Anda di halaman 1dari 13

Mencari Identitas Politik Islam

Oleh: Irwan Malik Marpaung

Adanya politik dalam Islam bukan kartu bagi golongan manapun untuk mempolitikkan Islam.
Penggunaan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk kepentingan golongan perlu dihindari.
Meskipun hal itu merupakan kewajaran dalam ideologi atau agama tertentu. Penggunaan agama
biasa dilakukan bukan saja oleh partai Islam yang minim dukungan, tetapi juga oleh pemerintah
untuk mendapatkan legitimasi dan mandat rakyat. Ringkasnya, umat Islam tidak harus memilih di
antara politisasi Islam atau depolitisasi Islam

A. Prolog
Fenomena ketuhanan tampaknya merupakan fakta universal. Hal ini tidak
saja dapat ditemukan pada masyarakat modern tetapi juga pada masyrakat yang
paling primitive sekalipun.1 Kajian sejarah tentang asal usul agama telah
membuktikan kenyataan ini. Louis Berkhof di dalam karyanya, Systematic
Theology, menegaskan bahwa ide tentang Tuhan secara praktis bersifat universal
pada ras manusia. Hal ini juga ditemukan diantara bangsa-bangsa dan suku-suku
yang tidak memiliki peradaban.2 Sebagian teolog dan pakar filsafat agama
menyatakan bahwa fenomena ketuhanan sebenarnya telah terlembaga pada diri
manusia sebagai bawaan (innate idea of God).3 Bahkan lebih dari itu, ide tentang
ketuhanan dalam diri manusia oleh beberapa kalangan sudah dikategorikan
bersifat naluriah (instinctive).4 Dan berdasarkan teori ini manusia secara naluriah
percaya adanya Dzat diluar dirinya sendiri. Bagi sebagian kelompok lain, ide
tentang ketuhanan merupakan tuntutan akal (the voice of reason).5 Sekalipun
1
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-
orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 tahun, Penerbit Mizan, Bandung, 2003, hal. 27.
2
Louis Berkhof, Systematic Theology, WM.B. Eerdmans Publishing Co, United States of
America, 1981, hal. 27.
3
Sheed’s, Dogmatic Theology, Thomas Nelson Publishers, United States of America,
1980, hal. 199. Sebelumnya teori ini dipopulerkan oleh Rene Descartes, teori bawaan (the theory
of innate ideas) dan teori hasrat bawaan kepada Tuhan (the theory of innate yearning for God).
Dan kesadaran ini menurut Calvin “dianugrahi dengan pengetahuan Tuhan (Human mind is
naturally endowed with the knowledge of God), Encyclopedia of Philosophy, vol. 2, Macmillan
Publishing Co. In & The Free Press, New York-London, hal. 148.
4
Teori ini dipopulerkan oleh Seneca di dalam bukunya Epistulae Morale, yang dikenal
dengan argument bentuk biologis (Biological form of argument). Teori ini menyebutkan bahwa
adanya Tuhan dapat diseimpulkan dari perasaan Tuhan yang tertanam (secara biologis) dalam jiwa
manusia, Encyclopedia of Philosophy, vol. 2, Macmillan Publishing Co. In & The Free Press, New
York-London, hal. 148.
5
Kelompok ini menyatakan bahwa pengakuan adanya Tuhan pada seluruh manusia
disebabkan oleh tuntutan intelektualitasnya. Teori ini juga dikenal dengan teori dilemma

1
manusia mungkin telah ditakdirkan untuk ingin tahu akan hal-hal yang paling
misterius dari fenomena ketuhanan, kita perlu membedakan antara eksistensi ide
Tuhan yang tertanam dalam jiwa manusia dan perkembangan ide ketuhanan
dalam kesadaran manusia itu sendiri.
Perkembangan ide Tuhan dalam kesadaran tidak sama dengan
perkembangannya pada manusia atau bangsa lain.6 Yang artinya, fenomena
gagasan ketuhanan mengalami perkembangan sesuai karakteristik budaya dan
peradaban manusia.7 Ernst Cassirer menggambarkan perubahan sikap mental
Yunani dari situasi mistis menuju pengembangan intelektualitas yang ditandai
dengan transformasi intensif dari struktur bahasa magis menjadi bahasa metafisis,
kemudian berkembang menjadi bahasa logis dan terakhir menjadi prinsif
pengetahuan bagi manusia.8 Bahkan tidak hanya berkembang sesuai karakteristik

antiskeptis (the atsikeptical dilemma) yang dicetuskan oleh G.H. Joyce dalam bukunya The
Priciples of Natural Theology, teori ini dapat diringkas bahwa, pada kenyataanya seluruh manusia
baik di masa lalu maupun sekarang ditemukan sebagai makhluk yang percaya pada Tuhan.
Kepercayaan ini bukanlah disebabkan oleh kecenderungan alamiahnya, tetapi disebabkan oleh
tuntutan akan sifat yang jelas dan tegas. Encyclopedia of Philosophy, vol. 2, Macmillan Publishing
Co. In & The Free Press, New York-London, hal. 150.
6
Sheed’s, Dogmatic Theology, Thomas Nelson Publishers, United States of America,
1980, hal. 206.
7
Bertrand Russell menjelaskan: Ketika agama memiliki kaitan erat dengan pemerintahan
suatu imperium, maka motif-motif politik memberikan banyak andil dalam mengubah ciri-ciri
primitive agama. Agama bangsa Mesir dan babilonia, sebagaimana kepercayaan kuno lainnya,
pada dasarnya mengkultuskan kesuburan. Bumi adalah betina, matahari adalah jantan. Sedangkan
diseluruh Asia barat, Bunda yang agung dipuja dengan perbagai nama. Ketika bangsa Yunani yang
menduduki Asia kecil mendirikan kuil untuk memuliakannya, mereka menyebut sang dewi itu
Artemis. Dan inilah asal mula Diana dewi bangsa Ephesus. Dan selanjutnya agama Kristen
mengubahnya menjadi Maria sang perawan, dan adalah Konsili Ephesus 431M yang
mengukuhkan gelar “Ibunda Tuhan” bagi Bunda Maria. Sejarah Filsafat Barat, kaitannya dengan
kondisi seosio-politik zaman kuno sampai sekarang, hal. 5
8
Ernst Cassier, Manusia dan Kebudayaan, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 168-169.,
Memang pada mulanya yang muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas
dari agama dan dari Tuhan, namun dari situlah lahir dan tumbuhnya liberalisme pemikiran
keagamaan yang disebut juga theological liberalism. Perkembangan liberalisme pemikiran
kaagamaan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase perkembangan: Fase pertama dari abad ke
17 yang dimotori oleh filosof Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme
atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah a)
percaya pada akal manusia b) keutamaan individu c) imanensi Tuhan dan d) meliorisme (percaya
bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan). Fase kedua bermula pada akhir abad
ke 18 dengan doktrin Romantisisme yang menekankan pada individualisme, artinya individu dapat
menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri (self-consciousness) itu dalam pengertian religious dapat
menjadi Kesadaran-Tuhan (god-consciousness). Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant,
dan Friedrich Schleiermacher dsb. Fase terakhir bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga
abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada
ide tentang perkembangan (notion of progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang

2
budaya dan peradaban, fenomena ketuhanan juga berhasil membentuk
karakteristik budaya dan peradaban itu sendiri, baik dalam aspek social maupun
politik.9

B. Ideologi Islam Versus Ideologi Barat


Seperti dijelaskan diatas, liberalisme merupakan sistim, pandangan hidup
atau ideologi Barat. Maka dari itu upaya kelompok liberal untuk menjustifikasi
liberalisme dengan dalil-dalil historis maupun tekstual dari agama Islam adalah
sia-sia belaka. Sebab di Barat sendiri Islam telah diposisikan sebagai tantangan
bagi liberalisme. Francis Fukuyama dalam bukunya jelas-jelas mensejajarkan atau
merivalkan Islam dengan ideologi Liberalisme dan Komunisme. Islam ia anggap
memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri.
Dan karena itu pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-
praktek liberal. Ia bahkan tetap pada pendiriannya bahwa nilai-nilai liberal Barat
merupakan ancaman bagi masyarakat Islam. Dalam hal ini Fukuyama
menegaskan:
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak
lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab
selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak
pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme
adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap
masyarakat Islam tradisional. 10
berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta di harapkan dapat
merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern. Itulah sebabnya maka kajian mengenai
doktrin-doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis pengalaman
keagamaan (psychological study of religious experience), kajian sosiologis lembaga-lembaga dan
tradisi keagamaan (sociological study of religious institution), kajian filosofis tentang pengetahuan
dan nilai-nilai keagamaan (philosophical inquiry into religious knowledge and values).
9
Sebagaimana dijelaskan Bertrand Russell, agama nabi Muhammad adalah monotheism
yang sederhana, tidak dirumitkan oleh trinitas dan inkarnasi. Agama Muhammad ditugaskan
untuk menaklukkan dunia sebesar mungkin untuk Islam, tetapi tidak diperbolehkan untuk
menganiaya pemeluk agama lain. Hal ini berseberangan dengan Katholik, menyebarkan
pengaruhnya lewat trinitas yang rumit dan diwarnai penyiksaan pada pemeluk agama lain.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam adalah bagian dari da’wah yang tidak dibenarkan untuk
mengeksploitasi harta wilayah kekuasaan. Hal ini berseberangan dengan imperialism bangsa-
bangsa Eropa. ibid, hal. 558-569.
10
Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the
long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim
adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current, fundamentalist
revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic
societies. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, New York, 1992,

3
Fukuyama secara eksplisit meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme
sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing
dan saling bertentangan satu sama yang lain dan saling mengancam. Jika
demikian maka wajar jika liberalisme juga dianggap sebagai tantangan dan
ancaman bagi Islam. Apa yang disebut ancaman bukan bayang-bayang ketakutan
yang satu terhadap yang lain, akan tetapi merupakan fakta bahwa liberalisme dan
Islam itu sangat berbeda. Perbedaan ini dapat dilacak dari fakta bahwa ummat
manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan setiap bangsa memiliki peradaban
sendiri-sendiri. Cara berfikir dan cara pandang antara satu peradaban dengan yang
lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan cara memandang
kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Perbedaan pandangan
hidup antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur, agama,
kepercayaan, ras dan lain-lain. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations, What?
(Samuel Huntington Responds to His Critics), Huntington menyatakan bahwa
substansi atau asas peradaban adalah prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat. Oleh
sebab itu faktor-faktor untuk mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang
menjadikan mereka siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga (faith dan
family), darah (baca: ras) dan kepercayaan (blood and belief).11
Perbedaan identitas dan kemudian gesekan antara satu peradaban dan
worldview inilah yang disekenariokan dan diteorikan Samuel P Huntington
sebagai “clash of civilization” (benturan antar peradaban). Benturan ini
menurutnya akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun
peperangan di masa depan.12 Selain itu, tesis Huntington merupakan deklarasi
ataupun self-disclosure bahwa Barat akan berhadapan dengan peradaban yang
berbeda dan akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun
peperangan di masa depan. Masalahnya bukan hanya karena terdapat perbedaan

hal. 45-46.
11
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His
Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
12
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His
Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html

4
antar peradaban, tapi karena peradaban atau bangsa-bangsa Barat mengklaim cara
pandang mereka itu “universal” dan dapat dianut oleh seluruh umat manusia.
Intinya, apa yang oleh Barat itu dianggap “universal” ternyata tidak
demikian bagi umat Islam. Faktanya memang antara konsep-konsep Barat dan
Islam terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan. Perbedaan ini pada tingkat
kehidupan sosial maupun politik menyebabkan konflik, clash atau dalam bahasa
Peter L Berger disebut collision of consciousness (tabrakan persepsi). Pada tingkat
individu, mengakibatkan terjadinya pergolakan pemikiran dalam diri seseorang
dan pada dataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan
konseptual (conceptual confusion). Perang pemikiran pada tingkat inidividu
inilah yang kini dirasakan ummat Islam Indonesia. Jadi perang pemikiran dalam
skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan kebudayaan Barat atau
pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat.

C. Konsep Nation-State
Konsep negara-bangsa (nation-state) merupakan salah satu konsep politik
dari sebuah state (negara) atau sebuah kelompok masyarakat yang secara
bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. 13 Pengertian ini
menjelaskan bahwa nation-state merupakan sebuah entitas teritorial di mana
negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa. Nation-state ditegakkan
dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran
tinggi untuk membangun sebuah negara-bangsa. Nasionalisme menjadi faktor
penentu untuk mempertahankan loyalitas dan memperjelas identitas politik.
Semula nasionalisme merupakan sebuah doktrin politik yang digagas di Eropa
yang mana umat manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa dan masing-masing

13
Lihat Dankwart A. Rustow, entri "Nation” dalam David L. Sills (ed.), International
Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 11 (New York: The Macmillan Company & The Free Press,
1972), hal. 7-13. Pada hal. 7 ditegaskan, "The nation has come to be accepted as the central
political concept of recent times. In prevailing usage in English and other languages, a nation is
either synonymous with a state or its inhabitants, or else it denotes a human group bound together
by common solidarity-a group whose members place loyalty to the group as a whole over any
conflicting loyalties.

5
bangsa ditentukan berdasar sejarahnya, bahasanya dan lain sebagainya, untuk
membangun negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat.14
Konsep nation-state muncul di Barat ketika ruang lingkup agama terbatas
hanya dalam satu aspek vertikal dalam kehidupan individu yang terpisah dari
aspek-aspek lainnya. Di dalam Islam tidak demikian, Islam merupakan agama
yang luas cakupannya meliputi aspek privat dan publik dalam kehidupan umat
manusia. Syari’ah Islamiyyah oleh sebagian besar pemeluknya diyakini sebagai
ketetapan hukum yang berlaku universal, lengkap dan meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.
Meski demikian, terdapat dua alur pemikiran dari umat Islam dalam
merespon masuknya wacana nation-state tersebut ke dunia Islam, yakni; pertama,
respon konformis, yaitu mereka yang baik secara sadar atau terpaksa telah
menerima gagasan Barat seperti nation-state dan nasionalisme sebagai suatu
proses yang alami dan harus ditempuh untuk membentuk identitas nasional dan
mumberikan loyalitas politik nasional. Kedua, respon non-konformis, yaitu
mereka yang menolak sebagian atau seluruhnya konsep nation-state dan gagasan-
gagasan Barat lainnya sebagai sesuatu yang harus dikritisi atau bahkan ditolak dan
karena itu harus diuraikan akar persoalan dan dicarikan solusinya, tetapi
bagaimanapun juga pengaruh konsep nation-state merupakan sesuatu yang tidak
bisa ditolak oleh Dunia Islam modern secara keseluruhan.15
Ketegangan Islam vs nation-state dalam ruang politik kenegaraan modern
merupakan salah satu dampak terbesar penetrasi Barat ke Dunia Islam. Konsep
nation-state dianggap a-historis bagi masyarakat Muslim yang menolaknya.16
Nation state merupakan unit utama yang di dalamnya meliputi berbagai
14
Ibid., halm. 11.
15
Istilah konformis dan non-konformis ini digunakan oleh JP Piscatori untuk
membedakan kelompok realis dan kelompok idealis. Lihat James P. Piscatori, Islam in a World of
Nation States (New York: Cambridge, 1994), hal. 40. Lebih lanjut; Dalam mengekspresikan
identitas politiknya, kelompok konformis cenderung terbuka dalam pencarian tradisi barunya dan
menilai doktrin politik Islam sebagai sesuatu yang sifatnya duniawi saja. Sedangkan kelompok
non konformis lebih cenderung menegaskan identitas keislamannya dari pada menerapkan konsep-
kosep modern yang dianggap telah terbaratkan, dan menganggap doktrin politik Islam sebagai
sesuatu yang mempunyai implikasi duniawi dan ukhrawi. Akibatnya bagi kelompok non-
konformis ini, ketegangan Islam vs nation-state menjadi tidak terhindarkan.
16
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisrne
Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina,1996), hal. 10.

6
komponen masyarakat termasuk masyarakat agama yang heterogen, sebaliknya
dalam doktrin Islam klasik, masyarakat agama dengan identitas dan karakter khas
Islam merupakan unit utama yang menunjukkan sebuah entitas umat tersendiri
atau bangsa tersendiri yang berasal dari latar kesejarahan, bahasa, budaya dan
negara atau state yang berbeda-beda. Agama tetap menjadi faktor utama identitas
politik, patron dan juga sumber otoritas dalam segala hal.
Dengan asumsi demikian, maka konsep nation-state dengan semua
variabel modernnya pada dasarnya asing, a-historis dan tidak dikenal dalam ajaran
Islam.17 Islam semenjak kemunculannya, dengan Piagam Madinah sebagai
dokumen politik, hanya mengenal istilah ummah18 yang coextensive dengan
universalitas Islam sendiri yang dalam wilayah negara menjadi identitas religio-
politik yang lintas geografis, etnis, lintas budaya dan peradaban. Sedangkan
konsep nation-state dengan variabel modernnya seperti nasionalisme dikenal di
Dunia Islam belakangan, yakni sejak terjadinya kontak Dunia Islam dengan Dunia
Barat modern yang terjalin lewat kolonialisme.

D. Antara Depolitisasi dan Politisasi Islam


Perdebatan antara golongan Islamis dan sekularis cukup hangat dan
seringkali berakhir dengan tragedi. Tokoh-tokoh sekular walaupun sebagiannya
mempunyai latar belakang agama yang cukup kuat seperti Ali Abd al-Raziq yang
menentang keras dikaitkannya Islam dengan politik. Menurutnya, Islam hanya
sebuah agama ritual, tidak ada sistem politik dalam Islam. Sistem politik Islam
dikatakan rekayasa para ulama di zaman 'pertengahan'. Mengomentari kedudukan

17
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik, hal. 11-16. Lihat pula GW Choudury, Islam
and the Modern Muslim World (London: Scorpion Publishing Ltd, 1993).
18
Lihat teks lengkap Piagam Madinah dalam Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, vol.
3 (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, tt), hal. 224-226. Penegasan tentang satu umat terdapat dalam
pembukaan Piagam tersebut seperti berikut ini: Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang maha
Pengasih dan maha penyayang. Inilah piagam tertulis dari Muhammad saw di kalangan orang-
orang Mu'min dan Muslim (yang berasal) dari Quraisy dan dari Yatsrib, dan orang-orang yang
mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka
adalah satu umat yang mandiri (bebas dari pengaruh dan kekuasaan manusia lainnya).

7
Rasulullah sebagai pemimpin dan pendiri Negara Islam Madinah, ia menyatakan
bahawa itu hanya satu kebetulan.19
Nurcholish Madjid sejak tahun 70an telah menyarankan sekularisasi.
Baginya Islam tidak lebih dari sekadar agama seperti agama-agama lain yang
wujud di dunia.20 Atas dasar ini, agama perlu dibedakan dan dipisahkan daripada
politik. Oleh karena itu, menurut Nurcholish tidak ada politik Islam, ekonomi
Islam pendidikan Islam dsb. Baginya negara hanyalah bagian dari aspek
keduniaan yang bergantung sepenuhnya kepada nalar dan masyarakat, sedangkan
agama berasal dari alam ghaib yang hanya berdimensikan spiritual dan personal.21
Ashmawi, mengikuti jejak langkah Ali ‘Abd al-Raziq, menyatakan bahwa
Tuhan menginginkan Islam sebagai agama tetapi manusia menginginkannya
menjadi politik (arada Allah li al-Islam an yakuna dinan, wa arada bihi al-nas an
yakuna siyasatan).22 Baginya agama itu universal sifatnya, sedangkan politik itu
partikular dan temporal. Maka keduanya tidak mungkin bersatu.
Untuk menjawab keraguan yang ditimbulkan oleh Ashmawi ini perlu
diklarifikasikan definisi din atau agama. Nyatanya bagi kaum liberal yang
dimaksudkan dengan din dan agama adalah hal yang menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhan, maka agama tidak lebih dari sekadar urusan spiritual dan
ritual demikianlah dinyatakan oleh para ahli filsafat, antropologis dan sosiologis.
Lalu mengapakah Islam harus tunduk kepada kerangka pemikiran yang dibentuk
oleh Barat yang sekular. Pada hakikatnya, Islam tidak hanya menyangkut aspek
spiritual dan ritual tetapi juga segala bidang kehidupan manusia. Persoalan yang
perlu dijawab adalah mengapa Islam harus dibatasi oleh konsepsi dan definisi
yang dicipta oleh orang bukan Islam? Tidak mungkinkah Islam dinilai dan dirujuk
kepada sumber-sumber yang otortiatif dalam tradisi intelektual Islam? Dalam
framework pemikiran Islam, Islam yang primordial dan universal sifatnya

19
Ali ‘Abd al-Raziq, Al-Islam wa Usul al-Hukm: Bahth fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi
al-Islam (Kaherah: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1925), 32-63.
20
Nurcholish Madjid, “The Necessity of Renewing Islamic Thought and Reinvigorating
Religious Understanding”, dalam Liberal Islam, 293
21
Ibid., 294.
22
Muhammad Said al-‘Ashmawi, al-Islam al-Siyasi, Kaherah: al-Intishar al-‘Arabi, 27.

8
mengatur dan memberi petunjuk pada perkara temporal dan partikular, dengan
konsepsi sedemikian ajaran Islam secara hakikatnya membumi dan realistik.
Seorang tokoh ilmuan di universitas Yordania, Fathi al-Durayni menyadari
perbedaan konsep agama dan implikasinya terhadap hubungan antara agama dan
politik. Dalam bukunya, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm,
al-Durayni berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap
konsep agama.23 Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama
dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya
dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas
seorang Muslim terutamanya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.24 Ini sejajar
dengan ungkapan Ibn Taymiyyah min a‘zam wajibat al-din25 (satu kewajiban
agama yang utama).
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang menurut
Kurzman adalah salah seorang tokoh Islam Liberal.26 Beliau mengatakan bahwa
terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang
tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan
politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi
terhadap hakikat Islam.27 Memang Rasulullah s.a.w. bukan diutus sebagai
pemimpin politik, tetapi sebagai Rasul. Tetapi perlu diketahui konsep kerasulan
beliau tidak sebatas menyampaikan misi Allah (dakwah). Yang paling berat
adalah menjadi contoh dan tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara
hidup (way of life). Rasulullah membawa misi perubahan, karena Islam yang

23
Fathi al-Durayni, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, cet. Ke-2
(Beirut: Muassasat al-Risalah, 1987), 14.
24
Ibid, 15.
25
Ibn Taymiyyah, al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, n.d.), 137
26
Satu pandangan yang mengelirukan dan tidak dapat diterima oleh mayoritas
masyarakat dunia. Justru di kalangan masyarakat Barat sendiri beliau dicap fundamentalis. Lihat
Liberal Islam (Oxford University Press, 1998), 196.
27
Yusuf al-Qaradawi, Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, 26

9
dibawanya Islam yang mempunyai 'civilizing force'. Dalam masa yang singkat,
beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi ketamadunan di mana
budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan gemilang. Semua
perubahan ini terjadi karena beliau telah membuat program yang jitu dan
bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah, membina persaudaraan,
membentuk tatanan sosial dan membangun ekonomi, politik, sosial umat Islam di
Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan pendapat prof.
Muhammad Hamidullah bahwa piagam Madinah yang dirumuskan oleh
Rasulullah adalah satu undang-undang Dasar pertama di dunia karena ia
dihasilkan di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak memiliki
undang-undang dan tidak mengenal kedaulatan hokum (supremacy of law).28 Ini
tentunya bukan satu kebetulan.
Sistem politik Islam memang sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-
Qur’an tidak menjabarkan secara detail tentang bentuk pemerintahan,
mekanisme dan pelaksanaan lapangan. Tetapi cukup banyak prinsip-prinsip
pemerintahan yang perlu menjadi pedoman dalam berpolitik. Dan ini sudah cukup
untuk mewarnai sistem politik Islam dan membedakannya dengan sistem politik
sekular atau sistem pemerintahan yang despotik, teokratik dsb. Selain daripada
prinsip dan garis panduan yang diberikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, Islam
memberi kelonggaran untuk memikirkan sendiri kaedah dan bentuk pemerintahan
yang diinginkan sesuai tuntutan zaman. Kelonggaran ini benar-benar
mencerminkan dinamika Syari’ah dan rasionalitas Islam. Ia juga sesuai dengan
objektif syari’ah untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan manusia.29 Oleh
sebab itu, tantangan para ilmuan Islam adalah untuk membangun teori politik
Islam yang berpijak pada kenyataan situasi dan kondisi hari ini tanpa membuang
pedoman yang sudah diberikan oleh nas-nas yang qat’i (teks-teks agama yang
definitif).

28
Muhamamd Salim al-Awwa., Fi al-Nizam al-Siyasi li al-Dawlah al-Islamiyyah
(Kaherah: Dar al-Shuruq, 1989), 137.
29
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah,.Al-Turuq al-Hukmiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1995),11-18.

10
Persoalan yang perlu dijawab oleh pendukung konsep sekuler, adalah jika
pemisahan politik dari Islam diterima, maka dimanakan letak prinsip-prinsip
politik yang dijabarkan oleh al-Qur’an? Seperti kedaulatan Shari‘ah (12:40, 4:65,
5:44), prinsip Syura (3:159, 42:38), prinsip keadilan (4:58, 5:8, 57:25), prinsip
kebebasan bersuara dan berpendapat (27:64, 16:125, 10:99), prinsip persamaan
(49:13) dan pertanggungjawaban pemimpin (3:104). Di samping ratusan hadis
yang menjelaskan banyak hal yang berkaitan dengan politik. Pemisahan politik
dari Islam, pada akhirnya, bermakna menjadikan Islam agama kerohanian semata
dan konsekwensinya pada penganut yang submissif, tunduk kepada apapun
bentuk pemerintahan dan tidak mempunyai visi perubahan. Islam seperti ini tidak
ada bedanya dengan agama-agama lain, dan ini bermakna akan sia-sia Allah
menurunkan Islam sebagai agama penutup dan rahmat bagi seluruh alam. Sudah
tentu Islam yang lemah ini bukan Islam yang dilaksanakan oleh Rasulullah.
Karena dengan pimpinan Rasulullah s.a.w. Islam mengubah masyarakat, mencipta
sejarah dan membina tamadun yang gemilang. Islam pada masa itu membentuk
manusia dan bukan dibentuk oleh manusia, menjadi subjek bukan objek, ya‘lu
wala yu‘la ‘alayh.
Kecendrungan sebagian orang menerima depolitisasi Islam adalah akibat
daripada cara berfikir dikotomis. Yaitu untuk menolak politisasi Islam maka
seseorang perlu menerima 'depolitisasi Islam'. Persoalannya apakah ada alasan
yang cukup kuat untuk membenarkan dikotomi ini. Yang jelas umat Islam tidak
perlu mempolitikkan Islam hanya semata-mata untuk berkuasa, karena dengan
melaksanakan Islam sepenuhnya mereka dengan secara alami akan memimpin
dunia dan bukan dipimpin. Tidak perlu juga menolak hubungan politik dengan
Islam karena politik menjadi alat yang sah dan mesti dimiliki untuk melakukan
perubahan. Dengan memahami Islam sebagai satu cara hidup yang komprehensif
di mana politik adalah satu aspek daripada beberapa aspek yang perlu disesuaikan
dengan ajaran Islam maka tidak perlu menciptakan identitas politik Islam yang
baru.

E. Epilog

11
Islam adalah agama dan peradaban yang mengajarkan umatnya prinsip-
prinsip yang meliputi segala aspek kehidupan. Oleh sebab itu problem yang
dihadapi umat Islam berasal dari dalam diri umat Islam sendiri dan dari peradaban
lain. Masalah dari dalam diri umat Islam atau tantangan internal itu diantaranya
adalah kejumudan, fanatisme, taqlid, bidah khurafat. Akibatnya adalah lambatnya
proses ijtihad umat Islam dalam merespon berbagai tantangan kontemporer,
lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan pesatnya perkembangan
aktifisme. Untuk menyelesaikan masalah atau tantangan internal ini sejumlah
cendekiawan Muslim melakukan berbagai upaya untuk membawa ide
pembaharuan (tajdid). Namun, karena pengetahuan para cendekiawan Muslim itu
tidak memadahi untuk melakukan pembaharuan, mereka akhirnya mengimpor
paham-paham, ide-ide dan konsep-konsep yang berasal dari Barat. Paham yang
diimpor atau dimasukkan kedalam ranah pemikiran Islam itu dijustifikasi dengan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadith sehingga seperti berasal dari pemikiran Islam.
Diantara paham, ide dan konsep yang akhir-akhir ini diimpor oleh cendekiawan
Muslim adalah liberalisme yang kemudian digunakan untuk liberalisasi pemikiran
Islam. Untuk tujuan liberalisasi pemikiran Islam digunakanlah paham-paham lain
seperti sekularisme, pluralisme agama, relativisme, feminisme & gender dan lain
sebagainya. Akibatnya konsep-konsep itu menguasai pemikiran Muslim, dan
Muslim pun melihat politik Islam dengan kaca mata sekuler, liberal dan
relativistik.

12
Daftar Pustaka

Ali ‘Abd al-Raziq, Al-Islam wa Usul al-Hukm: Bahth fi al-Khilafah wa al-


Hukumah fi al-Islam (Kaherah: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-
Kitab, 1925)
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisrne
Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina,1996)
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, kaitannya dengan kondisi seosio-politik
zaman kuno sampai sekarang,
Dankwart A. Rustow, entri "Nation” dalam David L. Sills (ed.), International
Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 11 (New York: The Macmillan
Company & The Free Press, 1972)
Encyclopedia of Philosophy, vol. 2, Macmillan Publishing Co. In & The Free
Press, New York-London
Fathi al-Durayni, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, cet. Ke-
2 (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1987)
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, New
York, 1992
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah,.Al-Turuq al-Hukmiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1995)
Ibn Taymiyyah, al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, n.d.)
James P. Piscatori, Islam in a World of Nation States (New York: Cambridge,
1994)
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh
orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 tahun, Penerbit
Mizan, Bandung, 2003
Louis Berkhof, Systematic Theology, WM.B. Eerdmans Publishing Co, United
States of America, 1981
Muhamamd Salim al-Awwa., Fi al-Nizam al-Siyasi li al-Dawlah al-Islamiyyah
(Kaherah: Dar al-Shuruq, 1989)
Muhammad Said al-‘Ashmawi, al-Islam al-Siyasi, Kaherah: al-Intishar al-‘Arabi
Nurcholish Madjid, “The Necessity of Renewing Islamic Thought and
Reinvigorating Religious Understanding”, dalam Liberal Islam
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds
to His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-
huntington/index.html
Sheed’s, Dogmatic Theology, Thomas Nelson Publishers, United States of
America, 1980
Yusuf al-Qaradawi, Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam

13

Anda mungkin juga menyukai