Indonesia merupakan negara majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, agama maupun aliran kepercayaan yang
merasa senasib untuk membentuk suatu negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan
pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemajemukan dalam wujud Berbhineka
Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara sebagai alat persatuan bangsa, sebagaimana yang dicita-
citakan dan diperjuangkan para pendiri bangsa kita. Dengan kemajemukan ini, tentunya negara berkewajiban dan
bertanggung-jawab untuk melindungi dan menghormati setiap unsur-unsur pembentuk kemajemukan, termasuk
didalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang sangat
fundamental.
Tetapi kenyataan menunjukkan hal lain karena negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan
terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini dapat dilihat dari
eskalasi penutupan, penyegelan dan penyerangan terhadap rumah ibadah yang dilakukan oleh negara dan non-
negara, yang disebut dengan kelompok-kelompok vigilante (kelompok yang melakukan kekerasan dengan
mengambil alih fungsi penegakan hukum). Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 Juli 2010
menyatakan bahwa sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya jemaat
Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pada
tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk,
tahun 2010 antara Januari - Juli terdapat 28 kasus yang sama. Berdasarkan catatan Persekutuan Gereja- Gereja di
Indonesia (PGI), ada 16 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristiani tahun 2010.
Selain itu, rumah ibadah dan bangunan-bangunan pemeluk agama/keyakinan lainnya mengalami hal yang sama
misalnya, pembongkaran rumah ibadah Ahmadiyah di Bogor, pembatasan ibadah jemaat Ahmadiyah di
Tasikmalaya hingga pada Surat Perintah Bupati Kuningan, H. AANG HAMID SUGANDA untuk menyegel
rumah ibadah Ahmadiyah pada bulan Juli 2010 di Manis Lor, Kuningan, Jawa Bara dan kasus
penutupan/penyegelan rumah ibadah pemeluk agama lainnya.
Kasus terakhir menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kelurahan Mustika Jaya, Bekasi Timur.
Gereja ini telah berdiri selama kurang lebih 20 tahun, dan dalam kurun waktu yang sama berupaya mendirikan
gedung Peribadatan / Gereja. Tetapi kenyataanya, negara melakukan ketidakadilan terhadap gereja tersebut karena
rumah ibadahnya disegel Walikota Bekasi, MOCHTAR MOHAMMAD pada tanggal 01 Maret 2010 dan tanggal
20 Juni 2010, dengan alasan hanya karena adanya penolakan dari sekelompok masyarakat. Kejadian menyedihkan
kembali dialami jemaat gereja tersebut dalam beberapa Minggu terakhir (11 Juli 2010, 18 Juli 2010, 25 Juli 2010, 01
Agustus 2010, 08 Agustus 2010), sekelompok massa (vigilante) berusaha menghalang-halangi bahkan melakukan
penyerbuan dan kekerasan terhadap jemaat yang sedang melakukan ibadah di tanah milik gereja itu sendiri, yang
terletak di Kampung Ciketing, RT 03/RW 06, Pondok Indah Timur, Bekasi Timur, Jawa Barat. Akibatnya, puluhan
jemaat yang sebagian besar dari kaum perempuan menderita luka-luka, ironisnya tangisan dan jeritan warga jemaat
menjadi tontonan aparat kepolisian yang datang dengan jumlah besar, yang semestinya memberikan pengamanan
dan cenderung membiarkan aksi kekerasan berlangsung.
Problematika kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagaimana diuraikan di atas merupakan puncak
gunung es, artinya bahwa kasus-kasus di atas hanya sebagian dari berbagai permasalahan yang ada. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa negara telah mengingkari nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui dan
menghargai keberagaman (pluralisme) sebagaimana dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri negara. Dalam ini
juga negara gagal mengikat keseluruhan keberagaman (perbedaan-perbedaan) menjadi suatu persatuan.
Berbicara mengenai hak asasi manusia, dalam hal ini Negara, utamanya Pemerintah telah mengingkari Konstitusi
dan peraturan hukum lainnya yang mengakui eksistensi hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan
sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 22 Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 18 UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik jo pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Secara khusus perlu ditegaskan bahwa hak beribadah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama di tempat
tertutup atau terbuka merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi dan peraturan hukum lainnya
sebagaimana disebutkan di atas.
Di sisi lain, perlu juga ditegaskan bahwa penutupan/penyegelan rumah ibadah selain melanggar hak konstitusional
warga negara, dari segi kebijakan publik menunjukkan adanya kekeliruan dan kesalahan mendasar karena hal
tersebut merupakan bentuk intervensi negara terhadap hak privasi warga negara. Semestinya negara lebih fokus
mengurus persoalan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, petani dan pertanian, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan
kelompok-kelompok lemah lainnya.
Contact Person :
- Pdt. Erwin Marbun, STh (Kordinator Umum Forum Solidaritas Kebebasan Beragama). HP: 081389754321,
- Saor Siagian (Humas Forum Solidaritas Kebebasan Beragama). HP : 0816702912