Anda di halaman 1dari 11

APLIKASI ArcView GIS

UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR *)


Oleh : Anjar Suprapto **)

Pengantar

Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga
kelestariannya. Untuk itu dipelukan informasi yang memadai yang bisa digunakan oleh pengambil
keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
teknologi spasial yang sedang berkembang saat ini. Sebagaian besar aplikasi SIG untuk pengelolaan
sumberdaya air masih sangat kurang di negara Indonesia meskipun perkembangan SIG sudah maju
pesat di negara-negara lain.

Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan terpadu mulai dari sumber air sampai
dengan pemanfaatannya. Informasi secara spasial akan sangat membantu pada proses pengambilan
keputusan dalam pengelolaan sumberdaya air.

Saat ini, telah tersedia alat bantu untuk proses analisa secara spasial berupa software-software SIG
diantaranya adalah program ArView GIS yang dikeluarkan oleh ESRI (Environmental System
Research Institute) Inc.

ArcView GIS saat ini telah tergabung ke dalam jajaran perangkat lunak “mainstream” seperti
halnya spreadsheets, database dan semakin luas jelajah bidang aplikasinya, semakin dibutuhkan
dan populer. ArcView GIS memiliki ciri khas arsitektur perangkat lunak yang dapat diperluas dan
menyediakan scalable platform untuk proses-proses komputasi dan analisis-analisis yang
diperlukan di dalam SIG. Arsitektur ini diimplementasikan sebagai sekumpulan modul-modul
“plug-in” yang daat disesuaikan dan dikombinasikan untuk memperluas secara dramatis
kemampuan-kemampuan fungsionalitas perangkat lunak ArcView GIS. Salah satu modul yang ada
yaitu “Model Builder”.

Model Builder adalah extention yang merupakan patner sekaligus komplemen bagi spatial analyst,
Ia bertindak sebagai pengembang model analisis spasial yang handal. Bicara tentang model maka
tidak terlepas dari : Input – Poses – Output. Model dalam analisis spasial disini diartikan sebagai
sekumpulan proses spasial yang mengkonversikan data-data masukan ke dalam peta-peta keluaran
dengan menggunakan fungsi-fungsi spasial tertentu. Maka dengan memperhitungkan faktor-faktor
yang dominan, sebuah model dapat dipresentasikan relaitas yang lebih sederhana dan dapat dikelola
dengan baik. Dengan menggunakan model builder, model spasial terdiri dari proses yang sangat
mudah dibuat, dieksekusi, dismpan, dimodifikasi, dan digunakan bersama. Model builder
direpresentasikan sebagai suatu diagram yang mirip dengan flowchart. Dengan model ini pengguna
dapat :
1. menilai area-area geografis sesuai dengan kriteria yang ditentukan,
2. melakukan prediksi apa yang akan terjadi pada area-area geografis atas perlakuan yang
diberikan padanya,
3. mendapatkan solusi, mencari pola, dan memperluas pemahaman terhadap sistem yang yang
bersangkutan.

Aplikasi ArcView GIS pada Kasus Pemodelan Potensi Bahaya Erosi.


*)
Disampaikan untuk bahan kuliah Sistem Informasi Manajemen Pertanian FTP UGM 2004
**)
Alumni Fakultas Teknologi Pertanian 2001

1
A. Deskripsi masalah
Pada kasus ini pengguna akan mengembangkan suatu model bahaya erosi yang dapat
mengidentifikasi area-area mana saja yang sangat beresiko mengalami erosi. Faktor yang
mempengaruhi erosi pada suatu lahan dalam kasus ini dibatasi oleh dua tiga faktor saja terlebih
dahulu (sekedar contoh) yaitu : Tingkat Kelerengan, Jenis Tanah, dan Keadaan vegetasi
penutup di atas tanah. Model ini akan melibatkan beberapa proses seperti : (1)
mengkonversikan data spasial vektor jenis tanah dan Vegetasi ke dalam format grid, kemudian
(2) mengkalsifikasikan nilai-nilai bobot resiko erosi ke dalam setiap jenis tanah dan vegetasi
serta kelerengan tanah ke dalam suatu skala “potensi bahaya erosi” (Nilai 1 – 5). Selain itu
pengguna akan memberikan prosentase pengaruh terhadap potensi bahaya erosi dari setiap
faktor jenis tanah (25%), vegetasi (25%), dan kelerengan (50%). Akhirnya pengguna akan
mengeksekusi model ini untuk mendapatkan keseluruhan peta digital potensi bahaya erosi.

B. Pembuatan Model
Pembuatan model tersebut di atas dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Sebagai bahan contoh, copy semua file pada direktori LAT_GIS yang ada ke dalam
direktori “C:\ “ pada komputer anda.
2. Pastikan program ArcView Ver. 3.xx dan Spatial Analyst telah terinstall di komputer anda.
3. Selanjutnya ikuti langkah-langkah berikut ini.

• Aktifkan perangkat lunak ArcView berikut extention “spatial analyst” dan “model builder”

• Ubah direktori standat ke “C:\LAT_GIS\S2_SIM\PETA” dengan cara Klik Menu File dan
Klik SubMenu Set Working Directory.

2
• Buatlah sebuah objek View baru dengan beberapa propertis-nya sebagai berikut : “Name”
--> “Model Bahaya Erosi”, “Map Unit” --> “”Meters”, “DIstance Units” --> “Meters”.

• Ke dalam View ini, tambahkan theme batas_studi.shp, Das_progo.shp, Ketinggian.Shp,


Prop_Yogyakarta.shp, Tanah.shp, dan vegetasi.shp; dengan cara klik Menu View, Submenu
Add Theme kemudian pilih direktori “C:\LAT_GIS\S2_SIM\PETA”.

• Kemudian jika berhasil akan tampil seperti gambar berikut ini, dan jika diinginkan dapat
diedit legend tiap-tiap theme agar tampilannya terlihat baik.

Peta dasar sebagai input model adalah peta kelerengan, vegetasi dan jenis tanah.

3
• Langkah selenjutnya adalah penentuan extend untuk themes hasil-hasil proses dari model
dengan cara Klik menu “Model” lalu Klik Submenu “Start ModelBuilder”.

• Pada jendela “Model” klik menu “Model” dan submenu “Model Default” lalu aktifkan
radio button “The Extent of this theme” --> “Batas_studi.shp”. Kemudian Klik “Cell Size”
pada jendela “Model Default” dan pada radio button “This cell size” ketikkan “100”.

• Tambahkan proses konversi data ke dalam model “Add Proses|Data Convertion|Vector to


Grid” hingga muncul kotak dialog “Vector Convertion”. Tentukan nama Theme inputnya
adalah “vegetasi.shp” dan filed masukkannya adalah “Tanaman”. Kemudian klik Next-
Next-Next sampai muncul kotak dialog terakhir yaitu “name the output theme” Ketikkan
“Vegetasi Map” sebagai nama theme grid dan “VegGrd” sebagai nama file grid hasil
konversinya. Kemudian Klik “Finish”.

4
5
• Dengan cara yang sama, tambahkan proses konversi data ke dalam model “Add Proses|Data
Convertion|Vector to Grid”. Tentukan nama Theme inputnya adalah “tanah.shp” dan filed
masukkannya adalah “Jenis_Tanah”. “Tanah Map” sebagai nama theme grid dan
“TanahGrd” sebagai nama file grid hasil konversinya.

• Langkah selanjutnya melakukan konversi kelerengan ke dalam slope dengan cara sebagai
berikut :
o tambahkan proses konversi data ke dalam model “Add Proses|Data Convertion|
Vector to Grid”. Tentukan nama Theme inputnya adalah “kelerengan.shp” dan filed
masukkannya adalah “Tinggi_id”. “Kelerengan Map” sebagai nama theme grid dan
“KelerenganGrd” sebagai nama file grid hasil konversinya
o tambahkan proses konversi data ke dalam model “Add Proses | Terrain | Slope”.
Tentukan nama Theme inputnya adalah “Kelerengan Map” kemudian klik Next dan
Choose the method adalah “Degree”. Klik Next spesify the vertical unit “Meters”.
Klik Next dan pilih “Create a discrite grid theme” pada radio button. Klik Next-
Next-Next sampai jendela Name the output theme ketikkan nama “Slope Map” pada
Name dan “SlopeGrd” pada File Name. Akhiri dengan klik Finish.

6
• Langkah berikutnya adalah melakukan overlay theme hasil konversi dengan cara : Klik
menu “Add Proses | Overlay | Weighted Overlay”

• Kemudian klik Next, pilih “Choose a predifined evaluation scale: “ tentukan “1 to 5”

• Kemudian klik Next dan Klik “Add Theme” pilih “Slope Map” pada Choose the input
theme dan “Value” pada Choose the input field.
• Ulangi langkah di atas untuk menambahkan theme “Tanah Map” dan “Vegetasi Map”.
Ini berarti kita melakukan overlay 3 theme yaitu Slope, Tanah dan Vegetasi

7
• Isikan kolom “ % Inf ” dengan angka 50 untuk Slope Map, 25 untuk Tanah Map, dan 25
untuk Vegetasi Map. Ini menunjukkan perbandingan bobot masing-masing theme terhadap
besarnya erosi yang terjadi.
• Nilai Scala pada masing-masing theme harus seimbang, untuk itu masukkan angka-angka
berikut ini pada tabel “Weighted Overlay”

8
• Setelah semua angka terisi sesuai dengan bobotnya dan Kotak Sum of Influences = 100,
maka langkah selanjutnya adalah klik Next-Next-Next –Next sampai jendela dialog
Name of the output theme. Ketikkan “Tingkat Bahaya Erosi” pada Enter the name theme
dan “TBEgrd” pada Enter the file name.

Kemudian klik Finish dan tampilan jendela model builder tampak seperti tampilan
berikut ini :

9
Sampai langkah ini berarti kita sudah menyusun model potensi bahaya erosi dimana
sebagai input adalah theme Ketinggian Tempat, Jenis Tanah, dan Vegetasi penutup
tanah, dengan proses yang telah kita tentukan yaitu perbandingan bobot masing-masing
theme tersebut terhadap besarnya erosi yang terjadi, maka keluaran model yang
diharapkan adalah theme Tingkat Bahaya Erosi.

• untuk menjalankan model dapat dilakukan langkah sebagai berikut : Klik menu “Model |
Run Model” dan komputer akan melakukan proses perhitungan untuk kemudian ditampilkan
dalam view yang ada.

Output dari model yang disusun adalah sebagai berikut :

10
Penutup

Aplikasi SIG untuk pengelolaan sumberdaya air masih belum banyak digunakan, oleh karena itu
masih sangat luas kesempatan untuk mengembangkan aplikasi SIG untuk bidang pengelolaan
sumberdaya air dengan menghasilkan informasi-informasi secara spasial yang dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan oleh instansi yang berkepentingan.

Daftar Pustaka

 Anjar S, STP., 2002, Pemanfaatan GIS Untuk Penyusunan Sistem Informasi Irigasi.
Diterbitkan Dalam Prosiding Seminar Tahunan Jurusan Teknik Pertanian 2003. ISBN :
979-95896-5-7, Yogyakarta
 Atie Puntodewo, Sonya Dewi dan Jusupta Tarigan, 2003, Sistem Informasi Geografis Untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam, CIFOR, Jakarta.
 Eddy Prahasta, Ir, MT, 2004, Sistem Informasi Geografis Tools dan Plug-Ins, Penerbit
Informatika, Bandung
 Niccolas Chrisman, 2002, Exploring Geographic Information Systems : Second Edition,
John Wiley & Sons, New York
 Sukirno, Ir. MS, 1999, Handout Ilmu Ukur Wilayah, Fakultas Teknologi Pertanian UGM,
Yogyakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai