Anda di halaman 1dari 6

Perencanaan Landscape Perkotaan

(Fungsi Lahan Terbuka dalam Perencanaan Landscape Perkotaan di Negara Jepang)

Rina Febriani

“A landscape does not exist in its own right, since its appearance changes at every
moment; but the surrounding atmosphere brings it to life - the light and the air which vary
continually. It is only the surrounding atmosphere which gives subjects their true value.”
Claude Monet

Pendahuluan
Definisi kota secara klasik menurut Rappoport adalah suatu permukiman yang
relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang
heterogen dari segi sosial. Sesuai dengan teori klasik tersebut, State of the World’s Cities
2006 (Forman, 2008) menyebutkan bahwa populasi daerah perkotaan memiliki
setengah dari jumlah populasi dunia. Pertambahan penduduk daerah perkotaan yang
terus meningkat sebagai konsekuensi dari jumlah kelahiran yang lebih besar dari
jumlah kematian serta adanya emigrasi. Divisi populasi pada PBB melaporkan
setidaknya terdapat 200.000 orang setiap harinya yang masuk atau pindah ke dalam
populasi kota. Maka istilah ‘kota’ pada umumnya identik dengan kepadatan, daerah
kumuh, kemacetan lalu lintas, polusi, dll.
Kemudian yang menjadi pemikiran selanjutnya adalah berkaitan dengan daya
dukung lahan perkotaan dalam menopang aktivitas yang terjadi di dalamnya. Daya
dukung yang dimaksud berhubungan dengan kemampuan lingkungan atau alam untuk
dapat memberikan jasa pada makhluk hidup untuk bergantung padanya. Sehingga,
dalam rangka memaksimalkan keberadaan lahan, dibutuhkan suatu perencanaan lahan
area perkotaan. Perencanaan lahan atau perencanaan landscape perkotaan yang
dilakukan harus menjadikan lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam setiap
keputusan, karena aktivitas perkotaan tersebut terjadi pada suatu ekosistem dalam
lingkungan.
Jika lingkungan sudah tidak mampu mendukung kebutuhan makhluk hidup yang
ada didalamnya, reaksi yang diberikan dapat berupa bencana alam sebagai salah satu
cara untuk menyeimbangkan kembali kondisinya. Upaya untuk menciptakan daerah
perkotaan yang terbebas dari bencana alam telah menjadi salah satu kriteria penting
dalam perencanaan perkotaan. Jepang sebagai negara padat penduduk dan memiliki
Rina Febriani
250320090511
banyak kawasan perkotaan, karena letak geografisnya, sering mengalami bencana alam
berupa gempa yang berujung pada bencana lainnya seperti kebakaran. Sebaran api
sangat cepat terjadi sebagai akibat dari padatnya pemukiman. Perencanaan lahan
terbuka (open spaces) sebagai langkah pencegahan terhadap meluasnya kebakaran
telah menjadi struktur dasar dalam perencanaan landscape perkotaan di Jepang.
Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai perananan lahan terbuka pada
perencanaan landscape perkotaan di Jepang, dengan beberapa kota besar seperti Tokyo
dan Kobe sebagai bagian dari proses evolusi perencanaan landscape perkotaaan.

Sejarah
Jepang, dengan jumlah penduduk 127 juta orang menduduki urutan ke-9 dalam
hal jumlah penduduk terpadat di dunia. Karena jumlah penduduknya cukup banyak
dibandingkan dengan luas daratannya, maka rata-rata kepadatan penduduknya cukup
tinggi, yakni mencapai 342 orang per 1 km 2. Kota dengan penduduk lebih dari satu juta
adalah : Sapporo di Hokkaido; Sendai di kawasan Tohoku; Saitama, Tokyo, dan
Yokohama di kawasan Kanto; Nagoya di kawasan Chubu; Osaka, Kyoto, dan Kobe
kawasan Kinki; Hiroshima di kawasan Chugoku; dan Fukuoka di Kyushu. Dari beberapa
kota tersebut, Tokyo sebagai ibukota merupakan pusat kegiatan Jepang dengan jumlah
penduduk mencapai 8.021.943 jiwa (Kedutaan Besar Jepang).
Karena kepadatan penduduk di wilayah perkotaan sangat tinggi, Jepang telah
melakukan perencanaan perkotaan sejak tahun 1919. Namun perencanaan kota secara
komprehensif baru dilakukan pada tahun 1923 sebagai upaya untuk merekonstruksi
wilayah Kanto yang mengalami kebakaran akibat gempa bumi. Sebanyak 1.484.000
orang dari 2.309.000 orang terkena dampak gempa tersebut. Pada saat itu, tujuan
utama dilakukannya perencanaan landscape kota adalah bagaimana membangun
sebuah kota yang terbebas dari kebakaran. Kondisi ekonomi yang dialami rakyat
Jepang tidak memungkinkan mereka untuk menggunakan batu atau batu bata sebagai
pondasi bangunan. Langkah yang dilakukan pemerintah Jepang adalah dengan
menggunakan metode yang memisahkan kepadatan wilayah perkotaan menggunakan
lahan terbuka (open spaces) seperti taman (parks) dan jalan raya (parkways). Langkah
pemerintah ini mendapat dukungan yang sangat besar dari masyarakat Jepang karena
masayrakat telah mengetahui fakta bahwa pepohonan dan lahan terbuka dapat
mencegah penyebaran api. Metode ini selanjutnya dikenal dengan metode lahan

Rina Febriani
250320090511
terbuka, dan sistem taman atau park system menjadi salah satu teknik dalam metode
tersebut.

Metode dan Teknik


Metode lahan terbuka, yang dilakukan dengan menggunakan taman dan jalan
raya dalam perencanaan perkotaan selanjutnya digunakan kembali untuk membuat
perencanaan kota setelah Perang Dunia II pada tahun 1946. Pelaksanaan perencanaan
ini didukung oleh adanya hukum dikeluarkan untuk mengatur rekonstruksi
perencanaan kota. Karakteristik hukum ini adalah untuk membentuk dasar–dasar
perencanaan tata guna lahan. Perencanaan yang dilakukan adalah dengan membagi
Tokyo menjadi tiga zona, yakni urban zone, green belt zone, dan urbanization pending
zone (gambar 1.1.). Pada urban zone, tujuan utamanya adalah membangun kota yang
terbebas dari kebakaran, sehingga sistem taman dan land readjustment diadopsi
menjadi metode dasar untuk merekontruksi kota. Namun urbanisasi besar-besaran
yang terjadi pada saat itu menjadikan program ini tidak berjalan sesuai dengan rencana
yang telah disusun. Misalnya pada green belt zone, terjadi pengurangan penggunaan
sistem taman yang seharusnya 18.010 ha menjadi hanya 9.870 ha.
Penggunaan sistem taman kemudian digunakan kembali untuk merekonstruksi
kota Kobe setelah terjadi gempa Hanshin-Awaji pada tahun 1995 yang mengakibatkan
110.117 rumah hancur dan 6.398 orang meninggal dunia. Segera telah terjadi gempa,
Pemerintah Metropolitan Kota Tokyo melakukan studi yang komprehensif dan
menentukan perencanaan wilayah secara intensif. Perencanaan komprehensif adalah
melakukan melakukan perencanaan secara menyeluruh , yang berarti mempunyai skala
luas, dengan pengambilan keputusan yang kompleks yang mementingkan kepentingan
umum (Djunaedi, 2002). Teknik yang digunakan adalah dengan membuat Safe Living
Environment Zone, yakni membuat area yang dikelilingi oleh jalan-jalan utama dan
sungai-sungai. Safe Living Environment Zone dibagi menjadi beberapa sub unit dan
tepat di bagian tengahnya dibangun taman kecil atau lahan terbuka sebagai pusat
komunitas.

Rina Febriani
250320090511
Gambar 1.1.Rencana Rekonstruksi Kota Tokyo setalah Perang Dunia II.

Kegiatan penting lainnya yang dilakukan Kota Tokyo adalah dengan


melaksanakan kembali sistem taman metropolitan. Kemudian, karena terjadi
perubahan yang sangat besar pada fungsi pelabuhan Tokyo, dimana pelabuhan tidak
hanya digunakan untuk melayani kebutuhan insdustri saja, tetapi juga melayani
kebutuhan komersil dan kebutuhan yang berkaitan dengan rumah tangga. Sehingga
dibuat kebijakan yang berkaitan dengan teknik sistem taman yakni dengan membuat
suasana alami sepanjang pantai dan membangun sebuah taman besar yang nantinya
akan berfungsi sebagai tempat penampungan untuk pengungsi yang terkena dampak
bencana.
Aplikasi ekologi dalam perencanaan kota di Jepang baru berlangsung sejak tahun
1960, sejak dikeluarkannya peraturan yang berkaitan dengan konservasi lansekap
untuk Old Capital Region (1966), area hijau di pinggiran kota (1966) dan New City
Planning Law (1968). Bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan tersebut,
kepedulian masyarakat tentang pentingnya melakukan perlindungan terhadap
lingkungan dan pencegahan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi yang terjadi di
Jepang pada saat itu.

Rina Febriani
250320090511
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah melakukan
survey vegetasi pada Taman Nasional untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari
pembuatan jalan utama yang memotong Taman Nasional. Hasil penelitian yang
dilakukan memberikan kontribusi yang sangat besar untuk mengetahui kondisi dan
suksesi vegetasi dalam kota. Survey ini juga telah memberikan masukan yang sangat
berarti bagi perkembangan ekologi perkotaan (urban ecology). Urban ecology ini
nantinya akan memberikan sumbangsih yang signifikan pada perkembangan metode
lahan terbuka, khususnya yang menggunakan sistem taman. Lebih luas lagi, urban
ecology ini akan mengarah pada phytosociological survey dengan hasil akhir berupa
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan dan
menjadikannya stabil kembali (Ide, Hisato)

Kesimpulan
Perencanaan lansekap perkotaan yang dilakukan pemerintah Kota Jepang menjadikan
keamanan masyarakat sebagai dasar perencanaan. Langkah yang dilakukan pemerintah
Jepang adalah dengan melakukan perencanaan dengan menggunakan metode yang
memisahkan kepadatan wilayah perkotaan menggunakan lahan terbuka (open spaces)
seperti taman (parks) dan jalan raya (parkways). Metoda ini lahir sebagai akibat dari
tingginya frekuensi bencana alam, terutama gempa bumi, yang melanda Jepang dan
padatnya pemukiman serta bangunan di dalam kota-kota besar di Jepang. Karena dalam
perencanaannya mengutamakan kealamian dengan mempertimbangkan lingkungan,
sebagai teknik dari metoda lahan terbuka ini adalah sistem taman. Perencanaan yang
komprehensif dengan menggunakan sistem taman ini terbukti dapat mengurangi
persebaran api pada saat terjadi kebakaran pasca gempa. Selanjutnya, sebagai upaya
preventif dalam menghadapi perubahan lingkungan yang berkaitan dengan bencana
alam, taman tersebut direncanakan untuk dapat berfungsi sebagai tempat pengungsian
dan tempat penyaluran bantuan bencana. Pada teknisnya dilapangan, setelah
perencaanaan perkotaan dengan metoda tersebut dilakukan dan diaplikasikan pada
pembangunan kota, lahan terbuka yang ada dapat mengurangi terjadinya kebakaran
dan sebaran api pasca gempa serta digunakan masyarakat dan organisasi bantuan
bencana untuk dapat dengan mudah menyalurkan bantuannya bagi korban bencana
alam.

Rina Febriani
250320090511
Referensi :
Djunaedi, Achmad. 2002. Keragaman pilihan corak perencanaan (Planning Styles)
untuk mendukung kebijakan otonomi daerah. Artikel Program Magister
Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gajah Mada.
Forman, Richard. 2008. Urban Region : Ecology and Planing Beyond The City. New
York : Cambridge University Press.
Ide, Hisato. Phytosociological studies in the field of landscape planning in Japan.
Laboratory of landscape Architecture, Faculty of Agriculture, The University of
Tokyo.
Ishikawa, Mikiko. 2002. Landscape Planning for A safe City. ANNALS OF GEOPHYSICS,
VOL. 45, N. 6, December 2002
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. Diakses melalui http://www.id.emb-
japan.go.jp/expljp_02.html.

Rina Febriani
250320090511

Anda mungkin juga menyukai