Anda di halaman 1dari 5

Asal Kata Tahajjud, Witir dan Tarawih

Disebutkan dalam Al-Quran:


*Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tamba
han bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.* (Al-I
sra (17):79).
Kata tahajjud berasal dari tahajjada-yatahajjadu-tahajjudan, bermakna tidak tidu
r. Shalat yang dilakukan di tengah malam akan menuntut hamba jauh dari tidur seh
ingga disebut shalat tahajjud.
Kata witir yang berarti ganjil disebutkan dalam Al-Quran dengan lafal "watr": *D
an demi yang genap dan yang ganjil.* (Al-Fajr (89):3).
Namun kata witir yang berhubungan dengan shalat sunnah hanya ditemukan dalam had
its, diantaranya:
Dari Ibnu `Umar ra dari Nabi saw beliau bersabda: *Jadikanlah akhir shalatmu pad
a malam hari itu witir (ganjil).* (HR. Bukhari Muslim).
Dengan kata witir ini kita diingatkan dengan hakikat tauhid, sebab Allah adalah
witir (ganjil) dan menyukai witir (HR Tirmidzi).
Ternyata bukan hanya shalat sunnah yang berjumlah ganjil, tetapi shalat fardhu p
un secara keseluruhan berjumlah ganjil (17), dan waktu mengganjilkan shalat fard
hu berlangsung ketika shalat maghrib.
Sementara waktu mengganjilkan shalat sunnah berlangsung pada waktu malam, yaitu
pada awal, pertengahan, atau akhir malam.
Adapun kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah yang berarti merehatk
an atau menyenangkan. Kata ini disebutkan dalam beberapa riwayat untuk menjelask
an bahwa Rasulullah saw mengambil posisi rileks dalam shalatnya karena beliau sh
alat lama sekali. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah ra beliau berkata:
Rasulullah saw suka melakukan shalat empat rakaat pada malam hari kemudian belia
u "yatarawwah" (mengambil posisi rileks) dan beliau memperpanjang shalatnya hing
ga aku kasihan padanya
Imam Al-Baihaqi menyatakan bahwa salah satu perawinya adalah Al-Mughirah bin Ziy
ad dan ia tidak kuat riwayatnya, sehingga Al-Baihaqi berkata: "Dan sekiranya riw
ayat ini benar, maka ungkapan `yatarawwah' adalah dasar adanya tarawih bagi imam
dalam shalat tarawih."
KH. Saiful Islam Mubarak, Lc, MAg menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rehat t
ersebut bukan di luar shalat atau antara dua shalat, tetapi rehat yang dilakukan
pada waktu shalat karena panjangnya. Sebagian kaum muslimin berpendapat sebalik
nya.
Penggunaan istilah tarawih khusus untuk shalat di bulan Ramadhan tidak kita temu
i dalam Al-Quran atau Hadits Rasulullah saw, tetapi ia hanya istilah para ulama
saja.
Para ulama seluruh dunia telah menggunakan istilah ini dengan senang hati tanpa
ada yang menentang karena perhatian mereka lebih pada substansi masalah dan buka
n istilahnya.
Di dalam hadits kita hanya menemukan ungkapan Qiyam Ramadhan seperti hadits: Dar
i Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang berdiri (untuk shala
t) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap balasan dari Allah niscaya diampuni
dosanya yang telah lalu. (HR. Muslim: I/523 no 759).
Beberapa Hadits tentang Shalat Malam
1. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia bertanya kepada Aisyah ra
: Bagaimana keadaan shalat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan? Aisyah berkata:
Beliau tidak biasa melebihi - baik pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya dari s
ebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat. Maka janganlah kamu bertanya tentang
baik dan panjangnya! Lalu beliau shalat empat rakaat, maka janganlah kamu bertan
ya tentang baik dan panjangnya. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Aku bertanya: Ha
i Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum
mengganjilkan? Beliau bersabda: Hai Aisyah sesungguhnya dua mataku tidur sementa
ra qalbuku tidak tidur. (HR. Bukhari I/385 no 1096).
Hadits ini sering dijadikan dalil bahwa shalat tarawih harus sebelas rakaat deng
an kaifiyat 4 + 4 + 3. Bagaimana dengan yang kurang atau lebih? Bolehkah? Dari h
adits di atas kita dapat menyimpulkan bahwa:
Abu Salamah menduga bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan berbeda den
gan di luar Ramadhan, lalu Aisyah menafikan adanya perbedaan itu.
Abu Salamah tidak bertanya tentang kammiyyah (jumlah rakaat), tetapi i
a bertanya tentang kaifiyyah (cara / kualitas / bagaimana). Dan Aisyah menekanka
n jawabannya pada hal itu dengan mengatakan: "Jangan kau tanya tentang bagus dan
lamanya shalat Rasulullah!" Artinya betapa baik dan lamanya shalat beliau saw.
Ungkapan Aisyah ra berarti `tidak biasa lebih'. Beliau tidak mengataka
n yang berarti `tidak pernah lebih' atau `tidak suka lebih'.
Kesimpulan ini juga didukung oleh riwayat-riwayat berikut ini :
2. Ketika Rasulullah saw telah lanjut usia dan badannya bertambah gemuk,
beliau melaksanakan shalat sebanyak tujuh rakaat dilanjutkan dengan dua rakaat
sambil duduk dan salam, Semuanya berjumlah sembilan .. Dan bila tidak sempat qiy
amullail karena tertidur atau sakit, maka beliau lakukan shalat pada siang hari
dua belas rakaat. (HR. Bukhari: I/339 no 951, Muslim:
I/512 no 745).
Dari riwayat ini kita dapat menyimpulkan:
Bahwa Rasulullah saw pernah shalat malam kurang dari sebelas rakaat.
Hal ini karena kondisi beliau yang sudah lanjut usia, bukan karena per
bedaan pelaksanaan di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan.
Beliau seakan melakukan qadha (ganti) shalat malam yang luput beliau l
akukan dengan shalat sunnah di siang hari.
3. Dari Aisyah ra berkata: Adalah shalat Rasulullah saw di malam hari ti
ga belas rakaat. Beliau mengganjilkannya dengan lima rakaat tanpa duduk (tasyahu
d) selain pada rakaat terakhir (rakaat kelima). Bila muadzin telah mengumandangk
an adzan maka beliau shalat dua rakaat yang ringan. (HR. Bukhari: I/151 no 377,
Muslim: I/509 no 738).
Riwayat ini menunjukkan bahwa:
Rasulullah pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat.
Mengganjilkan shalat malam bisa dilakukan dengan lima rakaat tanpa dud
uk tasyahud kecuali sebelum salam. Dari riwayat sebelumnya (no 2) juga disimpulk
an bahwa kita boleh menambah shalat setelah witir, asalkan dengan rakaat yang ge
nap agar keseluruhannya tetap ganjil, karena beliau saw menutup shalat malamnya
dengan dua rakaat setelah witir tujuh rakaat.
Beliau melakukan shalat sunnah fajar (subuh) dua rakaat ringan. Varias
i jumlah rakaat shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan disa
mping berdasarkan contoh Rasulullah saw di atas, juga kita temukan pada praktek
para ulama, diantaranya Imam Al-Bukhari sendiri yang meriwayatkan banyak hadits
tentang masalah ini. Rekan Beliau, Imam Al-Baihaqi, menceritakan:
4. Bila tiba awal bulan Ramadhan, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari suka di
datangi oleh sahabat-sahabatnya dan ia melaksanakan shalat mengimami mereka deng
an membaca dua puluh ayat Al-Quran setiap satu rakaat hingga menyelesaikan seten
gah Al-Quran atau sepertiganya. Maka beliau mengkhatamkan Al-Quran setiap tiga m
alam (dalam shalat). (Kitab Syu'abul Iman, Abu Bakar Al-Baihaqi: II/416).
Dari praktek Imam Bukhari ini kita dapat menyimpulkan bahwa:
Beliau sangat memperhatikan keadaan ma'mum sehingga beliau melaksanaka
n shalat dengan rakaat yang relatif pendek, agar ma'mum dapat menghentikan shala
tnya setelah salam yang keberapapun ia kehendaki.
Al-Quran mengandung lebih dari 6000 ayat, sepertiganya berarti lebih d
ari 2000 ayat. Jika Imam Bukhari membaca 20 ayat setiap rakaat berarti beliau me
lakukan shalat malam bisa lebih dari 100 rakaat semalam.
5. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw suka mewitirkan (mengganjilkan) d
engan sembilan rakaat, kemudian beliau juga mengganjilkan dengan tujuh rakaat. D
an beliau shalat dua rakaat sambil duduk setelah witir membaca (Al-Quran) pada k
edua rakaat itu. Ketika mendekati ruku' beliau berdiri. (HR. Nasai: III/242 no 1
722, Abu Dawud: II/43 no 1351).
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa:
Bahwa jumlah rakaat shalat witir itu bervariasi dengan satu salam sepe
rti yang telah dijelaskan.
Boleh melakukan shalat lagi setelah witir asalkan dengan bilangan yang
genap.
Boleh duduk dalam shalat sunnah.
Rasulullah mengutamakan bacaan yang panjang sehingga dalam kondisi yan
g tidak memungkinkan berdiri lama, beliau duduk. Lalu beliau berdiri menjelang r
uku' sebelum selesai bacaan surat. Ini menunjukkan bahwa shalat malam dapat dila
kukan sambil duduk dan berdiri pada rakaat yang sama.
Cara-cara di atas tidak dikhususkan untuk bulan tertentu, karena itu d
apat dilakukan kapan saja termasuk bulan Ramadhan. Sebab hadits ini menggunakan
kalimat umum "beliau biasa mewitirkan". Dan telah diketahui bersama bahwa shalat
malam harus dilakukan dengan witir (ganjil) baik pada bulan Ramadhan atau bulan
lainnya.
6. Abdullah bin Umar ra meriwayatkan ada seorang laki-laki berkata k
epada Rasulullah saw: " Ya Rasulullah, bagaimana cara shalat malam?" Beliau bers
abda: "Dua-dua, jika kamu takut terkejar waktu shubuh maka ganjilkanlah dengan s
atu rakaat. (HR. Bukhari: I/180 no 460, Muslim: I/511 no 744).
Pelajaran dari hadits:
Semua shalat malam dapat dilaksanakan dengan dua rakaat-dua rakaat, te
rmasuk di bulan Ramadhan, sebagaimana boleh dilakukan dengan empat-empat seperti
pada riwayat no 1 di atas.
Boleh mewitirkan shalat dengan satu rakaat bila waktu tidak memungki
nkan lagi.
7. Dari Amir Asy-Sya'bi ia berkata: Aku bertanya kepada Abdullah bin Abb
as ra dan Abdullah bin Umar ra tentng shalat malam Rasulullah saw. Keduanya menj
awab: Shalat Rasulullah pada malam hari tiga belas rakaat, diantaranya delapan r
akaat dan beliau mengganjilkannya dengan tiga rakaat. Dan beliau shalat dua raka
at setelah masuk fajar. (HR Muslim: I/508 no736).
Pelajaran dari hadits:
Witir dapat dilakukan dengan tiga rakaat, sebagaimana Rasulullah saw k
adang melakukannya dengan tujuh, lima, atau satu rakaat seperti riwayat sebelumn
ya.
Betapapun shalat malam yang beliau lakukan memakan waktu sepertiga mal
am bahkan sampai dua pertiga malam, namun untuk rakaatnya rata-rata sebelas atau
tiga belas. Hal ini disebabkan oleh panjangnya bacaan surat beliau saat berdiri
, juga ruku dan sujud yang demikian lama. Bahwa hadits yang menjelaskan Rasulull
ah melaksanakan sebelas rakaat sekali lagi bukan memfokuskan pada pembatasan kua
ntitas, tetapi lebih untuk menjelaskan lama dan kualitas shalat beliau saw.
8. Aisyah ra berkata: Nabi saw suka mewitirkan dengan (cara) delapan rak
aat tanpa duduk kecuali pada rakaat ke-delapan, lalu berdiri lagi satu rakaat la
innya. Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat ke-delapan dan ke-sembilan, dan ti
dak salam kecuali pada rakaat ke-sembilan. Kemudian beliau shalat lagi dua rakaa
t sambil duduk sehingga jumlahnya menjadi
sebelas rakaat. (HR. Muslim: I/514 no 746).
Pelajaran dari hadits:
Sebelas rakaat shalat malam tidak harus selalu dengan empat-empat, ata
u dua-dua. Tetapi boleh dengan sembilan-dua, dua kali salam.
Pada rakaat ke-delapan Rasulullah saw duduk lalu berdiri tanpa salam,
pada rakaat ke-sembilan baru beliau salam. Ini menunjukkan bolehnya dua tasyahud
(awal dan akhir) pada shalat malam dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan
.
9. Dari Ibnu Abbas ra berkata: Aku menginap di rumah bibiku, maka Rasulu
llah saw berdiri (untuk shalat) malam, maka akupun berdiri untuk shalat bersama
beliau. Aku berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau memegang kepalaku dan menemp
atkanku di sebelah kanannya. (HR. Muslim: I/248 no 304).
Pelajaran dari hadits:
Dibolehkannya qiyamullail berjamaah.
Posisi ma'mum pada shalat berjama'ah yang hanya terdiri dari imam dan s
eorang ma'mum adalah di sebelah kanan imam.
10. Dari Abdullah bin Mas'ud ra berkata: Pada suatu malam aku melakukan sh
alat bersama Nabi saw. Maka beliau terus menerus berdiri hingga aku ingin berbua
t buruk. Kami (orang-orang yang diceritakan oleh Ibnu Mas'ud) berkata: Apa yang
Anda inginkan? Jawab Ibnu Mas'ud: Aku mau duduk saja dan membiarkan Rasulullah s
aw (berdiri). (HR. Bukhari: I/382 no 1084,
Muslim: I/537 no 773).
Pelajaran dari hadits:
Dibolehkannya qiyamullail berjama'ah
Abdullah bin Mas'ud ra sangat ingin menikmati bacaan Rasulullah dalam
shalat malam, namun karena kemampuannya tidak dapat menyamai Rasulullah saw ia m
erasa berat mengimbangi berdirinya Rasul. Namun keinginan untuk duduk beliau tah
an meskipun diperbolehkan dalam shalat sunnah, karena menurutnya tidak pantas di
lakukan terhadap Rasul.
Hadits ini tidak menerangkan kapan peristiwa ini berlangsung, bulan Ra
madhan atau bukan. Para ulama pun tidak menyebutkan bahwa ini terjadi dibulan Ra
madhan, menunjukkan bahwa shalat malam berjamaah boleh dilakukan diluar Ramadhan
.
Demikian beberapa riwayat yang disebutkan oleh KH. Saiful Islam Mubarak, Lc,MAg
Semoga Allah selalu menjaga beliau dalam bukunya. Silakan Antum miliki dan baca
buku tersebut untuk mengetahui lebih banyak lagi...
Wallahu a'lam bish-shawab
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Ahmad Sahal Hasan.

Anda mungkin juga menyukai