Anda di halaman 1dari 44

A.

Latar Belakang Masalah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menurut sejarahnya adalah kombinasi dari Tarekat


Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Kombinasi tarekat ini dirintis oleh Ahmad Khatib Ibn
‘Abd Al-Ghaffar, seorang ulama dari Sambas Kalimantan Barat, pada pertengahan abad ke-19 di
Mekkah.[1] Pada awal pengembangan tarekat, Syeikh Ahmad Sambas memperoleh pengikut
terutama dari kalangan pelajar asal Nusantara yang menuntut ilmu agama di tanah suci.
Kemudian atas dakwah mereka, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dapat tersebar di
Nusantara dan memperoleh banyak pengikut khususnya di pulau Jawa.

Perkembangan tarekat itu di pulau Jawa berlangsung sejak tahun 1870, atas jasa Abdul Karim
asal Banten. Dalam perkembangan selanjutnya hampir semua guru Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di pulau Jawa menggabungkan silsilahnya kepada Abdul Karim, apalagi setelah
ia menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pimpinan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.[2]

Pada pertengahan abad ke-19, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkenalkan oleh Syeikh
Abdul Karim kepada masyarakat Banten dan sekitarnya. Di bawah pengaruhnya tarekat ini
menjadi populer di Banten, khususnya di antara penduduk miskin di desa-desa (masyarakat
petani).

Pada tahun 1800-an, Tarekat telah berkembang menjadi golongan-golongan kebangkitan agama
yang paling dominan, pada permulaannya Terekat-tarekat itu hanya merupakan gerakan-gerakan
kebangkitan agama, akan tetapi secara berangsur-angsur berkembang menjadi badan politik
keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan untuk kegiatan politik ekstrim. Mereka
menolak proses westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembaga-lembaga tradisional,
terhadap pengaruh dan campur tangan Belanda, didorong oleh kebencian terhadap orang asing,
mereka menggunakan kekerasan terhadap penguasa Belanda, dan terhadap sesama muslim yang
bekerjasama dengan Belanda. Perkembangan proses kekerasan ini dapat ditafsirkan berdasarkan
kondisi-kondisi sosial yang bersifat ekstrim dan rangsangan spesifik yang terdapat di Banten.[3]

Pada abad ke-19 Masehi bagi sejarah Banten, merupakan fase bergolaknya rakyat Banten
menghadapi penjajahan Belanda, meskipun sejak di awal abad ke-19 secara formal kesultanan
Banten sudah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda,[4] namun ketidak-puasan rakyat
Banten atas penindasan dan pemerasan kekayaan rakyat terus berlangsung. Kepemimpinan tidak
ada di tangan sultan, tetapi diambil alih oleh ulama dan pemimpin rakyat.[5]

Eksploitasi kolonial yang terjadi pada abad ke-19 di Nusantara menciptakan kondisi yang bisa
mendorong rakyat melakukan gerakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang
berlangsung terus menimbulkan disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional beserta
lembaga-lembaganya.[6]

Dalam menghadapi penetrasi Barat yang mempunyai kekuatan disintegratif, masyarakat


tradisional mempunyai cara-cara sendiri. Karena dalam sistem pemerintahan kolonial tidak
terdapat lembaga untuk menyalurkan rasa tidak puas ataupun untuk menyampaikan aspirasi
masyarakat, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan gerakan sosial
sebagai bentuk protes sosial. Hal ini terjadi di berbagai tempat di Banten. Dalam gerakan sosial
yang marak di Banten ini peranan para ulama menduduki posisi sentral

Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir, bahkan kadang semangat
nativisme dan revivalisme, menjadi motor penggerak untuk berbagai gerakan sosial yang marak
pada abad ke-19. Gerakan pemberontakan bukan hanya ditujukan kepada pemerintah kolonial,
melainkan juga kepada penguasa pribumi yang dianggap sebagai kaki tangan pemerintah. Seiring
dengan semakin dalamnya kekuasaan kolonial, maka makin kelihatan pula bahwa kaum
pamongpraja, yang terdiri dari para bupati dan aparatnya, hanya berperan sebagai perantara
pemerintah kolonial dengan rakyat atau menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial belaka.
Maka tidaklah mengherankan bila terjadi gerakan sosial, pamongpraja ikut menjadi sasaran.

Beberapa gerakan sosial terjadi di tanah partikelir.[7] Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad
ke-20, gerakan ini merupakan gejala historis masyarakat petani pribumi. Hampir semua gerakan
sosial terjadi diakibatkan oleh tingginya pungutan pajak dan beratnya pekerjaan yang menekan
petani. Berbeda dengan gerakan sosial lainnya, pergolakan di tanah partikelir lebih terarah pada
rasa dendam tertentu. Sifat gerakan bersifat magico religious, seperti tercermin dari adanya
harapan mellenaristis atau datangnya Ratu Adil.[8]

Hampir sepanjang abad ke-19 hingga memasuki abad ke-20, fenomena ulama di Pulau Jawa
sangat erat kaitannya dengan munculnya berbagai gejala sosial, politik, dan keagamaan yang
hadir terus menerus. Gejala-gejala itu meliputi bermacam-macam bentuk dan jenis, di antaranya
mengalirnya arus demam kebangkitan kehidupan agama Islam.[9] Hal ini ditandai dengan
meningkatnya berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan dari waktu ke waktu.

Kondisi semacam itu telah melahirkan perlawanan-perlawanan ulama dan santri yang ditujukan
terhadap kekuasaan kolonial. Di antaranya adalah perlawanan kaum Paderi di Minangkabau
(1825-1830). Perang Diponegoro (1825-1830), yang memperoleh dukungan luar biasa dari
ulama Jawa beserta para santrinya.[10] Perlawanan rakyat Aceh (1837-1904).[11] Pada bagian
lain di Jawa, yaitu Jawa Barat, terjadi pula beberapa perlawanan yang serupa. Pemberontakan
sengit terjadi di daerah Banten, pemberontakan itu terjadi dari tahun (1839-1883),[12]
merupakan pemberontakan ulama Banten yang berusaha melepaskan diri dari penindasan
kolonial Belanda. Dan perlawanan rakyat Banten yang berskala agak besar dan terorganisasi,
misalnya perlawanan-perlawanan yang terjadi di Cikandi Udik tahun 1845,[13] dan perlawanan
di Ciomas terjadi pada tahun (1886).

Peran ulama dalam kebanyakan perlawanan-perlawanan tersebut adalah sebagai penyangga


kekuatan mental dan penggerak rakyat. Mereka terkadang juga memimpin langsung
pertempuran, terutama di daerah-daerah yang kuat keislamannya.[14] Dalam perlawanan yang
dipimpin oleh bangsawan muslim, ulama berperan sebagai penasehat dan pemberi landasan
keyakinan untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Dengan demikian, para ulama
sangat penting, sebab di samping persenjataan lahir, landasan kerohanian sangat diperlukan
dalam pertempuran.

Proses kekuasaan dan kehadiran penjajah yang demikian menyengsarakan rakyat, menjadi modal
kebencian orang Banten terhadap penjajah. Karena itu, tidaklah heran selama penjajah masih
berada di Banten, selama itu pula rakyat Banten melakukan perlawanan. Di berbagai daerah
banyak terjadi perlawanan secara sporadis, terselubung, bahkan terang-terangan, baik dalam
skala besar maupun skala kecil.

Perlawanan yang berskala besar dan menegangkan pihak kolonial terjadi lagi di daerah Cilegon,
pada bulan Juli 1888, yang terkait erat dengan gerakan kaum sufi, karena kebanyakan mereka
yang terlibat dalam pemberontakan adalah para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam
pertempuran tersebut.

Faktor ekstern dari perlawanan tersebut adalah akibat penjajah sendiri yang dengan sewenang-
wenang memaksa kehendak, merampas hak-hak rakyat, dan mengubah tatanan politik yang
mengarah pada keuntungan penjajah.[15] Di samping itu, faktor yang ikut menyebabkan
terjadinya pergolakan-pergolakan, yaitu adanya disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang
menyertainya, yakni semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius
terhadap penguasa-penguasa asing. Dengan ambruknya Kesultanan Banten, sistem kontrol yang
tradisional tidak dapat berfungsi lagi. Keadaan tidak menentu timbul di daerah-daerah yang
menyebabkan munculnya unsur-unsur pembangkangan yang berulang-kali menimbulkan
kerusuhan.

Adapun faktor internal dari perlawanan tersebut adalah memuncaknya keresahan sosial karena
bertubi-tubi rakyat Banten ditimpa kesusahan. Pada tahun 1882, meletusnya Gunung Krakatau di
Selat Sunda yang membawa malapetaka penduduk[16] di kawasan pesisir barat Banten. Selain
itu, pada tahun 1882-1884, keadaan rakyat Banten, khususnya di Serang dan Anyer ditimpa
malapetaka kelaparan dan penyakit binatang ternak. Tahun-tahun berikutnya, suasana sosial
ekonomi dan politik semakin mencekik rakyat.[17]

Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya mempunyai
dampak yang sangat luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial-
politik dan kehidupan keagamaan, dalam kondisi demikian, ada di antara mereka yang lain lebih
percaya ke takhayul, namun banyak pula di antara mereka mengikuti ajaran tarekat yakni ajaran
yang menitik-beratkan pada penghayatan nilai-nilai batiniah (spiritual), guna mendapatkan
ketenangan dan ketabahan batin dari pahitnya penjajah Belanda.

Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
mengenai motivasi pengikut tarekat yang sebagian besar terlibat dalam sebuah pemberontakan
rakyat Banten, pada masa kolonial Belanda.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, masalah yang akan dibahas akan dibatasi seputar keterlibatan pengikut
tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten tahun 1888. Kajian keterlibatan pengikut tarekat ini
difokuskan pada permasalahan yang meliputi kondisi Banten menjelang pemberontakan, asal
usul dan perkembangan tarekat, bentuk-bentuk keterlibatan pengikut tarekat dalam
pemberontakan rakyat Banten.
Untuk menjabarkan permasalahan tersebut, maka akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi Banten menjelang pemberontakan rakyat 1888 ?

2. Bagaimanakah perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad


XIX ?

3. Mengapa kaum tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlibat dalam pemberontakan rakyat di


Banten ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan menjelang meletusnya


pemberontakan rakyat Banten.

2. Mengetahui sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada


abad ke-19.

3. Untuk mengetahui seberapa besar keterlibatan pengikut Tarekat Qadiriyah wa


Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah memperkaya kajian-kajian tentang keterlibatan
pengikut tarekat dalam sebuah pemberontakan, dan juga untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan, khususnya kajian tentang sejarah sosial.

D. Tinjauan Pustaka

Studi tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh
peneliti terdahulu. Adapun studi yang lebih memperhatikan aspek-aspek sosiologis dari gerakan
kaum sufi, tampaknya baru dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, di dalam karyanya
“Pemberontakan Petani Banten 1888”, memfokuskan pembahasannya mengenai gerakan sosial
dalam pengertian yang umum,[18] tetapi jelas bahwa guru tarekat atau pemimpin mistik
memainkan peranan utama dalam hampir seluruh serangkaian pemberontakan di Banten.
Kartodirdjo menunjukkan peran-peran sosial mereka yang hanya berlangsung dalam peristiwa
sejarah abad XIX, melalui jaringan sosial tarekat Qadiriyah dan dengan ajaran-ajaran mereka
yang lebih bersifat mesianik. Padahal menurut prediksi penulis yang terlibat dalam
pemberontakan di Banten itu bukanlah tarekat Qadiriyah, melainkan tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang ajarannya berbeda dengan Qadiriyah saja, dan ajarannya tidak selamanya
bermuatan nilai-nilai mesianik. Namun begitu, keluasan metodologi dan kekayaan faktual dalam
buku tersebut dapat dijadikan pangkal bagi studi lanjutan gerakan sosial kaum tarekat. Meskipun
kajian buku tersebut tidak menggambarkan secara luas sejarah perkembangan tarekat, dan faktor
yang menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut berbeda dengan persepsi penulis, namun
buku tersebut adalah buku pertama tentang gerakan sosial kaum sufi. Yang membuat perbedaan
skripsi ini dengan buku tersebut adalah bahwa skripsi ini menekankan kepada tarekat dan
memberikan penjelasan secara mendetail tentang tarekat dan tokoh tarekat yang terlibat, yang
mana dalam karya Sartono tidak dilukiskan secara jelas, dan dia tidak melihat dari segi agama,
melainkan lebih ke sosial.

Martin Van Bruinessen, dalam“Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia”, (1992). Sudah


menyajikan deskripsi tentang masalah politik dan tarekat, dia telah menyajikan data yang cukup
komplit tentang keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah,[19] dalam persoalan-persoalan
politik di Indonesia, pada zaman kolonial maupun zaman kemerdekaan. Van Bruinessen telah
mendeskripsikan, secara historis, geografis dan sosiologis, keterlibatan guru-guru tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah dalam politik yang kemudian melahirkan berdirinya Partai Politik
Tarekat Islam (PPTI). Partai ini telah membawa Dr. H. Jalal Al-Din, pendiri tarekat tersebut,
menjadi anggota DPR Pusat pada zaman Orde Lama. Sedangkan guru-guru tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah melibatkan diri dalam beberapa pemberontakan terutama di Banten dan di
Lombok. Hanya saja, Martin sedikit menggambarkan keterlibatan guru tarekat di Banten, ia
hanya menggambarkan satu guru tarekat yaitu Abdul Karim yang diduga kuat memiliki peranan
besar dalam pemberontakan Banten, menurut sumber-sumber Belanda.

Dalam bukunya yang lain, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat”, (1995).[20] Secara spesifik
Van Bruinessen (1995) juga telah membahas keterlibatan beberapa guru tarekat dalam kegiatan
politik di Indonesia. Ia juga menunjukkan keterlibatan guru-guru tarekat dalam masyarakat
Madura dalam partai politik terbesar pada zaman Orde Baru (Golkar) sehingga melahirkan
konflik dan perpecahan internal kelompok tarekat. Dalam buku ini, sedikit Van Bruinessen
menyoroti tentang Qadhi, Tarekat serta struktur Lembaga Keagamaan di Banten pada Zaman
Kesultanan, yang dibahas dalam bab II. Walaupun karya Van Bruinessen ini mempunyai lingkup
yang terbatas, kehadirannya sangat berarti bagi studi lanjut tentang Naqsyabandiyah.

Berbeda survei yang dilakukan Van Bruinessen. Mahmud Sujuthi dalam “Politik Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang”, (2001). Mengkaji tarekat Rejoso dan cabang-cabang
yang berasal dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam konteks struktur dan sejarah
politik,[21] yang begitu besar pengaruhnya, baik terhadap orang Madura maupun etnis Jawa.
Mahmud melihat tarekat dalam pertarungannya melawan kekuasaan yang menganut model
produksi kapitalis. Dari studi yang dilakukan terhadap salah satu tarekat muktabar, yaitu tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, bahwa tarekat bukanlah fenomena tunggal. Dalam
kajian ini, ia mengambil subyek hubungan agama, negara dan masyarakat dengan fokus politik
tarekat.

Penulis lain, Zulkifli Zul Harmi, “Sufi Jawa Relasi Tasawuf-Pesantren”. (2003),[22] buku ini
menawarkan sebuah tinjauan singkat yang istimewa tentang sepak terjang Sufisme di Jawa dan
sebagian didasarkan atas pengalaman pribadi penulis tentang pendidikan pesantren di Jawa.
Buku ini memberikan suatu pemahaman dasar tentang ciri-ciri utama pesantren dan gabungan
makna Tasawuf-Tarekat di Indonesia. Studi banding yang dilakukan Zulkifli atas dua pesantren
yang terpenting di Jawa, yaitu Pesantren Tebuireng di Jawa Timur dan Pesantren Suryalaya di
Jawa Barat, dengan memfokuskan pada posisi intelektual para pendirinya dan peranan yang
diberikan kepada Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di masing-masing institusi, Zulkifli hanya
menyinggung sepintas tentang tokoh tarekat yang terlibat dalam pemberontakan rakyat Banten,
yaitu Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki, sebagai pengganti KH. Abdul Karim yang
memainkan peranan signifikan dalam penyebaran tarekat sufi, hanya dalam satu paragraf kecil.
Dan kajian yang diteliti Zulkifli sangat berbeda dengan penulis. Objek kajian yang diteliti
difokuskan pada tarekat yang sama, di tempat yang berbeda pada abad XIX.

Dudung Abdurrahman dalam tesis berjudul, “Gerakan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah


Suryalaya dalam Perubahan Sosial di Tasikmalaya 1905-1992”.[23] Dalam tesis ini dijelaskan
tentang gerakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah selama perkembangannya pada abad XX,
terutama yang berlangsung melalui pusat pengembangannya di Suryalaya Tasikmalaya. Selain
itu, juga dijelaskan tentang posisi tarekat Suryalaya dalam bidang pendidikan, bidang inabah,
dan reformasi dakwah. Bidang-bidang tersebut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada abad
XIX di Banten belum disentuh sama-sekali, maka dari itu, penelitian ini berbeda dengan tesis
tersebut, meskipun objek penelitiannya sama yaitu mengangkat tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, tetapi waktu dan tempatnya tidak sama. Penulis mengarahkan objek penelitian
ini pada abad XIX dan tepatnya di Banten.

Berbeda dengan studi-studi di atas, studi ini secara teoritis menjelaskan pola-pola hubungan
antara sufisme dan politik berdasarkan data yang sudah dikumpulkan dalam sumber-sumber
tertulis. Studi ini mengambil sekop wilayah Banten. Dengan demikian, penelitian ini memiliki
signifikansi yang tinggi dan memberi kontribusi yang besar bagi studi Islam dan masyarakat
Indonesia.

E. Landasan Teori

Apabila diperhatikan dari segi perkembangan sejarahnya, bahwa gerakan tasawuf sudah menjadi
budaya orang Islam. Walaupun sebenarnya faktor yang mendorong lahirnya tasawuf ini
bersumber dari Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.

Sehubungan dengan judul skripsi tentang gerakan kaum tarekat, maka konsep tasawuf perlu
diketengahkan. Tasawuf adalah kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa kepada kegiatan-
kegiatan tertentu untuk mendapatkan suatu perasaan berhubungan dengan wujud Tuhan yang
mutlak (Al-Haq).[24] Hubungan manusia dan Tuhan digambarkan sebagai hubungan yang
menunjukkan dekatnya Tuhan dan manusia, bahkan manusia merasa bersatu dengan Tuhan. Cara
yang efektif untuk mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui tarekat.

Berkenaan dengan tarekat itu sendiri, sejarah banyak mencatat bahwa tarekat merupakan bagian
keagamaan Islam yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tarekat merupakan
media yang penting untuk dakwah dan pembinaan agama Islam. Dalam pengertiannya secara
bahasa, tarekat adalah jalan, yaitu berasal dari bahasa Arab, “thariqah”, dan seringkali diartikan
sebagai jalan menuju Tuhan. Jalan yang dimaksud adalah cara atau metode para sufi, sehingga
pada umumnya tarekat disebut sebagai sistem latihan meditasi dan amalan, baik zikir maupun
wirid, yang dihubungkan dengan sejumlah guru sufi.[25] atau lebih lengkap di mana waktu
melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui
batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT. Perkataan
tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi
(dalam lingkungan tradisional).[26] Pada masa-masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh
lingkaran murid mereka, dan beberapa dari murid ini akan menjadi guru pula. Seorang pengikut
tarekat akan mendapat kemajuan dengan melalui sederet ijazah berdasarkan tingkat
pengetahuannya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat, dari pengikut biasa (mansub) hingga
murid, selanjutnya hingga pembantu syeikh atau khalifahnya, dan akhirnya menjadi guru yang
mandiri (mursyid).

Istilah pemberontakan petani (Peasants’ Revolt) dalam penelitian ini, memerlukan sedikit
penjelasan. Istilah itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata.[27]
Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpin-pemimpinnya jarang sekali
petani biasa. Mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan
lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota ningrat atau
orang-orang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat. Pemimpin-pemimpinnya
merupakan satu golongan elit pedesaan, yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-
ramalan dan visi sejarah yang turun-temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi.
Dalam banyak hal, pemuka-pemuka agamalah (Ulama) yang telah memberikan bentuk yang
populer kepada ramalan-ramalan dan menerjemahkan ke dalam perbuatan dengan jalan menarik
massa rakyat agar berontak. Anggota-anggota gerakan terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan
organisasi berada di tangan kaum elit agama yang terdiri dari ulama, haji, dan guru tarekat.

Pemberontakan yang terjadi di Banten ditokohi oleh para ulama. Untuk itu, konsep ulama
diperlukan dalam penelitian ini. “Ulama” di sini dikembangkan berdasarkan kategorisasi sosial
yang berlaku pada zamannya. Sebagaimana dikatakan oleh Robert van Niel, bahwa ulama di
Jawa pada masa kolonial Belanda terkelompok di dalam golongan “Ulama Tradisi” yang
memperoleh perlindungan penguasa pribumi di bawah kekuasaan penguasa kolonial, dan
golongan ulama lainnya adalah mereka yang tidak terikat oleh penguasa dan seringkali menjadi
penggerak massa dalam perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial.[28] Kedua golongan
itu, dipertegas lagi perbedaannya dalam peristilahan G. F. Pijper, menjadi “Ulama Birokrat” dan
“Ulama Bebas”. Menurut Adviseur Belanda ini, antara kedua kelompok Ulama tersebut sering
terjadi persaingan serta perbedaan kecenderungan menghadapi Pemerintahan Kolonial.[29]
Tanpa terikat dengan kategorisasi Ulama dari kedua ahli tersebut, konsep-konsep mereka di
dalam penelitian ini dijadikan salah satu acuan.

Dalam pembahasan sejarah sebagai kisah yang tidak semata-mata bertujuan menceritakan
kejadian, tetapi bermaksud menerangkan faktor-faktor kausal maupun kondisional, masalah
pendekatan sebagai bagian pokok ilmu sejarah harus diketengahkan. Penelitian ini termasuk
dalam disiplin sejarah, sehingga pendekatan utama yang dipergunakan di dalam tema ini akan
dikaji dengan pendekatan sejarah, pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah
penjelasan yang mampu mengungkap gejala-gejala yang berkaitan erat dengan waktu dan tempat
berlangsungnya gerakan pemberontakan yang dilakukan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Kemudian dapat menjelaskan asal-usul, dan segi-segi dinamika sosial serta struktur sosial di
dalam masyarakat yang bersangkutan.[30] Kemudian perubahan sosial yang terjadi menurut
Sartono Kartodirdjo, dapat dilihat dari proses transformasi struktural, yaitu adanya proses
integrasi dan disintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi yang silih berganti. Dalam proses
transformasi struktural yang terjadi mengubah secara fundamental dan kualitatif jenis solidaritas
yang menjadi ikatan kolektif, dari ikatan komunal menjadi ikatan asosiasonal yang berupa
organisasi komplek.[31] Gejala-gejala itulah yang terjadi dalam gerakan pemberontakan para
pengikut tarekat di Banten yang menjadi objek skripsi ini.
F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan proses-proses pengkisahan
atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Penelitian ini menggunakan metode
sejarah yaitu suatu proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis peninggalan masa lalu
guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya serta melakukan sintesis terhadap data,
agar menjadi cerita sejarah yang dapat dipercaya.[32]

Metode sejarah bertujuan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan
objektif. Dalam hal ini penulis melakukan tahapan sebagai berikut:

Pertama, heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan sebuah
penelitian. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni, karena sumber datanya adalah buku-buku
dan artikel-artikel, baik buku-buku sejarah maupun artikel-artikel tentang pemberontakan dan
tarekat yang berhubungan dengan penelitian yang akan ditulis, di samping itu, jurnal-jurnal yang
membahas tentang kajian ini, serta kamus-kamus sebagai sumber pembantu.

Kedua, verifikasi atau kritik sumber setelah pengumpulan data, baik kritik intern maupun kritik
ekstern. Kritik intern, dilakukan untuk meneliti kebenaran isi yang membahas tentang tarekat
dalam suatu pemberontakan, apakah sesuai dengan permasalahan atau tidak sama sekali, apabila
kritik intern sudah dilakukan maka dilanjutkan dengan kritik ektern yaitu untuk mengetahui
tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah
diselenggarakan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.[33] Dalam hal ini, penulis
menyelidiki bagaimana sumber data itu, baik gaya bahasanya maupun pembuatnya.

Ketiga, interpretasi atau penafsiran sejarah yang seringkali disebut juga dengan analisis sejarah,
yang bertujuan untuk melakukan sintesa atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber
sejarah dan bersama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang
menyeluruh.[34] Maka untuk itu digunakan metode analisis deduktif untuk memperoleh
gambaran tentang pemberontakan rakyat Banten dan politik kaum Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang menjadi objek penelitian.

Langkah yang terakhir adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan
hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.[35] Peneliti berusaha menyajikannya secara
sistematis agar mudah dimengerti.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam bab ini terdiri dari lima bab pembahasan. Meskipun dari setiap
bab itu tidak mengikuti urutan-urutan kronologis, tetapi di antara bab-bab itu saling berkaitan.
Dalam bab pertama atau pendahuluan, memuat latar belakang permasalahan, rumusan dan
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.

Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai kondisi Banten menjelang pemberontakan 1888, yang
meliputi kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan.
Bab ketiga akan menguraikan tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada
abad ke-19, dalam bab ini akan dibagi pembahasannya mengenai asal-usul Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dan perkembangan di Banten, ajaran dan ritual tarekat, pengaruh Syeikh Abdul
Karim bagi masyarakat Banten.

Bab keempat akan menjelaskan tentang bentuk-bentuk keterlibatan kaum Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten. Pada bab ini diawali dengan kaum tarekat
dan protes sosial politik, kemudian diuraikan tentang kepemimpinan tarekat dalam
pemberontakan, gerakan tarekat dalam peristiwa peristiwa geger Cilegon 1888.

Bab kelima atau terakhir merupakan penutup dari penelitian ini, yang berisi kesimp

Konsep – konsep yang dipakai dalam penulisan Sejarah

 Konsepnya Hoshbawn : Konsepnya Hosbown mengenai gerakan – gerakan kuno


(archaic) dan gerakan – gerakan urban atau industrial. Karakteristik – karakteristik
modern itu dapat modern itu dapat ditemukan dalam gerakan – gerakan sosial modern
seperti yang dimaksud oleh Heberte, umpamanya, gerakan buruh, gerakan petani,
nazisme, zionisme, komunisme. Konsepnay mengenai gerakan sosial begitu luas
sehingga mencakup pula gerakan – gerakan petani. Dalam hal ini Prof. Sartono
Kartodirjo selaku penulis menganggap bahwa gerakan – gerakan itu mempunyai
karakteristik yang sama. Dimana gerakan – gerakan itu bersifat tradisional, lokan atau
regional dan berumur pendek. Didalam gerakan – gerakan itu tidak ditemui ciri – ciri
modern seperti organisasi, ideologi – ideologi modern dan aktifitas yang meliputi seluruh
negeri.   

 Konsepnya Talmon : terkait denga teori bunuh diri. Pemberontakan petani di Jawa
merupakan hal yang inheren dengan bentuk magis religius dari
pengejawantahanperjuangan mereka. Dari sini kita jumpai perbedaan antara
pemberontakan petani Banten dengan gerakan politik modern dengan ideologi yang
sekuler serta alat – alat organisasi yang efektif . Namun, terdapat suatu kesinambungan
dari pemberontakan – pemberontakan religius pra-modern sampai kepada gerakan
revolusioner yang besar – besaran dan sifatnya sekuler.

 Konsepnya Van de venter : Van de venter terkenal dengan tiga teorinya yaitu
Pendidikan, Transmigrasi dan Irigasi. Berdasarkan karya – karya mengenai historiografi
kolonial Indonesia penulis ( prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) menganggap belum ada
pemberontakan petani yang telah dibahas secara khusus, namun didalam catatan Van de
venter telah disebutkan adanya irigasi merupakan bukti peranan historis yang telah
dimainkan oleh kaum petani.

 Konsepnya Indonesia sentris : dalam menulis sejarahnya prof.Dr.Sartono Kartodirdjo


mencoba menggunakan konsep Indonesia-sentris. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Resink (1950) pendekatan Indonesia-sentris ini telah dibahas dalam seminar mengenai
sejarah Indonesia di Yogyakarta tahun 1957. Sebaliknya sikap yang Belanda-sentris
memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh
karenanya, menurut pandangan itu, rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif
dan sangat esensial bagi sudut pandang Indonesia-sentris adalah peranan aktif. Manusia
Indonesia dalam sejarah Indonesia yang merupakan kontras dengan peranan ekstra yang
dikenakan kepadanya oleh ahli – ahli kolonial sejarah kolonial dalam historiografi
kolonial.

 Konsepnya Multidimensional : Pendekatan ini dengan referensi khusus kepada sejarah


nasional di Indonesia. Penulis buku ini (Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) sengaja
menggunakan pendekatan ini. Yang berawal dari pendekatan struktural terhadap sejarah
Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi
masyarakat masyarakat Indonesia dan pola – pola perkembangannya. Penggunaan
pendekatan struktural akan berguna dalam usaha menemukan berbagai aspek
perkembangan historis di Indonesia, dimana dramatis personal-nya adalah orang – orang
Indonesia sendiri.

 Konsepnya Hosbown ( 1963 ) : terkenal dengan konsepnya tentang dikotomi gerakan –


gerakan sosial. Memandang berbagai bentuk gerakan sosial sebagai kasus – kasus dalam
suatu kontinum dari gerakan – gearakan religious sampai kepada gerakan sekuler
mengenai pemberontakan tahun 1888 di Banten, masalahnya adalah untuk
mengidentifikasikan peranan yang telah dimainkan oleh gagasan – gagasan magic Religi
dan Mesionis di dalam geakan itu. Dalam studi mengenai gerakan – gerakan sosial di
Indonesia adalah penting sekali untuk mengadakan pembedan yang jelas antara gerakan –
gerakan yang kuno dan gerakan – gerakan modern.

 Konsep konsep sebab – akibat dan kondisi sosial : sebagaimana yang telah dipakai
oleh penulis – penulis sepeti mc.Iver (1943), Morriscohem (1947), Dofring (1960), Aron
(1961). Alat ini digunakan semata – mata sebagai alat metodologis. Seluruh prosedur
analisa dan sintesa harus didasarkan atas suatu rancangan teoritis,dimana konsep –
konsep merupakan unsur – unsur utamanya. Didefinisikan sebcara luas, istilah ”kondisi”
mengacu kepada suatu motif, variabel atau sebab. Tujuan studi ini tidak hanya untuk
melukiskan pa yang terjadi dan kapan. Melainkan juga bagaimana, apa yang terjdi dan
kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hl itu terjdi. Persoalan – persoalan
itu jelas mengacu kepada masalah sebab musabab atau faktor – faktor kondisional. 

  Pendekatan antara Sosiologi dan Sejarah sebagaimana dipakai oleh penulis – penulis
sepeti Worsely (1957), Wilson (1960), Cohn (1961), Hobsbown (1963). Pada umumnya
orang terpaksa menggunakan disiplin – disiplin iu mengingat sifat pokok persoalannya
itu sendiri serta bahan – bahan yang tersedia. Satu – satunya pokok persoalan yang jelas –
jelas memperlihatkan saling ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan
soiologi adalh gerakan sosial. Pilihan atas topik ini memberikan kesempatan yang luas
untuk mengkombinasikan kedua garis penyelidikan. 

  

 Konsepnya Max Weber (1964) : konsep mengenai otoritas tradisional, karismatik dan
legasl-rasional bisa diuji dlam kaitannya dengan perkembangan politik di Banten Abad
XIX. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenaui determinan – deteminan
gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang
mengacu kepada interaksi antara berbagai unsur sosial yang bersaing untuk memperoleh
alokasi otoritas.  

 Konsep milenarisme : sebagaimana dituliskan oleh Bodrogi (1951), Belandier (1953),


Emet (1956), worsley (1957), Kobben (1962), Lanternari (1963). Hal ini relevan bai studi
ini karena mengacu kepada peristiwa – peristiwa, proses dan kecenderungan –
kecederungan yang ikut membantu timbulnya aliran – aliran anti Barat. Pemberontakan –
pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan – gerakan protes terhadap
masuknya perekonomian Brat yang tidak diinginkan di tahap pengawasan politik, dua hal
yang merongrong tatanan masyarakat tradisional.

 Konsep Transformasi dari Tradisional ke Modernitas : seperti karya – karya Burger


(1949 – 1950), Scrike (1955), Wertheim (1959). Dengan mulai berlakunya perekonomian
uang, timbulnya buruh upah dan ditegakkannya administrasi pusat, maka terjadilah
keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional.
 Konsep Dinamika Kultur Mengenai Aliran – Aliran Mesianik : konsep ini sebenarny
dipakai oleh Drewes dalam tulisannya dengan tujuan utamanya adalah analisa teks
mengenai aliran – aliran milenari dan mesionik. Konsep ini bertolak belakang dengan
penulis buku ini lebih memperhatikan aspek – aspek sosiologis dari gerakan – gerakan
sosial itu.  

 Konsep - konsep struktural mengenai gagasan – gagasan mesianik : Sebagaimana


karya Snouck Hugronje yang menyoroti tentang kehadiran Mahdi seperti yang
berkembang di negeri – negeri Islam. Gagasan – gagasan ini membawa penulis buku ini
(prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) kepada kesimpulan bahwa mesianisme, dipandang sebagai
filsafat sejarah, mengandung gagasan – gagasan mengenai gerakan sejarah manusia linier
dengan memasukkan kedalamnya unsurb siklis.

 Konsep Gerakan Navistik : oleh penulis di manifestasikan seperti kultus – kultus Cargo
di Melanisea, Tari roh di Amerika Utara, Kimbangisme di Afrika, Mahdisme di Afrika
Utara dan negeri – negeri Islam lainnya. Semuaya telah dipelajari secara mendalam dan
menyeluruh.

 Konsep perubahan sosial : disintegrasi dan disorganisasi sosial serta hal – hal yang
menyertainya pergolakan, konflik dan mobilitas sosial telah diabaikan. Masalah konflik
sosial diantara berbagai kelas dalam masyarakat Banten jelas merupakan salah satu
masalah yang paling terasa dimana – mana mengenai gerakan – gerakan sosila itu telah
dipelajari dari sudut pandang sosiologis, umpamanya oleh Yoder ( 1927 – 1928),
Meadows (1943), Steward J. Burger (1944), Heberte (1949), King (1956).

 Konsep Konflik Sosial : sebagaimana ditulis oleh Leach (1954), Gluckman (1963), Firth
(1964), Wertheim (1965). Masyarakat Banten dalam abad XIX merupakan suatu contoh
darin situasi konflik yang kronis. Masyarakat Banten tidak lagi dalam kekuatan yang
statis dan seimbang, melainkan terdiri dari gologan – golongan yang saling bersaing,
yang bersikap antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga menyeret
masyarakat ketitik kekacauan.

 Konsep sosio – antropologis : menurut Evan – Pritchard (1961. hal. 14 – 15) gerakan –
gerakan sosial karena sifat – sifat dasarnya, menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa
disiplin. Konsep sosio – antropologis yang dipakai oleh penulis buku ini (Prof. Dr.
Sartono Kartodirdjo) berusaha untuk menyatakan korelasi antara kecenderungan –
kecenderungan sosial dengan peristiwa. Peristiwa politik disatu pihak dan pola – pola
kultural dipihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio – antropologis, lingkup
antropologis – sosial adalah identik dengan lingkup apa yang oleh ilmuwan – ilmuwan
kontinental dinamakan sosiologi, ditinjau dari segi bidang dan metodenya. Sudut
pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau
ideologi golongan – golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa
yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.  

 Konsep sosio – ekonomis : Berdasar laporan Banten ( Benda – Mc Vey. 1960) yang
membahas pemberontakan komunis dalam 1926 – 1927, faktor – faktor yang
menyebabkan adanya kecenderungan untuk berontak harus dicarai, maka pertanyaannya
adalah sampai sejauh mana antara korelasi antara penetrasi sistem ekonomi barat dan
ketidakstabilan situasi sosial yang berkecenderungan untuk meletus menjadi
pemberontakan.

 Konsep korelasi antara milenarisme dan akulturasi : sebagaimana yang dipelajari


oleh Barber (1941), Luiton (1948), Wallace (1956, Herkovits (1958), Mair (1958).
Menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) pemberontakan itu sebagai hasil
suatu gerakan sosial yang telah berlangsung lama, dapat dipandang dari segi akulturasi
pada umumnya, dan milenarisme pada khususnya.

 Kosep agama dan perubahan sosial : yang ditulis oleh Wallis (1943), Yinger (1957),
menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo). Kita dapat melihat proses –
proses perubahan sosial dan gejala – gejala menyertai – konflik sosial, disorganiosasi dan
reintegrasi sosial. Berdasarkan sosiologi Agama akan menampilkan proses – proses yang
esensial seperti sekularisasi, identifikasi golongan dan escpism.

 Pendekatan Konvensional dan Historiografi Kolonial : sebagaimana ditulis oleh


(Meiinsma 1872 – 1875, Van de Venter 1886 – 1887, Veth 1896 : dapat dilihat dalam bab
I ”pendekatan konvensional dalam histriografi kolonial berdasarkan atas fakta dalam
pendekatan itu menganggap rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususya hanya
memainkan peranan yang sangat pasif saja. Historiografi colonial mengenai abad XIV
memberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga – lembaga pemerintahan pada
umumnya dan kepada soal pembuatan undang – undang dan pelaksanaannya dan jarang
melampaui tingkat struktur – struktur formal.

 Konsepnya Benda dalam JSAH Mengenai Pendekatan Struktural Terhadap


Sejarah Asia Tenggara : Hal ini dapat dilihat dalam bab I : ” oleh karena dianggap
sebagai pra politis, tidak artikulat, dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa –
peristiwa bersejarah yang besar fakta – fakta yang berkaitan dengan gerakan – gerakan
sosial itu juga tak mempunyai arti yang besar bagi ahli – ahli sejarah yang tidak menggali
lebih dalam dari laporan – laporan sejarah yang terutama bersifat politis, dan yang
bertolak dari anggapan bahwa jaringan sejarah politik itu disanggah oleh keragka yang
terdiri dari tokoh – tokoh yang terkenal, badan – badan politik dan peperangan. Sejarah
yang terlalu mengutamakan politik itu nampaknya tak memuaskan karena perspektifnya
sempit : kita harus meninggalkan pendekatan historiografi Kolonial yang mengikuti
kecenderungan umum studi sejarah konvensional dengan hanya menyerap fakta – fakta
mengenai peristiwa dan episode politik yang besar. Kita harus menembus sampai
ketingkat faktor – faktor yang mengkondisikan peristiwa itu. Dilihat dari sudut pandang
ini, peristiwa sejarah yang unik menjadi manifestasi kekuatan – kekuatan yang lebih
fundamental yang menampakkan diri di permukaan. Satu kelemahan lainnya aspek –
aspek struktural sejarah Inonesia, dengan demikian ia tidak dapat menyingkap bukan saja
proses – proses sosial dan politik masyarakat Indonesia dimasa lampau. Jelaslah bahwa
suatu pendekatan terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih
jelas mengenai berbagai segi masyarakat Indonesia dan pola – pola perkembangannya.

 Konsepnya Resink : yang menyususn beberapa konsep yang Indonesia sentris. Dapat
dilihat dalam bab I : sikap yang Belanda – sentris memandang sejarah Indonesia hanya
sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu rakyat
Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif. 

  Konsep Gerakan Milenarisme : Sebagaimana yang ditulis oleh Bodrogi ( 1951), Guiart
( 1951), Pieris (1962), sebuah tijauan yang kompeherensif mengenai gerakan – gerakan
milenarisme sebagai perjuangan melawan kekuasaan asing. Hal ini dapat dilihat dalam
bab I : ”diantara studi – studi mengenai gerakan – gerakan itu, banyak yang membahas
gerakan dalam situasi colonial yang melibatkan suatu penolakan terhadap dominasi
penguasa asing.”
  Konsepnya Evans Pritchard  mengenai gerakan – gerakan sosial : karena sifat – sifat
aslinya menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Lingkup antropologi sosial
adalah identik dengan lingkup apa yan oleh ilmuwan – ilmuwan continental dinamakan
sosiologi. Hal ini dapat dilihat dalam Bab I : yang esensial bagi jenis analisa ini adalah
studi menegnai perubahan – peruabahan yang terjadi dalam bentuk dan komposisi pola –
pola nilai dalam masyarakat Banten. Usaha untuk mengadakan korelasi antara
kecenderungan sosial dan peristiwa – peristiwa politik di satu pihak dan pola – pola
kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio – antropologis. Gagasan
milenari digunakan oleh pemimpin – pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar
memberontak dapat dijelaskan dari sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas
dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan – golongan yang merasa
dirugikan yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan
tradisional.

PENDAHULUAN

Masyarakat Islam Banten, dalam tradisi keislaman di Indonesia pada masa lalu, dikenal lebih sadar-diri
dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa. Perbandingan itu mungkin juga berlaku terhadap
kebanyakan wilayah di Nusantara. Beberapa hasil observasi menunjukkan kebenaran reputasi ini. [1]
Demikian ungkap Martin van Bruinessen. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Islam sangat
berpengaruh dalam pembentukan dan perkembangan masyarakat Banten. Pada awalnya Banten
merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara, setelah memisahkan diri dari kerajaan Hindu
Padjadjaran pada paruh pertama abad ke-16. Karena daerahnya yang strategis, berada pada jalur
pelayaran dan perdagangan Nusantara bahkan internasional dan kesuburan tanahnya, Banten berhasil
mengalahkan negara induknya bahkan dapat menguasai sebagian wilayah kekuasaan Padjadjaran pada
pertengahan abad ke-16. [2]

Sebagian besar penduduk Banten berketurunan orang Jawa dan Cirebon. Dalam    perjalanan waktu,
penduduk ini berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu
dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat
istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda, orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di antara
unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa.
Karena Islam mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten.

Di Banten yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang  terkenal sangat taat
terhadap agama, sudah sewajarnya kyai menempati kedudukan yang signifikan dalam masyarakat. Kyai
yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai tokoh
agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan
pemimpin formal, terutama di pedesaan. [3] Pengaruh kyai melewati batas-batas geografis pedesaan
berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan
menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan
spiritual karena kedekatannya dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal tidak hanya sebagai guru di
pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang
khas merupakan simbol-simbol kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan,
berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah. Karena itu,
perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Lanjutan dari tulisan ini>>

« Last Edit: 31/05/2007 09:06 by boencis »

Logged

boencis

 Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

« Reply #1 on: 31/05/2007 08:58 »

Kedududukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal
diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki
jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat. Jaringan itu terbentuk
melalui organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakat, partai politik, guru-murid dan tarekat.

Di samping kyai, Jawara merupakan kelompok lain yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di
Banten. [4] Jawara dikenal sebagai seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-
kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supranatural (magic), seperti penggunaan jimat, sehingga ia
disegani oleh masyarakat. Sosok seorang jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan
seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap
persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki
keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan)
dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan supranatural. [5]

Kepala jawara memiliki padepokan sebagai tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun
memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan, mereka
memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang
dipimpin oleh Tb Chasan Shohib; dan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir  yang dipimpin oleh Maman
Rizal.

Dengan demikian, entitas kyai dan jawara dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang melewati
batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya. Bagi peneliti, dua entitas tersebut merupakan
fenomena yang menarik. Karenanya, sebagai permasalahan utama peneliti memunculkan pertanyaan-
pertanyaan berikut ini. Bagaimana kedudukan dan peran kyai dan jawara dalam budaya masyarakat
Banten? Bagaimana jaringan kyai dan jawara di Banten dapat terbentuk? Bagaimana sifat dan
karakteristik jaringan itu? Dan bagaimana hubungan kyai dengan jawara?

*****

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti menggunakan tiga pendekatan, yaitu:


etnografis, historis dan teologis. Metode yang dipergunakan adalah pengamatan terlibat (participant
observation) dan wawancara mendalam (indepth interview), untuk mengungkap unsur-unsur
kebudayaan yang terdapat dalam interaksi sosial dan simbol-simbol yang dipergunakan oleh kyai dan
jawara.

Setelah melakukan eksplorasi literatur tentang permasalahan itu, sebagai acuan dalam membahas
permasalahan, peneliti menggunakan teori bahwa subkultural ini bukan hanya sekedar sekelompok
orang yang menempati wilayah tertentu, tetapi ia sangat komplek. Ia memiliki simbol, makna dan
pengetahuan. Ia merupakan sistem norma, nilai, kepentingan atau perilaku yang membedakan antara
individu, kelompok atau kesatuan dengan masyarakat yang lebih besar di mana mereka juga ikut
berpartisipasi di dalamnya. [6] Teori ini menempatkan bahwa kyai dan jawara adalah subkultur, yang
memiliki nilai dan norma tersendiri, namun tetap tidak terpisah dari kultur masyarakat Banten secara
keseluruhan.

Pandangan tersebut sangat mempengaruhi, bahkan seringkali menentukan, keberadaan subkultur.


Kecurigaan, ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap hal-hal yang tidak diketahui atau hal-hal yang
menyimpang dapat mengakibatkan penolakan oleh masyarakat dominan. Sebuah lingkaran interaksi
dapat menggerakkan mereka yang didefenisikan berbeda atau menyimpang untuk berpikiran dan
berperilaku seperti yang dituduhkannya itu, sehingga mereka yang “dituduh” itu berupaya untuk
semakin banyak mengambil sumber-sumber mereka sendiri, mengangkat nilai-nilai, keyakinan, peran
dan sistem status milik mereka sendiri. [7]

 
Banten dan Tradisi Islam

Banten terletak di bagian Barat pulau Jawa yang melingkupi daerah kabupaten Lebak, Pandeglang,
Serang, Cilegon dan Tangerang. Di sebelah Utara terdapat laut Jawa dan sebelah Barat terdapat selat
Sunda. Sebelah Selatan terletak Samudera Indonesia dan sebelah Timur terbentang dari Cisadane
sampai Pelabuhan Ratu. Pulau-pulau di sekitarnya yang masih termasuk wilayah Banten adalah: pulau
Panaitan, pulau Rakata, pulau Sertung, pulau Panjang, pulau Dua, pulau Deli dan Pulau Tinjil. Kini jumlah
penduduk Banten sekitar 8.098.277 orang dengan komposisi 95,89 %  beragama Islam, 1, 03 %
beragama Katolik, 1, 59 % beragama Protestan, 0,22 % beragama Hindu, 1,15 % beragama Budha.
Sisanya memeluk agama lokal (sunda wiwitan), yakni orang-orang Baduy. [8]

Sejarah Islam di Banten tidak sekedar soal konversi saja, tetapi juga mengenai pengaruh Islam sebagai
agama resmi kesultanan, sehingga mengakibatkan hancurnya banyak kebudayaan Hindu-Budha yang
pernah ada dan sebagai ideologi perjuangan untuk melawan pemerintah kolonial. Yang terakhir inilah
mungkin, tanpa mengesampingkan adanya ulama Banten yang menekuni bidang intelektual seperti
Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyebabkan penyebaran Islam di Banten dalam bidang intelektual
tidak begitu menonjol. [9] Para tokoh agama, kyai termasuk di dalamnya, lebih sibuk mengurusi soal
bagaimana mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Hal demikian menimbulkan kesan
bahwa sentimen keislaman di Banten sangat kental, meskipun dalam pemahaman keislaman tidak
begitu mendalam. Hal seperti ini juga dapat terlihat dalam perilaku para jawara.

Sejarah masuknya Islam di Banten masih sangat kabur. Para sarjana mengakui adanya problem yang
signifikan berkaitan dengan asal usul penyebaran Islam di Banten, yang mungkin tidak akan pernah
terungkap secara utuh karena kurangnya sumber-sumber sejarah yang bisa dipercaya yang mencatat
periode kontak dan konversi tersebut. Diakui memang sudah ada kalangan muslim, terutama para
pedagang dari Arab dan India, yang singgah di pelabuhan Banten. Para pedagang tersebut yang
kemudian membawa para guru agama (muballigh) setelah mereka mendirikan komunitas-komunitas
yang permanen di Banten. Dengan demikian, jalinan antara perdagangan dan konversi sangatlah erat,
meskipun tidak secara langsung. Kendati jalur perdagangan yang pertama membawa Islam ke Banten,
akan tetapi para sufi, ulama dan tentunya para Sultan Banten memiliki peran penting dalam
menyebaran Islam di seluruh wilayah Banten. [10]

Dalam kesultanan Banten, para sultan bukan saja pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama. Dalam
kesultanan Banten politik dan agama memiliki kaitan yang erat. Tidak ada pemisahan yang tegas antara
permasalahan agama dan permasalahan politik. Kekuasaan dan agama dalam kesultanan Banten saling
menguatkan bukan bersaing. Islam menyebar ke seluruh wilayah Banten tidak lepas dari pengaruh
kekuasaan kesultanan Banten. Demikian pula kekuasaan kesultanan Banten mendapat legitimasi kuat
dari agama Islam. Sebagai simbol kaitan yang erat antara kekuasaan dan keagamaan dapat dilihat dari
letak keraton Surosowan yang berdampingan dengan mesjid Agung Banten. Dalam negara tradisional,
keraton merupakan simbol dari kekuasaan yang bersifat duniawi, sedangkan mesjid merupakan simbol
keagamaan yang bersifat keakhiratan [11] .

Para Sultan Banten selain dikenal sebagai orang religius juga ahli agama. Bahkan Sultan Ke-3, Maulana
Muhammad banyak menulis kitab-kitab tentang agama Islam yang kemudian dibagikan kepada orang-
orang yang membutuhkan. Ia pun sering menjadi imam dan khotib pada sholat Jum’at dan hari-hari
raya. Demikian pula Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad. Ia sering memberikan pengajaran tentang agama Islam
kepada para bawahan dan keluarganya. Ia pun dikisahkan banyak menulis buku agama, salah satu
karyanya, Insân Kâmil,  yang kemudian diambil oleh Snouck Hurgronye. [12]

Sebagai simbol bahwa para Sultan Banten tidak hanya pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama,
mereka memakai gelar keagamaan, maulana atau sultan, di depan nama mereka. Maulana yang
merupakan gelar yang dipakai oleh seseorang yang telah mencapai derajat wali, sedangkan sultan
merupakan gelar yang diberikan oleh para ulama di Mekkah kepada penguasa Banten sebagai
pengakuan akan kepemimpinannya terhadap orang-orang muslim seperti, pendiri dan penguasa
kesultanan Banten, Pangeran Sedakinking, bergelar Maulana Hasanuddin. [13]

Runtuhnya kesultanan Banten dan semakin memudarnya peran agama dalam sistem politik
pemerintahan kolonial, telah mengalihkan loyalitas masyarakat ke para pemimpin agama yang selama
ini bersifat independen, yakni para kyai. Para kyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial
karena mereka dipandang sebagai orang-orang kafir yang telah merebut kekuasaan orang-orang muslim
dan dengan demikian mesti diperangi. Ide-ide keagamaan itu memasuki hampir semua aspek kehidupan
masyarakat. Pandangan ini mempunyai pengarauh signifikan di Banten yang penduduknya saat taat
kepada agama.

Pada masyarakat yang religius, tingkat keberagamaan setiap orang diukur dari segi kesalehannya,
pengetahuannya atau keanggotannya dalam satu lembaga keagamaan seperti tarekat. Oleh karena itu,
pada masa-masa ini para kyai atau pemimpin tarekat lebih dihormati daripada pamongpraja atau
birokrat yang bekerja pada pemerintah kolonial. Karena itu, rakyat tidak memberikan dukungan politik
kepada para bupati dan pamongraja, karena mereka dipandang telah bekerja pada pemerintahan yang
kafir, sehingga derajat sosio-religius mereka pun dipandang rendah. [14]

Dengan kedudukan seperti itu, para kyai memainkan peran penting dalam melakukan pemberontakan-
pemberontakan terhadap pemerintah kolonial, yang mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan
elit-elit sosial lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten,
terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti,
pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik
tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun
1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger
Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh Ki Wasid.
 

Kedudukan & Peran Kyai dan Jawara

Kyai dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga
saat ini. Meskipun peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang
semakin hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan moralitas masyarakat
Banten, sehingga dampaknya tidak hanya berpengaruh pada pendapatan dan produksi, tetapi juga pada
perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. [15] Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak
sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh. Kyai sampai kini
tetap merupakan salah satu orang yang dihormati oleh masyarakat. Di  samping tokoh-tokoh lain,
seperti tokoh politik para pejabat pemerintah dan pengusaha.

Demikian pula jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat,
mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor
ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri, lepas dari
wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi memainkan peran yang
sangat besar.

Kyai dan Jawara sebagai Elit Sosial

Pada masyarakat yang sangat kental nuansa keagamaan, seperti Banten, peran tokoh agama sangat
besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kyai di Banten memiliki status sosial yang
dihormati oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat religius didasarkan kepada suatu kesakralan, Tuhan
atau Allah, sehingga ketertiban sosial pun dipandang memiliki hubungan yang erat dengan kekuasaan di
atasnya. Karena itu mereka memiliki ketergantungan terhadap tokoh-tokoh agama dalam memandu
kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. [16]

Jawara pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kyai terutama berkaitan dengan persoalan
keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, terkadang mereka justru banyak merugikan masyarakat.
Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota
Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan
sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Ahmad Khatib
memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.

Peran Sosial Kyai


Peran kyai dalam masyarakaat Banten pada masa kini tidak sepenting masa-masa yang lalu. Arus
modernisasi yang banyak mengagungkan kepada materi dan menuntut profesionalisme dalam segala
bidang, telah menempatkan kyai hanya pada  peran-peran yang berkaitan langsung dengan masalah
keagamaan. Sudah tidak banyak kyai yang memiliki peran yang menentukan di luar masalah keagamaan,
seperti pada masa kolonialisme atau pada masa awal kemerdekaan RI dan zaman revolusi fisik tahun
1945-1950.

Berdasarkan perannya, kyai di Banten sering dibedakan menjadi “kyai kitab” dan “kyai hikmah.” [17]
Kyai kitab ditujukan kepada kyai atau guru yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu tekstual Islam,
khususnya yang dikenal dengan kitab kuning. Seperti kitab-kitab tafsir al-Qur’an, kitab-kitab Hadits,
kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, kitab-kitab akidah akhlak serta kitab-kitab gramatika Bahasa Arab.
Sedangkan, “kyai hikmah” adalah para kyai yang mempraktekkan ilmu magis Islam. Yakni yang
mengajarkan wirîd, zikr dan râtib, untuk keperluan praktis, seperti permainan debus, pengobatan,
kesaktian dan kewibawaan. Meskipun demikian, pembedaan tersebut pada praktiknya tidak
memisahkan secara tegas. Banyak kyai yang mengkombinasikan kedua peran tersebut dengan campuran
yang berbeda-beda.

Peran-peran sosial keagamaan kyai di Banten dapat dirincikan dengan beberapa bagian, yaitu:

a.      Guru Ngaji

Peran kyai yang paling awal adalah mengajarkan pembacaan al-Qur’an dengan baik kepada para
santrinya. Tugas kyai dalam hal ini adalah mengajarkan pembacaan huruf-huruf hijâiyyah dan kaidah-
kaidah pembacaan al-Qur’an yang benar, yang dikenal dengal ‘ilm tajwîd. Dalam tahapan yang lebih
maju kyai mengajarkan tentang beberapa metode pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara indah,
yakni untuk para qâri dan qâriah yang memiliki bakat suara yang baik. Selain itu juga para qâri dan
qâriah diajarkan aliran-aliran atau madzhab-madzhab pembacaan ayat-ayat al-Qur’an.

Sekarang ini, peran guru ngaji tidak hanya dilakukan oleh seorang kyai yang memiliki pesantren, tetapi
juga oleh para santri, yang biasanya dipanggil ustâdz,  yang pernah mengeyam pendidikan pesantren
dan memiliki kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah pembacaannya
dalam ‘lmu tajwîd. Pelaksanaan pengajarannya biasanya diselenggarakan di rumah ustâdz atau di
mushola yang terdekat dengan kediamannya. Pengajaran al-Qur’an dilakukan pada waktu-waktu selesai
sholat lima waktu, seperti: setelah sholat magrib, subuh dan ashar. Para pesertanya biasanya anak-anak
dan kaum remaja di sekitar kediaman ustâdz  tersebut.

b.       Guru Kitab

Seorang santri yang telah lancar membaca ayat-ayat al-Qur’an, mulai berkenalan dengan kitab-kitab
Islam klasik. Memang tugas utama seorang kyai di pesantren adalah mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik, terutama karangan-karangan ulama fiqh yang bermadzhab Syafi’i. Pengajaran membaca al-
Qur’an, meskipun dilaksanakan di pesantren-pesantren, yang biasanya masih kecil dan belum terkenal,
sebagai dasar dari suatu proses pendidikan, bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren. Tujuan
utamanya adalah setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam memahami kitab-kitab Islam
klasik, yang dikenal dengan kitab kuning.

Kemashuran seorang kyai dan pesantren ditentukan dari kemampuannya dalam memahami isi dan
memberikan pengajaran tingkatan kitab-kitab klasik tersebut. Seorang kyai yang memimpin sebuah
pesantren yang kecil dan kurang terkenal mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar.
Sedangkan kyai yang terkenal dan kharismatik biasanya memiliki sebuah pesantren yang cukup besar
dengan mengajarkan sejumlah santri yang cukup banyak tentang kitab-kitab besar.

Logged

boencis

 Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

« Reply #2 on: 31/05/2007 08:59 »

c.     Guru Tarekat

Seorang kyai yang kharismatik selain mengajarkan kitab-kitab klasik, seperti yang telah diterangkan
terdahulu, juga mengajarkan praktek tarekat. Pengajaran tarekat di Banten memiliki sejarah yang sangat
panjang. Sebuah “pesantren” tua yang terkenal bernama Karang, yang terletak di sekitar Gunung
Karang, sebelah barat kota Pandeglang sekarang diduga telah mengajarkan tarekat Qodariyah. Dalam
Serat Centhini, dijelaskan bahwa sang pertapa yang bernama Dandarma, mengaku telah belajar tiga
tahun di Karang di bawah bimbingan seorang guru “Seh Kadir Jalena”; yang diduga dimaksudkan ia
belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd al-Qadir Al- Jailani.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga
yang berguru di sebuah perguron di Karang di bawah bimbingan seorang guru yang berasal dari Arab
bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. [18] Oleh karena itu
wajar apabila para tarekat sudah sangat dikenal di lingkungan istana kesultanan Banten semenjak awal
didirikannya kesultanan itu. Pendiri kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin, telah dibai’at untuk
menganut dan mempraktekkan wirid tarekat Naqsabandiyah. [19]

d.    Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib)

Para kyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat
tetapi juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah atau ilmu-ilmu ghaib. Banten hingga kini memiliki reputasi
yang cukup dikenal sebagai daerah tempat bersemayamnya ilmu-ilmu gaib sehingga tidak sedikit orang
Banten yang memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan,
pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapat
kekayaan, kedudukan dan perlindungan supranatural serta kedamaian jiwa.

Kyai yang dikenal sebagai guru ilmu hikmah di Banten adalah Ki Armin (K.H. Muhamad Hasan Amin) dari
Cibuntu, Pandeglang. Beliau adalah kemenakan dari Kyai Asnawi Caringin, guru tarekat Qodariyyah wa
Naqsabandiyah yang sangat terkenal di Banten. Banyak cerita yang tersebar di kalangan rakyat tentang
kekuatan-kekuatan ajaib diseputar kyai ini, seperti kemampuannya untuk melihat apa yang belum
terjadi, karier yang cepat atau kekayaan yang datang secara tiba-tiba yang terjadi kepada beberapa
orang yang telah mendapatkan restunya. Kyai lain yang juga dikenal memiliki ilmu hikmah adalah Ki
Dimyati, yang memimpin sebuah pesantren di Cisantri, Pandeglang.

e.     Mubaligh

Seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya
atau menetap di suatu tempat dan umatnya datang untuk minta nasehat, doa dan kebutuhan praktis
lainnya. Kyai juga aktif melakukan ceramah agama kepada masyarakat luas secara berkeliling, sehingga
disebut dengan mubâligh (orang yang menyampaikan pesan agama Islam).

Dalam pemberontakan di Cilegon yang terjadi pada tahun 1888, peran para mubâligh sangat penting
dalam memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan. Para kyai, yang terdiri dari para guru
tarekat, para syarîf dan sayyid, banyak berkhutbah secara berkeliling untuk melakukan pembinaan
kerohanian masyarakat. Disadari, hal tersebut turut memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
meningkatkan kehidupan kerohanian rakyat. [20]

H. Udi Mufrodi, salah seorang kyai, sering memberikan ceramah keagamaan pada berbagai acara
keagamaannya di wilayah Banten dan daerah-daerah lain seperti Lampung dan Jakarta. Menurutnya
bahwa untuk menjadi penceramah/mubâligh tidak hanya memiliki kemampuan memahami pesan-pesan
agama, retorika yang baik tetapi juga harus mampu memahami kehendak masyarakat dan memiliki
ilmu-ilmu batin. Sebab, menurutnya menjadi mubâligh itu penuh dengan tantangan, karena mungkin
pesan-pesan yang disampaikan itu banyak bersinggungan dengan kepentingan seseorang atau kelompok
tertentu.

Logged

boencis

 Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

« Reply #3 on: 31/05/2007 09:01 »

Peran Sosial Jawara

Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat
tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara
dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap
masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan
oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh
jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang
ekonomi, sosial dan politik di Banten. [21]

Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula
yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran
jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang
diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan
kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. [22] Namun demikian peran-peran sosial
yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah),
penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.

a.     Jaro

Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa
yang sering disebut jaro. [23] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman
Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus
kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. [24]
Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro),
jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot
atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). [25]

b.    Guru silat

Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan
bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah dekat sekitar
Gunung Karang, Pandeglang. [26] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti
Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. [27] Setiap
perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini
semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya
Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.

c.     Guru Ilmu Batin (Magis)

Seorang jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki
ilmu “batin” atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural untuk
memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal,
pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah tulang dan  tukang pijit.

Kecenderungan terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar
yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi  yang melakukan tapa, yakni
sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan
Hasanuddin sebelum menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini
dianggap sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan
sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. [28]

Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti  (kemampuan untuk
melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari
kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan
kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya)
dan sebagainya. [29]

d.       Pemain Debus (Seni Budaya Banten)


Peran jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak
dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua
jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan
bencana atau kecelakaan.

Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan
debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali
melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa
tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling
berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan
yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau
Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini
adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam
mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. [30]

Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi.
Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan
nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk
pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian.
Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan
untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang
mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang
bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya
ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.

e.     Tentara Wakaf dan Khodim Kyai

Peran jawara sebagai “tentara wakaf” ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka biasanya diterjunkan pada
acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Pada masa Orde Baru “tentara
wakaf” ini dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan pengamanannya di Banten. Bahkan, ketua
umumnya sendiri dijadikan pengurus partai politik tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang
terjadi di negeri ini pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka sekarang
nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi pada partai tertentu. Oleh karena itu,
apabila ada tawaran-tawaran untuk menjaga keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka
dan menerima tawaran tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik.

Jawara yang sebenarnya adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga
yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai “khodim kyai”
maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak kepada
masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya.
Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan
yang materialistik.

Logged

boencis

 Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

« Reply #4 on: 31/05/2007 09:03 »

Jaringan & Hubungan Kyai & Jawara

Kedudukan dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial
antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang
dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-
lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau yang sedang dalam transisi, seperti
masyarakat Banten, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki
derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk melalui
hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial
yang demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan “solidaritas mekanis.” [31]

Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya.
Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran
terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih
luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam
mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat
mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi para
pelanggarnya. Aturan-aturan adalah ijazah dan kawalat. [32]

Ijazah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau
mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Ijazah ini sangat penting
karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru
terhadap muridnya. Pemberian ijazah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya
bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah
ijazah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa
ijazah dari sang guru ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.”

Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah
melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan
kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-
macam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya.

 
Jaringan Kyai

Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya
memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam
kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan
intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan
tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.

a.     Kekerabatan

Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga, yang
sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang
kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut
apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi
Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:

1.     K.H. Asytari

2.     Imam Nawawi

3.     Kyai Umar

4.     Kyai Arabi

5.     Kyai Ali

6.     Kyai Jamad

7.     Kyai Janta


8.     Kyai Masbugil

9.     Kyai Masqun

10.  Kyai Masnun

11.  Kyai Maswi

12.  Kyai Tajul Arusy Tanara

13.  Maulana Hasanuddin Banten

14.  Maulana Syarif Hidayatullah

15.  Raja Atamuddin Abdullah

16.  Ali Nuruddin

17.  Maulana Jamaluddin Akhbar Husain

18.  Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal


   

19.  Abdullah Adzmah Khan

20.  Amir Abdullah Malik

21.  Sayyid Alwi

22.  Sayyid Muhammad Mirbath

23.  Sayyid Ali Khali’ Qasim

24.  Sayid Alwi

25.  Imam Ubaidiilah

26.  Imam Ahmad Muhajir Ilallahi

27.  Imam Isa al-Naqib


28.  Imam Muhmmad Naqib

29.  Imam Ali Ardhi

30.  Imam Ja’far al-Shadiq

31.  Imam Muhammad al-Baqir

32.  Imam Ali Zainal Abidin

33.  Sayyidina Husain

34.  Sayyidatuna Fathimah Zahra

35.  Nabi Muhammad Saw.

Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari
Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk
mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai
dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai
pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.

b.    Guru-Murid

Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para
ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir,
dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada
gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di
Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau
syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] .

Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim,
putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah
memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya.
Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:

1.        Nabi Muhammad Saw.


2.        Ali bin Abi Thalib

3.        Husein bin Fatimah Al-Zahra

4.        Imam Zainal Abidin

5.        Syaikh Muhamad al-Baqir

6.        Syaikh Ja’far al-Shadiq

7.        Syaikh Musa al-Kadzim

8.        Syaikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha

9.        Syaikh Ma’ruf al-Karkhi

10.     Syaikh Sari al-Saqati

11.     Syaikh Abi al-Qasim Junayd

12.     Sayikh Abu Bakar al-Shibli

13.     Syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi.

14.     Syaikh Abi al-Faraj al-Tartusi

15.     Syaikh Abi Hasan al-Hiraki

16.     Syaikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum

17.     Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani

18.     Syaikh Abd al-Aziz

19.     Syaikh Muhammad al-Hattaki

 
   

20.    Syaikh Syams al-Din

21.    Syaikh Syaraf al-Din


22.    Syaikh Zayn al-Din

23.    Syaikh Nur al-Din

24.    Syaikh Waliyu al-Din

25.    Syaikh Husham al-Din

26.    Syaikh Yahya

27.    Syaikh Abi Bakr

28.    Syaikh Abd al-Rahim

29.    Syaikh Ustman

30.    Syaikh Kamal al-Din

31.    Syaikh Abd al-Fattah

32.    Syaikh Murod

33.    Syaikh Syams al-Din

34.    Syaikh Ahmad Khatib Sambas

35.    Syaikh Abdul Karim Tanara

36.    K.H. Asnawi

37.    K.H. Ahmad Suhari

38.    K.H. Khodim

c. Organisasi Massa

          Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan
dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial
keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk
membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama
(NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.

Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan
untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang
dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah
Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir sama. Maka,
membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain.

Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang
mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi
nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga
induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan
baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa
dengan nama yang sama. [37]

Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya
masing-masing adalah:

1.        K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang

2.        K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.

3.        K.H. Mohammad Nur dari Keramat Watu, Serang.

4.        K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang

5.        K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang

6.        K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Keramat Watu Serang.

7.        K.H. Ismail dari Keragilan Serang.

8.        K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang

9.        Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang

10.     Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.

11.     K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,

12.     K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.


 

Logged

boencis

 Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

« Reply #5 on: 31/05/2007 09:03 »

aringan Jawara

Para jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain membangun jaringan
yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi
kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti
adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu, pertemanan dan sebagainya.

Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional
tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan
Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung
lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu
Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib.

a.     Kekerabatan

Meskipun jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam tradisi kehidupan
para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting dalam membina hubungan solidaritas dan
pengajaran elmu-elmu kesaktian dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah
seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan
para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya, dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke
orang lain.

Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan
dalam kehidupan mereka. Para jawara sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber
wawanen (berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3) kukuh kana janji (memiliki
komitmen yang kuat untuk menepati janji). [38]

b.    Seguru-seelmu

Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau magis,
adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala
jawara) itu dengan panggilan “abah”, yang artinya sama dengan “bapak”. Panggilan itu menyimbolkan
bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya.

Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguron-perguron
persilatan yang masih tetap bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron
memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup terkenal karena memiliki
jaringan yang cukup besar adalah Trumbu, Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir)
dan Jalak Rawi.

c.     Organisasi Massa

Organisasi yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya
Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971, hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama
(Satuan Karya Ulama). [39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur tangan
pemerintah  dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi politik yang ada di wilayah Banten.
[40]

 
Hubungan Kyai dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta jaringan sosial yang
dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok
masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih
banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih
banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. [41]

Kyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat
pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak
pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2),
kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam bidang
pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria
keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan
sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam
kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal
masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi.
Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah
materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat
kepada kyai dipandang sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]

PENUTUP

Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan
jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur
dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi
juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah
subkultur kyai dan jawara.

Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat Banten adalah
sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan
hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama
Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar
kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat
yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai merupakan
suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam
pendidikan formal.

Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan
mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa
memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat
dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang
kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Kedua, kyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia
merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan
menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat
masyarakat.  Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya
terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional
masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat
ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan
(agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.

Ketiga, peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat
Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu
“hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang kyai adalah selain sebagai pewaris tradisi
keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia
lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas
yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat
agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-
politik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang
terjadi.

Sementara itu, peranan sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan  fisik dan
“batin,” sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional yang sering dimainkan para jawara
adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan
pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam kekacauan dan kerusuhan yang
cukup lama, memiliki signifikansi yang tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam
sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan. Tentunya,
demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan dibandingkan dengan peranan masa-masa
lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan
masyarakatnya

Keempat, jaringan tradisional yang dibangun kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan
hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan
kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga
sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.

Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam
dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat
simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai.
Sebaliknya, kyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan
tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering
mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan:

1.     Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami
tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah
masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai
mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan
terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering
dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah
dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni
perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah,
bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-
kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru
akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.

2.     Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap kehidupan sosial di Banten.
Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang
serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan
sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini
merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.

Kalau kita membuka buku-buku sejarah Indonesia pada umumnya kita  tidak akan menjumpai
nama-nama tokoh pemuka agama, seperti Haji Rifangi, H. Wasit dari peristiwa Cilegon, atau H.
Kasan Mukmin dari peristiwa Gedangan dan sebagainya, yang terlalu banyak untuk disebut satu
persatu. Hal ini dapat dipahami oleh karena penulisan sejarah itu masih berwawasan yang
berpusat dari Belanda atau terbatas pada tingkat “nasional” sehingga tidak mampu
mengungkapkan peranan rakyat kecil atau pedesaan beserta pemimpinnya.

Saya mengkaji peristiwa pemberontakan petani di Banten pada tahun 1988, sebagai  usaha
penulisan sejarah yang berwawasan Indonesia-sentris. Dalam studi itu, disamping perjumpaan
dengan para petani, mau tak mau muncullah peranann tokoh-tokoh pemimpin agama yang
memiliki otoritas kharisma terhadap rakyat. Tidak mengherankan apabila masyarakat mengalami
krisis sebagai dampak penetrasi rejim kolonial beserta keresahan di lingkungan rakyat,
kepemimpinan para ulamalah yang menonjol, antara lain untuk memobilisasi rakyat dalam
pelbagai gerakan sosial.

Gerakan itu umumnya terbatas ruang lingkupnya, meskipun ideologinya secara laten hidup di
mana-mana, lagi pula gerakan itu berusia pendek, sebab pemerintah kolonial yang diliputi oleh
haji-phobia atau islamo-phobia, segera bertindak untuk memadamkannya.

Sesungguhnya seluruh abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20 ditandai oleh meledaknya
gejolak atau protes sosial di kalangan petani secara silih berganti, maka tepatlah apabila
dikatakan bahwa Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya dilanda oleh gerakan yang
beraneka ragam. Semua itu dapat dipahami sebagai konflik sosial dimana kekuatan tradisional
menentang rezim kolonial beserta segala kelembagaannya.

Proses itu lazim terjadi dan amat wajarlah apabila golongan-golongan sosial mengambil sikap
sesuai dengan kedudukan sosialnya; para elite religius berada di pihak yang menolak, sedang
elite birokrasi adalah pihak yang menerima. Dengan demikian konflik tidak dapat dihindari dan
konfrontasi mudah terjadi. Boleh dikata bahwa gerakan protes itu mencapai momentumnya
apabila ada pemimpin muncul yang dipandang rakyat sebagai orang keramat, ratu adil dan
tokoh-tokoh kharismatik lainnya. Gerakan yang amat banyak jumlahnya, lazimnya terbagi atas
beberapa jenis, antara lain: 1) ada gerakan melawan pemerasan, 2) gerakan milenaristik,
termasuk gerakan mesianistis atau Ratu adil, 3) gerakan revivalistis atau sektaris, 4) gerakan
semi-modern, seperti Sarekat Islam.

Berdasarkan ciri-ciri yang menonjol, gerakan H. Rifangi dapat dimasukkan sebagai gerakan
ketiga, yaitu gerakan yang revivalistik. Dalam bagian berikut ini akan dibahas lebih lanjut.

Gerakan H. Rifangi

Uraian di atas dimaksud untuk memberi latar belakang sosial budaya serta politik gerakan itu.
Pemahamannya secara lebih mendalam, khususnya mengenai sifat gerakan serta profil H.
Rifangi perlu menempatkannya dalam konteks jiwa dan jaman beserta masyarakat.

Salah satu aspek dari latar belakang sosial budaya itu ialah perkembangan kehidupan beragama
secara luas dan penghayatan yang meningkat. Disini gejala itu disebut sebagai revivalisme. Dari
angka-angka statistik tentang jumlah yang naik haji, tersebarnya pesantren dan terekat sudah
cukup menjadi bukti cukup adanya revivalisme itu. Oleh karena itu para penguasa kolonial
melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga tersebut, maka tidak mengherankan
apabila data mengenai hal itu cukup memadai. Terlebih mengenai lembaga-lembaga yang
memiliki potensi kuat untuk melakukan gerakan anti-kolonial. Di samping itu aliran atau
lembaga yang lebih mengutamakan penghayatan agama yang lebih terarah ‘ ke arah dalam’,
seperti aliran tasawuf, politik kolonial pada umumnya memandang hal itu tidak berbahaya. Yang
amat dicurigai ialah lembaga atau aliran yang militan dan yang dengan sendirinya merupakan
ancaman terhadap kedudukan Belanda.

Dibanding dengan gerakan-gerakan lainnya gerakan H. Rifangi secara eksplisit merumuskan


ideologi anti Belanda dengan anti pemerintah kafir. Karya H. Rifangi yang berjudul Nalam
Wikayah mengungkapkan perjuangan anti-kafir, mencela sikap para pejabat pamong praja yang
cenderung berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Dikecamnya bahwa kehidupan agamanya
sudah merosot, kecuali menujukkan loyalitas kepada Belanda, mereka mempunyai gaya hidup
kekafiran, antaa lain suka mengadakan pertunjukan wayang, main gamelan, berjudi dan lain-lain.
Di sini tampak jelas-jelas usaha untuk memurnikan penghayatan beragama. Karena itu tepatlah
kiranya apabila gerakan itu mewujudkan revivalisme.

Dengan demikian jelaslah mengapa penguasa kolonial beserta kaum pamong praja berdaya-
upaya keras untuk menjatuhkan pemimpin gerakan, antara lain dengan memerintahkan
penyelenggaraan debat antara H. Rifangi dengan penghulu Belanda.

Menurut cerita dalam Serat Cebolek H. Rifangi menderita kekelahan, namun tidak seperti yang
diharapkan oleh penguaa, kekalahan itu tidaa mengurangi popularitas serta otoritasnya di
kalangan rakyat. Seperti dalam kasus-kasus sejenis penguasa menangkap dan membuangnya.
Rupanya gerakan tetap berkesinambungan dan selanjutnya tidak labi menghadapi intervensi
Belanda, sehingga dalam tahun 1920-an masih berdiri tegak kelompok-kelompok penganutnya.

Amat berbeda dengan gerakan mesianistis, di sini tidak terjadi konfrontasi dengan Kumpeni.
Cerita saya berhenti di sini oleh karena tidak banyak sumber arsip yang mengungkapkan
perkembangan selanjutnya. Mungkin para peneliti lain dapat meneruskan usaha pengumpulan
data lewat tradisi lisan yang masih ada di kalangan mereka.

Beberapa Catatan

Pada waktu saya melakukan penelitian tentang pemberontakan Cilegon (1888), saya menjumpai
daftar gejolak yang terjadi di Banten Utara, tetapi juha pelbagai gerakan protes di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur,diantaranya gerakan H. Rifangi. Hal ini dapat dikatakan sebagai
suatu “penemuan”, artinya perjumpaan pertama kali dengan fakta tersebut seperti terungkapkan
dari dokumen arsip. Sebelumnya peristiwa itu tidak dikenal oleh umum.

Bila dibandingkan dengan gerakan protes lain-lainnya dalam gerakan H. Rifangi tidak terjadi
benturan bersenjata dengan Kumpeni serta ada ruang bergerak bagi pengikut untuk meneruskan
kegiatan revivalismenya.

Kecuali H. Nawawi dari Banten, tidak terdapat pemuka agama yang menghasilkan karya amat
banyak, yang terkenal sebagai Tarajumuh. Dengan demikian H. Rifangi juga diindetifikasikan
sebagai ahli sastra (Man of letters).

Meskipun tidak mencapai momentum konfrontasi dengan Kumpeni, namun agitasi anti-
kolonialismenya mampu membangkitkan kesadaran religio-politik di kalangan murid-muridnya
sehingga berkembang sebagai kekuatan sosial politik yang kuat. Maka dari itu pembangunan H.
Rifangi tidak menghentikan gerakan tersebut dan ada kontinuitas seperti dewasa ini.

Gerakan anti-kolonialisme H. Rifangi belum dapat digolongkan sebagai gerakan nasionalis


seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam dan lain sebagainya. Lebih tepatnya disebut sebagai
gerakan proto-nasionalis.

Harapan

Penggalian sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah gerakan protes beserta
kepemimpinannya, telah berhasil “menemukan” tokoh-tokoh sepeti H.Rifangi. H. Wasit, H,
Kasan Mukmin dan sebagainya.

Apa yang dikaji sampai kini belum tuntas, maka diharapkan agar setelah ini ada tindak lanjut,
antara lain penerbitan karya-karya H. Rifangi, penelitian sumber sejarah lisan, dan lain
sebagainya.

Dengan demikian ada kelonggaran mengenal tokoh tersebut secara lebih bulat, khususnya segi-
segi kepahlawanannya. Dalam hal ini perspektif sejarah akan meluaskan cakrawala intelektual
kita.
Jangan Sok Usial

Jamaah haji dari seluruh dunia berjumlah jutaan orang. Dalam praktek ibadahnya, tentu
bermacam-macam. Misalnya, ada orang shalat sambil menggendong bayi. Ada pula orang shalat
Subuh tak membaca kunut. Melihat perbedaan-perbedaan itu, hendaknya setiap jamaah haji tidak
usil. Kembalikan saja kepada ajaran Allah: “Lanaa A’maalunaa walakum a’maalukum”. Arti
bebasnya, “Kami akan mengerjakan amalan yang kami yakini kebenarannya dan Anda silakan
mengerjakan amalan yang Anda yakini kebenarannya.”

Dalam protes perkembangan Islam di Indonesia, memang tidak sunyi dari orang-orang yang
tidak senang melihat Islam berkembang maju. Karena itu, mereka selalu berusaha
menghancurkan Islam. Menghantam Islam secara terang-terangan jelas mereka tidak berani.
Sebab bagaimanapun bodohnya umat Islam, ada satu hal positif, yaitu fanatisme beragama. Biar
dia tidak shalat, tapi jika agamanya dihina dia siap perang.

Itu sebabnya, untuk menghantam Islam, mereka belajar dari Van Der Plaas dan Snouck
Horgrounje, kemudian masuk ke tengah-tengah umat Islam, jika perlu pakai pici, mereka pakai
pici. Jika belum bisa mengucapkan Assalaamu’alaikum, mereka latihan untuk mengucapkan
Assalaamu’alaikum.

Lihat saja Islam Sejati, Islam Jamaah, Islam Inkarussunah.  Semuanya pakai label Islam, tapi
bertujuan menghancurkan Islam. Dan jika cara ini tetap tidak berhasil, maka mereka memutar
lagu lama, yaitu KHILAFIYAH. Soal-soal yang sepele dibesar-besarkan untuk menghancurkan
Islam. Padahal, khilafiyah ini, sampai kiamat pun tak akan tuntas. Bukankah lebih baik mencari
titik persamaan daripada memperbesar pola perbedaan, apalagi perbedaan itu tidak prinsip.

Karena itu, setiap jamaah haji, sebaiknya tidak usah usil dengan amalan orang lain. Shalat Subuh
pakai kunut itu betul. Tidak pakai kunut juga betul. Yang tidak betul itu adalah orang yang tidak
shalat Subuh. Nah, mengapa kita tidak mengajak teman-teman kita yang belum shalat Subuh?
Bukankah garapannya jelas dan sasarannya juga jelas?

Ibadah haji itu, merupakann ibadah paling berat. Untuk bisa melakukan ibadah ini dengan baik,
tentu dibutuhkan kesabaran. Karenanya, jamaah haji harus memperbanyak sabar selama di tanah
suci. Sebab, gara-gara soal kecil saja, kadang-kadang orang mudah marah. Misalnya, soal air,
soal makanan dansebagainya.

Dalam Islam, sabar itu punya tiga tempat. Pertama, sabar dalam taat. Kedua, sabar dalam
meninggalkan maksiat. Ketiga. Sabar menghadapi ujiam/cobaan. Sabar dalam taat, bisa
dirasakan saat jamaah haji berihram. Dalam keadaan ihram, jamaah haji dilarang mencukur
rambut, membunuh binatang,melakukan hubungan suami-istri dan sebagainya. Sabar dalam
meninggalkan maksiat, misalnya seseorang yang semula hobi menenggak minuman keras, tiba-
tiba berhenti. Selama berhenti meneggak minuman keras itu dia harus sabar, karena ada saja
ejekan dari teman-temannya yang biasa menenggak minuman keras.
Pembangkangan Tarekat Rifaiyah Diseminarkan

Pembangkangan K.H. Ahmad Rifa’I, pendiri tarekat Rifaiyah, menjadi topik bahasan seminar
nasional mengenai pembaruan Islam abad ke-19. Syaefudin Simon, selaku ketua penyelenggara,
mengemukakan hal itu kepada . .. . kemarin, di Yogyakarta. Menurut Simon mengkaji
keberadaan kisah pembangkangan agama dari Kalisalak, Batang, itu bisa dilakukan. Sebab dalam
Serat cebolek, ulama itu dinilai pembangkang. Padahal pada kenyataannya KH. Ahmad Rifa’i
mempunyai peran yang cukup besar, baik dalam menegakkan nilai-nilai Islam, maupun
meruntuhkan Kolonialisme Belanda.

Seminar dua hari, sejak hari ini di Balai Kajrahnitra, Yogyakarta, tersebut dikelola empat
lembaga. Mereka terdiri dari Yayasan Rifaiyah, jurnal ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an,
Balai Kajrahnitra, dan Masyarakat Sejarawan Indonesia.

KH. Ahmad Rifai lahir 1786 di Desa Tempuran, Kendal Jawa Tengah. Ia ditinggal mati ayahnya,
seorang penghulu priyayi Jawa, sejak usia tujuh tahun. Setelah itu kakak iparnyalah yang
membantu mengarahkan kehidupannya. Karena kakak iparnya itu seorang kyai di Kaliwungu, ia
pun dikader untuk menjadi seorang ulama.

Pada usia 30 tahun, Rifai menunaikan ibadah haji. Ia bermukim di kota suci Mekah selama
delapan tahun, bersama-sama dengan Khalil dari Madura dan Nawawi dari Banten.

Setelah merasa mapan, ketiganya kembali ke tanah air. Dalam perjalanan pulang itu, mereka
merencanakan untuk menyusun tiga kitab mengenai pokok-pokok agama Islam dalam bahasa
Jawa. Pembagian tugas pun diatur. Rifa’i menyusun kitab mengenai fiqih (hukum), Khalil
menyusun Kitab mengenai ushuluddin (teologi), dan Nawawi menyusun kitab mengenai tasawuf.

Setibanya di Indonesia, penyusun 56 kitab ini segera memulai dakwahnya, dengan tujuan
mengembalikan pelaksanaan amalan Islam pada Qur’an dan sunah Rasul. Rifa’i menekankan
materi pelajarannya pada kesadaran sosial.

Rifa’i juga sering menyampaikan kritik terhadap kaum priyayi yang feodal dan tradisonal.
Menurut Rifa’i, kaum priyayi itu harus bertanggung jawab atas kebobrokan moral umat Islam.

Sembilan materi sudah disiapkan dalam seminar. Bagian pertama berupa pengantar, bagian
kedua berisi pandangan Rifa’i mengenai pokok-pokok ajaran Islam, bagian ketiga mengenai
gerakan Rifa’iyah dan bagian keempat membahas karya sastra Rifa’i.

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo akan menyampaikan makalah pertama. Bagian kedua disampaikan
KH. Khairudin Hasbullah (Tauhid), Drs. Mukhlisin (Fiqih), dan Drs. Nurosyidin Romli
(Tasawuf).

oleh: Agus Nahrowi

Anda mungkin juga menyukai