Anda di halaman 1dari 16

Feb 11, '08 4:19 PM

apresiasi puisi
for everyone
Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus. Pada umumnya
penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang relatif pendek-pendek serta padat,
ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait), dan tidak jarang menggunakan
kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif.
         Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna konotasi yang sering
terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi seringkali sulit dipahami.  Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut untuk mengapresiasi puisi, terutama pada
puisi yang tergolong ‘sulit’ :
1. Membaca puisi berulang kali
2. Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan :
 Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan tanda baca
koma.
 Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika makna atau
pengertian kalimat sudah tercapai.
3. Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang
dapat memperjelas maksud kalimat dalam puisi.
4. Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).
5. Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa.
         Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi seperti tema,
amanat/ pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan lebih mudah. Berikut ini diberikan
sebuah contoh langkah-langkah menganalisis puisi.

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;


kau yang baru saja mengasahnya
berpikir : ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
 
Tahap I      :   Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II     :   Melakukan pemenggalan

MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono) 
Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /
yang tersedia di atas meja /
sehabis makan malam //
ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //
 
Tahap III     :   Melakukan parafrase
 
MATA PISAU
(Sapardi Djoko Damono)
Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris apel /
yang (sudah) tersedia di atas meja /
(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //
ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //
 
Tahap IV    :   Menentukan makna konotatif kata/kalimat
Pisau ==> sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif,
bisa pula disalahgunakan sehingga menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan
mengerikan.
Apel ==> sesuatu yang baik dan bermanfaat.
Terbayang olehnya urat lehermu ==> Sesuatu yang mengerikan.

Tahap V     :   Menceritakan kembali isi puisi

         Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas, maka isi puisi dapat disimpulkan
sebagai berikut :
         Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan menggunakannya
nanti malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba terlintas
bayangan yang mengerikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jadinya jika mata pisau itu
dipakai untuk mengiris urat leher!
         Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan bahwa tajamnya  
pisau memang dapat digunakan untuk sesuatu yang positif (contohnya mengiris apel), 
namun dapat juga dimanfaatkan untuk hal yang negatif dan mengerikan (digambarkan 
mengiris urat leher).
         Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat dikemukakan unsur-
unsur intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :
 
   
No. Definisi “Mata Pisau”
     
    Sesuatu hal dapat digunakan  untuk kebaikan
  Tema     :  Gagasan utama penulis (bersifat positif), tetapi sering juga
1                  yang dituangkan dalam disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat
                 karangannya. negatif. Contoh : anggota tubuh, kecerdasan,
ilmu dan teknologi, kekuasaan dll.
     
  Amanat  :  Pesan moral yang ingin  Hendaknya kita memanfaatkan segala hal yang
2 disampaikan penulis melaluikita miliki untuk tujuan positif supaya hidup
karangannya kita punya makna
     
  Feeling   :  Perasaan/sikap   Penyair tidak setuju pada tindakan seseorang
3                   penyair terhadap yang memanfaatkan sesuatu yang dimiliki untuk
                  pokok persoalan  yang tujuan-tujuan negatif.
                 dikemukakan dalam  
                 puisi.  
     
  Nada      : Tone yang dipakai  Nada puisi “Mata Pisau” cenderung datar, tidak
4                  penulis  nampak luapan emosi penyairnya.
                 dalam mengungkapkan
                 pokok pikiran.
Kecuali keempat point di atas, perlu diperhatikan juga citraan (image) dan gaya
bahasa yang terdapat dalam puisi.

 
PUISI

I.        PENGERTIAN PUISI


Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus berubah. Hal ini
nampak apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu yang ternyata berbeda dari ke-
khas-an puisi pada zaman yang lain. Di masa lampau misalnya, penciptaan puisi harus
memenuhi ketentuan jumlah baris, ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya
Wirjosoedarmo mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja
tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena saat ini penyair sudah lebih bebas dan tidak harus
tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini mengakibatkan pembaca tidak dapat lagi
membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan melihat bentuk visualnya. Misalnya
sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen Eddy D. Iskandar berikut ini :
 
AIR SELOKAN
“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari
Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung –
ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu
waktu kau lahir : campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
+
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang
tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu : “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air
itu – alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-
kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
(Sapardi Djoko Damono – Perahu Kertas, 1983 : 18)
NAH
Nah, karena suatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan
kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang
dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan
menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka
yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai
sesepuh.
(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka
kepada uang kotor dan perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah,
ketahuan kedoknya).
[….]
(Eddy D. Iskandar – Horison, Th. IX, Juni 1976 : 185)
Bentuk visual kedua contoh di atas sama, padahal Sapardi Djoko Damono
memaksudkan karyanya sebagai puisi, sedangkan Eddy D.Iskandar memaksudkan
karangannya sebagai cerita pendek (prosa). Dengan demikian mendefinisikan puisi
berdasarkan bentuk visualnya saja, pada masa sekarang tidak relevan lagi.
Karena sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A. Teeuw dan Culler
menyerahkan pada penilaian pembaca. Menurut mereka pembacalah yang paling berhak
menentukan suatu karya termasuk prosa atau puisi (Teeuw, 1983 : 6; Culler, 1977 : 138).
Pendapat demikian meskipun nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk study
keilmuan tentu sangat membingungkan karena tidak ada standar yang pasti.
Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak ahli sastra dan sastrawan, khususnya
penyair romantik Inggris, yang berusaha memberikan definisi. Berikut ini adalah
beberapa pendapat mereka :
Altenbernd (1970 : 2), mendefinisikan puisi sebagai the interpretive
dramatization of experience in metrical language (pendramaan pengalaman yang
bersifat penafsiran dalam bahasa bermetrum). Meskipun mengandung kebenaran,
namun definisi tersebut tak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena pada
umumnya puisi Indonesia tidak memakai metrum sebagai dasar. Jika yang
dimaksud metrical adalah ‘berirama’, maka definisi Altenbernd memang bisa
diterima, tetapi memiliki kelemahan karena prosa pun ada yang berirama. Sebut
misalnya cerpen-cerpen Danarto yang menggunakan kekuatan irama untuk
menambah keindahan karyanya.
Samuel Taylor Coleridge berpendapat bahwa puisi adalah kata-kata terindah
dalam susunan yang terindah, sehingga nampak seimbang, simetris, dan memiliki
hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur lainnya.
Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal,
kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi
yang merdu seperti musik.
Wordsworth memberi pernyataan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan yang
imajinatif atau perasaan yang diangankan.
Dunton berpendapat bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret
dan artistik (selaras, simetris, pilihan kata tepat), bahasanya penuh perasaan dan
berirama seperti musik(pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara
teratur).
Shelley mengatakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
dalam hidup manusia, misalnya hal-hal yang mengesankan dan menimbulkan
keharuan, kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan dan lain-lain.
               Dengan meramu pendapat-pendapat di atas, kita dapat mendefinisikan  puisi
sebagai berikut : 
 
    Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat
    pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling 
    berkesan.
 
 
Setelah kita definisikan apa itu puisi, selanjutnya kita dapat mengungkapkan
perbedaan antara puisi dan prosa sebagai berikut :
 
PUISI PROSA
     
  Merupakan aktivitas jiwa yangMerupakan aktivitas menyebarkan (men-
1 menangkap kesan-kesan, kemudian kesan-dispersi-kan) ide/gagasan dalam bentuk
  kesan tersebut dipadatkan (di-kondensasi- uraian, bahkan kadang-kadang sampai
  kan) dan dipusatkan. merenik.
     
  Merupakan pencurahan jiwa yang bersifatMerupakan pengungkapan gagasan yang
  liris (emosional) dan ekspresif. bersifat epis atau naratif.
     
2 Seringkali isi dan kalimat-kalimatnyaPada umumnya bermakna denotasi,
  bermakna konotasi. walaupun memang ada beberapa karya
    yang isinya konotasi.
 
3

II.      ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA


Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks
yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis
norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca
puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak
panjang, dan panjang.
Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis kedua,
yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah
bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase,
kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.
Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa unsur
intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang
dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya.
Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut diberikan
sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU


(Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,


gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,


di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,


di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!


Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau


kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri 

1. Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)


Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang
bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk
mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas
ada asonansi a dan u;  di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng
sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a (melancar – memancar –
si pacar – terang – terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar – bulan
memancar – laut terang – tapi terasa).
Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap
dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir
mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di antaranya
yang berpola rima   a a – bb. Rima konsonan memancar – si pacar dipertentangkan
dengan rima terasa – padanya yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh –
merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima vokal dulu – cintaku.        
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi
sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan
memberi nilai rasa tertentu.
 
   
     Asonansi Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.
 
   
  1.   Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
     Aliterasi 2.   Sajak/rima awal.
2. Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)
Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada
bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna
seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per
bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.
Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau
yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut
adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu  sendirian (iseng)
tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu
karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si
aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena
walaupun air terang, angin mendayu, tetapi  pada perasaannya ajal telah
memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku
saja”).
Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia
telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak,
namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia
bertemu dengan kekasihnya.
Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa
setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-
sia.
Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada
makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah
kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus
mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak
berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya
3. Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’ dan lain-
lain)
Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.
Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah
cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal. Pelaku
atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari yang cerah
dan berangin.
Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi
digabungkan, maka  akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi. Ini
merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.
Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan
‘dunia pengarang’ sebagai berikut :
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh.
Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca
bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat
baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak
akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan
sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena
ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan
mati dalam kesendirian.
Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi
namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi
gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.
Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah,
kecewa, dan putus asa.
Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan
hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang
cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat
mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih
dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-sia
belaka.
III. ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN
FUNGSI ESTETIK
Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar
analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma
dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi
tersebut.
Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai
sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini
mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai menemukan
makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu fungsi estetik
setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.  
Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan
semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan kata.

1. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk
mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga bertugas
memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan perasaan
tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas.
Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam
perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya
saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan Mati’, secara
keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi ‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di
Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera dan serapah yang
memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum
Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini
bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya
evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :
 
SEPISAUPI
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri


sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi

Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka,


namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah
dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi. 
Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam mendukung suasana,
perasaan, dan imaji pada puisi.

     
  Vokal a, i, u, e, o  
Efoni (euphony) : Konsonan bersuara b, d, g, j Suasana mesra, penuh kasih
bunyi yang merdu Bunyi liquida r, l sayang, gembira, bahagia.
dan indah. Bunyi sengau m, n, ng, ny
Bunyi aspiran s, h
     
Kakofoni - Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s. Suasana kacau, tidak teratur,
(cacophony) : - Rima puisi sangat tidak teratur tidak menyenangkan.
bunyi yang tidak  
merdu, parau
     
Vokal e, i - Perasaan riang, kasih, suci
Konsonan k, p, t, s, f - imaji : kecil, ramping, 
    ringan, tinggi. 
     
Vokal a, o, u - Perasaan murung, sedih, 
Konsonan b, d, g, z, v, w   gundah, kecewa.
- imaji : bulat, berat, besar,
  rendah.

2. Kata
Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan
kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat
dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat
penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair
mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.
Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang
ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan,
faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan
struktur kata atau kalimat puisi.
Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana sebagai
kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana, perasaan-
perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu.
Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa
sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair menghendaki
agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan
penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini :
 
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan


pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia
mati tertembak,dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah
lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang
indah dan bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah
yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair
menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai
pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang
perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai
titik darah penghabisan. rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja
dengan kalimat …
Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan
kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-
kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.   
Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin
konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya.
Misalnya pada salah satu bait puisi ‘Balada Penyaliban’ karya W.S. Rendra
tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daun-daun palma / domba putih
menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta /  dst.
Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-olah
‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan
penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat sendiri
jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan sebagai
domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan demikian,
untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya bahasa (misalnya
personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan pilihan kata yang tepat. 
Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal
tersebut  memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata
indah memberi efek romantis.
Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan
tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone). Tema
adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair melalui puisinya;
amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik
oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang
‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan lain-lain);
nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras,
menyindir, putus asa, riang, penuh kekaguman dan sebagainya)

Anda mungkin juga menyukai