Bahkan, Sekretaris Daerah Kota Bogor, Bambang Gunawan, mengatakan: “Kondisi ini
menimbulkan persoalan karena banyak remaja yang terlibat dalam masalah tersebut.
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang penyebab perilaku seks remaja Kota
Bogor itu. Selain itu jika dikaitkan dengan temuan IMS (infeksi menular seksual, seperti
GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV di kalangan remaja maka perlu ada
penjelasan bentuk ‘hubungan sesama jenis’ apa yang dikeluhan itu.
Soalnya, risiko IMS dan HIV di kalangan lesbian sangat rendah karena belum ada
laporan penularan IMS dan HIV melalui hubungan seksual pada lesbian (lesbian adalah
bentuk homoseksualitas berupa orientasi seksual pada perempuan yang hanya tertarik
apda perempuan). Maka, bertolak dari fakta yang dikemukakan yang dipersoalkan adalah
hubungan sesama jenis pada remaja putra (dikenal luas sebagai gay pada kalangan laki-
laki homoseksual).
Disebutkan oleh Bambang: “ .... salah satu faktor yang menyebabkan besarnya angka
tersebut karena masih kurangnya pengetahuan remaja tentang bahaya penyakit akibat
hubungan seks.” Kalau mengacu ke fakta terkait kasus HIV dan AIDS pada remaja
bukan karena pemahman mereka yang kurang terhadap IMS, tapi karena mitos
(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS selama ini.
Ada fakta yang disampaikan tentang remaja yaitu: 29 persen belum mengetahui
kesehatan reproduksi, 39 belum memahami Prilaku Hidup Sehat (PHBS), 25 persen
tidak mengetahui IMS, dan 28 persen tidak mengetahui secara pasti bahaya
penyebaran HIV/AIDS.
Seorang remaja putri di Yakita, pusat rehabilitasi narkoba di Bogor, mengaku tidak
menyadari akibat perilakunya yang menyalahgunakan narkoba dengan jarum suntik
secara bersama-sama dengan bergantian. Gadis ini mengaku dia hanya mengetahui
penularan HIV dari berita di media massa, brosur, pamflet dan ceramah menular
melalui zina, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, pelacuran dan homosekual. Maka,
ketika dia memakai narkoba dengan teman-temannya sama sekali tidak terpikir
olehnya akan tertular HIV. Ini menunjukkan informasi tentang cara-cara penularan
dan pencegahan HIV selama ini tidak akurat karena dibalut dengan moral sehingga
ada kesan penularan HIV hanya terkait dengan aurat (baca: maksiat).
Ada faktor yang menjadi salah satu pemicu ‘hubungan seksual sesama jenis’ pada
kalangan remaja putra, yaitu sikap dan cara berbagai kalangam mulai dari pejabat,
orang tua, pakar, guru, pemuka agama, dll. menggiring remaja untuk menjauhi relasi
dengan lawan jenis (pacaran). Nasihat atau peringatan yang sering disampakai
kepada remaja, khususnya remaja putri, adalah risiko hamil. Celakanya, tidak ada
nasihat kepada remaja putra untuk menjaga pacarnya agar tidak hamil jika mereka
menjalin asmara melalui pacaran.
Karena remaja putra dihantui ketakutan maka mereka pun memilih cara lain menyalurkan
dorongan seksual agar tidak menimbulkan risiko kehamilan. Ya, pilihannya tentulah
homoseksualitas. Begitu pula dengan remaja putri. Dalam kaitan ini alm. Sartono
Mukadis, psikolog di UI, kepada penulis pernah mengatakan bahwa remaja perlu
diberikan pengertian dan pemahaman agar mereka menjalin hubungan asmara (pacaran)
yang bertanggung jawab. Bukan melarang dan menakut-nakuti. Artinya, remaja putra
didorong agar menghargai pacarnya dengan tidak melakukan tindakan yang merugikan
pacarnya.
Yang terjadi selama ini adalah melarang dan menakut-nakuti sehingga ada remaja yang
‘banting stir’ mencari penyaluran hasrat seks yang tidak berisiko kehamilan. Tapi, karena
pengetahuan mereka tentang IMS sangat rendah maka mereka pun tertular IMS karena
menyalurkan hasrat seksnya dengan pekerja seks komersial (PSK).
Persoalan baru muncul. Ketika mereka tertular IMS remaja putra itu tidak berani berobat
karena di sarana kesehatan ada ketentuan bahwa anak-anak di bawah umur harus berobat
dengan orang tua. Tentu saja remaja yang tertular IMS tidak akan berani
menyampaikannya kepada orang tuanya. Akibatnya, mereka mencari pengobatan sendiri
dengan cara membeli obat di kaki lima.
Tapi, karena obat untuk IMS harus melalui diagnosis maka obat yang mereka beli,
biasanya antibiotik dosis tinggi, tidak menyembuhkan penyakit tapi menimbulkan
penyakit baru. Seorang remaja terpaksa dibawa ke rumah sakit karena demam. Di rumah
sakit baru diketahui remaja tadi tertular IMS. Sebelum sakit dia meminum obat yang
dibelinya di kaki lima. Ada pula remaja yang rambutnya rontok karena meminum obat
IMS yang dibeli di kaki lima.
Di salah satu daerah yang menerapkan aturan agama sebagai hukum membuat kalangan
remajanya kelimpungan untuk pacaran. Soalnya, di daerah itu sepasang remaja berlainan
jenis (kelamin) yang tidak muhrim dilarang berdua-duan. Razia yang digelar rutin akan
menangkap sepasang remaja yang berduaan, walaupun hanya duduk-duduk di taman, di
pantai atau di restoran. Sebaliknya, kalau sepasang remaja putra berdua-duaan, bahkan
berpelukan, tidak akan ditangkap.
Celakanya, belakangan ini ada wacana di beberapa daerah di Tanah Air untuk
menerapkan peraturan daerah berlandaskan agama. ***