Plural Is Me Dan Multikulturalisme
Plural Is Me Dan Multikulturalisme
Pengertian Pluralisme
The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme ini dipahami sebagai: (1)
Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya, mendukung
desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan
individu dalam masyarakat. Juga, suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-
sama di antara sejumlah partai politik. (2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau
kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan
atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung
pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme
sosial atau primordial.
Dalam khazanah filsafat, istilah pluralisme sendiri memiliki beberapa makna, tergantung
pada masing-masing wacana yang dirujuknya. Konsep itu pada awalnya diperkenalkan oleh para
filsuf Pencerahan seperti Christian Wolff dan Immanuel Kant, yang menunjukkan sebuah doktrin
tentang kesempurnaan pandangan dunia yang mungkin dikombinasikan dengan seruan untuk
mengadopsi sudut pandang universal tentang warga negara dunia (a world citizen). Dalam
filsafat sekarang, konsep pluralisme merujuk pada pandangan bahwa dunia mungkin bisa
diinterpretasikan dengan beberapa cara, atau merujuk pada evaluasi bahwa sains dikembangkan
oleh persaingan di antara beberapa interpretasi. Dalam etika dan sosiologi normatif, ia merujuk
pada persoalan bahwa masyarakat modern tidak lebih didasarkan pada serangkaian norma-norma
otoritatif, sehingga seluruh persoalan etis, meminjam terminologi Jurgen Habermas, tunduk pada
wacana yang open ended dan rasional.
Pluralisme mungkin juga merujuk pada seluruh makna ini dalam sosiologi. Sosiologi yang
mengkaji interpretasi manusia terhadap kehidupan sehari-hari dan dunia pada umumnya, konsep
pluralisme menggambarkan situasi sosial di mana beberapa sistem makna secara terus menerus
ditampilkan sebagai tafsiran-tafsiran yang masuk akal terhadap dunia. Dalam konteks wacana
ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan sebagai
prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individual dipertentangkan dengan dua pandangan yang
berlawanan secara ekstrem.
Pluralisme agama bisa dianalisis pada tiga tingkat sosial yang berurutan: pada tingkat
makro, pluralisme agama mengisyaratkan bahwa otoritas-otoritas sosial mengakui dan menerima
pluralitas dalam bidang keagamaan. Pada tingkat meso, pluralisme mengisyaratkan penerimaan
akan keragaman organisasi-organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit-unit kompetitif.
Dan, akhirnya, pada tingkat mikro, pluralisme mengisyaratkan kebebasan individual untuk
memilih dan mengembangkan kepercayaan pribadinya masing-masing. Romo Franz Magnis
Suseno, dalam Dialog dan Diskusi Pluralism and Humanism in Religious Society, yang
diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, di Jakarta, Selasa (19/7) memberikan
pendapatnya: pluralisme diartikan sebagai kemampuan untuk hidup damai bersama satu pemeluk
agama dengan pemeluk agama lain, dengan dasar nilai-nilai amat diperlukan untuk menghadang
timbulnya kebencian yang sepertinya banyak terjadi belakangan ini. Ia menambahkan pluralisme
bukanlah relativisme, atau memandang semua agama sama saja. Pluralisme adalah sikap tenang
dan tidak terganggu dengan iman dan keberagamaan orang lain. Pluralisme itu bukan berarti
memandang semua agama sama. Pluralisme tersebut, secara sederhana dapat diartikan sebagai
sebuah pandangan yang tidak berniat untuk mengutuk dan mengganggu gugat keimanan orang
lain. Sebagai sebuah sikap yang terbuka terhadap kemajemukan, paham pluralisme juga tidak
mengenal sikap memaksakan ajaran agama yang satu ke pemeluk agama yang lain. Dalam hal
ini, kebebasan beragama setiap orang bukan terhadap Tuhan, melainkan terhadap apa yang
mereka yakini benar dalam pandangannya sebagai manusia. Penganut paham pluralisme niscaya
mengutuk tindakan menyakiti umat agama lain dengan mengatasnamakan Tuhan. Menurutnya,
tindakan semacam itu amat bertentangan dengan ajaran agama apapun. Sikap ekslusivisme, yang
cenderung egosentris, jika dibiarkan berkembang dapat merusak tatanan rasa kemanusiaan
kepada mereka yang berlainan agama karena dinilai tidak benar dan tidak bersesuaian dengan
ajaran agamanya.
Asal-usul pluralisme secara harafiah dapat ditelusuri dalam bahasa Latin: plus, pluris yang
berarti "lebih". Secara filosofis, pluralisme adalah wejangan yang menekankan bahwa kenyataan
terdiri atas kejamakan dan/atau kemajemukan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, dan
sebagai demikian, tidak boleh dimuarakan pada bentuk-bentuk penampakan dari satu kenyataan
mutlak.
Dari kacamata sosiologi, pluralisme mengacu kepada sebuah masyarakat di mana berbagai
kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam posisinya masing-masing mempunyai
pemikiran-pemikiran sendiri mengenai apa yang diingini secara sosial. Setiap masyarakat
dibangun atas bagian-bagian masyarakat tadi, yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga sosial.
Semakin bagian-bagian masyarakat ini bersifat institusional, semakin tampak wujud pluralisme
di dalam masyarakat. Setiap individu di dalam sebuah masyarakat adalah anggota dari
kemajemukan institusi-institusi sosial itu. Ini mengimplikasikan bahwa semakin rumit sebuah
masyarakat, semakin lenyap pula pengaruh dari suatu institusi yang bersifat dominan.
Dengan kata-kata lain, dalam sebuah masyarakat yang pluralitasnya tinggi, tidak mungkin ada
kelompok yang memaksakan kehendaknya pada kelompok lain, hanya atas dasar keinginan
belaka, atau karena tidak setuju dengan apa yang dilakukan kelompok lain itu. Maka, orang bisa
berbicara di sini mengenai adanya fragmentasi peranan dan perilaku yang secara bersama-sama
dapat membangun masyarakat yang pluralistis itu. Tentu saja dengan semakin bertambahnya
gejala pluralisme di dalam masyarakat, bahaya pertentangan-pertentangan antar-kelompok juga
makin bertambah. Maka, untuk mencegah hal itu, hukum mesti ditegakkan, dan prinsip
demokrasi yang sehat mesti dijalankan.
Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan
serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang
multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam
memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan
keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,
dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar
kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah
multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa
atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral,
dan tingkat serta mutu produktivitas.
Motto/Semboyan Negara
Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia diterjemahkan dengan
kalimat Berbeda-beda tetapi tetap satu menunjukan bahwa konsep dari pluralisme dan
multikulturalisme telah diterapkan semenjak negara kita didirikan.
Pancasila
3. Persatuan Indonesia
Dari sila-sila yang disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya implementasi dari
motto/semboyan bangsa Indonesia mengenai pluralisme dan multikulturalisme telah terwujud
dalam dasar kehidupan bangsa Indonesia, yaitu pancasila. Sila kedua, ketiga, keempat dan
kelima menunjukan dengan jelas bahwa tahapan penerapan multikulturalisme dan pluralisme
tentunya harus dimulai dari menghargai HAM, seperti kita lihat sila kedua menyebutkan bahwa
bangsa Indonesia diharapkan dapat mewujudkan masyarkat dengan Kemanusian Yang Adil dan
Beradab. Selanjutnya pemgebangan dari masyarakat yang saling menghargai tersebut
berkembangan menjadi sila ketiga, yaitu persatuan Indonesia, dimana dapat diartikan bahwa
bangsa Indonesia sendiri telah menerapkan multikulturalisme dan pluralisme untuk mewujudkan
Indonesia yang satu.
Pembukaan UUD 1945
… Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia…
Potongan pembukaan UUD 1945 di atas menunjukan bahwa bangsa Indonesia sendiri telah
menanamkan banyak sekali aspek multikulturalisme dan pluralisme yang ditunjukan dari
banyaknya muncul kata adil, satu dan persatuan dalam pembukaan UUD 1945.
UUD 1945
Pasal 29
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 32
Amandemen II
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
Amandemen IV
Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dari UUD 1945 kita dapat melihat bahwa negara menjamin kehidupan pluralisme dalam
beragam dan berserikat, seta menjamin setiap kultur yang tertanam di dalam bangsa Indonesia
tetap berkembang dan dapat tetap ‘ada’ dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pentingnya
pluralisme dan multikulturalisme dalam kehidupan bangsa Indonesia dapat terlihat dari
penekanan dalam amandemen I dan IV UUD 1945.
Selain peraturan yang saya sebutkan di atas, sebenaranya masih banyak lagi terdapat peraturan
daerah di daerah masing-masing. Hal tersebut menunjukan bahwa multikulturalisme dan
pluralisme telah diterapkan, dimana setiap dareah yang notabenya memiliki kebudayaan masing-
masing diberikan kekuasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Namun kekuasaan tersebut
masih tetap dibatasi dengan peraturan-peraturan yang menjadi pedoman umum dalam
pemanfaatan kekuasaan tersebut.
Dalam masalah pluralisme beragama sendiri, bangsa Indonesia telah memiliki lembaga-lembaga
keagamaan sendiri yang mengatur urusan rumah tangganya.
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan
pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia. Menurut KH
Abdurrahman Wahid, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap
sejarah lahirnya bangsa Indonesia. "Jadi menurut saya, kita juga mengalami krisis identitas,"
kata KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menggelar Orasi Catatan Akhir Tahun di
Hotel Santika, Jakarta, Minggu (28/12/ 2008). Di atas panggung, tampak sebagai penanggap
yaitu, rohaniawan Romo Magnis Soeseno, mantan Menteri Sekretaris Negara Bondan
Gunawan, mantan Juru Bicara Presiden Wimar Witoelar dan pakar komunikasi politik
Effendy Ghazali. Acara yang berlangsung gayeng itu dimoderatori oleh wartawan Tempo,
Wahyu Muryadi. Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, bangsa Indonesia harus
membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak
akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-undang Dasar negara. Gus
Dur mengakui, batasan itu belum pernah dibicarakan bangsa. "Akibatnya terjadi
pertentangan antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dan kelompok yang
menganggap bahwa Indonesia ini merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan-pandangan."
Namun perbedaan itu tetap harus didialogkan. "Jadi, satu sama lain kita haruslah sama-sama
menenggang rasa," kata Gus Dur. Tradisi menghargai perbedaan itu, kata Gus Dur, sudah
terlihat sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa Indonesia
berdiri. Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, tercetus semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yaitu Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Prinsip yang dicetuskan Mpu tantular ini
digunakan sampai sekarang oleh bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, jejak sejarah itu
menunjukkan bahwa Indonesia adalah lahan yang bagus untuk mengadakan perjumpaan-
perjumpaan atau mengadakan toleransi yang tinggi. "Ini adalah konsekuensi dari hidup serba
plural tadi. Karenanya kalau ada yang menganggap dirinya lebih berkuasa dari lain-lain,
maka namanya dia tidak mengerti kondisi Indonesia," tegas mantan Ketua Umum PBNU ini.
Romo Magnis, yang daulat sebagai penanggap pertama, menyetujui pendapat Gus Dur.
"Pluralisme atau kemampuan menerima keanekaan, bukan sesuatu yang impor dari luar
negri, melainkan sesuatu yang sudah lama ada di dalam masyarakat Indonesia. Sesuatu yang
sudah biasa di masyarakat," kata Magnis. Dia menjelaskan, peristiwa sejarah yang
menyatukan bangsa Indonesia, seperti sumpah pemuda, proklamasi dan sebagainya terjadi
karena tradisi pluralisme yang spontan. "Saya tidak pesimistik dengan itu, karena kini parpol-
parpol juga mengakui pluralisme itu. Tapi sekarang juga tumbuh tendensi-tendensi dalam
masyarakat yang anti pluralis, yang memaksakan, dan tidak bisa menerima ada orang yang
memiliki kepercayaan, keyakinan berbeda. Bahkan lalu diuber-uber. Itu berbahaya," tegas
Magnis. Menurut Magnis, bangsa Indonesia harus bisa belajar bahwa tidak ada kepercayaan
yang sama. "Tapi ada nilai-nilai hidup bersama itu kita punyai bersama. Nilai itu penting
untuk bersama-sama mengatasi masalah utama kita yaitu kemiskinan," jelasnya.
Ada dua kelompok Islam yang bisa bertolak belakang satu sama lainnya, yakni
progresif-liberal, dan puritanisme-konservatif. Bagaimana pendapat Anda?
Munculnya kelompok liberal ini sebagai reaksi dari keberadaan kelompok Islam garis keras.
Kelompok garis keras ini dicirikan dengan sikap yang menafsirkan segalanya dengan literal
tekstual.
Ciri yang paling menyedihkan adalah dipakainya cara kekerasan, baik secara simbolik maupun
fisik. Sikap seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional, tetapi juga bertentangan
dengan hak asasi manusia. Padahal, dalam agama Islam sendiri dilarang.
Pendidikan pluralism
Syafi'i Anwar percaya, untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang keragaman
keberagamaan, solusinya adalah pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-
sekolah. Usulan pendidikan pluralisme itu berasal dari sambutannya di Regional Conference
yang diselenggarakan ICIP bekerja sama dengan Uni Eropa pada 25-28 November 2004.
Terlebih lagi ide tersebut sejalan dengan Deklarasi Bali tentang Membangun Kerukunan Antar-
agama dalam Komunitas Internasional dari 174 tokoh Asia-Eropa yang mengikuti dialog antar-
agama 21 Juli 2005. Dalam deklarasi itu diusulkan antara lain membuat kurikulum di sekolah
lanjutan mengenai studi antar-agama, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan
saling menghormati antarpemeluk agama yang berbeda-beda.
Bagaimana menyatukan di dalam semangat pluralisme jika di masing-masing
kelompok itusaling melecehkan? Menurut saya, solusi yang paling jitu adalah melalui
pendidikan pluralisme dan multikulturalisme. Hanya melalui pendidikanlah orang bisa
mengubah mindset-nya. Saya percaya betul dengan pendidikan pluralisme. Namun, karena
psikologi masyarakat Indonesia, untuk membicarakan level teologi akan lebih baik jika sudah
masuk SMA atau perguruan tinggi. Yang terutama diajarkan adalah sejarah agama- agama. Saya
kira orang yang tahu sejarah agama-agama tidak akan pernah menjadi radikal.
Itulah yang sedang dikerjakan oleh ICIP, seperti membuat program di televisi tentang
dialog antar-agama. Juga pendidikan jurnalistik pluralisme.
Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun
justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah
diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang
diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat
beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku
dan bagimu agamamu. Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau
hidup berdamai antar umat beragama di muka bumi.
Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang
tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh
ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di
dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung
dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.
Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi
sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja.
Mengapa sama saja? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. Dan tiap agama mendidik
pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira
kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya
sholat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya. Karena itu agama
jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus. Nah, kalau
sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya,
mereka tidak perlu lagi sholat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sampai
mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini, akhirnya mereka bisa
bergonta-ganti agama dengan mudah seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki.
http://wahidinstitute.org
http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875
http://lulukwidyawanpr.blogspot.com/2005/11/pluralisme-apa-sih.html
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml
http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/11213-amien-rais-mengkritik-
pluralisme-kebablasan
http://www.karsono.co.cc/2009/08/pluralisme-dan-kebhinekaan-bangsa.html
http://organisasi.org/undang_undang_dasar_1945_pembukaan_batang_tubuh_dan_atu
ran
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-
Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945/Perubahan_II
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-
Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945/Perubahan_IV
http://nusataraonline.org