Anda di halaman 1dari 2

c 

¯   
Written by Administrator
Sunday, 06 September 2009 00:00 - Last Updated Sunday, 06 September 2009 05:43
¯   adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai
Æ 

atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti
 

(Garna, 1993).

Hawa segar dan keindahan alami yang sulit dinikmati di perkotaan, bisa dirasakan bersama
matahari yang mulai mengintip dari sela-sela dedaunan. Hanya kokok ayam jantan yang
menyapa, tak ada suara radio atau televisi yang terdengar.
Di lereng Pegunungan Kendeng Propinsi Banten itulah Suku Baduy menetap dan
bermasyarakat. Kehidupan masyarakatnya yang masih bercocok tanam secara alami dan
tradisional, jauh dari modernitas jaman. Namun, Suku Baduy percaya bahwa semua yang
mereka kerjakan sudah cukup untuk mereka sendiri. Kepercayaan mereka adalah Sunda
Wiwitan, mereka tidak mengenal sekolah dan huruf yang mereka kenal adalah Aksara
Hanacara dan bahasanya Sunda.
Seorang Jaro (Pimpinan Adat) menjadi palang pintu memasuki gerbang wilayah suku Baduy.
Namun bukan berarti Suku Baduy mengisolasikan diri secara ekstrim. Wilayah Baduy sudah
terpecah menjadi dua, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam masih memegang
teguh pranata sosial dan adat setempat. Mereka juga belum terkontaminasi dengan dunia luar.
Sedangkan Baduy Luar, sudah lebih membuka diri dengan dunia luar dan anggota
masyarakatnya berani keluar dari komunitasnya untuk berbagai kegiatan.
Wilayah Baduy luar sekarang berjumlah 54 kampung, yang sudah banyak berbaur dengan
masyarakat Sunda lainnya. Baduy luar atau biasa mereka menyebutnya Urang Panamping.
Cirinya, selalu berpakaian hitam dengan ikat kepala warna hitam bermotif biru. Umumnya orang
Baduy luar sudah mengenal kebudayaan luar (diluar dari kebudayaan Baduy-nya sendiri)
seperti mendengarkan radio, sebagian masyarakatnya sudah bisa membaca dan menulis, bisa
berbahasa Indonesia. Mata pencaharian mereka bertani.
Sedangkan masyarakat Baduy Dalam memiliki pakaian khas berwarna putih dengan celana
hitam serta ikat kepala berwarna putih. Sedangkan wanita baik di Baduy dalam maupun luar
memiliki ciri pakaian yang hampir sama berupa kebaya 'Karempong'. Wilayah Baduy Dalam
meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang
1/2

c 
¯   
Written by Administrator
Sunday, 06 September 2009 00:00 - Last Updated Sunday, 06 September 2009 05:43
melewati wilayah itu sungai Cibaduy.
Selain padi, gula aren dan madu khas Baduy adalah hasil pertanian andalan mereka. Hasil
pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya (Leuit) yang ada di
setiap desa. Selain beras meraka juga membuat kerajinan tangan seperti Tas Koja yang
bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam, Gelang tangan, cincin khas Baduy. Disamping
itu mereka membuat kainnya sendiri sebagai bahan pakaian dan ikat kepala dengan cara
menenun.
Tidak sembarang orang bisa masuk ke wilayah suku Baduy Dalam. Untuk mencapai
wilayahnya diperlukan penunjuk jalan dan ijin dari pimpinan adatnya serta harus mematuhi
ketentuan yang berat seperti di larang membawa kamera. Masyarakat Baduy Dalam terkenal
teguh dalam tradisinya. Mereka selalu berpakaian warna putih dengan kain ikat kepala serta
golok. Semua perlengkapan ini mereka buat sendiri dengan tangan. Pakaian mereka tidak
berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki.
Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa dibayangkan
mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah
satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah jembatan
bambu. Jembatan ini dibuat tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka
menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar
yang tumbuh di tepi sungai.
Suku Baduy, suku yang masih tersisa di abad ini yang masih mempertahankan kehidupannya
untuk tetap dekat dan bersahabat dengan alam. Membangun sebuah masyarakat yang damai,
makmur dan sejahtera tanpa harus bersentuhan dengan dunia luar yang berpacu dengan
modernitas dan kemajuan jaman. Referensi : caritatour.com

Anda mungkin juga menyukai