Anda di halaman 1dari 20

setelah kawan-kawan berdiskusi, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan kami mengenai

evaluasi kelembagaan berdasarkan PP 41/20071. Ada beberapa aspek yang dapat kita evaluasi dari
penerapan PP 41/2007, antara lain yaitu:

A. Dari sisi INPUT


Penyusunan kelembagaan daerah menurut PP 41 tahun 2007 mencakup beberapa variabel yang
dijadikan pertimbangan, yaitu:
a. Jumlah penduduk
b. APBD
c. Luas wilayah
d. Potensi daerah
Dari sini akan dianalisis apakah penyusunan kelembagaan daerah telah mempertimbangkan
beberapa variabel tersebut atau tidak. Dan apakah ada faktor lain seperti faktor politik untuk
mengakomodasi pejabat yang ikut mempengaruhi pembentukan kelembagaan daerah, mengingat
kepala daerah merupakan pejabat politik hasil pilkada.

B. Dari sisi PROSES


1. Dalam penyusunan struktur Organisasi Perangkat Daerah yang baru berdasarkan PP 41/2007
apakah melalui Kajian Naskah Akademik atau tidak. Walaupun tidak ada keharusan, namun
proses penyusunan kelembagaan yang didahului dengan Kajian Naskah Akademik akan
memberikan dasar rasionalisasi yang lebih baik dan relatif bebas dari kepentingan politik
dibanding tanpa proses Naskah Akademis.
2. Selain 4 variabel (jml penduduk, APBD, Luas wilayah dan Potensi daerah), perlu dilihat juga
adakah pertimbangan yang dijadikan dasar/perhatian dalam pembentukan organisasi perangkat
daerah.
3. Apakah pembentukan organisasi perangkat daerah sudah memiliki payung hukum yang
semestinya (Perda atau Perbup).
4. Apakah sudah dibuat langkah strategis untuk mengoptimalkan efektifitas struktur organisasi
yang baru sebagai tindak lanjut dari penerapan kelembagaan baru tersebut? Misalnya dengan
penyusunan Uraian Tugas, Analisis Jabatan, Standar Kompetensi Jabatan serta Analisis Beban
Kerja. Hal ini juga berkaitan dengan aspek SDM, misalnya apakah aparatur yang menempati
posisi-posisi di struktur baru tersebut memiliki kompetensi atau pengalaman yang relevan
dengan jabatan baru yang disandangnya. Serta juga telah mempertimbangkan luasan
kewenangan yang dimiliki dan hubungan antar lembaga (SKPD)

C. Dari sisi OUTPUT:


Gambaran seperti apa struktur dan tupoksi baru yang telah dibentuk berdasarkan PP 41/2007,
perubahan apa yang dilakukan dibandingkan struktur dan tupoksi sebelumnya serta bagaimana
perumpunan urusan diperhatikan dan diakomodasikan ke dalam SKPD yang ada. Dari sini juga
terlihat kecondongan pemilihan kuota yang diberikan (pola maksimal atau pola efisien)

D. Dari sisi OUTCOME:


Bagaimana dampak penerapan struktur yang baru terhadap pencapaian visi misi dan tupoksi
organisasi? Ini juga berkaitan dengan sisi proses nomor 4, dimana struktur baru yang dihasilkan
apakah sudah diisi oleh pejabat yang tepat.

Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana dengan penerapan model kelembagaan yang baru
berdasarkan PP 41/2007 memberikan perubahan yang positif sesuai dengan cita-cita yang ingin
diwujudkan oleh SKPD, atau justru memberikan dampak yang lebih buruk, ataukah tidak ada
perubahan yang berarti. Maka hasil evaluasi tersebut akan menjadi feedback bagi daerah untuk
memperbaiki kondisi kelembagaan.
Selain itu, juga dapat dilakukan penilaian terhadap kesiapan/ kesiagaan perkembangan kondisi
daerah ke depan terhadap kelembagaan daerah yang telah dibentuk.

Dalam hal dampak yang dihasilkan adalah positif maka harus dipertahankan, tetapi apabila ada
dampak negatif akibat implementasi struktur baru maka harus dilihat terlebih dahulu apakah
dampak negatif tersebut sebagai akibat penerapan struktur ataukah ada faktor yang lain, seperti
masih banyaknya jabatan yang kosong, belum adanya job deskripsi, kelebihan beban kerja,
penempatan aparatur yang tidak tepat dan sebagainya. Hasil analisis tersebut akan menjadi
rekomendasi bagi daerah untuk dilakukan perbaikan semestinya.

Dari beberapa pointer tersebut bisa digambarkan dengan model sebagai berikut:

INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME

FEEDBACK
JAKARTA, menegpp.go.id. Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Tahun 2009 telah
menghasilkan kesepakatan dan merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi, Perguruan Tinggi melalui
Pusat Studi Wanita/Gender, dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk melakukan langkah-
langkah percepatan PUG sebagai berikut

Struktur dan Mekanisme Pelaksanaan PUG Terkait dengan Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan PUG di Daerah.

Kelompok kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) sebagaimana yang diatur oleh Permendagri No. 15
tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah sebagian besar provinsi dan
kabupaten/kota belum terbentuk, sehingga Tupoksi Pokja PUG belum dapat berfungsi sebagaimana
diharapkan. Pasal 8 dan 13 tentang Koordinator Pelaksanaan PUG dan Pasal 9 dan 14 tentang Kepala
Sekretariat adalah Kepala SKPD Pemberdayaan Masyarakat, tidak sejalan dengan adanya Struktur Organisasi
dan Tata Kerja (SOTK) berdasar PP 41/2007 yang substansi kewenangan PUG berada pada SKPD
Pemberdayaan Perempuan. Oleh sebab itu Pasal 8 dan 13, dan pasal 9 dan 14 perlu direvisi sesuai PP
41/2007, dimana koordinator pelaksanaan PUG dan Kepala Sekretariat Pokja PUG adalah SKPD Pemberdayaan
Perempuan. Untuk itu agar Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan melakukan berbagai upaya agar
peraturan tersebut dapat direvisi oleh Menteri Dalam Negeri.

Permendagri No. 15 tahun 2008 Pasal 17 tentang Focal Point Gender (FPG) adalah pejabat
dan atau staf yang membidangi pemberdayaan perempuan dan bidang lain di SKPD. Hal ini
menyebabkan lingkup tugas terbatas karena tidak semua SKPD mempunyai program
pemberdayaan perempuan. Selain itu hubungan kerja Pokja PUG dengan FPG belum
tergambarkan dan rendahnya kapasitas FPG dalam pelaksanaan PUG di setiap SKPD. Untuk
itu posisi FPG harus ditetapkan secara tegas yakni pejabat dari unsur perencana dan unsur
teknis di setiap SKPD, yang besaran jumlahnya disesuaikan kebutuhan. Adapun susunan
Pokja dan FPG seperti terlampir. Perlu dilakukan capacity building bagi FPG agar mereka
memiliki kemampuan teknis PUG guna membantu tugas dan fungsi Pokja PUG disetiap
SKPD. Oleh karena itu Pemerintah Daerah, Kementerian/Lembaga Teknis dan KNPP perlu
memfasilitasi capacity building bagi FPG dan Pokja PUG disetiap provinsi dan
Kabupaten/Kota.

Permendagri No. 15 tahun 2008, Pasal 11 tentang Tim Teknis tidak disebutkan unsur-
unsurnya, sehingga menyulitkan rekrutmennya sesuai dengan kapasitas yang diharapkan.
Untuk itu Tim Teknis harus disebutkan secara tegas unsur-unsur Tim Teknis dari TAPD (Tim
Anggaran Pemerintah Daerah) dan PSW/PSG. Selain itu struktur Pokja PUG belum
melibatkan Tim Pakar Gender dari Perguruan Tinggi yang berperan membantu Pemerintah
Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 PP No. 8 tahun 2008. Untuk itu perlunya
melibatkan unsur perguruan tinggi (PSW/PSG) dan lembaga riset lainnya sebagai Tim Pakar
Gender dalam struktur Pokja dimaksud. Oleh sebab itu Pasal 11 perlu direvisi yang
mempertegas unsur Tim Teknis PUG. Dengan demikian KNPP perlu mengkomunikasikan
kepada Depdagri agar Pasal 11 dapat direvisi guna memenuhi kebutuhan daerah.

Posisi dan peran stakeholders belum diatur secara jelas dalam Permendagri No. 15 tahun
2008. Untuk itu perlu pasal khusus yang mengatur posisi dan peran stakeholders dalam Pokja
PUG.
Dalam Permendagri No. 15/2008 kurang memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
pembentukan Pokja PUG oleh karena itu pada pasal 29 perlu ditambah ayat baru untuk
mengembangkan struktur kelembagaan PUG sesuai dengan kebutuhan daerah.

Dalam konsideran Permendagri No. 15 tahun 2008 belum dicantumkannya PP Nomor 41


Tahun 2007. Oleh karena itu PP Nomor 41 Tahun 2007 perlu dicantumkan dalam konsideran
Mengingat, karena itu mengatur eksistensi SKPD Pemberdayaan Perempuan yang
melaksanakan urusan wajib Pemberdayaan Perempuan.

Jika Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tidak segera direvisi sebagaimana hal-hal diatas,
maka Permendagri tersebut tidak akan berjalan efektif sehingga dapat menghambat
percepatan pelaksanaan PUG. Revisi tersebut agar dilakukan secepat mungkin sesuai
masukan dari SKPD PP dari seluruh Provinsi. Dalam proses revisi Permendagri Nomor 15
Tahun 2008 agar melibatkan KNPP dan SKPD Pemberdayaan Perempuan Daerah. Untuk
mendukung pelaksanaan revisi tersebut, maka Pemerintah Provinsi perlu mengirim surat
kepada Mendagri tembusan kepada Menneg PP tentang usulan revisi Permendagri Nomor 15
Tahun 2008.

Peran Perguruan Tinggi melalui PSW/PSG dalam Pelaksanaan PUG di Daerah.

PSW/PSG sebagai bagian dari Perguruan tinggi mempunyai peran dan tugas melaksanakan
Tri Dharma Perguruan Tinggi. Untuk dharma pertama dari perguruan tinggi yaitu pendidikan
dan pengajaran dilaksanakan secara terintegrasi oleh perguruan tinggi masing-masing. Dalam
hal ini PSW/PSG proaktif dalam mendorong terlaksananya pembelajaran berperspektif
gender. Dalam upaya percepatan pelaksanaan pengarusutamaan gender dan penyusunan
anggaran yang responsif gender di daerah, PSW/PSG membantu daerah melalui dharma
kedua dan ketiga yaitu penelitian dan pengabdian masyarakat.

PSW/PSG sebagai salah satu lembaga penelitian dalam perguruan tinggi mampu melakukan
analisis data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan statistik gender terkait dengan
pencapaian MDGs dan isu lokal daerah. Untuk menciptakan kebijakan yang responsif gender
di daerah, PSW/PSG melakukan penelitian kebijakan, baik kebijakan yang sudah berjalan
maupun penyusunan kebijakan yang baru dengan mempertimbangkan kepentingan
perempuan dan laki-laki secara adil. Perlu dibangun kerjasama antara PSW/PSG dengan
pemerintah daerah dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan monitoring
dan evaluasi.

Upaya pelaksanaan PUG telah dilakukan sejak diterbitkannya Inpres No. 9/2000, tentang
PUG dalam Pembangunan Nasional. Namun masih sedikit informasi tentang efektifitas dari
pelaksanaan PUG di daerah. Untuk itu perlu segera dilakukan evaluasi pelaksanaan PUG di
SKPD yang dapat dilakukan oleh Bappeda sesuai dengan tupoksinya, bekerjasama dengan
PSW/PSG.
Salah satu tantangan yang dihadapi daerah untuk mempercepat pelaksanaan PUG adalah
belum optimalnya komitmen para pengambil keputusan dan kemampuan pelaksana program
dalam menyusun kebijakan dan anggaran yang responsif gender. Untuk itu PSW/PSG dalam
perannya melakukan pengabdian masyarakat memberikan advokasi bagi para pengambil
keputusan di DPRD maupun pimpinan SKPD serta memberikan bantuan teknis bagi
pelaksana program dan membantu pengembangan materi advokasi dan pendampingan.

Upaya Strategis dalam Percepatan Pelaksanaan PUG di Daerah.

Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG di SKPD perlu dilakukan berbagai langkah
strategis yang meliputi penyusunan data terpilah, perencanaan dan penganggaran yang
responsive gender, dukungan peraturan daerah dan kelembagaan pengarusutamaan gender.

Data terpilah

Dalam rangka penyusunan data terpilah menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang
menggambarkan situasi dan kondisi laki-laki dan perempuan, yang dapat digunakan sebagai
bahan pengambilan keputusan bagi pimpinan SKPD. Keberadaan FPG disetiap SKPD perlu
dibentuk, guna membantu penyusunan data terpilah dan menunjang percepatan pelaksanaan
PUG di SKPD. Maka dari itu SKPD perlu melibatkan BPS, PSW/PSG dan lembaga
masyarakat guna menyusun kegiatan data terpilah.

Perencanaan dan Penganggaran

Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG perlu disusun perencanaan dan penganggaran
yang responsive gender di SKPD. Namun para perencana belum semuanya paham dan
trampil dalam mengintegrasikan isu gender ke dalam kebijakan, program, kegiatan dan
penganggaran yang responsive gender. Untuk mengacu pada tujuh kementerian/lembaga
yang akan dijadikan percontohan perencanaan dan penganggaran responsive gender, maka
perlunya penetapan beberapa SKPD sebagai Pilot Project. Untuk itu perlu dilakukan Capacity
Building ARG bagi aparat perencana program guna meningkatkan kemampuan dalam
penyusunan RPJMD, RKPD dan Renstra SKPD yang responsif gender yang dimotori oleh
Bappeda.

Peraturan daerah

Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG di daerah perlu didukung Peraturan Daerah yang
responsive gender. Oleh sebab itu setiap provinsi dan kabupaten/kota perlu mengkaji ulang
terhadap peraturan-peraturan daerah yang bias gender yang menghambat pelaksanaan PUG
dan senantiasa memfasilitasi penyusunan Perda yang responsive gender. Untuk itu SKPD
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dapat melakukan langkah-langkah strategis dan
teknis guna tersusunnya Perda yang responsive gender yang mendukung percepatan
pelaksanaan PUG.

Kelembagaan

Dalam rangka percepatan PUG, maka setiap SKPD pemberdayaan perempuan perlu
membentuk kelembagaan PUG yakni berupa kelompok kerja pengarusutamaan gender yang
keanggotaannya dari unsur pimpinan unit kerja SKPD provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu
disetiap unit kerja SKPD perlu dibentuk Focal Point Gender guna membantu tugas pokok dan
fungsi Pokja PUG guna menyusun kebijakan, program, kegiatan dan penganggaran yang
responsive gender. Dalam proses pembentukan Pokja PUG dan FPG perlu konsultasi dengan
Biro Organisasi dan Tatalaksana, Provinsi, Bagian Organisasi, Talaksana kabupaten/kota.

Peningkatan Kinerja KNPP Dalam Melakukan Percepatan Pelaksanaan PUG.

Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG, maka peningkatan kinerja KNPP sangat
diperlukan sebagai penggerak utama nasional dan daerah. Peningkatan kinerja itu meliputi
hal-hal sebagai berikut:

Perumusan Kebijakan:

Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG di K/L dan SKPD perlu disusun berbagai hal
yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Untuk itu perlu
keterlibatan pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, penyusunan instrumen, KIE
yang mengacu pada Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan.
Keterlibatan itu sangat penting karena dapat menyesuaikan kebutuhan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing lembaga.

KNPP dapat memfasilitasi dalam membuat buku saku tentang pelaksanaan ARG disetiap
bidang pembangunan yang dapat dijadikan acuan baik oleh K/L dan SKPD. KNPP perlu
menetapkan standar pelayanan tentang pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh mitra
kerjanya yang disertai dengan indikator yang jelas.

Berbagai kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penguatan pelaksanaan pengarusutamaan


gender ada yang belum terimplementasikan hingga ke aparat desa seperti UU Perlindungan
Anak, UU Perdagangan Orang dan UU Pornografi, serta peraturan perundangan lainnya.
Oleh karena itu KNPP bekerjasama dengan K/L dan SKPD, sesuai dengan tupoksinya perlu
mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tersebut.

Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan :

Pelaksanaan koordinasi antara KNPP dengan K/L intensitasnya perlu lebih ditingkatkan dan
K/L dengan jajaran instansi vertical maupun fungsional di daerah. Hal itu diperlukan agar
pelaksanaan PUG antara K/L dan SKPD dapat lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan
pengarusutamaan gender.

Setiap K/L masih agak sulit dalam melaksanakan pengarusutamaan gender di setiap unit kerja
karena dihadapkan pada rendahnya pemahaman gender sebagai strategi pembangunan. Untuk
itu KNPP perlu meningkatkan intensitas koordinasi dengan K/L.

KNPP juga perlu membuat suatu forum khusus PSW dalam rangka diseminasi hasil
penelitian gender sebagai masukan penyusunan kebijakan.
KNPP perlu bekerjasama dengan Depdiknas dan Depag untuk memfasilitasi diseminasi
gender dan KKG pada forum Rektor.

Perlu adanya koordinasi antara Depdagri dan KNPP, provinsi, kabupaten dan kota pada setiap
pembuatan Perda yang terkait dengan pemberdayaan perempuan. Hal ini dilakukan agar tidak
terjadi distorsi dan salah pengertian antara kebijakan yang dikeluarkan oleh K/L dan
Pemerintah Daerah.

Monitoring dan evaluasi:

Belum adanya instrumen Monev yang jelas sehingga hasilnya belum terukur. Oleh sebab itu
perlu dilakukan Monev dengan instrumen yang tepat sehingga dapat diketahui isu-isu gender
dan peta kekuatan dan kelemahan dalam pelaksanaan PUG di K/L dan Daerah.

KNPP perlu meningkatkan koordinasi, fasilitasi, dan perlu memahami kesulitan masing-
masing daerah, karena daerah memiliki karakteristik permasalahan yang berbeda dengan
daerah-daerah lainnya.

Daerah tidak pernah mengetahui hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh KNPP,
sehingga daerah tidak tahu apa yang harus diperbuat oleh daerah dalam memperbaiki kinerja
pelaksanaan Pengarusutamaan Gender.

Usulan baru

Perubahan Nama KNPP :

Dalam Kabinet baru hasil Pemilu Presiden tahun 2009, nomenklatur Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan diusulkan diubah dengan nomenklatur Kementerian Negara
Peranan Perempuan dan Perlindungan Anak (The state ministry of women empowerment and
child protection)

Untuk meningkatkan status hukum Inpres No. 9 Tahun 2000, maka perlu melakukan kajian
akademik guna mempersiapkan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).

Publikasi kegiatan tahunan oleh KNPP setiap tahun , termasuk data terpilah tentang kualitas
hidup perempuan, dan kasus-kasus KDRT, TP2O, dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia),
IPG (Indeks Pembangunan Gender) dan IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) perpropinsi se
Indonesia yang bisa diakses melalui website. Mitra KNPP (fokal point, K/L, Bappeda, PSW,
PSG memberikan feed back ke KNPP)

Demikian beberapa hasil rekomendasi dari forum Rakornas Percepatan Pelaksanaan PUG
tahun 2009 yang diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait.
POLITIK BIROKRASI DI LAMPUNG

(Studi Implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007

di Pemda Kota Bandar Lampung)

Oleh:

Drs. Hi. Aman Toto Dwijono,.M.H

POLITICAL BUREACRACY IN LAMPUNG

(The Study to the Implementation of PP.41 Tahun 2007 in

Bandar Lampung’s Local Major Office)

By

Drs. Hi. Aman Toto Dwijono,.M.H

Abstract

This is a desk evaluation research through political bureaucracy in Bandar Lampung.


There are many factors in which influences the pattern of bureaucrat promotion.
Ideally, the merrit system  could be implement, but in some cases has shown that the
promotion process is still influenced by political intervention. For example, the
implemantation of PP NO.41 Tahun 2007. This research applied the mix research
method (both quantitative and qualitative approach). The primary data collects from
the in-depth interview from the bureaucrat. This research shown that the promotion
process still has political intervention. Based on that the researcher suggest that in the
future any more formal system for the promotion process, the fit and proper test should
be included in every bureacrat promotion process.

Keywords: Promotion, Politics and Bureaucracy

Penelitian ini adalah sebuah “desk evaluation” terhadap politik birokrasi di Lampung
studi pada Pemerintah Kota Bandar Lampung. Banyak factor yang mempengaruhi
pola promosi pejabat dalam birokrasi. Idealnya system merit dapat berjalan dengan
baik akan tetapi beberpa kasus promosi menujukkan bahwa penempatan pejabatn
masih banyak diwarnai dengan intervensi politik. Contoh kasus yang diambil adalah
implementasi PP NO. 41 Tahun 2007. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dimana data utama diambil dari hasil wawancara dengan pejabatn terkait.
Penelitian menemukan bahwa dalam promosi jabatan masih terdapat intervensi politik
oleh sebab itu peneliti menyarankan perlu adanya system yang lebih baku melalui
mekanisme fit dan proper test yang lebih adil dalam setiap promosi jabatan.

Kata Kunci: Promosi, Politik dan Birokrasi

1. I. PENDAHULUAN
Implementasi PP NO.41 Tahun 2007 mengenai  Organisasi Perangkat Daerah (OPD) 
membuat para birokrat  tersebut tidak bisa tidur dalam suasana yang lelap. Entah disengaja
atau tidak gejala ini?  perubahan paradigma ini ternyata juga melanda birokrat di Lingkungan
Pemda Kota Bandar Lampung. Semua menjadi tegang menanti dalam ketidakpastian antara
tetap dipertahankan atau tidak dalam skema Organisasi Perangkat Daerah yang baru oleh
Baperjakat Pemkot Bandar Lampung.  Ketakutan akan pergeseran posisi karena perubahan
struktur Organisasi Perangkat Daerah akibat implementasi PP 41 seolah-olah menjadi mimpi
buruk bagi yang tergeser akan tetapi hal tersebut juga di lain sisi menjadi sebuah berkah buat
yang kemudian dapat posisi lebih baik dari sebelumnya.

Berbagai kendala mengenai tidak efisiennya struktur birokrasi kemudian membuat


Pemerintah Pusat mengundangkan PP NO. 41 Tahun 2007 mengenai Organisasi Perangkat
Daerah menggantikan Peraturan yang lama hal ini kemudian membuat OPD Provinsi,
kabupaten dan kota diseluruh Indonesia mengalami perubahan baik dari sisi teknis maupun
substansi.

Secara umum unsur perangkat daerah kabupaten ataupun kota terdiri atas 6 unsur, yaitu unsur
staf yang merupakan bagain dari sekretariat daerah, unsur perencanaan  yang berada pada
dibawah pengawasan Bapedda, unsur pelaksana yang merupakan dinas-dinas daerah, unsur
pendukung yaitu badan-badan daerah, unsur pengawas yang merupakan bagian dari kantor
inspektorat dan sekretariat DPRD. Keenam unsur ini harus saling bersinergi untuk
menjalankan peran dan fungsi pemerintahan di daerah.

Menimbang begitu pentingnya pengaturan terhadap keenam unsur tersebut maka pemerintah
pusat selalu memberikan perhatian lebih terhadap persoalan-persoalan kelembagaan pada
level pemerintahan di daerah. Perhatian yang super lebih ini pula yang kemudian sering
sekali pemerintah pusat mengganti PP sejenis dalam rentang waktu yang tidak begitu lama
dan harus dipertanyakan ada ketidak-jelasan motif teknis disebalik pergantian PP sejenis
tersebut.

Terkait dengan hal tersebut diatas, pada bagian lain, beberapa harian lokal menampilkan foto-
foto pelantikan para pejabat baru esselon III dan IV di Lingkungan Pemkot Bandar Lampung.
Kemudian juga diikuti dengan beberapa daerah lainnya. Sebuah fenomena restrukturisasi
besar-besaran ala PP NO. 41 menjadi tema penting birokrasi pemda Kabupetan/Kota di
Lampung minggu-minggu ini.

Secara umum restrukturisasi pasti diawali dengan niatan baik oleh Pemerintah Pusat untuk
mewujudkan struktur birokrasi yang lebih baik, akan tetapi terdapat beberapa masalah yang
timbul akibat pelaksanaan PP NO. 41 Tahun 2007 ini setidaknya terdapat 3 (tiga) masalah
krusial yang timbul akibat dari implementasi PP ini.

Pertama, subjektifitas penempatan pejabat, secara umum penempatan pejabat dalam konteks
pemerintahan pusat/daerah melewati beberapa mekanisme salah satu mekanisme yang tidak
akan dilewatkan adalah baperjakat. Secara teknis, penempatan pajabat daerah akan dinilai
lebih  objektif jika peran baperjakat juga dapat objektif dalam melakukan penilaian terhadap
siapa-siapa saja yang berhak untuk ‘menduduki’ jabatan tertentu dalam birokrasi.

Kedua, secara umum restrukturisasi birokrasi pemda juga akan sangat mengganggu
penyelenggaraan pemerintahan. Setiap dinas, kantor, badan, kecamatan sampai dengan
kelurahan sibuk untuk membenahi persoalan nomenklatur dan struktur pejabat internal
masing-masing, ditambah lagi dengan kebiasaan kerja birokrasi pemda yang terkenal lambat
dan penuh dengan slogan jika bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Sebagai contoh
misalkan, seorang teman yang baru pindah dari daerah lain memerlukan waktu lebih dari 2
minggu hanya untuk mengurus kepemilikan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Bandingkan
dengan Kabupaten Sragen yang mampu memberikan pelayanan super cepat untuk
pengurusan pembuatan KTP baru.

Ketiga, adalah persoalan tarik menarik kepentingan penempatan pejabat pasca


diundangkannya PP NO.41 Tahun 2007 yang jauh dari logika the right man in the right
position. Setelah diamati lebih detail hubungan transaksional politik tidak hanya terjadi di
Partai Politik saja, dalam tubuh birokrasi di era Pemilihan Kepala Daerah secara langsung
pun ternyata yang lebih mementingkan hasil dari transaksi politik tersebut dibandingkan
dengan kemampuan personal dalam menjalankan tugas sebagai birokrat. Dan momentum
restrukturisasi ala PP 41 juga merupakan bagian dari pembuktian bahwa memang telah terjadi
hubungan transaksional tersebut sehingga kedepan akan lebih sering terdengar slogan
orangnya bupati/walikota, wakil dsbnya dibandingkan dengan slogan kerja baik pasti posisi
baik.

Pada point inilah sebenarnya titik krusial masalah, dimana letak netralitas para birokrat dalam
tubuh birokrasi? Adakah jaminan atau siapakah yang dapat menjamin bahwa birokrasi tidak
tersentuh oleh kekuasaan? Negeri ini sudah menjadi sangat absurd dimana yang samar-samar
seolah-olah sebuah kenyataan sementara yang nyata tidak terlihat. Akhirnya, andai semua
birokrat di negeri ini mempunyai hati seperti tokoh Fahri dalam film ayat-ayat cinta yang
selalu berbuat baik, berpikir positif serta tidak mengharapkan imbalan dari kebaikan yang
diperbuat maka negeri ini akan menjadi sebuah negeri yang lebih maju dan sejahtera, mudah-
mudahan kita akan menemukannya kelak. Oleh sebab itu menarik untuk melihat,
Bagaimanakah politik birokrasi penempatan pejabat pasca PP NO.41 Tahun 2007 di
Pemerintah Kota Bandar Lampung?

1. II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, karena peneliti berencana


melakukan pengamatan terhadap politik birokrasi penempatan . pejabat pasca PP NO.41
Tahun 2007 di Pemerintah Kota Bandar Lampung. Metode deskriptif, adalah suatu bentuk
menerangkan hasil penelitian yang bersifat memaparkan sejelas-jelasnya tentang apa yang
diperoleh dilapangan, dengan cara peneliti melukiskan, memaparkan, dan menyusun suatu
keadaan secara sistematis sesuai dengan teori yang ada untuk menarik kesimpulan dalam
upaya pemecahan masalah. Sumber informan yang akan diwawancarai oleh peneliti dalam
penelitian ini terdiri atas 14 (Empat Belas) orang informan yang terdiri atas,  Ketua BKD
Kota Bandar Lampung,  2 (Dua) orang kepala satuan kerja di Lingkungan Pemerintah Kota
Bandar Lampung,  1 (Satu) orang pejabat yang mengalami promosi dan tidak promosi.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam mengungkap masalah penelitian ini
adalah “suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian (Nazir:1998).

1. III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Peninggalan Kolonial : Patologi Birokrasi Politik Di Indonesia

Kata kolonialisme menurut Oxford English Dictionary berasal dari kata Romawi yaitu
colonia yang berarti tanah pertanian atau pemukiman dan mengacu kepada orang romawi
yang bermukim di negeri-negeri lain akan tetapi masih mempertahankan status
kewarganegaraannya.  Menurut Lomba (2003) kolonialisme tidaklah selalu berarti adanya
suatu pertentangan antara rakyat ataupun adanya penaklukan atau dominasi. Kolonialisme
bukanlah suatu proses “membentuk komunitas baru” akan tetapi dimanapun wujudnya
kolonialisme selalu meninggalkan hubungan-hubungan yang kontradiksi dan traumatik antara
penduduk pribumi dengan pendatang baru.

Data menunjukkan sejak tahun 1930-an, kolonialisme telah menguasai lebih dari 84,6 %
permukaan bumi. Banyak strategi yang digunakan bangsa koloni untuk menguasai daerah
koloninya. Pada zaman sekarang kolonialisme bisa saja diartikan sebagai penaklukan dan
penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain.

Kolonialisme dalam pengertian ini bukan hanya perluasan berbagai kekuasaan Eropa
memasuki Asia, Afrika atau benua Amerika daripada abad ke-16 dan lainnya. Kolonialisme
telah merupakan suatu pemandangan yang berulang dan tersebar luas dalam sejarah manusia.

Pemerintahan kolonial langsung, tidak diperlukan untuk imprealisme dalam konteks


pengertian ini (Lomba:2003), oleh karena hubungan-hubungan ekonomi dan sosial
ketergantungan dan kendali memastikan tersedianya buruh serta pasar bagi industri dan
barang-barang eropa. Banyaknya masyarakat dengan ras campuran  di Amerika Latin
misalnya merupakan salah satu akibat dari perkawinan campuran antara masyarakat pribumi
dan kaum kolonial.

Hal ini juga yang menyebabkan banyak masyarakat pribumi menjadi warga negara kelas dua
di daerahhya sendiri seperti aborigin di Australia dan Suku Indian di Amerika Serikat. Dalam
konteks yang lain misalnya praktek-praktek kenegaraan negara-negara yang pernah terjajah
membangun konstruksi struktur dan kulturnya dengan banyak dipengaruhi dan meniru negara
yang pernah menjajah.

Hal lain yang paling penting adalah bagaimana kita memahami makna serta bentuk ilmu
kolonial, untuk itu kita harus memahami metodelogi ilmu kolonial yang menghimpun fakta
dan informasi. Dengan menggunakan motodelogi tersebut para penjajah berhasil untuk
melakukan kolonialisasi. Menurut Profesor Shamsul A.B (1992) dari Institut Kajian
Oksidental (IKON) UKM, ilmu kolonial melibatkan metodelogi yang rumit dan terperinci
yang bersifat positivistik. Menurut Shamsul (1992) metodelogi yang digunakan untuk 
menjalankan kolonialisme adalah sebagai berikut:

1. Menguasai bahasa pribumi, dengan menguasai bahasa lokal menjadikan penjajah


mampu berkomunikasi dengan masyarakat pribumi setempat.
2. Menjalankan survei untuk mengumpulkan informasi terperinci bukan saja mengenai
kehidupan sosial masyarakat pribumi bahkan juga informasi mengenai alam sekitar
fisik masyarakat berkenaan.  Berbagai bentuk peta, daftar serta laporan resmi
merupakan hasil dari survei ini. Hal ini yang menjadikan pemerintah kolonial
mendapat gambaran terperinci tentang alam sosial dan fisik masyarakat pribumi
setempat.
3. Mengumpul informasi statistik mengenai tanah jajahan melalui kegiatan sensus.
Untuk itu berbagai kategori sosial diperkenalkan bagi mengklasifikasikan  manusia
kepada kelompok-kelompok yang mudah dikenal.
4. Menyimpan berbagai bahan dan artefak yang di ambil dari survei dan sensus tersebut
untuk dipamerkan dan dipertontonkan di museum, kebun binatang, taman bunga, dan
koleksi pribadi. Hal ini berguna untuk membuktikan kepada masyarakat yang dijajah
tentang sejarah serta kedudukan peradaban pribumi dalam konteks evolusi dan hirarki
peradaban dunia.
5. Untuk membuat suatu sistem identifikasi dan intelejen atau surveillance dan
intelligence yang dianggap perlu bagi menjamin kestabilan politik pemerintahan
colonial tersebut, sekaligus pihak mayoritas masyarakat jajahan, oleh karena
dianggapkan dalam masyarakat pribumi yang terjajah itu hadir berbagai anasir jahat
dan subversif biarpun bersifat minoritas yang membahayakan. Sistem
mengidentifikasi identitas resmi seseorang dengan menggunakan cap jari, kartu
pengenalan dan sebagainya adalah memenuhi tuntutan keselamatan ini.
6. Membentuk suatu kepustakaan historiografi yang dicap sebagai hak milik pribumi
yang kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk dipertontonkan secara mass
consumption melalui sistem pendidikan kolonial guna dihayati oleh masyarakat
pribumi sebagai sejarahnya.

Praktek korupsi juga merupakan praktek dalam dunia birokrasi yang lazim dilakukan pada
masa kolonisasi Belanda, sebagai contoh bagaimana para mandor antek-antek Belanda kala
itu melakukan pemotongan upah terhadap para budak terjajah. Terdapat tesis yang
menyatakan bahwa prilaku birokrasi korup antara negara yang pernah terjajah oleh Belanda
dengan negara yang pernah terjajah Inggris sangatlah timpang, secara indeks angka saja yang
pernah diterbitkan oleh Transperancy International, negara yang pernah dijajah oleh kolonial
Belanda mempunyai reputasi yang buruk dibandingkan negara yang pernah diajajah oleh
Inggris.

Sebagai contoh, dua tetangga jiran kita Singapura dan Malaysia yang pernah dijajah oleh
koloni Inggris berada pada posisi jauh lebih baik dalam indeks peringkat korupsi. Hal ini
tidaklah mengherankan sebab secara administrasi orang-orang Inggris lebih teratur dan rapih 
berbading dengan orang-orang Belanda. Thus hal ini juga merupakan bagian dari fakta
peninggalan kolonial. Dalam konteks lain yang juga merupakan penyebab berkembangnya
korupsi paska kolonial adalah ketidakmampuan dalam bidang administrasi atau manajemen
yang terlalu “kaku” dalam sebuah negara.

Dengan uang semua permasalahan dapat diatasi, akan tetapi bagi masyarakat miskin korupsi
menjadi penyebab yang menjadikan mereka terus hidup dalam kemiskinan. Secara politik
kaum miskin tidaklah memiliki akses politik untuk melakukan gugatan terhadap elit yang
melakukan korupsi. Pola-pola seperti ini yang pada masa kolonialisme dahulu digunakan oleh
penjajah bagi terciptanya stabilitas sistem birokrasi dan elitisme mereka.

Mengutip pendapat Gunnar Myrdal, Schoorl kembali menjelaskan bahwa korupsi dan
nepotisme lebih banyak dilakukan pada negara-negara sedang membangun yang wujudnya
adalah negara-negara bekas kolonial dibandingkan dengan  negara-negara yang telah maju.
Gunnar Myrdal pula menjelaskan bahwa fenomena di Asia Selatan misalnya, korupsi
merupakan sarana untuk mempercepat prosedur administrasi akibatnya kaum miskin yang
paling menderita, apalagi mereka tidak mempunyai sarana untuk menuntut keadilan atau
untuk melindungi diri dari penghisapan.  Dengan melihat beberapa kendala yang ada dalam
tubuh birokrasi kita masih tetapkah kita optimistis terhadap implementasi Prinsip-Prinsip
Good Governance di Indonesia?

Menurut Penelitian ada tiga hal yang menyebabkan mengapa Birokrasi di negara berkembang
tidak bisa independen dalam pelaksanaan tugasnya ketiga hal tersebut adalah :
1.  Birokrasi di negara berkembang  yang seharusnya hanya memanfaatkan infrastruktur
tetapi “dipaksa” untuk secara simultan menyediakan infrastruktur.

2. Birokrasi di negara berkembang yang seharusnya tidak berkecimpung dalam dunia Politik
tetapi dalam kenyataannya  “ dipaksa” untuk memobilisasi massa dalam kegiatan-kegiatan
Politik.

3. Profesionalitas, Spesialisasi serta etos kerja yang rendah menyebabkan dalam


pelaksanaannya terjadi tumpang tindih Pekerjaan antara institusi yang satu dengan lainnya
tampa adanya sebuah format yang jelas dan pemabagian kerja yang ideal.

Dan hal ini menjadi sebuah  bahan kajian yang menarik ketika kita coba komparasikan teori-
teori idealnya sebuah birokrasi dengan kenyataannya di Indonesia. Public Service yang
seharusnya menjadi tema besar dan sentral timbulnya sebuah birokrasi namun dalam
perjalanannya  menjadi sebuah teori diatas kertas saja.

Dalam Konteks Birokrasi Modern Profesionalitas merupakan  sebuah keharusan dimana


sebuah profesionalitas imbasnya akan melahirkan kerja-kerja yang bertanggung jawab.

Dan dalam  birokrasi di Indonesia fakta sejarah menyebabkan kenapa kemudian dalam
tataran kerjanya birokrat-birokrat di negara ini tidak mempunyai profesionalitas kerja yang
maksimal   kebiasaan (Habitually) untuk tidak melaksanakan kerja tepat waktu adalah fakta
sejarah yang tak dapat dipungkiri dan hal ini kemudian berpengaruh pada efisiensi kerja
birokrasi negara. Tidaklah mengherankan ketika terjadi  Penggemukan (Fating) Birokrasi di
tubuh Birokrasi Indonesia dikarenakan inefisiensi kerja. Dan kemudian akan  sulit
menciptakan intensitas kerja serta profesionalisme yang tinggi.

Terlepas dari kondisi objektif kekuatan politik sebenarnya wacana Good Governance dengan
ciri

(1) Akuntabilitas Publik, pertanggung-jawaban yang dituntut disini adalah baik secara
materil maupun immateril artinya ada sebuah abstraksi batasan tentang proses pertanggung-
jawaban tersebut kepada publik misalnya adanya tolak ukur secara kunatitatif mengenai
progresifitas kinerja birokrasi Pemerintah Daerah

(2) Transparansi, media massa adalah sarana yang tepat untuk melakukan proses
transparansi artinya kerja-kerja birokrasi pemerintah harus menyentuh semua lapisan
masyarakat secara informatif

(3) Profesionalitas Kerja, bekerja sesuai dengan basis keilmuan menjadi  penting karena
tolak ukur kinerja birokrasi daerah  dikatakan berhasil diukur melalui output serta outcome
yang dihasilkan

(4) Jiwa Wirausaha, bukan berarti  para birokrat harus dapat memahami seluk beluk bisnis
namun pengertian disini adalah dalam hal para birokrat dituntut dapat menyediakan  dan
mencari Infrastruktur negara  untuk diolah bukan hanya menjalankan kerja-kerja infrastruktur
negara-ansi.  Keempat hal tersebut   adalah solusi terbaik untuk merentas kesalahan historis
birokrasi era Orde Baru.
Dan  hal tersebut bisa terlaksana dengan baik dengan asumsi adanya sebuah benang merah 
antara wacana Good Governance dengan Kontrol Sosial artinya peran serta masyarakat
sebagai tujuan akhir dari makna birokrasi bisa berperan sebagai pengontrol dari kerja
birokrasi,  sehingga apapun yang dilakukan selalu tidak lepas dari kontrol masyarakat dengan
sedikt argumentasi bahwa aksi akan selalu menghasilkan reaksi, sederhananya bahwa kerja
untuk rakyat akan direspon balik oleh rakyat, Idealnya.

Untuk memperbaiki ini semua harus ada reformasi yang menyeluruh di tubuh Birokrasi baik
secara Struktural maupun  Budaya tampa menghilangkan bukti konkrit bahwa Birokrasi Di
Indonesia mempunyai model dan gaya kerja tersendiri.

Politik Birokrasi : Kasus Pemkot Bandar Lampung

Demokrasi lokal bermula akhir abad ke -12 ketika Raja Inggris Richard I berada di luar
negeri, Hurbert Walter pejabat eksekutif  mengambil keputusan politik penting melaksanakan
(Wewenang) Perdamaian Raja dengan bertumpu pada dukungan masyarakat desa dan kota.
Dengan terjaminnya peramaian internal maka terbukalah pada abad ke 13 untuk
mengembangkan Pemerintahan Parlementer.

Parlemen yang awalanya  berasal dari lembaga-lembaga lokal melalui serangkaian


pertarungan pada tahun 1832, 1867, 1888, 1918 dan 1928 bukan saja berhasil menggeser
posisi raja atau ratu  tetapi menjadikan Inggris menjadi negara Demokrasi Parlementer pada
tataran inilah demokrasi lokal diberi peluang untuk mempengaruhi sistem politik Nasional.

Dalam realitas Indonesia sebenarnya banyak konsep demokrasi lokal yang itu merupakan
asset bangsa untuk dibangkitkan kembali melewati romantisme sejarah, Konsep Nagari di
Minang misalnya salah satu investasi  dalam formulasi Demokrasi lokal dimana Ranah
Minang di bagi dalam beberap Nagari dan masing-masing Nagari tersebut mempunyai
indepedensi nilai dalam persepektif Administrasi, Politik serta Ekonomi terhadap Ranah
Minang itu sendiri secara struktural  Nagari akan menolak Koordinasi kekuasaan yang
bersifat Vertikal sehingga kegagalan Bupati Tanah Datar ssat itu untuk mernovasi pasar
adalah buktinyata dari indepedensi Nagari.

Konsep ini memang mirip dengan Federalisme maka sangatlah tidak mengherankan ketika
pemikiran federasi para founding fathers Indonesia banyak datangnya dari Ranah Minang
seperti Mohammad Hatta, Sjahrir, Natsir.  Artinya sejarah kita berbicara  bahwa 
pembentukan demokrasi lokal  dalam konteks Indonesia sebenarnya adalah minimalisir
intervensi Kekuasaan Pusat terhadap Ide-ide Kemajemukan serta Pluralisme daerah, yang
pada akhirnya demokrasi lokal sebenarnya bermakna Local Self Government.

Tantangan masa depan demokrasi negeri ini adalah bagaimana mendorong berlangsungnya
proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai sipil . Dengan kata lain
tantangannya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat masyarakat beradab
benar-benar menjadi pandangan hidup. Menurut Nurcholish Madjid pandangan hidup
berdemokrasi adalah sebagai berikut:

1.Pentingnya kesadaran kemajemukan atau pluralisme lebih dari itu kesadaran kemajemukan
atau pluralitas menghendaki tanggapan positif atas kenyataan pandangan kemajemukan
tesebut secara aktif.
2. Dalam peristilahan Politik negara kita dikenal dengan istilah musyawarah. Semangat
musyawarah menuntut kesediaan para pesertanya untuk menerima kemungkinan terjadinya
partial function of ideals yaitu prinsip bahwa dalam demokrasi belum tentu dan tidak harus
semua keinginan dapat terakomodir  dan terlaksasn sepenuhnya.

3.Ungkapan tujuan mengahalalkan cara mengisyaratkan suatu kutukan kepadaorangyang


berusaha meraih tujuannya dengan cara yang tidak perduli dengan pertimbangan moral.

4. Permufakatan yang jujur dan sehat adalah  hasil akhir musyawarah yang jujur dan   sehat
dan ini adalah tuntutan untuk para pemegang kekuasaan .

5. Demokrasi adalah bukan sesuatu yang jatuh dari langit namun pasti ada konsep trial and
error, justru lewat hal inilah kemudian fase demokrasi terlewati untuk memahami konsep
demokrasi tersebut.

Pembangunan Demokrasi lokal akan terwujud jika  segala indepedensi nilai yang terkandung
dalam yuridis formal Otonomi Daerah dilaksanakan dan daerah mampu untuk melaksanakan
otonomi daerah berdasar 5 kondisi strategis ( Ryass Rasyid,1999;98) :

1. Self Regulating Power artinya kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah
demi kepentingan masyarakat di daerah.

2. Self Modifying Power artinya kemampuan melakukan penyesuaian terhadap peraturan


yang ditetapkan secara nasional sesuai kondisi daerah, termasuk melakukan teribosan yang
inovasi kearah kemajuan perkembangan proses demokratisasi di daerah.

3. Creating Local Political Support artinya menyelenggarakan pemerintahan daerah yang


mempunyai legitimasi kuat  dari masyarakatanya dengan mengikutsertakan masyarakat
dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan daerah.

4. Managing Financial Resources artinya mengembangkan kemampuan dalam mengelola


kemampuan dalam mengelola penghasilan dan keuangan daerah.

5. Developing Brain Power artinya pembangunan Sumber Daya Manusia dan aparatur
pemerintah dan masyarakat yang handal sehingga tercipta masyarakat sipil yang mengaku
adanya supremasi hukum.

Salah seorang pendiri Mahzab Frankurt, Jurgen Hubermas menekankan pada pentingnya 
Masyrakat sipil/ Warga Negara untuk memiliki akses terhadap setiap  kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah  agar kebijakan tersebut memperoleh legitimasi politis serta tehnis
disamping juga untuk mewacanakan argumentasi Clean Government  sehingga esensi dari
Government from the people, by the people and for the people akan terwujud.

Standar minimal dari hal tersebut haruslah segera dipenuhi setiap pemerintahan di daerah
dalam sekarang ini, dalam rangka memenuhi kriteria di mulainya konsep transnational
government sebagai salah satu isu-isu globalisasi saat ini.

Dalam buku governance, politics and the state Jon Pierre dan Gerry Stoker ( 2000)
mendefinisikan pemerintahan sebagai pasar (Governance as Market). Pasar selalu dipercayai
sebagai sesuatu konsep yang mengandung banyak pengertian dalam konteks liberalism maka
pemerintahan dianggap sebagai pemegang peran penting dalam pengaturan ekonomi dari
masyarakatnya.

Terkait dengan wacana diatas, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah,dinyatakan bahwa pemerintahan daerah merupakan kerja sama antara pemerintah
daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya. Kerja sama ini diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui salah satunya pelayanan publik yang dilakukan oleh kalangan birokrat.

Konsep pelayanan publik haruslah diterapkan dan disesuaikan dengan jumlah Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang ada di daerah. Jumlah pegawai tersebut tentunya berhubungan
dengan jumlah organisasi perangkat daerah. Agar pelayanan publik tersebut dapat berjalan
secara maksimal maka dibutuhkan peraturan yang mengatur mengenai organisasi perangkat
daerah sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Turunan
UU tersebut yakni PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Dalam hal ini Sekretaris BKD Pemkot Bandar Lampung, Basukarno Sukaryo dalam
wawancaranya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan yang selalu terjadi selalu menuju
kearah pembentukan struktur yang lebih baik:

Sebetulnya tidak begitu. Begitu peraturan turun, disosialisasikan dan diimplementasikan, kita
kan harus cepat menanggapinya. Kedepannya akan ada evaluasi dari pelaksanaan peraturan
ini. Evaluasi ini menimbulkan perbaikan. Seandainya peraturan tersebut diganti dengan yang
baru (memperbarui), paling tidak kita sudah punya dasarnya. Baru kita lihat sebenarnya apa
kebutuhan kita. Negara kita ini besar, keterlambatan kemudian sosialisasi yang belum bisa
dilaksanakan. Jadi wajar jika ada yang memberikan persepsi secara lambat, cepat maupun
sedang. Tergantung kesiapan dari pemerintah daerahnya. Mereka (pemerintah daerah) harus
juga memiliki persiapan-persiapan, baik tenaganya, pemikirannya dan biayanya.

Hanya saja dalam konteks yang lebih luas, ruang dan waktu sosialisasi dari  PP No. 41 tahun
2007 yang dinilai agak lambat dilakukan oleh pemerintah pusat kedepan persoalan ini
hendaknya sudah diantisipasi oleh pemerintah pusat.

Pengaturan mengenai organisasi perangkat daerah yang termaktub dalam PP No. 41 tahun
2007 setidaknya memiliki esensi dasar yakni pengaturan ke arah yang lebih baik. Pengaturan
ke arah yang lebih baik tersebut setidaknya dapat dilihat pada lembaga maupun sumber daya
manusianya. Pengaturan ini mengarah pada good government dan good governance.[1]

Implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 pada Pemerintah Kota Bandar Lampung sudah
dilakukan sejak 10 bulan yang lalu. Kota Bandar Lampung termasuk yang pertama
menerapkan peraturan ini, dibandingkan dengan daerah lain.[2]

Bahkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandar Lampung tahun
2008 sudah mengacu pada PP ini. Sebelum keluarnya PP Nomor 41 Tahun 2007, Pemerintah
Kota Bandar Lampung merasa sudah siap ketika akan melaksanakan peraturan tentang
Organisasi Perangkat Daerah, karena peraturan yang lama (sebelumnya) sudah
diimplementasikan dengan baik. Saat ini Pemerintah Kota Bandar Lampung sedang
bersiapdiri untuk melakukan evaluasi tahap pertama implementasi PP tersebut. Pelaksanaan
PP ini dilakukan di semua hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu hal yang setidak-tidaknya harus melihat pada peraturan ini yaitu proses
penempatan pejabat birokrat. Menurut Basukarno Sunaryo, proses penempatan pejabat
tersebut ada aturan dan persyaratannya, baik misalnya jenjang kepangkatan, pendidikan
(formal maupun non formal), diklat, kursus. Disamping itu pula melihat juga kemampuannya.

Proses penempatan pejabat pada birokrasi pemerintahan daerah haruslah melihat pada banyak
variabel yang mengacu pada persyaratan-persyaratan formal yang telah ditetapkan seperti
pangkat, golongan, karir jabatan, pendidikan (formal maupun informal), sanksi indispliner
yang pernah diterima.

Akan tetapi merujuk pada pandangan Amami Amila, bahwa penataan pejabat tidak mesti
hanya bergantung pada karir ansich, Tidak mesti. Tergantung bagaimana masalahnya.
Penataan pejabat bukan hanya semata-mata karir ansich, tapi juga termasuk di dalamnya
adalah misi-misi yang harus diemban pemerintah daerah termasuk kepala daerah. Jadi, dia
sangat memperhatikan selain aspek kualitas juga aspek-aspek lain seperti aspek relevansi,
aspek komunikasi.

Proses pemilihan pejabat dilakukan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(Baperjakat) Pemerintah Kota Bandar Lampung. Ketika Baperjakat akan melakukan
pemilihan pejabat, maka Baperjakat meminta data Pegawai Negeri Sipil yang ada pada Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandar Lampung. Setelah itu dilakukan proses
penyeleksian calon-calon pejabat. Proses ini melibatkan banyak pihak (sesuai dengan
komposisi anggota yang ada pada Baperjakat).

Akan tetapi rolling juga tidak semata-mata dilakukan karena persoalan penyegaran saja, akan
tetapi ada intervnesi politik antar pejabat yang mempunyai kekuasaan, oleh sebab itu dalam
dimensi tertentu proses politik lebih mendominasi dibandingkan dengan persoalan internal
birokrasi itu sendiri. Akan tetapi proses yang proporsional tetap ada, terdapat sejumlah
pejabat esselon II Pemkot Bandar Lampung memang sepatutnya sudah layak mendapatkan
jabatan tersebut.[3]

Setelah proses ini selesai, maka nama yang direkomendasikan untuk ditempatkan pada
jabatan yang akan diduduki, diajukan kepada walikota selaku kepala daerah. Jadi, selama ini
Baperjakat Pemerintah Kota Bandar Lampung terlihat sudah bekerja secara profesional dan
proporsional. Baperjakat melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan.

Intervensi kekuasaan (orang atau lembaga yang berpengaruh), dinilai tidak ada pada proses
pemilihan pejabat yang akan menempati pos yang baru. Kalaupun ada, hal ini menjadi sah-
sah saja sepanjang calon tersebut berkualitas. Kolusi dan nepotisme masih diterapkan pada
birokrasi pemerintah daerah, khususnya di Kota Bandar Lampung. Namun begitu, kolusi dan
nepotisme tersebut sudah tidak terlalu sama seperti pada Orde Baru.

Ketika Orde Baru, tingkat pengawasan kecil, sehingga proses kolusi dan nepotisme tetap
berlangsung. Pada Orde Reformasi, tingkat pengawasan menjadi semakin kuat, terlebih lagi
dilakukan (secara terus menerus) evaluasi terhadap pemerintahan daerah. Hal ini
menyebabkan kolusi dan nepotisme yang ada menjadi kolusi dan nepotisme dengan orang-
orang yang berkualitas.
Pada proses penempatan pejabat, posisi ideal kepala daerah adalah sebagai pembina yang
memberi pertimbangan tersendiri selain pertimbangan dari Baperjakat, terhadap calon pejabat
tersebut. Kepala daerah bukan hanya sebagai peng-acc masukan dari Baperjakat (menerima
secara mentah-mentah), tetapi juga kepala daerah tersebut melihat sendiri kualitas calon
pejabat yang nantinya akan membantu kerja kepala daerah.[4] Dalam konteks ini artinya
memang factor pendukung seperti kedekatan dan patron juga sangat berpengaruh terhadap
proses penentuan pejabat publik di lingkungan Pemkot Bandar Lampung.

Akan tetapi terdapa hal positif dalam hal ini, bahwa evalusi dilakukan oleh pejabat yang
terkait, dalam konteks Pemerintah Kota Bandar Lampung evaluasi sudah dilakukan tidak lagi
mengikuti logika suka atau tidka suka, dalam hal ini Baperjakat Pemerintah Kota Bandar
Lampung relatif sudah berjalan dengan baik.[5] Apalagi selama ini proses evaluasi internal
sudah mengacu pada Perda baku sehingga tupoksi yang dibuat diharapkan tidak tambal
sulam.

Biasanya proses evaluasi setelah satker berjalan dilihat dengan apakah ada tumpang tindih
pekerjaan antar satker tersebut, jika ada maka dalam konteks Pemerintah Kota Bandar
Lampung hal itulah yang dijadikan prioritas perbaikan. Dan dalam pelaksaaan evaluasi setiap
satker dilakukan dengan model bottom up tidak top down untuk menghindari subjektifitas
yang akan terjadi.

Dalam konteks penempatan pejabat implementasi dalam proses implementasi PP 41/2007


sudah berjalan dengan baik, adapaun prosedur mutasi atau pengalihan kerja disesuainkan
dengan kemapuan personal dari para pejabat yang terkait terutama yang akan mendapatkan
promosi, dan mendapat catatan serius adalah penempatan pejabat yang sifatnya teknis sangat
bergantung kepada kemampuan teknis  hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap
Basukarno Sunaryo[6], bahwa:

Kalau menurut saya, dibilang sesuai ya tidak dibilang tidak ya sesuai. Karena begini, kalau
dianggap sesuai, tidak akan pernah ada mutasi. Kan dilihat perjalanan waktu,
kemampuannya, loyalitasnya dan dedikasinya bagaimana. Kan dilihat dalam perkembangan
waktu. Kalau dia tidak cocok disana dia akan dimutasikan. Tapi kita di kota ini kan melihat
seperti di PU (pekerjaan umum), kan dia harus orang teknis. Gak mungkin kita taruh guru
agama disana, kan gak mungkin.

Pada akhirnya mewujudkan partisipasi serta kesadaran politik rakyat adalah momentum awal
dalam pembentukan gerakan rakyat yang proaktif  serta kritis terhadap  kebijakan pemerintah
dan momentum itu diciptakan lewat kemampuan lembaga sosial politik diluar Birokrasi
Pemerintah untuk  menciptakan proses-proses artikulasi oleh  masyarakat  sehingga
kesadaran mereka akan tumbuh  betapa pentingnya sebuah nilai kritis serta akses terhadap
perumusan kebijakan dan hal tersebut akan berimplikasi positif terhadap  terwujudnya
kesejahteraan (Prosperity) serta Keamanan (Security) yang sesuai dengan keinginan
masyrakat karena itu adalah  esensi dari birokrasi sebagai  poroses mekanistik  dari pelayanan
publik.

1. IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas maka tim peneliti memberikan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Birokrasi dan Politik adalah sebuah ranah yang tidak terpisahkan, dalam kasus Negara
berkembang potensi pengaruh politik terhadap kinerja birokrasi Negara sangat kental
sehingga dalam dimensi terntentu terutama di Negara berkembang birokrasi sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi kekuatan politik dalam sebuah Negara.
2. Implementasi PP NO.41 Tahun 2007 di Kota Bandar Lampung berjalan sesuai
prosedur, dan pengaruh kekuatan politik dalam proses penempatan pejabat masih
dalam kondisi yang relatif tidak terlalu terintervensi.
3. Proses penempatan pejabat di satuan kerja Pemerintah Kota Bandara Lampung pasca
implementasi PP NO.41 Tahun 2007 berjalan relatif baik ini ditandai dengan masih
dipakainya prosedur Baperjakat dan penempatan tersebut tidak hanya
memaperhatikan aspek like and dislike akan tetapi juga aspek kompetensi.
4. Proses Promosi yang dijalankan juga memperhatikan aspek teknis, antara lain tidak
menempatkan pejabat yang bukan berlatar belakang teknis kedalam satuan kerja yang
sifatnya teknis.

DAFTAR PUSTAKA

Blondel, J. 1995. Comparative Government. Second Edition. Cambridge: Cambridge


University Press.

Bogdan, Robert C. 1982. Qualitative Research for Education : An Introduction to Theory


and Method. Sidney : Allyn and Bacon Inc.

Cheema G. Shabbir, Dennis A. Rondinelli (Ed.). 1983. Decentralization and Development:


Policy Implementation in Developing Countries, London, Sage Publication, Inc.

Drucker. 1999. “Desentralisasi dan Otonomi” dalam Rian Nugroho D. 2000. Desentralisasi
Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo

Dye, Thomas R. 1975. Understanding Public Policy. Englewood Cliff, New Jersey: Prentice-
Hall

Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC: Congressional
Quarterly Press.

Garna, Judistira K. 1999. Metoda Penelitian Pendekatan Kualitatif, Bandung, Primaco


Akademika CV.

Gie, The Liang. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia.
Yogyakarta: Liberty

Glaser, Barney G. and Anselm L. Strauss. 1977. The Discovery  of Grounded Theory:
Strategies for Qualitative Research, Chicago, Aldine Publishing Company.

Grindle, Marilee S. 1980. Politics dan Policy Implementation in the Third World. New York:
Princeton University Press.
[1] Ada beberapa hal, selain menjadi hukum dasar dari pusat. Pertama, penataan
kelembagaan yang ada di lingkup pemerintah daerah. Penataan kelembagaan ini ada beberapa
tujuan. Pertama agar terjadi komunikasi antar lembaga, baik itu antar daerah maupun daerah-
pusat. Kedua, efektivitas. Miskin dalam organisasi tapi kaya dalam fungsi. Hasil Wawancara
dengan Asisten I Pemkot Hi. Amami Amila Tanggal  12 November 2008, pukul 10.00 bbwi.

[2] Bukan hanya kurang lancar, bahkan gak nyambung. Karena organisasinya tidak sama.
Tidak semua daerah punya organisasi perangkat daerah yang sama. Bahkan antara daerah dan
pusat.  Hasil Wawancara dengan Asisten I Pemkot Hi. Amami Amila Tanggal  12 November
2008, pukul 10.00 bbwi.

[3] Ya. Kalau dilihat dari beberapa variabel persyaratan formal, sudah memenuhi kriteria-
kriteria dasar sebagai seorang pejabat. Selain itu selektivitas sudah berlapis.  Misalnya untuk
Eselon II. Walikota setuju tapi ketika diajukan ke pemerintah provinsi, gubernur tidak setuju.
Bisa terjadi yang seperti ini? Hasil Hasil Wawancara dengan Asisten I Pemkot Hi. Amami
Amila Tanggal  12 November 2008, pukul 10.00 bbwi.

[4] “ Itu kalau sudah ada banyak persaingan. Artinya kan ada beberapa nominasi. Tapi itu
tidak juga mutlak. Dia mampu tidak kesana (satuan kerja), kompetensinya bagaimana, kan
begitu. Terus, moralnya bagaimana. Kan kita harus melihat kesana. Hukuman indisipliner
pernah tidak dia terima Seperti apa yang dikatakan oleh Basukarno Sunaryo.” Hasil
wawancara tanggal 12 November 2008 pukul 13.00 bbwi

[5]Seperti apa yang dikatakan oleh Basukarno Sunaryo “Ini sedang kita evaluasi. Jangan
sampai nanti ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang tumpang tindih. Sambil berjalan,
sambil kita evaluasi” Hasil wawancara tanggal 12 November 2008 pukul 13.00 bbwi

[6] Seperti apa yang dikatakan oleh Basukarno Sunaryo: “Dia memang tidak teknis tapi harus
generalis. Bagaimana dia bisa mengambil keputusan kalu dia tidak menguasai bidang
tersebut. PU misalnya, dia (pejabat tersebut) ahli hukum. Apakah ketika mengambil
kebijakan dia bisa sesuai dengan teknisnya. Kalau bawahan kan tetep ngasih masukan yang
baik. Cuma dalam beberapa masukan atau usulan, ini yang paling mendekati kan pimpinan.
Saya rasa latar belakang pendidikan berpengaruh penting. Hasil wawancara tanggal 12
November 2008 pukul 13.00 bbwi

 XFN

Drs. Aman Toto Dwijono, M.H is proudly powered by WordPress

Anda mungkin juga menyukai