Anda di halaman 1dari 29

Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia

(Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System)

Sunarmi

Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

A. PENDAHULUAN.
Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan
hukum terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi
hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai
investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-
negara maju (Convergency).1
It has become a well- known incident in cross-border commercial law reform. The
country was in the midst of an economic crisis and the government was failing. A foreign
government representative arrived unannounced and produced a detailed set of demands.
These included market liberalisation and the esthabilishment of special court to service
foreign business people. Although he had no formal training in the local law, he was
quick to assert that the judges were undertrained and far too close to the governement’s
interests to be able to adjudicate complex cross-jurisdictional matters. In essence this
was the message conveyed to Jakarta by International Monetary Fund IMF)
representatives imposing loan conditions in 1998.2
Dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian global, Indonesia
melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya. Namun bagaimanapun tidak
dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga
karena tekanan dari Badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan World Bank. Bidang
hukum ekonomi yang mengalami revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum
kepailitan itu sendiri merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda yang
notabenenya bercorak sistem hukum Eropah Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam
bidang hukum ekonomi terdapat pengaruh-pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum
Anglo Saxon.
Dari sisi perbandingan sistem hukum dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan
laboratorium hukum yang par execelen di dunia.3
Perkembangan hukum positif di Indonesia senantiasa sarat dengan terjadinya proses
impor sistem hukum sejak zaman penjajahan, kemerdekaan hingga era globalisasi yang
terjadi saat ini. Setidaknya ditandai oleh berkembangnya tradisi hukum Eropah di

1
Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No. II
Vol 6, Halaman 114.
2
Thimothy Lindsey and Veronica Taylor, Rethinking Indonesian Insovency Reform : Contexts and
Frameworks, dalam Tim Lindsey (Editor), Indonesia Bankruptcy, Law Reform & The Commercial Court,
Ausaid, Desert Pea Press, 2000,page 2.
3
Hari Purwadi, Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : “Critical Comparative Law” Dan
Transplantasi Hukum Di Indonesia, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi,Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hal 225.

1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Indonesia sampai saat ini, sementara tumbuh desakan untuk mengakomodasi nilai dan
norma-norma lokal maupun pengaruh hukum yang berkarakter Common Law (Anglo-
American Law) system tidak dapat dinafikan. Di samping itu, hipotesis Esin Orucu
(2000) menyebutkan bahwa abad mendatang dapat menjadi “the era of comparative
law”.
Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa pada saat ini di Indonesia berkembang 5 sistem
hukum yaitu 4 :
1. Civil Law System
2. Common Law Sistem
3. Islamic Law
4. Socialisme Law
5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat.
Ketentuan tentang pembagian sistem hukum yang hampir sama dikemukakan oleh
Ediwarman yang menyebutkan klasifikasi sistem hukum di dunia, atau keluarga hukum
(legal families) terdiri atas :
1. Sistem Eropah Kontinental dan Amerika Latin (Civil Law System)
2. Sistem Angl – American (Common Law System)
3. Sistem Timur Tengah (Middel East System).
Misalnya : Yordania, Saudi Arabia, Libanon, Siria, Maroko, Sudan, dsb.
4. Sistem Timur Jauh (For East System).
Misalnya : Cina, Jepang.
5. Sistem Negara-negara Sosialis (Socialist Law System).
Misalnya : Sovyet, Kuba, dll.5

B. PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA.

Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak


terlepas dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan
tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga
Konsultan (think tank) Econit Advisory Group6, yang menyatakan bahwa tahun 1997
merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998
merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi
depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US $ dari
sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5000,00 per US $ pada
akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat
menyentuh Rp. 16.000,00 per US $.
Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan
ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6 – 7 % telah terkontraksi menjadi minus 13 –
14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak
perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditor dan
lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit).

4
Erman Radjagukguk, Kuliah Perbandingan Sistem Hukum, Program S3 Ilmu HukumPascasarjana USU
Tanggal 22 Maret 2002.
5
Ediwarman, Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum Pasca sarjana, 26 Oktober 2002.
6
Harian Kompas, Kamis Tanggal 16 Desember 1999.

2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Terperosoknya nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif
terhadap perekonomian nasional,7yaitu :
1) negative balance of payments,
2) negative spread, dan
3) negative equity.
Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang
dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah
yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai
ekspor sebagai akibat “bonanza” dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan
segera dinikmati.
Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk
menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah menyebabkan
naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan
karena jarang ada perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga.
Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena
nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila
dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas.
Kondisi di atas mengakibatkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang diancam
kebangkrutan karena kondisi perekonomian nasional dan ketidak mampuan untuk
membayar utang-utang perusahaan yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk dollar.
Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
utang piutang ini secara cepat, efektif, efisien dan adil. Undang-undang kepailitan yang
lama dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk
menyelesaikan masalah utang piutang mereka secara cepat, efektif, efisien dan adil. Hal
ini disebabkan bahwa hukum kepailitan yang selama ini berlaku Faillisement
Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb 1906 No. 348 merupakan hukum kepailitan
warisan pemerintah kolonial Belanda yang diciptakan sesuai dengan kondisi
perekonomian pada masa itu.
Mengingat hal di atas pemerintah perlu melakukan revisi terhadap hukum kepailitan
untuk mengantisipasi banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Melalui
Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998
pemerintah telah melakukan perubahan, penambahan dan penyempurnaan pasal-pasal
yang terdapat dalam Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo. Stb.1906 No. 348.
Namun perubahan dan penyempurnaan tersebut dirasakan masih mengandung beberapa
kelemahan terutama yang timbul dalam prakteknya.
Bagir Manan menyebutkan bahwa keadaan hukum (the existing legal system)
Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :8
1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaedah – hingga saat ini terdapat berbagai
sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem
hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama
merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum

7
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta2001, hal 3.
8
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional (Dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik &Negarawan,
Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LL.M.), Penerbit
Alumni, Bandung, 1999, hal 238 – 245.

3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
tersebut dimaksudkanuntuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum
tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi
suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk… sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada
bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa
mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah
hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secra hukum
ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut.
Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar
untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.9
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak
sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan
mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi
hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan
(beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi
negara, bahkan ada pula dari badan justisial.
5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum-
khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan
departemen yang bersangkutan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau
landasan teoretik yang dipergunakan.
Keadaan hukum kita- khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun
waktu dua puluh lima tahu terkahir- sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date).
Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah sekali tertinggal di
belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk
mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan.
Kekurangan ini sebenarnya dapat dibatasi apabila aparat penegak hukumberperan aktif
mengisi berbagai kekososngan atau memebrikan pemahaman baru suatu kaidah.
Kenyatan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai
“aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka untuk penyempurnaan aturan hukum kepailitan perlu dilakukan
perbandingan-perbandingan sistem hukum (Comparative Legal System). Oleh karena itu
kajian terhadap perbandingan hukum di Indonesia khususnya hukum kepailitan selalu
menarik untuk pelajari lebih mendalam.

C. PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM.

Bagi yang pertama sekali mempelajari perbandingan hukum, timbul pertanyaan


apakah perbandingan hukum itu merupakan metode ataukah ilmu. Bila perbandingan
hukum merupakan suatu disiplin ilmiah, kiranya saat ini belum mendapat banyak
dukungan.

9
Bagir Manan, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Jakarta, 1993. hal. 2.

4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Dalam Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan with of
Susshil Kumar disebutkan bahwa It is self evident that comparative law is not a subject
but a method.10
With a preliminary remark that legal definitions are not notoriously unsatisfactory, H.C.
Gutteridge, the doyen of the discipline, dismisses the question of definition thus : since
the subject- matter is non existent it defies definition.11
Terdapat berbagai istilah dalam perbandingan hukum perbandingan hukum yaitu :
1. Comparative Law
Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk
membandingkannya.
2. Foreign Law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum
asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya
dengan sistem hukum yang lain.
3. Comparative Jurisprudence
Adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan
perbandingan berbagai macam sistem hukum. (The study of principles of legal
science by the comparison of various system of law).12
Tentang pengertian perbandingan hukum itu sendiri banyak dijumpai pendapat dari
beberapa ahli antara lain :
1. Rudolf D. Schlessinger.
Dalam bukunya Comparative Law 1959 mengemukakan :
a. Comparative Law, merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
b. Comparative Law, bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum,
bukan suatu cabang hukum.
c. Comparative Law, adalah tehnik atau cara menggarap unsur hukum asing
yang aktual dalam suatu masalah hukum.
2. Dr. G. Guitens Bourgois.
Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu
hukum. Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu
metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni
perbandingan. Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti,
bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek
atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode
perbandingan hukum.
3. Sunaryati Hartono.
Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya
hukum tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar

10
Erman Radjagukguk , Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law – Common Law) Jilid I (Kumpulan
Kuliah), Fakultas Hukum UI Program Pasca Sarjana, 2000, hal 1.
11
H.C. Gutteridge, Comparative Law, An Introduction to the Comparative Method of Legal Study &
Research, Cambridge, 1946, page 2.
12
Ediwarman, Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum Pasca sarjana USU, Tanggal 26
Oktober 2002.

5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan
hukum dalam bidang manapun juga.
4. Van Apeldoorn
Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan. Untuk
mencapai tujuannya maka digunakan :
a. Metode Sosiologis
Dimaksud untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gjala sosial
lainnya.
b. Metode Sejarah, untuk meneliti perkembangan hukum.
c. Metode perbandingan hukum, untuk membandingkan berbagai tertib hukum
dan bermacam-macam masyarakat

5. Soerjono Soekanto.
Mengemukakan ketiga metode itu saling berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipishkan antara lain :
a. Metode Sosiologis.
Tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, karena hubungan antara hukum
dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan hasil dari suatu perkembangan
(dari zaman dahulu), metode perbandingan hukum juga tidak boleh diabaikan,
karena hukum merupakan gejala dunia.

b. Metode Sejarah.
Memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena perlu diteliti faktor-faktor
sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum.

c. Metode Perbandingan
Tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat deskriptif, tetapi
juga diperlukan data tentang berfungsinya atau efektifitas hukum, sehingga
diperlukan metode sosiologis, juga diperlukan metode sejarah untuk
mengetahui perkembangan dari hukum yang diperbandingkan.

Dari beberapa pendapat sarjana di atas dapat diperoleh gambaran bahwa :


1. Perbandingan hukum bukanlah suatu cabang hukum, bukan suatu perangkat
peraturan.
2. Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu hukum.
3. Perbandingan hukum merupakan metode penelitian hukum.
Alan watson berusaha menginventarisasi pendekatan-pendekatan yang bisa
diharapkan untuk memperluas cara pandang terhadap perbandingan hukum.
E. Lambert, sebagai misal, mengetengahkan 3 (tiga) bagian yang bisa dimasukkan dalam
terminologi perbandingan hukum, yakni :
1. Deskriptive comparative law.
Deskriptive ini berkenaan dengan inventarisasi sistem pada masa lalu dan kini
sebagai suatu keseluruhan, seperti aturan-aturan individual yang mana sistem ini
ditegakkan untuk beberapa kategori hubungan-hubungan hukum.

6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2. Comparative history of law.
Comparative history of law secara tertutup berkaitan dengan ilmu hukum etnologis
(ethnological jurisprudence), folklore, sosiologi hukum, dan filsafat hukum.
3. Comparative legislation (atau tepatnya comparative jurisprudence).
Comparative legislation mempresentasikan usaha untuk mendefinisikan ruang umum
yang menjadi doktrin hukum nasional, sebagai hasil pembangunan studi hukum
sebagai suatu ilmu dan usaha membangunkan kesadaran hukum internasional.
J.H. Wigmore juga membagi perbandingan hukum ke dalam 3 (tiga) bagian :
comparative nomoscopy, yang menggambarkan sistem-sistem hukum, comparative
nomothetics, yang menganalisis kebaikan-kebaikan sistem, dan comparative
nomogenetics, yang melakukan studi pembangunan ide-ide dan sistem-sistem hukum
dunia.
Dengan demikian maka perbandingan hukum sebagai disiplin akademis tidaklah berdiri
sendiri, artinya bukan hanya merupakan studi tentang satu sistem hukum asing atau
bagian dari sistem asing itu.
Alan Watson menyebutkan bahwa perbandingan hukum tersebut melihat sistem-
sistem dunia atau merupakan perbandingan aturan-aturan individu atau cabang-cabang
hukum di antara dua atau lebih sistem hukum. Karenanya, merupakan studi hubungan
satu sistem hukum dan aturan-aturannya dengan sistem dan aturan-aturan lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat diemukan nelalui studi sejarah sistem-
sistem hukum atau aturan-aturan.
Dengan demikian, pertama, perbandingan hukum merupakan sejarah hukum (legal
history) yang berkenaan dengan hubungan antara sistem-sistem. Tetapi, tidak dapat
dikatakan bahwa perbandingan hukum secara sederhana sebagai cabang dari sejarah
hukum. Kedua, perbandingan hukum berkenaan dengan sifat hukum, khususnya tentang
sifat pembangunan hukum (legal development).13
Dengan demikian tipe-tipe hubungan yang penting untuk diketengahkan adalah pertama,
hubungan kesejarahan (historical relationship). Hubungan ini mengenai satu sistem atau
satu dari aturan-aturannya diderivasi dari sistem lain, yang kemungkinan dilakukan
modifikasi. Kedua, hubungan ke dalam (inner relationshiop). Hubungan ini tidak dalam
kontak kesejarahan yang aktual, tetapi pada hubungan psikis dan spiritual, serta pada
kemiripan yang tidak bisa disangkal di antara bangsa-bangsa atau pembangunan mereka.
Ketiga, hubungan yang berkenaan dengan anggapan bahwa semua sistem hukum pada
mulanya melalui tingkat pembangunan (stages of development) yang sama atau mirip.
Menurut Esin Orucu (2000) diferensiasi yang dilakukan oleh Lambert maupun
Wigmore tersebut dianggap sebagai kategorisasi lampau dan kini menuju akhir abad ke
20, sejumlah pendekatan yang berbeda terhadap perbandingan hukum menjadi menonjol
dan mendominasi. Di satu pihak pendekatan-pendekatan tersebut meninggikan prospek
perbandingan hukum, di lain pihak, dapat mengenyampingkannya dan mengubah
karakternya.
Intinya, perbandingan hukum dihadapkan pada kecenderungan-kecenderungan baru,
yang meningkatkan “harga” diskursus perbandingan hukum saat ini. Kecenderungan-
kecenderungan baru itu di antaranya : comparative law dan legal philosopy (comparative
jurisprudence), comparative law dan legal history (historical comparative law atau

13
Hari Purwadi, Opcit, hal 228.

7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
historico-comparative perspective), comparative law dan culture ( comparative legal
cultures dan culture studies), serta comparative law dan economics.
Kombinasi perbandingan hukum dan filsafat hukum dapat memperkaya pemahaman
hukum yang benar. Kombinasi perbandingan hukum dan sejarah hukum digunakan oleh
pencari “new ius commune” dan mazhab-mazhab transplantasi hukum. Kombinasi
perbandingan hukum dan budaya, yang mengambil bentuk “studi-studi hukum dan
masyarakat” (law and society studies) pada tahun 1970an serta “hukum dan budaya
popular” (law and popular culture) pada tahun 1980-an, sekarang tampaknya melibatkan
studi-studi perbandingan hukum untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap
multi-kulturalisme dan integrasi.
Perbandingan hukum dan gerakan ekonomi sangat banyak disukai saat ini, usaha keras
untuk mensetup sistem-sistem hukum yang kompeten sebagai suatu alternatif bagi
harmonisasi dan kodifikasi untuk menemukan solusi yang paling efisien bagi masalah-
masalah global (Esin Orucu, 2000).
Dalam perbandingan hukum ini Esin mengeluarkan teori ‘critical comparative law”.
Teori ini bertolak dari kebanyakan para komparatis belakangan ini yang lebih berorientasi
pada konvergensi dan divergensi, ketidak tepatan dalam mentransfer, problem-problem
importir dan eksportir atas ide-ide dan institusi-institusi hukum secara konstruktif dapat
didekati sebagai “critical comparative law”. Pendekatan ini dapat ditempatkan sebagai
antitesis terhadap “traditional comparative law” atau “conventional comparative law”.
Namun, pemilihan terminologi bukan dikonstruksi pada pengertian bahwa “critical
comparative law” sebagai cabang dari “critical legal studies movement”.
Studi-studi perbandingan hukum di Eropah saat ini,14pertama, adalah studi-studi yang
berkenaan dengan “new ius commune”, yang dilakukan untuk memfasilitasi integrasi dan
membuat kasus demi keberhasilan transplantasi hukum sebagai dasar konvergensi, baik
didukung atau tidak oleh “mazhab ekonomi dan hukum”. Kedua, untuk menemukan cara-
cara rekonsiliasi civil law dan common law. Ketiga, melakukan studi-studi perbandingan
hukum berkenaan dengan pembentukan European Codes. Keempat, untuk
menggunakannya sebagai alat bagi konstruksi di pengadilan-pengadilan, baik dalam
konteks nasional maupun Eropa. Dalam hubungan dengan ekstra Eropa, suasana Eropah
ditarik ke dalam fungsi perbandingan hukum pada ekspor institusi-institusi dan ide-ide
hukum serta membantu reformasi hukum dengan memberikan keyakinan model-model
yang menonjol pada bentuk oengumpulan model yang dipresentasikan oleh sistem hukum
Eropah Barat.
Pergeseran dan perubahan horizon perbandingan hukum seperti itulah yang menurut
Esin Orucu harus dianalisis melalui pendirian kritis (critical stance). Oleh karenanya,
15
oleh Esin Orucu dipersoalkan “apakah suatu nama yang berbeda atau suatu pendekatan
baru dalam perbandingan hukum?”.

14
Ibid, hal 230.
15
HariPuwadi berpendapat bahwa bukan kedua-duanya. Namun, sekedar pergeseran atau perubahan fungsi
perbandingan hukum, khususnya pada pendkatan transplantasi hukum. Sebab, sifat kritis dalam critical
comparative law melakukan fungsionalisasi untuk kepentingan-kepentingan solusi problem-problem
transplantasi hukum, termasuk “pengaruh” yang resiprokal (resiprocal influence)- yang memicu kelahiran
sistem-sistem transisi (system in transition) dan sistem-sistem campuran (mixing systems).

8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
D. PERBANDINGAN HUKUM KEPAILITAN ANTARA INDONESIA DENGAN
CIVIL LAW SYSTEM DAN AMERIKA SERIKAT DENGAN COMMON LAW
SYSTEM.

Perkembangan hukum ekonomi di Indonesia berkembang dengan sangat pesat.


Perkembangan ini dipengaruhi perkembangan globalisasi perekonomian. Dari sisi
hukum, perkembangan hukum ekonomi ini memunculkan transplantasi di bidang hukum.
Yaitu perpindahan dari suatu aturan atau sistem hukum dari satu negara ke negara lain.
Dari sejarah perkembangan hukum di Indonesia di ketahui bahwa transplantasi hukum di
Indonesia terjadi sejak jaman kolonial dan berkembang pesat pada era globalisasi. Di
bidang hukum kepailitan, pemerintah kolonial Belanda dengan asas konkordansi
memberlakukan Failissemenst Verordening terhadap golongan Eropah berdasarkan Pasal
131 IS Jo. 163 IS. Berlakunya hukum kepailitan ini ternyata juga dalam prakteknya
diberlakukan terhadap golongan bumi putera. Sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia
hukum kepailitan selanjutnya diganti oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian
dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998.
Disempurnakannya FV menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi UU
NO. 4 Tahun 1998 tidak terlepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut.
Dari segi substansi,terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905. 16
Pertama, tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikan kasus
kepailitan. Akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu
yang sangat lama.17
Kedua, jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) juga sangat lama, yaitu memakan waktu 18 bulan.
Ketiga, apabila Pengadilan menolak PKPU, Pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk
menetapkan debitur dalam keadaan pailit.
Keempat, kedudukan kreditur masih lemah. Umpamanya dalam hal pembatalan
perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya
selama 40 hari sebelum pailit, sedangkan dalam UU NO. 4 Tahun 1998 jangka waktu
tersebut diberikan sampai 4 tahun.
Dari segi implementasi, FV 1905 tampaknya jarang digunakan oleh masyarakat golongan
pribumi karena FV 1905 tersebut memang awalnya tidak ditujukan bagi golongan Bumi
Putera, tetapi ditujukan bagi golongan Eropah dan golongan Timur asing kecuali Bumi
Putera tersebut melakukan penundukan secara sukarela. Oleh karenanya, peraturan
kepailitan tersebut tidak dirasakan sebagai peraturan milik golongan pribumi, dan
karenanya tidak pernah tumbuh dalam kesadaran hukum masyarakat.18
Apabila diperhatikan sejarah hukum kepailitan ini diketahui terjadi perubahan dari
hukum kepailitan yang lama (Faillisement Verordening) yang bercirikan Sistem Eropah
Kontinental ke arah Sistem Hukum Anglo Saxon. Di sini terjadi proses tranplantasi
hukum. Uraian selanjutnya dalam tulisan ini akan mencoba untuk membandingkan

16
Erman Radjagukguk , Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, Bahan Kuliah E Learning, 2002,
hal 2 – 3.
17
Benny S. Tabalujan, Indonesian Insovency Law , Bussines Law Asia, Singapura, 1998, hal 22 – 28.
18
Sutan Remy Syahdeini, “Sejarah Hukum Kepailitan di Indonesia” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan
Pengembangan hukum Bisnis, Vo. 12, Jakarta, 2001, hal 42 – 48.

9
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
hukum kepailitan di Indonesia yang semula bercirikan Eropah Kontinental Sistem dengan
Sistem Hukum Anglo Saxon.
Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang
kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi19. Kata bankrut, yang dalam bahasa
Inggris disebut bankrupt berasal dari Undang-undang di Itali yang disebut dengan banca
rupta. Di abad pertengahan di eropah ada praktek kebangkrutan dimana dilakukan
penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara
diam-diam dengan membawa harta para krediturnya. Sedangkan di Venetia (Italy) pada
waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka
yang tidak mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut
benar-benar te;ah patah atau hancur.
Bagi negara-negara dengan tradisi hukum common law yang berasal dari Inggris
Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun 1952, hukum pailit dari
tradisi hukum romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen
di masa kekaisaran Raja Henry VIII sebagai Undang-undang yang disebut dengan Act
Against Suuch Persons As Do Make Bankrupt20. Undang-undang ini menempatkan
kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitur nakal yang ngemplang untuk membayar
hutang sambil menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak
bagi kelompok kreditur yang tidak dimiliki oleh kreditur secara individual.
Peraturan di masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak yang
mengatur tentang larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance
statute) atau apa yang sekarang populer dengan sebutan actio pauliana. Di samping itu,
dalam Undang-undang lama di Inggris tersebut juga di atur antara lain tentang hal-hal
sebagai berikut :
1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part unknown);
2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house)
karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia
berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle;
3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-tempat
tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah sanctuary.
Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern;
4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri
secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh
temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan
dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut.
Di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam kelompok
negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, hukum kepailitan diatur dalam Bankruptcy
Code
Charle Jordan Tabb menjelaskan bahwa : Bankruptcy has permeated our national
consciousness and conscience. A federal bankruptcy law has been on the books for as
long as any but the oldest among us has been alive. To most American, bankruptcy
probably is synonymous with the idea of a discharge from one’s debts. Little wonder,

19
Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little, Brown and
Company, 1985, page21.
20
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998,
hal 4.

10
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
since the United States may well have the most liberal discharge laws in the world. The
idea of a bankruptcy law without a freely available discharge seems unimaginable.
Yet, the unimaginable is the historical norm. Bankruptcy has been around for almost
half a millenium in Anglo – American jurisprudence. Yet the discharge as we know it in
the United States did not exist until the turn of this century. Other civilized countries in
the world today do not offer overburdened debtors a discharge from their debts at all.
Even England, the source of our own bankruptcy law, offers debtor a much less generous
discharge than the United States.21
Sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan
konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuatan untuk membentuk suatu
aturan yang uniform tentang kebangkrutan.Perdebatan ini sudah dimulai sejak
diadakannya Constitutional Convetion di Philadelphia pada tahun 1787. Dalam The
Federalist Papers, seorang Founding father dari Amerika Serikat yaitu James Madison
mendiskusikan tentang apa yang disebut dengan Bankruptcy Clause sebagai berikut :
Kewenangan untuk menciptakan sebuah aturan hukum yang uniform mengenai
kebangkrutan adalah sangat erat hubungannya dengan aturan mengenai
perekonomian (commerce), dan akan mampu mencegah terjadinya begitu banyak
penipuan, dimana para pihak atau harta kekayaannya dapat dibohongi atau
dipindahkan ke negara bagian yang lain secara tidak patut.22
Kemudian kongres di Amerika Serikat mengundangkan Undang-undang pertama
tentang kebangkrutan dalam tahun 1800, yang isinya mirip-mirip dengan Undang-undang
Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama dalam abad ke 18, di beberapa
negara bagian di USA telah ada Undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk
melindungi debitur (dari hukuman penjara karena tidak membayar hutang) yang disebut
dengan Insolvency Law.
Selanjutnya Undang-undang Federal Amerika Serikat Tahun 1800 tersebut diubah
atau diganti antara lain dalam tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (The Candhler Act),
1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai tahun 1867, tidak terdapat sama
sekali Undang-undang mengenai kebangrutan. Sebab Undang-undang lama telah dicabut
sementara Undang-undang pengganti baru terbentuk dalam tahun 1867.23
Henry R. Cheeseman menyebutkan bahwa Congres enacted the Original Bankruptcy Act
in 1878. It was amended in 1938 by the Chandler Act, and that law was
completelyenacted the revised by the Bankruptcy Reform Act of 1978. The 1978 act,
which became effective on October 1, 1979, substantially changed – and eased – the
requirement for filing bankruptcy.24
Selanjutnya Several years later, Congres enacted the Bankruptcy Amendements and
Federal Judgeship Act of 1984, which made bankruptcy court part of the federal district
court syatem and attached a bankruptcy court to each district court. Bankruptcy judges
are appointed by the Presiden for 14 – year terms. Other provisions of the 1984
amendements remedied abuses and misuses of bankruptcy and clarified procedures for

21
Charles Jordan Tabb, The Historical Evolution of the Bankruptcy Discharge, Copy rught © 1991
National Conference of the Bankruptcy Judges.
22
Doglas G. Baird, Opcit, hal 24.
23
Lawrence M. Friedman, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc., 1985, page549.
24
Henry R. Cheeseman, Business Law, Fourth Edition, Upper Saddle River, New Jersey 07458, 2001, page
564.

11
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
filing bankruptcy. The bankruptcy Reform Act of 1978, as amended, is referred to as the
Bankruptcy Code.25
Dari latar belakang sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dapat disimpulkan
bahwa The whole idea of finding a deep structure in complicated, historic artifact such as
the Bankruptcy Code was doomed from the start. Considering the tens of thousands of
congressmen, judges and lawyers who have contributed to the content of bankrupty law,
it would have been a miracle if all of them were driven by the same ethical impulse every
time a legislative decision was made. Legal text are situated in history, and just as
historical explanation is infinitely complex, so should we expect juriprudential
explanations to be infinitely complex, based on entropy, anomie, conflict, and confusion,
as well as the dictates of logic and reason.26
Dalam Bussines Law Text and Cases, John W. Collins dkk 27 menguraikan background
Federal bankruptcy Law yaitu :
1. Bankruptcy law is based upon the constitution.
2. From 1800 to 1803 bankruptcy was only available to merchant, traders or brokers
and involuntary case.
3. In 1841, all debtors could take advantage of bankruptcy and there were both
voluntary and involuntary provisions.
4. In 1978, the bankruptcy Reform act was passed and became efective in 1979. This
been amended since thet time, especially to deal with the holding that jurisdiction
under this act was unconstitutional. The 1978 act and amandements are referred to
hereafter as the bankruptcy code.
B. The structure of the Bankruptcy Code.
1. There are eight odd- numbered chapters, 1 – 15.
2. There are three basic types of bankruptcy : chapter 7, liquidation; chapter 11,
reorganozation; and chapter 13, the wage-earner plan.
C. The purpose of bankruptcy Law.
1. It is intended to rehabilitate debtors.
a.It provides for s discharge, that is a cancellation of the debtor’s debts.
b.It protects the debtor’s property from the claims of creditors through exemptions.
2. it provides for the orderly collection and distribution of the debtor’s property.

Liquidation
Chapter 7 Liquidation involve rounding up the debtor’s property, turning it into cash,
and using such cash to pay the debtor’s creditors. Then the debtor is discharged fom this
debts.
A. Commencement of a Case
1. Bankruptcy is begun by filling apetition which can be either voluntary, that is,
started by the debtor, or involuntary, that is started by creditors.
a. it must be filed where the debtor has resided or had his principal place of
businee for the preceding six months.

25
Ibid, hal 564.
26
David Gray Carlson, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich.L. Rev. 1341 (1987), page 8 (Program E
Learning Bankruptcy Law, USU,UI, UGM, Univ. South Carolina USA, Nevada)
27
John W. Collins, et all Business Law Text and Cases, John Willey & Sons, New York, page 242.

12
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
b. It must be accompanied by a filing fee and schedules which are lists of the
asset and creditors of the debtor.
2. Voluntary petitions can be filed by anyone except railroads and most banks and
insurance companies.
a. A. Debtor need not be insovent or even allege that there are any debts.
b. The filing of a voluntary petition equals an order by the bankruptcy court
that the debtor is entitled to relief.
3. A bankruptcy court may dismiss a debtor’s petition if, after a hearing, they
determine that everyone would be better served by such dismissal. This is called
an abstention. It cen be caused by prejudicial delays by a debtor or by substantial
abuse of the bankruptcy laws, but there is presumption in favor of granting the
debtor’s petition.
4. Involuntary petitions can be filed only if the debtor :
a. Is not paying his or her debts as they become due, or
b. A custodian or receiver has been appointed by a court (within 120 days
after the state receiver is appointed).
5. Involuntary petitions can only be filed in chapter 7, and chapter 11 and cannot be
fied against a farmer, municipality or charitable organization. See In Re United
Kitchen, a case dealing with a charitable organization.
6. To require an involuntaryu bankruptcy there must be :
a. A debtor with twelve or more creditors, and a minimum of three creditors
must be owed at least $ 5,000 in unsecured debts.
b. A debtor has fewer than twelve creditors, one creditor with an unsecured $
5,000 claim can file a petition, and if there is no one creditor with an
unsecured claim of least $ 5, 000, than any number of creditors with that
amount can join togethter.
c. The Unsecured claim cannot be subject to a dispute raised in good faith.
7. Employees and insiders are excluded in determining the number of creditors
needed ti file an involuntary petition.
In re United Kitchen Associates, Inc,- In this case the court did chosose to count
the employees as petitioning creditors, but there could be no involuntary
bankruptcy because the organization was a charitable organization.
8. A debtor can contest an involuntary petition after which he is entiteld to a
hearing on the issues, and a court can dismiss or grant petition. Award can be
made to cover the debtor’s attorney’s fees and court costs as punitive damages
against successful debtors.
9. As mentioned earlier, the mere fling of a petition operates as an automatic stay
resulting in the suspension of any cases and prohibits the enforcement of any
judgements againts the debtor. In other words, all colection efforts must come to a
standstill.
Conduct of a Bankruptcy Case
1. The creditors must be notified after an order of relief has been entered.
2. Trustees have what are called avoidance powers which allow the trustee to avoid
certain transfer of property and to bring that property back in to the debtor’s estate.

13
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3. A trustee can avoid a tranfer by a debtor, called a preference, which is a previously
owed debt paid while the debtor was insolvent within 90 days of the date of the filing
of the petition.
a. Insolvency is defined as when the debtor’s debts are greater than the
worth of all of his property.
b. Exception to this avoindance power are if the payment of debts was
incurred in the ordinary course of business or if the transfer created a
security interest for new value. In the case of In Re Marston the court had
to decide whether particular liens on property were preferential transfers.
4. A trustee can avoid a fraudulent conveyance.
a. A fraudulent conveyance is defined as atransfer made with the actual intent to
hinder, delay, or defraud creditors, or if there was no intent, the transfer was
made whil the debtor was insolvent, or made him insolvent, or the debtor
received less than reasonable value for the property transfered.
b. The trustee can go back as long as one year before the filing of the petition to
avoid a fraudulent conveyance.
c. A fraudulent conveyance is also a ground for denyng a debtor a discharge of
debts owed. This was the case in In Re Kaiser in which the court denied a
discharge because a debtor put all of his property in his wife’s name before
filing a petition for bankruptcy.
5. A trustee in bankruptcy has a lie againts all of the debtor’s property, and thus he is a
creditor of the debtor as of the date the petition is filed .
a. .The truste thus has the rights of an actual unsecured creditor to avoid
transfer or the rights of a hypotetical judicial lien creditor. (As if the trustee
had brought a succesful suit to enforce a lien).
b. The lien power of a trustee is called the “strong arm power” because with this
power the trustee can avoid any security interests that are unperfected on the
date the petition is filed.
c. A trustee’s claim is superior to those of a security interest holder which is
unperfected because the trustee’s claim arises on the date of bankruptcy.
6. A trustee can choose to avoid a security interest in the folowing situations :
a. By the strong arm provision of the trustee’s lien.
b. If the transfer was preferential.
c. If the transfer was a fraudulent conveyance.
d. The trustee can begin a proceeding, known as an adversary proceeding, to
recover the provery.

EXEMPTIONS
1. A debtor has a certain amount of property which is exempt from creditors under
bankruptcy.
2. These exemption can be federal or if the state has an opt-out provision, they will be
the state provision for exemptions.
3. The majority of states have opt-out provisions. In the case of In Re Neihheisel. The
court deals with an op-out statute and discuses the history and policies behind such
provisions.
4. The debtor can avoid the liens that creditors might place on his exempt property.

14
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5. A debtor can avoid any judicial lien on any exempt property.
a. State lists of exempt property for judgement lien purposes differ from those
listed for bankruptcy purposes.
6. A debtor can avoid a security in exempt property and retain the propery free from the
claims of the secured creditor if :
a. The property is household goods, tools, or other esential work related articles
used by a debtor in his occupation, and
b. The property is in the debtor’s possesion, and
c. The security interest is not a purchase money security interest.

DISCHARGE
1. Only an individual person and not a corporation is entitled to a discharge, ( A
corporation can be dissolved and thus does not need a discharge).
2. Either a trustee or a creditor can object to the granting of a discharge. In th case of
Matter of Wilson the court denied a discharge of a debtor at the request of a creditor.
3. A debtor who does not obtain a discharge will lose all property but exempt property
and will still ow e his creditor. The debtor who does obtain a discharge retains the
same property, but is free from all debts except those that are non dischargeable.
4. A few debts are not dischargeabl;e in bankruptcy, and any creditor who makes this
claim must seek a bankruptcy court ruling thet the debts is nondischargeable. An
unseccesful crediotr must pay a consumer debtor’s court costs and attorney’s fees.
The elements that a creditor must prove in order to establish that a debt is non
dischargeable are discussed in the case of In Re Andrews in which the creditor
claimed thet a debtor used a false financial statement.

THE OTHER OF PAYMENT TO CREDITORS.


1. A claim must be made within the time of the notice requirements and objections may
be made to claims of creditors.
2. Creditor are paid in the following order (each in full before the next) :
a. Secured creditors to the extent of their collateral ( the defiency is treated as
an unsecured claim).
b. Administrative expenses of bankruptcy.
c. Unsecured creditors in an involuntary case for ordinary business expenses.
d. Certain employee wages up to $ 2,000.
e. Certain contributions to employee benefits.
f. Up to $ 900 refund to certain unfilled consumer orders.
g. Governemental claims.
h. Unsecured creditor.

Chapter 134 – Wage earner Plan


1. Those qualifyng for cahpter 13 are those debtors with a regular income, unsecured
debts of less than $ 100,000 and secured debts af less than $ 350,000.
2. Since the debtor has income, the property is not collected and sold off, but the debts
are paid off out of future income by delaying due dates and reducing the amount
owed on the debts.

15
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3. The debtor must propose a plan in good faith and pay creditors at least much as they
would have received in a Chapter 7 liquidation.
4. A debtor can even propose that a debts owed to a secured creditor be modified.
5. A voluntary petition is required to commenece a chapter 13 proceeding, and this can
be converted to a Chapter 7 proceeding at any time. A Courtmay refuse to confirm a
debtor’s plan which is illustrated the caseof in Re Canada.

THE ORGANIZATION : CHAPTER 11


1. Anyone who can file a chapter 7 except for a stock broker or commodities broeker
can file a chapter 11 proceeding.
2. Chapter 11 can be either voluntary or involuntary and it can be converted to a
chapter 7.
3. Chapter 11 provides that a business continue to operate during the reorganization;
and the debtor, called the debtor in possesion, may even continue to operate the
business himself.
4. The purpose for contained operation of the business is that this may bring in more
money than a complete liquidation.
5. As under 13, chapter 11 requires a debtor to put forth a good faith plan for paying his
debts. The plan can propose differing time payments and structures of debts.
6. The bankruptcy Amandment places limits on a business ability to avoid labor union
contracts during a Chapter 11 reorganization. There must be consultation betwen the
employees representative and the trustee or debtor in possesion, and court approval
is required for the rejection or alteration of a lbor contract. The case of In Re
Polytherm Industries, Inc, Illustrates the type op plan that can be proposed in a
Chapter 11 Bankruptcy
Salah satu bagian yang sangat penting dan sangat populer dari Bankruptcy Code adalah
apa yang disebut dengan chapter 11 tentang Reorganization yang tidak dijumpai dalam
hukum kepailitan di Indonesia.

HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA


Sebagai salah satu negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum Civil Law
Country, maka hukum kepailitan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara
yang termasuk ke dalam kelompok hukum Civil Law Country. Bila ditelusuri dari akar
sejarahnya hukum kepailitan Indonesia sesungguhnya sama dengan hukum kepailitan di
Negeri Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Pada
awalnya hukum kepailitan di Indonesia di atur dalam Faillissements Verordening Stb.
1905 No. 217 jo Stb. 1906 No. 348. Faillissements Verordening terdiri atas :
Bab I : Tentang Kepailitan pada umumnya
Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, maka FV menjadi tidak berlaku lagi. UU No.
4 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat UUK) sendiri terdiri atas :
1. Bab I : Tentang Kepailitan Pasal 1 s/d Pasal 211)
2 Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pasal 212 s/d Pasal 279
)
3 Bab III : Tentang Pengadilan Niaga (Pasal 280 s/d Pasal 289).

16
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Secara umum terdapat tujuh perubahan utama yang menjadi semangat Perpu No. 1
Tahun 1998 yang dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 dibandingkan dengan
peraturan kepailitan yang lama, yaitu :28
Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan
kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi
pengamblan keputusan pernyataan kepailitan.

Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan


sementara yang dapat diambil pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya kreditur, atas
kekayaan debitur sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan.

Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya


pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu
Balai Harta Peninggalan. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat
untuk dapat melakukan kegiatan sebagai kurator berikut kewajiban mereka.

Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan
kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tata
cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum tadi juga ditegaskan dalam penyempurnaan
ini.

Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai


kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya
mekanisme penangguhan pelaksanaan hak di antara kreditur yang memegang hak
tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum
atas perikatan-oerikatan yang telah dibuat debitur sebelum adanya putusan pernyataan
kepailitan.

Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan


kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam BAB KEDUA Undang-undang
Kepailitan.

Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan


masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan hakim-
hakim yang dengan demikian juga akan bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan
Niaga ini merupakan langkah diferensiasi atas peradilan Umum, yang dimungkinkan
pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini, peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas
menangani permintaan pernyataan kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan
secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah
kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan
dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi, tingkat
kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang mendukungnya.

28
Penjelasan umum UUK.

17
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Sebagai peraturan pelaksanaan dari UUK ini, pemerintah juga mengeluarkan beberapa
ketentuan yang merupakan pelaksanaan teknis dari UUK, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 mengenai Permohonan Pernyataan Pailit
untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah ini memberikan petunjuk teknis,
mengenai keadaan dimana pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit
untuk kepentingan umum, serta kejaksaan negeri mana yang dapat melakukannya.
2. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 1998 mengenai Perhitungan Jumlah Hak Suara
Kreditur.
Peraturan Pemerintah ini mengatur dua hal utama, pertama mengenai hak kreditur
yang memiliki piutang samapai dengan Rp. 10.000.000., (sepuluh juta rupiah) yang
berhak mengeluarkan satu suara, dan apabila terjadi kelebihan piutang dari jumlah
Rp. 10.000.000., tersebut. Hal kedua adalah bagaimanamenetapkan utang yang
nilainya tidak dapat ditetapkan secara pasti atau ditetapkan dalam valuta asing.
Demikian beberapa ketentuan baru yang terdapat di dalam UUK yang tidak dijumpai
dalam Faillisement Verordening.
Diaturnya perkara kepailitan dalam suatu pengadilan khusus yang disebut Pengadilan
Niaga merupakan sesuatu yang baru yang merupakan penerobosan terhadap sistem
peradilan yang selama ini ada. Sebelum berlakunya UUK, perkara-perkara kepailitan
diselesaikan di Pengadilan Negeri. Namun setelah keluarnya UUK, dalam Pasal 280
ditegaskan bahwa :
1) Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang
sebagaimana dimaksud dalam BAB PERTAMA dan BAB KEDUA, diperiksa dan
diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di Lingkungan Peradilan Umum.
2) Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan
memutuskan permohonan pernyataan pailitdan penundaan kewajiban pembayaran
utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan
yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah..
Bila dibandingkan antara pengadilan niaga di negara-negara civil dengan common law
terdapat perbedaan. Joseph Dainow menyebutkan However, in order to understand the
two system properly, there are disparities which must be recognized and evaluated. For
more specific identification of ideas, it is useful to consider five points of reference : the
training and recruitment of judges, the method of arriving at decisions, the
personalization of opinions or the colegiality of judgements, the manner of writing
opinions, and the atitude of the judge in case of silence and insufficiency of the written or
estblished law.29
Di Amerika Serikat ketentuan tentang Pengadilan Niaga berlaku secara efektif pada
10 Juli 1984. Bankruptcy judges decide core proceedings (.e.g., allowing creditor
claims, deciding preferences, confirming plans of reorganization) regarding bankruptcy
cases. Noncore proceedings concerning the debtor (e.g., decisions on personal injury,
divorce, and other civil proceedings) are resolved in federal or state court. 30
Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya utang piutang antara debitor
dan kreditor. Permasalahan baru muncul apabila debitor berhenti membayar utangnya
pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar maupun karena tidak mampu
membayar.

29
Erman Radjagukguk, Opcit, hal 79.
30
Henry Cheeseman, opcit, page 564.

18
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya bila terjadi keadaan seperti itu terdapat beberapa usaha untuk menyelesaikan
utang piutang tersebut, yaitu antara lain dengan :31
1. perdamaian (di luar pengadilan);
2. gugatan melalui pengadilan;
3. perdamaian di dalam pengadilan;
4. ditagih individual;
5. penundaan pembayaran;
6. perdamaian penundaan pembayaran;
7. kepailitan;
8. perdamaian dalam kepailitan.
Di Amerika Serikat the primary purpose of federal bankruptcy law is to discharge the
debtor from burdensome debts. The law gives debtorsa fresh start by freeing them from
legal responsibility for [ast debts by (1) protecting debtors from abusive activities by
creditors in collecting debts, (2) preventing certain creditors from obtaining an unfair
advantage over other creditors, (3) protecting creditors from actions of the debtors thet
would diminish the value of the bankruptcy estate, (4) providing for the speedy, efficient,
and equitable distribution of the debtor’s nonexempt property to claim holders, and (5)
preserving existing business relations.32
Bila dalam hukum kepailitan di Amerika Serkat dikenal adanya Reorganization
perusahaan yang diatur dalam Chapter 11, maka hal ini tidak dikenal dalam hukum
kepailitan di Indonesia.
Chapter 11 of the Bankruptcy Code provides a method for reorganizing the debtor’s
financial affair under the supervision of the Bankruptcy Court.Its goal is to reorganize
the debtor with a new capital structure so that it will emerge from bankruptcy as a viable
concern. This option, wgich is referred to as reorganization bankruptcy, is often in the
best interest of the debtor and its creditors.33
Chapter 11 is availabel to individuals, partnership, corporations, nonincorvorated
associations, and railroads. It is not available to banks, savings and loan associations,
credit unions, insurance companies, stockbrokers, or commodities brokers. The majority
of Chapter 11 proceedings are filed by corporations.
A Chapter 11 petition may be filed voluntarily by the debtor or involuntaryly by its
creditors. The principles discussed earlier under Chapter 7 regarding the filing of
petitions, the first meeting of creditors, the entry of the order for relief, automatic stay,
and relief from stay also apply to Chapter 11 proceedings.
Tentang rencana untuk melakukan reorganization itu sendiri, Henry Chaseeman
menjelaskan :34
The debtor has the exclusive right ti file a plan of reorganization with teh Bankruptcy
Court within the first 120 days after the date othe order for relief. The debtor also has
thje right to obtain creditor approval of the plan within the first 180 days after the date of

31
Dr. Man Suparman Sastrawidjaya, SH., SU, Antisipasi PT (Pesero) dalam Menyongsong Undang-undang
Kepailitan, dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis
Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., Penerbit Alumni, Bandung, 1999,
hal 331.
32
Henry R. Cheeseman, Opcit, page 565.
33
Ibid, page 575.
34
Henry R Cheeseman, Contemporary Business Law, Third Edition,Prentice Hall, Upper Saddle River
New Jersey, 2000, page 511.

19
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
the order. After that, any party of interests (i.e., a trustee, a creditor, or an equity holder)
may propose a plan. The court has discretion to extend the 120 and 180 day periods in
complex cases.
The plan of reorganization sets forth the debtor’s proposed new capital structure. In
a Chapter 11 proceeding, creditors have claims and equity holders have interest. The
plan must designate the different classes of calims and interests. The reorganization paln
may propose altering the rights of creditors and equity holders. For example, it might
require claims and interests to be reduced, the conversion of unsecured creditors to
equity holders, the sale of assets, or the like.
The debtor must supply the creditors and equity holder with a disclosure statement
that contains adequate information about the proposed plan of reorganization. The court
must approve the disclosure statement before it is distributed.
Bila diteliti lebih jauh tentang hukum kepailitan di Indonesia yang tidak mengatur
tentang adanya kemungkinan untuk melakukan reorganisasi perusahaan, sesungguhnya
lembaga reorganisasai perusahaan ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Suspension of Payment, Surseance van Betaling (selanjutnya disingkat PKPU).
PKPU dalam UU NO. 4 Tahun 1998 diatur dalam Bab ke dua mulai Pasal 212 sampai
dengan Pasal 279.
PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu
membayar utangnya dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta
kekayaan debitur (likuidasi harta pailit).35
PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk
menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya.
Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya
bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan, PKPU bertujuan
memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur,
yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit
dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar
harapan ia ia akan dapat membayar utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di
atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur.
PKPU bukan dimaksudkan untuk kepentingan debitur semata, juga untuk kepentingan
para krediturnya khususnya kreditur konkuren. Dengan diberikannya waktu dan
kesempatan, debitur nelalui reorganisasi usahanya dan atau restrukturisasi utang-
utangnya dapat melanjutkan usahanya.
Apabila dalam Chapter 11 telah diatur tentang plan of reorganization, maka dalam
UUK diatur juga tentang rencana perdamaian dalam PKPU.
Rencana yang diajukan tidak bersamaan atau tidak dilampirkan pada permohonan
PKPU harus diajukan :36

35
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998.
36
Ellyana S, Proses/Cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian pada Penundaan Kewajiban
Pembayaran , Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 - 14 Agustus
1998.

20
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
a. Sebelum hari ke 45, setelah putusan sementara penundaan kewajiban membayar
utang atau sebelum hari sidang yang dimaksud dalam Pasal 515 Perpu No. 1 Tahun
1998 atau pada tanggal kemudian dengan tetap memperhatikan Pasal 217 ayat 4.
b. Rencana perdamaian tersebut harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang padanya melekat Pengadilan Niaga yang memeriksa dan mengadili permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang agar dapat dilihat oleh setiap orang yang
berkepentingan secara cuma-cuma.
c. Rencana perdamaian juga disampaikan kepada Hakim Pengawas dan pengurus serta
ahli bila ada segera setelah rencana perdamaian ada.
PKPU memiliki dasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 212 yaitu :
Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diajukan dalam
rangka penawaran rencana perdamaian (yang meliputi penawaran pembayaran
secara penuh atau sebagian kepada kreditur konkuren) yang dilakukan oleh
debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Jika hal itu dapat terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitur dapat memenuhi
kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.
PKPU berbeda dengan kepailitan, karena walaupun dalam proses kepailitan juga ada
kemungkinan tercapainya perdamaian, pada dasarnya kepailitan ditujukan kepada
pemberesan dengan para kreditur, namun pada umumnya dengan cara menjual semua
budel pailit dan membagikan kepada para kreditur yang berhak menurut urutan yang
ditentukan dalam Undang-undang.37
Dari prinsip dasar di atas diketahui bahwa PKPU memiliki kesamaan dengan
Reorganisasi dalam Chapter 11, dimana debitur diberi kesempatan untuk melakukan
restrukturisasi perusahaannya maupun restrukturisasi utang-utangnya sehingga dapat
tetap eksis sebelum dinyatakan pailit oleh hakim.
The fundamental purpose of reorganization is to prevent a debtor from going into
liquidation, with an attendant loss of jobs and possible misuse of economic resources.38
Langkah untuk melakukan reorganisasi perusahaan lebih dahulu jelas lebih
menguntungkan dibandingkan dengan melakukan prosedure kepailitan. Reorganisasi ini
akan menguntungkan semua pihak baik debitur, kreditur para karyawan dan seluruh stake
holder perusahaan.
Mark E. Scarberry menjelaskan keuntungan dari reorganisasi ini. Menurutnya if the
business is liquidated on the auction block, the assets and the work force will be
dispersed; whatever value was created by bringing them together and forging them into a
produtive whole will be lost. The value of the relationships, goodwill, and name
recognition will also be destroyed. The value of other in intangible assets will be
diminished; for example, it is generally much more dificult to collect the accounts
receivable of a business that is liquidation tahn of one that is a going conecrn. The
liquidation sale price of tangible assets is often very low compared to the value they
would have as part of a productive whole.

37
Kartini Mulyadi, Penundaan kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak hukumnya, Makalah
disampaikan dalam Lokakarya Undang Undang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
38
Mark S. Scarberry, et all, Business Reorganizayion In bankruptcy, Case And Materials, American
Casebook Series, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, 1996, page 3.

21
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Selain itu the cost to society of business liquidation is high. The destruction of value
caused by business liquidation reduces the total wealth of our society. The loss of jobs
causes additional social costs, such as increased unemployment insurance payments,
increased use of other social welvare programs, and decreased tax revenues. Increased
un employment may have other social costs, such as an increase in poverty and crime.If
overall demand for the products of the kind made by a liquidated business does not
decrease, many of the workers and managers may eventually be hired by other firms for
similar positions, but this does not happen quickly, and it is not cost free. It does not
hapen at all if jobs are lost to foreign competition. Society pays a price for the liquidation
of busisnesses.
For the workers, the managers, the creditors, and the owners of a liquidated business,
the effect is more direct and, in some cases, devastating. The workers and managers
k\lose their jobs, with the accompanyng financial and emotional stress on them and their
families. Creditor may faind that the liquidation value of the debtor is insufficient to
repay more than a small fraction of the debtor’s debts; unsecured creditors (those who
do not have liens on any particular assets of the debtor) often will receive nothing. If
creditors are not paid in full in liquidation, then there will be nothing at all left for the
stock holder (or partners or the owners of the debtor’s business).
Keeping the business in operation will therefore often be much more desirable than
liquidating it. The fundamental premise of chapter 11 of the Bankruptcy Code is that
reorganization is desirable.
Tindakan hukum kepailitan merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh bila
seluruh proses perdamaian tidak dapat lagi dilakukan dan bila memang assets si pailit
tidak cukup untuk memenuhi seluruh utang-utangnya meskipun diberi kesempatan dan
jangka waktu yang cukup.
Jerry Hoff menyebutkan bahwa It is common cause that a bankruptcy law should serve
the following purposes 39:
♦ Maximising asset recovery;
All of the assets of the debtor should be pooled into a common fund – called the
bankruptcy estate – which is available for the payment of creditor’s claims.
Bankruptcy provides a forum for the collective liquidation of the debtor’s assets. This
reduces the administrative expenses in liquidation and distribution of the debtor’s
property. It provides a quick way to achieve such liquidation and distribution as well.
♦ Providing for the equitable and predictable treatment of creditors;
In principle, creditors are paid pari passu; they receive a pro rata parte distribution
from the pool according to the size of their claims. The procedural and substantive
rules in this respect should provide for certainty and transparency. Creditors should
know in advance what their legal position is.
♦ Providing parctical opportunities for the reorganization of ailing but viable
businesses when the interests of creditors and social needs are better served by
maintaining the debtor in business. In modern bankruptcy laws, much attention is paid
to the social interest of job opportunities.
The bankruptcy Law of Indonesia takes into account the interest of both creditors and
debtors. It tries to reconcile the interest of the creditors with those of the debtor by
39
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, Penerbit Tata Nusa, Jakarta, hal 7 Terjemahan oleh
Kartini Mulyadi.

22
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
providing for a swift and orderly liquidation of the assets of the debtor on the one hand
and by giving the debtor an opportunity to reorganize when this is feasible on the other
hand. It is envisiged that the Bankruptcy Law and its proper implementation will
contribute to the restoration of that important prerquisite to a helathy investment climate
in Indonesia, namely a level playing field for detors and creditors.
Di Indonesia pengertian kepailitan itu sendiri tidak disebutkan. Pasal 1 ayat 1 UUK
menyebutkan :
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik
atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk
kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur
oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-
masing. Melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para
kreditur secara sendiri-sendiri. Dengan demikian para kreditur harus bertindak secara
bersama-sama (concursus creditorum) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.40
Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun
lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun yang akan diterimanya
selama kepilitan itu berlangsung.
Kepilitan itu sendiri mencakup :
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa
pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama
kepailitannya.
2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas
kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.41
Seluruh kewenangan debitur pailit untuk mengurus seluruh harta kekayaanya tersebut
tersebut selanjutnya beralih kepada kurator.
Garrad Glen menyebutkan Essential of Bankruptcy : Prevention of Fraud, and Control of
the Debtor. Penjelasannya : A Careful study of bakruptcy involves several well worn
propositions. First, there is always the fraudulent debtor; and never yet so far as human
experience goes has it been proper to legislate in bankruptcy matters without providing
for his case. Next, the idea of bankruptcy includes the concept of a debtor who is within
the control of the court. And finally there is the point, so helpful in the presentation of the
other two, that bankruptcy reforms are by no means a matter of late dispensation or
twentieth century rhetoric, but on the contrary, all our ideas trace back to English
legislation of two centuries ago and more..........42

40
Fred. BG. Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah Oleh
Perpu No. 1 Tahun 1998, Makalah disampaikan dalam lokakarya UU Kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus
1998.
41
K. Santoso, Akibat Hukum Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya UndangUndang
kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
42
Garrad Glen : Essential of Bankruptcy : Prevention of fraud, and control of the debtor, 23. L. Rev. 373 (
1937), page 1, E Learning, Bankruptcy Law.

23
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Meskipun UUK dimaksudkan untuk memaksimalkan harta pailit agar dapat dibagi
secara seimbang di antara para krdeiturnya, namun dalam praktek masih banyak
kecurangan yang dilakukan oleh debitor sehingga recovery fund yang diterima oleh
debitur pailit sangat rendah hanya berkisar antara 10% - 15 % dari total piutang yang
dapat ditagih. Kondisi ini mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan
masyarakat untuk menggunakan lembaga hukum kepailitan sebagai sarana untuk
menagih piutang mereka.
Kondisi yang sama juga terjadi saat ini meskipun Undang-Undang kepailitan yang lama
sudah disempurnakan dalam UU No. 4 Tahun 1998.
Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa setelah UU No. 4 Tahun 1998 mulai
berlaku, ternyata dalam praktek timbul beberapa permasalahan baik yang bersumber dari
kelemahan Undang-undang Kepailitan itu sendiri maupun dalam praktek di pengadilan43 :
1. Banyak hal yang tidak di atur secara tegas dalam Undang-undang Kepailitan,
sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Pengertian utang,
misalnya, tidak diberikan definisi yang jelas dalam Undang-undang Kepailitan
sehingga ditafsirkan Hakim secara berbeda-beda baik di tingkat Pengadilan Niaga di
Pengadilan Negeri maupun di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali pada
Mahkamah Agung.
2. Adanya Interpretasi yang berbeda-beda terhadap ketentuan dalam Undang-undang
Kepailitan tersebut mengakibatkan timbulnya ketidak konsistenan dalam putusan
Hakim dalam kasus-kasus kepailitan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidak
pastian hukum.
3. Jangka waktu 30 hari yang diberikan UU Kepailitan untuk menyelesaikan satu
perkara kepailitan dipandang dalam praktek sukar dilaksanakan, karena terlalu cepat44
Kalaupun Hakim Pengadilan Niaga dapat menyelsaikan perkara kepailitan dalam
jangka waktu 30 hari tersebut, hakim tersebut hanya memfokuskan pada pembuktian
sederhana sekedar untuk memenuhi persyaratan dinyatakannya pailit. Tebalnya alat
bukti dalam kasus kepailitan yang rumit mungkin hanya dibaca dan diteliti secara
singkat karena ketatnya waktu.
4. Adanya kecenderungan menurunnya jumlah perkara kepailitan yang ditangani
Pengadilan Niaga di Jakarta Pusat. Awaknya pada tahun 1998, terdapat 31 perkara
kepailitan yang didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Jumlah perkara
kepailitan yang hanya 31 tersebut wajar karena Undang-undang Kepailitan baru
berlaku secara efektif pada tanggal 9 September 1998. Jumlah perkara kepailitan
melonjak drastis pada tahun 1999 sebanyak 100 kasus, pada tahun 2000 turun
menjadi 84 kasus dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 60 kasus.45
Fenomena menurunnya kasus kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga tersebut
menurut Erman Radjagukguk kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
adanya kelemahan dalam Undang-undang kepailitan itu sendiri. Kedua, adanya ketidak

43
Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, bahan E Learning “Bankruptcy
Law” , hal 5 – 7.
44
Mengenai jangka waktu ini, Mantan Ketua mahkamah Agung RI, Purwoto Gandasubrata, menyayangkan
pembuatan Perpu Kepailitan No. 1 Tahun 1998 ini tidak terlebih dahulu mendengar pendapat dan nasihat
dari para hakim yang biasa berkecimpung dalam praktek. Lihat Sudargo Gautama, Komentar Atas
Peraturan kepailitan baru Untuk Indonesia (1998), Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 10 – 11.
45
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani, Analisi Teori dan Praktek kepailitan dan Indonesia,
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, hal 5.

24
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
konsistenan putusan Hakim dalam menangani kasus-kasus kepailitan, baik putusan pada
Hakim Pengadilan Niaga maupun hakim pada tingkat pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali. Ketiga, meskipun Undang-undang Kepailitan sudah mengatur time
frame yang ketat untuk menyelesaikan kasus kepailitan, namun ternyata penyelesaiannya
ternyata terasa bertele-tele. Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak-pihak yang
dipailitkan akan mengajukan banding ke tingkat kasasi atau peninjaun kembali.
Kenyataan ini menambah panjang proses peradilan kasus kepailitan, sehingga muncul
kesan proses banding hanyalah upaya pengelakan dari pihak debitur yang dipailitkan.
Kreditur yang ditolak permohonan kepailitannyapun, dapat juga mengajukan kasasi dan
Peninjauan Kembali. Meskipun pengajuan Kasasi dan peninjauan Kembali tersebut
merupakan hak debitur atau kreditur, namun apabila semua perkara kepailitan diajukan
sampai tingkat peninjauan kembali, maka kesan bertele-tele tersebut mungkin ada
benarnya.46Keempat, meskipun belum ada penelitian tentang hal ini, diperkirakan tingkat
recovery rate atau pengembalian utang oleh debitur melalui mekanisme kepailitan
nilainya sangat rendah, yaitu diperkirakan hanya berkisar pada 10 % - 20 %.47
Mengingat kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam UU NO. 4 Tahun 1998
sebagaimana diuraikan di atas, maka saat ini perlu dilkakukan perubahan dan
pembenahan dalam Undang-undang kepailitan yang baru. Sat ini meskipun RUU
Kepailitan sudah disiapkan, namun meurut beberapa kalangan juga masih mengandung
beberapa kelemahan yang perlu diatasi. Perubahan yang dilakukan terhadap seluruh
hukum ekonomi termasuk hukum kepailitan merupakan salah satu usaha di bidang
pembinaan hukum nasional.
Berkaitan dengan pembinaan hukum nasional, Bagir Manan menyebutkan perlu
adanya berbagai penegasan :48
1. Tentang pengertian peraturan perundang-undangan dari masa Kolonial.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa kolonial tersebut dapat
dikategorikan :
a. Semata-mata dibentuk pada masa pemerintahan kolonial, tetapi substansi
bersifat universal.
b. Substansi mengandung muatan yang bersifat kolonial (demi kepentingan
kolonial) yang bertentangan dengan kepentingan rakyat atau kepentingan
nasional.
c. Substansi tidak bersifat kolonial, karena kaidah-kaidah semacam ini berlaku
juga pada negara induk atau negara lain, tetapi tidak sesuai dengan pandangan
hidup dan kebutuhan rakyat Indonesia.
d. Terdapat ketentuan-ketentuan dari masa kolonial meskipun tidak berwatak
kolonial, tetapi telah ketinggalan (out of date).
e. Terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau secara khusus kekosongan
peraturan perundang-undangan (wetsvacuum)
Paraturan perundang-undangan adalah gambaran suatu jaman. Demikian juga
peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa kolonial.

46
Andi Muhammad Asrun, A. Prasentyatoko, Dkk, Analisa Yuridis dan Empiris Peradilan Niaga 0(Jakarta
: Center for Information & Law Economic Studies, 200, hal 19.
47
“Revisi UU Kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan Yang Berangsur Punah” (http://hukum on line.
Com//edisi khusus/fokus _ details asp?rubrik = 3 & id = 93).
48
Bagir Manan, OpCit, Hal 257.

25
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2. Tentang jumlah peraturan perundang-undangan kolonial yang masih ada
Berdasarkan inventarisasi dokumen-dokumen atau kumpulan peraturan perundang-
undangan seperti Engelbrecht diketemukan sekitar 300 atau 400 peraturan perundang-
undangan dari masa kolonial. Dalam hal ini perlu diutarakan:
a. Mengenai bentuk
Ada 300 atau 400 peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari berbagai
bentuk yaitu :
1) Wet, Ordonantie, dan Reglement (UU);
2) AmvB (Peraturan Pemerintah);
3) K.B. (Keputusan Presiden);
4) Peratura atau Keputusan GG (KEPPRES);
5) Instruksi Raja dan Instruksi GG (INPRES).
b. Mengenai kekuatan berlaku.
Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut masih tercantum dalam berbagai
dokumen, tidak semuanya berlaku, karena :
1) Telah dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang baru.
2) Tercabut oleh peraturan perundang-undangan baru.
3) Tercabut karena perubahan tatanan politik dan pemerintahan baru.
4) Telah dicabut secara parsial.
5) Tidak berl;aku lagi karena ketentuan kolonial tersebut hanya untuk suatu
peristiwa tertentu (yang sudah tidak ada lagi) atau karena masa berlaku
telah habis.
c. Pengaturan ulang peraturan perundang-undangan kolonial.

Meskipun telah dilakukan berbagai revisi terhadap seluruh hukum nasional khususnya di
bidang hukum ekonomi namun masih banyak ruang-ruang kososng yang senatiasa
dimafaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Untuk itu Sacipto Rahardjo secara arif mengemukakan bahwa sejak semula hukum tidak
pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang mematoki antara
perbuatan yang “benar” dan yang “salah” secara sempurna. Salah-salah mengatur bahkan
bisa dikatakan seperti ungkapan “Summum ius summa iniuria” bahwa hukum yang
bekerja terlalu hebat justru menimbulkan ketidak adilan.49

49
Satjipto Rahardjo,. Permasalahan Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983, hal 13.

26
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
E. PENUTUP
Hukum kepailitan di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan
Civil Law System tentu berbeda dengan Bankruptcy Law di Amerika Serikat yang
termasuk ke dalam kelompok negara dengan Common Law System.
Perbedaan tersebut meliputi perbedaan sistematika dalam hukum kepailitan yang diatur
dalam UU No. 4 Tahun 1998 dengan Bankrupty Code dan hukum kepailitan di Amerika
Serikat. Demikian pula perbedaan tentang pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit,
pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, prosedure permohonan
kepailitan, Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, jangka waktu yang harus ditempuh,
hukum acara yang dipergunakan, Re organisasi Perusahaan dan lain-lain.
Perbedaan ini disebabkan faktor sejarah lahirnya hukum kepailitan itu sendiri baik di
Indonesia maupun Amerika, Selain itu perbedaan ini juga disebabkan oleh sistem hukum
yang dianut oleh masing-masing negara yang berbeda. Namun dalam perkembangan
hukum yang terjadi saat ini terlihat adanya suatu convergemcy pada seluruh bidang
hukum baik negara-negara penganut Civil law System maupun Common Law System
demi untuk menuju harmonisasi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Asrun, Andi Muhammad, A. Prasentyatoko, dkk., Analisa Yuridis dan empiris Peradilan
Niaga, Jakarta : Center for Information & Law Economic Studies, 2000.

Baird, Duglas G., Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little,
Brown and Company, 1985.

Cheeseman, Henry R. Business Law, Fourth Edition, Upper Saddle River, New Jersey
07458, 2001.

Cheeseman, Henry R., Contemporary Business Law, Third Edition, Prentice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey, 2000.

Carlson, David Gray, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich L. Rev. 1341 (1987) (bahan
Kuliah Program E Learning “Bankruptcy Law” Kerjasama USU, UI, UGM,
Univ. South Carolina USA, (Nevada).

Collins, John W., et all., Business Law Text and Cases, John Willey & Sons, New York.

Ediwarman, Perbandingan Hukum, Modul V, Bahan Kuliah Perbandingan Hukum,


Program Pascasarjana USU Medan, 2002.

27
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Ediwarman, Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum, Pascasarjana USU
Medan, tanggal 26 Oktober 2002 .

Ellyana S., Proses/cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran, makalah disampaikan dalam Lokakarya
Undang-Undang Kepailitan, jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.

Fuady, Munir., Hukum Pailit 1998 Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1998.

Friedman, Lawrence M, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc,
1985.

Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Penerbit


Salemba Empat, Jakarta, 2000.

Guttridge, H.C., Comparative Law, An Introduction to the Comparative Method of Legal


Study & Research, Cambridge, 1946.

Glen, Garrad : Essential of bankruptcy : Prevention of Farud, and Control of the Debtor,
23. L. Rev. 373, 1937 (bahan E Learning).

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998),
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Harian Kompas, Kamis, Tanggal 16 Desember 1999.

Hoff, Jerry, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia(Terjemahan oleh Kartini Mulyadi)


Penerbit Tata Nusa, Jakarta, 1998.

Lindsey, Tim (Editor), Indonesian Insolvency Reform : Law Reform & The Commercial
Court, Ausaid, Desert Pea Press, 2000.

Manan, Bagir., Pembinaan Hukum, Mochtar Kusumaatmadja, : Pendidik & Negarawan,


Kumpulan Karya Tulis menghormati 70 tahun Prof. Dr. Mochtar
Kususmaat,adja, SH., LLM), Penerbit Alumni, Bandung, 1999.

Manan, bagir., Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional,


Jakarta, 1993.

Mulyadi, Kartini., Penundaan kewajiban Pembayaran Utang Serta dampak Hukumnya,


makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3
– 14 Agustus 1998.

Purwadi, Hari., Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : ‘Critical


ComparativeLaw’ Dan Transplantasi hukum Di Indonesia, Dalam Kumpulan

28
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Tulisan Wajah Hukum di Era Reformasi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.

Rahardjo, Satjipto., Permasalahan Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni, bandung,


1983.

Radjagukguk, Erman., Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, Bahan Kuliah E


Learning, 2002.

Radjagukguk, Erman., Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi,


Jurnal Hukum Bisnis No. II Vol. 6.

Radjagukguk, Erman., Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law – Common Law)


(Kumpulan Kuliah), Jilid I, Fakultas hukum UI Program Pascasarjana, 2000.

Radjagukguk, Erman, Kuliah Perbandingan Sistem Hukum, Program S3 Ilmu Hukum


Pascasarjana USU, Tanggal 22 Maret 2002.

Revisi UU kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan Yang Berangsur Punah


(http//hukum on line. Com// edisi khusus/fokus- details asp ? rubrik = 3 & id =
93).

Syahdeini, Sutan Remy., “Sejarah Hukum Kepailitan Di Indonesia” dalam Jurnal Hukum
Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Vo. 12, Jakarta, 2001.

Scarberry, Mark S, et all, Business Reorganization in Bankruptcy, Case and Materials,


American Casebook Series, West Publishing Co. St. Paul, Minnesota, 1996.

Santoso K., Akibat Hukum Kepailitan, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-
Undang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.

Suyudi, Aria, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani., Analisis Teori dan Praktek
Kepailitan di Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK),
Jakarta, 2002.

Tabalujan, Benny S, Indonesian Insovency Law, Business Law Asia, Singapura, 1998.

Tabb, Charles Jordan, The Historical Evolution of the Bankruptcy Discharge, Copy right,
1991, National Conference of the Bankruptcy judges.

Tumbuan, Fred B.G. Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, makalah disampaikan dalam Lokakarya
Undang-Undang kepailitan, jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.

29
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai