Anda di halaman 1dari 6

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


YOGYAKARTA
2005

EUDEMONISME :
Kebahagiaan Seseorang demi Kebaikan Semua Orang

Oleh :

Mohammad Bahrul Ulum


NIM : 0351 1261

Menuju Aristoteles

Aristoteles (384-322 S.M.) adalah salah seorang filsuf terbesar yang pernah dicatat
sejarah. Ia pernah selama lebih kurang 20 tahun menjadi murid Plato, kendatipun pada
akhirnya gagasan-gagasan yang dilahirkannya banyak bertentangan dengan apa yang
pernah diajarkan Plato. Berkenaan dengan etika, berbagai sumber menyebutkan bahwa
ialah yang pertama-tama memberikan tempat kepada etika sebagai suatu cabang filsafat
tersendiri. Karya-karyanya banyak dihasilkan dalam berbagai bidang, antara lain: filsafat
alam, logika, psikologi, biologi, metafisika, dan tentu saja etika. Dalam bidang etika,
Ethica Nicomachea dianggap sebagai magnum opus dari tokoh yang konon pernah menjadi
guru dari The Great Alexander itu.
Untuk memahami kerangka pikir Aristoteles lebih lanjut secara baik, tidak bisa kita
lepas dari awal mula bagaimana pola pikirnya terbentuk hingga sedemikian rupa. Namun
demikian, dalam uraian singkat mengenai sekelumit dari buah pikirannya yang luas ini


Dipresentasikan pada diskusi kelas tanggal 27 April 2005 untuk mata kuliah Etika
dengan dosen pengampu: Drs. Sudin, M.Hum.

1
penulis berharap untuk tidak perlu mengulang-ulang pemaparan panjang-lebar yang kurang
perlu mengenai otobiografi Aristoteles, walau pun itu juga diakui akan sangat penting
untuk diketahui lebih dahulu, mengingat pembahasan kita kali ini akan terfokus pada
konsep Eudemonisme-nya, sehingga demi alasan efisiensi, pemaparan mengenai
otobiografi akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam sela-sela fokus pembahasan
kita mengenai Eudemonisme.
Akhirnya, semoga bermanfaat.

Eudemonisme

Eudemonisme adalah suatu konsep etika yang dilahirkan Aristoteles dengan


menitiktekankan “kebahagiaan” sebagai tujuan tertinggi hidup manusia. Perlu diingat,
kebahagiaan dalam pemahaman Ariatoteles –serta pada umumnya (untuk tidak dikatakan
seluruhnya) filsuf Yunani pada masa itu tak sama dengan apa yang dipahami mengenai
kebahagiaan dalam arti sekedar “feeling happy” seperti kebanyakan pemahaman orang saat
ini, atau pun seperti bagaimana Hedonisme memandangnya. Kebahagiaan ala Aristoteles
adalah suatu keadaan manusia di mana “yang seharusnya ada” memang “ada padanya”.
Sederhananya, manusia bahagia adalah ia yang secara “das sein” mampu menyelaraskan
dengan apa yang menjadi “das sollen”-nya.
Aristoteles membagi tujuan menjadi dua: yang dicapai untuk sesuatu yang lebih
jauh lagi dan yang dicapai sebagai dirinya sendiri. Kebahagiaan, bagi Aristoteles,
merupakan satu-satunya tujuan hidup tertinggi yang berusaha dicapai sebagai dirinya
sendiri oleh manusia. Sebab setelah kebahagiaan, tidak masuk akal manusia akan
membutuhkan hal lain bagi dirinya. Namun bagaimanakah seseorang dapat mencapai
kebahagiaan itu?
Menurut Aristoteles, manusia akan mencapai kebahagiaan hanya jika ia mampu
mengaktualisasikan potensi khas manusianya, yakni dengan berkontemplasi; memandang
kebenaran. Namun kontemplasi saja tidak cukup. Untuk mencapai kebahagiaan yang utuh,
manusia –yang tidak hanya sebagai makhluk individual, melainkan juga sebagai makhluk
sosial (zoon politicon)- harus juga menjalankan aktifitas dalam kerangka fungsi sosialnya
dengan baik (praxis). Dengan demikian kehidupan bersama yang baik sebagai syarat untuk
mencapai kebahagaiaan yang utuh itu dapat tercapai. Dalam rangka inilah manusia
memerlukan apa yang disebut sebagai keutamaan (aretẻ) yang berfungsi untuk
menentukan apa yang harus dilakukannya secara tepat.

2
Keutamaan-keutamaan

a. Keutamaan Intelektual

Ada dua fungsi dari rasio menusia menurut Aristoteles, yakni untuk mengenal
kebenaran (bersifat universal) dan untuk mengetahui tindakan mana yang tepat untuk
dilakukan pada saat-saat tertentu (parsial). Dalam fungsinya yang pertama itu, manusia
akan mendapatkan kebijaksanaan teoretis yang disebut Aristoteles sebagai sophia. Dengan
sophia ini manusia akan mampu mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran-
kebenaran yang bersifat universal dan tetap, seperti halnya hukum-hukum alam dan Allah.
Pada titik inilah keutamaan intelektual itu memiliki porsi besarnya. Sementara dalam
fungsinya yang disebutkan terakhir, manusia akan mendapatkan suatu phronẻsis
(kebijaksanaan praktis) yang berfungsi menuntun tindakannya ke arah yang tepat.

b. Keutamaan Moral

Manusia memiliki tidak hanya akal-budi saja (khas manusia), melainkan juga di
dalam dirinya terdapat nafsu, keinginan, kebutuhan, dan lain sebagainya yang turut
berperan penting dalam mempengaruhi tindakannya. Dalam melakukan tindakan-
tindakannya, manusia tak jarang terjebak pada posisi yang ekstrem. Misalkan saja kita
memiliki sejumlah harta, kita dapat saja terlalu sayang terhadap harta itu sehingga
mengakibatkan kita kikir; atau sebaliknya, kita dapat juga terlalu boros karena
menganggap diri kita telah memiliki sejumlah harta yang cukup atau bahkan lebih dari
banyak. Dua sikap ekstrem inilah yang harus dielakkan dari tindakan keseharian kita agar
kita dapat mencapai kehidupan yang baik. Sebagai jalan tengah dari tamsil mengenai dua
sikap ekstrem itu adalah kedermawanan. Kedermawanan bukan berarti pemborosan,
sekaligus tentu bukan kekikiran. Inilah yang dapat dicapai oleh manusia dengan keutamaan
moralnya berlandaskan phronẻsis tadi.
Namun bagaimana seseorang dapat mengembangkan keutamaan moralnya?
Sebagaimana etika yang menurut Aristoteles tak mungkin diajarkan, demikian pula
keutamaan moral juga tidak. Keutamaan akan didapatkan seseorang dari pengalaman
kesehariannya dalam bertindak yang sesuai dan berdasar kepada keutamaan itu sendiri.
Sekilas kita mendapati suatu “lingkaran setan” dari pernyataan ini. Namun yang
dimaksudkan oleh Aristoteles di sini adalah bahwa seseorang, pada awalnya, untuk
mencapai keutamaan itu dalam dirinya sendiri haruslah mula-mula mengacu pada

3
keutamaan “objektif” (semacam aturan, norma) yang dianggap baik oleh orang banyak.
Dari sini lambat laun ia akan mencapai keutamaan-keutamaan itu sebagai suatu sikap
watak yang melekat dalam dirinya sendiri, dengan tidak perlu lagi mengacu terhadap
aturan-aturan yang ada.

Tanggapan

Jika kita berangkat dari awal melihat bagaimana Aristoteles mencoba merumuskan
konsep etikanya, maka kita akan melihat bagaimana ia memisahkan mula-mula antara
theoria dengan praxis. Hal ini tentu saja lebih jauh bermula dari pertentangannya dengan
keyakinan akan Ide-ide abadi yang diusung oleh Plato. Menurut Plato, ketika manusia
harus berbuat baik dan benar, maka kebaikan dan kebenaran itu sebenarnya didapatkan
sesuai dengan ide-ide abadi yang kembali diingatnya melalui tahapan-tahapan pengalaman
yang dilaluinya (baca toeri pengenalan Plato). Dengan demikian, kebenaran (termasuk
dalam perkara tindakan manusia dalam pembahasan etika) telah memiliki suatu gambaran
objektifnya di alam Ide sana yang bernilai sebagai dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh
otoritas rasio manusia yang –meminjam Heidegger- “being there”, sangat bergantung
terhadap konteks.
Aristoteles menyanggah pendirian itu. Menurutnya, hal-hal yang empiris mampu
diabstraksikan oleh manusia menjadi konsep-konsep universal tentang substansi sesuatu
tanpa harus adanya Ide-ide tentang hal itu sebelumnya. Di sinilah peran aretai dianoetikai
(keutamaan intelektual) manusia memainkan perannya. Berangkat dari alasan itulah
kemudian Aristoteles memberikan garis tegas yang memotong sama sekali hubungan
antara theoria dengan praxis. Maka ditinjau dari sisi ini, dalam batasan tertentu kiranya
kita bisa mempertemukan Aristoteles dengan eksistensialisme.
Satu hal lagi yang sangat perlu ditekankan adalah pemaparan Aristoteles mengenai
Allah. Dalam hal ini jangan sekali-kali menjumbuhkan pemaknaan Allah ala Aristoteles
dengan apa yang dipahami oleh agama-agama “langit”, meski pada kenyataannya
Aristoteles juga seorang “monoteis” dalam arti yang agak aneh, sebab dalam beberapa
kesempatan ia masih menyebut “dewa-dewa” (jamak). Monoteisme Aristoteles ini dapat
dilihat dari gagasan-gagasannya yang masyhur, seperti tentang Penggerak Pertama yang
tak digerakkan (Causa Prima).
Gagasan tentang Causa Prima itu tadi kiranya sekaligus memberikan penjelasan
kepada kita bahwa dalam keyakinannya terhadap Yang Ada-Absolut (ilahi) itu bersifat
deistis. Dalam hal ini, jika kita mencoba memandangnya dari kacamata Islam (tentu saja

4
ini tidak dilakukan atas dasar keinginan untuk menghakimi Aristoteles) jelas tidak akan
menemukan kesesuaiannya, mengingat doktrin Islam menyatakan bahwa Allah adalah
Pencipta, dan dengan demikian maka apa yang diciptakan-Nya tentulah memiliki
permulaan dan penghabisan. Aristoteles tidak demikian. Dalam metafisikanya ia
menjelaskan bahwa alam raya ini abadi, seperti abadinya Penggerak Pertama yang tak
digerakkan itu.
Namun terlepas dari perdebatan metafisika itu, sebenarnya kita dapat menggali
banyak hal dari Aristoteles yang spiritnya senada dengan apa yang dimiliki oleh agama-
agama “langit” yang ada, khususnya Islam. Cara Aristoteles memaknai kebahagiaan
dengan sedemikian rupa; bahwa kebahagiaan adalah bentuk akltualisasi diri dengan
mendasarkan tindakan-tindakan keseharian kepada keutamaan-keutamaan seperti yang
telah dijelaskan, kiranya dapat dilihat sebagai suatu nilai yang tidak berlebihan untuk
disebut luar biasa dari pencapaian filosofisnya.
Perlu diingat kembali, kebahagiaan ala Aristoteles sama sekali berbeda dengan
kesenangan dalam terminologi hedonisme. Aristoteles tidak melihat kebahagiaan sebagai
sesuatu yang harus dicapai oleh manusia hanya sebagai individu (egois), melainkan
kebahagiaan yang dicapai seseorang harus pula bernilai bagi pencapaian kehidupan
bersama yang baik. Artinya, tidak utuh kebahagiaan seseorang selama ia tidak dapat
mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial bersama lingkungan-masyarakatnya (ingat
kembali: praxis). Hal ini senada dengan spirit pencapaian kebaikan kolektif (tidak
individualistis) yang sangat ditekankan dalam Islam. Kita bisa ajukan untuk itu banyak
ayat maupun hadis yang mendukung. “Saling tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan
dan takwa…”, demikian dinyatakan dalam sebuah ayat. Seperti ditegaskan pula dalam
sebuah hadis: “manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya”. Jelaslah di sini bahwa kebaikan, baik dalam ajaran Islam pun dalam
Eudemonisme Aristoteles, diorientasikan tidak hanya terhadap manusia secara orang per
orang, melainkan lebih besar terhadap manusia sebagai ummah. 

5
Sumber Bacaan

Bertens, K., Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000


_________, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kanisius, 1999
Magnis-Suseno, Frans, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,
Yogyakarta, Kanisius, 1997

Anda mungkin juga menyukai