Anda di halaman 1dari 4

Guru adalah Pendidik sekaligus Peneliti

Salah satu agenda reformasi pendidikan di Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan,


kinerja dan profesionalisme guru. Pemerintah dalam mewujudkan program ini sudah
mengadakan kegiatan pelatihan guru di tingkat daerah bahkan nasional, tetapi profesi guru di
mata masyarakat masih dianggap rendah dan menjadi tumpuan kesalahan ketika terjadi
kebobrokan dalam sistem pendidikan di sekolah.

Apa sebenarnya kelemahan pelatihan yang diselenggarakan selama ini ?

Beberapa rekan guru mengatakan bahwa pelatihan cenderung berupa perkuliahan atau
simulasi, yang jauh dari fakta yang mereka hadapi di sekolah. Model pelatihan yang lain
adalah studi banding dengan mengusung konsep `guru belajar kepada guru`. Namun ini pun
tidak berdampak besar karena setelah studi banding guru kebingungan melakukan follow-up.
Alhasil tidak ada kemajuan berarti bagi sekolah atau bagi guru sendiri.

Secara umum, manusia dapat belajar melalui media apa saja yang ada di sekitarnya.
Misalnya jika seseorang ingin membuat `sashimi, ikan mentah Jepang, cukup dengan
mengklik situs bersangkutan di internet atau membaca artikel di berbagai media. Tetapi
keahlian seseorang membuat sashimi akan berbeda jika dia belajar kepada ahli sashimi.
Demikian pula halnya di bidang pengajaran. Metode mengamati langsung, mendengar
langsung adalah metode yang paling mudah untuk dicerna dan dipraktekkan ulang.
Pembelajaran biologi misalnya akan lebih mudah dimengerti oleh siswa jika dipraktekkan,
atau contohnya ada di depan mata. Kita sudah mengakui ini sebagai metode pembelajaran
siswa yang lebih baik daripada sekedar duduk tenang mendengarkan cerita guru di dalam
kelas. Oleh karenanya metode belajar seperti ini pun patut digalakkan kembali di kalangan
guru. Melalui proses belajar seperti itu, guru belajar menjadi pendidik dan sekaligus peneliti
yang baik.

Seperti diuraikan di atas, program studi banding menerapkan metode penelitian yang
sederhana yaitu observasi. Kegiatan observasi tidak akan bermakna apa-apa jika tidak
dilanjutkan dengan kegiatan pencatatan, analisa dan perumusan pemecahan masalah.
Dalam dunia penelitian dikenal istilah `action research` yang salah satu bentuk nyatanya
adalah bagaimana guru mengembangkan metode mengajar baru melalui pengamatan
mendalam terhadap cara mengajar guru yang lain.

Apa Yang Harus Diteliti ?

Di atas penulis telah uraikan bahwa guru harus belajar kepada guru. Ketika melakukan
proses ini sebenarnya secara tidak langsung guru melakukan observasi, yang merupakan
salah satu metode penelitian kualitatif. Jika observasi itu kemudian dikembangkan kepada
suatu pencatatan, analisa dan pengembangan metode baru, maka predikat peneliti layak
disandang oleh guru. Dalam UU keprofesian Guru dan Dosen, pemerintah menyebut kedua
profesi ini secara bersama. Ini dapat dimaknakan bahwa keduanya memiliki kegiatan yang
sama yaitu mendidik dan meneliti. Sayangnya penelitian atau pengamatan intensif masih
jarang dilakukan oleh guru-guru kita.

Pertanyaannya adalah apa yang harus diamati atau dijadikan obyek penelitian ?

Yang paling tepat dan mudah dilaksanakan adalah meneliti permasalahan yang muncul di
sekolah. Dengan konsep berfikir ilmiah secara sederhana, banyak sekali masalah yang
muncul dalam proses belajar mengajar di sekolah, pun problematika `kehidupan` di sekolah,
yang bisa diangkat menjadi tema penelitian dan akan menghasilkan laporan yang bisa
dinikmati oleh guru yang lain.

Penulis dua tahun belakangan ini berkunjung ke Souya, wilayah paling Utara Prefektur
Hokkaido di Jepang, dan menyaksikan bagaimana penelitian antar guru berkembang di sana.
Istilah yang mereka pakai adalah `kyouiku kenkyuu katsudou` yang berarti kegiatan penelitian
pendidikan. Anggotanya adalah guru-guru SD, SMP dan SMA yang dibagi per kelompok
berdasarkan jenjang sekolah. Pengelompokkan dilakukan per wilayah, dengan cara
menempatkan sekolah yang berdekatan dalam satu kelompok atau blok. Pertemuan blok
dilakukan sebulan sekali dan setiap semester dilakukan pertemuan sedistrik Souya.

Sebuah SD melakukan penelitian tentang pemanfaatan waktu oleh siswa di rumah, dan
peranan keluarga dalam proses belajar siswa. Penelitian dilakukan dengan metode angket,
berupa pertanyaan sederhana seperti : Apakah anak sarapan setiap pagi ? Apakah anak rutin
mempraktekkan ucapan salam atau terima kasih di rumah ? Berapa jam anak menonton TV ?
Siapa yang menjaga anak jika orang tua bekerja ? Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti
itu bukan tidak bermakna apa-apa, bahkan dari jawaban orang tua, sekolah bisa menganalisa
mengapa seorang anak terlambat dalam matematika, atau mengapa seorang anak selalu
terlihat lesu ?

Apa yang penulis amati di Souya adalah implementasi konsep pendidikan yang
menempatkan anak sebagai subyek sekaligus obyeknya. Bahwa kegiatan belajar mengajar di
sekolah adalah untuk memacu tumbuh kembang badan, otak dan hati, dipahami secara baik
oleh guru-guru di Souya sebagai konsep yang harus direncanakan, dipraktekkan, dan
dievaluasi melalui kegiatan penelitian. Konsep `plan-do- check-action` (PDCA) adalah konsep
yang tidak sekedar teori di Souya, tetapi sudah menjadi keseharian para guru.

Bagaimana Mendidik Guru untuk Menjadi Peneliti ?

Menjadi peneliti bukan hal yang susah tetapi menumbuhkembangkan jiwa meneliti adalah
suatu pekerjaan yang tidak sederhana. Guru-guru kita pada umumnya adalah lulusan
perguruan tinggi, yang notabene semua perguruan tinggi di Indonesia mewajibkan
mahasiswanya untuk membuat penelitian atau membuat laporan akhir, dalam rangka
memperoleh gelar sarjana. Secara tidak langsung ilmu dasar tentang teknik-teknik meneliti
sudah dimiliki oleh para guru kita.

Permasalahannya adalah apakah guru mempunyai sense of awareness terhadap


permasalahan di sekitarnya ? Apakah guru terpikir untuk meningkatkan kinerjanya ? Apakah
guru sadar untuk melakukan self evaluation terhadap metode mengajarnya ? Kesadaran
seperti inilah yang menjadi titik tolak proses pembentukan guru sebagai peneliti.

Kesadaran ini dapat diasah melalui praktek latihan. Dalam hal ini- karena sekolah adalah
sebuah organisasi dibawah komando kepala sekolah- upaya kepala sekolah untuk
mendorong terciptanya atmosfer ini sangat dibutuhkan. Kepala Sekolah yang berperan
sebagai manajer sekolah adalah orang pertama yang seharusnya menyadari permasalahan
di sekolahnya yang kemudian merumuskan pemecahannya melalui pembicaraan rutin
dengan para stafnya. Ketika permasalahan dideteksi, kepala sekolah dapat menyusun
sebuah tim pencari fakta yang terdiri dari para guru. Dengan latihan terus menerus
menghadapi dan memecahkan masalah, pola berfikir PDCA dapat menjadi pola anutan yang
akan menyatu dengan jiwa mendidik guru.

Sebuah metode pengembangan guru sebagai peneliti telah dikembangkan di Jepang, yang
dikenal dengan istilah `jugyou kenkyuu`, yang kemudian diterjemahkan sebagai `lesson
study`. Seorang pencetus dan pelopor ide ini adalah Professor Masami Matoba, yang
merupakan dosen di Universitas Nagoya. Metode `jugyou kenkyuu` adalah observasi kelas
yang dilakukan oleh sekelompok guru terhadap metode mengajar seorang guru yang
dijadikan sebagai obyek pengamatan. Langkah-langkah metode ini adalah :

1. Pengamatan detail terhadap proses belajar mengajar di kelas meliputi efisiensi


penggunaan waktu, respon siswa, metode penjelasan, penutup
2. Pertemuan untuk mempresentasikan hasil amatan kelompok guru pengamat tanpa perlu
dikomentari oleh guru target
3. Forum diskusi yang melibatkan guru target, kelompok pengamat, kepala sekolah dan wakil
kepala sekolah untuk membahas hasil amatan dan memberikan masukan perbaikan. Forum
ini terkadang dihadiri oleh dosen dari universitas atau wakil dari The Board of Education.

Metode ini telah menyebar luas di Jepang dan juga sudah diadopsi oleh beberapa sekolah di
beberapa negara, termasuk apa yang sedang dikembangkan oleh Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung bekerjasama dengan JICA melalui proyek lesson study di beberapa
sekolah di Bandung.

Pelaksanaan `jugyou kenkyuu` tentu saja memerlukan biaya, sehingga salah satu komponen
penting yang harus dipikirkan dalam rangka mendidik guru menjadi peneliti adalah
kontinyuitas pendanaan. Sayangnya budget pendidikan yang disalurkan ke sekolah-sekolah
kita tidak menyertakan anggaran penelitian sebagai salah satu komponen pengembangan
profesionalisme guru.

Tetapi kendala dana bukan suatu penghambat utama untuk mencegah guru menjadi peneliti.
Yang lebih penting adalah komitmen bersama untuk mengembangkan sekolah menjadi lebih
baik.
http://murniramli.wordpress.com
Diposkan oleh Kamila di 22:12 0 komentar

Menilai Mutu Pendidikan


Ujian itu perlu atau tidak ?

Pertanyaan ini selalu menjadi polemik di negara manapun antara memilih `melaksanakannya
atau tidak, atau me-nasionalkannya or me-lokalkannya.

Sistem ujian/ulangan sekolah2 di Jepang menarik untuk kita cermati.


Pendidikan dasar (shougakkou) tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang telah
menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian
seterusnya. Ujian akhir pun tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk kelompok
compulsoy education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat
langsung mendaftar ke SMP.
Lalu bagaimana menilai mutu pendidikan ?

Tentu saja guru tetap melakukan ulangan sekali2 untuk mengecek daya tangkap siswa. Dan
penilaian ulangan pun tidak dengan angka tetapi dengan huruf : A, B, C, kecuali untuk
matematika. Dari kelas 4 hingga kelas 6 juga dilakukan test IQ untuk melihat kemampuan
dasar siswa. Data ini dipakai bukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-
nya, tetapi untuk memberikan perhatian lebih kepada siswa dengan kemampuan di atas
normal atau di bawah normal. Perlu diketahui, siswa2 di Jepang tidak dikelompokkan
berdasarkan kepandaian, tetapi semua anak dianggap `bisa` mengikuti pelajaran, sehingga
kelas berisi siswa dengan beragam kemampuan akademik.

Compulsory Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh


kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan
menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak (ditetapkan
dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan akses, maka di setiap distrik
didirikan SD dan SMP walaupun daerah kampung dan siswanya minim (per kelas 10-11
siswa). Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan anak ke distrik yang lain, jadi selama masa
compulsory education, anak bersekolah di distrik masing2. Tentu saja mutu sekolah negeri di
semua distrik sama, dalam arti fasilitas sekolah, bangunan sekolah, tenaga pengajar dengan
persyaratan yang sama (guru harus memegang lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh
Educational Board setiap prefecture). Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang
yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan `sama`, sebab Ministry of Education
menkondisikan equality di semua sekolah. Saat ini tengah digalakkan program reformasi
yang memberi kesempatan kepada sekolah untuk berkreasi mengembangkan proses
pendidikannya, tetapi tetap saja dalam pantauan MOE.

Di tingkat SMP dan SMA, sama seperti di Indonesia, ada dua kali ulangan, mid test dan final
test, tetapi tidak bersifat wajib atau pun nasional. Di beberapa prefecture yang melaksanakan
ujian, final test dilaksanakan serentak selama tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh
sekolah berdasarkan standar dari Educational Board di setiap prefektur. Penilaian kelulusan
siswa SMP dan SMA tidak berdasarkan hasil final test, tapi akumulasi dari nilai test sehari2,
ekstra kurikuler, mid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu saja hampir 100%
siswa naik kelas atau dapat lulus.
Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka
harus mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh
Educational Board di setiap prefektur. Di Aichi prefecture, SMA-SMA dikelompokkan dengan
pengelompokan A, B. Pengelompokan tersebut dibuat dalam proses memilih SMA. Setiap
siswa dapat memilih satu sekolah di kelompok A dan satu sekolah di kelompok B. Jika si
siswa lulus dalam kelompok A, maka secara otomatis dia gugur dari kelompok B. Dalam
memilih SMA, siswa berkonsultasi dengan guru, orang tua atau disediakan lembaga khusus
di Educational Board yang bertugas melayani konsultasi dalam memilih sekolah. Ujian masuk
pun hampir serentak di seluruh jepang dengan bidang studi yang sama yaitu, Bahasa
Jepang, English, Math, Social Studies, dan Science. Di level ini siswa dapat memilih sekolah
di distrik lain.

Seperti dipaparkan di atas, siswa SMA tidak mengikuti ujian kelulusan secara nasional, tetapi
ada beberapa prefecture yang melaksanakan ujian. Penilaian kelulusan siswa berbeda di
setiap prefecture. Mengingat angka Drop out siswa SMA meningkat di tahun 1990-an, maka
beberapa sekolah tidak mengadakan ujian akhir, jadi kelulusan hanya berdasarkan hasil ujian
harian.

Untuk masuk universitas, siswa lulusan SMA diharuskan mengikuti ujian masuk universitas
yang berskala nasional. Ini yang dianggap `neraka` oleh sebagian besar siswa SMA.
Sebagian dari mereka memilih untuk belajar di juku (les privat, seperti di Indonesia) untuk
dapat lulus ujian masuk universitas. Ujian masuk PT dilakukan dua tahap. Pertama secara
nasional- soal ujian disusun oleh Ministry of education, terdiri dari lima subject, sama seperti
ujian masuk SMA-, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing2
universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas. Skor kelulusan adalah akumulasi ujian
masuk nasional dan ujian di setiap PT. Seperti halnya di Indonesia, skor hasil UMPTN tidak
diumumkan, tetapi jawaban ujian diberitakan via koran, TV atau internet, sehingga siswa
dapat mengira2 sendiri berapa total score yg didapat. Siswa yang memilih Universitas dg skor
tinggi, tapi ternyata skornya tidak memdai, dapat mengacu ke pilihan universitas ke-2. Namun
jika skornya tidak mencukupi, maka siswa tidak dapat masuk Universitas. Selanjutnya dia
dapat mengikuti ujian masuk PT swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan diri untuk
mengikuti ujian masuk di tahun berikutnya) di prepatory school (yobikou)

Penilain mutu pendidikan di Jepang, dengan kata lain dilakukan dengan menstandarkan ujian
masuk SMA dan PT, tentu saja sistem ini bisa berjalan karena pemerintah di Jepang pun
berusaha maksimal untuk menyamakan kondisi public education-nya, dalam arti
menyediakan infra struktur yang sama untuk setiap jenjang pendidikan di daerah.

Saat ini gaung autonomy daerah makin kencang di Jepang, seberapa besar tarik ulur antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam sektor pendidikan menjadi salah satu
pengamatan yang menarik bagi saya pribadi. Nuansa kebebasan untuk mengembangkan
pendidikan berdasarkan potensi dan karakter daerah sangat kental terlihat ketika saya
mengunjungi sekolah2 di Jepang.

Anda mungkin juga menyukai