Krisis keuangan global yang melanda dunia pada tahun 2008 ini
sekali lagi menghantam sektor rill. Mengapa? Setelah kenaikan
harga beberapa komoditas pangan dan energi yang mengguncang stabilitas ekonomi Indonesia beberapa waktu yang lalu, kali sektor keuangan “ikut-ikut” memperkeruh keadaan. Dampak tidak langsung berupa melemahnya mata uang rupiah, harus dibayar mahal dengan dinaikannya BI rate ke posisi 9.5%. Tujuannya berupa stabilitas rupiah dan inflasi (yang sebenarnya masih dipertanyakan) harus sekali lagi mengorbankan aliran dana perbankan ke sektor rill. Sekali lagi sektor rill menjadi korban atas segala konsekuensi kebijakan pemerintah.
Kebijakan Bank Indonesia ini memang terlihat membingungkan
dan tidak populis. Terlebih di saat yang sama beberapa bank sentral di berbagai belahan dunia (Seperti Inggris dan Amerika) justru menurunkan tingkat suku bunganya. Padahal, jika dilihat dari perspektif yang sama, kebijakan-kebijakan itu memiliki tujuan yang sama: menghindari krisis global. Lalu mengapa kita berbeda dan bertolak belakang?
Maka akan muncul sebuah pertanyaan besar bagi perekonomian
bangsa ini, apa gerangan yang membuat ekonomi ini sebegitu berbedanya dengan bangsa yang lain? Jika dilihat dari struktur yang membangun pertumbuhan ekonomi, maka jawabannya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh sisi konsumsi. Tidak berhenti sampai di situ, konsumsi itu pun di dominasi lagi oleh komponen barang-barang impor.
Maka tidak heran jika Boediono selaku Gubernur BI sangat
mengkhawatirkan melemahnya nilai rupiah akan menimbulkan dampak inflasi yang luas. Melemahnya rupiah berarti semakin mahalnya biaya impor. Biaya impor yang meningkat akan memberikan dampak berupa meningkatnya harga barang umum. Jalan menaikkan suku bunga adalah kebijakan yang sampai saat ini dipercaya mampu memperkuat nilai mata uang rupiah. Meskipun harus mengorbankan sektor rill.
Dari kenyataan ini sangat jelas terlihat bahwa pondasi ekonomi
Indonesia sangat rapuh dan tidak fundamental. Bangsa ini tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk-produk dalam negeri yang kompetitif di pasar dunia. Sebenarnya dalam teori ilmu ekonomi umum, melemahnya rupiah pada satu titik tertentu akan terkoreksi dengan sendirinya dengan kenaikan volume ekspor. Hal tersebut karena harga barang dalam negeri akan terlihat lebih kompetitif dalam sisi harga. Namun skenario itu gagal di Indonesia karena, pertama tidak gencarnya produksi barang dalam negeri yang berorientasi ekspor, kedua tuntutan pasar yang tidak hanya sekedar kompetitif di sisi harga, namun pula kualitas. Menjawab pertanyaan dari judul artikel ini, Mengapa BI Rate Dinaikkan? Karena adanya ancaman inflasi. Mengapa demikian? Karena sangat lemahnya kualitas dan competitiveness produk lokal dari perusahaan-perusahaan pribumi. Maka jika ada yang bertanya bagaimana cara menghindari krisis global tanpa harus mengorbankan sektor rill? Maka jawabannya jelas, dengan kebijakannya pemerintah harus segera menstimulus pertumbuhan produk-produk dalam negeri yang berorientasi pasar global. Sehingga impor dapat ditekan, ekspor meningkat, cadangan devisa melimpah dan kurs rupiah stabil. Sehingga suatu saat jika krisis global semacam ini muncul kembali, bangsa ini akan jauh lebih siap dan tidak lagi mengorbankan sektor rill