Anda di halaman 1dari 13

SINGKONG SEBAGAI SALAH SATU SUMBER

BAHAN BAKAR NABATI (BBN)

TUGAS
MATA KULIAH
MASALAH KHUSUS AGRONOMI
Dosen : Dr. Ir.TARYONO,M.Sc

NAMA : C Tri Kusumastuti


NIM : 07/259343/PPN/3196
PORGRAM STUDI : AGRONOMI

JURUSAN ILMU-ILMU PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2007
SINGKONG SEBAGAI SALAH SATU SUMBER BAHAN
BAKAR NABATI (BBN)

A. Pendahuluan
Kenaikan harga minyak dunia memaksa pemerintah untuk menaikkan harga

Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

Dengan meningkatnya harga BBM maka muncul kata baru Bahan Bakar Nabati (BBN).

Berbeda dengan BBM dari fosil yang terbentuk dari tanaman dan hewan selama ratusan

juta tahun,BBN lebih berbasiskan pada industri perkebunan dan pertanian.

BBN lebih menekankan pada budidaya energi (energy rarming). Energy farming

lebih mengedepankan pengumpulan dan penyimpanan energi matahari yang dapat

diperbaharui dengan sendirinya (self sustainable) dan tidak merusak lingkungan karena

tidak menyebabkan polusi. Energy farming berpikir tentang membudidayakan energi

melalui tumbuhan hijau sehingga dikenal sebagai energy hijau (Green energy).

Sebenarnya BBN bukan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat hanya

teknologinya yang berbeda. Salah satu contoh pemanfaatan BBN pada zaman purba yaitu

dengan membakar biji jarak untuk penerangan. Saat ini dengan kemajuan IPTEK aplikasi

BBN telah berubah lebih modern dan lebih populer dengan nama bioetanol dan

biodiesel,keduanya disebut sebagai biofuel.

Penelitian dan pengembangan BBN telah dilakukan sejak adanya Kebijakan

Umum Bidang energi (KUBE) pada tahun 1981. Salah satu wujud diversifikasi energi

yang menonjol adalah penelitian dan pengembangan bioetanol. Penelitian bioetanol yang
dirintis oleh Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) pada tahun 1983 berbahan dasar

singkong.

Penelitian dan pengembangan biodiesel mulai dilakukan secra ekstensif pada

tahun 1990 oleh Lembaga Minyak Dan Gas(Lemigas),Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan

lembaga-lembaga yang lain.

B.Peningkatan Produksi Singkong

Pada saat ini di berbagai daerah di Indonesia telah tersedia lahan yang cukup

luas,tetapi sumber daya lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal karena

kondisinya yang kritis. Kekritisan lahan ditandai dengan dengan terbatasnya suplai air

dan kurangnya unsure hara tanaman.

Lahan-lahan kritis tersebut saat ini biasanya hanya ditanami dengan singkong

tetapi singkong yang dihasilkan masih rendah. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan

petani sehingga penanaman singkong tidak disertai teknik budidaya yang baik dan tanpa

sentuhan teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika banyak kemiskinan terjadi di

lahan-lahan kritis. Sebenarnya lahan tersebut sangat berpotensi untuk ditanamai tanaman

bahan baku BBN sehingga bisa dijadikan sumber pendapatan yang lumayan. Hanya saja

diperlukan penerapan teknologi yang tepat dan penanganan yang intensif. Salah satu

tanaman bahan baku BBN khususnya bioetanol yang bisa dikembangkan secara besar-

besaran di lahan kritis adalah singkong.

Selain kondisi lahan yang kritis adanya degradasi lahan juga dapat menyebabkan

penurunan hasil produksi singkong. Salah satu penyebab degradasi lahan yang cukup

penting adalah penurunan kualitas fisik tanah,dalam hal ini adalah rusaknya struktur
tanah. Kerusakan struktur tanah dimulai dari terbentuknya lapisan (seal) dan kerak (crust)

dipermukaan tanah (surface sealing dan crusting). Keadaan tersebut dapat menyebabkan

kesulitan perkecambahan biji,menghambat pertumbuhan tanaman dan pengurangan laju

infiltrasi tanah. Penurunan laju infiltrasi tanah dapat mengurangi persediaan air dalam

tanah,meningkatkan jumlah dan laju aliran permukaan serta meningkatkan bahaya erosi

pada tanah.

Soil crusting merupakan lapisan tipis yang mengeras dipermukaan tanah dan

biasanya banyak terjadi ditanah kering sedangkan soil sealing terjadi jika agregat-agregat

yang hancur menjadi partikel-partikel yang lebih kecil masuk ke dalam pori tanah

membentuk horizon tanah yang padat dan kemudian dapat menurunkan infiltrasi. Faktor

penting yang dapat mempermudah terbentuknya sealing adalah tingginya kadar debu dan

rendahnya kadar bahan organik tanah (Ramos et al 2000).

Bissonnais (1996) mengemukakan bahwa terbentuknya struktur crust pada

permukaan tanah disebabkan energi kinetik hujan yang menimpa permukaan tanah dan

terjadi pembasahan secara cepat yang menyebabkan slaking (perpecahan agregat) dan

dispersi liat yang selanjutnya menutupi pori-pori tanah. Lapisan seal yang tipis

berkembang dan setelah kering menjadi lapisan crust yang keras.

Terbentuknya crust dipermukaan tanah tergantung pada sifat dan proses

pembentukan crust,pengaruh pengelolaan lahan dan tindakan pengelolaan untuk

mengurangi degradasi struktur tanah. Kondisi struktur tanah cukup bervariasi tergantung

pada jenis tanah,iklim dan pengelolaan lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi

secara komplek dan selanjutnya akan mempengaruhi proses-proses fisik dan biologi

dalam tanah untuk mengontrol struktur tanah.


Pengelolaan tanah yang dapat mempengaruhi pembentukan sealing dan crusting

antara lain pengolahan tanah,sistem pertanaman dan penambahan bahan kimia ke dalam

tanah. Ketiga faktor tersebut sulit untuk dipisahkan pengaruhnya karena dalam

pelaksanaan dilapangan sering dilakukan secara bersama-sama (dilakukan secara

kombinasi).

Pengaruh pengkerakan permukaan tanah pada pertumbuhan tanaman melalui

berbagai cara antara lain (1) kerak dipermukaan tanah dapat menurunkan infiltrasi dan

permeabilitas tanah dipermukaan. Hal ini dapat mengurangi imbibisi biji dan selanjutnya

akan menghambat perkecambahan biji dan pertumbuhan tanaman. Kerak dipermukaan

tanah juga dapat menghambat permeabilitas udara.(2) Dalam keadaan kering kerak

dipermukaan tanah memiliki ketahanan penetrasi yang cukup tinggi sehingga dapat

menghambat penyerapan hara dan selanjutnya akan berpengaruh pada produksi tanaman.

Upaya pengendalian crusting dapat dilakukan dengan pencegahan kerusakan

struktur tanah dan perbaikan struktur tanah yang telah rusak. Pencegahan dan perbaikan

kerusakan struktur tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik dan

melindungi permukaan tanah dari energi kinetik hujan dengan mengatur sistem

pertanaman.

Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan stabilitas agregat

tanah sehingga dapat mengurangi surface sealing. Penambahan bahan organik dapat

dilakukan dengan dengan pemberian pupuk kandang,pengembalian sisa tanaman maupun

pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah.

Pengaturan sistem pertanaman meliputi pola tanam dan jenis tanaman yang

diusahakan. Dengan mengatur pola tanam yang disesuaikan dengan distribusi hujan
sepanjang tahun maka perlindungan terhadap permukaan tanah dapat terjadi secara terus

menerus. Sehingga pada saat curah hujan tinggi tanah telah tertutup dengan vegetasi

secara sempurna.

Perbaikan kondisi fisik tanah akibat berkurangnya crusting dapat meningkatkan

produksi singkong sampai 30,92 ton/ha dibanding kontrol yang hanya 4,33 ton/ha

(Therfaelder,2002)

Penanaman dan pemeliharaan singkong relatif mudah dan memiliki tingkat

produksi yang sangat tinggi. Singkong mempunyai daya adaptasi yang cukup

luas,mampu bertahan hidup di daerah-daerah yang cukup ekstrim dan umumnya beriklim

tropis.Tanaman singkong termasuk jenis herba tahunan. Tingginya dapat mencapai 7

meter. Daunnya bertangkai panjang dengan bentuk menjari antara 5 – 9.

Singkong merupakan tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan

berproduksi di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi,mulai dari ketinggian 10 –

1500 m dpl. Singkong juga cocok dikembangkan di lahan marginal,kurang subur dan

kekurangan air. Lahan-lahan ini masih banyak tersedia terutama di luar pulau Jawa.

Singkong dalam pengembangannya selain sebagai tanaman pangan juga sebagai

bahan baku bioetanol.Dalam budidaya singkong yang diambil adalah umbinya,sebagai

bahan pangan umbi ini kaya akan karbohidrat tetapi miskin akan protein namun hal ini

bisa dipenuhi dari daun singkong yang juga merupakan sumber protein cukup tinggi.

Beberapa jenis singkong memiliki umbi yang beracun karena mengandung asam sianida.

Saat ini singkong racun ini dianggap sebagai obat kanker.


C. Mengolah Singkong Menjadi Etanol

Sebagai bahan baku BBN singkong diolah menjadi bioetanol pengganti premium.

Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang

komplek. Sebelum difermentasi pati diubah menjadi glukosa,karbohidrat yang lebih

sederhana. Dalam penguraian pati memerlukan bantuan cendawan Aspergillus sp.

Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan

berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula

baru difermentasi menjadi etanol.

Sebelum difermentasi menjadi etanol pati yang dihasilkan dari umbi singkong

terlebih dahulu diubah menjadi glukosa dengan bantuan cendawan Aspergillus sp.

Langkah – langkah dalam pembuatan bioetanol berbahan dasar singkong adalah :

1. Mengupas singkong segar,semua jenis dapat dimanfaatkan,kemudian

membersihkan dan mencacah berukuran kecil.

Gambar. 1
2. Mengeringkan singkong yang telah dicacah hingga kadar air maksimal 16 %

sama dengan singkong yang dibuat gaplek. Tujuan pengeringan ini untuk

pengawetan sehungga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku.

Gambar. 2

3. Memasukkan 25 kg gaplek kedalam tangki berkapasitas 120 liter,kemudian

menambahkan air hingga mencapai volume 100 liter dan memanaskan gaplek

hingga suhu 100° C sam diaduk selama 30 menit sampai mengental menjadi

bubur.

Gambar. 3

4. Memasukkan bubur gaplek kemudian memasukkan kedalam tangki skarifikasi.

Skarifikasi merupakan proses penguraian pati menjadi glukosa. Setelah dingin

memasukkan cendawan Aspergilus sp yang akan menguraikan pati menjadi

glukosa. Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong memerlukan 10 liter

larutan cendawan Aspergillus atau 10 % dari total bubur. Konsentrasi cendawan


mencapai 100 juta sel/ml. Sebelum digunakan cendawan dibenamkan ke dalam

bubur gaplek yang telah dimasak agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek.

Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati.

Gambar. 4

5. Setelah dua jam bubur gaplek akan berubah menjadi 2 lapisan yaitu air dan

endapan gula. Mengaduk kembali pati yang sudah berubah menjadi gula

kemudian memasukkanya kedalam tangki fermentasi. Sebelum difermentasi kadar

gula maksimum larutan pati adalah 17 – 18 % karena itu merupakan kadar gula

yang cocok untuk hidup bakteri Saccaromyces dan bekerja untuk mengurai gula

menjadi alcohol. Penambahan air dilakukan bila kadar gula terlalu tinggi dan

sebaliknya jika kadar gula terlalu rendah perlu penambahan gula.

Gambar. 5
6. Menutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan menjaga

Saccharomyces agar bekerja lebih optimal. Fermentasi berlangsung anaerob atau

tidak membutuhkan oksigen pada suhu 28° - 32° C.

Gambar. 6

7. Setelah 2 – 3 hari larutan pati berubah menjadi 3 lapisan yaitu lapisan terbawah

berupa endapan protein,lapisan tengah air dan lapisan teratas etanol. Hasil

fermentasi disebut bir yang mengandung 6 – 12 % etanol.

Gambar. 7
8. Menyedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1

mikron untuk menyaring endapan protein.

Gambar. 8

9. Melakukan destilasi atau penyulingan untuk memisahkan etanol dari air dengan

cara memanaskan pada suhu 78° C atau setara titik didih etanol sehinnga etanol

akan menguap dan mengalirkannya melalui pipa yang terendam air sehingga

terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair.

Gambar. 9

10. Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar

larut diperlukan etanol dengan kadar 99% atau disebut etanol kering sehingga

memerlukan destilasi absorbent. Destilasi absorbent dilakukan dengan cara etanol

95% dipanaskan dengan suhu 100° C sehingga etanol dan air akan menguap. Uap

tersebut dilewatkan pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan
menyerap kadar air tersisa hingga hingga diperoleh etanol dengan kadar 99 %.

Sepuluh liter etanol 99% membutuhkan 120 – 130 liter bir yang dihasilkan dari 25

kg gaplek.

Gambar. 10.
Daftar Pustaka

Angers,D.A.1998. Water stable aggregation of Quebec silty clay soils,some factors


controlling its dynamics. Soil Tillage Research.

Anonim. 1999. Pengembangan Usaha Agrobisnis Singkong.

Bresson,L.M.1995. A Review of Physical management for crusting control in Australian


ropping systems research opportunities. Aust.J.Soil Res.

Chalifah A. 2007. Mengubah singkong menjadi bioetanol : Sebuah Upaya Meningkatkan


Nilai Tambah Singkong di Kabupaten Gunung Kidul,Yogyakarta.

Le Bissonnais,Y.1996. Agregate stability and assessment of crustability and erodibity.


Theory and methodology.Europ.J.Soil Sci.

Ramos,M.C.S Nacci. 2000. Soil sealing and its influence on erosion rates for some soils
in the Mediterranean area. Soil sci.

Tatang, 2007. Mengebor Bensin di Ladang Singkong.

Tim Nasional Pengembangan BBN,2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya.Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai