Anda di halaman 1dari 4

Upaya Pelita dengan *Experience Marketing* (924)

Posted at Sunday, September 24, 2000, 12:49 GMT+7 by Sudarmadi from


202.155.41.192
Persaingan maskapai penerbangan dijawab Pelita Air Service dengan memberikan
layanan ekstra bernuansa lokal. Mampukah menggenjot emosi penumpang?

Yogyakarta selalu menjadi magnet bagi setiap orang. Suasana kota wisata yang
kental dengan kebudayaannya ini sering dirindukan kaum metropolis yang sepanjang
waktunya didera kesibukan kerja. Kebutuhan nostalgia ini yang disadari Pelita Air
Service (PAS) ketika menawarkan rute penerbangan barunya Jakarta-Yogya-Jakarta
sejak 25 Agustus lalu. Perusahaan penerbangan yang dulu lebih menggeluti
penerbangan *charter* ini sengaja membuat konsep nuansa Yogya untuk
membungkus program pemasaran dan pelayanan.

Hasilnya, sungguh menarik. Kalau Anda *chek in* di Cengkareng, misalnya, serta-
merta Anda akan mencium aroma bau melati khas Keraton Yogya dari mangkuk
cantik yang dipajang di ruang tunggu. Lalu, seorang petugas dengan kostum
tradisional Yogya siap membantu jika Anda membutuhkan pelayanannya. Ketika naik
ke pesawat, Anda akan disambut dengan alunan gamelan Campursari yang khas
Yogya pula. Senderan kepala di tempat duduk pun ada gambar keratonnya. Makanan
yang disajikan, juga khas Yogya, selain menu internasional bagi yang tak
menyukainya. "Pendeknya, sejak *take off* dari Jakarta, hingga tiba di Adisucipto,
Yogyakarta, dan kembali ke Cengkareng, penumpang akan benar-benar merasakan
nuansa Yogyakarta," ujar Willy B. Raharto, Direktur Pemasaran PAS kepada *SWA*.

Menurut Willy, upaya yang dilakukannya saat ini adalah mengimplementasi


*experience marketing* (EM), yakni strategi pemasaran dengan menekankan
pengalaman sebagai daya saing. Program ini memadukan pelayanan dan
pengalaman dalam satu pendekatan pemasaran yang kemudian dijuluki dengan
sebutan tertentu. Misalnya, penerbangan Jakarta-Yogya dinamai *Malioboro
Weekend Fligt*. "Kami percaya, diferensiasi layanan dengan memberikan sentuhan
keunikan ini dapat mengetuk pasar," tandas Willy.

PAS menerapkan EM tentu ada alasannya. PAS menyadari kekuatan dan


kelemahannya. Kelemahan dan kekuatan itu ternyata bisa menjadi daya saing
menarik. Pertama, PAS bukan ahli penerbangan reguler. Portofolio utamanya, bisnis
penyewaan pesawat. Sehingga, PAS tidak mungkin mampu melawan pemain besar
seperti Garuda. Apalagi, dari segi jenis pesawat pun berbeda. PAS menggunakan
pesawat-pesawat kecil seperti Fokker 28 atau Fokker 70, sementara Garuda
menggunakan pesawat berbadan besar semacam Boeing 737.

PAS realistis, sulit bersaing dengan Garuda dari sisi keandalan pesawat dan
ketepatan pendaratan. Di dunia penerbangan, ketepatan jadwal serta keselamatan
dan kenyamanan penumpang tak bisa ditawar lagi, sehingga bukan poin yang bagus
untuk bersaing.
Kedua, persaingan maskapai penerbangan kian ketat. Kini, bukan hanya Garuda dan
pemain-pemain lama seperti Bouraq, Mandala, atau Merpati yang berkiprah, tapi ada
beberapa nama maskapai penerbangan lain yang melintasi langit Indonesia. Di
antaranya, Lion, Mentari, Awair, Bayu Air, Camar Air, Indonesia Airlines, Internusa
Air dan Jatayu Air. Karena itu, PAS ingin membentuk karakter produk pas, bukan
hanya pelayanannya, tapi juga produknya.

Dalam hal ini, PAS juga tak mau bersaing dengan cara membanting harga
sebagaimana dilakukan maskapai penerbangan lain hingga 50%. Menurut Willy,
mustahil memberikan harga di bawah biaya operasional yang tinggi. "Kalau sudah
banting-bantingan harga, akhirnya akan bunuh diri, dan sering mengurangi
kenyamanan dan kualitas layanan. Itu cara-cara yang kasar," tegas mantan pilot ini.

Ketiga, manajemen PAS melihat penerbangan berjadwal bisa menjadi sinergi dengan
bisnis *charter*. Tanpa harus meninggalkan bisnis utamanya, PAS justru bisa
melengkapi kebutuhan para penyewa (klien) jika menghendaki pergi ke tujuan
penerbangan PAS. Apalagi, dengan banyaknya jalur penerbangan baru yang dibuka
oleh maskapai penerbangan lain melewati kota-kota tertentu, memudahkan PAS
menawarkan paket *charter* maupun paket penerbangan berjadwal.

Selain alasan-alasan di atas, tentu PAS juga melihat peningkatan jumlah penumpang
tahun 2000. Menurut Indonesian National Air Courrier Association, kalau pada saat
krisis penumpang penerbangan hanya 6 juta orang/tahun, pada 2000 ini
diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta/tahun. Tuntutan mobilitas masyarakat
kelas menengah-atas, diyakini mulai meningkat dahsyat, termasuk daerah-daerah
tujuan penerbangan PAS. "Tentu saja, kami tak ingin menyia-yiakan peluang itu,"
ujar Willy.

Tampaknya PAS sangat percaya, konsumen dapat tergerak emosinya dengan


strategi pemasaran yang ditempuh. Melalui upaya menggarap emosi, PAS yakin
dapat melakukan penetrasi yang baik.

Dikaitkan dengan elemen pemasaran, PAS cenderung menggarap strategi produk


dan *place*-nya. Dari produk itu, ia sengaja membangun dan menyiapkan
*positioning* dan diferensiasi yang jelas. Tidak seperti maskapai penerbangan lain
yang lebih menjual segi keselamatan dan kenyamanan, PAS memosisikan produknya
sebagai petualangan *(adventure)*. Maka, produk penerbangan reguler PAS ini
dinamakan Airventure (singkatan *air adventure*).

Ide ini diambil dari sejarah PAS yang selama ini melayani dan memanjakan klien-
klien *charter*-nya dengan penerbangan-penerbangan petualangan, melewati
tengah hutan dan pegunungan-pegunungan di pelosok negeri. "Nah, sekarang
nuansa *adventure* ini bukan hanya buat penumpang *charter*, tetapi juga
penumpang umum," ujar Willy. Sehingga, penumpang diharapkan merasakan lebih
dari sekadar naik pesawat.
Menurut Rhenald Kasali, ahli pemasaran yang juga Ketua Magister Manajemen
Universitas Indonesia, strategi EM yang diterapkan PAS tergolong cukup berani dan
kreatif. Namun, masalahnya, strategi itu lebih tepat diaplikasikan untuk penerbangan
jarak jauh. Khusus penerbangan Jakarta-Yogya yang hanya butuh waktu 40 menit,
itu kurang tepat. "Minimal harus satu jam," katanya. Sebenarnya, lebih tepat kalau
penerbangan jarak pendek seperti itu menggunakan pendekatan *entertainment
flight*. Pasalnya, waktu 40 menit adalah terlalu pendek untuk memanjakan
konsumen PAS. Apalagi, jika disertai sentuhan-sentuhan lokal yang diharapkan
mampu mengaduk-aduk emosi konsumen. "Saya sulit membayangkan bagaimana
pelaksanaannya," tambah Rhenald.

Hal yang harus diperhatikan, EM cocok untuk segmen penumpang berkantong tebal.
Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk memberikan warna pelayanan yang pantas
dikenang itu sangat mahal. Hanya orang-orang yang berkantong tebal dan tidak
sensitif dengan harga yang dapat menikmati layanan istimewa itu. Artinya, tiket juga
harus menunjukkan kelas plus, minimal untuk kalangan bisnis. Sementara kalangan
bisnis umumnya lebih suka naik pesawat besar, seperti DC 10 dan Boeing 747.
Sebagai contoh, waktu Garuda melayani penerbangan Jakarta-Semarang memakai
Fokker, jasa tersebut tak laku karena di rute yang sama Mandala melayani dengan
Boeing. Begitu Garuda mengganti dengan pesawat besar, penumpang meninggalkan
Mandala dan pindah ke Garuda, meski tarif Garuda lebih mahal.

Karena itu bagi Rhenald, sebelum menerapkan strategi EM, perusahaan harus
mengerti betul perilaku konsumen. Dan perilaku pertama konsumen penerbangan:
mencari keamanan. Semakin besar pesawat, dipersepsikan semakin aman. Kedua,
ketepatan jadwal *(on time)*. Dan ketiga, kualitas layanan. Biasanya kalau sudah
sampai taraf layanan, orang mau membayar lebih untuk mendapatkan kenyamanan.
Karena, ini merupakan kebutuhan lebih tinggi. Maka untuk menerapkan strategi ini,
mereknya harus kuat dulu. "Jangan berambisi langsung ke *experience*, itu
berbahaya, karena bisa jadi banyaknya penumpang di awal hanya suatu coba-coba,"
tutur Rhenald.

Willy beranggapan, mau tak mau PAS harus mencari identitas di dunia penerbangan.
Walaupun membutuhkan biaya besar untuk memenuhi "pengalaman mengesankan"
tersebut, ia percaya, pada akhirnya akan tumbuh ketergantungan dan loyalitas
penumpang.

Upaya PAS meraih konsumen yang terbatas dan tersegmentasi, terlihat dari jalur
penerbangan yang dipilih. Misalnya, rute Jakarta-Yogya-Surabaya-Makassar-Kendari
(mulai 6 September) dan Jakarta-Makassar-Sorong (mulai 28 Juli). Ditargetkan, tak
kurang dari 5 rute penerbangan reguler dibuka PAS tahun ini.

Pilihan itu berdasarkan studi pasar. Rute Jakarta-Yogya, umpamanya, setiap akhir
pekan selalu *overbooking*. Kendati Garuda melakukan penerbangan 6 kali sehari,
toh belum mencukupi. Maka, PAS memilih jalur wisata kedua setelah Bali yang
sangat dikenal ini. Itu pun dipilih tiga kali seminggu, yakni pada akhir pekan dan
awal minggu.
Untuk tujuan luar Jawa, PAS cenderung membuka rute baru, seperti ke Sorong dan
Kendari -- sebelumnya tak ada maskapai yang melayani rute tersebut. PAS tak mau
bersaing di rute-rute ramai seperti Jakarta-Medan, Jakarta-Balikpapan, atau Jakarta
Singapura, karena dinilai terlalu banyak pemain.

PAS sengaja tidak membuka perlawanan frontal, dengan pemain besar maupun
pemain-pemain baru lainnya. Malahan, dengan Garuda, PAS menjalin kemitraan. Kini
PAS tengah membuat beberapa kesepakatan kerjasama dengan Garuda. Misalnya,
kalau Garuda menerbangi Jakarta-Makassar-Manado pulang-pergi dengan DC 10,
sementara PAS menerbangi Yogya-Surabaya-Makassar-Kendari pulang-pergi, maka
pihak Garuda Jakarta bisa menjual tiket Jakarta-Kendari. Pelaksanaannya, Jakarta-
Makassar memakai pesawat Garuda, kemudian Makassar-Kendari dengan pesawat
PAS.

Sebaliknya, PAS di Kendari bisa juga menjual tiket Kendari-Jakarta. Realisasinya,


Kendari-Makassar naik pesawat PAS, kemudian Makassar-Jakarta disambung dengan
pesawat Garuda. Garuda juga bisa menjual tiket Manado-Yogya -- dari Manado-
Makassar naik Garuda, sementara Makassar-Yogya memakai PAS yang kembali dari
Kendari. Bentuk kerjasama penerbangan semacam ini tengah dikembangkan. "Yang
jelas, dengan kerjasama ini, selain mengeliminasi tingkat persaingan antarkeduanya,
juga memperbesar kesempatan mendapatkan penumpang," jelas Willy.

Bagi Garuda, sebagaimana dikatakan Pujo Broto, *Vice President Public Relations*,
masuknya PAS di bisnis reguler merupakan hal yang positif. Karena, akan memacu
Garuda memperbaiki diri. "Untuk itu, kami sekarang memperbaiki layanan di segala
bidang," tegasnya. Garuda, menurutnya, sudah menunjukkan kinerja meningkat
dalam berbagai aspek. Tahun 1997 *on time performance* hanya 77%, sekarang
99%. Sementara *seat load factor*-nya, pada 1977 hanya 54%, pada 1999 menjadi
77%.

Di sisi lain, manajemen PAS optimistis, kinerja bisnis ini akan bagus. Misalnya,
penerbangan Jakarta-Sorong dan Jakarta-Kendari, menurut Willy, sambutan
masyarakat luar biasa. "Selalu penuh, pulang-pergi," katanya. Dari target minimal
terisi 25%, penerbangan Jakarta-Yogya rata-rata terisi 27%. Untuk rute Jakarta-
Sorong bahkan pernah dilakukan *extra flight*. "Pokoknya, di atas target
perhitungan kami," ujarnya bangga menutup wawancara.

Anda mungkin juga menyukai