Mustafa
B 201 09 089
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selama ini, masalah kependudukan boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat
maupun tokoh-tokoh masyarakat, Baik itu dari para politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun
tokoh masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak
berkeberatan lagi dengan program untuk mengon¬trol kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali
kesadaran untuk melaksanakannya. Dianggap sebagai hal yang tidak penting. Padahal, kalau kita mau
menyadari, sebenarnya masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting. Tidak kalah
pentingnya dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali kita perdebatkan dalam berbagai
seminar dan diskusi. Dan sebenarnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum dan norma
Sebenarnya, masalah kependudukan ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada
upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi
masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang
program KB. Kalau pun sudah ada yang menyetujui¬nya, umumnya mereka masih enggan
melaksanakannya. Pada zaman Orde Lama, dari pihak pemerintah pun tidak ada kesadaran akan
masalah ini. Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan seandainya
pada saat itu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya tidak perlu penduduk Indonesia
Pada awalnya masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan
treatment terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran kuantitatif.
Hal ini sangat jelas dari target atau sasaran di awal program keluarga berencana
dilaksanakan di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi
separuhnya sebelum tahun 2000. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila program
keluarga berencana di Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif. Dari sisi
ini tidak dapat diragukan lagi keberhasilannya.
Indikasi keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR yang
signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 . Selama periode
tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi 2,788 (SDKI 1997). Atau
dengan kata lain selama periode tersebut TFR menurun hingga lima puluh persen.
Bahkan pada tahun 1998 angka TFR tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu
menjadi 2,6
Penurunan fertilitas tersebut terkait dengan (keberhasilan) pembangunan sosial dan
ekonomi, yang juga sering diklaim sebagai salah satu bentuk keberhasilan
kependudukan, khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia.
Namun kritik tajam yang sering dikemukakan berkaitan dengan program keluarga
berencana adalah masih rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan),
khususnya dalam level operasional di lapangan. Kritik terhadap kualitas pelayanan
(salah satunya tercermin dalam hal cara pemerintah mempopulerkan alat kontrasepsi,
misalnya melalui berbagai jenis safari) sejak awal sudah muncul, tetapi hal itu dapat
diredam sehingga tidak meluas melalui berbagai cara .
Dalam pespektif yang lebih luas, persoalan fertilitas tidak hanya berhubungan dengan
jumlah anak sebab aspek yang terkait di dalamnya sebenarnya sangat kompleks dan
variatif, misalnya menyangkut perilaku seksual, kehamilan tak dikehendaki, aborsi,
PMS, kekerasan seksual, dan lain sebagainya yang tercakup di dalam isu kesehatan
reproduksi. Respons terhadap hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah,
khususnya oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan (lihat Country Report, 1998 dan
Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih belum menyentuh persoalan
mendasar yang ada di dalamnya sehingga isu-isu tersebut belum sepenuhnya
tertangani dengan baik.
Kebijakan kependudukan pada masa Orde Baru meskipun dari sisi kuantitatif telah
menunjukkan kemajuan yang berarti, namun masih meninggalkan banyak persoalan
yang mempunyai kemungkinan meningkat secara signifikan setelah krisis ekonomi.
Indikasi kehamilan tak dikehendaki menjadi isu yang penting dalam fertilitas. Sebagai
contoh, ketika angka fertiliitas mencapai angka yang rendah sebagai akibat
internalisasi norma keluarga kecil di dalam masyarakat, maka setiap kehamilan besar
kemungkinannya adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya kehamilan
tersebut berkaitan dengan kegagalan kontrasepsi. Oleh karena itu, tidak mustahil
bahwa insiden kehamilan yang tidak dikehendaki berkaitan dengan pencapaian
keluarga berencana. Dalam konteks inilah isu mengenai kualitas pelayanan menjadi
penting, khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang bertanggung jawab
terhadap kegagalan alat kontrasepsi dan bagaimana menangani hal tersebut.
Penanganan kehamilan yang tidak dikehendaki bukanlah hal yang mudah sebab
kehamilan tak dikehendaki juga berkaitan dengan isu aborsi. Hal ini terjadi khususnya
apabila kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut hanya mistiming dan terjadi pada
wanita yang sudah menikah. Akan tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa
kehamilan yang tidak dikehendaki sering terjadi pada wanita yang belum menikah
sebagai akibat dari hubungan seks pranikah. Dalam kasus ini maka solusi yang sering
muncul adalah yang kedua yaitu aborsi. Apabila solusi ini yang dipilih oleh si wanita,
penyelesaiannya dihadapkan pada undang-undang kesehatan yang tidak
membolehkan aborsi kecuali dengan alasan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Banyak
kasus menunjukkan bahwa aborsi masih menjadi pilihan untuk menyelesaikan kasus
kehamilan yang tidak dikehendaki, terutama bagi wanita lajang, meskipun hal itu
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Akibatnya adalah bahwa terjadi
aborsi illegal yang seringkali membahayakan nyawa ibu karena dilakukan oleh orang
yang tidak mempunyai kompetensi. Hal ini menjadi agenda penting yang perlu dicari
pemecahannya dalam isu
kesehatan reproduksi.
Sementara itu, isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus
pemerkosaan yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional,
misalnya pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain isu
mengenai marital rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah penderita
HIV/AIDS, yang cenderung meningkat secara tajam Situasi HIV/AIDS di Indonesia
menunjukkan jumlah penderita HIV/AIDS pada tahun 1987 hanya 9 orang, namun
pada akhir tahun 2005 meningkat tajam menjadi 9.370 orang (Sumber : Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional). Illustrasi ini sekedar memberikan
pemahaman bahwa ada banyak masalah yang terkait dengan kesehatan reproduksi
yang belum tertangani dengan baik.
Pergeseran masalah fertilitas dari sekedar masalah kuantitatif ke masalah yang lebih
mendasar sekaligus merupakan cerminan dari pergeseran pemahaman terhadap
fertilitas itu sendiri. Ketika orang mendiskusikan fertilitas semata-mata mengenai
jumlah anak, maka banyak aspek yang berkaitan, dengan hasil dari perilaku
reproduksi yang mempresentasikan lebih kepada faktor internal daripada faktor
eksternal. Sebab persoalan-persoalan yang muncul kemudian adalah lebih banyak ke
perilaku reproduksi itu sendiri, bukan pada hasil dari perilaku. Pada saat
membicarakan perilaku reproduksi maka di dalamnya bekerja faktor eksternal dan
internal secara bersama-sama. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor yang
berada di luar individu, termasuk di dalamnya faktor-faktor ekonomi sosial dan politik
yang dalam skala tertentu bahkan telah melewati batas ruang dan waktu. Sebagai
contoh, masalah berkembangnya kasus HIV/AIDS tidak semata-mata hanya dapat
dijelaskan dari perilaku individu, tetapi sudah menyangkut liberalisasi pasar yang
tercermin dengan semakin bebasnya arus barang dan manusia antar negara. Hal ini
membawa konsekuensi bahwa setiap usaha untuk mengatasi persoalan tersebut harus
memperhatikan faktor eksternal (masalah struktural) Keterkaitan antara masalah
kependudukan dengan pembangunan sosial ekonomi terasa lebih kental ketika krisis
ekonomi mulai melanda negara-negara Asia. Krisis ekonomi yang telah menyebabkan
kenaikan harga barang dan menurunkan daya beli penduduk telah menggeser skala
prioritas bagi rumahtangga dalam membelanjakan uang.. Sebelum krisis karena
proses internalisasi nilai (value) mengenai keluarga berencana sudah sangat
mendalam, kebutuhan alat kontrasepsi sudah masuk kedalam prioritas dalam rumah
tangga. Akan tetapi ketika krisis terjadi prioritas tersebut bergeser karena harga alat
kontrasepsi meningkat dengan tajam. Hal ini akan menyebabkan dua kemungkinan,
pertama adalah terjadinya peningkatan kasus drop out pemakai alat kontrasepsi, dan
kedua adalah perubahan penggunaan alat kontrasepsi dari yang efektif ke kurang
efektif. Hal ini ditunjang oleh ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan subsidi
terhadap harga kontrasepsi karena keterbatasan dana, atau yang lebih kritis lagi adalah
berkurangnya persediaan alat kontrasepsi. Dalam jangka panjang hal ini bermuara
pada efek yang sama, yaitu peningkatan angka kelahiran. Dengan demikian, krisis
ekonomi dikhawatirkan akan mengganggu kesuksesan program keluarga berencana.
Banjir yang terjadi pada awal tahun 2002 hampir merata terjadi di daerah pantai utara pulau
Jawa. Didasari oleh keinginan untuk memberikan sumbangsih solusi banjir, maka BTP DAS Surakarta
melakukan investigasi di tiga lokasi sampel yaitu DAS Ciliwung (Bogor - Jakarta), DAS Lampir
(Batang – Jawa Tengah) dan DAS Sampean (Bondowoso – Jawa Timur). Berdasarkan investigasi yang
dilengkapi dengan hasil-hasil kajian yang berkaitan dengan banjir maka disusunlah suatu paper tentang
Banjir, Penyebab dan Solusinya.
Berdasarkan fakta di lokasi sampel dan hasil kajian maka dapat diidentifikasi
Curah hujan saat terjadinya banjir merata di semua tempat dan dengan intensitas yang tinggi.
Curah hujan harian berkisar dari 100 sampai 200 mm. Dengan curah hujan yang begitu tinggi, vegetasi
penutup yang ada tidak lagi bisa mengendalikan aliran permukaan. Kondisi ini didukung oleh
karakteristik DAS yang sangat terjal di daerah hulu dan tiba-tiba menjadi datar di daerah hilir. DAS
menjadi sangat responsive dalam mengalirkan aliran permukaan. Di daerah hilir dengan
perkembangannya yang sangat pesat menyebabkan saluran drainase yang ada sudah tidak dapat lagi
menampung aliran permukaan yang dihasilkan di daerah hulu maupun daerah hilir sendiri. Akibatnya
aliran meluap menggenangi daerah di sekitarnya. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk
maka perubahan penggunaan lahan hampir tidak dapat dihindari. Perubahan penggunaan lahan tersebut
dapat berupa perubahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan pemukiman ataupun dari tanaman keras
menjadi tanaman semusim. Jika kondisinya tidak berubah maka banjir akan terus terjadi dan makin
besar, baik intensitasnya maupun luas genangannya. Dari empat faktor fisik yang menyebabkan banjir,
dua yang pertama sangat sulit dirubah, sedangkan kesempatan merubah tinggal dua yang terakhir yaitu
perbaikan saluran drainase dan penanganan perubahan penggunaan lahan. Dari faktor sosial, ekonomi
dan budaya sebetulnya dapat dirubah semuanya tetapi membutuhkan kemauan yang kuat dari semua
elemen masyarakat dan durasi yang relatif lama.
Bila dicermati lebih jauh, meroketnya pertumbuhan jumlah penduduk Sumut, erat
kaitannya dengan semakin memudarnya sosialiasi slogan program KB ”Dua Anak
Cukup”. Sebelum tahun 2000, bila kita berjalan ke kampung-kampung, kita masih
melihat patung atau lukisan/gambar timbul sepasang suami-isteri mengapit 2 orang
anak.
Berdasarkan hasil pendataan Rumah Tangga Miskin (RTM) Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2005, antara 28 s/d 58 persen pasangan usia subur RTM daerah
kabupaten/kota tidak mendapat layanan KB. Akibatnya, rata-rata jumlah anggota
rumahtangga mereka membengkak ke angka 6,2 orang.
Seiring dengan menurunnya intensitas penyuluhan dan penerangan program KB, para
pemuka agamapun tidak lagi memerhatikan isu KB sebagai sesuatu yang penting.
Bahkan dalam khotbah keagamaan pun pemberitaan akan konsekuensi ekonomis dan
degradasi kualitas generasi penerus sebagai akibat dari meningkatnya beban
tanggungan rumahtangga, sudah sangat jarang. Demikian juga peran dan aktivitas ibu-
ibu PKK terkait penyuluhan dan pelayanan program KB, sudah sangat jauh berkurang
dari kegiatan mereka pada dekade 80an dan 90an.