru
8 Kijing Mediteranian mussel Mytilus 121.600 / kg Hidup
galoprovincealis
9 Kijing Eastern razor clams Eusis directas 375.000/ kg Daging
10 Krng tahu Manila clams Tapes phillipinarium 143.000/ kg Hidup
No Nama Nama Asing Nama Ilmiah Harga (Rp.) Kondisi
343
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Lokal
11 Kerang Geoduck clams Panope abrupta 457.200 / kg Hidup
12 Kerang Geoduck clams Panope generosa 457.200 / kg Hidup
13 Tiram Pearl oyster dr Papua Pinctada maxima 378.000 / kg Daging
14 Simping Scallop half fresh Patinopecten 16.200/buah Cangkang
yessoensis separo
15 Simping Scallop meat Alaskan Patinopecten 518.900 / kg Daging beku
yessoensis
16 Simping Scallop meat Canada Pecten maximus 309.800 / kg Daging beku
Atlantic
17 Kerang Mussell half shell Perna canaliculus 68.000/ kg Beku cangkang
hijau New Zealand separo
Gambar 3. Beberapa jenis kekerangan yang di impor dari Amerika dan New zaeland
344
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
kepala kambing (Cassis cornuta), triton trompet (Charonia tritonis), susu bundar (Trochus
niloticus), batu laga (Turbo marmoratus), nautilus berongga (Nautilus pompilius), kima
(Tridacna spp.). Di samping yang telah disebutkan ini banyak jenis kekerangan dan siput
yang lain. Kerang dan siput diatas harganya berwariasi mulai Rp.2.000,- per buah yang
berukuran kecil sampai dengan ratusan ribu rupiah. Pada umumnya dalam kondisi yang
sudah dihilangkan lapisan kapurnya sehingga berwarna mengkilat karena muncul zat
tanduknya dan lapisan mutiaranya (Gambar 4). Menurut salah satu toko di daerah Kuta
mereka mendatangkan bahan desar kerang dan siput dari seluruh Indonesia dan
mempunyai workshop (bengkel) di Denpasar. Jenis siput yang banyak digunakan adalah
jenis Cyprea spp.
Gambar 4. Jenis kerang yang dilindungi Cassis cornuta, Charonia tritonis, Trochus
niloticus, Turbo marmoratus, Nautilus pompilius, Tridacna spp.
345
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
dilakukan terus menerus dikhawatirkan suatu saat jenis-jenis tertentu akan terjadi
”tangkap lebih” (over exploited).
Gambar 5. Hasil kerajinan kerang dan siput berupa : gelang, sandal, ikat pinggang, kap
lampu dan lain sebagainya.
346
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
kerang yang mengandung algae toxic dapat menyebabkan PSP (Paralytic Shellfish
Poison).dan DSP (Diarretic Shellfish Poisoning) Menurut Quayle dan Newkirk (1989), dan
Shumway (1990) kematian akan timbul antara 3 sampai 12 jam setelah keracunan makan
kerang. Oleh sebab itu sangatlah penting diketahui kondisi lingkungan tempat asal hidup
kerang tersebut.
Yang lebih penting lagi adalah produk perikanan harus memenuhi standar yang telah
ditentukan, diantaranya harus bebas dari pencemaran bakteri patogen, kontaminasi bahan
kimia dan masih banyak lagi syarat yang lain. Oleh sebab itu kita tidak hanya melihat
bahwa produk tersebut ada di pasar tetapi harus diperhatikan juga asal usul produk
tersebut (traceability) mulai cara penangkapan atau budidayanya apakah sudah mengikuti
konsep ramah lingkungan (ecofriendly), penanganan di tempat pemrosesan sampai ke
piring (siap saji). Jadi produk tersebut harus dilihat mulai saat ditangkap atau
dibudidayakan hingga sampai saat dikonsumsi apakah telah memenuhi standar aman
untuk makanan (food safety standard) dan juga kesinambungan sumberdaya tersebut
(sustainability). Saat ini sering kita membaca berita bahwa Uni Eropa telah menolak
ekspor udang maupun kerang dari Indonesia karena mengandung logam berat. Oleh
sebab itu tugas kita sebagai ilmuwan untuk memberikan penyuluhan kepada petani atau
para pengusaha tentang perlunya memperhatikan dan melaksanakan bisnis yang
memenuhi standar pasar. Salah satu alasan importir di Nusa Dua adalah para konsumen
takut mengkonumsi kerang-kerangan yang berasal dari perairan Indonesia karena
diragukan tingkat kebersihan lingkungan asal kerang tersebut. Hal ini merupakan salah
satu tantangan bagi pembudidaya untuk dapat membuktikan bahwa kekerangan tersebut
aman untuk dikonsumsi.
Kesimpulan
• Di Denpasar (Bali) dan sekitarnya dikonsumsi 10 jenis kekerangan lokal dan 17
jenis kekerangan impor.
• Di P. Bali beberapa puluh jenis kerang dan siput digunakan sebagai bahan
perhiasan wanita dan hiasan rumah tangga.
• Perlu ditelusuri asal-usul kerang dan siput tersebut apakah eksploitasinya telah
memenuhi aspek ramah lingkungan dan aman untuk digunakan sebagai hiasan
dan konsumsi (ecofriendly dan product traceability)
347
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Andamari, R dan W. Ismail. 1983. Telaah produksi kerang hijau (Perna viridis L) di Pantai
Ketapang, Mauk-Tangerang. Lap. Penelitian No. 26: Balitkanlut, Jakarta.
Danakusumah, E. 1979. Suatu studi mengenai ”spat fall” tiram daging Crassostrea
cuculata di perairan Gegara Menyan, Kabupaten Subang. Propinsi Jawa Barat
LPPL 1/76 – PL 06/79:35-48
Dharma,B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). 111 hal
Fatuchri, M. Ismail, and Wasilun, 1975. A study of Crassostrea cuculata BORN in Banten
Bay, in relation with its possibility for culture. LPP 2/75 – PL, 057/75; 76 – 101
Ismail, W. dan B. Subagjo. 1974. Percobaan pengumpulan benih (spat) tiram (oyster) di P.
Pari dan Teluk Banten. Seminar Peningkatan Sumber-Sumber Perikanan Untuk
Pengelolaan dan Pengolahannya. Jakarta, 1 Maret 1974. 24 hal.
Kastoro, W. 1975. Pemijahan tiram C. Cululata Born di perairan Gugus Pulau Pari.
Oseanologi di Indonesia 5, 43 – 53.
Kastoro, W. W. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau Perna viridis (Linnaeus) dari
Perairan Binaria, Ancol Teluk Jakarta.Jurnal Pen. Perikanan Laut N0. 45 Th 1988
Hal. 83 – 102
Shumway, S.E. 1990. A review of the effects of algal blooms on shellfish aquaculture.
Journal World Aquaculture Soceity 21: 65 - 103
348
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Quayle, D. B. and G. Newkirk. 1989. Farming Bivalve Mollucs Methods for Study and
Development. Advances in World Aquaculture, Vol. I. WAS and IDRC. 293 pp.
349
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D8
_________________________________________________________________________
Suriani Br Surbakti
Abstrak
Distribusi Moluska di danau Sentani tergantung dari kemampuan beradaptasinya
secara luas, kemampuan dispersal, dan sejarah zoogeografi serta kondisi ekologi. Kondisi
ekologi di Papua mengalami banyak perubahan setelah bergulirnya otonomi khusus.
Beberapa program pemerintah yang membutuhkan pembukaan lahan baru untuk
pemukiman, pembangunan infrastruktur dan areal pertanian menyebabkan terjadi konversi
hutan sagu, sungai, rawa, hutan bakau dan danau sebagai tempat pemukiman baru dan
pusat perbelanjaan, akibatnya degradasi danau Sentani tidak dapat dihindari.
Danau Sentani saat ini banyak mendapat tekanan baik faktor internal maupun
eksternal. Beberapa pengamat ekologi danau umumnya hanya melakukan kajian tentang
kualitas perairan, tetapi belum banyak mengkaji keanekaragaman faunanya, potensi
sumberdaya hayati danau, apalagi mempelajari keanekaragaman jenis moluska dan jenis-
jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat serta ancamannya terhadap kelestarian
kelompok moluska yang dimanfaatkan.
Pemahaman masyarakat terhadap keberadaan Moluska dipandang dari sudut
ekologi dan ekonomi memberikan kontribusi yang besar. Dari hasil survey di danau
Sentani, jenis-jenis yang dimanfaatkan masyarakat adalah: Thiara sp. Pomacea
canaliculata, Pilsbryoconcha exilis, Bellamya sp, serta Faunus sp. yang terdapat pada
daerah in-let.
Pemanfaatan kelompok moluska sebagai sumber ekonomi keluarga juga sebagai
sumber protein nomor dua setelah ikan, sementara di daerah pegunungan sampai saat ini
cangkang molluska jenis tertentu masih digunakan sebagai alat tukar yang sah secara
lokal.
Kata kunci: Danau Sentani, pemanfaatan, ancaman, degradasi, Thiara sp. Pomacea
canaliculata, Pilsbryoconcha exilis, Bellamya sp, Faunus sp.
Pendahuluan
Danau Sentani secara geografi terletak di Papua, memanjang dari timur ke barat
sepanjang 26,5 km, lebar antara 0,75 – 6 km dengan kedalaman maksimum mencapai
51,8 m. Luas Danau sekitar 9.630 Ha, terletak pada ketinggian 75 m dpl. Danau Sentani
menerima air dari beberapa sungai yang bermuara dari gunung Cycloops dan
pegunungan di sekitarnya. Danau ini mengalirkan airnya ke lautan Pasifik melalui sungai
Jufri (FAO 1972).
350
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Danau Sentani merupakan satu kesatuan dengan cagar alam Pegunungan Cycloops
(Jayapura). Secara administratif danau Sentani terletak di Kabupaten Jayapura, yang
berareal 245.000 ha. Pegunungan Cycloops yang berbatasan dengan Kota Jayapura
sebagai sumber hidup bagi sekitar 5000 keluarga, ditetapkan menjadi cagar alam pada
tahun 1995, sebagai pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Danau Sentani sebagai sumber hidup bagi 60% keluarga di sekitarnya. Danau itu
juga telah diprogramkan Pemerintah Kota Jayapura sebagai obyek wisata kota. Selain air
hujan, Danau Sentani mendapatkan suplai air dari sekitar 34 sumber mata air dari
pegunungan. Pihak aktivis lingkungan hidup mengumumkan sekitar 20 sumber air
diantaranya dinyatakan telah mengering akibat penebangan.
Sementara itu, pemanfaatan dan konservasi danau yang tidak berimbang
mengakibatkan keberlanjutan suatu lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia
dan alam terancam tak dapat berlanjut (unsustainability).
Permasalahan yang selama ini terjadi di danau Sentani adalah pendangkalan
danau, pencemaran, eutrofikasi, introduksi spesies asing, eksploitasi sumber daya,
penurunan permukaan air danau, dan terjadinya konflik pemanfaatan air. Permasalahan
yang sama juga terjadi pada danau-danau yang ada di Indonesia seperti: Danau Toba,
Danau Sentarum, Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Limboto, Danau Rawa
Pening, Danau Tempe, dan Danau Tondano. Kondisi di atas berdampak pada punahnya
keanekaragaman fauna terutama kelompok moluska.
Selanjutnya, Suripin (2001) mengemukakan bahwa kegiatan manusia sebagai salah
satu faktor paling penting terhadap terjadinya erosi tanah yang cepat dan intensif.
Kegiatan-kegiatan tersebut kebanyakan berkaitan dengan perubahan penutupan tanah
akibat penggundulan hutan untuk pemukiman, lahan pertanian dan pembangunan
infrastruktur.
Kondisi ekologi di Papua mengalami banyak perubahan setelah bergulirnya otonomi
khusus, beberapa program pemerintah yang membutuhkan pembukaan lahan baru untuk
pemukiman, pembangunan infrastruktur dan areal pertanian menyebabkan terjadi konversi
hutan sagu, sungai, rawa, hutan bakau dan danau menjadi tempat pemukiman baru dan
pusat perbelanjaan akibatnya degradasi danau Sentani tidak dapat dihindari (Richards &
Suryadi 2002).
Danau Sentani saat ini banyak mendapat tekanan baik faktor internal maupun
eksternal. Kajian yang dilakukan oleh pengamat ekologi danau umumnya hanya
351
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
melakukan kajian tentang kualitas perairan (Bodjoeri et al 1991; Lukman et al. 1991;
Sulastri et al. 1996; BAPEDA Papua 2004) tetapi belum banyak mengkaji
keanekaragaman faunanya, potensi sumberdaya hayati danau, apalagi mempelajari
keanekaragaman jenis dan jenis-jenis moluska yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pemahaman masyarakat terhadap keberadaan moluska dipandang dari sudut
ekologi, dan ekonomi dan kelestariannya masih sangat kurang. Kurangnya pemahaman
tersebut berakibat pada eksploitasi yang cenderung berlebihan dan tidak ramah
lingkungan, sehingga menyebabkan degradasi ekosistem danau.
Kajian terhadap kelompok moluska yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang
dilakukan oleh Suriani pada bulan Mei-Juni 2006. Pengambilan dan pengamatan serta
survei ke penduduk, dan pasar-pasar tradisional di sekitar danau Sentani untuk
mendapatkan data mengenai kelompok moluska yang dimanfaatkan oleh masyarakat,
distribusi dan tipe habitat, dan kondisi danau saat ini, dengan pengamatan sifat fisiko
kimai dan biologi air.
Berdasarkan urian di atas maka perlu dikaji keanekaragaman kelompok moluska
yang dimanfaatkan, keterancaman dan prospek serta pelestariannya dimasa datang di
areal danau Sentani.
352
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
353
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
dengan nilai rata-rata 2,9 mg/l, kecerahan 123 - 250 cm dengan rata-rata 195,25 cm, suhu
rata-rata 27,5-29,5OC hampir sama pada setiap stasiun.
Dari hasil pengamatan pada stasiun 1, 2, 3 di daerah kampung Harapan, daerah ini
di dominasi oleh kelompok keong (Belamya sp.) pada kedalaman 0 sampai 0.5 m, keong
mas (Pomacea canaliculata) merupakan spesies introduksi diperkirakan tahun 1985
masuk ke danau Sentani (informasi dari masyarakat), sementara Faunus sp, di temukan
pada muara sungai yang masuk ke danau sentani. Thiara sp (masyarakat menyebutnya
Pele) Jumlah populasi per jenis sangat terbatas diakibatkan perubahan kuantitas dan
kualitas air danau akibat dari pencemaran di wilayah sekeliling lokasi stasiun kecuali
Pomacea canaliculata detemukan menyebar luas. Setelah dianalisa ternyata
berhubunggan dengan ekstraksi dan pemanfaatan berlebih air danau melebihi daya
dukungnya sehingga beberapa jenis molluska rendah populasinnya, hilang dan rusaknya
lahan basah sekeliling danau, prilaku masyarakat di sungai tanpa memperhitungkan
keberlanjutan biota danau, dan perubahan drastis ruang di daerah in-let. Dampak
langsung dari pengrusakan lingkungan di sekitar danau adalah turunnya kualitas air,
kondisi danau kecerahan adalah 45 - 65 cm dengan rata-rata 55 cm, pH 6,3 - 7,8, oksigen
terlarut 3,6-4,8 mg/l rata-rata 4,2 mg/l, dan kondisi biologi stasiun ditemukan ikan-ikan dan
tumbuhan air seperti seperti enceng gondok (Eichoria crassipes), hidrila (Hydrilla
verticillata), Myriophyllum brasiliense, Potomogeton malainus, Ceratophylum demorsom,
Vellisneria americana.
Pengamatan pada stasiun 4, 5, 6. kelompok yang paling mendominasi adalah Keong
mas (P. Canaliculata) dan kelompok keong jarum yang berwarna hitam (Thiara sp.)
masyarakat sentani menyebutnya Pele, keberadaan keong mas dan pele sangat
melimpah dan pada kedalaman 1.5 meter ditemukan kerang Pilsbryoconcha exilis, dan
mulai pinggir pantai ditemukan Belamya sp sampai kedalaman 1 m, pada daerah ini
kondisi kecerahan perairan sampai , pH adalah 6,8-7,8, oksigen terlarut 2,6 - 3,2 mg/l
dengan nilai rata-rata 2,9 mg/l, kecerahan 123 - 250 cm dengan rata-rata 195,25 cm, suhu
rata-rata 27,5-29,5OC hampir sama pada setiap stasiun, dan tumbuhan air seperti enceng
gondok (Eichoria crassipes), hidrila (Hydrilla verticillata), Myriophyllum brasiliense, lamun
(Potomogeton malainus).
Kondisi dasar pada stasiun 1,2,3 danau berlumpur halus dan sedikit berpasir dan
kerikil, sedangkan pada stasiun 4,5,6 danau berlumpur dan lebih bertekstur halus. Lukman
(1991) telah melakukan pra survai Danau Sentani Irian Jaya dan wilayah sekitarnya. Hasil
354
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
survai mengemukakan bahwa Jenis – jenis ikan di Danau Sentani terdiri dari :11 jenis ikan
asli, 8 jenis ikan bahari yg teradaptasi ke perairan tawar, dan 7 jenis ikan introduksi. 8
jenis ikan bahari yaitu: Kahio/Belut (anguilla australis Richards), Merlemai /Hiu Gergaji
(Pristis microdon Latham), Barra (Garranx stellatus Eydoux et Slyt), Bara (C. ignobilis
Forskal), Kaijo/Belanak (Mugil cephalus Linnaeus), Megalops cyprinoides Broussonet,
Lutjanus sp, dan Bandeng (chanos-chanos Forskal).
Dari hasil wawancara dengan masyarakat bahwa pele yang banyak dimanfaatkan
masyarakat saat ini sudah berkurang dan sulit untuk mendapatkannya, dari pengamatan
di lapangan juga terlihat cangkang-cangkang pele yang masih anakan. Hal ini disebabkan
kondisi lingkungan yang berubah sehingga tidak dapat ditolerir akibatnya banyak ”pele”
yang mati. ”Pele” umumnya dikonsumsi oleh anak-anak yang baru sembuh dari sakit,
sehingga masyarakat meyakini dapat mempercepat pemulihan kondisi tubuh. Sebagian
jenis ini dijual oleh masyarakat untuk kebutuhan ekonomi keluarga. Sementara kerang
(Pilsbryoconcha exilis) diyakini masyarakat sebagai obat lever. Tapi saat ini masyarakat
merasa kesulitan mendapatkan pele dan kerang Pilsbryoconcha exilis karena populasinya
di danau Sentani semakin berkurang.
Berbagai ancaman seperti penurunan populasi molluska berdampak pada
pendapatan keluarga terutama molluska yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh
karena itu perlu ditingkatkan kesadaran masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran
sungai, dan disepanjang pantai danau Sentani terhadap nilai pelestarian lingkungan, untuk
mengurangi degradasi yang berdampak pada kegiatan ekonomi dan kelestarian
sumberdaya alam.
Mantiri (1994) telah mengkaji evaluasi beban pencemaran dan kualitas air Danau
Sentani. Hasil penelitian untuk analisis kualitas air menunjukkan bahwa 1) kadar amoniak,
nitrit dan oksigen terlarut (DO) pada beberapa lokasi air telah melampaui baku mutu air
golongan B dan C, 2) jumlah E. Coli pada jarak 0 – 10 m di Zona II (kecamatan Sentani
induk/tengah) telah melampaui baku mutu air untuk pemandian umum, 3) beban
pencemaran perairan Danau Sentani, terutama berasal dari permukiman dan peternakan
yang ada di sekitarnya. Sumber pencemar lainnya berasal dari hotel, restoran, pencucian
mobil, transportasi danau dan lain–lain, dan 4) berdasarkan parameter fisik, status kualitas
air Danau Sentani belum melampaui persyaratan baku mutu air seperti yang ditetapkan
PP N0. 20 tahun 1980 (golongan B dan C). Peneliti menyarankan 1) untuk mengurangi
beban pencemaran maka perlu adanya penataan pemukiman penduduk yang tinggal
355
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
pada rumah terapung di perairan danau, 2) Limbah cair (faeces-tinja) rumah tangga, hotel
dan restoran hendaknya dimasukkan dalam septic tank dan limbah padat dari kegiatan ini
sebaiknya dibakar, ditimbun (landfill) atau dibuang pada tempat yang telah disiapkan.
Kondisi di atas mengakibatkan berkurangnya pendapatan masyarakat yang hidup di
sekitar danau sentani, karena mata pencaharian utama mereka adalah mencari keong
(moluska). Dari hasil kajian Sulastry dan Fachmijany (1996) telah mengkaji evaluasi sifat
limnologis Danau Sentani Papua (dulu disebut Irian Jaya). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Danau sentani merupakan danau eutrofik. Kondisi eutrofik sudah pada taraf
penurunan kualitas perairan, khususnya untuk mendukung kehidupan fauna seperti
molluska dan ikan. Kondisi ini terlihat dari rendahnya oksigen pada bagian dalam perairan,
serta sebagian wilayah permukaan perairan (Haryani 2004). Kondisi ini dapat menurunkan
populasi moluska di danau Sentani.
Dalam kajian ini peneliti mengkaji kelompok moluska yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar danau Sentani, dan menemukan 5 spesies yang dimanfaatkan oleh
masyarakat anatara lain: Thiara sp. Pomacea canaliculata, Pilsbryoconcha exilis,
Bellamya sp, Faunus sp. Ada beberapa kelompok ini menyebar luas di sepanjang pantai
danau Sentani Pomacea canaliculata, Pilsbryoconcha exilis, Bellamya sp.
Eichornia crassipes
356
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Ceratophylum demersum
357
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Saran
Karena tingkat pencemaran pada skala waktu tertentu dapat merubah ekosistem
danau Sentani, maka dapat diprediksi kelompok molluska yang dimanfaatkan oleh
masyarakat akan terancam keberadaanya di alam. Oleh sebab itu, disarankan secara
terintegrasi dengan melibatkan seluruh stakeholder agar secara intensif melakukan kajian-
358
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
kajian yang mendalam penanganan lebih lanjut, demi kelestarian ekosistem danau
Sentani secara keseluruhan, dan lebih khusus kelestarian kelompok moluska.
Daftar Pustaka
Badjoeri M. dan Lukman. 1991. Kelimpahan Bakteri Heterotrofik di Perairan Danau
Sentani. J. Biologi Perairan Darat 3: 1- 4.
BAPEDALDA PAPUA dan LPPM ITB. 2004. Studi Ekosistim Danau Sentani. Bandung:
LPPM ITB
Benthem Jutting WWS v.1956. Systematic Studies the Non-Marine Mollusca of the Indo-
Australian Archipelago. Zoological Museum, Amsterdam. 259-265.
Benthem Jutting WWS v. 1963. Non-Marine Mollusca of West New Guinea Part 1,
Mollusca From Fresh and Brackish Waters, New Guinea Zoology, Number 20: 409-
515.
Efendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius. Yogyakarta.
Effendi, M.I. 1979, Metode Biologi Perikanan, Yayasan Dewi Sri, Bogor, 27-38
FAO. 1972. Inland Fisheries Development in Irian. The Foot and Agriculture Organization
of The United Nations. Roma. 41 pp.
Haryani G. S. 2004. Kualitas dan Kuantitas Air Danau dalam Prosiding Lokakarya Danau
Kedua Pengelolaan Danau Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Forum
Danau Indonesia (FDI) dan International Lake Committee Foundation (ILEC).
Jakarta.
Lukman dan Gunawan. 1991. Distribusi Vertikal Fitoplankton di Danau Sentani. J. Biologi
Perairan Darat 3: 5 - 9.
Lukman H. F. 1991. Laporan Pra survai Danau Sentani Irian Jaya dan Wilayah
Disekitarnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi LIPI. Bogor.
Mandosir, R., Karmawa, J.P., Jawardi., Tanjung, R., Giay., R.G., Pangkali. L., Rumaropen.
D., Nainggolan. B., Kailola. K., Wakum. T., Tuharea. T., Yakobus. L., 2004.
Potret Kawasan dan Rencana Umum Pengelolaan Kawasan Cagar Alam
cycloop. Pokja multipihak Cycloop. Jayapura.
Mansur, M.C.D & Maria Maria de Graca. Silva. 1999. Deskription of Glochidia of five
Species of Freshwater Mussel (Hyriidae: Unionidae) from Sout america.
Malacology 41 (2) : 475-463.
Sulastri dan Fachmijany S. 1996. Evaluasi sifat limnologis Danau Sentani Irian Jaya.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi LIPI 9: 61 – 73.
359
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
Takuo N. 2004. Cocervation and Management of ecosystem in Lake Biwa. FDI and ILEC :
48 – 53.
360
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI D9
_________________________________________________________________________
Kajian Kandungan Besi (Fe) dan Seng (Zn) Pada Tiram (Saccostrea echinata)
Abstrak
Laut banyak mengandung unsur-unsur mineral yang sangat dibutuhkan oleh
organisme hidup. Tiram (Saccostrea echinata) merupakan organisme yang memiliki
kemampuan mengakumulasi mineral dalam jaringannya sehingga tiram dapat menjadi
sumber mineral-mineral penting diantaranya adalah besi dan seng. Besi dan seng
merupakan unsur mineral yang sangat penting bagi organisme dalam proses metabolisme
dan reaksi enzimatis.
Hasil analisis kandungan besi pada bulan Desember 2006 sampai Februari 2007,
memperlihatkan bahwa kandungan besi Saccostrea echinata (berat kering) di perairan
Semarang yaitu 226,75 mg/kg; 99,58 mg/kg; 67,08 mg/kg, sedangkan untuk perairan
Jepara sebesar 167,10 mg/kg; 107,94mg/kg; 98,23 mg/kg. Hasil analisis kandungan seng
pada bulan Desember 2006 sampai dengan Februari 2007 memperlihatkan bahwa
kandungan seng Saccostrea echinata (berat kering)di perairan Semarang yaitu 65,36
mg/kg; 151,36 mg/kg; 148,14 mg/kg, sedangkan untuk perairan Jepara sebesar 63,11
mg/kg; 141,54 mg/kg; 153,55 mg/kg. Oleh karena itu Saccostrea echinata dapat dijadikan
salah satu sumber besi dan seng yang potensial.
Kata kunci : tiram, mineral, besi, seng
Pendahuluan
Tiram merupakan biota laut yang melimpah di Indonesia. Beberapa jenisnya seperti
Saccostrea echinata, Crassostrea iredalei, dan Crassostrea cuculata memiliki nilai
ekonomis tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu komoditi ekspor.
Saccostrea echinata merupakan salah satu produk laut Indonesia yang dapat diperoleh
langsung dari alam maupun hasil budidaya (Angell, 1986).
Besi dan seng merupakan mineral mikro yang dibutuhkan oleh tubuh. Mineral mikro
terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peran esensial
untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi. Besi dibutuhkan oleh tiram untuk proses
metabolisme. Seng juga dibutuhkan oleh tiram untuk melaksanakan berbagai macam
fungsi enzim dalam proses metabolisme. Seng berperan dalam berbagai aspek
361
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
362
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
A B
1
363
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
250
kandungan besi (mg/kg)
200
150
Semarang
100
Jepara
50
0
desember januari f ebruari
bulan
364
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
160
120
100
80
Semarang
60
Jepara
40
20
0
desember januari f ebruari
bulan
365
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
MOLUSKA DALAM PENELITIAN, KONSERVASI DAN EKONOMI
_________________________________________________________________________
dengan bertambahnya waktu dimungkinkan karena tiram memasuki fase rest period,
dimana tiram melakukan akumulasi nutrisi untuk proses pemijahan berikutnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Angell (1986) pada S. echinata di perairan Ambon menunjukkan
bahwa pada awal musim hujan merupakan puncak dari proses gametogenesis ditandai
dengan gonadnya yang mengalami perkembangan maksimum. Pada bulan Desember
terjadi pemijahan dari tiram tersebut di perairan Ambon. Jadi diduga proses yang sama
terjadi pada tiram S. echinata di perairan Jepara dan Semarang.
Sesuai dengan pernyataan George and Coombs (1975) dalam Wilbur (1983 b)
bahwa seng merupakan komponen dari beberapa enzim. Dua enzim dengan jumlah paling
besar adalah carbonic anhydrase yang berperan dalam katalis CO2 menjadi asam
karbonat (H2CO3) dan malate dehydrogenase yang diperlukan oleh tiram dalam
metabolisme karbohidrat.
Tingginya kandungan besi dan seng dari tiram S. echinata kemungkinan disebabkan
oleh kondisi perairan. Pada umumnya kandungan besi dan seng pada tiram S. echinata
dari kedua perairan tidak jauh berbeda. Konsentrasi mineral dalam air sangat bervariasi,
salah satu bergantung pada musim. Pada musim hujan saat curah hujan tinggi, banyak
mineral baik dalam bentuk terlarut atau endapan yang terbawa dari laut melalui aliran
sungai (Puspitasari, 2006). Mineral terdapat dalam bentuk partikulat ataupun terikat dalam
sel plankton y